Anda di halaman 1dari 14

TEORI PERKEMBANGAN

KEPRIBADIAN, SOSIAL, DAN MORAL

MAKALAH
Disusununtukmemenuhitugas mata kuliah PBM Biologi Iyang dibimbingolehProf.
Dra. Herawati Susilo, M.Sc., Ph.D. dan Dr. Susriyati Mahanal, M. Pd.

Oleh:
Kelompok 6
Kelas D - PPs
1
2

Akhiruddin
Dwida Maghfiroh

(140341807847)
(140341807365)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
OKTOBER 2014

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan berarti serangkaian perubahan progresif yang terjadi
sebagai akibat dari proses kematangan dan pengalaman. Perkembangan
merupakan perubahan secara kualitatif. Ini berarti bahwa perkembangan bukan
sekedar penambahan beberapa sentimeter pada tinggi badan seseorang atau
peningkatan beberapa sentimeter pada tinggi badan seseorang, melainkan suatu
proses integrasi dari banyak struktur dan fungsi yang kompleks. Perkembangan
juga diartikan sebagai peruibahan-perubahan yang dialami individu atau
organisme menuju tingkat kedewasaannya atau kematangannya (maturation) yang
berlangsung secara sistematis, progresif, dan berkesinambungan, baik
menyangkut fisik (jasmaniah) maupun psikis (rohaniah).
Perkembangan dapat diartikan suatu proses perubahan pada diri individu
atau organisme, baik fisik (jasmaniah) maupun psikis (rohaniah) menuju tingkat
kedewasaan atau kematangan yang berlangsung secara sistematis progresif, dan
berkesinambungan. Dan semua para ahli sependapat bahwa yang dimaksud
dengan perkembangan itu adalah suatu proses perubahan pada seseorang kearah
yang lebih maju dan lebih dewasa, namun mereka berbeda-beda pendapat tentang
bagaimana

proses

perubahan

itu

terjadi

dalam

bentuknya

hakiki.Mengetahuiketerkaitan
eratantaraperkembangananakdenganketerlaksanaannya

yang
yang

proses

pendidikan,

makapengetahuanmengenaitahapperkembangantertentupadaanaksangatpentingunt
ukdiketahui.
digunakanoleh

Hal

ininantinyabergunasebagaiaspekukuranataukriteria

guru

untukmengenalisecaradiniperkembangananak

yang
yang

menyimpangdaripolaumum.
Pada pendidikan formal berbagai proses pembelajaran di sekolah (formal)
tentunya tidak akan lepas dari substansi-substansi seperti kurikulum,
pengajar/guru, siswa/pesrta didik, materi, metode, lingkungan belajar, dan
evaluasi. Sering kali kita lupa dengan substansi-substansi ini dalam mendesain
suatu pembelajaran. Desain pembelajaran adalah tata cara yang dipakai untuk

melaksanakan proses pembelajaran. Dalam mendesain pembelajaran guru harus


memperhatikan substansi-substansi ini agar siswa mengalami proses belajar dan
pada akhirnya memperoleh hasil belajar yang menyenangkan. Oleh karena itu
guru harus melihat, memperhatikan, mempertimbangkan, dan memprioritaskan
tentang ciri siswa/peserta didik, tujuan yang akan dicapai, materi,
pendekatan/metode yang digunakan, lingkungan belajar, dan evaluasi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkanlatarbelakangtersebut,makadapatdirumuskanmasalahsebagaibe
rikut.
1. Bagaimana prinsip-prinsip teoriperkembangan kepribadian?
2. Bagaimana prinsip-prinsip teoriperkembangan sosial?
3. Bagaimana prinsip-prinsip teoriperkembangan moral?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut maka tujuan dari pembuatan
makalah ini adalah.
1. Mengetahui prinsip-prinsip teoriperkembangan kepribadian.
2. Mengetahui prinsip-prinsip teoriperkembangan sosial.
3. Mengetahui prinsip-prinsip teoriperkembangan moral.

BAB II
ISI

A. Perkembangankepribadian
Kepribadiantidakterjadisecaraotomatissemenjakmanusialahir,
namunterbentukmelalui proses kehidupan yang panjang. Banyakfaktor yang
ikutambilbagiandalampembentukankepribadiantersebut.Pembentukankepribadian
padadasarnyaadalahupayauntukmengubahsikapkearahkecenderunganterhadapnilai
-nilaitertentu

(Maimunah,

dantingkahlakuseorangindividu.

2002).Kepribadianmerupakanperbedaansifat,
Robbins

(2007)

dalam

Sari

(2012),

memberikandefinisikepribadiansebagaikombinasiunikdarikarakteristikpsikologi
yang

mempengaruhibagaimanaseseorangbereaksidanberinteraksidengan

orang

lain.Perkembangankepribadianpadapendidikanharusdimulaidarikepribadianseoran
g guru terlebihdahulu. Guru merupakansosok yang akanditeladanioleh muridmuridnya(digugudanditiru),

sehinggasegalasikap,

tingkahlaku,

danpribadinyaharusdijaga. Jabatan guru adalahjabatanprofesional, olehkarenaitu


guru harusmemilikikompetensi yang ditentukan.DalamUndang-UndangRepublik
Indonesia No. 14/2005 tentang Guru danDosendanPeraturanPemerintah No.
19/2005

tentangStandarNasionalPendidikan

harusmemilikiempatkompetensidasar,

(SNP),

seorang

guru

yaknikompetensikepribadian,

kompetensipedagogik, kompetensiprofesional, dankompetensisosial.


Kompetensi

kepribadian

merupakan

kemampuan

personal

yang

mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, berwibawa, menjadi


teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. Kompetensi profesional, meliputi
penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam, penguasaan landasan
dan wawasan kependidikan, dan penguasaan proses belajar mengajar. Kompetensi
pedagogi meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan
pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta
didik. Sedangkan kompetensi sosial merupakan kemampuan guru untuk
berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik,
tenaga kependidikan, orang tua/wali murid, dan masyarakat sekitar.
Secara lebih rinci kompetensi kepribadian guru dijelaskan berdasarkan
aspek-aspek sebagai berikut:

1. Kepribadian yang mantapdanstabilartinyabertindaksesuaidengannormahukum,


bertindaksesuaidengannormasusila,

banggasebagai

guru,

danmemilikikonsistensidalamberfikirdanbertindak.
2. Kepribadiandewasa,
berartimempunyaikemandiriandalambertindaksebagaipendidik,
danmemilikietoskerjasebagai guru.
3. Kepribadian
yang
arif,

artinyamenampilkantindakan

didasarkanpadakemanfaatanpesertadidik,

sekolah,

sertamenunjukkanketerbukaandalamberfikirdanbertindak.
4. Kepribadianberwibawa,
berartiberperilaku

yang

danmasyarakat,
yang

berpengaruhpositifterhadappesertadidik, perilaku yang disegani.


5. Kepribadian
yang
dapatmenjaditeladanbagipesertadidik,
artinyamemilikiperilaku yang baiksehinggadapatditeladanipesertadidik.
6. Kepribadian yang berakhlakmulia, bertindaksesuaidengannorma religious
meliputi :imandantaqwa, jujur, ikhlas, sukamenolong.
Kepribadian

seorang

kepribadian peserta didik.

guru

berpengaruh

terhadap

perkembangan

Hal ini disebabkan karena pandangan pendekatan

ilmiah (scientific approach), hasil akhir pembelajaran pada peserta didik adalah
berupa peningkatan dan keseimbangan antara kemampuan untuk menjadi manusia
yang baik (soft skills) dan manusia yang memiliki kecakapan dan pengetahuan
untuk hidup secara layak (hard skills) dari peserta didik yang meliputi aspek
kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Seorang guru harus membekali
diri dengan kepribadian yang baik serta sejumlah pengetahuan dan keterampilan
lain yang sangat diperlukan dalam keberhasilan pembentukan kepribadian peserta
didik. Ini adalah penting karena guru dalam menjalani profesinya tidak
berhadapan dengan benda mati, melainkan berhadapan dengan manusia yang
disebut dengan peserta didik.
Peserta didik yang dihadapi oleh guru tersebut adalah individu- individu
yang unik dan berbeda satu dengan yang lainnya. Mereka hadir dan berkumpul di
ruang kelas dari berbagai latar belakang, baik sosial, kultural, strata ekonomi yang
berbeda. Mereka juga datang dengan membawa corak kepribadian, karakteristik,
tingkah laku, minat, bakat, kecerdasan dan berbagai tingkat perkembangan
lainnya yang berbeda-beda pula.Terdapat beberapa tokoh penting dalam teori

perkembangan kepribadian peserta didik antara lain adalah: Sigmund Freud, Carl
Gustav Jung dan Erik H. Erikson.
a. Sigmund Freud
Freud adalah teoritisi pertama yang memusatkan perhatiannya kepada
perkembangan kepribadian dan menekankan pentingnya peran masa bayi dan
awal-anak dalam membentuk karakter seseorang. Freud yakin bahwa struktur
dasar kepribadian sudah terbentuk pada usia 5 tahun dan perkembangan
kepribadian sesudah usia 5 tahun sebagian besar hanya merupakan elaborasi dari
struktur dasar tadi. Freud membagi perkembangan kepribadian menjadi 3 tahapan
yakni tahap infatil (0 5 tahun), tahap laten (5 12 tahun) dan tahap genital (> 12
tahun).
Tahap infatil yang paling menentukan dalam membentuk kepribadian,
terbagi menjadi 3 fase, yakni fase oral, fase anal, dan fase falis. Perkembangan
kepribadian ditentukan oleh perkembangan insting seks, yang terkait dengan
perkembangan biologis, sehingga tahap ini disebut juga tahap seksual infatil.
Perkembangan insting seks berarti perubahan karateristis seks dan perkembangan
biologis menyiapkan bagian tubuh untuk dipilh menjadi pusat kepuasan seksual
(arogenus zone). Pemberian nama fase-fase perkembangan infatil sesuai dengan
bagian tubuh daerah organ yang menjadi karateristis seksual pada fase itu. Pada
tahap laten, impuls seksual mengalami represi, perhatian anak banyak tercurah
kepada pengembangan kognitif dan keterampilan. Baru sesudah itu, secara
biologis terjadi perkembangan pubertas yang membangun impuls seksual dari
represinya untuk berkembang mencapai kemasakan. Pada umumnya kemasakan
kepribadian dapat dicapai pada usia 20 tahun (Suparmin,2010).
b. Carl Gustav Jung
Perkembangan kepribadian menurut pandangan Carl Gustav Jung lebih
lengkap dibandingkan dengan Freud. Jung beranggapan bahwa semua peristiwa
disebabkan oleh sesuatu yang terjadi di masa lalu (mekanistik) dan kejadian
sekarang ditentukan oleh tujuan (purpose). Prinsip mekanistik akan membuat
manusia menjadi sengsara karena terpenjara oleh masa lalu. Manusia tidak bebas
menentukan tujuan atau membuat rencana karena masa lalu tidak dapat diubah.
Sebaliknya, prinsip purposif membuat orang mempunyai perasan penuh harapan,

ada sesuatu yang membuat orang berjuang dan bekerja. Dari keduanya dapat
diambil sisi positifnya, kegagalan di masa lalu bukan dijadikan beban tapi
dijadikan pengalaman yang kemudian digunakan sebagai stimuli untuk belajar
lebih baik dari kegagalan tersebut. Terlepas dari kegagalan seseorang harus
memiliki angan, impian dan harapan, hal inilah yang kemudian mengarahkan pada
tujuan yang akan diraih di masa mendatang.
Tahap-tahap perkembangan menurut Jung terdiri atas 4 tahap. Hal tersebut
dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Usia anak (Childhood). Usia anak dibagi menjadi 3 tahap, yakni anarkis
pada anak kesadaran masih kacau pada usia 0-6 tahun, tahap monarkis
yakni anak ditandai dengan perkembangan ego, mulai berfikir verbal dan
logika pada usia 6-8 tahun, tahap dualistik yakni anak dapat berfikir secara
obyektif dan subyektif terjadi pada usia 8-12 tahun.
2. Usia Pemuda. Pemuda berjuang untuk mandiri secara fisik dan psikis dari
orang tuanya.
3. Usia Pertengahan. Ditandai dengan aktualisasi diri, biasanya sudah dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungannya, memiliki pekerjaan, kawin,
punya anak dan ikut dalam kegiatan sosial.
4. Usia Tua. Fungsi jiwa sebagian besar bekerja secara tak sadar, pikiran dan
kesadaran ego mulai menurun (Suparmin,2010).
c. Erik H. Erikson
Teori Erikson dikatakan sebagai salah satu teori yang sangat selektif
karena didasarkan pada tiga alasan. Alasan yang pertama, karena teorinya sangat
representatif dikarenakan memiliki kaitan atau hubungan dengan ego yang
merupakan salah satu aspek yang mendekati kepribadian manusia. Kedua,
menekankan pada pentingnya perubahan yang terjadi pada setiap tahap
perkembangan dalam lingkaran kehidupan, dan yang ketiga/terakhir adalah
menggambarkan secara eksplisit mengenai usahanya dalam mengabungkan
pengertian klinik dengan sosial dan latar belakang yang dapat memberikan
kekuatan/kemajuan dalam perkembangan kepribadian didalam sebuah lingkungan.
Melalui teorinya Erikson memberikan sesuatu yang baru dalam
mempelajari mengenai perilaku manusia dan merupakan suatu pemikiran yang

sangat maju guna memahami persoalan/masalah psikologi yang dihadapi oleh


manusia pada zaman modern seperti ini. Oleh karena itu, teori Erikson banyak
digunakan untuk menjelaskan kasus atau hasil penelitian yang terkait dengan
tahap perkembangan, baik anak, dewasa, maupun lansia. Erikson dalam
membentuk teorinya secara baik, sangat berkaitan erat dengan kehidupan
pribadinya dalam hal ini mengenai pertumbuhan egonya. Erikson berpendapat
bahwa pandangan-pandangannya sesuai dengan ajaran dasar psikoanalisis yang
diletakkan oleh Freud. Jadi dapat dikatakan bahwa Erikson adalah seorang postfreudian atau neofreudian. Akan tetapi, teori Erikson lebih tertuju pada
masyarakat dan kebudayaan. Hal ini terjadi karena dia adalah seorang ilmuwan
yang punya ketertarikan terhadap antropologis yang sangat besar, bahkan dia
sering meminggirkan masalah insting dan alam bawah sadar. Oleh sebab itu, maka
di satu pihak ia menerima konsep struktur mental Freud, dan di lain pihak
menambahkan

dimensi

sosial-psikologis

pada

konsep

dinamika

dan

perkembangan kepribadian yang diajukan oleh Freud.


Bagi Erikson, dinamika kepribadian selalu diwujudkan sebagai hasil
interaksi antara kebutuhan dasar biologis dan pengungkapannya sebagai tindakantindakan sosial. Tampak dengan jelas bahwa yang dimaksudkan dengan
psikososial apabila istilah ini dipakai dalam kaitannya dengan perkembangan.
Secara khusus hal ini berarti bahwa tahap-tahap kehidupan seseorang dari lahir
sampai dibentuk oleh pengaruh-pengaruh sosial yang berinteraksi dengan suatu
organisme yang menjadi matang secara fisik dan psikologis. Sedangkan konsep
perkembangan yang diajukan dalam teori psikoseksual yang menyangkut tiga
tahap yaitu oral, anal, dan genital, diperluasnya menjadi delapan tahap sedemikian
rupa sehingga dimasukkannya cara-cara dalam mana hubungan sosial individu
terbentuk dan sekaligus dibentuk oleh perjuangan-perjuangan insting pada setiap
tahapnya (Suparmin,2010).

B. PerkembanganSosial
Perubahansosial yang terjadidalammasyarakatmenyangkutnilai-nilaisosial,
pola-polaperilaku, organisasi, lembagakemasyarakatan, lapisandalammasyarakat,

kekuasaandanwewenang,

yang

terjadisecaracepatataulambatmemilikipengaruhmendasarbagipendidikan.Pengaruh
mendasartersebutadalahdalamhalperkembangansosialpesertadidik.Hal
inisejalandenganteoribelajarsosiokulturyaitupenggunaanalatberfikirseseorang
yang
tidakdapatdilepaskandaripengaruhlingkungansosialbudayanya.Lingkungansosialb
udayaakanmenyebabkansemakinkompleksnyakemampuan

yang

dimilikiolehsetiapindividu.
Perkembangansosialhampirdapatdipastikanmerupakanperkembangan
sebabperilaku

moral

padaumumnyamerupakanunsur

moral,
fundamental

dalambertingkahlakusosial.Seorangpesertadidikhanyaakanberperilakusosialtertent
usecaramemadaiapabilamenguasaipemikirannormaperilaku

moral

yang

diperlukanuntukmenguasaipemikirannormaperilaku yang diperlukan.


DijelaskanlebihjauholehVygotsky,seorangahlipsikologipendidikan
memperkenalkanteorisosiobudaya.Teori

yang

dinyatakanoleh

yang

Vygotsky

inimerupakanteorigabunganantarakognitifdengansosial.Teorinyainijugamenyataka
nbahwaperkembangankanak-kanakbergantungkepadainteraksikanak-kanakdengan
orang yang ada di sekitarnya yang menjadialatpenyampaiansesuatubudaya yang
membantumerekamembinapandangantentangsekelilingnya.Secarasingkat,
teoriperkembangansosialberpendapatbahwainteraksisosialdenganbudayamendahul
ui.Maksudnyadarirelasidenganbudayamembuatseoranganakmengalamikesadarand
anperkembangankognisi.Jadiintinya

Vygotsky

memusatkanperhatiannyapadahubungankerjasamaantaraindividudanmasyarakatda
lampembentukanpengetahuan.Pengetahuanterbentuksebagaiakibatdariinteraksisosi
aldanbudayaseoranganak.
Arends

(2007)

menyatakanpendapatbahwakontekssosialpadapembelajaransangatpentingkarenako
ntekssosialmerupakanlingkungansekitar

yang

mampumenjadisaranauntukmengajardanbelajarbagipesertadidikuntukmempelajari
sesuatuhaltentangapadanbagaimanapengaruhsuatuhaltersebutbisaterjadi.
SelanjutnyaArendsmenjelaskanlebihjauhlagibahwateorisosialkognnitifdalamkonte
kspembelajaranmenekankan

proses

pembelajaranmelaluiobservasilangsungpadakeadaansosialdanmengutamakanpeser
tadidikuntukpercayapadadirisendiridansituasibelajar.

Hal

inipentingkarenadenganmempelajariperkembangansosialakanmenyebabkansemaki
nkompleksnyakemampuan

yang

dimilikiolehsetiappesertadidik

dalam

berhubungan sosial danmembentukperilakunya agar sesuaidenganharapan sosial


yang berlaku pada masyarakat.
C. Perkembangan Moral
Istilah moral berasal dari kata Latin mos (Moris), yang berarti adat
istiadat, kebiasaan, peraturan/nilai-nilai atau tata cara kehidupan. Moral dapat juga
diartikan sebagai ajaran tentang baik buruk perbuatan dan kelakuan, akhlak, dan
kewajiban. Dalam moral diatur segala perbuatan yang dinilai baik, perlu
dilakukan,dan suatu perbuatan yang dinilai tidak baik dan perlu dihindari.
Perkembangan moral adalah perkembangan yang berkaitan dengan aturan
dan konvensi mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam
interaksinya dengan orang lain (Durkheim, 1990). Seorang anak dilahirkan tidak
memiliki moral (immoral). Tetapi dalam dirinya terdapat potensi moral yang siap
untuk dikembangkan. Karena itu, dalam pengalamannya berinteraksi dengan
orang lain, anak belajar memahami tentang perilaku baik, yang boleh dikerjakan
dan tingkah laku buruk, yang tidak boleh dikerjakan. Sedangkan moralitas
merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai atau prinsip
moral yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Sehingga tugas penting yang harus
dikuasai oleh peserta didik adalah mempelajari yang diharapkan oleh masyarakat
dan membentuk perilakunya agar sesuai dengan harapan sosial tanpa terus
dibimbing, diawasi, didorong, dan diancam hukuman seperti yang dialami waktu
anak-anak.
Teori perkembangan moral diungkapkan oleh Lowrence Kohlberg, teori
ini berpandangan bahwa penalaran moral, yang merupakan dasar dari perilaku
etis, mempunyai enam tahapan yang dapat teridentifikasi. Ia merevisi dan
memperluas teori perkembangan moral yang telah dikemukakan oleh Piaget.
Keenam tahapan perkembangan moral dari Kohlberg dikelompokkan ke dalam

tiga tingkatan: pra-konvensional, konvensional, dan pascakonvensional(Haricahyono, 1995).


1. Tingkat Prakonvensional (usia 4-10th)
Tingkat prakonvensional merupakan tingkat yang paling rendah dalam
teori perkembangan moral Kohlberg.Pada tingkat ini, seorang anak akan begitu
responsif terhadap persoalan-persoalan yang berkaitan dengan norma baik, buruk,
benar, salah, dan lain sebagainya.Seseorang yang berada dalam tingkat prakonvensional menilai moralitas dari suatu tindakan berdasarkan konsekuensinya
langsung (misalnya hukuman, ganjaran, dan balasan lainnya). Dengan kata lain
aturan dikontrol oleh orang lain (eksternal) dan tingkah laku yang baik akan
mendapat hadiah dan tingkah laku yang buruk mendapatkan hukuman. Dalam
tingkatan prakonvensional ini dapat dibedakan adanya dua tahap, yaitu:
Tahap I memperhatikan ketaatan dan hukum,
Pada tahap ini penalaran moral didasarkan atas hukuman, seorang anak
taat karena orang dewasa menuntut mereka untuk taat. Anak hanya semata-mata
menghindarkan hukuman dan tunduk pada kekuasaan tanpa mempersoalkannya.
Dinilai sebagai hal yang bernilai dalam dirinya sendiri dan bukan karena rasa
hormat terhadap tatanan moral yang melandasi dan yang didukung oleh hukuman
dan otoritas.
Tahap II memperhatikan pemuasan kebutuhan pribadi,
Pada tahap ini anak kurang menunjukkan perhatian pada kebutuhan orang
lain, hanya sampai tahap bila kebutuhan itu juga berpengaruh terhadap
kebutuhannya sendiri. Apa yang benar adalah apa yang dirasakan baik dan apa
yang dianggap menghasilkan hadiah.
2. Tingkat Konvensional (usia 10-13th)
Penalaran Konvensional merupakan suatu tingkat internalisasi individual
menengah dimana seseorang tersebut menaati standar-standar (internal) tertentu,
tetapi mereka tidak menaati standar-standar orang lain (eksternal) seperti orang
tua atau aturan-aturan masyarakat. Tingkat konvensioanl ini mencakup dua tahap
perkembangan moral yang lebih tinggi dari tingkat sebelumnya. Kedua tahap
tersebut adalah:

Tahap III memperhatikan citra anak baik,


Pada tahap ini tingkah laku bermoral adalah semua tingkah laku yang
menyenangkan, membantu, atau tindakan-tindakan yang diakui dan diterima oleh
orang lain. Seseorang dalam tahap ini mulai menghargai kebenaran, keperdulian
dan kesetiaan kepada orang lain sebagai landasan pertimbangan-pertimbangan
moral.
Tingkat IV memperhatikan hukum dan peraturan,
Tingkah laku yang dianggap bermoral didasarkan atas pemahaman aturan
sosial, hukum-hukum, keadilan, dan pelaksanaan kewajiban.
3. Tingkat Pascakonvensional
Suatu

pemikiran

tingkat

tinggi

dimana

moralitas

benar-benar

diinternalisasikan dan tidak didasarkan pada standar-standar orang lain. Anak


mengenal tindakan-tindakan moral alternatif, menjajaki pilihan-pilihan, dan
kemudian memutuskan berdasarkan suatu kode.
Tahap V memperhatikan hak perseorangan,
Pada tahap ini tindakan yang dianggap bermoral cenderung dibatasi
sebagai tindakan-tindakan yang mampu merefleksikan hal-hak individu dan
sekaligus memenuhi ukuran-ukuran yang telah diuji secara kritis dan yang telah
disepakati oleh masyarakat luas. Seseorang pada tahap ini telah mempunyai
kesadaran yang cukup tinggi akan adanya perbedaan individu, baik yang berkaitan
dengan nilai-nilai atau pun pendapat-pendapatnya.
Tahap VI memperhatikan prinsip-prinsip etika,
Pada tahap ini apa yang secara moral dipandang benar tidak harus dibatasi
oleh hukum-hukum atau aturan-aturan dari suatu tertib sosial, akan tetapi lebih
dibatasi oleh kesadaran yang ada pada manusia dengan dilandasi oleh prinsipprinsip etis yang self-determined sifatnya.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Perkembangan kepribadian adalah perkembangan kombinasi unik dari
karakteristik psikologi yang mempengaruhi bagaimana seseorang
bereaksi dan berinteraksi dengan orang lain. Kepribadian seorang guru
berpengaruh terhadap perkembangan kepribadian peserta didik.
2. Perkembangansosialadalahperkembangan hubungan kerjasama antara
individu dan masyarakat dalam pembentukan pengetahuan. Pengetahuan
terbentuk sebagai akibat dari interaksi sosial dan budaya seorang anak
(sosial kognitif).
3. Perkembangan moral adalahperkembangan yang berkaitan dengan aturan
dan konvensi mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia
dalam interaksinya dengan orang lain. Perilaku moral pada umumnya
merupakan unsur fundamental dalam bertingkah laku sosial.
B. Saran
1. Pembaca disarankan membaca literatur lain yang berkaitan dengan
bagaimana kaitan antara perkembangan kepribadian, sosial, dan moral.
2. Pembaca disarankan membaca literatur lain yang berkaitan dengan
bagaimana seorang guru mendesain pembelajaran sains berdasarkan
perkembangan kepribadian, sosial, dan moral.

Arends, RI. 2007. Learning to Teach SeventhEdition[pdf]. Mc. Graw Hill


Companies. New York.

Durkheim, Emile. 1990. Pendidikan Moral. Jakarta: Erlangga.


Sari, Wulan. 2012. Pengaruh Model Pembelajaran dan Tipe Kepribadian
Terhadap Hasil Belajar Fisika Pada Siswa SMP Swasta Di Kecamatan
Medan Area. Jurnal Tabularasa PPs Unimed. Vol. 9. No. 1. Tahun 2012.

Suparmin, Mamin. 2010. Makna Psikologis Perkembangan Peserta Didik. Jurnal


Ilmiah SPIRIT. ISSN : 1411-8319 Vol. 10. No. 2. Tahun 2010.

Anda mungkin juga menyukai