Anda di halaman 1dari 5

Kelengkapan

1. PERALATAN DIDALAM AMBULANCE GAWAT DARURAT


a. Tas PP (Kit PP)
Alat-alat dibawah ini dimasukkan dalam tas PP atau sejenisnya, yang sebaiknya terbuat
dari bahan yang kuat dan tahan air. Dalam tas sebaiknya memiliki banyak bagian
sehingga peralatan dapat disimpan dengan baik berdasarkan bagian-bagiannya.
Ambulance transportasi seharusnya dilengkapi dengan kit PP.
Isi Tas PP (Kit PP)
1. Pembalut
2. Penutup luka
3. Cairan antiseptik
4. Cairan pencuci luka rivanol
5. Peralatan stabilisasi
6. Obat-obatan
7. Alat medis tambahan
8. Gunting pembalut
9. Pinset
10. Senter
11. Selimut
12. Peniti
13. Kartu penderita
14. Bloknote dan pen
15. Stetoskop
16. Tensimeter
17. Termometer
18. Oksigen Portable
b. Alat pelindung diri
c. Sepatu bot
d. Perlengkapan medis
1. Pemeriksaan
2. Emergency kit
e. Airways dan Breathing set
1. Ventilator mobile/portable
2. Tabung oksigen portable
3. Suction unit
4. Bag valve mask
5. ETT
6. Laringoscope
7. Pulse Oxymetri
8. Oxyhood
f. Circulation set
1. Vena sectie set
2. Hanging blood pressure monitor
3. Automatic external defibrilaor
4. EKG monitor
5. Intraosseus needle

g. Trauma set
1. Necsplint / collar splint (S,M,L)
2. Long spine board
3. Wound toilet set
4. Minor surgery set
h. Alat angkut evakuasi
1. Scoope stretcher
2. Stretcher beroda, sebaiknya yang diatur posisinya
i. Lain-lain
1. Infus set
2. Bantal, sarung bantal (2 buah)
3. Sprei cadangan (2 buah)
4. Kantong muntah (6 buah)
5. Box tissue (2 buah)
6. Satu pak gelas
7. Satu pak tissue basah
8. Empat liter air steril / NaCl
9. Empat buah alat pengikat lunak
10. Kantong sampah
j. Obat-obatan
k. Alat komunikasi
1. Radio medik
2. Mobile phone
Masalah Medikolegal pada Penanganan Pasien Gawat Darurat. Hal-hal yang
disoroti hukum dalam pelayanan gawat darurat dapat meliputi hubungan hukum dalam
pelayanan gawat darurat dan pembiayaan pelayanan gawat darurat Karena secara
yuridis keadaan gawat darurat cenderung menimbulkan privilege tertentu bagi tenaga
kesehatan maka perlu ditegaskan pengertian gawat darurat.
Menurut The American Hospital Association (AHA) pengertian gawat darurat adalah:
An emergency is any condition that in the opinion of the patient, his family, or whoever
assumes the responsibility of bringing the patient to the hospital-requires immediate
medical attention. This condition ccontinues until a determination has been made by a
health care professional that the patients life or well-being is not threatened.
Adakalanya pasien untuk menempatkan dirinya dalam keadaan gawat darurat
walaupun sebenarnya tidak demikian. Sehubungan dengan hal itu perlu dibedakan
antara false emergency dengan true emergency yang pengertiannya adalah: A true
emergency is any condition clinically determined to require immediate medical care.
Such conditions range from those requiring extensive immediate care and admission to
the hospital to those that are diagnostic problems and may or may not require
admission after work-upand observation.
Untuk menilai dan menentukan tingkat urgensi masalah kesehatan yang dihadapi
pasien diselenggarakanlah triage. Tenaga yang menangani hal tersebut yang paling
ideal adalah dokter, namun jika tenaga terbatas, di beberapa tempat dikerjakan oleh
perawat melalui standing order yang disusun rumah sakit. Selain itu perlu pula
dibedakan antara penanganan kasus gawat darurat fase pra-rumah sakit dengan fase
di rumah sakit. Pihak yang terkait pada kedua fase tersebut dapat berbeda, di mana

pada fase pra-rumah sakit selain tenaga kesehatan akan terlibat pula orang awam,
sedangkan pada fase rumah sakit umumnya yang terlibat adalah tenaga kesehatan,
khususnya tenaga medis dan perawat. Kewenangan dan tanggungjawab tenaga
kesehatan dan orang awam tersebut telah dibicarakan di atas. Kecepatan dan
ketepatan tindakan pada fase pra-rumah sakit sangat menentukan survivabilitas pasien.
Hubungan Hukum dalam Pelayanan Gawat Darurat
Di USA dikenal penerapan doktrin Good Samaritan dalam peraturan perundangundangan pada hampir seluruh negara bagian. Doktrin tersebut terutama diberlakukan
dalam fase pra-rumah sakit untuk melindungi pihak yang secara sukarela beritikad baik
menolong seseorang dalam keadaan gawat darurat. Dengan demikian seorang pasien
dilarang menggugat dokter atau tenaga kesehatan lain untuk kecederaan yang
dialaminya. Dua syarat utama doktrin Good Samaritan yang harus dipenuhi adalah:
1. Kesukarelaan pihak penolong.
Kesukarelaan dibuktikan dengan tidak ada harapan atau keinginan pihak
penolong untuk memperoleh kompensasi dalam bentuk apapun. Bila pihak penolong
menarik biaya pada akhir pertolongannya, maka doktrin tersebut tidak berlaku
2. Itikad baik pihak penolong.
Itikad baik tersebut dapat dinilai dari tindakan yang dilakukan penolong. Hal yang
bertentangan dengan itikad baik misalnya melakukan trakeostomi yang tidak perlu
untuk menambah keterampilan penolong. Dalam hal pertanggungjawaban hukum, bila
pihak pasien menggugat tenaga kesehatan karena diduga terdapat kekeliruan dalam
penegakan diagnosis atau pemberian terapi maka pihak pasien harus membuktikan
bahwa hanya kekeliruan itulah yang menjadi penyebab kerugiannya/cacat (proximate
cause). Bila tuduhan kelalaian tersebut dilakukan dalam situasi gawat darurat maka
perlu dipertimbangkan faktor kondisi dan situasi saat peristiwa tersebut terjadi. Jadi,
tepat atau tidaknya tindakan tenaga kesehatan perlu dibandingkan dengan tenaga
kesehatan yang berkualifikasi sama, pada pada situasi dan kondisi yang sama pula.
Setiap tindakan medis harus mendapatkan persetujuan dari pasien (informed consent).
Hal itu telah diatur sebagai hak pasien dalam UU No.23/1992 tentang Kesehatan pasal
53 ayat 2 dan Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989 tentang Persetujuan
Tindakan Medis. Dalam keadaan gawat darurat di mana harus segera dilakukan
tindakan medis pada pasien yang tidak sadar dan tidak didampingi pasien, tidak perlu
persetujuan dari siapapun (pasal 11 Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989).
Dalam hal persetujuan tersebut dapat diperoleh dalam bentuk tertulis, maka lembar
persetujuan tersebut harus disimpan dalam berkas rekam medis dengan tidak ada
harapan atau keinginan pihak penolong untuk memperoleh kompensasi dalam bentuk
apapun. Bila pihak penolong menarik biaya pada akhir pertolongannya, maka doktrin
tersebut tidak berlaku.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Medik Pasal 1 ayat (1)
dijelaskan bahwa Persetujuan tindakan medik kedokteran adalah persetujuan yang
diberikan oleh pasien atau keluarganya setelah mendapatkan penjelasan secara
lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan
terhadap pasien.
Pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 290/MENKES/PER/III/2008
tentang Persetujuan Tindakan Medik, pengaturan mengenai informed consent pada

kegawatdaruratan lebih tegas dan lugas. Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008


pasal 4 ayat (1) dijelaskan bahwa Dalam keadaan darurat, untuk menyelamatkan jiwa
pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan
kedokteran.
Disahkannya Permenkes No. 290/MENKES/PER/III/2008 sekaligus mengggugurkan
Permenkes sebelumnya yaitu pada Permenkes No 585/Men.Kes/Per/IX/1989 masih
terdapat beberapa kelemahan. Pada pasal 11 hanya disebutkan bahwa yang mendapat
pengecualian hanya pada pasien pingsan atau tidak sadar. Beberapa pakar mengkritisi
bagaimana jika pasien tersebut sadar namun dalam keadaan darurat. Guwandi (2008)
mencontoh pada kasus pasien yang mengalami kecelakaan lalu-lintas dan terdapat
perdarahan serta membahayakan jiwa di tubuhnya tetapi masih dalam keadaan sadar.
Contoh lain apabila seseorang digigit ular berbisa dan racun yang sudah masuk harus
segera dikeluarkan atau segera dinetralisir dengan anti-venom ular.
Jika ditinjau dari hukum kedokteran yang dikaitkan dengan doktrin informed consent,
maka yang dimaksudkan dengan kegawatdaruratan adalah suatu keadaan dimana :
a. Tidak ada kesempatan lagi untuk memintakan informed consent, baik dari pasien
atau anggota keluarga terdekat (next of kin)
b. Tidak ada waktu lagi untuk menunda-nunda
c. Suatu tindakan harus segera diambil
d. Untuk menyelamatkan jiwa pasien atau anggota tubuh.
Seperti yang telah dijelaskan pada Permenkes No 209/Menkes/Per/III/2008 pada pasal
4 ayat (1) bahwa tidak diperlukan informed consent pada keadaan gawat darurat.
Namun pada ayat (3) lebih di tekankan bahwa dokter wajib memberikan penjelasan
setelah pasien sadar atau pada keluarga terdekat. Berikut pasal 4 ayat (3) Dalam hal
dilakukannya tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dokter atau
dokter gigi wajib memberikan penjelasan sesegera mungkin kepada pasien setelah
pasien sadar atau kepada keluarga terdekat. Hal ini berarti, apabila sudah dilakukan
tindakan untuk penyelamatan pada keadaan gawat darurat, maka dokter berkewajiban
sesudahnya untuk memberikan penjelasan kepada pasien atau kelurga terdekat.
Selain ketentuan yang telah diatur pada UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 209/Menkes/Per/III/2008, apabila
pasien dalam keadaan gawat darurat sehingga dokter tidak mungkin mengajukan
informed consent, maka KUH Perdata Pasal 1354 juga mengatur tentang pengurusan
kepentingan orang lain. Tindakan ini dinamakan zaakwaarneming atau perwalian
sukarela yaitu Apabila seseorang secara sukarela tanpa disuruh setelah mengurusi
urusan orang lain, baik dengan atau tanpa sepengetahuan orang itu, maka secara
diam-diam telah mengikatkan dirinya untuk meneruskan mengurusi urusan itu sehingga
orang tersebut sudah mampu mengurusinya sendiri. Dalam keadaan yang demikian
perikatan yang timbul tidak berdasarkan suatu persetujuan pasien, tetapi berdasarkan
suatu perbuatan menurut hukum yaitu dokter berkewajiban untuk mengurus
kepentingan pasien dengan sebaik-baiknya. Maka dokter berkewajiban memberikan
informasi mengenai tindakan medis yang telah dilakukannya dan mengenai segala
kemungkinan yang timbul dari tindakan itu.
KESIMPULAN
Tindakan dalam kegawatdaruratan medik di perbolehkan tanpa melakukan persetujuan
atau informed consent terlebih dahulu. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia No. 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan


Tindakan Kedokteran dan diperjelas oleh KUH Perdata pasal 1354

Anda mungkin juga menyukai