Anda di halaman 1dari 45

Presentasi Kasus

SEORANG ANAK LAKI-LAKI USIA 2 TAHUN 1 BULAN DENGAN


TONSILOFARINGITIS AKUT, PHYMOSIS, DAN SPEECH DELAY

Oleh :

Pembimbing :

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD Dr. MOEWARDI
SURAKARTA
2017
BAB I
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. J
Umur : 2 tahun 1 bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Berat Badan : 12 kg
Tinggi Badan : 72 cm
Alamat : Jaten, Karanganyar
Tanggal Masuk : 30 November 2017
Tanggal Pemeriksaan : 5 Desember 2017
No. RM : 01400xxx

II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Demam

B. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien seorang anak laki-laki datang dengan keluhan demam.
Keluhan tersebut dirasakan sejak 4 hari yang lalu. Keluhan demam tinggi
timbul secara mendadak, demam tinggi (40 0C). Keluhan disertai dengan
blobok dan nrocos pada mata kanan dan kiri. Selain itu, pasien batuk,
pilek, dan nyeri telan sampai pasien kesulitan makan dan minum.
Pasien mengeluhkan kesulitan makan dan minum. Setiap diberi
makan dan minum pasien muntah kurang lebih 3x SMRS. Keluhan lain
yang dirasakan, pasien mengorok ketika tidur, BAK normal, BAB normal
tidak ada gangguan. Pasien pernah diberi obat sirup ibuprofen 3x1 cth dan
puyer yang tidak diketahui isinya namun tidak ada perbaikan.

2
Saat di IGD RSDM, sadar penuh dan rewel, demam tinggi, nrocos
dan blobok pada mata kanan dan kiri, muntah 1x, nyeri telan sampai
kesulitan makan dan minum.

C. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat penyakit serupa : disangkal
Riwayat dirawat : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat asma : disangkal

D. Riwayat Penyakit Keluarga dan Lingkungan


Riwayat sakit serupa : diakui (+) pada ibu pasien
Riwayat alergi obat/makanan : disangkal
Riwayat asma pada keluarga: disangkal
.
E. Riwayat Kehamilan
Ibu pasien baru mengetahui kehamilannya saat usia kandungan 8
minggu. Pasien mengeluh sakit punggung dan tidak mau makan saat itu
hingga badannya lemas dan dirawat di RS Dr.Oen Surakarta. Setelah
dirawat, pasien rutin memeriksakan kandungannya tiap bulan sampai 36
minggu. Obat-obatan yang diminum selama masa kehamilan meliputi
vitamin dan tablet penambah darah.

F. Riwayat Kelahiran
Pasien merupakan anak kedua, lahir dari ibu usia 32 tahun dengan
umur kehamilan 38 minggu secara normal di bidan dekat rumah. Pasien
lahir dengan berat badan 4,1 kg dan panjang badan ... Pasien lahir,
menangis kuat.

G. Riwayat Imunisasi
0 bulan : Hepatitis B 0

3
1 bulan : Polio 0, BCG
2 bulan : Polio 1, Hepatitis B 2, DTP 1, Hb 1
3 bulan : Polio 2, Hepatitis B 3, DTP 2, Hb 2,
4 bulan : Polio 3, Hepatitis B 4, DTP 3, Hb 3
9 bulan : Campak 1
18 bulan : Polio 4, DTP 4, Hb 4

H. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan


Pasien lahir dengan BB 4100 gram, dengan PB 44 cm. Berat badan
pasien sekarang 12 kg dengan TB 72 cm. Kesan riwayat pertumbuhan
menurut grafik pertumbuhan WHO...... dan perkembangan pasien
meragukan menurut KPSP anak usia 2 tahun.

No Pertanyaan Jawaban
1 Jika anda sedang melakukan pekerjaan YA

rumah tangga, apakah anak meniru


apa yang anda lakukan?
2 Apakah anak dapat mengucapkan TIDAK

paling sedikit 3 kata yang mempunyai


arti selain "papa" dan "mama"?
3 Apakah anak dapat berjalan mundur 5 YA

langkah atau lebih tanpa kehilangan


keseimbangan?
(Anda mungkin dapat melihatnya
ketika anak menarik mainannya).
4 Apakah anak dapat meletakkan 1 YA

buah kubus di atas kubus yang lain


tanpa menjatuhkan kubus itu? Kubus
yang digunakan ukuran 2.5 — 5 cm.
5 Dapatkah anak melepas pakaiannya TIDAK

4
seperti: baju, rok, atau celananya?
(topi dan kaos kaki tidak ikut dinilai).
6 Dapatkah anak berjalan naik tangga YA

sendiri? Jawab YA jika ia naik tangga


dengan posisi tegak atau berpegangan
pada dinding atau pegangan tangga.
Jawab TIDAK jika ia naik tangga
dengan merangkak atau anda tidak
membolehkan anak naik tangga atau
anak harus berpegangan pada
seseorang.
7 Tanpa bimbingan, petunjuk atau YA

bantuan anda, dapatkah anak


menunjuk dengan benar paling sedikit
satu bagian badannya (rambut, mata,
hidung, mulut, atau bagian badan
yang lain)?
8 Dapatkah anak makan nasi sendiri TIDAK

tanpa banyak tumpah?


9 Dapatkah anak membantu memungut YA

mainannya sendiri atau membantu


mengangkat piring jika diminta?
10 Dapatkah anak menendang bola kecil YA

(sebesar bola tenis) ke depan tanpa


berpegangan pada apapun?
Mendorong tidak ikut dinilai.
TOTAL SCORE 7

I. Riwayat Nutrisi
Usia 0-sekarang : Masih diberikan ASI

5
2 bulan : Sudah diberikan makanan tambahan seperti bubur
bayi
2 tahun : Makan makanan keluarga berupa nasi, sayur, dan
lauk pauk. Selain itu juga minum susu formula. Kesan kualitas dan
kuantitas cukup

J. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien tinggal di rumah beserta kedua orang tuanya. Pasien
merupakan anak kedua. Anggota keluarganya terdiri dari ayah, ibu,
kakak dan pasien sendiri. Ayah pasien bekerja serabutan, sedangakan ibu
pasien bekerja sebagai pegawai di pabrik swasta. Pasien berobat dan
rawat inap menggunakan BPJS. Kesan riwayat sosial ekonomi cukup
baik

K.Pohon Keluarga

Tn. Y Ny. M
34 tahun 34 tahun

An. J
2 tahun 1bulan

III. PEMERIKSAAN FISIK

6
1. Status Generalis
a. Keadaan Umum:
Tampak sakit sedang, compos mentis (E4V5M6)
b. Tanda vital
Laju nadi : 120x/menit, isi cukup, tegangan cukup
Laju napas : 30x/menit, reguler, kedalaman cukup
Suhu : 40° C
SiO2 : 99 %
c. Status Gizi
Secara klinis : gizi baik
Secara Antropometri
BB/U :
 12 kg/13 bulan
 3,4/4.5 x 100% = 75
 SD-2 < z score < SD+2 (normoweight)
PB/U :
 44 cm / 1 bulan
 44/55 x 100% = 80
 SD-2 < z score < SD+2 (normoheight)
BB/PB :
 3.4 kg / 44 cm
 3.3/3 x 100% = 110%
 SD-2 < z score < SD+2 (gizi baik)
 Interpretasi : gizi baik , normoweight, normoheight

7
8
d. Kepala : mesocephal 47 cm (-2 SD < LK < 0 nellhauss), fontanella
anterior datar, fontanella posterior tertutup, wajah dismorfik (-), low
nasal bridge (-)
e. Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), edema
palpebra (-/-), refleks cahaya (+/+), pupil isokor diameter 2mm/2mm,
air mata (+/+) , mata cekung (-/-), nrocos (+/+), boblok (+/+)
f. Hidung : napas cuping hidung (-/-), sekret (+/+), epistaksis (-/-)
g. Telinga : normotia, sekret (-/-)
h. Mulut : mukosa basah (+), sianosis (-), gusi berdarah (-), faring
hiperemis (+), tonsil T3-T3 hiperemis (+), makroglosia (-)
i. Leher : kelenjar getah bening membesar multiple
j. Thoraks : retraksi (-)
k. Cor
Inspeksi : iktus cordis tidak tampak
Palpasi : iktus cordis teraba tidak kuat angkat, teraba di SIC
IV linea midclavicularis
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : bunyi jantung I-II interval normal, reguler, bising (-)
l. Pulmo
Inspeksi : pengembangan dinding dada kanan = kiri

9
Palpasi : fremitus raba sulit di evaluasi
Perkusi : sonor / sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-)
m. Abdomen
Inspeksi : dinding perut sejajar dengan dinding dada, hernia
umbilikal (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal (12x/menit)
Perkusi : timpani, pekak alih (-), pekak sisi (-), ascites (-)
Palpasi : nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba, turgor
kulit kembali cepat
n. Ekstremitas :
Edema Akral dingin
- - - -
- - - -

Arteri dorsalis pedis teraba kuat


Capillary Refill Time kurang dari 2 detik

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Laboratorium Darah (29 November 2017)
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
HEMATOLOGI RUTIN
Hemoglobin 10.9 g/dl 13.4-19.8
Hematokrit 33 % 50-82
Leukosit 29.8 ribu/ul 5.0-19.5
Trombosit 227 ribu/ul 150-450
Eritrosit 4.25 juta/ul 3.90-5.90
INDEKS ERITROSIT
MCV 79.3 /um 80.0-96.0
MCH 25.6 Pg 28.0-33.0
MCHC 32.3 g/dl 33.0-36.0
RDW 12.3 % 11.6-14.6
MPV 9.2 Fl 7.2-11.1
PDW 16 % 25-65
HITUNG JENIS
Eosinofil 0.40 % 0.00-4.00
Basofil 1.40
Netrofil 36.60 % 18.00-74.00
Limfosit 56.90 % 60.00-66.00

10
Monosit 4.70 % 0.00-6.00
Golongan Darah O
KIMIA KLINIK
GDS 119 Mg/dl 50-80
ELEKTROLIT
Natrium darah 138 Mmol/L 129-147

Hasil Pemeriksaan urinalisa (30 November 2017)


Pemeriksaan Hasil Rujukan
Makroskopis
Warna Yellow
Kejernihan Sl.Cloudy
Kimia Urin
Berat Jenis 1.019 1015-1025
PH 6.0 4.5-8.0
Leukosit Negatif Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Protein Negatif Negatif
Glukosa Normal Normal
Keton 15 Negatif
Urobilinogen Normal Normal
Bilirubin Negatif Negatif
Eritrosit Negatif Negatif
Mikroskopis
Eritrosit 2.2 0-6.4
Leukosit 2 0-12
Epitel
Squamous 0-1 Negatif
Transisional 1-3 Negatif
Bulat - Negatif
Silinder
Hialine 0 0-3
Granulated - Negatif
Lekosit - Negatif
Kristal 0.2 0.0-0.0

11
Yeast like cell 0.0 0.0-0.0
Sperma 0.0 0.0-0.0
Konduktivitas 15.9 3.0-32.0
Lain-lain Eritrosit 0-1/LPB, Leukosit 1-2/LPB, Bakteri
(+), Kristal Amorf (+)

Rontgen Kepala Lateral ( 4 Desember 2017)

12
Kesimpulan :
Adenoid hypertrofi

Isaac Score (30 November 2017)

No Kriteria Point Score


1 Temperatur > 38oC 1 1
2 Tidak Batuk 1 0
3 Pembesaran KGB 1 1
4 Tonsillar swelling/exudate 1 1

13
5 Umur 3-14 tahun 1 0
6 Umur 15-44 tahun 1 0
7 Umus ≥45 tahun 1 0
Total Score 3

V. KEBUTUHAN ENERGI HARIAN


Kebutuhan energi harian berdasarkan tabel recommended dietary
allowances (RDA) untuk anak berdasarkan umur pada pasien ini adalah
sekitar 1250 kkal/kg/hari. Jadi, kebutuhan energi harian pasien adalah sebesar
1250 kkal/hari, di mana berat badan ideal pasien sebesar 12 kg.

14
VI. RESUME
Pasien seorang anak usis 2 tahun 1 bulan datang dibawa kedua
orangtuanya dengan keluhan demam sejak 4 hari yang lalu. Demam tinggi
timbul secara mendadak. Keluhan disertai dengan blobok dan nrocos pada
mata kanan dan kiri. Selain itu, pasien batuk, pilek, muntah 1x, serta nyeri
telan sampai kesulitan makan dan minum.
Pada pemeriksaan fisik pasien composmentis dan rewel, suhu 40 0C
dengan blobok dan nrocos pada kedua mata. Pemeriksaan THT tampak tonsil
T3-T3 hiperemis, faring hiperemis, dan pembesaran KGB multiple. Hasil
pemeriksaan laboratorium dan urinalisis terlampir. Rontgen kepala lateral
menunjukkan gambaran adenoid hypertrophy

VII. DAFTAR MASALAH


Anak Laki-laki 2 tahun 1 bulan dengan :
1. Tonsilofaringitis akut dengan intake sulit
2. Vomittus tanpa dehidrasi et causa tonsilofaringitis akut dd ISK
3. Konjungtivitis ODS
4. Phymosis
5. Delay speech
6. Gizi

15
VIII. DIAGNOSIS BANDING
1. Tonsilofaringitis et causa bakteri
2. Tonsilofaringitis et causa virus
3. ISK
4. Adenoid Hypertropi
5. Gizi baik

IX. DIAGNOSIS KERJA


1. Tonsilofaringitis akut
2. Konjungtivitis ODS
3. Delay Speech
4. Gizi baik

X. PENATALAKSANAAN
1. Rawat bangsal infeksi anak
2. Diet nasi lunak 1000 kkal/hari
3. IVFD D5 ¼ NS 40 ml/jam
4. Injeksi ampicillin sulbactam (50mg/kgBB/6 jam)  600 mg/6 jam (IV)
5. Injeksi paracetamol (10 mg/kgBB/x)  110 mg/x jam iv (IV)
6. Nebu NaCl 0.9% 5ml/8 jam

XI. PLANNING
1. Pemeriksaan darah rutin tanpa diff
2. Urinalisis
3. Swab tenggorok
4. Konsul Mata
5. Konsul THT

XII. MONITORING
a. Keadaan umum dan tanda-tanda vital per 8 jam
b. BCD/8 jam

XIII. EDUKASI
a. Edukasi keluarga tentang penyakit pasien, prognosis pasien baik dengan
penanganan yang tepat.
b. Kompres hangat apabila timbul demam lebih dari 37,5°C dan
pemberian parasetamol bila demam lebih dari 37,5°C.
c. Edukasi untuk melakukan cuci tangan sebelum dan sesudah
menyediakan makanan.

XIV. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam

16
17
XV. FOLLOW UP
Tanggal 30 November 2017
S : Batuk (+), pilek (+), sulit makan, demam, sulit bernapas, belum bisa bicara 1
kalimat
O : Keadaan umum : Tampak sakit sedang, CM E4V5M6,
Tanda Vital
Laju nadi : 101x/menit, isi cukup, tegangan cukup
Laju napas : 26 x/menit, reguler, kedalaman cukup
Suhu : 37,8° C
SiO2 : 98 %
Balance cairan : -30 ml
Diuresis : 4,1 ml/kg/jam
Kepala : Mesocephal
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung : Napas cuping hidung (-)
Telinga : Normotia, sekret encer (-/-)
Mulut : Mukosa basah, faring hiperemis (+), tonsil T3-T3
Leher : pembesaran KGB multiple (+)
Toraks : Simetris, retraksi (-)
Jantung : Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak.
Palpasi : Iktus cordis teraba tidak kuat angkat, teraba
di SIC IV Linea midclavicularis
Perkusi : Batas jantung kesan tidak melebar.
Auskultasi : Bunyi jantung I-II intensitas normal,
reguler, bising (-)
Pulmo : Inspeksi : pengembangan dinding dada kanan = kiri
Palpasi : fremitus raba sulit dievaluasi
Perkusi : sonor / sonor
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), suara
tambahan (-/-)
Abdomen : Inspeksi : dinding perut sejajar dengan dinding dada

18
Auskultasi : bising usus (+) normal, 10 kali/ menit
Perkusi : timpani (+), pekak alih (-), pekak sisi (-),
ascites (-)
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak
teraba, turgor kulit kembali cepat.
Ekstremitas
Akral dingin Oedem

- - - -
- - - -

Capilary refill time kurang dari 2 detik

Assesment :
1. Tonsilofaringitis akut
2. Intake sulit dd ISK
3. Konjungtivitis ODS
4. Vomittus tanpa dehidrasi et causa rhinofaringitis dd ISK
5. Fimosis
6. Gizi baik
7. Tersangka speech delay
Tatalaksana :
1. Terapi
- Diet nasi lunak 1000 kkkal/hari
- IVFD D5 ¼ NS 40 ml/jam
- Paracetamol (10 mg/kgBB/8 jam)  110 mg/8 jam po
- Inj Ampicilin Sulbactam 50 mg/kgBB/6 jam  600 mg/6 jam IV
2. Plan
a. Urinalisis/feses rutin
b. Kultur swab tenggorokan
c. Usul konsul THT dan mata

3. Monitoring
a. Keadaan Umum, Tanda-tanda vital per 8 jam
b. BCD/8 jam

Tanggal 1 Desember 2017

19
S : Batuk (+), pilek (+), demam naik turun (pas kapan ?), BAK (+) dan BAB (-)
selama 3 hari
O : Keadaan umum : Tampak sakit sedang, CM E4V5M6,
Tanda Vital
Laju nadi : 114x/menit, isi cukup, tegangan cukup
Laju napas : 24 x/menit, reguler, kedalaman cukup
Suhu : 37,2° C
SiO2 : 98 %
Balance cairan : -30 ml
Diuresis : 4,1 ml/kg/jam
Kepala : Mesocephal
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung : Napas cuping hidung (-)
Telinga : Normotia, sekret (-/-).
Mulut : Mukosa basah, faring hiperemis (+), tonsil T3-T3
Leher : pembesaran KGB (-)
Toraks : Simetris, retraksi (-)
Jantung : Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak.
Palpasi : Iktus cordis teraba tidak kuat angkat, teraba
di SIC IV Linea midclavicularis
Perkusi : Batas jantung kesan tidak melebar.
Auskultasi : Bunyi jantung I-II intensitas normal,
reguler, bising (-)
Pulmo : Inspeksi : pengembangan dinding dada kanan = kiri
Palpasi : fremitus raba sulit dievaluasi
Perkusi : sonor / sonor
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), suara
tambahan (-/-)
Abdomen : Inspeksi : dinding perut sejajar dengan dinding dada
Auskultasi : bising usus (+) normal, 10 kali/ menit

20
Perkusi : timpani (+), pekak alih (-), pekak sisi (-),
ascites (-)
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak
teraba, turgor kulit kembali cepat.
Ekstremitas
Akral dingin Oedem

- - - -
- - - -

Capilary refill time kurang dari 2 detik

Assesment :
1. Tonsilofaringitis akut
2. Intake sulit dd ISK
3. Konjungtivitis ODS
4. Vomittus tanpa dehidrasi et causa tonsilofaringitis akut dd ISK
5. Fimosis
6. Tersangka speech delay
Tatalaksana :
2. Terapi
- Diet nasi lunak 1000 kkkal/haru
- IVFD D5 ¼ NS 40 ml/jam
- Paracetamol (10 mg/kgBB/8 jam)  110 mg/8 jam po
- Inj Ampicilin Sulbactam 50 mg/kgBB/6 jam  600 mg/6 jam IV
2. Plan
a. Tunggu hasil kultur swab tenggorokan
3. Monitoring
a. Keadaan Umum, Tanda-tanda vital per 8 jam
b. BCD/8 jam

Tanggal 2 Desember 2017


S : tidak demam, pilek (+), tidur masih mengorok, hidung masih tersumbat
O : Keadaan umum : Tampak sakit sedang, CM E4V5M6,
Tanda Vital
Laju nadi : 116x/menit, isi cukup, tegangan cukup

21
Laju napas : 22 x/menit, reguler, kedalaman cukup
Suhu : 37,1° C
SiO2 : 98 %
Balance cairan : -30 ml
Diuresis : 4,1 ml/kg/jam
Kepala : Mesocephal
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), injeksi siliar
(-/-)
Hidung : Napas cuping hidung (-)
Telinga : Normotia, sekret (-/-).
Mulut : Mukosa basah, faring hiperemis (+), tonsil T3-T3
Leher : pembesaran KGB (-)
Toraks : Simetris, retraksi (-)
Jantung : Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak.
Palpasi : Iktus cordis teraba tidak kuat angkat, teraba
di SIC IV Linea midclavicularis
Perkusi : Batas jantung kesan tidak melebar.
Auskultasi : Bunyi jantung I-II intensitas normal,
reguler, bising (-)
Pulmo : Inspeksi : pengembangan dinding dada kanan = kiri
Palpasi : fremitus raba sulit dievaluasi
Perkusi : sonor / sonor
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), suara
tambahan (-/-)
Abdomen : Inspeksi : dinding perut sejajar dengan dinding dada
Auskultasi : bising usus (+) normal, 10 kali/ menit
Perkusi : timpani (+), pekak alih (-), pekak sisi (-),
ascites (-)
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak
teraba, turgor kulit kembali cepat.
Ekstremitas
Oedem
- - 22
- -
Akral dingin
- -
- -

Capilary refill time kurang dari 2 detik

Assesment :
1. Tonsilofaringitis akut dengan intake sulit
2. Konjungtivitis ODS
3. Vomittus tanpa dehidrasi
4. Fimosis
5. Tersangka speech delay
6. Gizi baik
Tatalaksana :
1. Terapi
- Diet nasi lunak 1000 kkkal/hari
- IVFD D5 ¼ NS 40 ml/jam
- Paracetamol (10 mg/kgBB/8 jam)  110 mg/8 jam po
- Inj Ampicilin Sulbactam 50 mg/kgBB/6 jam  600 mg/6 jam IV
- LFX 4x ODS 2 tetes
2. Plan
a. Tunggu hasil kultur swab tenggorokan \
b. Cek ASTO (THT)
3. Monitoring
a. Keadaan Umum, Tanda-tanda vital per 8 jam
b. BCD/8 jam

Tanggal 3 Desember 2017


S : pilek (+), tidak bisa tidur, sesak sedikit (+), nafas mulut
O : Keadaan umum : Tampak sakit sedang, CM E4V5M6,
Tanda Vital
Laju nadi : 118x/menit, isi cukup, tegangan cukup
Laju napas : 24 x/menit, reguler, kedalaman cukup
Suhu : 36,2° C
SiO2 : 99 %
Balance cairan : - 150 ml

23
Diuresis : 3,8 ml/kg/jam
Kepala : Mesocephal
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), injeksi siliar
(-/-)
Hidung : Napas cuping hidung (-)
Telinga : Normotia, sekret (-/-).
Mulut : Mukosa lembab, faring hiperemis (+), tonsil T3-T3
Leher : pembesaran KGB (-)
Toraks : Simetris, retraksi (-)
Jantung : Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak.
Palpasi : Iktus cordis teraba tidak kuat angkat, teraba
di SIC IV Linea midclavicularis
Perkusi : Batas jantung kesan tidak melebar.
Auskultasi : Bunyi jantung I-II intensitas normal,
reguler, bising (-)
Pulmo : Inspeksi : pengembangan dinding dada kanan = kiri
Palpasi : fremitus raba sulit dievaluasi
Perkusi : sonor / sonor
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), suara
tambahan (-/-)
Abdomen : Inspeksi : dinding perut sejajar dengan dinding dada
Auskultasi : bising usus (+) normal, 10 kali/ menit
Perkusi : timpani (+), pekak alih (-), pekak sisi (-),
ascites (-)
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak
teraba, turgor kulit kembali cepat.
Ekstremitas
Akral dingin Oedem

- - - -
- - - -

Capilary refill time kurang dari 2 detik

24
Assesment :
1. Tonsilofaringitis akut dengan intake sulit
2. Konjungtivitis ODS
3. Vomittus tanpa dehidrasi
4. Fimosis
5. Tersangka speech delay
6. Gizi baik
Tatalaksana :
1. Terapi
- Diet nasi lunak 1000 kkkal/hari
- IVFD D5 ¼ NS 40 ml/jam
- Paracetamol (10 mg/kgBB/8 jam)  110 mg/8 jam po
- Inj Ampicilin Sulbactam 50 mg/kgBB/6 jam  600 mg/6 jam IV
- LFX 4x ODS 2 tetes
2. Plan
a. Tunggu hasil kultur swab tenggorokan \
b. Cek ASTO (THT)
3. Monitoring
a. Keadaan Umum, Tanda-tanda vital per 8 jam
b. BCD/8 jam

Tanggal 4 Desember 2017


S : tidak demam (bebas demam H1), sudah mau makan, tidur masih mengorok
O : Keadaan umum : Tampak sakit sedang, CM E4V5M6,
Tanda Vital
Laju nadi : 121x/menit, isi cukup, tegangan cukup
Laju napas : 32 x/menit, reguler, kedalaman cukup
Suhu : 37,2° C
SiO2 : 94 %
Balance cairan : +26 ml
Diuresis : 1,7 ml/kg/jam
Kepala : Mesocephal
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), injeksi siliar
(-/-)

25
Hidung : Napas cuping hidung (-)
Telinga : Normotia, sekret (-/-).
Mulut : Mukosa lembab, faring hiperemis (+), tonsil T3-T3
Leher : pembesaran KGB (-)
Toraks : Simetris, retraksi (-)
Jantung : Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak.
Palpasi : Iktus cordis teraba tidak kuat angkat, teraba
di SIC IV Linea midclavicularis
Perkusi : Batas jantung kesan tidak melebar.
Auskultasi : Bunyi jantung I-II intensitas normal,
reguler, bising (-)
Pulmo : Inspeksi : pengembangan dinding dada kanan = kiri
Palpasi : fremitus raba sulit dievaluasi
Perkusi : sonor / sonor
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), suara
tambahan (-/-)
Abdomen : Inspeksi : dinding perut sejajar dengan dinding dada
Auskultasi : bising usus (+) normal, 10 kali/ menit
Perkusi : timpani (+), pekak alih (-), pekak sisi (-),
ascites (-)
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak
teraba, turgor kulit kembali cepat.
Ekstremitas
Akral dingin Oedem

- - - -
- - - -

Capilary refill time kurang dari 2 detik

Assesment :
1. Tonsilofaringitis dengan intake sulit
2. Konjungtivitis ODS

26
3. Vomittus tanpa dehidrasi
4. Fimosis
5. Tersangka speech delay
6. Gizi baik
Tatalaksana :
2. Terapi
- Diet nasi lunak 1000 kkkal/hari
- IVFD D5 ¼ NS 40 ml/jam
- Paracetamol (10 mg/kgBB/8 jam)  110 mg/8 jam po
- Inj Ampicilin Sulbactam 50 mg/kgBB/6 jam  600 mg/6 jam IV
- LFX 4x ODS 2 tetes
2. Plan
a. Tunggu hasil kultur swab tenggorokan
b. Cek ASTO (THT)
c. Cek lab evaluasi DL2, elektrolit
3. Monitoring
a. Keadaan Umum, Tanda-tanda vital per 8 jam
b. BCD/8 jam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

27
2.1. Tonsilofaringitis akut

28
A. Epidemiologi
Keterlibatan tonsil pada faringitis tidak menyebabkan perubahan
pada durasi atau derajat beratnya penyakit. Faringitis biasa terjadi pada
anak, meskipun jarang pada anak berusia di bawah 1 tahun. Insidens
meningkat sesuai dengan bertambahnya umur, mencapai puncaknya pada
usia 4−7 tahun, dan berlanjut hingga dewasa. Insidens faringitis
Streptokokus tertinggi pada usia 5−18 tahun, jarang pada usia di bawah 3
tahun, dan sebanding antara laki-laki dan perempuan. Sebelas persen anak
usia sekolah berobat ke dokter setiap tahun dengan diagnosis faringitis.
B. Etiologi

29
Faringitis akut digunakan untuk menunjukkan semua infeksi akut
pada faring, termasuk tonsilitis (tonsilofaringitis). Faringitis merupakan
peradangan akut membran mukosa faring dan struktur lain di sekitarnya.
Karena letaknya yang sangat dekat dengan hidung dan tonsil, jarang terjadi
hanya infeksi lokal faring atau tonsil. Oleh karena itu, pengertian faringitis
secara luas mencakup tonsilitis, nasofaringitis, dan tonsilofaringitis.
Infeksi pada daerah faring dan sekitarnya ditandai dengan keluhan nyeri
tenggorok. Faringitis Streptokokus beta hemolitikus grup A (SBHGA)
adalah infeksi akut orofaring dan/atau nasofaring oleh SBHGA. Berbagai
bakteri dan virus dapat menjadi etiologi faringitis, baik faringitis sebagai
manifestasi tunggal maupun sebagai bagian dari penyakit lain. Virus
merupakan etiologi terbanyak faringitis akut, terutama pada anak berusia
≤3 tahun (prasekolah). Virus penyebab penyakit respiratori seperti
Adenovirus, Rhinovirus, dan virus Parainfluenza dapat menjadi penyebab
faringitis. Virus Epstein Barr (Epstein Barr virus, EBV) dapat
menyebabkan faringitis, tetapi disertai dengan gejala infeksi
mononukleosis seperti splenomegali dan limfadenopati generalisata.
Infeksi sistemik seperti infeksi virus campak, Cytomegalovirus (CMV),
virus Rubella, dan berbagai virus lainnya juga dapat menunjukkan gejala
faringitis akut. Mikroorganisme seperti Klamidia dan Mikoplasma
dilaporkan dapat menyebabkan infeksi, tetapi sangat jarang terjadi.
Beberapa bakteri dapat melakukan proliferasi ketika sedang terjadi infeksi
virus (copathogen bacterial) dan dapat ditemukan pada kultur, tetapi
biasanya bukan merupakan penyebab dari faringitis/tonsilofaringitis akut.
Beberapa bakteri tersebut adalah Staphylococcus aureus, Haemophilus
influenzae, Moraxella catarrhalis, Bacteroides fragilis, Bacteroides oralis,
Bacteroides melaninogenicus, spesies Fusobacterium, dan spesies
Peptostreptococcus.

30
Streptokokus beta hemolitikus grup A adalah bakteri penyebab
terbanyak faringitis/tonsilofaringitis akut. Bakteri tersebut mencakup
15−30% (di luar kejadian epidemik) dari penyebab faringitis akut pada
anak, sedangkan pada dewasa hanya sekitar 5−10% kasus. Streptokokus
Grup A biasanya bukan merupakan penyebab yang umum pada anak usia
prasekolah, tetapi pernah dilaporkan terjadi outbreak di tempat penitipan
anak (day care). Kontak langsung dengan mukosa nasofaring atau
orofaring yang terinfeksi atau dengan benda yang terkontaminasi seperti
sikat gigi merupakan cara penularan, demikian juga melalui makanan.
Penyebaran SBHGA memerlukan pejamu yang rentan dan difasilitasi
dengan kontak yang erat. Infeksi jarang terjadi pada anak berusia di bawah
2 tahun, mungkin karena kurang kuatnya SBHGA melekat pada sel-sel
epitel. Remaja biasanya telah mengalami kontak dengan organisme
beberapa kali sehingga terbentuk kekebalan, oleh karena itu infeksi
SBHGA lebih jarang pada kelompok ini. Kontak erat dengan sekumpulan
besar anak, misalnya pada kelompok anak sekolah, akan mempertinggi
penyebaran penyakit.
Streptokokus grup C dan D telah terbukti dapat menyebabkan
epidemi faringitis akut, sering berkaitan dengan makanan (foodborne) dan
air (waterborne) yang terkontaminasi. Organisme ini lebih sering terjadi
pada dewasa. Arcanobacterium hemolyticum relatif jarang menyebabkan
faringitis dan tonsilitis akut, tetapi sering menyerupai faringitis
Streptokokus. Penyakit ini cenderung terjadi pada remaja dan dewasa
muda.

31
Saat ini faringitis difteri jarang ditemukan di negara maju. Penyakit
ini terutama terjadi pada anak yang tidak diimunisasi dan yang berasal dari
kelompok sosial ekonomi rendah. Infeksi mononukleosis disebabkan oleh
EBV, anggota dari famili Herpesviridae, dan sebagian besar terjadi pada
anak berusia 15−24 tahun. Frekuensi kejadian faringitis Mycoplasma
pneumoniae masih belum jelas. Chlamydia pneumoniae menyebabkan
faringitis baik sebagai suatu sindrom tersendiri, bersamaan dengan
pneumonia, atau mendahului pneumonia. Apabila tidak terdapat penyakit
saluran respiratori-bawah, biasanya tidak teridentifikasi.
C. Patogenesis
Bakteri maupun virus dapat secara langsung menginvasi mukosa
faring yang kemudian menyebabkan respon peradangan lokal. Rhinovirus
menyebabkan iritasi mukosa faring sekunder akibat sekresi nasal.
Sebagian besar peradangan melibatkan nasofaring, uvula, dan palatum
mole. Perjalanan penyakitnya ialah terjadi inokulasi dari agen infeksius di
faring yang menyebabkan peradangan lokal, sehingga menyebabkan
eritema faring, tonsil, atau keduanya. Infeksi Streptokokus ditandai dengan
invasi lokal serta penglepasan toksin ekstraselular dan protease. Transmisi
dari virus yang khusus dan SBHGA terutama terjadi akibat kontak tangan
dengan sekret hidung dibandingkan dengan kontak oral. Gejala akan
tampak setelah masa inkubasi yang pendek, yaitu 24−72 jam.
D. Manifestasi Klinis

32
Gejala faringitis yang khas akibat bakteri Streptokokus berupa
nyeri tenggorokan dengan awitan mendadak, disfagia, dan demam. Urutan
gejala yang biasanya dikeluhkan oleh anak berusia di atas 2 tahun adalah
nyeri kepala, nyeri perut, dan muntah. Selain itu juga didapatkan demam
yang dapat mencapai suhu 40°C, beberapa jam kemudian terdapat nyeri
tenggorok. Gejala seperti rinorea, suara serak, batuk, konjungtivitis, dan
diare biasanya disebabkan oleh virus. Kontak dengan penderita rinitis juga
dapat ditemukan pada anamnesis. Pada pemeriksaan fisis, tidak semua
pasien tonsilofaringitis akut Streptokokus menunjukkan tanda infeksi
Streptokokus, yaitu eritema pada tonsil dan faring yang disertai dengan
pembesaran tonsil. Faringitis streptokokus sangat mungkin jika dijumpai
gejala dan tanda berikut:
1) Awitan akut, disertai mual dan muntah
2) Faring hiperemis
3) Demam
4) Nyeri tenggorokan
5) Tonsil bengkak dengan eksudas
6) Kelenjar getah bening leher anterior bengkak dan nyeri
7) Uvula bengkak dan merah
8) Ekskoriasi hidung disertai lesi impetigo sekunder
9) Ruam skarlatina
10) Petekie palatum mole
Sedangkan bila dijumpai gejala dan tanda berikut ini, maka
kemungkinan besar bukan faringitis streptokokus:
1) Usia di bawah 3 tahun
2) Awitan bertahap
3) Kelainan melibatkan beberapa mukosa
4) Konjuntivitis, diare, batuk, pilek, suara serak
5) Mengi, ronki di paru
6) Eksantem ulseratif.

33
Tanda khas faringitis difteri adalah membran asimetris, mudah
berdarah, dan berwarna kelabu pada faring. Membran tersebut dapat
meluas dari batas anterior tonsil hingga ke palatum mole dan/atau ke
uvula. Pada faringitis akibat virus, dapat juga ditemukan ulkus di palatum
mole dan dinding faring serta eksudat di palatum dan tonsil, tetapi sulit
dibedakan dengan eksudat pada faringitis Streptokokus. Gejala yang
timbul dapat menghilang dalam 24 jam, berlangsung 4-10 hari (self
limiting disease), jarang menimbulkan komplikasi, dan memiliki prognosis
yang baik.
E. Penegakan Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisis,
dan pemeriksaan laboratorium. Sulit untuk membedakan antara faringitis
Streptokokus dan faringitis virus hanya berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisis. Baku emas penegakan diagnosis faringitis bakteri atau
virus adalah melalui pemeriksaan kultur dari apusan tenggorok. Apusan
tenggorok yang adekuat pada area tonsil diperlukan untuk menegakkan
adanya S. pyogenes. Untuk memaksimalisasikan akurasi, maka diambil
apusan dari dinding faring posterior dan regio tonsil, lalu diinokulasikan
pada media agar darah domba 5% dan piringan basitrasin diaplikasikan,
kemudian ditunggu selama 24 jam. Pada saat ini terdapat metode yang
cepat untuk mendeteksi antigen Streptokokus grup A (rapid antigen
detection test). Metode uji cepat ini mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas yang cukup tinggi (sekitar 90% dan 95%) dan hasilnya dapat
diketahui dalam 10 menit, sehingga metode ini setidaknya dapat
digunakan sebagai pengganti pemeriksaan kultur. Secara umum, bila uji
tersebut negatif, maka apusan tenggorok seharusnya dikultur pada dua
cawan agar darah untuk mendapatkan hasil yang terbaik untuk S.
pyogenes. Pemeriksaan kultur dapat membantu mengurangi pemberian
antibiotik yang tidak perlu pada pasien faringitis.
F. Tatalaksana

34
Pemberian antibiotik diberikan pada faringitis oleh bakteri, tidak
diperlukan pada faringitis virus, karena tidak akan mempercepat waktu
penyembuhan atau mengurangi derajat keparahan. Istirahat cukup dan
pemberian cairan yang sesuai merupakan terapi suportif yang dapat
diberikan. Selain itu, pemberian gargles (obat kumur) dan lozenges (obat
hisap), pada anak yang cukup besar dapat meringankan keluhan nyeri
tenggorok. Apabila terdapat nyeri yang berlebih atau demam, dapat
diberikan parasetamol atau ibuprofen. Pemberian aspirin tidak dianjurkan,
terutama pada infeksi Influenza, karena insidens sindrom Reye kerap
terjadi.

35
Pemberian antibiotik pada faringitis harus berdasarkan pada gejala
klinis dan hasil kultur positif pada pemeriksaan usapan tenggorok. Akan
tetapi, hingga saat ini masih terdapat pemberian antibiotik yang tidak
rasional untuk kasus faringitis akut. Salah satu penyebabnya adalah
terdapat overdiagnosis faringitis menjadi faringitis akut Streptokokus, dan
memberikan antibiotik karena khawatir dengan salah satu komplikasinya,
berupa demam reumatik. Antibiotik pilihan pada terapi faringitis akut
Streptokokus grup A adalah Penisilin V oral 15-30 mg/kgBB/hari dibagi 3
dosis selama 10 hari atau benzatin penisilin G IM dosis tunggal dengan
dosis 600.000 IU (BB30 kg). Amoksisilin dapat digunakan sebagai
pengganti penisilin pada anak yang lebih kecil, karena selain efeknya
sama, amoksisilin juga memiliki rasa yang lebih enak. Amoksisilin dengan
dosis 50 mg/kgBB/hari dibagi 2 selama 6 hari, efektivitasnya sama dengan
Penisilin V oral selama 10 hari. Untuk anak yang alergi penisilin dapat
diberikan eritromisin etil suksinat 40 mg/kgBB/hari, eritromisin estolat 20-
40 mg/kgBB/hari, dengan pemberian 2, 3, atau 4 kali per hari selama 10
hari; atau dapat juga diberikan makrolid baru misalnya azitromisin dengan
dosis tunggal 10 mg/kgBB/hari, selama 3 hari berturut-turut. Antibiotik
golongan sefalosporin generasi I dan II dapat juga memberikan efek yang
sama, tetapi pemakaiannya tidak dianjurkan, karena selain mahal risiko
resistensinya juga lebih besar. Kegagalan terapi adalah terdapatnya
Streptokokus persisten setelah terapi selesai. Hal ini terjadi pada 5−20%
populasi, dan lebih banyak pada populasi dengan pengobatan penisilin oral
dibandingkan dengan suntik. Penyebabnya dapat karena komplians yang
kurang, infeksi ulang, atau adanya flora normal yang memproduksi -
laktamase. Kultur ulang apusan tenggorok hanya dilakukan pada keadaan
dengan risiko tinggi, misalnya pada pasien dengan riwayat demam
reumatik atau infeksi Streptokokus yang berulang. Apabila hasil kultur
kembali positif, beberapa kepustakaan menyarankan terapi kedua, dengan
pilihan obat oral klindamisin 20–30 mg/kgBB/hari selama 10 hari;
amoksisilin-klavulanat 40 mg/kgBB/hari terbagi menjadi 3 dosis selama

36
10 hari; atau injeksi Benzathine penicillin G intramuskular, dosis tunggal
600.000 IU (BB 30 kg). Akan tetapi, bila setelah terapi kedua kultur tetap
positif, kemungkinan pasien merupakan pasien karier, yang memiliki
risiko ringan terkena demam reumatik. Golongan tersebut tidak
memerlukan terapi tambahan.
Pembedahan elektif adenoid dan tonsil telah digunakan secara luas
untuk mengurangi frekuensi tonsilitis rekuren.. Ukuran tonsil dan adenoid
bukanlah indikator yang tepat. Tonsilektomi biasanya dilakukan pada
tonsilofaringitis berulang atau kronis. Terdapat beberapa indikator klinis
yang digunakan, salah satunya adalah kriteria yang digunakan Children’s
Hospital of Pittsburgh Study, yaitu: tujuh atau lebih episode infeksi
tenggorokan yang diterapi dengan antibiotik pada tahun sebelumnya, lima
atau lebih episode infeksi tenggorokan yang diterapi dengan antibiotik
setiap tahun selama 2 tahun sebelumnya, dan tiga atau lebih episode
infeksi tenggorokan yang diterapi dengan antibiotik setiap tahun selama 3
tahun sebelumnya. American Academy Otolaryngology and Head and
Neck Surgery menetapkan terdapatnya tiga atau lebih episode infeksi
tenggorokan yang diterapi dalam setahun sebagai bukti yang cukup untuk
melakukan tindakan pembedahan. Indikator klinis di atas tidak dapat
diterapkan di Indonesia dan memerlukan pemikiran lebih lanjut.
Keputusan untuk dilakukan tonsilektomi harus didasarkan pada gejala dan
tanda yang terkait secara langsung terhadap hipertrofi, obstruksi, dan
infeksi kronis pada tonsil dan struktur terkait. Ukuran tonsil anak relatif
lebih besar daripada dewasa. Infeksi tidak selalu menyebabkan hipertrofi
tonsil, dan tonsil yang terinfeksi kronis mungkin ukurannya tidak
membesar. Tonsilektomi sedapat mungkin dihindari pada anak berusia di
bawah 3 tahun. Bila ada infeksi aktif, tonsilektomi harus ditunda hingga
2−3 minggu. Indikasi tonsiloadenoidektomi adalah bila terjadi obstructive
sleep apnea akibat pembesaran adenotonsil.
G. Komplikasi

37
Kejadian komplikasi pada faringitis akut virus sangat jarang.
Beberapa kasus dapat berlanjut menjadi otitis media purulen bakteri. Pada
faringitis bakteri dan virus dapat ditemukan komplikasi ulkus kronik yang
cukup luas. Komplikasi faringitis bakteri terjadi akibat perluasan langsung
atau secara hematogen. Akibat perluasan langsung, faringitis dapat
berlanjut menjadi sinusitis, otitis media, mastoiditis, adenitis servikal,
abses retrofaringeal atau parafaringeal, atau pneumonia. Penyebaran
hematogen Streptokokus β-hemolitikus grup au artritis septik, sedangkan
komplikasi nonsupuratif berupa demam reumatik dan glomerulonefritis.

Interpretasi Hasil KPSP

 Hitung jawaban Ya (bila


dijawab bisa atau sering atau kadang-kadang)
 Hitung jawabab Tidak (bila jawaban belum
pernah atau tidak pernah)
 Bila jawaban YA = 9-10, perkembangan anak
sesuai dengan tahapan perkembangan (S)
 Bila jawaban YA = 7 atau 8, perkembangan anak
meragukan (M)
 Bila jawaban YA = 6 atau kurang, kemungkinan
ada penyimpangan (P).
 Rincilah jawaban TIDAK pada nomer berapa saja.

Untuk Anak dengan Perkembangan


SESUAI (S)

 Orangtua/pengasuh anak sudah mengasuh anak


dengan baik.

38
 Pola asuh anak selanjutnya terus lakukan sesuai
dengan bagan stimulasi sesuaikan dengan umur dan
kesiapan anak.
 Keterlibatan orangtua sangat baik dalam tiap
kesempatan stimulasi. Tidak usah mengambil
momen khusus. Laksanakan stimulasi sebagai
kegiatan sehari-hari yang terarah.
 Ikutkan anak setiap ada kegiatan Posyandu.

Untuk Anak dengan Perkembangan


MERAGUKAN (M)

 Konsultasikan nomer jawaban tidak, mintalah jenis


stimulasi apa yang diberikan lebih sering .
 Lakukan stimulasi intensif selama 2 minggu untuk
mengejar ketertinggalan anak.
 Bila anak sakit lakukan pemeriksaan kesehatan pada
dokter/dokter anak. Tanyakan adakah penyakit pada
anak tersebut yang menghambat
perkembangannya.
 Lakukan KPSP ulang setelah 2 minggu menggunakan
daftar KPSP yang sama pada saat anak pertama
dinilai.
 Bila usia anak sudah berpindah golongan dan KPSP
yang pertama sudah bisa semua dilakukan. Lakukan
lagi untuk KPSP yang sesuai umur anak.
Misalnya umur anak sekarang adalah 8 bulan 2 minggu,
dan ia hanya bisa 7-8 YA. Lakukan stimulasi selama 2

39
minggu. Pada saat menilai KPSP kembali gunakan dulu
KPSP 6 bulan. Bila semua bisa, karena anak sudah berusia
9 bulan, bisa dilaksanakan KPSP 9 bulan.
 Lakukan skrining rutin, pastikan anak tidak
mengalami ketertinggalan lagi.
 Bila setelah 2 minggu intensif stimulasi, jawaban
masih (M) = 7-8 jawaban YA. Konsultasikan dengan
dokter spesialis anak atau ke rumah sakit dengan
fasilitas klinik tumbuh kembang

2.2 Fimosis (Phimosis)

40
merupakan salah satu gangguan yang timbul
pada organ kelamin bayi laki-laki, yang dimaksud dengan fimosis adalah
keadaan dimana kulit kepala penis (preputium) melekat pada bagian kepala
(glans) dan mengakibatkan tersumbatnya lubang di bagian air seni,
sehingga bayi dan anak kesulitan dan kesakitan saat kencing, kondisi ini
memicu timbulnya infeksi kepala penis (balantis). Jika keadaan ini
dibiarkan dimana muara saluran kencing di ujung penis tersumbat maka
dokter menganjurkan untuk disunat. Tindakan ini dilakukan dengan
membuka dan memotong kulit penis agar ujungnya terbuka
(Rukiyah,2010:230)
Menurut (Muslihatun,2010:160) Fimosis adalah keadaan kulit
penis (preputium) melekat pada bagian kepala penis dan mengakibatkan
tersumbatnya lubang saluran air kemih, sehingga bayi dan anak jadi
kesulitan dan kesakitan saat kencing. Sebenarnya yang berbahaya bukanlah
fimosis sendiri, tetapi kemungkinan timbulnya infeksi pada uretra kiri dan
kanan, kemudian ke ginjal. Infeksi ini dapat menimbulkan kerusakan pada
ginjal.
13
Merupakan kondisi penis dengan kulit yang melingkupi kepala
penis (glans) tidak bisa ditarik ke belakang untuk membuka seluruh bagian
kepala penis (kulup,prepuce, preputium, foreskin). Preputium terdiri dari
dua lapis, bagian dalam dan luar, sehingga dapat ditarik ke depan dan
belakang pada batang penis. Pada fimosis, lapis bagian dalam preputium
melekat pada glans penis. Kadangkala perlekatan cukup luas sehingga
hanya bagian lubang untuk berkemih (meatus urethra externus) yang
terbuka.
Apabila preputium melekat pada glans penis, maka cairan smegma,
yaitu cairan putih kental yang biasanya mengumpul di antara kulit kulup
dan kepala penis akan terkumpul di tempat itu, sehingga mudah terjadi
infeksi. Umumnya tempat yang diserang infeksi adalah ujung penis,
sehingga disebut balantis. Sewaktu anak buang air kecil, anak akan menjadi
rewel dan yang terlihat adalah kulit preputium terbelit dan menggelembung.
(Sudarti, 2012:184)
Fimosis bisa merupakan kelainan bawaan sejak lahir (kongenital)
maupun didapat. Fimosis kongenital (true phimosis) terjadi apabila kulit
preputium selalu melekat erat pada glans penis dan tidak dapat ditarik ke
belakang pada saat lahir, namun seiring bertambahnya usia serta
diproduksinya hormone dan faktor pertumbuhan, terjadi proses keratinisasi
lapisan epitel dan deskuamasi antara glans penis dan lapis bagian dalam
preputium sehingga akhirnya kulit preputium terpisah dari glans penis.
(Muslihatun, 2010:161)
14
4. Insiden/Kejadian
Hanya sekitar 4% bayi yang seluruh kulit preputiumnya dapat
ditarik ke belakang penis pada saat lahir, namun mencapai 90% pada saat

41
usia 3 tahun dan hanya 1-1,5% laki-laki berusia 17 tahun yang masih
mengalami fimosis kongenital. Walaupun demikian, penelitian lain
mendapatkan hanya 20% dari 200 anak laki-laki berusia 5-13 tahun yang
seluruh kulit preputiumnya dapat ditarik ke belakang penis
(Muslihatun,2010:161)
5. Etiologi Fimosis
Fimosis pada bayi laki-laki yang baru lahir terjadi karena ruang di
antara kutup dan penis tidak berkembang dengan baik. Kondisi ini
menyebabkan kulup menjadi melekat pada kepala penis, sehingga sulit
ditarik ke arah pangkal. Penyebabnya, bisa dari bawaan dari lahir atau
didapat, misalnya karena infeksi atau benturan. (Putra,2012:394)
Kelainan ini juga menyebabkan bayi/anak sukar berkemih.
Kadang-kadang begitu sukar sehingga kulit preputium menggelembung
seperti balon. Bayi/anak sering menangis keras sebelum urin keluar.
Keadaan demikian lebih baik segera disunat, tetapi kadang orangtua tidak
tega karena bayi masih kecil. Untuk menolongnya dapat dicoba dengan
melebarkan lubang preputium dengan cara mendorong ke belakang kulit
preputium tersebut dan biasanya akan terjadi luka. Untuk mencegah infeksi
dan agar luka tidak merapat lagi pada luka tersebut dioleskan salep
antibiotik. Tindakan ini mula-mula dilakukan oleh dokter, selanjutnya
15
dirumah orangtua sendiri diminta melakukannya seperti yang dilakukan
dokter (pada orang barat sunat dilakukan pada seorang bayi laki-laki ketika
masih dirawat/ketika baru lahir). Tindakan ini dimaksudkan untuk
kebersihan/mencegah infeksi karena adanya smegma, bukan karena
keagamaan). (Yongki,2012:184)
Adanya smegma pada ujung preputium juga menyulitkan bayi
berkemih maka setiap memandikan bayi hendaknya preputium didorong ke
belakang kemudian ujungnya dibersihkan dengan kapas yang telah dijerang
dengan air matang.
Untuk mengetahui adanya kelainan saluran kemih pada bayi, tiap
bayi baru lahir harus diperhatikan apakah bayi telah berkemih setelah lahir
atau paling lambat 24 jam setelah lahir. Perhatikan apakah urin banyak atau
sedikit sekali. Bila terdapat gangguan ekskresi bayi akan terlihat sembab
pada mukanya. Atau bila kelainan lain misalnya kista akan terlihat perut
bayi lebih besar dari normal. Jika menjumpai kelainan tersebut beritahu
dokter. Sampai bayi umur 3 hari pengeluaran urin tidak terpengaruh oleh
pemberian cairan. Baru setelah umur 5 hari dapat terpengaruh.
(Khoirunnisa,2010:174)
6. Gejala Pada Fimosis
Gejala yang sering terjadi pada fimosis menurut (Rukiyah,2010:230)
diantaranya:
a. Bayi atau anak sukar berkemih
16
b. Kadang-kadang begitu sukar sehingga kulit preputium menggelembung
seperti balon

42
c. Kulit penis tidak bisa ditarik kearah pangkal
d. Penis mengejang pada saat buang air kecil
e. Bayi atau anak sering menangis sebelum urin keluar/Air seni keluar
tidak lancar
f. Timbul infeksi
7. Patofisiologi Fimosis
Menurut (Muslihatun,2010:161) Fimosis dialami oleh sebagian
besar bayi baru lahir, karena terdapat adesi alamiah antara preputium
dengan glans penis. Sampai usia 3-4 tahun, penis tumbuh dan berkembang.
Debris yang dihasilkan oleh epitel preputium (smegma) mengumpul di
dalam preputium dan perlahan-lahan memisahkan preputium dengan glans
penis. Smegma terjadi dari sel-sel mukosa preputium dan glans penis yang
mengalami deskuamasi oleh bakteri yang ada di dalamnya.
Ereksi penis yang terjadi secara berkala membuat preputium
terdilatasi perlahan-lahan sehingga preputium menjadi retraktil dan dapat
ditarik ke arah proksimal. Pada usia 3 tahun, 90% preputium sudah dapat
diretraksi. Pada sebagian anak, preputium tetap lengket pada glans penis,
sehingga ujung preputium mengalami penyimpangan dan akhirnya dapat
mengganggu fungsi miksi.
Biasanya anak menangis dan pada ujung penis tampak
menggelembung. Air kemih yang tidak lancar, kadang-kadang menetes dan
17
memancar dengan arah yang tidak dapat diduga. Kalau sampai terjadi
infeksi, anak akan menangis setiap buang air kecil dan dapat pula disertai
demam. Ujung penis yang tampak menggelembung disebabkan oleh adanya
penyempitan pada ujung preputium karena terjadi perlengketan dengan
glans penis yang tidak dapat ditarik ke arah proksimal. Adanya
penyempitan tersebut menyebabkan terjadi gangguan aliran urin pada saat
miksi. Urine terkumpul di ruang antara preputium dan glans penis, sehingga
ujung penis tampak menggelembung.
8. Komplikasi Fimosis
Komplikasi yang dapat terjadi pada anak /bayi yang mengalami
fimosis, antara lain terjadinya infeksi pada uretra kanan dan kiri akibat
terkumpulnya cairan smegma dan urine yang tidak dapat keluar seluruhnya
pada saat berkemih. Infeksi tersebut akan naik mengikuti saluran urinaria
hingga mengenai ginjal dan dapat menimbulkan kerusakan pada ginjal
(Muslihatun,2010:162)
Pada 90% laki-laki yang dikhitan kulup zakar menjadi dapat ditarik
kembali (diretraksi) pada umur 3 tahun. Ketidakmampuan untuk meretraksi
kulup zakar sebelum umur ini dengan demikian fimosis patologis dan
fimosis merupakan indikasi untuk dikhitan. Fimosis adalah
ketidakmampuan kulup zakar untuk diretraksi pada umur tertentu yang
secara normal harus dapat diretraksi. Fimosis dapat kongenital/sekuele
radang. Fimosis yang sebenarnya biasanya memerlukan bedah
pelebaran/pembesaran cincin fimosis/khitan. Akumulasi smegma di buah
kulup zakar infatil fimosis patologis dan fimosis memerlukan pengobatan

43
bedah (Sudarti,2010:185)

BAB III
PENUTUP

Bronkiolitis adalah penyakit saluran pernapasan bayi yang lazim, akibat dari
obstruksi radang saluran pernapasan kecil. Penyakit ini terjadi selama umur 2
tahun pertama, dengan insiden puncak pada sekitar umur 6 bulan. Bronkiolitis
terutama disebabkan oleh Respiratory Syncitial Virus (RSV) dan sisanya
disebabkan oleh virus Parainfluenzae tipe 1,2, dan 3, Influenzae B, Adenovirus
tipe 1,2, dan 5, atau Mycoplasma. Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya.
Secara umum tatalaksana bronkiolitis yang dianjurkan adalah :
1. Pemberian oksigenasi; dapat diberikan oksigen nasal atau masker, monitor
dengan pulse oxymetry. Bila ada tanda gagal nafas diberikan bantuan ventilasi
mekanik.
2. Pemberian cairan dan kalori yang cukup (bila perlu dapat dengan cairan
parenteral). Jumlah cairan sesuai berat badan, kenaikan suhu dan status hidrasi.
3. Koreksi terhadap kelainan asam basa dan elektrolit yang mungkin timbul.
4. Antibiotik dapat diberikan pada keadan umum yang kurang baik, curiga infeksi
sekunder (pneumonia) atau pada penyakit yang berat.
5. Kortikosteroid : deksametason 0,5 mg/kgBB dilanjutkan dengan 0,5
mg/kgBB/hari dibagi 3-4 dosis.
6. Dapat diberikan nebulasi β agonis (salbutamol 0,1mg/kgBB/dosis, 4-6 x/hari)
diencerkan dengan salin normal untuk memperbaiki kebersihan mukosilier.

44
45

Anda mungkin juga menyukai