Disusun Oleh:
NILA KRISNA PARAMITA
13030114130060
A. PENDAHULUAN
Khalifah dikenal sebagai wakil Allah dalam menjaga agama dan kehidupan
dunia, serta menegakkannya, baik dalam kedudukan sebagai khalifah ataupun
imam. Kedudukan Khalifah dijadikan sebagai pengganti Nabi dalam mengatur
umatnya, sehingga biasa dikatakan dengan istilah khalifah, dan terkadang khalifah
Rasulullah (Ibnu Khaldun, 2011: 338).
Kaum
muslimin
berbeda
pendapat
tentang
penamaannya
dengan
memiliki garis keturunan dari suku Quraisy, maka hal itu masih diperdebatkan
(Ibnu Khaldun, 2011: 342).
Allah mengangkat seorang khalifah sebagai wakilnya dalam mengatur
urusan hamba-hambaNya agar mampu membawa mereka meraih kemaslahatankemaslahatan dan mampu menghadapi bahaya yang mengancam. Seorang
khalifah mendapat mandat demikian. Allah tidak menyerahkan tanggung jawab
kecuali kepada orang yang berkompetensi untuk melaksanakannya. Di samping
itu, realita menjadi saksi atas semua itu. Yaitu bahwa tak seorang pun yang
mampu memimpin suatu bangsa atau generasi kecuali ia menguasai mereka.
Jarang sekali terjadi apabila perintah syariat berkontradiksi dengan ketentuan
alam. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (Ibnu Khaldun, 2011: 348).
Khalifah merupakan wakil Pemilik Syariat (Allah) dalam menjaga agama
dan politik atau urusan dunia, maka pembawa syariat berkewajiban menangani
dua urusan sekaligus. Adapun dalam urusan agama, maka berdasarkan taklif-taklif
syariat yang harus disampaikannya dan mendorong manusia untuk menaatinya.
Sedangkan dalam urusan duniawi, maka berdasarkan perlindungan yang dapat
diberikan untuk menjaga kepentingan-kepentingan mereka dalam membangun
peradaban manusia (Ibnu Khaldun, 2011: 390).
Ketika Umar bin Al-Khaththab r.a. dibaiat sebagai khalifah, maka mereka
menyebutnya sebagai Khalifah Kahlifah Rasulullah (pengganti dari pengganti
Rasulullah). Sebutan gelar yang panjang ini sepertinya menimbulkan keberatan
dalam pengucapan karena banyak dan panjangnya tambahan yang diberikan.
Tambahan gelar tersebut semakin lama semakin banyyak dan panjang hingga
menimbulkan cela. Di samping kehilangan cirinya dengan banyaknya tambahan
dan panjang kalimatnya hingga tidak dikenal. Karena itu, mereka pun berpikir
untuk mengganti sebutan gelar ini dengan sebutan lain yang cocok dan mudah
diucapkan. Mereka biasa menyebut komandan militer sebagai Amir, bentul Fail
dari kata Imarah. Masyarakat jahiliyah biasanya menyebut Rasulullah dengan
Amir Makkah dan Amir Al-Hijaz (penguasa Makkah dan penguasa Hijaz). Para
sahbat juga menyebut Saad bin Abi Waqqash dengan Amirul Mukminin ketika
3
puas membaca Al-Quran. Kalau hati kita suci, niscaya kita tidak akan pernah
merasa puas terhadap firman Tuhan. Aku benci jika sehari saja tidak melihat
mushaf. Utsman bin Affan. Al-Rawi menuturkan bahwa ketika Utsman wafat,
banyak bagian mushafnya yang robek karena terlalu sering dibaca. (Diriwayatkan
oleh al-Lalikai dalam Ushl al-Itiqd dan al-Bidyah wa al-Nihyah (7/225).
Pada masa Utsman membuat qiraah Al-Quran sempat menjadi perdebatan,
karena perbedaan bacaan orang Syiria pengikut Ubay bin Kab dan orang Irak
pengikut Abdullah bin Masud yang membuat pengkafiran umat satu sama lain.
Akhirnya setelah bermusyawarah dengan para sahabat, Utsman membuat 1
mushaf beserta qiraahnya sebagai Al-Quran yang tetap dan agar tidak ada lagi
perselisihan. Al-hasil mushaf-mushaf yang lama pun dibakar, termasuk mushafmushaf pribadi dan milik orang Syiria dan Irak. Pada awalnya mengalami
pertentangan karena mushaf dimusnahan dengan cara dibakar, namun dengan izin
Allah semua mushaf-mushaf yang lama dibakar dan diberikan mushaf yang baru
dimana didalamnya sudah diberi qiraah yang baik dan benar.
Utsman rajin menyambung silaturahim, memuliakan tamu, memberi
pekerjaan kepada orang fakir, membantu yang lemah, memberi kepada yang
miskin, dan berusaha menghindarkan kesulitan dari mereka. Mendahulukan
kesabaran dan kelembutan, meskipun disaat yang paling genting. Sikap santun
dan maaf. Memaafkan orang-orang yang ingin membunuhnya. Membiasakan
sesuatu yang sangat berat dilakukan orang lain. Penyabar, ramah, murah hati, dan
pemalu merupakan ciri khas utamanya, bahkan rasul dan malaikat saja malu
dihadapannya. Sifat malu mengandung sumber kebaikan, keberkahan, cinta, kasih
sayang, kelembutan dan kedermawaan (Musthafa Murad, 2014: 28). Materi dunia
yang berlimpah tak mampu mengikat atau membelenggu Utsman bin Affan
sehingga ia mencintai dunia. Ia selalu menemptkan Allah dan Rasul-Nya di urutan
paling tinggi.
Abu Bakar: paling pengasih, Umar: paling keras membela agama Allah,
Utsman: paling pemalu, Muaz bin Jabal: paling mengetahui halal dan haram,
Ubay: paling menguasai Kitabullah, Zaid bin Tsabit: paling memahami faraid,
Abu Ubaidah bin al-Jarrah: bendahara umat Anas bin Malik mengutip ucapan
Rasul. Utsman dikenal sebagai Syekh al-Mujahidin-Tetuanya kaum pejuang.
C. PENUTUP
Kesimpulan
Utsman bin Affan r.a. sebagai khalifah ketika, memperoleh
kepercayaan memegang amanah kekhalifahan pada 24 36 H/ 644
656M. Menjadi seorang khalifah tentunya memiliki kriteria tertentu untuk
dicapainya. Ciri khas juga selalu dimiliki setiap khalifah. Dengan ciri khas
yang didominasi oleh kebaikannya, namun tetap saja ada kaum yang
memberontaknya, tidak menyukainya. Meskipun begitu, Utsman tetap
sabar, murah hati dan memaafkan segala kesalahan orang lain yang dituju
kepada dirinya. Bahkan ia pun memaafkan orang yang telah membunuh
dirinya. Betapa mulianya sifat dan sikapnya dalam menghadapi segala
cobaan. Pada era sekarang akan sulit menemukan seseorang yang
meneladani sifat dan sikapnya secara mendalam.
DAFTAR PUSTAKA
Khaldun, Ibnu. 2011. Mukaddimah. Diterjemahkan oleh: Masturi Irham dkk.
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Murad, Musthafa. 2014. Kisah Hiduup Utman Ibn Affan. Diterjemahkan oleh:
Khalifurrahman Fath. Jakarta: Zaman.
Suryanegara, Ahmad Mansyur. 2015. Api Sejarah 1. Bandung: Surya Dinasti.
10