Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kematian ibu dan perinatal merupakan tolok ukur kemampuan pelayanan kesehatan

suatu negara. Diantara negara ASEAN, Indonesia yang tergolong negara sedang berkembang,

mempunyai kontribusi angka kematian maternal sebesar 390/100.000 dan angka kematian

perinatal 400/100.000 persalinan hidup.

Di Indonesia, preeklampsia dan eklampsia merupakan salah satu penyebab utama dari

tingginya kematian maternal dan perinatal selain perdarahan dan infeksi. Kasus preeklampsia

terjadi sekitar 30 – 40% menyebabkan kematian ibu dan 30 – 50% menyebabkan kematian

perinatal (Yusmardi, 2010).

Preeklampsia adalah kelainan malfungsi endotel pembuluh darah atau vaskular

sehingga terjadi vasospasme setelah usia kehamilan 20 minggu, mengakibatkan

terjadinya penurunan perfusi organ dan pengaktifan endotel yang menimbulkan

terjadinya hipertensi, edema nondependen, dan dijumpai proteinuria 300 mg per 24

jam atau 30 mg/dl (+1 pada dipstick) dengan nilai sangat fluktuatif saat pengambilan

urin sewaktu (Brooks MD, 2011). Akibat gejala preeklampsia, proses kehamilan

maternal terganggu karena terjadi perubahan patologis pada sistem organ. Penurunan

aliran darah ke plasenta mengakibatkan gangguan fungsi plasenta. Hal ini

mengakibatkan hipovolemia, vasospasme, penurunan perfusi uteroplasenta, dan

kerusakan sel endotel pembuluh darah plasenta sehingga mortalitas janin meningkat,

yang bisa berakibat janin mengalami IUGR maupun oligohidroamnion (Sarwono

Prawirohardjo, 2009).

Komplikasi yang timbul akibat preeklampsi mempengaruhi baik ibu maupun janin.

Salah satu komplikasi yang dapat timbul pada ibu adalah edema paru. Komplikasi edema paru

1
didapatkan sebanyak 3% dari seluruh komplikasi preeklampsia berat. Edema paru akut

adalah akumulasi cairan di paru-paru yang terjadi secara mendadak. Hal ini dapat disebabkan

oleh tekanan intravaskular yang tinggi (edema paru kardia) atau karena peningkatan

permeabilitas membran kapiler (edema paru non kardiak) yang mengakibatkan terjadinya

ekstravasasi cairan secara cepat sehingga terjadi gangguan pertukaran udara di alveoli secara

progresif dan mengakibatkan hipoksia. Pada sebagian besar edema paru secara klinis

mempunyai kedua aspek tersebut di atas, sebab sangat sulit terjadi gangguan permeabilitas

tanpa adanya gangguan pada mikrosirkulasi atau sebaliknya. Walaupun demikian penting

sekali untuk menetapkan faktor mana yang dominan dari kedua mekanisme tersebut sebagai

pedoman pengobatan. Edema paru akut adalah suatu keadaan gawat darurat dengan tingkat

mortalitas yang masih tinggi (Harun dan Sally, 2009).

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Preeklampsia

Salah satu gambaran khas pada preeklampsia adalah implantasi plasenta yang

abnormal. Dalam kehamilan normal, sel sitotrofoblas akan menginvasi dinding

uterus, mencapai arteri desidualis dan akan berinteraksi dengan endothel.

Interaksi ini akan menyebabkan resistensi arteri desidualis menjadi rendah. Pada

preeklampsia invasi ini menjadi dangkal dan terjadi gangguan interaksi antara

endotel dan sitotrofoblas. Arteri spiralis menjadi tetap konstriksi, sehingga tidak

mampu mensuplai nutrisi dan oksigen yang cukup ke plasenta dan fetus.

Akibatnya plasenta akan melepaskan zat vasoaktif yang menyebakan disfungsi

endotel pada pembuluh darah ibu yang mana akan lebih lanjut mengganggu aliran

darah plasenta. Kadar zat vasokonstriktor, marker stress oksidatif dan sitokin pro

inflamasi akan meningkat, sebaliknya kadar vasodilator seperti NO dan

prostasiklin akan menurun (Stoelting et al., 2012)

1. Definisi Preeklampsia

Preeklampsia adalah kelainan malafungsi endotel pembuluh darah atau

vaskular yang menyebar luas sehingga terjadi vasospasme setelah usia kehamilan

20 minggu, mengakibatkan terjadinya penurunan perfusi organ dan pengaktifan

endotel yang menimbulkan terjadinya hipertensi, edema nondependen, dan

dijumpai proteinuria 300 mg per 24 jam atau 30 mg/dl (+1 pada dipstick) dengan

nilai sangat fluktuatif saat pengambilan urin sewaktu (Brooks MD, 2011).

3
2. Klasifikasi Preeklampsia

Dari berbagai gejala, preeklampsia dibagi menjadi preeklampsia ringan dan

preeklampsia berat.

a. Preeklampsia ringan :

1) Hipertensi dengan sistolik/diastolik > 140/90 mmHg, sedikitnya enam

jam pada dua kali pemeriksaan tanpa kerusakan organ.

2) Proteinuria > 300 mg/24 jam atau > 1 + dipstik.

3) Edema generalisata yaitu pada lengan, muka, dan perut.

b. Preeklampsia berat :

Preeklampsia berat dibagi menjadi : preeklampsia berat tanpa

impending eclampsia dan preeklampsia berat dengan impending eclampsia.

Adapun kriteria preeklampsia berat :

1) Tekanan darah sistolik/diastolik > 159/110 mmHg sedikitnya enam jam

pada dua kali pemeriksaan. Tekanan darah ini tidak menurun meskipun

ibu hamil sudah dirawat di rumah sakit dan telah menjalani tirah

baring.

2) Proteinuria > 5 gram/24 jam atau > 3 + dipstik pada sampel urin

sewaktu yang dikumpulkan paling sedikit empat jam sekali.

3) Oliguria < 400 ml / 24 jam.

4) Kenaikan kadar kreatinin plasma > 1,2 mg/dl.


5) Gangguan visus dan serebral : penurunan kesadaran, nyeri kepala
persisten, skotoma, dan pandangan kabur.
6) Nyeri epigastrium pada kuadran kanan atas abdomen akibat
teregangnya kapsula glisson.
7) Edema paru dan sianosis.
4
8) Hemolisis mikroangipatik karena meningkatnya enzim laktat
dehidrogenase.
9) Trombositopenia ( trombosit < 100.000 mm3).
10) Oligohidroamnion, pertumbuhan janin terhambat, dan abrupsio
plasenta.
11) Gangguan fungsi hepar karena peningkatan kadar enzim ALT dan AST
(William Obstetric, 2010).

3. Faktor yang berperan pada preeklampsia

Etiologi terjadinya preeklampsia hingga saat ini belum diketahui secara pasti.

Terdapat banyak teori yang ingin menjelaskan tentang penyebab preeklampsia

tetapi tidak ada yang memberikan jawaban yang pasti. Namun, ada beberapa

faktor yang berperan, yaitu:

a. Peran Prostasiklin dan Tromboksan

Pada preeklampsia dijumpai kerusakan pada endotel vaskuler,

sehingga sekresi vasodilatator prostasiklin oleh sel-sel endotelial plasenta

berkurang, sedangkan pada kehamilan normal, prostasiklin meningkat. Sekresi

tromboksan oleh trombosit bertambah sehingga timbul vasokonstriksi

generalisata dan sekresi aldosteron menurun. Perubahan aktivitas tromboksan

memegang peranan sentral terhadap ketidakseimbangan prostasiklin dan

tromboksan.Hal ini mengakibatkan pengurangan perfusi plasenta sebanyak

50%, hipertensi, dan penurunan volume plasma (William Obstetric, 2010).

b. Peran Faktor Imunologis

Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama karena pada

kehamilan pertama terjadi pembentukan blocking antibodies terhadap antigen

5
plasenta tidak sempurna. Pada preeklampsia terjadi kompleks imun humoral

dan aktivasi komplemen. Hal ini dapat diikuti dengan terjadinya pembentukan

proteinuria (William Obstetric, 2010).

c. Peran Faktor Genetik

Bukti yang mendukung berperannya faktor genetik pada penderita

preeklampsia adalah peningkatan Human leukocyte antigen (HLA). Menurut

beberapa peneliti,wanita hamil yang mempunyai HLA dengan haplotipe A

23/29, B 44 dan DR 7 memiliki resiko lebih tinggi menderita preeklampsia

dan pertumbuhan janin terhambat (William Obstetric, 2010).

d. Disfungsi endotel

Kerusakan sel endotel vaskuler maternal memiliki peranan pada

terjadinya preeklampsia. Kerusakan endotel vaskular pada preeklampsia dapat

menyebabkan penurunan produksi prostasiklin, peningkatan aktivitas agregasi

trombosit dan fibrinolisis, kemudian diganti oleh trombin dan plasmin.

Trombin akan mengkonsumsi antitrombin III sehingga terjadi deposit fibrin.

Aktivitas trombosit menyebabkan pelepasan tromboksan A2 dan serotonin

sehingga terjadi vasospasme dan kerusakan endotel (William Obstetric, 2010).

4. Gejala dan tanda Preeklampsia

6
Gejala dan tandanya dapat berupa :

a. Hipertensi

Hipertensi merupakan kriteria paling penting dalam diagnosa penyakit

preeklampsia. Hipertensi ini sering terjadi sangat tiba-tiba. Banyak

primigravida dengan usia muda memiliki tekanan darah sekitar 100-110/60-70

mmHg selama trimester kedua. Peningkatan diastolik sebesar 15 mmHg atau

peningkatan sistolik sebesar 30 mmHg harus dipertimbangkan (William

obstetrics, 2010).

b. Hasil pemeriksaan laboratorium

Proteinuria merupakan gejala terakhir timbul. Proteinuria berarti

konsentrasi protein dalam urin yang melebihi 0,3 gr/liter dalam urin 24 jam

atau pemeriksaan kualitatif menunjukan (+1 sampai 2+ dengan metode

dipstik) atau > 1 gr/liter melalui proses urinalisis dengan menggunakan kateter

atau midstream yang diambil urin sewaktu minimal dua kali dengan jarak

waktu 6 jam.

Hemoglobin dan hematokrit meningkat akibat hemokonsentrasi.

Trombositopenia biasanya terjadi. Terjadi peningkatan FDP, fibronektin dan

penurunan antitrombin III. Asam urat biasanya meningkat diatas 6 mg/dl.

Kreatinin serum biasanya normal tetapi bisa meningkat pada preeklampsia

berat. Alkalin fosfatase meningkat hingga 2-3 kali lipat. Laktat dehidrogenase

bisa sedikit meningkat dikarenakan hemolisis. Glukosa darah dan elektrolit

pada pasien preeklampsia biasanya dalam batas normal. Urinalisis ditemukan

proteinuria dan beberapa kasus ditemukan hyaline cast.

7
c. Edema

Edema pada kehamilan normal dapat ditemukan edema dependen,

tetapi jika terdapat edema independen yang djumpai di tangan dan wajah yang

meningkat saat bangun pagi merupakan edema yang patologis. Kriteria edema

lain dari pemeriksaan fisik yaitu: penambahan berat badan > 2 pon/minggu

dan penumpukan cairan didalam jaringan secara generalisata yang disebut

pitting edema > +1 setelah tirah baring 1 jam.

4. Akibat Preeklampsia pada ibu

Akibat gejala preeklampsia, proses kehamilan maternal terganggu karena

terjadi perubahan patologis pada sistem organ, yaitu :

a. Jantung

Perubahan pada jantung disebabkan oleh peningkatan cardiac

afterload akibat hipertensi dan aktivasi endotel sehingga terjadi ekstravasasi

cairan intravaskular ke ekstraselular terutama paru. Terjadi penurunan cardiac

preload akibat hipovolemia.

b. Otak

Tekanan darah yang tinggi dapat menyebabkan autoregulasi tidak

berfungsi. Jika autoregulasi tidak berfungsi, plasma dan sel-sel darah merah

keluar ke ruang ekstravaskular.

c. Mata

Pada preeklampsia tampak edema retina, spasme menyeluruh pada satu

atau beberapa arteri, jarang terjadi perdarahan atau eksudat. Spasme arteri

8
retina yang nyata dapat menunjukkan adanya preeklampsia yang berat, tetapi

bukan berarti spasme yang ringan adalah preeklampsia yang ringan.

Skotoma, diplopia dan ambliopia pada penderita preeklampsia

merupakan gejala yang menunjukan akan terjadinya eklampsia. Keadaan ini

disebabkan oleh perubahan aliran darah pada pusat penglihatan di korteks

serebri maupun didalam retina.

d. Paru

Edema paru biasanya terjadi pada pasien preeklampsia berat yang

mengalami kelainan pulmonal maupun non-pulmonal setelah proses

persalinan. Hal ini terjadi karena peningkatan cairan yang sangat banyak,

penurunan tekanan onkotik koloid plasma akibat proteinuria, penggunaan

kristaloid sebagai pengganti darah yang hilang, dan penurunan albumin yang

diproduksi oleh hati.

e. Hati

Pada preeklampsia berat terdapat perubahan fungsi dan integritas

hepar, perlambatan ekskresi bromosulfoftalein, dan peningkatan kadar

aspartat aminotransferase serum. Sebagian besar peningkatan fosfatase alkali

serum disebabkan oleh fosfatase alkali tahan panas yang berasal dari plasenta.

Pada penelitian yang dilakukan Oosterhof dkk, dengan menggunakan

sonografi Doppler pada 37 wanita preeklampsia, terdapat resistensi arteri

hepatika.

Nekrosis hemoragik periporta di bagian perifer lobulus hepar

menyebabkan terjadinya peningkatan enzim hati didalam serum. Perdarahan


9
pada lesi ini dapat mengakibatkan ruptur hepatika, menyebar di bawah kapsul

hepar dan membentuk hematom subcapsular.

Hipoalbuminemia terjadi akibat proteinuria dan pada beberapa kasus

karena gangguan sintesis pada liver sehingga menimbulkan penurunan tekanan

onkotik plasma. Gangguan pada endotel dan penurunan tekanan onkotik akan

menyebabkan keluarnya cairan ke rongga ketiga dan kehilangan cairan

intravaskular.

f. Ginjal

Lesi khas pada ginjal pasien preeklampsia terutama

glomeruloendoteliosis, yaitu pembengkakan dari kapiler endotel glomerular

yang menyebabkan penurunan perfusi dan laju filtrasi ginjal. Konsentrasi

asam urat plasma biasanya meningkat terutama pada preeklampsia berat. Pada

sebagian besar wanita hamil dengan preeklampsia, penurunan ringan sampai

sedang laju filtrasi glomerulus tampaknya terjadi akibat berkurangnya volume

plasma sehingga kadar kreatinin plasma hampir dua kali lipat dibandingkan

dengan kadar normal selama hamil (sekitar 0,5 ml/dl). Namun pada beberapa

kasus preeklampsia berat, kreatinin plasma meningkat beberapa kali lipat dari

nilai normal ibu tidak hamil atau berkisar hingga 2-3 mg/dl. Hal ini

disebabkan perubahan intrinsik ginjal akibat vasospasme yang hebat.

Kelainan pada ginjal biasanya dijumpai proteinuria akibat retensi

garam dan air. Retensi garam dan air terjadi karena penurunan laju filtrasi

natrium di glomerulus akibat spasme arteriol ginjal. Pada pasien preeklampsia

terjadi penurunan ekskresi kalsium melalui urin karena meningkatnya

reabsorpsi di tubulus.
10
Kelainan ginjal yang dapat dijumpai berupa glomerulopati, terjadi

karena peningkatan permeabilitas terhadap sebagian besar protein dengan

berat molekul tinggi, misalnya: hemoglobin, globulin, dan transferin. Protein –

protein molekul ini tidak dapat difiltrasi oleh glomerulus.

g. Darah

Kebanyakan pasien preeklampsia mengalami koagulasi intravaskular

(DIC) dan destruksi pada eritrosit. Trombositopenia merupakan kelainan yang

sangat sering, biasanya jumlahnya kurang dari 150.000/μl ditemukan pada 15

– 20 % pasien. Level fibrinogen meningkat pada pasien preeklampsia

dibandingkan dengan ibu hamil dengan tekanan darah normal. Jika ditemukan

level fibrinogen yang rendah pada pasien preeklampsia, biasanya berhubungan

dengan terlepasnya plasenta sebelum waktunya (placental abruption).

Pada 10 % pasien dengan preeklampsia berat dapat terjadi HELLP

syndrome yang ditandai dengan adanya anemia hemolitik, peningkatan enzim

hati dan jumlah platelet rendah.

h. Sistem Endokrin dan Metabolisme Air dan Elektrolit

Pada preeklampsia, sekresi renin oleh aparatus jukstaglomerulus

berkurang, proses sekresi aldosteron pun terhambat sehingga menurunkan

kadar aldosteron didalam darah.

11
Pada ibu hamil dengan preeklampsia kadar peptida natriuretik atrium

juga meningkat. Hal ini terjadi akibat ekspansi volume yang menyebabkan

peningkatan curah jantung dan penurunan resistensi vaskular perifer.

Pada pasien preeklampsia terjadi pergeseran cairan dari intravaskuler

ke interstisial yang disertai peningkatan hematokrit, protein serum, viskositas

darah dan penurunan volume plasma. Hal ini mengakibatkan aliran darah ke

jaringan berkurang dan terjadi hipoksia.

5. Akibat preeklampsia pada janin

Penurunan aliran darah ke plasenta mengakibatkan gangguan fungsi plasenta.

Hal ini mengakibatkan hipovolemia, vasospasme, penurunan perfusi uteroplasenta

dan kerusakan sel endotel pembuluh darah plasenta sehingga mortalitas janin

meningkat (Sarwono prawirohardjo, 2009). Dampak preeklampsia pada janin,

antara lain: Intrauterine growth restriction (IUGR) atau pertumbuhan janin

terhambat, oligohidramnion, prematur, bayi lahir rendah, dan solusio plasenta.

6. Penatalaksanaan Preeklampsia

Tujuan utama penanganan preeklampsia adalah mencegah terjadinya

eklampsia, melahirkan bayi tanpa asfiksia dengan skor APGAR baik, dan

mencegah mortalitas maternal dan perinatal.

Terapi definitif pada preeklampsia adalah dengan persalinan apabila

kehamilan sudah aterm, namun pada preeklampsia ringan dengan kehamilan yang

masih belum matur, maka penanganan konservatif dengan tirah baring dan

monitoring sampai usia kehamilan 37 minggu, atau bila ada penurunan kondisi ibu

atau janin.
12
Magnesium sulfat diberikan untuk pencegahan kejang, dan merupakan

antikejang pilihan karena jauh lebih efektif hingga 50% untuk pencegahan kejang

baru dan rekuren dibanding diazepam atau phenytoin. Belum diketahui

mekanisme pastinya. Beberapa dugaan meliputi : blokade kompetitif terhadap

reseptor NMDA, pencegahan masuknya ion kalsium kedalam sel iskemia, proteksi

sel endotel dari cedera akibat radikal bebas, dan vasodilatasi selektif pada

pembuluh darah serebral. Keuntungan lain adalah penurunan tekanan tahanan

vaskular sistemik dan peningkatan cardiac index. (Stoelting 2013).

Pada kasus hipertensi kronis, hipertensi berat selama persalinan dan

preeklampsia berat, terapi bertujuan untuk mencegah terjadinya abruptio placenta

dan pencegahan gangguan serebrovaskular yang berkontribusi sebesar 15-20%

kematian pada ibu, target tensi yang hendak dicapai adalah 160/110 (Stoelting

2013)

a. Sindroma HELLP

Sindroma ini merupakan penyulit yang bisa menyertai preeklampsia,

terdiri atas Hemolysis, peningkatan kadar enzim transaminase liver (Kadar

LDH >600, SGOT dan SGPT > 2x) dan penurunan kadar trombosit

(<100.000). 30% terjadi pada masa post partum. Terapi definitif adalah

melahirkan janin tanpa mempertimbangkan usia janin, pasien harus diberi

profilaksis kejang dengan MgSO4 dan perbaikan koagulopati.

b. Eklampsia

Adalah kejang atau koma yang terjadi pada pasien preeklampsia yang

tidak disebabkan oleh kondisi patologis yang lain. Gejala prodromal yang

13
dilaporkan meliputi sakit kepala atau perubahan penglihatan. Eklampsia bukan

merupakan indikasi operasi seksio secarea, manajemennya meliputi

pencegahan aspirasi, memastikan patensi jalan nafas, kontrol kejang, dan

pencegahan serangan ulang, kendali hipertensi dan evaluasi kemungkinan

persalinan. Kejang pada eklampsia bersifat self-limited. Obat pilihan pada

eklampsia adalah magnesium sulfat, dosis intravena standar adalah 2 gram

setiap 15 menit , dosis maksimal 6 gr. (Stoelting 2013)

B. Edema Paru

Edema paru akut adalah akumulasi cairan di interstisial dan alveoulus paru

yang terjadi secara mendadak. Hal ini dapat disebabkan oleh tekanan

intravaskular yang tinggi (edema paru kardiak) atau karena peningkatan

permeabilitas membran kapiler (edema paru non kardiogenik) yang

mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan secara cepaat sehingga terjadi

gangguan pertukaran udara di alveoli secara progresif dan mengakibatkan

hipoksia.

Edema paru-paru merupakan penimbunan cairan serosa atau serosanguinosa

secara berlebihan di dalam ruang interstisial dan alveolus paru-paru. Jika edema

timbul akut dan luas, sering disusul kematian dalam waktu singkat (Harun dan

Sally, 2009)

Edema paru didefinisikan sebagai akumulasi cairan di interstisial dan alveolus.

Penyebab edema paru:

14
1. Kardiogenik atau edema paru hidrostatik atau edema hemodinamik.

Kausa: infark miokars, hipertensi, penyakit jantung katup, eksaserbasi

gagal jantung sistolik/ diastolik dan lainnya.

2. Nonkardiogenik/ edema paru permeabilitas meningkat. Kausa: ALI dan

ARDS

Walaupun penyebab kedua jenis edema paru tersebut berbeda, namun

membedakannya terkadang sulit karena manifestasi klinisnya yang mirip.

Kemampuan membedakan penyebab edema paru sangat penting karena

berimplikasi pada penanganannya yang berbeda.

2. Etiologi dan Faktor Pencetus

a. Edema paru non kardiogenik

Edema paru non kardiogenik terjadi akibat dari transudasi cairan dari

pembuluh-pembuluh kapiler paru-paru ke dalam ruang interstisial dan alveolus

paru-paru yang diakibatkan selain kelainan pada jantung. Walaupun edema

paru dapat berbeda-beda derajatnya. Terjadinya edema paru dapat diakibatkan

oleh berbagai sebab. Beberapa penyebab edema paru non kardiogenik:

1) Peningkatkan permeabilitas kapiler paru (ARDS)

Secara langsung : Aspirasi asam lambung, Tenggelam, Kontusio paru,

Pnemonia berat, Emboli lemak, Emboli cairan amnion

Tidak langsung : Sepsis, Trauma berat, Syok hipovolemi, Transfusi darah

berulang, Luka bakar, Pankreatitis, Koagulasi intravaskular diseminata,

Anafilaksis

2) Peningkatan tekanan kapiler paru

15
a) Sindrom kongesti vena : Pemberian cairan yang berlebih, Transfusi

darah, Gagal ginjal

b) Edema paru neurogenik

c) Edema paru karena ketinggian tempat (Altitude)

3) Penurunan tekanan onkotik

a) Sindrom nefrotik

b) Malnutrisi

4) Hiponatremia

c. Edema paru kardiogenik

Edema paru kardiogenik atau edema volume overload terjadi karena

peningkatan tekanan hidrostatik dalam kapiler paru yang menyebabkan

peningkatan filtrasi cairan transvaskular, ketika tekanan interstisial paru lebih

besar daripada tekanan pleural maka cairan bergerak menuju pleura visceral

yang menyebabkan efusi pleura. Karena permeabilitas kapiler endotel tetap

normal, maka cairan edema yang meninggalkan sirkulasi memiliki kandungan

protein yang rendah. Peningkatan tekanan hidrostatik di kapiler pulmonal

biasanya berhubungan dengan peningkatan tekanan vena pulmonal akibat

peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri dan atrium kiri (18-25

mmHg) menyebabkan edema di perimikrovaskuler dan ruang interstisial

peribronkovaskular. Jika tekanan atrium kiri meningkat lebih tinggi (>25)

maka cairan edema akan menembus epitel paru, membanjiri alveolus.

Kejadian tersebut akan menimbulkan lingkaran setan yang terus memburuk

oleh proses sebagai berikut:

16
a) meningkatnya kongesti paru akan menyebabkan desaturasi, menurunnya

pasokan oksigen miokard dan akhirnya semakin memburuknya fungsi jantung

b) hipoksemia dan meningkatnya cairan di paru menimbulkan vasokonstriksi

pulmonal sehingga meningkatkan tekanan ventrikel kanan. Peningkatan

tekanan ventrikel kanan melalui mekanisme interdependensi ventrikel akan

semakin menurunkan fungsi ventrikel kiri

c) insufesiensi sirkulasi akan menyebabkan asidosis sehingga memperburuk

fungsi jantung.

Hilangnya cairan edema dari ruang udara paru tergantung pada transpor aktif

natrium dan klorida melintasi barier epitel yang terdapat pada membran apikal sel

epitel alveolar tipe I dan II serta epitel saluran nafas distal. Natrium secara aktif

ditranspor keluar ke ruang instrstisial dengan cara Na/K-ATPase yang terletak pada

membran basolateral sel tipe II. Air secara pasif mengikuti, kemungkinan melalui

aquaporins yang merupakan saluran air yang ditemukan terutama pada epitel alveolar

sel tipe I.

17
3. Manifestasi Klinis

Gejala paling umum dari edema paru akut adalah sesak nafas. Gejala ini mungkin

dapat timbul secara berangsur-angsur jika prosesnya berkembang secara perlahan, atau

dapat timbul tiba-tiba pada kasus dari edema paru akut. Gejala-gejala umum lain

adalah mudah lelah, sesak nafas dengan aktivitas yang biasa (dyspnea on exertion),

nafas yang cepat (takipnea), pusing atau kelemahan.

Tingkat oksigen darah yang rendah (hypoxia) mungkin terdeteksi pada pasien-

pasien dengan edema paru. Pada pemeriksaan dengan stethoscope dapat mendengar

18
suara-suara paru yang abnormal, seperti ronkhi atau crakles (Soemantri, 2011).

Manifestasi klinis edema paru secara spesifik juga dibagi dalam 3 stadium:

a) Stadium 1

Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen akan

memperbaiki pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas difusi gas

CO. Keluhan pada stadium ini mungkin hanya berupa adanya sesak nafas saat

aktivitas. Pemeriksaan fisik juga tak jelas menemukan kelainan, kecuali mungkin

adanya ronkhi pada saat inpsirasi karena terbukanya saluran nafas yang tertutup saat

inspirasi.

b) Stadium 2

Pada stadium ini terjadi edema paru interstisial. Batas pembuluh darah paru

menjadi kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa interlobularis

menebal (garis kerley B). Adanya penumpukan cairan di jaringan kendor interstisial,

akan lebih memperkecil saluran nafas kecil, terutama di daerah basal oleh karena

pengaruh gravitasi. Mungkin pula terjadi refleks bronkhokonstriksi. Sering terdengar

takipnea. Meskipun hal ini merupakan tanda gangguan fungsi ventrikel kiri, tetapi

takipnea juga membantu memompa aliran limfe sehingga penumpukan cairan

interstisial diperlambat. Pada pemeriksaan spirometri hanya terdapat sedikit

perubahan saja.

c) Stadium 3

Pada stadium ini terjadi edema alveolar. Pertukaran gas sangat terganggu, terjadi

hipoksemia dan hipokapsia. Penderita nampak sesak sekali dengan batuk berbuih

kemerahan. Kapasitas vital dan volume paru yang lain turun dengan nyata. Terjadi

right to left intrapulmonary shunt. Penderita biasanya menderita hipokapsia, tetapi

pada kasus yang berat dapat terjadi hiperkapnia dan acute respiratory acidemia. Pada

keadaan ini morfin harus digunakan dengan hati-hati (Ingram dan Braunwald,1988).
19
4. Diagnosis

Tampilan klinis edema paru kardiogenik dan nonkardiogenik mempunyai

beberapa kemiripan.

a. Anamnesis

Anamnesis dapat menjadi petunjuk ke arah kausa edema paru,

misalnya adanya riwayat sakit jantung, riwayat gejala yang sesuai dengan

gagal jantung kronik. Edema paru akut kardiak, kejadiannya sangat cepat dan

terjadi hipertensi pada kapiler paru secara ekstrim. Keadaan ini merupakan

pengalaman yang yang menakutkan bagi pasien karena mereka batuk-batuk

dan seperti seseorang yang akan tenggelam.

Khas pada edema paru non kardiogenik didapatkan bahwa awitan

penyakit ini berbeda-beda, tetapi umumnya akan terjadi secara cepat.

Penderita sering sekali mengeluh tentang kesulitan bernapas atau perasaan

tertekan atau perasaan nyeri pada dada. Biasanya terdapat batuk yang sering

menghasilkan riak berbusa dan berwarna merah muda. Terdapat takipnue

serta denyut nadi yang cepat dan lemah, biasanya penderita tampak sangat

pucat dan mungkin sianosis.

b. Pemeriksaan Fisik

Terdapat takipnea, ortopnea (menifestasi lanjutan). Takikardia,

hipotensi atau teknan darah bisa meningkat. Pasien biasanya dalam posisi

duduk agar dapat mempergunakan otot-otot bantu nafas dengan lebih baik

saat respirasi atau sedikit membungkuk ke depan, akan terlihat retraksi

inspirasi pada sela interkostal dan fossa supraklavikula yang menunjukan


20
tekanan negatif intrapleural yang besar dibutuhkan pada saat inpsirasi, batuk

dengan sputuk yang berwarna kemerahan (pink frothy sputum) serta JVP

meningkat. Pada pemeriksaan paru akan terdengar ronki basah setengah

lapangan paru atau lebih dan terdapat wheezing. Pemeriksaan jantung dapat

ditemukan ditemukan gallop, bunyi jantung 3 dan 4. Terdapat juga edema

perifer, akral dingin dengan sianosis . Dan pada edema paru non kardiogenik

didapatkan pada perkusi terdengar keredupan dan pada pemeriksaan

auskultasi di dapat ronki basah dan bergelembung pada bagian bawah dada.

c. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorim yang relevan diperlukan untuk mengkaji

etiologi edema paru. Pemeriksaan tersebut diantaranya pemeriksaan

hematologi/ darah rutin, fungsi ginjal, elektrolit, kadar protein, urinalisa gas

darah, enzim jantung (CK-MB, troponin I) dan Brain Natriuretic Peptide

(BNP). BNP dan prekursornya pro BNP dapat digunakan sebagai rapid test

untuk menilai edema paru kardiogenik pada kondisi gawat darurat. Kadar BNP

plasma berhubungan dengan pulmonary artery occlusion pressure, left

ventricular end-diastolic pressure dan left ventricular ejection fraction.

Khususnya pada pasien gagal jantung, kadar pro BNP sebesar 100pg/ml akurat

sebagai prediktor gagal jantung pada pasien dengan efusi pleura dengan

sensitifitas 91% dan spesifitas 93% (Lorraine et al) . Richard dkk melaporkan

bahwa nilai BNP dan Pro BNP berkorelasi dengan LV filling pressure

(pasquate 2004). Pemeriksaan BNP ini menjadi salah satu tes diagnosis untuk

menegakkan gagal jantung kronis berdasarkan pedoman diagnosis dan terapi


21
gagal jantung kronik Eropa dan Amerika. Bukti penelitian menunjukan bahwa

pro BNP/BNP memiliki nilai prediksi negatif dalam menyingkirkan gagal

jantung dari penyakit penyakit lainnya (Amin dan Ranitya, 2006).

Radiologi

Pada foto thorax menunjukan jantung membesar, hilus yang melebar,

pedikel vaskuler dan vena azygos yang melebar serta sebagai tambahan

adanya garis kerley A, B dan C akibat edema instrestisial atau alveolar seperti

pada gambaran ilustrasi (Harun dan Sally, 2009). Lebar pedikel vaskuler < 60

mm pada foto thorax postero-anterior terlihat pada 90% foto thorax normal

dan lebar pedikel vaskuler > 85% ditemukan 80% pada kasus edema paru.

Sedangkan vena azygos dengan diameter > 7 mm dicurigai adanya kelainan

dan dengan diameter > 10 mm sudah pasti terdapat kelainan, namun pada

posisi foto thorax telentang dikatakan abnormal jika diameternya > 15 mm.

Peningkatan diameter vena azygos > 3 mm jika dibandingkan dengan foto

thorax sebelumnya terkesan menggambarkan adanya overload cairan.

Garis kerley A merupakan garis linier panjang yang membentang dari

perifer menuju hilus yang disebabkan oleh distensi saluran anastomose antara

limfatik perifer dengan sentral. Garis kerley B terlihat sebagai garis pendek

dengan arah horizontal 1-2 cm yang terletak dekat sudut kostofrenikus yang

menggambarkan adanya edema septum interlobuler. Garis kerley C berupa

garis pendek, bercabang pada lobus inferior namun perlu pengalaman untuk

melihatnya karena terlihat hampir sama dengan pembuluh darah.

22
Gambar foto thorax dapat dipakai untuk membedakan edema paru

kardiogenik dan edema paru non kardiogenik. Walaupun tetap ada

keterbatasan yaitu antara lain bahwa edema tidak akan tampak secara radiologi

sampai jumlah air di paru meningkat 30%. Beberapa masalah teknik juga

dapat mengurangi sensitivitas dan spesifitas rontgen paru, seperti rotasi,

inspirasi, ventilator, posisi pasien dan posisi film.

Ekhokardiografi

23
Pemeriksaan ini merupakan baku emas untuk mendeteksi disfungsi

ventrikel kiri. Ekhokardiografi dapat mengevaluasi fungsi miokard dan fungsi

katup sehingga dapat dipakai dalam mendiagnosis penyebab edema paru.

EKG

Pemeriksaan EKG bisa normal atau seringkali didapatkan tanda-tanda

iskemik atau infark miokard akut dengan edema paru. Pasien dengan krisis

hipertensi gambaran EKG biasanya menunjukan gambaran hipertrofi ventrikel

kiri. Pasien dengan edema paru kardiogenik tetapi yang non iskemik biasanya

menunjukan gambaran gelombang T negative yang melebar dengan QT

memanjang yang khas, dimana akan membaik dalam 24 jam setelah klinis

stabil dan menghilang dalam 1 minggu. Penyebab dari non iskemik ini belum

diketahui tetapi beberapa keadaan yang dikatakan dapat menjadi penyebab,

antara lain: iskemia sub-endokardial yang berhubungan dengan peningkatan

tekanan pada dinding, peningkatan akut dari tonus simpatis kardiak yang

berhubungan dengan peningkatan tekanan pada dinding, peningkatan akut dari

tonus simpatis kardiak atau peningkatan elektrikal akibat perubahan metabolic

atau katekolamin (Amin dan Ranitya, 2006).

Katerisasi Pulmonal

Pengukuran tekanan baji pulmonal (pulmonary artery occlusion

pressure/PAOP) dianggap sebagai pemeriksaan baku emas untuk menentukan

penyebab edema paru akut. Algoritma diagnosis edema paru kardiogenik dan

non kardiogenik:

24
C. Penatalaksanaan Edema Paru pada Komplikasi Preeklampsia Berat

Pada pasien preeklampsia berat, fokus pemeriksaan adalah pada jalan

nafas, hemodinamik, cairan dan status koagulasi. Edema menyeluruh biasanya

akan menyebabkan penyempitan jalan nafas. Tekanan darah arteri bisa

berfluktuasi hebat akibat perjalanan penyakit, pemberian cairan intravena dan

obat-obatan antihipertensi. Bila tidak ada respon terhadap terapi atau keadaan

memburuk, maka diperlukan terminasi kehamilan. Diperlukan monitoring invasif

seperti CVP atau arterial line. (Stoelting, 2013).

Teknik anestesi dengan GA yang disarankan adalah sebagai berikut :

25
1. Pasien diposisikan supine dengan ganjal pada pinggul kiri untuk

menggeser uterus kekanan


2. Denitrogenisasi dilakukan dengan pemberian oksigen 100% selama 3-

5 menit sembari monitor dipasang


3. Pasien dan medan operasi disiapkan dengan draping
4. Setelah operator siap, maka RSI dengan penekanan krikoid dilakukan

menggunakan propofol 2 mg/kg dan suksinilkolin 1.5 mg/kg.

Methohexital dan etomidate tidak banyak menawarkan keunggulan.


5. Pembedahan dilakukan setelah pemasangan ET dipastikan, kecuali

pada beberapa kondisi khusus. Hiperventilasi berlebihan sebaiknya

dihindari (PaCO2 <25 mmHg) karena akan mengurangi sirkulasi uterus

dan menyebabkan asidosis pada fetus.


6. N2O : O2 dengan perbandingan 1:1 diberikan dengan agen inhalasi

sebesar 0,75 MAC (sevoflurane 1%, isoflurane 0,75% atau desflurane

3%) untuk maintenance. Dosis rendah ini berfungsi untuk

menimbulkan amnesia, namun tidak menyebabkan relaksasi uterus

yang berlebihan atau mengganggu kontraksi uterus setelah pemberian

oksitosin. NMBA durasi intermedium diberikan, namun perlu diingat

kemungkinan pemanjangan durasi pada pasien yang mendapatkan

MgSO4.
7. Setelah bayi dan placenta lahir, makan 20-80 unit oksitosin diberikan

dalam 1 liter cairan intravena pertama, dan 20 unit lagi pada 1 liter

cairan berikutnya. Pemberian agen intravena seperti propofol, opioid

dan benzodiazepin bisa diberikan untuk memastikan amnesia.


8. Bila uterus tidak berkontraksi makan berikan opioid dan matikan agen

inhalasi halogen. Metergin 200 µg diberikan intramuskular atau dalam

100 cc NS sebagai infus. Namun perlu diingat bahwa metergin bisa

meningkatkan tensi.

26
9. Bisa dipasang orogastric tube untuk melakukan pengosongan isi

lambung guna menekan resiko aspirasi pada saat emergens.


10. Pada akhir pembedahan semua efek NMBA di reverse dan pasien di

ekstubasi sadar untuk mencegah resiko aspirasi. (Butterworth 2013)

Apabila setelah operasi selesai akan tetapi masih didapatkan tanda-tanda:

Salah satu di bawah ini :

1. Cardiac or respiratory arrest

2. Kehilangan kesadaran

3. Hemodynamik instability dengan SBP < 70 mm Hg

4. PaO2 < 45 mm Hg walaupun sudah diberi oksigen

≥ 2 tanda-tanda Respiratory Distress:

1. Respiratory rate > 35/min or < 6/min

2. Tidal volume < 5 mL/kg

3. Oxygen desaturation < 90% walau sudah diberi terapi oksigen yang

adekuat

4. Perubahan tekanan darah dengan SBP < 90 mm Hg

5. pH < 7.20 dan menurun sejak onset

6. Hypercapnia (PaCO2 > 10 mm increase) atau acidosis (pH decline > 0.08)

7. Peningkatan encephalopathy ataupun penurunan derajat kesadaran

8. Abdominal paradox

Maka pasien tidak seharusnya diekstubasi dan harus tetap dilanjutkan

penatalaksanaan di ruang ICU dengan ventilasi mekanik sampai kriteria ekstubasi

telah tercapai. Kriteria Ekstubasi :

27
1. Oksigenasi Adekuat : SpO2 > 92%, PaO2 > 60 mm Hg

2. Ventilasi Adekuat : VT > 5 ml/kg, spontaneous RR > 7x/menit, ETCO2 < 50

mmHg, PaCO2 < 60 mm Hg

3. Hemodinamik stabil

4. Pelumpuh otot pulih penuh

5. Sustained tetany, TOF ratio >0.9

Penatalaksanaan selanjutnya :

1. Supportif : support kardiovaskular, terapi cairan, renal support, dan pengelolaan

sepsis

2. Ventilasi

Menggunakan ventlasi protective lung atau protocol ventilasi ARDS net

Pemberian oksigen sering berguna untuk meringankan dan menghilangkan

rasa nyeri dada dan bila memungkinkan dapat dicapai paling baik dengan

memberikan tekanan positif terputus-putus. Kebutuhan untuk intubasi dan

ventilasi mekanik mungkin akan semakin besar sehingga pasien harus dirawat di

unit perawatan intensif (ICU).

Untuk mengoptimalkan oksigenasi dapat dilakukan teknik-teknik ventilator,

yaitu Positiveendexpiratorypressure (PEEP) 15-25 mmH2O dapat digunakan

untuk mencegah alveoli menjadi kolaps. Tekanan jalan napas yang tinggi yang

terjadi pada ARDS dapat menyebabkan penurunan cairan jantung dan peningkatan

risiko barotrauma (misalnya pneumotoraks). Tekanan tinggi yang dikombinasi

dengan konsentrasi O2 yang tinggi sendiri dapat menyebabkan kerusakan

mikrovaskular dan mencetuskan terjadinya permeabilitas yang meningkat hingga

timbul edema paru, sehingga penerapannya harus hati-hati.

28
Salah satu bentuk teknik ventilator yang lain yaitu inverseratioventilation

dapat memperpanjang fase inspirasi sehingga transport oksigen dapat berlangsung

lebih lama dengan tekanan yang lebih rendah. extra corporeal membrane

oxygenation (ECMO) menggunakan membran eksternal artifisial untuk membantu

transport oksigen dan membuang CO2. Strategi terapi ventilasi ini tidak begitu

banyak memberikan hasil yang memuaskan untuk memperbaiki prognosis secara

umum tapi mungkin bermanfaat pada beberapa kasus.

Optimalisasi fungsi hemodinamik dilakukan dengan berbagai cara. Dengan

menurunkan tekanan arteri pulmonal berarti dapat membantu mengurangi

kebocoran kapiler paru. Caranya ialah dengan retriksi cairan, penggunaan diuretik

dan obat vasodilator pulmonal (nitric oxide/NO). Pada prinsipnya penatalaksanaan

hemodinamik yang penting yaitu mempertahankan keseimbangan yang optimal

antara tekanan pulmoner yang rendah untuk mengurangi kebocoran ke dalam

alveoli, tekanan darah yang adekuat untuk mempertahankan perfusi jaringan dan

transport oksigen yang optimal.

Kebanyakan obat vasodilator arteri pulmonal seperti nitrat dan antagonis

kalsium juga dapat menyebabkan vasodilatasi sistemik sehingga dapat sekaligus

menyebabkan hipotensi dan perfusi organ yang terganggu, untuk itu

penggunaanya harus hati-hati. Obat-obat inotropik dan vasopresor seperti

dobutamin dan noradrenalin mungin diperlukan untuk mempertahankan tekanan

darah sistemik dan curah jantung yang cukup terutama pada pasien dengan sepsis

(vasodilatasi sistemik).

Inhalasi NO telah digunakan sebagai vasodilator arteri pulmonal yang selektif.

Karena diberikan secara inhalasi sehingga terdistribusi pada daerah di paru-paru

yang menyebabkan vasodilatasi. Vasodilatasi yang terjadi pada alveoli yang

29
terventilasi akan memperbaiki disfungsi ventilasi/perfusi sehingga dengan

demikian fungsi pertukaran gas membaik. NO secara cepat diinaktivasi oleh

hemoglobin sehingga mencegah reaksi sistemik.

Strategi terapi suportif terkini yang dalam uji coba:

a. Perbaikan metode ventilator (beberapa cara terbaru) : Lung–protective


ventilation dengan higher PEEP, Non invasive positive pressure ventilation,
High frequency ventilation, Tracheal gas insuflation, Proportional- assist
ventilation, dan Inverse ratio ventilation dan airway pressure-release
ventilation.

b. Surfactant replacement therapy, dengan memakai aerosol surfaktan sintetis


hasilnya mengecewakan, tetapi dengan memakai natural mamalia surfactant
dan perbaikan alat aerosol terbukti memperbaiki stabilitas alveolar,
mengurangi insidens atelektasis/intrapulmonary shunting. Meningkatkan efek
antibakterial dan antiinflamasi.

c. Extra corporeal gas exchange

d. Prone positioning, terbukti baik dalam oksigenasi karena terjadi shift perfusi
dan perbaikan gas exchage

e. Fluorocarbon liquid-assisted gas exchange

f. Antiinflamasi

g. fluorokortikoid dosis tinggi

h. anti endotoxin monoclonal antibody

i. anti TNF-a

j. anti IL-1

k. activated protein C

30
l. antioksidan: N-asetilsistein, prosistein, oxygen free radical scavenger, dan
precursor flutathine h. agonis/inhibitor prostaglandin

m. ketokonazol ® inhibitor daripada tromboksan dan leukotrien/menekan


pembentukan dan pelepasan TNF-a dari makrofag

n. lisofilin dan pentoksifilin ® suatu fosfordiesterase inhibitor memperlambat


kemotaksis neutrofil

o. anti IL-8, platelet activating factor inhibitor

p. enhance resolution of alveolar edema dengan vasopresor/b2 agonis

q. enhance repair of IL alveolar epithelial barrier dengan hepatocyte growth


factor dan keratinocyte growth factor (Harun dan Sally, 2009)

Restriksi cairan pada pasien PEB telah disepakati oleh para ahli, namun

besaran jumlahnya masih bervariasi dari satu ke yang lain. Umumnya cairan maintenance

diberikan 75-125 ml/jam, dengan target urine 0,5 ml/kg/jam, bila didapatkan oligouria

atau tanda gangguan perfusi, bisa dilakukan fluid challenge secara bertahap dengan cairan

kristaloid 250-500 ml atau 100-200 ml koloid (Bersten 2009).

BAB III
KESIMPULAN

Pasien gravida membutuhkan perhatian khusus pada penatalaksanaannya

berkaitan dengan perubahan fisiologis dan anatomis yang normal terjadi saat kehamilan,

adanya penyulit obesitas morbid, preeklampsia berat dan edema pulmo akan memberikan

31
tantangan yang lebih, karena keterbatasan opsi pengobatan dan waktu, yang mana harus

memperhatikan keselamatan ibu dan janinnya.


Pasien-pasien yang didiagnosa menderita PEB sangat rentan untuk terkena

komplikasi-komplikasi sistemik yang sangat berhubungan erat dengan keadaan

penyakitnya sendiri.
Komplikasi edema paru didapatkan sebanyak 3% dari seluruh komplikasi

preeklampsia berat, yang mana merupakan suatu keadaan yang sangat berbahaya dan

dapat terjadi kefatalan apabila tidak didiagnosis segera dan secara tepat.
Edema paru bisa dibagi menjadi kardiogenik dan non kardiogenik. Edema

paru non kardiogenik terjadi akibat dari transudasi cairan dari pembuluh-pembuluh

kapiler paru-paru ke dalam ruang interstisial dan alveolus paru-paru yang diakibatkan

selain kelainan pada jantung. Kelainan tersebut bisa diakibatkan oleh peningkatan

tekanan hidrostatik atau penurunan tekanan onkotik (osmotik) antara kapiler paru dan

alveoli, dan terjadinya peningkatan permeabilitas kapiler paru yang bisa disebabkan

berbagai macam penyakit atau yang sering disebut dengan acute respiratory distress

syndrom.Sedangkanpadakardiogenikatau edem paru hidrostatik atau edem

hemodinamikkarenainfark miokars, hipertensi, penyakit jantung katup, eksaserbasi gagal

jantung sistolik/ diastolik dan lainnya.


Pengobatan edema paru ditujukan kepada penyakit primer yang

menyebabkan terjadinya edema paru tersebut disertai pengobatan suportif terutama

mempertahankan oksigenasi yang adekuat (dengan pemberian oksigen dengan teknik-

teknik ventilator) dan optimalisasi hemodinamik (retriksi cairan, penggunaan diuretik dan

obat vasodilator pulmonal).

32
DAFTAR PUSTAKA

ACOG Committee . 2013. Committee Opinion : Obesity in pregnancy. Obstet Gynecol


121:210–2
Arnold JMO, 2013. Pulmonary edema in merck manual for healtcare proffesional. Merck
Bersten, AD, Soni N, Oh TE. 2009. Oh's intensive care manual. Oxford: Butterworth-
Heinemann.
Brooks MD. Pregnancy, Preeklampsia, Available at: http://www.emedicine.com, Department
of Emergency Medicine, St MaryCorwin Medical Center 2011.
Butterworth JF, Mackey DC, Wasney JD. 2013. Morgan & Mikhail's Clinical
Anaesthesiology, 5th ed, New York : Lange Medical Books/McGraw-Hill.
Chestnut DH. 2009. Chestnut's obstetric anesthesia: Principles and practice. Philadelphia:
Mosby/Elsevier.
Hadzic A, New York School of Regional Anesthesia. 2007. Textbook of regional anesthesia
and acute pain management. New York: McGraw-Hill, Medical Pub. Division.
Harun S dan Sally N. EdemParuAkut. 2009. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, SetiatiS,editor. BukuAjarIlmuPenyakitDalam 5th ed. Jakarta:
PusatPenerbitanDepartemenIlmuPenyakitDalamFakultasKedokteranUniversitas
Indonesia. p. 1651-3.
Koga dan Fujimoto. Kerley’s A, B and C Line. N Engl J M 2009;360:15.
Prawirohardjo, S., 2009. Ilmu kebidanan, Jakarta: Yayasan Bina Pustaka.
Soemantri. 2011. Cardiogenic Pulmonary Edema. NaskahLengkap PKB XXVI
IlmuPenyakitDalam 2011. FKUNAIR-RSUD DR.Soetomo, p.113-9.
Stoelting RK, Hines RL, Marschall KE. 2012. Stoelting's anesthesia and co-existing disease.
Philadelphia: Saunders/Elsevier.
Williams Obstetrics , 2010. 23rd ed. New York: McGraw-Hill ; p. 706 – 56.
Yusmardi, 2010. Perbandingan Kadar Asam Folat Serum Maternal Preeklampsia Berat
dengan Kehamilan Normal. Tesis Bagian Obgyn FK USU RSUP Haji Adam Malik
Zhang J., Meikle S., Trumble A., 2003. Severe Maternal Morbidity Associated

33
With Hypertensive Disorders in Pregnancy. In: The United States Hypertension
Pregnancy; 22: 203 – 12

34

Anda mungkin juga menyukai