SALAH OBAT
KELOMPOK X
BIAS HERKAWENTAR
I WAYAN RENDI AWENDIKA
IMASARI ARYANI
JEVI IRGIYANI
MAULIDA NARULITA
MEGA HASENDA
MUHAMMAD TAUFIQ HIDAYAT
STEFANUS ERDANA PUTRA
TARANIDA HANIFAH
TITA NUR ALFINDA
VICTORIA HUSADANI PERMATA SARI
YANI DWI PRATIWI
G 0013061
G 0013115
G 0013117
G 0013125
G 0013151
G 0013153
G 0013163
G 0013221
G 0013223
G 0013225
G 0013229
G 0013237
Seorang laki laki berusia 45 tahun datang ke dokter dengan keluhan : nyeri
otot pada kedua kaki sekitar 4 jam setelah minum obat simvastatin dan gemfibrozil
bersama sama, tanpa mengindahkan dosis yang dianjurkan oleh dokter. Istrinya
beberapa bulan yang lalu meminum obat yang sama yang sesuai dengan anjuran
dokter dan tidak ada keluhan apa apa. Oleh dokter, pasien diminta untuk
menghentikan sementara kedua obat tersebut. Dokter kemudian melakukan
pemeriksaan fungsi ginjal dan liver.
BAB II
DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA
A. Langkah I: Membaca skenario dan memahami pengertian beberapa istilah dalam
skenario
Dalam skenario ketiga ini kami mengklarifikasi beberapa istilah sebagai
berikut:
1.
B. Langkah II: Menentukan/ mendefinisikan permasalahan
Permasalahan pada skenario Salah Obat antara lain:
1.
C. Langkah III: Menganalisis permasalahan dan membuat pertanyaan sementara
mengenai permasalahan (tersebut dalam langkah II)
1.
D. Langkah IV: Menginventarisasi permasalahan secara sistematis dan pernyataan
sementara mengenai permasalahan pada langkah III
E. Langkah V: Merumuskan tujuan pembelajaran
Tujuan pembelajaran (learning objectives) pada skenario ini adalah
1.
F. Langkah VI: Mengumpulkan informasi baru
Masing-masing anggota kelompok kami telah mencari sumber sumber
ilmiah dari beberapa buku referensi maupun akses internet yang sesuai dengan topik
diskusi tutorial ini secara mandiri untuk disampaikan dalam pertemuan berikutnya.
G. Langkah VII: Melaporkan, membahas, dan menata kembali informasi baru yang
diperoleh
Dalam skenario ketiga ini, disebutkan adanya dua macam obat yang
digunakan bersama sama, yaitu simvastatin dan gemfibrozil. Kedua obat tersebut
memiliki
aspek
farmakokinetik,
farmakodinamik,
serta
indikasi
dan
memiliki waktu paruh 1,1 jam. Obat ini akan diekskresikan melalui
urin (60% dalam bentuk glukoronid) dan tinja (25%).
2. Simvastatin termasuk dalam golongan statin. Obat ini bekerja dengan cara
menghambat secara kompetitif enzim HMG Co-A reduktase, yakni enzim
pada sintesis kolesterol, terutama dalam hati. Obat golongan statin ini lebih
efektif dibanding resin penukar anion dalam menurunkan kolesterol-LDL
tetapi kurang efektif dibanding kelompok fibrat dalam menurunkan kadar
trigliserida dan meningkatkan kolesterol-HDL. Statin telah terbukti dapat
mengurangi kejadian jantung koroner, semua kejadian kardiovaskuler pada
pasien dengan umur sampai dengan 70 tahun dengan penyakit jantung
koroner (riwayat angina atau infark miokard akut) dan dengan kolesterol
plasma 5,5 mmol/l atau lebih.
a. Indikasi : terapi pada dislipidemia atau pencegahan primer pada
penyakit kardiovaskuler (aterosklerosis), yaitu:
Pencegahan primer pada penyakit kardiovaskuler (high risk CVD):
untuk mengurangi resiko MI atau stroke pada pasien tanpa penyakit
hati yang mempunyai faktor resiko berlipat atau diabetes tipe-2.
Terapi pada dislipidemia: untuk mengurangi peningkatan kolesterol
total, kolesterol-LDL, apoliporotein B, trigliserida, dan untuk
meningkatkan kolesterol-HDL pada dislipidemia Frederickson tipe
IIa, IIb, III, dan IV, serta pada hiperkolesterolemia turunan
homozigot.
Terapi pada hiperkolesterolemia turunan heterozigot pada pasien
remaja (10-17 tahun) yang mempunyai kolesterol-LDL 190 mg/dl
atau 160 mg/dl dengan riwayat keluarga positif beresiko CVD.
b. Kontraindikasi : hipersensitif terhadap simvastatin atau komponen
lain yang terdapat dalam formula, penyakit hati aktif, atau kenaikan
serum transaminase >3x batas normal tertinggi, kehamilan (faktor
resiko: X), dan menyusui (simvastatin diekskresi lewat air susu).
c. Farmakodinamik : simvastatin memiliki active form yang hampir
sama dengan normal-HMG Co-A reduced intermediate (struktur
yang akan menjadi prekursor mevalonat, yang sangat penting dalam
sintesis kolesterol), akibatnya SREBP (Sterol Regulatory Elements
Binding Protein) pada membran akan dipecah oleh protease dan
Dosis terapi adalah dosis yang diberikan dalam keadaan biasa yang dapat
menyembuhkan pasien. Dosis terapi dipengaruhi oleh umur, berat badan, jenis
kelamin, waktu (saat) pemberian obat, dan cara pemberian obat.
2. Dosis toksik
Dosis toksik adalah takaran dosis yang apabila diberikan dalam keadaan
biasa dapat menimbulkan keracunan pada pasien. Takaran obat yang diberikan
melebihi dosis maksimum. Dosis maksimum sendiri adalah takaran dosis tertinggi
yang masih boleh diberikan kepada pasien dan tidak menimbulkan keracunan.
Apabila takaran melebihi dosis toksik maka akan menyebabkan efek letal (kematian).
3. Dosis Subterapi
Dosis subterapi adalah tindakan pemberian dosis yang dikurangi dari dosis
yang seharusnya atau pemberian dosis obat yang lebih rendah pada kasus spesifik
atau lama pengobatan yang terlalu pendek. Dosis supraterapi merupakan kebalikan
dari dosis subterapi. Dosis tersebut dapat menyebabkan resiko akumulasi obat yang
disebabkan karena dosis yang diberikan terlalu tinggi atau frekuensi pemberian obat
yang berulang-ulang.
Obat dalam dosis yang tepat adalah obat yang diberikan di antara batas dosis
efektif minimal (dosis yang sudah mampu menimbulkan efek farmakologis) dengan
batas toksik minimal. Kalau kadar dosis obat berada di antara keduanya, yaitu MEC
(Minimum Effective Concentration) dengan batas toksik minimal, maka obat akan
menumjukkan efek simptomatis dan farmakologis yang diinginkan. Akan tetapi,
apabila dosis yang diberikan berada di bawah MEC (dosis subterapi), obat tidak akan
menunjukkan efek atau respon apapun, dan bila berada di atasnya dapat memberikan
respon toksik.
Kesalahan yang terjadi dalam pemberian dosis dapat mengakibatkan obat
menjadi toksik dikarenakan kadar obat bebas dalam plasma banyak, ataupun
penurunan efektifitas dari suatu obat karena dosis yang terlalu rendah. Dalam
beberapa kasus, juga ditemukan adanya resistensi, yaitu suatu kondisi di mana
seseorang sudah tidak mendapatkan efek terapeutik lagi dari suatu obat.
Walaupun obat sudah diberikan dalam dosis yang tepat, kadang kadang
masih terjadi efek yang tidak diinginkan atau efek samping. Salah satu penyebab
terjadinya efek samping adalah adanya mekanisme interaksi obat. Adapun macam
macam interaksi tersebut adalah :
1. Interaksi obat dengan obat lain
Peristiwa interaksi obat terjadi sebagai akibat penggunaan bersama-sama
dua macam obat atau lebih. Interaksi ini dapat menghasilkan efek yang
menguntungkan, tetapi sebaliknya juga dapat menimbulkan efek yang
merugikan atau membahayakan. Meningkatnya kejadian interaksi obat
dengan efek yang tidak diinginkan adalah akibat makin banyaknya dan
makin seringnya penggunaan apa yang dinamakan polypharmacy atau
multiple drug therapy. Inilah yang terjadi dalam skenario ke-3 ini, di mana
pemakaian simvastatin bersama - sama dengan immunosupresan,
itrakonazol, gemfibrozil, niasin dan eritromisin dapat menyebabkan
peningkatan pada gangguan otot skelet (rabdomiolisis dan miopati).
2. Interaksi obat dengan makanan
Pada prinsipnya interaksi obat dengan makanan dapat menyebabkan dua
hal penting :
a. Interaksi di mana makanan atau minuman dapat mengurangi atau
bahkan menghilangkan khasiat atau manfaat obat, baik melalui
penghambatan
penyerapannya
atau
dengan
mempengaruhi
yang tidak dikehendaki ini dapat berupa kontraindikasi maupun efek samping obat
(adverse drug reactions). Reaksi obat yang tidak dikehendaki ini dapat muncul baik
dari faktor tenaga kesehatan, kondisi pasien, maupun obat itu sendiri.
Dalam skenario ini muncul reaksi obat yang tidak diinginkan sebagai dampak
dari pemakaian obat yang tidak benar, yaitu pemakaian simvastatin bersama dengan
gemfibrozil dengan dosis yang tidak sesuai dengan petunjuk dokter. Hal ini terjadi
akibat adanya interaksi antara kedua obat tersebut. Ketika simvastatin dikonsumsi
bersama gemfibrozil, akan terjadi interaksi yang menyebabkan peningkatan kreatin
fosfokinase dan terjadi kompetisi/inhibisi CYP3A/4. Selain itu, gemfibrozil sendiri
bekerja dengan menghambat glukoronidase statin di hati yang menyebabkan
eliminasi statin terhambat pula. Hal-hal tersebut yang menyebabkan peningkatan
kadar statin di plasma yang nantinya bisa menimbulkan gangguan, seperti miopati
dan rabdomiolisis yang bisa berlanjut ke mioglobinuria dan gagal ginjal, serta
berujung pada kematian (Katzung,2005).
Pada saat ini, banyak dikembangangkan terobosan farmakologi terbaru yang
bernama farmakogenetik. Dalam farmakogenetik akan dipelajari keanekaragaman
respon obat yang dipengaruhi oleh berbagai faktor genetik. Di samping itu, juga
dipelajari farmakogenomik atau pembuatan obat berdasarkan teknologi genomik
manusia dengan berbagai variasi. Tujuan pembelajaran farmakogenetik dan
farmakogenomik adalah untuk melakukan upaya pencegahan respon obat yang buruk
terhadap seseorang dan untuk mempelajari adanya perbedaan antar kelompok etnik
dalam hal respon terhadap obat.
Dalam kaitannya dengan kasus skenario ini, ada tiga contoh polimorfisme
genetik yang dapat dikaitkan dengan muculnya efek samping berupa miopati, yaitu:
1. CYP3A4*1B ( 392A>G, rs2740574), yang terjadi pada 2-9 % populasi
orang kulit putih, dan lebih tinggi pada orang Afrika. SNPs ini
dikaitkan
dengan
lambatnya
metabolisme
obat
statin
yang
BAB III
KESIMPULAN
BAB IV
SARAN
DAFTAR PUSTAKA