Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN TUTORIAL

BLOK METABOLISME, NUTRISI, DAN OBAT SKENARIO III

SALAH OBAT

KELOMPOK X
BIAS HERKAWENTAR
I WAYAN RENDI AWENDIKA
IMASARI ARYANI
JEVI IRGIYANI
MAULIDA NARULITA
MEGA HASENDA
MUHAMMAD TAUFIQ HIDAYAT
STEFANUS ERDANA PUTRA
TARANIDA HANIFAH
TITA NUR ALFINDA
VICTORIA HUSADANI PERMATA SARI
YANI DWI PRATIWI

G 0013061
G 0013115
G 0013117
G 0013125
G 0013151
G 0013153
G 0013163
G 0013221
G 0013223
G 0013225
G 0013229
G 0013237

TUTOR : JOKO SUDARSONO, S. Farm., MPH. Apt.


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
TAHUN 2013
BAB I
PENDAHULUAN
SKENARIO III
SALAH OBAT

Seorang laki laki berusia 45 tahun datang ke dokter dengan keluhan : nyeri
otot pada kedua kaki sekitar 4 jam setelah minum obat simvastatin dan gemfibrozil
bersama sama, tanpa mengindahkan dosis yang dianjurkan oleh dokter. Istrinya
beberapa bulan yang lalu meminum obat yang sama yang sesuai dengan anjuran
dokter dan tidak ada keluhan apa apa. Oleh dokter, pasien diminta untuk
menghentikan sementara kedua obat tersebut. Dokter kemudian melakukan
pemeriksaan fungsi ginjal dan liver.

BAB II
DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA
A. Langkah I: Membaca skenario dan memahami pengertian beberapa istilah dalam
skenario
Dalam skenario ketiga ini kami mengklarifikasi beberapa istilah sebagai
berikut:
1.
B. Langkah II: Menentukan/ mendefinisikan permasalahan
Permasalahan pada skenario Salah Obat antara lain:
1.
C. Langkah III: Menganalisis permasalahan dan membuat pertanyaan sementara
mengenai permasalahan (tersebut dalam langkah II)
1.
D. Langkah IV: Menginventarisasi permasalahan secara sistematis dan pernyataan
sementara mengenai permasalahan pada langkah III
E. Langkah V: Merumuskan tujuan pembelajaran
Tujuan pembelajaran (learning objectives) pada skenario ini adalah
1.
F. Langkah VI: Mengumpulkan informasi baru
Masing-masing anggota kelompok kami telah mencari sumber sumber
ilmiah dari beberapa buku referensi maupun akses internet yang sesuai dengan topik
diskusi tutorial ini secara mandiri untuk disampaikan dalam pertemuan berikutnya.

G. Langkah VII: Melaporkan, membahas, dan menata kembali informasi baru yang
diperoleh

Dalam skenario ketiga ini, disebutkan adanya dua macam obat yang
digunakan bersama sama, yaitu simvastatin dan gemfibrozil. Kedua obat tersebut
memiliki

aspek

farmakokinetik,

farmakodinamik,

serta

indikasi

dan

kontraindikasinya masing masing, sebagaimana dijelaskan berikut ini:


1. Gemfibrozil termasuk dalam obat golongan fibrat. Obat-obat yang
tergolong kelompok ini dapat dianggap sebagai hipolipidemik berspektrum
luas. Selain menurunkan kadar trigliserida serum, kelompok fibrat juga
cenderung menurunkan kadar kolesterol-LDL dan menaikkan kolesterolHDL. Fibrat bekerja sebagai ligan untuk reseptor transisi nukleus, reseptor
alfa peroksisom yang diaktivasi proliferator, dan menstimulasi aktivitas
lipoprotein lipase.
a. Indikasi : hiperlipidemia tipe IIa, IIb, III, IV dan V, serta
pencegahan penyakit jantung pada pria usia 40-55 tahun yang tidak
merespon dengan cukup terhadap diet dan tindakan-tindakan lain
yang sesuai, juga dislipidemia yang berhubungan dengan diabetes
mellitus (DM), serta xanthoma yang berhubungan dengan
dislipidemia.
b. Kontraindikasi : alkoholisme, kerusakan ginjal atau hati berat,
penyakit saluran empedu (batu empedu), kehamilan (faktor resiko:
C) dan menyusui.
c. Farmakodinamik : gemfibrozil akan berikatan dengan reseptor
PPAR- (peroxisome proliferator-activated receptors-), yang akan
mengatur transkripsi gen untuk meningkatkan oksidasi asdam
lemak melalui mekanisme peningkatan sintesis LDL dan LDL
reseptor, sehingga mendorong peningkatan lipolisis dan penurunan
VLDL serta peningkatan HDL (ekspresi Apo C-III menurun
sedangkan ekspresi Apo A-I dan II meningkat).
d. Farmakokinetik : gemfibrozil akan diabsorbsi secara cepat dan
lengkap lewat usus, kira kira >90% pada pemberian bersama
dengan makanan. Selain itu, 95 % gemfibrozil juga terikat potein
albumin. Gemfibrozil dapat menembus sawar darah plasenta dan

memiliki waktu paruh 1,1 jam. Obat ini akan diekskresikan melalui
urin (60% dalam bentuk glukoronid) dan tinja (25%).
2. Simvastatin termasuk dalam golongan statin. Obat ini bekerja dengan cara
menghambat secara kompetitif enzim HMG Co-A reduktase, yakni enzim
pada sintesis kolesterol, terutama dalam hati. Obat golongan statin ini lebih
efektif dibanding resin penukar anion dalam menurunkan kolesterol-LDL
tetapi kurang efektif dibanding kelompok fibrat dalam menurunkan kadar
trigliserida dan meningkatkan kolesterol-HDL. Statin telah terbukti dapat
mengurangi kejadian jantung koroner, semua kejadian kardiovaskuler pada
pasien dengan umur sampai dengan 70 tahun dengan penyakit jantung
koroner (riwayat angina atau infark miokard akut) dan dengan kolesterol
plasma 5,5 mmol/l atau lebih.
a. Indikasi : terapi pada dislipidemia atau pencegahan primer pada
penyakit kardiovaskuler (aterosklerosis), yaitu:
Pencegahan primer pada penyakit kardiovaskuler (high risk CVD):
untuk mengurangi resiko MI atau stroke pada pasien tanpa penyakit
hati yang mempunyai faktor resiko berlipat atau diabetes tipe-2.
Terapi pada dislipidemia: untuk mengurangi peningkatan kolesterol
total, kolesterol-LDL, apoliporotein B, trigliserida, dan untuk
meningkatkan kolesterol-HDL pada dislipidemia Frederickson tipe
IIa, IIb, III, dan IV, serta pada hiperkolesterolemia turunan
homozigot.
Terapi pada hiperkolesterolemia turunan heterozigot pada pasien
remaja (10-17 tahun) yang mempunyai kolesterol-LDL 190 mg/dl
atau 160 mg/dl dengan riwayat keluarga positif beresiko CVD.
b. Kontraindikasi : hipersensitif terhadap simvastatin atau komponen
lain yang terdapat dalam formula, penyakit hati aktif, atau kenaikan
serum transaminase >3x batas normal tertinggi, kehamilan (faktor
resiko: X), dan menyusui (simvastatin diekskresi lewat air susu).
c. Farmakodinamik : simvastatin memiliki active form yang hampir
sama dengan normal-HMG Co-A reduced intermediate (struktur
yang akan menjadi prekursor mevalonat, yang sangat penting dalam
sintesis kolesterol), akibatnya SREBP (Sterol Regulatory Elements
Binding Protein) pada membran akan dipecah oleh protease dan

diangkut ke nukleus. Selanjutnya, factor factor transkripsi akan


berikatan dengan reseptor LDL, sehingga dapat meningkatkan
reseptor LDL dan menurunkan kolesterol.
d. Farmakokinetik : simvastatin terdapat dalam bentuk inaktif lakton
prodrug yang harus dihidrolisis terlebih dahulu menjadi bentuk
aktif asam -hidroksi. Obat ini akan diabsorbsi 40-75% dan akan
mengalami metabolisme lintas pertama di hati, sehingga memiliki
major effect di hati. Waktu paruhnya antara 1-3 jam dan sebagian
besar akan terikat protein plasma. Simvastatin akan diekskresi
sebagian besar melalui hati ke dalam cairan empedu dan sebagian
kecil melalui ginjal (American Food and Drug Association, 2011).

Gambar 1. Mekanisme kerja simvastatin


Dosis adalah takaran obat yang menimbulkan efek farmakologi (khasiat) yang
tepat dan aman bila dikonsumsi oleh pasien. Adapun jenis jenis dosis, antara lain
dosis toksik, dosis terapi, dan dosis subterapi.
1. Dosis terapi

Dosis terapi adalah dosis yang diberikan dalam keadaan biasa yang dapat
menyembuhkan pasien. Dosis terapi dipengaruhi oleh umur, berat badan, jenis
kelamin, waktu (saat) pemberian obat, dan cara pemberian obat.
2. Dosis toksik
Dosis toksik adalah takaran dosis yang apabila diberikan dalam keadaan
biasa dapat menimbulkan keracunan pada pasien. Takaran obat yang diberikan
melebihi dosis maksimum. Dosis maksimum sendiri adalah takaran dosis tertinggi
yang masih boleh diberikan kepada pasien dan tidak menimbulkan keracunan.
Apabila takaran melebihi dosis toksik maka akan menyebabkan efek letal (kematian).
3. Dosis Subterapi
Dosis subterapi adalah tindakan pemberian dosis yang dikurangi dari dosis
yang seharusnya atau pemberian dosis obat yang lebih rendah pada kasus spesifik
atau lama pengobatan yang terlalu pendek. Dosis supraterapi merupakan kebalikan
dari dosis subterapi. Dosis tersebut dapat menyebabkan resiko akumulasi obat yang
disebabkan karena dosis yang diberikan terlalu tinggi atau frekuensi pemberian obat
yang berulang-ulang.
Obat dalam dosis yang tepat adalah obat yang diberikan di antara batas dosis
efektif minimal (dosis yang sudah mampu menimbulkan efek farmakologis) dengan
batas toksik minimal. Kalau kadar dosis obat berada di antara keduanya, yaitu MEC
(Minimum Effective Concentration) dengan batas toksik minimal, maka obat akan
menumjukkan efek simptomatis dan farmakologis yang diinginkan. Akan tetapi,
apabila dosis yang diberikan berada di bawah MEC (dosis subterapi), obat tidak akan
menunjukkan efek atau respon apapun, dan bila berada di atasnya dapat memberikan
respon toksik.
Kesalahan yang terjadi dalam pemberian dosis dapat mengakibatkan obat
menjadi toksik dikarenakan kadar obat bebas dalam plasma banyak, ataupun
penurunan efektifitas dari suatu obat karena dosis yang terlalu rendah. Dalam
beberapa kasus, juga ditemukan adanya resistensi, yaitu suatu kondisi di mana
seseorang sudah tidak mendapatkan efek terapeutik lagi dari suatu obat.

Walaupun obat sudah diberikan dalam dosis yang tepat, kadang kadang
masih terjadi efek yang tidak diinginkan atau efek samping. Salah satu penyebab
terjadinya efek samping adalah adanya mekanisme interaksi obat. Adapun macam
macam interaksi tersebut adalah :
1. Interaksi obat dengan obat lain
Peristiwa interaksi obat terjadi sebagai akibat penggunaan bersama-sama
dua macam obat atau lebih. Interaksi ini dapat menghasilkan efek yang
menguntungkan, tetapi sebaliknya juga dapat menimbulkan efek yang
merugikan atau membahayakan. Meningkatnya kejadian interaksi obat
dengan efek yang tidak diinginkan adalah akibat makin banyaknya dan
makin seringnya penggunaan apa yang dinamakan polypharmacy atau
multiple drug therapy. Inilah yang terjadi dalam skenario ke-3 ini, di mana
pemakaian simvastatin bersama - sama dengan immunosupresan,
itrakonazol, gemfibrozil, niasin dan eritromisin dapat menyebabkan
peningkatan pada gangguan otot skelet (rabdomiolisis dan miopati).
2. Interaksi obat dengan makanan
Pada prinsipnya interaksi obat dengan makanan dapat menyebabkan dua
hal penting :
a. Interaksi di mana makanan atau minuman dapat mengurangi atau
bahkan menghilangkan khasiat atau manfaat obat, baik melalui
penghambatan

penyerapannya

atau

dengan

mempengaruhi

metabolisme atau distribusi obat tersebut didalam tubuh.


Contohnya terdapat pada jus jeruk yang menghambat enzim yang
terlibat dalam metabolisme obat sehingga mengintensifkan
pengaruh obat-obatan tertentu. Peningkatan pengaruh obat
mungkin kelihatannya baik, padahal tidak. Jika obat diserap lebih
dari yang diharapkan, obat tersebut akan memiliki efek berlebihan.
Misalnya, obat untuk membantu mengurangi tekanan darah bisa
menurunkan tekanan darah terlalu jauh. Konsumsi jus jeruk pada
saat yang sama dengan obat penurun kolesterol seperti simvastatin

dan gemfibrozil juga meningkatkan penyerapan bahan aktifnya dan


menyebabkan kerusakan otot yang parah. Jeruk yang dimakan
secara bersamaan dengan obat anti-inflamasi atau aspirin juga
dapat memicu rasa panas dan asam di perut.
b. Interaksi obat dapat menyebabkan gangguan atau masalah
kesehatan yang serius, karena meningkatnya efek samping dari
obat-obat tertentu akibat dari terjadinya peningkatan kadar obat
dalam darah.
3. Interaksi obat dengan penyakit
Acuan medis seringkali mengacu pada interaksi obat dan penyakit sebagai
kontraindikasi relatif terhadap pengobatan. Kontraindikasi mutlak
merupakan resiko, pengobatan penyakit tertentu kurang secara jelas
mempertimbangkan manfaat terhadap pasiennya. Pada tipe interaksi ini,
ada obat-obat yang dikontraindikasikan pada penyakit tertentu yang
diderita oleh pasien. Misalnya pada kelainan fungsi hati dan ginjal, pada
wanita hamil ataupun ibu yang sedang menyusui. Contohnya pada wanita
hamil terutama pada trimester pertama jangan diberikan obat golongan
benzodiazepin dan barbiturat karena akan menyebabkan teratogenik yang
berupa phocomelia juga untuk pemberian NSAID pada pasien riwayat
tukak lambung.
4. Interaksi obat dengan pemeriksaan laboratorium
Interaksi obat dengan tes laboratorium dapat mengubah akurasi diagnostik
tes sehingga dapat terjadi positif palsu atau negatif palsu. Hal ini dapat
terjadi karena interferensi kimiawi. Misalnya pada pemakaian laksativ
golongan antraquinon dapat menyebabkan tes urin pada uribilinogen tidak
akurat atau dengan perubahan zat yang dapat diukur contohnya perubahan
tes tiroid yang disesuaikan dengan terapi estrogen.
Reaksi obat yang tidak dikehendaki didefinisikan sebagai respon terhadap
suatu obat yang berbahaya dan tidak diharapkan serta terjadi pada dosis lazim yang
dipakai oleh manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis maupun terapi. Reaksi obat

yang tidak dikehendaki ini dapat berupa kontraindikasi maupun efek samping obat
(adverse drug reactions). Reaksi obat yang tidak dikehendaki ini dapat muncul baik
dari faktor tenaga kesehatan, kondisi pasien, maupun obat itu sendiri.
Dalam skenario ini muncul reaksi obat yang tidak diinginkan sebagai dampak
dari pemakaian obat yang tidak benar, yaitu pemakaian simvastatin bersama dengan
gemfibrozil dengan dosis yang tidak sesuai dengan petunjuk dokter. Hal ini terjadi
akibat adanya interaksi antara kedua obat tersebut. Ketika simvastatin dikonsumsi
bersama gemfibrozil, akan terjadi interaksi yang menyebabkan peningkatan kreatin
fosfokinase dan terjadi kompetisi/inhibisi CYP3A/4. Selain itu, gemfibrozil sendiri
bekerja dengan menghambat glukoronidase statin di hati yang menyebabkan
eliminasi statin terhambat pula. Hal-hal tersebut yang menyebabkan peningkatan
kadar statin di plasma yang nantinya bisa menimbulkan gangguan, seperti miopati
dan rabdomiolisis yang bisa berlanjut ke mioglobinuria dan gagal ginjal, serta
berujung pada kematian (Katzung,2005).
Pada saat ini, banyak dikembangangkan terobosan farmakologi terbaru yang
bernama farmakogenetik. Dalam farmakogenetik akan dipelajari keanekaragaman
respon obat yang dipengaruhi oleh berbagai faktor genetik. Di samping itu, juga
dipelajari farmakogenomik atau pembuatan obat berdasarkan teknologi genomik
manusia dengan berbagai variasi. Tujuan pembelajaran farmakogenetik dan
farmakogenomik adalah untuk melakukan upaya pencegahan respon obat yang buruk
terhadap seseorang dan untuk mempelajari adanya perbedaan antar kelompok etnik
dalam hal respon terhadap obat.
Dalam kaitannya dengan kasus skenario ini, ada tiga contoh polimorfisme
genetik yang dapat dikaitkan dengan muculnya efek samping berupa miopati, yaitu:
1. CYP3A4*1B ( 392A>G, rs2740574), yang terjadi pada 2-9 % populasi
orang kulit putih, dan lebih tinggi pada orang Afrika. SNPs ini
dikaitkan

dengan

lambatnya

metabolisme

obat

statin

yang

diasosiasikan dengan tingkat kanker prostat yang lebih tinggi dan


aktivitas nifedipine-oxidase yang lebih tinggi di hati.

2. CYP3A4*22 (intron 6 variant rs35599367C>T), yang tidak berkaitan


dengan jenis kelamin dan variabel lain. SNPs jenis ini akan
memperlambat atau mengurangi aktivitas CYP3A4, sehingga akan
menurunkan respon simvastatin dalam menurunkan lemak.
3. Simvastatin-2-hydroxylation in carriers of PPAR- SNP rs4253728,
yang akan menghambat kinerja gemfibrozil dan simvastatin melalui
pengurangan tingkat ekspresi CYP3A4 hingga melebihi 50% (Klein
dan Zanger, 2013).
Selain faktor genetik, berbagai studi pada hewan dan manusia juga
menunjukkan bahwa jenis kelamin berpengaruh dalam memberikan respon biologis
yang berbeda terhadap obat-obatan. Terdapat perbedaan perbedaan fisiologis yang
mendasar dalam absorbsi, metabolisme, distribusi, dan eksresi obat-obatan pada pria
dan wanita. Hormon seks seperti estrogen, progesteron, dan testosteron agaknya tidak
hanya berpengaruh pada sistem reproduksi, tetapi juga bertanggung jawab pada
peningkatan sensitivitas terhadap berbagai obat pada wanita.
Bukti terdapat perbedaan respon pada gender yang berbeda dalam penggunaan
obat melibatkan uji skala luas terhadap digoksin, obat yang digunakan untuk
mengobati penyakit jantung. Studi tersebut menemukan bahwa digoksin bermanfaat
bagi pria, namun tidak bagi wanita. Contoh lain adalah 75% dari 311 pasien yang
melaporkan efek samping dari SSRI (antidepresan yang sering diresepkan) adalah
wanita.
Selama terapi dengan simvastatin maupun gemfibrozil harus dilakukan
pemeriksaan kolesterol secara periodik. Pada pasien yang mengalami peningkatan
kadar transaminase serum, perhatian khusus berupa pengukuran kadar transaminase
harus dilakukan secara teratur. Jika terjadi peningkatan yang menetap (hingga 3 kali
atau lebih dari batas normal atas), pengobatan harus segera dihentikan. Selain itu,
dianjurkan melakukan tes fungsi hati sebelum pengobatan dimulai, 6 dan 12 minggu
setelah pengobatan pertama, serta dilakukan berikutnya secara periodik (misalnya
secara semi-anual).

Terapi simvastatin meupun gemfibrozil harus dihentikan sementara atau tidak


dilanjutkan pada penderita dengan miopati akut dan parah atau pada penderita dengan
resiko kegagalan ginjal sekunder karena rabdomiolisis atau terjadi kenaikan kreatinin
fosfokinase (CPK), sebagaimana yang dianjurkan oleh dokter dalam skenario ketiga
ini. Hal ini dilakukan untuk mencegah munculnya resiko komplikasi obat yang lebih
parah dan membahayakan.

BAB III
KESIMPULAN

Dari diskusi tutorial kali ini, dapat diambil kesimpulan bahwa

BAB IV
SARAN

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai