Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN TUTORIAL

BLOK METABOLISME, NUTRISI, DAN OBAT SKENARIO II

SI KURUS DAN SI GEMUK

KELOMPOK X
BIAS HERKAWENTAR
I WAYAN RENDI AWENDIKA
IMASARI ARYANI
JEVI IRGIYANI
MAULIDA NARULITA
MEGA HASENDA
MUHAMMAD TAUFIQ HIDAYAT
STEFANUS ERDANA PUTRA
TARANIDA HANIFAH
TITA NUR ALFINDA
VICTORIA HUSADANI PERMATA SARI
YANI DWI PRATIWI

G 0013061
G 0013115
G 0013117
G 0013125
G 0013151
G 0013153
G 0013163
G 0013221
G 0013223
G 0013225
G 0013229
G 0013237

TUTOR : SINU ANDI YUSUF, dr., M. Kes.


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
TAHUN 2013
BAB I
PENDAHULUAN
SKENARIO II
SI KURUS DAN SI GEMUK

Seorang ibu datang ke Posyandu bersama anaknya yang masih balita. Mereka
melakukan penimbangan berat badan. Anaknya tampak kurus, tetapi perutnya
membuncit. Setelah ditimbang dan diukur tinggi badannya, dikatakan bahwa anak
tersebut tergolong anak kurus. Ketika kader Posyandu menanyakan tentang riwayat
makan anak tersebut, ibu menjawab bahwa anaknya kadang kadang tidak mau
makan.
Tak lama kemudian, datang lagi seorang ibu yang lain bersama anaknya yang
juga masih balita. Anak tersebut tampak kurang aktif karena terbebani tubuhnya yang
kegemukan. Ibunya mengatakan bahwa sehari hari, si anak lebih suka duduk di
depan televisi daripada beraktivitas dengan teman temannya. Setelah ditimbang dan
diukur tinggi badannya, dikatakan bahwa anak tersebut tergolong gemuk.
Diskusikan bersama kelompok Saudara, mengapa seorang balita dapat
tergolong menjadi anak kurus dan anak gemuk? Adakah jenis jenis penggolongan
status gizi selain berdasarkan dua hal tadi? Apakah faktor faktor yang
mempengaruhi status gizi? Bagaimanakah tindak lanjut yang tepat untuk anak anak
dengan gizi kurang?

BAB II
DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA
A. Langkah I: Membaca skenario dan memahami pengertian beberapa istilah dalam
skenario
Dalam skenario kedua ini kami mengklarifikasi beberapa istilah sebagai
berikut:
1.
B. Langkah II: Menentukan/ mendefinisikan permasalahan
Permasalahan pada skenario Si Kurus dan Si Gemuk antara lain:
1.
C. Langkah III: Menganalisis permasalahan dan membuat pertanyaan sementara
mengenai permasalahan (tersebut dalam langkah II)
1.
D. Langkah IV: Menginventarisasi permasalahan secara sistematis dan pernyataan
sementara mengenai permasalahan pada langkah III
E. Langkah V: Merumuskan tujuan pembelajaran
Tujuan pembelajaran (learning objectives) pada skenario ini adalah
1.
F. Langkah VI: Mengumpulkan informasi baru
Masing-masing anggota kelompok kami telah mencari sumber sumber
ilmiah dari beberapa buku referensi maupun akses internet yang sesuai dengan topik
diskusi tutorial ini secara mandiri untuk disampaikan dalam pertemuan berikutnya.

G. Langkah VII: Melaporkan, membahas, dan menata kembali informasi baru yang
diperoleh

Pada kasus pertama skenario ini, dapat ditemukan adanya kelainan pada anak
yang kurus, tetapi perutnya buncit. Anak tersebut mengalami defisiensi asam amino,
karena tidak mau makan. Defisiensi tersbut mendorong terjadinya penurunan sintesis
protein, seperti transferrin, albumin, dan sebagainya. Padahal, albumin adalah protein
yang mengatur tekanan osmotic/ onkotik plasma. Albumin dapat mempertahankan
cairan darah tetap dalam pembuluh darah. Kekurangan albumin dapat mengakibatkan
cairan darah meluber, sehingga dapat menyebabkan edema dan ascites, yang ditandai
dengan adanya perut yang membuncit.
Sementara itu, pada kasus yang kedua, disebutkan bahwa ada seorang anak
yang kurang beraktivitas, sehingga tergolong menjadi anak yang gemuk.
Kecenderungan ini sering disebut sebagai obesitas, yaitu kelebihan massa jaringan
adiposit. Adapun beberapa tindak lanjut atau penatalaksanaan yang dapat dilakukan
pada kasus obesitas adalah diet rendah kalori dan rendah lemak, aktivitas fisik, terapi
obat, dan pembedahan. Perubahan gaya hidup yang mencakup pengurangan alkohol,
olahraga, dan berhenti merokok juga berperan terhadap keberhasilan terapi.
Pengurangan asupan kalori antara 500-600 kkal/ hari dari 2100-2520 kkal/hari
dapat menurunkan berat badan antara 0,5-1 kg/minggu. Peningkatan aktivitas fisik
juga dapat membantu penurunan dan pemeliharaan berat badan bersama terapi diet.
Di samping itu, aktivitas fisik juga dapat meningkatkan kebugaran kardiorespirasi dan
menurunkan resiko penyakit kardiovaskuler. Kurangnya aktivitas fisik merupakan
salah satu faktor penting dalam timbulnya obesitas, sebagaimana yang terjadi pada
kasus kedua, yaitu seorang anak yang kegemukan, karena lebih suka duduk di depan
televisi daripada beraktivitas dengan teman-temannya. Penurunan atau kurangnya
aktivitas fisik ini menyebabkan rendahnya tingkat kesegaran jasmani. Dapat
dikatakan bahwa obesitas terjadi akibat masukan energi yang melebihi penggunaan
energi untuk kepentingan metabolisme dan aktivitas fisik.
Jika dalam 4 minggu, terapi diet dan aktivitas fisik tidak memberikan respom,
maka dapat dilanjutkan dengan tindakan medikamentosa atau pemberian obat. Obat
harus dilanjutkan pemberiannya hanya jika terdapat penurunan berat badan 0,5 kg/
minggu. Adapun obat yang direkomendasikan oleh NICE (National Institute of

Clinical Excellence) adalah orlistat, yang dapat menghambat lipase lambung maupun
pankreas dan dapat mengurangi absorpsi lemak serta sibutramin, yang dapat
mempercepat rasa kenyang dan mengurangi asupan makanan.
Apabila terapi diet, aktivitas fisik, dan medikamentosa tidak berhasil,
tekadang diperlukan tindakan pembedahan untuk mengatasi obesitas. Pembedahan
yang biasa dilakukan adalah horizontal banded gastroplasty, vertical banded
gastroplasty, rouxen Y gastric bypass, gastric binding, dan billiopancreatic bypass.
Komplikasi tindakan pembedahan tergantung pada derajat obesitas dan penyakit
penyerta. Dibandingkan dengan terapi yang lain, tindakan pembedahan cukup
menghasilkan penurunan berat badan yang lama. Keberhasilan pembedahan adalah
sekitar 50% (Tjokropawiro, 2006).
Sementara itu, untuk kasus gizi buruk, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia melalui Direktorat Bina Gizi Masyarakat telah mengeluarkan suatu buku
pedoman dalam hal penatalaksanaan kasus gizi buruk di Indonesia. Dalam buku
tersebut dijelaskan beberapa prinsip prinsip dasar untuk penanganan kasus gizi
buruk. Prinsip prinsip dasar tersebut antara lain: meningkatkan jangkauan atau
cakupan pemulihan gizi, ketepatan waktu, ketepatan pelayanan, pelayanan yang
terintegrasi, kerja sama lintas sektor masyarakat dalam penanganan anak gizi buruk,
serta pemantauan rutin dan terus menerus.
Adapun jenis tindakan penatalaksanaan tersebut dapat digolongkan menjadi
empat aspek penting yaitu
1. Tindakan preventif atau pencegahan yang dapat dilakukan dengan pendidikan
dan konseling gizi serta pemantauan pertumbuhan di Posyandu. Tindakan
pencegahan ini dapat dibantu oleh kader. Kader merupakan tenaga pilihan
yang sangat tepat untuk usaha usaha preventif di masyarakat, karena kader
mengenal betul masyarakat setempat, dipilih dan diterima oleh mayarakat,
disegani dan dipercaya, sehingga saran dan petunjukknya akan cenderung
didengar dan diikuti oleh masyarakat (Supariasa, 2001). Selain itu, kader
merupakan perantara langsung antara petugas kesehatan dengan masyarakat.
Kader adalah orang pertama yang mengetahui bagaimana perkembangan atau

kemunduran status gizi balita, berdasarkan penimbangan berat badan yang


dilakukan setiap bulan di Posyandu. Bila kader mendapatkan ibu yang
memiliki anak dengan berat badan tidak naik atau terus menurun, bahkan
sampai berstatus gizi kurang, kader bisa langsung memberikan informasi dan
keterampilannya. Hal ini bisa menjadi upaya preventif agar status gizi balita
tersebut tidak bertambah parah menjadi gizi buruk.
2. Tindakan promotif yang dapat dilakukan dengan suplementasi (pemberian
makanan tambahan, vitamin A, dan tablet Fe). Selain itu, juga dapat
dilakukan dengan promosi Keluarga Sadar Gizi.
3. Tindakan kuratif yang meliputi tindakan pemeriksaan dan anamnesis.
4. Tindakan rehabilitatif yang dapat dilakukan di panti pemulihan gizi,
Puskesmas rawat inap, dan rumah sakit sesuai dengan 10 langkah tatalaksana
penanganan anak gizi buruk WHO yang juga disetujui oleh Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
Sepuluh langkah tatalaksana gizi buruk tersebut meliputi:
1. Pengobatan atau pencegahan hipoglikemia.
Pada hipoglikemia, anak terlihat lemah, suhu tubuh rendah. Jika anak sadar dan dapat
menerima makanan usahakan memberikan makanan sering/cair 23 jam sekali. Jika
anak tidak dapat makan (tetapi masih dapat minum) berikan air gula dengan sendok.
Pengobatan dan pencegahan hipotermia.
2. Hipotermia ditandai dengan suhu tubuh yang rendah (< 36 o C). Pada
keadaan ini, anak harus dihangatkan dengan cara ibu atau orang dewasa lain
mendekap anak di dadanya lalu ditutupi selimut atau dengan membungkus anak
dengan selimut tebal dan meletakkan lampu di dekatnya. Selama masa penghangatan
dilakukan pengukuran suhu anak pada dubur setiap 30 menit sekali. Jika suhu anak
sudah normal dan stabil tetap dibungkus dengan selimut/pakaian rangkap agar tidak
jatuh kembali pada keadaan hipotermia.
3. Pengobatan dan pencegahan kekurangan cairan
Tanda klinis yang sering dijumpai pada anak KEP (Kurang Energi Protein) berat
dengan dehidrasi adalah ada riwayat diare sebelumnya, anak sangat kehausan, mata

cekung, nadi lemah, tangan dan kaki teraba dingin, anak tidak buang air kecil dalam
waktu cukup lama.
4. Lakukan pemulihan gangguan keseimbangan elektrolit
Pada semua KEP Berat/gizi buruk terjadi gangguan keseimbangan elektrolit
diantaranya :
a. Kelebihan natrium (Na) tubuh, walaupun kadar Na plasma rendah.
b. Defisiensi Kalium (K) dan Magnesium (Mg).
Ketidakmampuan elektrolit ini memicu terjadinya edema dan untuk pemulihan
keseimbangan elektrolit diperlukan waktu minimal 2 minggu. Berikan makanan tanpa
diberi garam/rendah garam, untuk rehidrasi, berikan cairan oralit 1 liter yang
diencerkan 2 kali (dengan penambahan 1 liter air) ditambah 4 gram kecil dan 50 gram
gula atau bila balita KEP bisa makan berikan bahan makanan yang banyak
mengandung mineral dalam bentuk makanan lumat
5. Lakukan pengobatan dan pencegahan infeksi
Pada KEP berat, tanda yang umumnya menunjukkan adanya infeksi seperti demam
seringkali tidak tampak. Pada semua KEP berat secara rutin diberikan antibiotik
spektrum luar.
6. Pemberian makanan, balita KEP berat
Pemberian diet KEP berat dibagi 3 fase:
a. Fase stabilisasi (12 hari)
Pada awal fase stabilisasi perlu pendekatan yang sangat hati-hati, karena keadaan
faali anak yang sangat lemah dan kapasitas homeostatik berkurang, Pemberian
makanan harus dimulai segera setelah anak dirawat dan dirancang sedemikian rupa
sehingga energi dan protein cukup untuk memenuhi metabolisme basal saja, Formula
khusus seperti formula WHO 75/modifikasi/modisco yang dilanjutkan dan jadual
pemberian makanan harus disusun agar dapat mencapai prinsip tersebut dengan
persyaratan diet sebagai berikut: porsi kecil, sering, rendah serat dan rendah laktosa,
energi 100 kkal/kg/hari, protein 11,5 gr/kg bb/hari, cairan 130 ml/kg BB/hari (jika
ada edema berat 100 ml/kg bb/hari),bila anak mendapat ASI teruskan, dianjurkan
memberi formula WHO 75/pengganti/modisco dengan gelas, bila anak terlalu

lemah berikan dengan sendok/pipet, Pemberian formula WHO 75/pengganti/modisco


atau pengganti dan jadwal pemberian makanan harus sesuai dengan kebutuhan
anak.
b. Fase transisi (minggu II)
Pemberian makanan pada fase transisi diberikan secara perlahan untuk menghindari
resiko gagal jantung, yang dapat terjadi bila anak mengkonsumsi makanan dalam
jumlah banyak secara mendadak. Penggantian formula khusus awal (energi 75 kal
dan protein 0,9 1,0 gram/100 ml) dengan formula khusus lanjutan (energi 100 kkal
dan protein 2,9 gram/100 ml) dilakukan dalam jangka waktu 48 jam. Modifikasi
bubur atau makanan keluarga dapat digunakan asal kandungan energi dan protein
sama.
c. Fase rehabilitasi (Minggu IIIVII)
Pada fase ini, dilakukan beberapa tindakan seperti
1) pemberian formula WHO-F 135/pengganti/modisco 1 dengan jumlah
tidak terbatas dan sering.
2) pemberian asupan energi sebanyak 150220 kkal/kg bb/hari dan protein
sebanyak 46 gr/kg bb/hari.
3) bila anak masih mendapat ASI, teruskan ASI, ditambah dengan makanan
formula karena energi dan protein ASI tidak akan mencukupi untuk
tumbuh kejar.
4) secara perlahan diperkenalkan makanan keluarga (Adi, 2001).
7. Perhatikan masa tumbuh kejar balita
8. Lakukan penanggulangan kekurangan zat gizi mikro
Semua pasien KEP berat mengalami kurang vitamin dan mineral, walaupun anemia
biasa terjadi, jangan tergesa-gesa memberikan preparat besi (Fe). Tunggu sampai
anak mau makan dan berat badannya mulai naik (pada minggu II). Pemberian Fe
pada masa stabilisasi dapat memperburuk keadaan infeksinya.
9. Berikan stimulasi dan dukungan emosional

Pada KEP berat terjadi keterlambatan perkembangan mental dan perilaku, karenanya
anak perlu diberikan : kasih sayang, lingkungan menyenangkan, terapi bermain
terstruktur 15-30 menit/hari, perencanaan aktifitas fisik setelah sembuh, serta
peningkatan keterlibatan ibu (memberi makan, memandikan, bermain)
10. Persiapan untuk tindak lanjut di rumah
Bila berat badan anak sudah berada di garis warna kuning, anak dapat dirawat di
rumah dan dipantau oleh tenaga kesehatan puskesmas/ bidan di desa.
Mengenai tindakan pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mencari etiologi
penyakit yang berkaitan dengan kurang gizi atau malnutrisi meliputi tindakan
tindakan seperti:
1. Pemeriksaan fisik, yang meliputi pemeriksaan status gizi, tekanan darah,
kardiovaskuler, respirasi, gastrointestinal, musculoskeletal, dan kulit.
2. Pemeriksaan penunjang atau laboratorium, yang meliputi pemeriksaan darah
(kadar Hb, eritrosit, leukosit, albumin dalam darah, glukosa, dan kolesterol)
serta pemeriksaan urin (pH urin, ketonuria, berat jenis urin, dan kandungan
kreatinin dalam urin).
3. Pemeriksaan rontgen atau X-Ray chest examination untuk mengetahui ada
tidaknya pembesaran hati maupun limpa.

BAB III
KESIMPULAN

Dari diskusi tutorial kali ini, dapat diambil kesimpulan bahwa

BAB IV
SARAN

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai