ibu terus saja mengaduk-aduk isi panci dengan sebuah sendok kayu yang
panjang.
Assalamualaikum, Umar memberi salam.
Mendengar salam Umar, ibu itu mendongakan kepala seraya menjawab
salam Umar. Tapi setelah itu, ia kembali pada pekerjaannya mengaduk-aduk
isi panci.
Siapakah gerangan yang menangis di dalam itu? tanya Umar.
Dengan sedikit tak peduli, ibu itu menjawab, Anakku.
Apakah ia sakit?
Tidak, jawab si ibu lagi. Ia kelaparan.
Umar dan Aslam tertegun. Mereka masih tetap duduk di depan kemah
sampai lebih dari satu jam. Gadis kecil itu masih terus menangis. Sedangkan
ibunya terus mengaduk-aduk isi pancinya.
Umar tidak habis pikir, apa yang sedang dimasak oleh ibu tua itu? Sudah
begitu lama tapi belum juga matang. Karena tak tahan, akhirnya Umar
berkata, Apa yang sedang kau masak, hai Ibu? Kenapa tidak matangmatang juga masakanmu itu?
Ibu itu menoleh dan menjawab, Hmmm, kau lihatlah sendiri!
Umar dan Aslam segera menjenguk ke dalam panci tersebut. Alangkah
kagetnya ketika mereka melihat apa yang ada di dalam panci tersebut.
Sambil masih terbelalak tak percaya, Umar berteriak, Apakah kau memasak
batu?
Perempuan itu menjawab dengan menganggukkan kepala.
Buat apa?
Dengan suara lirih, perempuan itu kembali bersuara menjawab pertanyaan
Umar, Aku memasak batu-btu ini untuk menghibur anakku. Inilah kejahatan
Khalifah Umar bin Khattab. Ia tidak mau melihat ke bawah, apakah
kebutuhan rakyatnya sudah terpenuhi belum. Lihatlah aku. Aku seorang
janda. Sejak dari pagi tadi, aku dan anakku belum makan apa-apa. Jadi
anakku pun kusuruh berpuasa, dengan harapan ketika waktu berbuka kami
mendapat rejeki. Namun ternyata tidak. Sesudah magrib tiba, makanan
belum ada juga. Anakku terpaksa tidur dengan perut yang kosong. Aku
mengumpulkan batu-batu kecil, memasukkannya ke dalam panci dan kuisi
air. Lalu batu-batu itu kumasak untuk membohongi anakku, dengan harapan
ia akan tertidur lelap sampai pagi. Ternyata tidak. Mungkin karena lapar,
sebentar-sebentar ia bangun dan menangis minta makan.
Ibu itu diam sejenak. Kemudian ia melanjutkan, Namun apa dayaku?
Sungguh Umar bin Khattab tidak pantas jadi pemimpin. Ia tidak mampu
menjamin kebutuhan rakyatnya.
Mendengar penuturan si Ibu seperti itu, Aslam akan menegur perempuan itu.
Namun Umar sempat mencegah. Dengan air mata berlinang ia bangkit dan
mengajak Aslam cepat-cepat pulang ke Madinah. Tanpa istirahat lagi, Umar
segera memikul gandum di punggungnya, untuk diberikan kepada janda tua
yang sengsara itu.
Karena Umar bin Khattab terlihat keletihan, Aslam berkata, Wahai Amirul
Mukminin, biarlah aku saya yang memikul karung itu.
Dengan wajah merah padam, Umar menjawab sebat, Aslam, jangan
jerumuskan aku ke dalam neraka. Engkau akan menggantikan aku memikul
beban ini, apakah kau kira engkau akan mau memikul beban di pundakku ini
di hari pembalasan kelak?
Aslam tertunduk. Ia masih berdiri mematung, ketika tersuruk-suruk Khalifah
Umar bin Khattab berjuang memikul karung gandum itu. Angin berhembus.
Membelai tanah Arab yang dilanda paceklik. (dkwt)