Anda di halaman 1dari 10

KHALIFAH UTSMAN BIN AFFAN

Makalah Disusun Untuk Memenuhi Tugas Individu


Matakuliah Sejarah Islam

Disusun Oleh:
NILA KRISNA PARAMITA
13030114130060

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA


UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
2016

KHALIFAH UTSMAN BIN AFFAN

A. PENDAHULUAN
Khalifah dikenal sebagai wakil Allah dalam menjaga agama dan kehidupan
dunia, serta menegakkannya, baik dalam kedudukan sebagai khalifah ataupun
imam. Kedudukan Khalifah dijadikan sebagai pengganti Nabi dalam mengatur
umatnya, sehingga biasa dikatakan dengan istilah khalifah, dan terkadang khalifah
Rasulullah (Ibnu Khaldun, 2011: 338).
Kaum

muslimin

berbeda

pendapat

tentang

penamaannya

dengan

Khalifatullah (khalifah Allah). Sebagian mereka memperbolehkannya berdasarkan


kekhalifahan secara umum yang berlaku pada seluruh umat manusia. Hal ini
sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah surah Al-Baqarah: 30
Sesunggungnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi., dan
juga dalam surah Al-Anam: 165 Dan dialah yang menjadikan engkau
penguasa-penguasa di bumi. Sedangkan mayoritas ulama menolaknya, sebab
pengertian ayat tersebut tidaklah demikian. Abu Bakar Ash-Shiddiq menolah
dipanggil dengan nama tersebut seraya mengatakan, Aku bukanlah khilafah
Allah, tapi aku adalah khalifah Rasulullah. (Ibnu Khaldun, 2011: 338-339).
Mengangkat esorang pemimpin hukumnya wajib. Hukum kewajiban
mengangkat pemimpin ini dalam pandangan syariat berdasarkan Ijma
(kesepakatan) para sahabat dan tabiin. Ssebab para sahabat Rasulullah segera
membaiat Abu Bakar Ash Shidiq r.a. menjadi khalifah dan mendapat kepercayaan
untuk memimpin mereka ketika Rasulullah berpulang ke rahmatullah. Begitu juga
dalam setiap masa setelahnya (Ibnu Khaldun, 2011: 339).
Adapun kriteria orang-orang yang dapat menduduki jabatan terhormat ini
ada empat syarat, yaitu berilmu pengetahuan, berkeadilan, berkompetensi dan
sehat jasmani dan rohani, yang dapat berpengaruh pada pengambilan keputusan
dan pelaksanaa tugas dan tanggung jawabnya. Sedangkan kriteria kelima, yaitu

memiliki garis keturunan dari suku Quraisy, maka hal itu masih diperdebatkan
(Ibnu Khaldun, 2011: 342).
Allah mengangkat seorang khalifah sebagai wakilnya dalam mengatur
urusan hamba-hambaNya agar mampu membawa mereka meraih kemaslahatankemaslahatan dan mampu menghadapi bahaya yang mengancam. Seorang
khalifah mendapat mandat demikian. Allah tidak menyerahkan tanggung jawab
kecuali kepada orang yang berkompetensi untuk melaksanakannya. Di samping
itu, realita menjadi saksi atas semua itu. Yaitu bahwa tak seorang pun yang
mampu memimpin suatu bangsa atau generasi kecuali ia menguasai mereka.
Jarang sekali terjadi apabila perintah syariat berkontradiksi dengan ketentuan
alam. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (Ibnu Khaldun, 2011: 348).
Khalifah merupakan wakil Pemilik Syariat (Allah) dalam menjaga agama
dan politik atau urusan dunia, maka pembawa syariat berkewajiban menangani
dua urusan sekaligus. Adapun dalam urusan agama, maka berdasarkan taklif-taklif
syariat yang harus disampaikannya dan mendorong manusia untuk menaatinya.
Sedangkan dalam urusan duniawi, maka berdasarkan perlindungan yang dapat
diberikan untuk menjaga kepentingan-kepentingan mereka dalam membangun
peradaban manusia (Ibnu Khaldun, 2011: 390).
Ketika Umar bin Al-Khaththab r.a. dibaiat sebagai khalifah, maka mereka
menyebutnya sebagai Khalifah Kahlifah Rasulullah (pengganti dari pengganti
Rasulullah). Sebutan gelar yang panjang ini sepertinya menimbulkan keberatan
dalam pengucapan karena banyak dan panjangnya tambahan yang diberikan.
Tambahan gelar tersebut semakin lama semakin banyyak dan panjang hingga
menimbulkan cela. Di samping kehilangan cirinya dengan banyaknya tambahan
dan panjang kalimatnya hingga tidak dikenal. Karena itu, mereka pun berpikir
untuk mengganti sebutan gelar ini dengan sebutan lain yang cocok dan mudah
diucapkan. Mereka biasa menyebut komandan militer sebagai Amir, bentul Fail
dari kata Imarah. Masyarakat jahiliyah biasanya menyebut Rasulullah dengan
Amir Makkah dan Amir Al-Hijaz (penguasa Makkah dan penguasa Hijaz). Para
sahbat juga menyebut Saad bin Abi Waqqash dengan Amirul Mukminin ketika
3

memimpin pasukan dalam perang Al-Qadisyiah. Ketika itu, jumlah kaum


muslimin mencapai jumlah yang sangat banyat. Beberapa sahabat sepakat untuk
menyebut Umar bin Al-Khathab r.a. dengan Amirul Mukminin. Sebutan ini pun
terlihat nyaman dalam pendengaran masyarakat dan mereka pun mendukungnya
(Ibnu Khaldun, 2011: 405.
B. PEMBAHASAN
1. Kehidupan, Sifat dan Keutamaan Utsman bin Affan
Jumat, Zulhijah, 35 H. Utsman sedang membaca Al-Quran ketika beberapa
merangsek ke dalam kamarnya. Mushaf Al-Quran yang suci tampak terbuka di
hadapannya. Ia membaca ayat-ayat suci dengan khusyuk dan suara bergetar.
Suaranya tak terdengar keras, pun tidak terlalu pelan. Para durjana itu
memaksakannya menghentikan qiraat. Tiba-tiba saja seorang dari mereka loncat
ke hadapan Utsman dan berteriak, Antara aku dan engkau ada Kitabullah,
sambil menebaskan pedang. Utsman menangkis sabetan itu hingga tengannya
terbabat putus. Ia berkata, Demi Allah, itulah tangan yang pertama kali terpisah.
(Musthafa Murad, 2014: 9).
Utsman meninggal di hari Jumat, sedang berpuasa. Ia terbangun dari tidur
siangnya dan bermimpi bahwa ia akan makan malam bersama Rasul dan
sesepuhnya.
Rekayasa pembunuhan direncanakan kaum Yahudi (terutama para pengikut
Abdullah bin Saba), dikenal dengan sebutan bin al-Sawada / Ibn al-Sawada.
Setelah dibunuh dilemparkan ke jalanan begitu saja selama beberapa hari. Tidak
ada yg menyalamatkan, apalagi mengurus jenazahnya. Akan tetapi akhirnya
dimandikan, dishalatkan dan dikuburkan di Hisykawka (sebuah kebun di jalan
menuju pemakaman Baqi).
Keistimewaan Utsman adalah kedermawaannya, dibanding dengan para
sabhabat Rasul lainnya. Seperti menanggung biaya penyiapan pasukan (jays
al-usrah), membeli sumur yg kemudian dihadiahkan kepada umat Islam,
memperluas Masjid Nabi di Madinah dengan membeli tanah di Fulan.
Masa mudanya sudah menjadi pedagang sukses dan harta berlimpah. Selain
itu, Utsman juga mampu mengkhatamkan Al-Quran dalam satu rakaat, lalu
mendirikan shalat witir (Al-Bidyah wa al-Nihyah). Utsman tidak pernah merasa
4

puas membaca Al-Quran. Kalau hati kita suci, niscaya kita tidak akan pernah
merasa puas terhadap firman Tuhan. Aku benci jika sehari saja tidak melihat
mushaf. Utsman bin Affan. Al-Rawi menuturkan bahwa ketika Utsman wafat,
banyak bagian mushafnya yang robek karena terlalu sering dibaca. (Diriwayatkan
oleh al-Lalikai dalam Ushl al-Itiqd dan al-Bidyah wa al-Nihyah (7/225).
Pada masa Utsman membuat qiraah Al-Quran sempat menjadi perdebatan,
karena perbedaan bacaan orang Syiria pengikut Ubay bin Kab dan orang Irak
pengikut Abdullah bin Masud yang membuat pengkafiran umat satu sama lain.
Akhirnya setelah bermusyawarah dengan para sahabat, Utsman membuat 1
mushaf beserta qiraahnya sebagai Al-Quran yang tetap dan agar tidak ada lagi
perselisihan. Al-hasil mushaf-mushaf yang lama pun dibakar, termasuk mushafmushaf pribadi dan milik orang Syiria dan Irak. Pada awalnya mengalami
pertentangan karena mushaf dimusnahan dengan cara dibakar, namun dengan izin
Allah semua mushaf-mushaf yang lama dibakar dan diberikan mushaf yang baru
dimana didalamnya sudah diberi qiraah yang baik dan benar.
Utsman rajin menyambung silaturahim, memuliakan tamu, memberi
pekerjaan kepada orang fakir, membantu yang lemah, memberi kepada yang
miskin, dan berusaha menghindarkan kesulitan dari mereka. Mendahulukan
kesabaran dan kelembutan, meskipun disaat yang paling genting. Sikap santun
dan maaf. Memaafkan orang-orang yang ingin membunuhnya. Membiasakan
sesuatu yang sangat berat dilakukan orang lain. Penyabar, ramah, murah hati, dan
pemalu merupakan ciri khas utamanya, bahkan rasul dan malaikat saja malu
dihadapannya. Sifat malu mengandung sumber kebaikan, keberkahan, cinta, kasih
sayang, kelembutan dan kedermawaan (Musthafa Murad, 2014: 28). Materi dunia
yang berlimpah tak mampu mengikat atau membelenggu Utsman bin Affan
sehingga ia mencintai dunia. Ia selalu menemptkan Allah dan Rasul-Nya di urutan
paling tinggi.
Abu Bakar: paling pengasih, Umar: paling keras membela agama Allah,
Utsman: paling pemalu, Muaz bin Jabal: paling mengetahui halal dan haram,
Ubay: paling menguasai Kitabullah, Zaid bin Tsabit: paling memahami faraid,
Abu Ubaidah bin al-Jarrah: bendahara umat Anas bin Malik mengutip ucapan
Rasul. Utsman dikenal sebagai Syekh al-Mujahidin-Tetuanya kaum pejuang.

2. Kritikan Terhadap Utsman Kala Menjabat Khalifah


Utsman bin Affan adalh orang ketiga dari sepuluh sahabat yang
dikabarkan oleh Rasulullah akan masuk surga. Selain itu, dialah teman
Rasulullah di surga, salah satu dari enam orang yang diridai Rasulullah
ketika beliau meninggal dunia, dan dialah khalifah ketiga umat Islam.
Pada sub-bab sebelumnya dijelaskan bahwa Utsman memiliki
keistimewaan, kemuliaan, keagungan dan keluhuran derajat di sisi
Rasulullah. Akan tetapi, hal ini tidak menyurutkan niat orang-orang yang
mendengki dan membenci Utsman. Berbagai cara mereka lakukan untuk
menjatuhkan kehormatan dan kemuliaan Utsman. Mereka mengarang dan
menyebarkan berbagai cerita palsu untuk menjatuhkan harga dirinya.
Mereka mengingkari semua kemuliaan dan keagungan Sang Khalifah.
Andai saja mereka memandang Utsman dengan sikap yang jujur, tulus dan
ikhlas karena Allah seraya menyucikan hati dari fanatik buta terhadap
pendapat orang lain dan membersihkan pikiran dari prasangka buruk, pasti
mereka bisa menyaksikan keistimewaan dan keagungan Khalifah Utsman
bin Affan r.a. (Musthafa Murad, 2014: 108).
Rasulullah menyebut orang-orang yang yang memberontak kepada
Utsman sebagai kaum munafik. Banyak kalangan yang mengkritik
kebijakan Utsman karena memprioritaskan kaum kerabatnya untuk
menduduki jabatan pemerintahan. Berbuat baik dan mendahulukan
keluarga merupakan sifat alami yang Allah ciptakan dalam diri makhlukNya. Rasulullah juga punya sifat semacam itu terhadap Bani Hasyim. Itu
merupakan sifat terpuji selama tidak diwarnai maksiat kepada Allah.
Ada banyak kritik terhadap kebijakan politik Utsman yang
dikemukakan oleh berbagai kalanga, baik oleh orang-orang yang
memusuhi Utsman, maupun oleh para sahabat Rasulullah lainnya. Kritik
pertama yang sering diungkapkan para penulis sejarah, dan yang dituntut
oleh para pemberontak adalah kebijakan Utsman yang memproritaskan

keluarga dan kaum kerabatnya untuk menduduki berbagai jabatan


pemerintahan, serta kebiasayaannya memeberikan banyak anugerah dan
hadiah kepada mereka.
Utman mempertahankan kebijakan politik para pendahulunya tanpa
perubahan. Ia tidak mengangkat seseorang sebagai pemimpin, kecuali jika
dianggap mampu dan pantas. Sebaliknya, tidak memberhentikan
seseorang, kecuali karena atas permintaan rakyat, atau setelah meminta
maaf terlebih dahulu. Bahkan, agar masyarakat senang, ia memberhentikan
seseorang dan menugaskannya di daerah lain.
Kenyataan sejarah menegaskan bahwa bawahan Utsman mengabdi
dan melaksanakan tugas mereka dangan tetap menjunjung tinggi kaidah
agama. Utsman mengikuti tradisi dan kebijakan para pendahulunya. Ia
mengutamakan kekuasaan kepada Bani Umayyah, karena Rasululllaj dam
kedua khalifah pendahulunya pun melakukan hal yang sama.
Secara lebih terperinci, ada beberapa isu yang dikemukakan oleh para
pemberontak dan pengkritik Utsman bin Affan, diantaranya:
Kritik pertama, mereka mengatakan bahwa Utsman memberikan
seperlima ganimah dari Afrika kepada Marwan bin al-Hakam. Tuduhan ini
dusta dan tak berdasar.
Kritik kedua, mereka mengatakan bahwa Utsman menyerahkan
pengelolaan pasar madinah kepada al-Harits bin al-Hakam. Tuduhan ini
pun tidak benar, karena sesungguhnya al-Harits ditugaskan oleh Utsman
untuk mengawasi timbangan para pedagang.
Kritik ketiga menyatakan bahwa Utsman memberikan hadiah sebesar
600.000 dirham kepada Abdullah bin Khalid bin Asyad yang diambil dari
baitul mal. Mereka bilang, Utsman menikahkan putrinya kepada Abdullah
bin Khalid Asyad. Sebagai maskawin, ia diminta membayar 600.000
dirham. Untuk kebutuhan itu, Utsman memerintahkan Abdullah bin Amir
untuk memberinya uang sejumlah itu dari baitul mal Bashrah. Tuduhan itu
dikemukakan oleh orang-orang Mesir kerika mereka mengepung rumah

Utsman. Utsman menjawab bahwa uang yang diberikan itu merupakan


pinjaman, bukan pemberian, dan ia sendiri yang akan melunasinya.
Kritik keempat, yang tampaknya paling santer diterikkan oleh para
pemberontak dan kalangan yang mengkritik Utsman bahwa ia telah
mengembalikan al-Hakam ke Madinah, padahal Rasulullah telah
mengusurnya. Bin Taimiyah mengatakan bahwa kisah pengusiran alHakam tidaklah benar, dan tidak ada sanadnya. Kisah itu disampaikan dari
mulut ke mulut secara mursal.
Kritik berikutnya yang dialamatkan kepada Utsman berkenaan dengan
pemecatan beberapa sahabat Rasulullah dari jabatan mereka. Utsman
melakukan itu karena beberapa alasan, seperti pengaduan dan keluhan dari
masyarakat yang merasa dizalimi mereka. Karenanya, kebijakannya itu
bisa dianggap benar. Ia tidak mengutamakan perasaan dan kepentingan
pribadi ketika mengangkat maupun memberhentikan seseorang dari
jabatannya. Memang, selama kepemimpinan Utsman bin Affan r.a. ada
beberapa sahabat yang diberhentikan dari jabatannya.
Mereka mengungkapkan kritik-kritik ini tetapi mereka tidak bersuara
ketika Utsman memecat kerabatnya snediri Utsman bin Abi al-Ash. Jadi,
sebenarnya mereka mengungkapkan persoalan itu semata-mata untuk
menjatuhkan kehormatan Utsman, tanpa mepertimbangkan alasan latar
belakang mengapa Utsman mengambil kebijakan itu. Seandainya mereka
menganalisis setiap kebijakan Utsman secara lebih saksama dengan hati
yang jujur dan tulus, tentu mereka akan menghargai dan membenarkan
setiap kebijakannya (Musthafa Murad, 2014: 149).

C. PENUTUP
Kesimpulan
Utsman bin Affan r.a. sebagai khalifah ketika, memperoleh
kepercayaan memegang amanah kekhalifahan pada 24 36 H/ 644
656M. Menjadi seorang khalifah tentunya memiliki kriteria tertentu untuk
dicapainya. Ciri khas juga selalu dimiliki setiap khalifah. Dengan ciri khas
yang didominasi oleh kebaikannya, namun tetap saja ada kaum yang
memberontaknya, tidak menyukainya. Meskipun begitu, Utsman tetap
sabar, murah hati dan memaafkan segala kesalahan orang lain yang dituju
kepada dirinya. Bahkan ia pun memaafkan orang yang telah membunuh
dirinya. Betapa mulianya sifat dan sikapnya dalam menghadapi segala
cobaan. Pada era sekarang akan sulit menemukan seseorang yang
meneladani sifat dan sikapnya secara mendalam.

DAFTAR PUSTAKA
Khaldun, Ibnu. 2011. Mukaddimah. Diterjemahkan oleh: Masturi Irham dkk.
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Murad, Musthafa. 2014. Kisah Hiduup Utman Ibn Affan. Diterjemahkan oleh:
Khalifurrahman Fath. Jakarta: Zaman.
Suryanegara, Ahmad Mansyur. 2015. Api Sejarah 1. Bandung: Surya Dinasti.

10

Anda mungkin juga menyukai