Anda di halaman 1dari 24

Laporan Kasus

DISPEPSIA

Oleh
Nasrani Widiyanata Sibarani
0908113622

Pembimbing :
dr. H. ANDI ZAINAL, SpPD, KGEH, FINASIM

KEPANITRAAN KLINIK
BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RSUD ARIFIN ACHMAD PEKANBARU
2014

BAB 1
PENDAHULUAN
Dispepsia merupakan keluhan umum yang dalam waktu tertentu dapat
dialami seseorang.1 Keluhan dispepsia merupakan keadaan klinis yang sering
dijumpai dalam praktek sehari-hari. Diperkirakan hampir 30% kasus pada praktek
umum dan 60% pada praktek gastroenterologist merupakan kasus dispepsia ini.
Istilah dispepsia mulai gencar dikemukakan sejak akhir tahun 80-an yang
menggambarkan keluhan atau kumpulan gejala (sindrom) yang terdiri dari nyeri

atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang,
rasa perut penuh, sendawa, regurgitasi, dan rasa panas yang menjalar di dada.1,3,4
Secara umum, dispepsia terdiri dari dispepsia organik (40%), dimana sindrom ini
dapat didasari oleh berbagai penyakit diantaranya penyakit esofago-gastroduodenal, hepato-pankreato-bilier, dan gangguan kardiak, dan dispepsia
fungsional

(60%),

biasanya

tidak

ditemukan

lesi

struktural

mukosa

gastroduodenum.2
Berdasarkan penelitian pada populasi umum didapatkan bahwa 15-30%
orang dewasa pernah mengalami hal ini dalam beberapa hari. Hanya sebagian
kecil terdokumentasi penyebab organiknya, sehingga diasumsikan sebagian besar
adalah dispepsia fungsional. Data di negara barat menunjukkan angka prevalensi
dispepsia berkisar 7-41%, tapi hanya 10-20% yang mencari pertolongan medis.
Angka insidens dispepsia diperkirakan antara 1-8%.1 Data Depkes tahun 2004
menempatkan dispepsia di urutan ke 15 dari daftar 50 penyakit dengan pasien
rawat inap terbanyak di Indonesia dengan proporsi 1,3%. Pada dispepsia
fungsional, umur penderita dijadikan pertimbangan sering ditemukan pada usia
diatas 20 tahun sedangkan dispepsia organik seperti kasus keganasan sering
ditemukan pada usia diatas 45 tahun. Wanita lebih sering daripada laki-laki.2

DISPEPSIA
1. Definisi dan klasifikasi
Dispepsia merupakam keluhan umum yang dalam waktu tertentu dapat
dialami seseorang. Berdasarkan konsensus Roma II tahun 2000, disepakati bahwa
definisi dispepsia adalah nyeri atau rasa tidak nyaman di daerah perut atas bagian
tengah atau epigastrium. Secara garis besar dispepsia dibagi dua kelompok, yaitu
kelompok penyakit organik (ulkus peptikum,gastritis, kolelitiasis,dll) dan
gangguan fungsional.1

Berdasarkan konsensus Roma II yang khusus membicarakan tentang


kelainan gastrointestinal fungsional, dispepsia fungsional didefinisikan sebagai
dispepsia yang berlangsung sekurang-kurangnya 12 minggu atau dalam 12 bulan
sebelumnya terdapat:1
a. Dispepsia yang menetap atau berulang (rekuren)
b. Tidak ada bukti dari adanya penyakit organik yang dapat menjelaskan
simptom
c. Tidak ada bukti bahwa dispepsia semata-mata berhubungan dengan
gangguan defekasi atau diasosiasikan dengan perubahan frekuensi defekasi
atau bentuk feses (bukan irritable bowel).
Banyak

penyakit

yang

dapat

menyebabkan

sindroma

dispepsia.

Berdasarkan penyebabnya dispepsia dibagi menjadi dua, yaitu:2


a. Dispepsia organik (40%), bila telah diketahui adanya kelainan organik
sebagai penyebabnya. Dispepsia organik ini bisa disebabkan oleh ulkus
peptikum, tumor gastrointestinal, iskemia intestinal kronik, penyakitpenyakit pankreatikobilier, dan akibat obat-obatan, termasuk NSAID
gastropathy.
b. Dispepsia nonorganik (60%) atau dispepsia fungsional atau dispepsia
nonulkus (DNU), bila tidak ada kelainan struktural. Konsensus Roma II
(2002) membagi dispepsia fungsional berdasarkan gejalanya ke dalam 3
subtipe, yaitu:1,2
a. Ulcer-like dyspepsia (dispepsia fungsional tipe seperti ulkus) adalah
dispepsia dengan nyeri ulu hati (epigastrium) yang dominan disertai
nyeri pada malam hari.
b. Dysmotility-like dyspepsia

(dispepsia fungsional tipe seperti

dismotilitas) adalah dispepsia dengan keluhan kembung, mual,


muntah, rasa penuh dan cepat kenyang yang dominan.
c. Unspecified (non-spesifik dispepsia) adalah dispepsia fungsional
yang tidak mempunyai keluhan dominan.
Dalam konsensus Roma III (2006) pembagian dispepsia fungsional ini
direvisi lagi menjadi 2 subtipe yaitu: 1,2,3
a. Post prandial distress syndrome(PDS)
b. Epigastric pain syndrome (EPS)
2. Epidemiologi

Dispepsia merupakan salah satu masalah pencernaan yang paling umum


ditemukan.

Dialami

sekitar

20%-30%

populasi

di

dunia

setiap

tahun.1,3Berdasarkan penelitian pada populasi umum didapatkan bahwa 15-30%


orang dewasa pernah mengalami hal ini dalam beberapa hari. Hanya sebagian
kecil terdokumentasi penyebab organiknya, sehingga diasumsikan sebagian besar
adalah dispepsia fungsional. Data di negara barat menunjukkan angka prevalensi
dispepsia berkisar 7-41%, tapi hanya 10-20% yang mencari pertolongan medis.
Angka insidens dispepsia diperkirakan antara 1-8%.1 Data Depkes tahun 2004
menempatkan dispepsia di urutan ke 15 dari daftar 50 penyakit dengan pasien
rawat inap terbanyak di Indonesia dengan proporsi 1,3%. Pada dispepsia
fungsional, umur penderita dijadikan pertimbangan sering ditemukan pada usia
diatas 20 tahun sedangkan dispepsia organik seperti kasus keganasan sering
ditemukan pada usia diatas 45 tahun. Wanita lebih sering daripada laki-laki.2
3. Etiologi
Secara garis besar, penyebab sindroma dispepsia ini dibagi menjadi 2
kelompok, yaitu kelompok penyakit organik dan gangguan fungsional.
Penyebab Dispepsia1
Esofago-gastro-duodenal
Obat-obatan
Hepato-bilier
Pankreas
Penyakit sistemik lain

Gangguan fungsional

Tukak peptik, gastritis kronis, gastritis


NSAID, keganasan
Antiinflamasi non-steroid, teofilin,
digitalis, antibiotik
Hepatitis,
kolesistitis,
kolelitiasis,
keganasan, disfungsi sfingter Odii
Pankreatitis, keganasan
Diabetes melitus, penyakit tiroid, gagal
ginjal, kehamilan, penyakit jantung
koroner/iskemik
Dispepsia fungsional, irritable bowel
syndrome

4. Patofisiologi
Patofisiologi dari dispepsia organik tergantung dari penyakit organik yang
mendasarinya. Sedangkan pada dispepsia fungsional, proses patofisiologis yang
paling banyak dibicarakan dan potensial berhubungan dengan dispepsia
fungsional, yaitu: 1

a. Sekresi asam lambung


Kasus dengan dispepsia fungsional, umumnya mempunyai tingkat sekresi
asam lambung, baik sekresi basal maupun dengan stimulasi pentagastrin
yang rata-rata normal. Diduga adanya sensitivitas mukosa lambung
terhadap asam yang menimbulkan rasa tidak enak di perut.
b. Helicobacter pylori (Hp)
Peran Helicobacter pylori pada dispepsia fungsional belum sepenuhnya
dimengerti dan diterima. Dari berbagai laporan, kekerapan Hp pada
dispepsia fungsional sekitar 50% dan tidak berbeda bermakna dengan
angka kekerapan Hp pada kelompok orang sehat.
c. Dismotilitas gastrointestinal
Berbagai studi melaporkan bahwa pada dispepsia fungsional terjadi
perlambatan pada pengosongan lambung dan adanya hipomotilitas antrum
(sampai 50% kasus), tapi harus dimengerti bahwa proses motilitas
gastrointestinal merupakan proses yang sangat kompleks sehingga
gangguan pengosongan lambung tidak dapat mutlak mewakili hal tersebut.
d. Ambang rangsang persepsi
Dinding usus mempunyai berbagai reseptor, termasuk reseptor kimiawi,
reseptor mekanik, dan nociceptor. Berdasarkan studi, tampaknya kasus
dispepsia ini mempunyai hipersensitivitas viseral terhadap distensi balon
di gaster atau duodenum. Bagaimana mekanismenya belum dipahami.
Penelitian dengan menggunakan balon intragastrik mendapatkan hasil
pada 50% populasi dengan dispepsia fungsonal sudah timbul rasa nyeri
atau tidak nyaman di perut pada inflasi balon dengan volume yang lebih
rendah dibandingkan volume yang menimbulkan rasa nyeri pada populasi
kontrol.
e. Disfungsi autonom
Disfungsi persarafan vagal diduga berperan dalam hipersensitivitas
gastrointestinal pada kasus dispepsia fungsional. Adanya neuropati vagal
juga diduga berperan dalam kegagalan relaksasi bagian proksimal
lambung waktu menerima makanan sehingga menimbulkan gangguan
akomodasi lambung dan rasa cepat kenyang.
f. Aktivitas mioelektrik lambung
Adanya
disritmia
mioelektrik
lambung

pada

pemeriksaan

elektrogastrografi dilaporkan terjadi pada beberapa kasus dispepsia


fungsional, tapi hal ini bersifat inkonsisten.

g. Hormonal
Peran hormonal belum jelas dalam patogenesis dispepsia fungsional.
Dilaporkan adanya penurunan kadar motilin yang menyebabkan gangguan
motilitas

antroduodenal.

Dalam

beberapa

percobaan,

progesteron,

estradiol, dan prolaktin mempengaruhi kontraktilitas otot polos dan


memperlambat waktu transit gastroitestinal.
h. Diet dan faktor lingkungan
Adanya intoleransi makanan dilaporkan lebih sering terjadi pada kasus
dispepsia fungsional dibandingan kasus kontrol.
i. Psikologis
Adanya stres akut dapat mempengaruh fungsi gastrointestinal dan
mencetuskan keluhan pada orang sehat. Dilaporkan adanya penurunan
kontraktilitas lambung yang mendahului keluhan mual setelah stimulus
stres sentral. Korelasi antara faktor psikologis stres kehidupan, fungsi
autonom, dan motilitas tetap masih kontroversial. Tidak didapatkan
kepribadian yang karakteristik untuk kelompok dispepsia fungsional ini
dibandingan kelompok kontrol, walaupun dilaporkan dalam studi terbatas
adanya kecenderungan masa kecil yang tidak bahagia, adanya sexual
abuse, atau adanya gangguan psikiatrik pada kasus dispepsia fungsional.
5. Anamnesis dan Pemeriksaan fisik
Anamnesis
Pasien dengan keluhan dispepsia

diperlukan

anamnesis

lengkap

diantaranya, berapa sering terjadi keluhan dispepsia, sejak kapan terjadi keluhan,
adakah berkaitan dengan konsumsi makanan, konsumsi obat tertentu dan aktivitas
tertentu dapat menghilangkan keluhan atau memperberat keluhan, adakah nafsu
makan menghilang, muntah, muntah darah, BAB berdarah, batuk atau nyeri dada.
Pasien juga ditanya ada konsumsi obat obat tertentu, atau dalam
masaterdekat pernah operasi saluran cerna, ada riwayat penyakit ginjal, jantung
atau paru. Riwayat minum obat termasuk minuman yang mengandung alkohol
dan jamu yang dijual bebas di masyarakat. Hubungan dengan jenis makanan
tertentu perlu diperhatikan. Tanda dan gejala "alarm"(alarm simptom) seperti
disfagia, berat badan turun, nyeri menetap dan hebat, nyeri yang menjalar ke
punggung, muntah yang sangat sering, hematemesis, melena atau jaundice
kemungkinan besar adalah merupakan penyakit serius yang memerlukan
pemeriksaan seperti endoskopi dan / atau USG atau CT-Scan untuk mendeteksi
6

struktur

peptik,

adenokarsinoma

gaster

atau

esophagus,

penyakit

ulkus, pankreatitis kronis atau keganasan pankreas empedu.


Perlu ditanyakan hal-hal yang berhubungan dengan stresor psikososial
misalnya: hubungan antar manusia (orang tua, mertua,tetangga, adik ipar, kakak),
hubungan suami-istri, pekerjaan dan pendidikan. Hal ini berakibat eksaserbasi
gejala pada beberapa orang.
Pasien ulkus peptikum biasanya berumur lebih dari 45 tahun, nyeri
berkurang dengan mencerna makanan tertentu atau antasid. Nyeri sering
membangunkan pasien pada malam hari banyak ditemukan pada ulkus duodenum.
Gejala esofagitis sering timbul pada saat berbaring dan membungkuk setelah
makan kenyang yaitu perasan terbakar pada dada, nyeri dada yang tidak
spesifik (bedakan dengan pasien heart burnr), regurgitasi dengan gejala perasaan
asam pada mulut.Bila gejala dispepsia timbul segera setelah makan biasanya
didapatkan pada penyakit esofagus,gastritis erosif dan karsinoma. Sebaliknya bila
muncul setelah beberapa jam setelah makan sering terjadi pada ulkus duodenum.
Pasien dispepsia non ulkus lebih sering mengeluhkan gejala di luar GI, ada tanda
kecemasan atau depresi, atau mempunyai riwayat pemakaian psikotropik.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik untuk mengidentifikasi kelainan intra-abdomen atau
intra lumen yang padat misalnya tumor, organomegali, atau nyeri tekan sesuai
dengan adanya ransang peritoneal/peritonitis.Inspeksi pada distensi, asites,
parut,hernia yang jelas, ikterus, dan lebam. Auskultasi pada bunyi usus dan
karekteristik motilitasnya.Palpasi dan perkusi abdomen, perhatikan tenderness,
nyeri, pembesaran organ dan timpani.Pemeriksaan tanda vital bisa ditemukan
takikardi atau nadi yang tidak regular. Auskultasi bunyi gallop atau murmur di
jantung. Perhatikan dan lakukan pemeriksaan terhadap ektremitas, adakah
terdapat edema perifer dan dirasakan akral hangat atau dingin. Lakukan juga
perabaan terhadap kelenjar limfa.
Membedakan dispepsia organik dan dispepsia fungsional1,6
Dispepsia Organik
Dispepsia Fungsional
Anamnesis
Anamnesis
1. Adanya penyakit organik yang
1. Tanpa ada keluhan penyakit somatik/dasar
menyertai misalnya tukak peptik,
yang menyertai
gastritis, batu kandung empedu, Ca
2. Gejala sesuai dengan tipe dispepsia
saluran cerna bagian atas
- Dispepsia tipe ulkus yang dominan nyeri
7

2. Adanya alarm symtoms seperti


Usia >55 tahun (new onset), disfagia
atau odinofagia yang progresif, rectal
bleeding or melena, ada riwayat
keluarga yang menderita kanker
saluran cerna bagian atas, berat badan
turun >10% berat badan normal, ada
riwayat keganasan atau operasi pada
gaster, ada riwayat ulkus peptikum,
anoreksia/cepat kenyang, jaundice,
muntah yang persisten, anemia atau
bleeding, ada massa di abdomen.
PF
Adanya
kelainan
intraabdomen
/intralumen yang padat/tumor, adanya
organomegali, ditemukan adanya nyeri
tekan yang sesuai dengan rangsangan
peritoneal atau peritonitis
Pemeriksaan penunjang
Dengan
radiologi,endoskopi,
laboratorium memperlihatkan adanya
gangguan patologis

epigastrik
- Dispepsia tipe dismotilitas yang dominan
keluhan kembung, mual, muntah, rasa
penuh dan cepat kenyang
- Dispepsia tipe non-spesifik, tidak ada
keluhan yang dominan
PF
Tidak ditemukan kelainan intraabdomen/
organomegali
Pemeriksaan penunjang
Radiologi, endoskopi, dan laboratorium
tidak ada kelainan dan dalam batas normal
3. Bersifat idiopatik
4. Berhubungan dengan faktor psikososial

Tanda dan gajala dispepsia fungsional:2


Dispepsia gejala seperti ulkus
(ulcer-like dyspepsia)
a. Nyeri ulu hati yang dominan
dan disertai nyeri pada malam
hari
b. Nyeri
epigastrium
terlokalisasi
c. Nyeri hilang setelah makan
atau pemberian antasid
d. Nyeri saat lapar
e. Nyeri episodik

Dispepsia gejala seperti dismotilitas


(dismotility dyspepsia)
a. Kembung
b. Cepat kenyang
c. Perut cepat terasa penuh saat
makan
d. Mual, muntah
e. Upper abdominal bloating
f. Rasa tak nyaman bertambah saat
makan

6. Diagnosis
Diagnosis dispepsia fungsional adalah diagnosis yang telah ditetapkan,
dimana pertama sekali penyebab kelainan organik atau struktural harus
disingkirkan melalui pemeriksaan. Pemeriksaan yang pertama dan banyak
membantu adalah pemeriksaan qendoskopi. Oleh karena dengan pemeriksaan ini
dapat terlihat kelainan di esofagus, lambung dan duodenum. Diikuti dengan USG

(Ultrasonography) dapat mengungkapkan kelainan pada saluran bilier, hepar,


pankreas,

dan

penyebab

lain

yang

dapat

memberikan

perubahan

anatomis.Pemeriksaan hematologi dan kimia darah akan dapat mengungkapkan


penyebab dispepsia seperti diabetes, penyakit tyroid dan gangguan saluran bilier.
Pada karsinoma saluran pencernaan perlu diperiksa pertanda tumor.
7. Pemeriksaan penunjang
Pada dasarnya langkah pemeriksaan penunjang diagnostik adalah untuk
mengidentifikasi adanya gangguan organik. Pemeriksaan laboratorium, radiologi
dan endoskopi merupakan langkah yang paling penting.1 Pemeriksaan radiologi,
yaitu OMD dengan kontras ganda, serologi helicobacter pylori, USG abdomen,
dan urea breath test. Endoskopi merupakan pemeriksaan baku emas, selain
sebagai diagnostik sekaligus terapeutik. Pemeriksaan yang dapat dilakukan
dengan endoskopi adalah: 7
a. CLO (rapid urea test)
b. Patologi anatomi (PA)
c. Kultur mikroorganisme (MO) jaringan
d. PCR (polymerase chain reaction), hanya dalam rangka penelitian
Pemeriksaan endoskopi perlu dilakukan segera terutama pada pasien
dengan keluhan yang muncul pertama kali pada usia tua atau pasien dengan alarm
symptoms untuk menyingkirkan kausa organik pada pasien dispepsia.8
8. Penatalaksanaan
Strategi penatalaksanaan:2
a. Bila tidak ada alarm symptoms terapi empirik
b. Bila
ada
alarm
symptoms
segera
lakukan
pemeriksaan
esofagogastroduodenoskopi (EGD)
c. Tiap-tiap pasien mempunyai karakteristik dan keluhan tersendiri
d. Terapi psikologis dan terapi edukasi penting untuk dispepsia fungsional
e. Kadang-kadang pada satu pasien terdapat overlap (dispepsia, GERD, IBS)

Gambar 1. Pendekatan dalam Penatalaksanaan Dispepsia3

10

Gambar 2. Penatalaksanaan Dispepsia Fungsional3

Gambar 3. Penatalaksanaan Dispepsia Fungsional Tipe Ulkus3

Gambar 4. Penatalaksanaan Dispepsia Fungsional Tipe Dismotilitas3


1.

Terapi umum:9
A. Istirahat
B. Diet
a. Seimbang antara karbohidrat, protein, lemak, dan vitamin
11

b. Jangan banyak pantangan


C. Modifikasi gaya hidup
Modifikasi gaya hidup pada pasien dengan dispepsia fungsional meliputi:2
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

Makan dengan frekuensi yang sedikit


Berhenti merokok
Mengurangi minum alkohol
Mengurangi mengkonsumsi kafein
Menghindari makanan yang merangsang
Mempertahankan berat badan yang ideal
Review pengobatan

2. Medikamentosa:
Pengobatan dispepsia mengenal beberapa golongan obat, yaitu:1
a. Antasid
Antasida merupakan obat yang paling umum dikonsumsi oleh pasien
dispepsia, tapi dalam studi metaanalisis, obat ini tidak lebih unggul
dibandingkan plasebo. Golongan obat ini mudah didapat dan murah.
Antasid akan menetralisir sekresi asam lambung. Antasid biasanya
mengandung Na bikarbonat, Al(OH)3, Mg(OH)2, dan Mg triksilat.
Pemberian antasid jangan terus-menerus, sifatnya hanya simtomatis, untuk
mengurangi rasa nyeri. Mg triksilat dapat dipakai dalam waktu lebih lama,
juga berkhasiat adsorben sehingga bersifat nontoksik, namun dalam dosis
besar akan menyebabkan diare karena terbentuk senyawa MgCl2.
b. Antikolinergik
Kerja obat ini tidak spesifik. Obat yang agak selektif yaitu pirenzepin
bekerja sebagai anti reseptor muskarinik yang dapat menekan seksresi
asam lambung sekitar 28-43%. Pirenzepin juga memiliki efek sitoprotektif.
c. Antagonis reseptor H2
Obat ini juga umum diberikan pada pasien dispepsia. Umumnya
manfaatnya ditujukan untuk menghilangkan rasa nyeri ulu hati. Golongan
obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia organik atau
esensial seperti tukak peptik. Obat yang termasuk golongan antagonis
respetor H2 antara lain simetidin, roksatidin, ranitidin, dan famotidin.
d. Penghambat pompa asam (proton pump inhibitor = PPI)

12

Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir dari
proses sekresi asam lambung. Obat-obat yang termasuk golongan
PPIadalah omeperazol, lansoprazol, dan pantoprazol.
e. Sitoprotektif
Prostoglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil (PGE2).
Selain bersifat sitoprotektif, juga menekan sekresi asam lambung oleh sel
parietal. Sukralfat berfungsi meningkatkan sekresi prostoglandin endogen,
yang selanjutnya memperbaiki mikrosirkulasi, meningkatkan produksi
mukus dan meningkatkan sekresi bikarbonat mukosa, serta membentuk
lapisan protektif (site protective), yang bersenyawa dengan protein sekitar
lesi mukosa saluran cerna bagian atas (SCBA).
f. Golongan prokinetik
Obat yang termasuk golongan ini, yaitu sisaprid, domperidon, dan
metoklopramid. Golongan ini cukup efektif untuk mengobati dispepsia
fungsional dan refluks esofagitis dengan mencegah refluks dan
memperbaiki bersihan asam lambung (acid clearance).
g. Psikoterapi
Kadang kala juga dibutuhkan psikoterapi dan psikofarmaka (obat
antidepresi dan antianxietas) pada pasien dengan dispepsia fungsional,
karena tidak jarang keluhan yang muncul berhubungan dengan faktor
kejiwaan seperti cemas dan depresi.
9. Prognosis
Dispepsia fungsional yang ditegakkan setelah pemeriksaan klinis dan
penunjang yang akurat mempunyai prognosis yang baik.1

13

ILUSTRASI KASUS
Identitas Pasien
Nama

: Ny. H

Umur

: 47 tahun

Jenis kelamin

: Perempuan

Pekerjaan

: Ibu rumah tangga

Alamat

: -

Masuk RS

: 27 Mei 2013

Medical record

: 81.32.53

ANAMNESIS (autoanamnesis)
Keluhan Utama
Nyeri ulu hati yang semakin berat sejak satu hari sebelum masuk rumah sakit
(SMRS).
Riwayat Penyakit Sekarang
Sejak 5 bulan sebelum masuk rumah sakit pasien sering merasakan nyeri ulu
hati yang hilang timbul dan tidak menjalar, perut terasa kembung, mual, cepat
kenyang, rasa perut tak nyaman bertambah setelah makan. Jika nyeri ulu hati
timbul pasien membeli obat di warung dan biasanya nyeri hilang. Pasien tidak

14

ada mengeluhkan muntah, demam, BAB berwarna hitam dan penurunan berat
badan.
Lima hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluhkan nyeri ulu hati yang
hilang timbul dan tidak menjalar. Pasien juga mengeluhkan mual dan tidak ada
muntah, perut terasa kembung dan terasa penuh, cepat kenyang, sering
sendawa, rasa penuh dan rasa tak nyaman bertambah saat dan setelah makan.
Demam (-), sakit tenggorakan (-), mancret (-), nyeri dada (-). BAK dan BAB
tidak ada keluhan.
2 hari SMRS pasien mengeluh sakit kepala, nyeri dirasakan seperti ditekan,
terasa berat pada tengkuk, dan badan terasa lemas, tidak bisa tidur nyenyak.
Satu hari sebelum masuk rumah sakit pasien merasakan nyeri ulu hati yang
semakin berat, nyeri terasa menyesak, nyeri dirasakan semakin bertambah
setelah pasien makan. Pasien juga mengeluhkan perut kembung, mual, muntah
berwarna kekuningan bercampur dengan makanan dan darah (-). Muntah
mengaku muntah terjadi setelah makan dan minum. Pasien juga mengeluhkan
nafsu makan berkurang dan badannya lemas.
Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien pernah mengeluhkan hal yang sama sebelumnya

Riwayat hipertensi (+) sejak lima tahun yang lalu

Riwayat penyakit diabetes (-)

Riwayat Penyakit Dalam Keluarga


Tidak ada anggota keluarga yang mengeluhkan penyakit yang sama
DM (-)
HT (-)
Riwayat Pekerjaan, Kebiasaan

Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga.

Riwayat merokok (-) dan mengkonsumsi alkohol (-)

Pasien suka makanan yang pedas

15

Pasien mengalami stress dalam menghadapi masalah kelurga

Jadwal makan pasien tidak teratur

Pasien sering minum jamu sehat ( 2 kali dalam sehari) pasien tidak tahu
kapan mulai minum jamu

Jarang mengkonsumsi sayur dan buah-buahan

Jarang berolahraga

PEMERIKSAAN FISIK
Kesadaran

: Komposmentis

Keadaan umum

: Tampak sakit sedang

Vital Sign
Tekanan darah

: 180/100 mmHg

Frekuensi nadi

: 96x/menit, teratur, isian cukup

Frekuensi napas

: 24x/menit

Suhu

: 37,20 C (aksila)

Keadaan gizi
Berat badan

: 55 kg

Tinggi badan

: 167 cm

Kepala Leher
Kulit dan wajah

: udem (-)

Mata

:
Konjungtiva pucat (-/-)
Sklera ikterik (-/-)
Refleks cahaya (+/+) , isokor, diameter 2mm/2mm

Lidah

: Tidak kotor

Telinga Hidung Mulut : Tidak ada kelainan


Leher :
JVP 5 - 2 cmH20
Pembesaran KGB (-)
Thorak
16

Paru:
Inspeksi

: Gerakan dada simetris kanan = kiri

Palpasi

: Vookal fremitus kanan = kiri

Perkusi

: Sonor pada semua lapangan paru

Auskultasi : Vesikuler (+/+), Wheezing (-/-), ronki (-/-) pada semua lapangan
paru
Jantung:
Inspeksi

: Iktus kordis tidak terlihat

Palpasi

: iktus kordis teraba 2 jari medial LMCS SIC V

Perkusi

: Batas kanan linea sternalis dextra SIC V


Batas kiri 2 jari medial LMCS SIC V

Auskultasi : Bunyi jantung normal, murmur (-), gallop (-/)


Abdomen
Inspeksi

: Tampak datar, simetris, venektasi (-), scar (-)

Auskultasi : BU (+) normal


Perkusi

: Timpani, shifting dullness (-), nyeri ketok CVA (-)

Palpasi

: Supel, nyeri tekan pada epigastrium (+), hepar dan lien tidak
teraba, murphy sign (-), tidak teraba massa, balloement (-/-)

Ekstremitas
Akral hangat
Oedem (-/-)
CRT < 2 detik
Pemeriksaan Penunjang
28/05/2013
Darah rutin
Hb

: 13,1 gr/dl

Ht

: 39,2 vol%

Leukosit

: 11.400 /ul

Trombosit : 222.000 /ul


Kimia Darah

17

GDS

: 151 mg/dl

BUN

: 10,9 mg/dl

CREA

: 0,82mg/dl

UREA

: 23,3

AST

: 44,8 IU/L

ALT

: 54 IU/L

BUN

: 10,9

RESUME
Ny. H, perempuan, 47 tahun, ibu rumah tangga, datang ke RSUD AA dengan
keluhan utama nyeri pada ulu hati yang semakin berat sejak 1 hari sebelum masuk
rumah sakit. Dari anamnesa didapatkan bahwa pasien mengeluhkan nyeri ulu hati
semakit berat setelah makan, mual (+), muntah (+), kembung (+), cepat kenyang
dan rasa penuh sejak 5 hari SMRS. Dari pemeriksaan fisik ditemukan tekanan
darah 180/100 mmHg dan ditemukan nyeri tekan pada epigastrium.
DAFTAR MASALAH
Sindroma dispesia
Hipertensi grade II
DIAGNOSA
Dispepsia fungional tipe dismotilitas + Hipertensi Grade II
RENCANA PENATALAKSANAAN
Non farmaka :
Istirahat/ tirah baring
Modifikasi gaya hidup
o Menghentikan konsumsi makanan yang pedas dan jamu
o Mengendalikan stres
o Jadwal makan harus teratur
Farmaka :
18

IVFD RL 20 tt/mnt
Inj. Ranitidin 2x50mg
Domperidon 3x10 mg
Antasid syr 3xCI
Hyosin N 3x1
Amlodipin 1x5 mg
Valsartan 1X80 mg
FOLLOW UP PASIEN
28 Mei 2013
S : nyeri ulu hati (+), mual (+), muntah (+), pusing (-), badan lemas, nafsu makan
kurang.
O : Kesadaran : Komposmentis
TD : 160/100 mmHg

RR

: 20 x/mnt

: 36,90C

: 80 x/menit

Abdomen : nyeri tekan epigastrium (+)


A : Dispepsia fungional tipe dismotilitas + Hipertensi Grade I
P:
IVFD RL 20 tt/mnt
Inj. Ranitidin 2x50 mg
Domperidon 3x10 mg
Antasid syr 3xCI
Hyosin N 3x1
Amlodipin 1x5 mg
Valsartan 1X 80 mg
29 Mei 2013
S : nyeri ulu hati berkurang, mual (+), muntah (+), nafsu makan kurang.
O : Kesadaran : Komposmentis
TD : 190/120 mmHg

RR

: 22x/mnt

: 36,90C

: 95 x/menit

19

Abdomen : nyeri tekan epigastrium (+).


A : Dispepsia funsional tipe dismotilitas + hipertensi urgensi
P:
IVFD RL 20 tt/mnt
Inj. Ranitidin 2x50 mg
Domperidon 3x10 mg
Antasid syr 3xCI
Hyosin N 3x1
Amlodipin 1x5 mg
Valsartan 1X80 mg
30 Mei 2013
S : nyeri ulu hati berkurang, mual(-), muntah (-), nafsu makan mulai membaik.
O : Kesadaran : Komposmentis
TD : 160/100 mmHg

RR

: 20 x/mnt

N : 93 x/menit

: 36,7 0C

Abdomen : nyeri epigastrium (-)


A : Dispepsia funsional tipe dismotilitas + hipertensi grade I
P:
IVFD RL 20 tt/mnt
Inj. Ranitidin 2x50 mg
Domperidon 3x10 mg
Antasid syr 3xCI
Hyosin N 3x1
Amlodipin 1x5 mg
Valsartan 1X 80 mg
Pasien diizinkan pulang

20

PEMBAHASAN
Dispepsia merupakan nyeri atau perasaan yang tidak nyaman di daerah
perut kanan atas atau epigastrium. Dispepsia secara umum dibagi dua yaitu
dispepsia organik dimana ditemukan adanya kelainan organik dan dispepsia
nonorganik (fungsional) dimana tidak ditemukan adanya kelainan struktural. Dari
anamnesis pada pasien ini didapatkan keluhan utama yang membawa pasien
datang berobat ke rumah sakit adalah nyeri ulu hati yang semakin berat sejak satu
hari sebelum masuk rumah sakit. Nyeri ulu hati ini telah timbul sejak 5 bulan
SMRS, nyeri ulu hati dirasakan hilang timbul, tidak menjalar dan tidak ada
muntah. Dari anamnesis juga didapatkan beberapa faktor resiko yang dapat
menyebabkan timbulnya keluhan dispepsia diantaranya : pasien suka makanan
yang pedas, pasien mengalami stress dalam menghadapi masalah kelurga, jadwal
makan pasien tidak teratur, pasien sering minum jamu sehat. Keluhan-keluhan
yang dirasakan pasien ini merupakan kumpulan gejala yang ditemukan pada
sindroma dispepsia.
Dari pemeriksaan fisik ditemukan nyeri tekan pada epigastirum, tidak
ditemukan adanya organomegali. Pasien juga menyangkal adanya BAB berwarna
hitam, muntah berwarna hitam, demam, penurunan berat badan, sakit tenggorokan
dan riwayat keganasan pada saluran cerna. Hal ini dapat menyingkirkan diagnosis
dispepsia organik dan keluhan pasien ini lebih mengarah pada dispepsia
fungsional.
Dari anamnesis ditemukan bahwa keluhan dominan pasien adalah rasa
kembung, cepat kenyang, rasa tidak nyaman semakin bertambah setelah makan,
nyeri semakin bertambah setelah pasien makan dan pasien mengaku muntah
setelah makan. Keluhan yang dirasakan pasien ini mengarah ke dispepsia
fungsioanal tipe dismotiliti. Hal ini juga sesuai dengan kriteria dispesia fungsional
tipe dismotiliti berdasarkan konsensus Roma II dimana dispepsia sudah
berlangsung sukurang-kurangnya 12 minggu dengan keluhan kembung, mual, rasa
penuh, cepat kenyang dan rasa nyeri ulu hati yang bertambah setelah makan yang
dominan.

Sehingga pada pasien ini dapat ditegakkan diagnosis dispepsia

fungsional tipe dismotiliti, namun untuk diagnosis pasti diperlukan pemeriksaan


penunjang yaitu endoskopi (gastroskopi).

21

Dari pemeriksaan fisik diketahui tekanan darah tinggi pasien ini yaitu
180/100 mmHg. Dari hasil pemeriksaan fisik dapat disimpulkan bahwa pasien ini
menderita Hipertensi stage II. Hal ini ditandai dari adanya keluhan sakit kepala,
nyeri dirasakan seperti ditekan, terasa berat pada tengkuk, dan badan terasa lemas.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pasien dispepsia yang belum
diinvestigasi terutama harus ditujukan untuk mencari kemungkinan adanya
kelainan organik sebagai kausa dispepsia. Pasien dispepsia dengan alarm
symptoms kemungkinan besar didasari kelainan organik. Termasuk dalam alram
symptoms secaa umum, yaitu : disfagia, weight loss, bukti perdarahan saluran
cerna (melena, hematemesis, hematokhezia, anemia defisiensi besi, tanda
obstruksi saluran cerna. Pasien dengan alram symtoms perlu dilakukan endoskopi
segera untuk menyingkirkan penyakit tukak peptik dengan komplikasinya, GERD,
atau keganasan.
Pada pasien ini tidak ditemukan adanya alarm symtoms. Rasa perut yang
cepat penuh pada pasien ini bukanlah suatu tanda obstruksi saluran cerna namun
pada pasien ini terjadi perlambatan pengosongan lambung sehingga perutnya
terasa cepat penuh. Pada pasien ini tidak tidak didapatkan adanya keluhan nyeri
menelan, muntah dan perubahan pola BAB dapat menyingirkan diagnosis banding
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) dan Iritable Bowel Syndrome (IBS).
Prinsip penatalaksanaan dispepsia pada pasien ini sesuai dengan
penatalaksanaan dispepsia tanpa alarm symtoms, yaitu dengan menggunakan
terapi empirik. Hal ini sesuai dengan konsensus nasional Helicobacter pylory,
dimana pasien dengan dispepsia sebelum diperiksa Helicobacter pylory perlu
diberikan terapi empirik terlebih dahulu, yaitu penghambat reseptor H2 dan
penghambat pompa proton selama 2 minggu. Jika tidak ada perbaikan maka perlu
dilakukan evalusi untuk mengidentifikasi Helicobacter pylory. Pemeriksaan
Helicobacter pylory terdiri dari pemeriksaan invasif dan noninvasif. Pemeriksaan
noninvasif terdiri dari urea breath test (UBT), serologi IgG H.pylori dan stool
antigen test (SAT), sedangkan pemeriksaan invasif dapatdilakukan dengan 3 cara,
yakni rapid urea test, pemeriksaan histologi dan kultur.
Endoskopi direkomendasikan sebagai investigasi pertama pada evaluasi
penderita dispepsia dan sangat penting untuk dapat mengklasifikasikan keadaan

22

pasien apakan dispepsia organik atau fungsional. Dan dengan endoskopi dapat
dilakukan biopsi mukosa untuk mengetahui keadaan patologis mukosa lambung.

DAFTAR PUSTAKA
1. Djojoningrat D. Dispepsia fungsional. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Setiadi S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I. Edisi 4.
Jakarta: Pusat penerbitan departemen ilmu penyakit dalam FKUI; 2006.
352-4.
2. Tbm Calcaneus Online. Dispepsia. 2009; http://www.tbmcalcaneus.org
diakses 29 Oktober 2012.
3. Zainal A. Sindroma Dispepsia. Pekanbaru: FK UR; 2009.

23

4. Davey P, editor. Nyeri perut dan dispepsia. Dalam: At a glance medicine.


Jakarta: Erlangga; 2005. 42-3.
5. Friedman LS, Isselbacher KJ. Anoreksia, nausea, vomitus dan dyspepsia.
Dalam: Asdie AH, editor edisi bahasa indonesia. Harrison: prinsip-prinsip
ilmu penyakit dalam. Jakarta: Erlangga; 1995. 244-6.
6. Djumhana AH. Recent Management of Dyspepsia. Bandung :FK Unpad.
2011
7. Geeraerts B. Funcitional dyspepsia: past, present, and future. J
Gastroentereol 2008; 43: 251-255.
8. Mansjoer A, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: FK UI; 2001.
9. Tarigan CJ. Perbedaan Depresi pada Pasien Dispepsia Fungsional dan
Dispepsia Organik. Medan: FK USU; 2003
10. Syam AF. Infeksi Helicobacter pylori harus tetap diwapadai. Maj Kedokt
Indon; 2010: 60(8). 349-350.
11. Kho D. Diagnosis dan tatalaksana terkini infeksi Helicobacter pylori. Maj
Kedokt Indon; 2010: 60(8). 381-384.

24

Anda mungkin juga menyukai