Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH ANALISA HUKUM DAN ETIKA DALAM KEPERAWATAN GADAR

Disusun oleh :

Nama : Della Nandani Agustina

Nim : S20151
Kelas : S20C

PROGRAM PRODI SARJANA KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS KUSUMA HUSADA SURAKARTA

2022/2023
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Kejadian tidak terduga bisa saja terjadi saat di dalam klinik yang menyebabkan kondisi
kegawatdaruratan dimana tenaga medis baik dokter, perawat, maupun tim kesehatan yang
lain dituntut harus melakukan tindakan yang sesegera mungkin untuk menolong pasien.
Misalnya saja di klinik kedokteran gigi, pada saat melakukan perawatan saluran akar
operator kurang berhati – hati dan tidak menggunakan rubber dam sehingga tidak sengaja
reamer atau K-file tertelan. Tentu ini sangat membahayakan pasien jika tenaga kesehatan
tidak sigap dan segera menolong pasien.
Selain itu perlu diperhatikan apabila saat pencabutan gigi dan pasien memiliki riwayat
penyakit sistemik yang akan membahayakan diri pasien, sehingga tenaga kesehatan perlu
memahami cara penanganan pasien gawat darurat sebelum di tangani oleh tenaga medis
yang lebih professional.
Maka dari itu, pengetahuan akan cara penanganan kegawatdaruratan, etika kegawat
daruratan sangat diperlukan oleh tenaga kesehatan, termasuk kita sebagai calon perawat gigi.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana prinsip etika kegawatdaruratan dalam medis dan keperawatan?

2. Bagaimana aspek legal dan etika dalam menangani pasien gawat darurat?

C. TUJUAN
Mengetahui aspek legal dan etis dalam kegawat daruratan medis dan keperawatan untuk
panduan tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugas sesuai dengan etika medis dan
keperawatan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Kegawatdaruratan disebut juga critical care, artinya adalah pemberian asuhan


keperawatan kepada klein / pasien yang mengalami keadaan gawat darurat melalui pendekatan
proses keperawatan dengan menerapkan peran dan fungsi perawat secara professional, atau
suatu upaya melalui proses keperawatan dengan pemberian asuhan keperawatan klien / pasien
yang mengalami keadaan krisis / emergency untuk mencegah kematian dan atau kecacatan.
Pelayanan gawat darurat mempunyai aspek khusus karena mempertaruhkan
kelangsungan hidup seseorang. Oleh karena itu dari segi yuridis khususnya hukum kesehatan
terdapat beberapa pengecualian yang berbeda dengan keadaan biasa ( Herkutanto, 2007 ).

Karakteristik Pelayanan Gawat Darurat


Dipandang dari segi hukum dan medikolegal, pelayanan gawat darurat berbeda dengan
pelayanan non-gawat darurat karena memiliki karakteristik khusus. Beberapa isu khusus dalam
pelayanan gawat darurat membutuhkan pengaturan hukum yang khusus dan akan menimbulkan
hubungan hukum yang berbeda dengan keadaan bukan gawat darurat ( Herkutanto, 2007 ).

Hubungan Dokter - Pasien dalam Keadaan Gawat Darurat


Hubungan dokter-pasien dalam keadaan gawat darurat sering merupakan hubungan yang
spesifik. Dalam keadaan biasa ( bukan keadan gawat darurat ) maka hubungan dokter–pasien
didasarkan atas kesepakatan kedua belah pihak, yaitu pasien dengan bebas dapat menentukan
dokter yang akan dimintai bantuannya ( didapati azas voluntarisme ).
Demikian pula dalam kunjungan berikutnya, kewajiban yang timbul pada dokter
berdasarkan pada hubungan yang telah terjadi sebelumnya ( pre-existing relationship ). Dalam
keadaan darurat hal di atas dapat tidak ada dan azas voluntarisme dari kedua belah pihak juga
tidak terpenuhi. Untuk itu perlu diperhatikan azas yang khusus berlaku dalam pelayanan gawat
darurat yang tidak didasari atas azas
voluntarisme.
Apabila seseorang bersedia menolong orang lain dalam keadaan darurat, maka ia harus
melakukannya hingga tuntas dalam arti ada pihak lain yang melanjutkan pertolongan itu atau
korban tidak memerlukan pertolongan lagi. Dalam hal pertolongan tidak dilakukan dengan
tuntas maka pihak penolong dapat digugat karena dianggap mencampuri / menghalangi
kesempatan korban untuk memperoleh pertolongan lain ( loss of chance ) ( Herkutanto, 2007 ).

Peraturan Perundang - Undangan yang Berkaitan dengan Pelayanan Gawat Darurat


Peraturan perundang - undangan yang berkaitan dengan pelayanan gawat darurat adalah
UU No. 23/1992 tentang Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989 tentang
Persetujuan Tindakan Medis, dan Peraturan Menteri Kesehatan No.159b/1988 tentang Rumah
Sakit ( Herkutanto, 2007 ).

Pengaturan Penyelenggaraan Pelayanan Gawat Darurat


Ketentuan tentang pemberian pertolongan dalam keadaan darurat telah tegas diatur dalam
pasal 51 UU No.29/2004 tentang Praktik Kedokteran, dimana seorang dokter wajib melakukan
pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan. Selanjutnya, walaupun dalam UU No.23/1992
tentang Kesehatan tidak disebutkan istilah pelayanan gawat darurat namun secara tersirat upaya
penyelenggaraan pelayanan tersebut sebenarnya merupakan hak setiap orang untuk memperoleh
derajat kesehatan yang optimal (pasal 4).
Selanjutnya pasal 7 mengatur bahwa ” Pemerintah bertugas menyelenggarakan upaya
kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat ”, termasuk fakir miskin, orang terlantar
dan kurang mampu. Tentunya upaya ini menyangkut pula pelayanan gawat darurat, baik yang
diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat ( swasta ).
Rumah sakit di Indonesia memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan pelayanan gawat
darurat 24 jam sehari sebagai salah satu persyaratan ijin rumah sakit. Dalam pelayanan gawat
darurat tidak diperkenankan untuk meminta uang muka sebagai persyaratan pemberian
pelayanan. Dalam penanggulangan pasien gawat darurat dikenal pelayanan fase pra-rumah sakit
dan fase rumah sakit.
Pengaturan pelayanan gawat darurat untuk fase rumah sakit telah terdapat dalam
Peraturan Menteri Kesehatan No.159b/1988 tentang Rumah Sakit, di mana dalam pasal 23 telah
disebutkan kewajiban rumah sakit untuk menyelenggarakan pelayanan gawat darurat selama 24
jam per hari. Untuk fase pra-rumah sakit belum ada pengaturan yang spesifik. Secara umum
ketentuan yang dapat dipakai sebagai landasan hukum adalah pasal 7 UU No.23/1992 tentang
Kesehatan, yang harus dilanjutkan dengan pengaturan yang spesifik untuk pelayanan gawat
darurat fase pra-rumah sakit. Bentuk peraturan tersebut seyogyanya adalah peraturan pemerintah
karena menyangkut berbagai instansi di luar sektor
kesehatan ( Herkutanto, 2007 ).

Masalah Medikolegal pada Penanganan Pasien Gawat Darurat


Hal - hal yang disoroti hukum dalam pelayanan gawat darurat dapat meliputi hubungan
hukum dalam pelayanan gawat darurat dan pembiayaan pelayanan gawat darurat karena secara
yuridis keadaan gawat darurat cenderung menimbulkan privilege tertentu bagi tenaga kesehatan
maka perlu ditegaskan pengertian gawat darurat.
Menurut The American Hospital Association ( AHA ) pengertian gawat darurat adalah :
kegawatdaruratan adalah suatu kondisi berdasarkan penilaian pasien, keluarga atau anggapan
siapa saja yang membawa pasien ke rumah sakit untuk memeroleh perawatan segera. Kondisi ini
berlanjut hingga penetapan dibuat oleh tenaga medis profesional apakah pasien hidup atau
kesejahteraan tidak terancam.
Adakalanya pasien untuk menempatkan dirinya dalam keadaan gawat darurat walaupun
sebenarnya tidak demikian. Sehubungan dengan hal itu perlu dibedakan antara false emergency
dengan true emergency yang pengertiannya adalah :
True emergency adalah kondisi yang ditetapkan secara klinis yang memerlukan
pemeriksaan medis segera. Kondisi tersebut berkisar dari yang memerlukan perawatan luas
secara segera dan masuk ke rumah sakit untuk orang-orang yang masalah diagnostik dan
mungkin atau tidak mungkin memerlukan pengakuan setelah work- up dan observasi/
pengamatan.
Selain itu perlu pula dibedakan antara penanganan kasus gawat darurat fase pra-rumah
sakit dengan fase di rumah sakit.4 Pihak yang terkait pada kedua fase tersebut dapat berbeda, di
mana pada fase pra-rumah sakit selain tenaga kesehatan akan terlibat pula orang awam,
sedangkan pada fase rumah sakit umumnya yang terlibat adalah tenaga kesehatan, khususnya
tenaga medis dan perawat. Kewenangan
dan tanggungjawab tenaga kesehatan dan orang awam tersebut telah dibicarakan di atas.
Kecepatan dan
ketepatan tindakan pada fase pra-rumah sakit sangat menentukan survivabilitas pasien (
Herkutanto, 2007 ).

Azas - Azas Legal dan Etik


1. Azas legalitas
Asas ini pada dasarnya tersirat di dalam Pasal 23 ayat (1), (2) dan (3) Undang-
Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa :
(1) Tenaga kesehatan berwenang untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan;
(2) Kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki;
(3) Dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan tenaga kesehatan wajib memiliki izin
dari pemerintah.
Mendasarkan pada ketentuan di atas, maka pelayanan kesehatan hanya dapat
diselenggarakan apabila tenaga kesehatan yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan
dan perizinan yang diatur dalam Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran, terutama Pasal 29 ayat (1) dan (3); Pasal 36; Pasal 38 ayat (1) yang antara
lain berbunyi sebagai berikut :
Pasal 29 ayat (1) dan (3) antara lain menyatakan bahwa ;
(1) Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib
memiliki surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi
(3) Untuk memperoleh surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi
harus memenuhi persyaratan :
a. memiliki ijazah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, atau dokter gigi spesialis
b. mempunyai surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/ janji dokter atau dokter gigi
c. memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental
d. memiliki sertifikat kompetensi
e. membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.
Di samping persyaratan-persyaratan tersebut di atas, dokter atau dokter gigi
dalam melakukan pelayanan kesehatan harus pula memiliki izin praktik, sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 36 Undang-Undang Praktik Kedokteran sebagai berikut : “Setiap
dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki
sirat Izin Praktik”.
Selanjutnya, surat izin praktik ini akan diberikan jika telah dipenuhi syarat-syarat
sebagaimana yang ditentukan secara tegas di dalam ketentuan Pasal 38 ayat (1) yang
menyatakan bahwa “Untuk mendapatkan surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam
pasal 36, dokter dan dokter gigi harus :
a. Memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi yang
masih berlaku;
b. Mempunyai tempat praktik;
c. Memiliki rekomendasi dari organisasi profesi.
Dari ketentuan di atas dapat ditafsirkan bahwa, keseluruhan persyaratan tersebut
merupakan landasan legalitasnya dokter dan dokter gigi dalam menjalankan pelayanan
kesehatan. Artinya, “asas legalitas” dalam pelayanan kesehatan secara laten tersirat
dalam Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
2. Azas keseimbangan
Menurut asas ini, penyelenggaraan pelayanan kesehatan harus diselenggarakan
secara seimbang antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat, antara fisik
dan mental, antara material dan spiritual. Di dalam pelayanan kesehatan dapat pula
diartikan sebagai keseimbangan antara tujuan dan sarana, antara sarana dan hasil, antara
manfaat dan risiko yang ditimbulkan dari pelayanan kesehatan yang dilakukan. Dengan
demikian berlakunya asas keseimbangan di dalam pelayanan kesehatan sangat berkaitan
erat dengan masalah keadilan. Dalam hubungannya dengan pelayanan kesehatan,
keadilan yang dimaksud adalah bersifat kasustis, karena sangat berhubungan dengan
alokasi sumber daya dalam pelayanan kesehatan.
3. Azas tepat waktu
Dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan, asas tepat waktu ini merupakan
asas yang cukup krusial, oleh karena sangat berkaitan dengan akibat hukum yang timbul
dari pelayanan kesehatan. Akibat kelalaian dokter untuk memberikan pertolongan tepat
pada saat yang dibutuhkan dapat menimbulkan kerugian pada pasien. Berlakunya asas
ini harus diperhatikan dokter, karena hukumnya tidak dapat menerima alasan apapun
dalam
hal keselamatan nyawa pasien yang terancam yang disebabkan karena keterlambatan
dokter dalam menangani pasiennya.
4. Azas etikat baik
Asas etiket baik ini pada dasarnya bersumber pada prinsip etis untuk berbuat baik
pada umumnya yang perlu pula diaplikasikan dalam pelaksanaan kewajiban dokter
terhadap pasien dalam pelayanan kesehatan. Dokter sebagai pengemban profesi,
penerapan asa etiket baik akan tercermin pada sikap penghormatan terhadap hak-hak
pasien dan pelaksanaan praktik kedokteran yang selalu patuh dan taat terhadap standar
profesi. Kewajiban untuk berbuat baik ini tentunya bukan tanpa batas, karena berbuat
baik harus tidak boleh sampai menimbulkan kerugian pada diri sendiri.
5. Azas kejujuran
Kejujuran merupakan salah satu asas yang penting untuk dapat menumbuhkan
kepercayaan pasien kepada dokter dalam pelayanan kesehatan. Berlandaskan asas
kejujuran ini dokter berkewajiban untuk memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan
kebutuhan pasien, yakni sesuai standar profesinya. Penggunaan berbagai sarana yang
tersedia pada institusi pelayanan kesehatan, hanya dilakukan sesuai dengan kebutuhan
pasien yang bersangkutan.
Di samping itu, berlakunya asas ini juga merupakan dasar bagi terlaksananya
penyampaian informasi yang benar, baik dari pasien maupun dokter dalam
berkomunikasi. Kejujuran dalam menyampaikan informasi sudah barang tentu akan
sangat membantu dalam kesembuhan pasien. Kebenaran informasi ini sangat
berhubungan dengan hak setiap manusia untuk mengetahui kebenaran.
6. Azas kehati-hatian
Kedudukan dokter sebagai tenaga profesional di bidang kesehatan, tindakan
dokter harus didasarkan atas ketelitian dalam menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya
dalam pelayanan kesehatan. Karena kecerobohan dalam bertindak yang mengakibatkan
terancamnya jiwa pasien, dapat berakibat dokter terkena tuntutan pidana. Asas kehati-
hatian ini secara yuridis tersirat di dalam Pasal 58 ayat (1) yang menentukan bahwa; :
“Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau
penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian
dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya”.
Dalam pelaksanaan kewajiban dokter, asas kehati-hatian ini diaplikasikan dengan
mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien terutama hak atas informasi dan
hak untuk memberikan persetujuan yang erat hubungannya dengan informed
consent dalam transaksi terapeutik.
7. Azas keterbukaan
Salah satu asas yang ditentukan dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 36 tahun 2009
adalah asas penghormatan terhadap hak dan kewajiban, yang secara tersirat di dalamnya
terkandung asas keterbukaan. Hal ini dapat diinterpretasikan dari Penjelasan Pasal 2 angka
(9) yang berbunyi “Asas penghormatan terhadap hak dan kewajiban berarti bahwa
pembangunan kesehatan dengan menghormati hak dan kewajiban masyarakat sebagai
bentuk kesamaan kedudukan hukum”.
Pelayanan kesehatan yang berdaya guna dan berhasil guna hanya dapat tercapai
bilamana ada keterbukaan dan kesamaan kedudukan dalam hukum antara dokter dan
pasien dengan didasarkan pada sikap saling percaya. Sikap tersebut dapat tumbuh apabila
dapat terjalin komunikasi secara terbuka antara dokter dan pasien, di mana pasien dapat
memperoleh penjelasan dari dokter dalam komunikasi yang transparan.

Kegawatdaruratan dalam Keperawatan


Perawat yang membantu korban dalam situasi emergency harus menyadari konsekuensi
hokum yang dapat terjadi sebagai akibat tindakan yang mereka berikan. Banyak negara-negara
yang telah memberlakukan undang-undang untuk melindungi kesehatan yang menolong korban-
korban kecelekaan . Undang-undang ini bervariasi diberbagai Negara, salah satu diantaranya
memberlakukan undang-undang ”Good Samaritan” yang berfungsi untuk mengidentifikasikan
bahasa/istilah hukum orang-orang atau situasi yang memberikan kekebalan tanggung jawab
tertentu, banyak diantaranya ditimbulkan oleh adanya undang-undang yang umum.
Perawatan yang dapat dipertanggung jawabkan diberikan oleh perawat pada tempat
kecelakaan biasanya dinilai sebagai perawatan yang diberikan oleh perawatan serupa lainnya
dalam kondisi-kondisi umum yang berlaku. Maka,perawatan yang diberikan tidaklah dianggap
sama dengan perawatan yang diberikan di ruangan emergency.
Perawat-perawat yang bekerja di emergency suatu rumah sakit harus menyadari
implikasi hukum dari perawatan yang diberikan seperti memberikan persetujuan dan tindakan-
tindakan yang mungkin dilakukan dalam membantu kondisi mencari bukti-bukti.

Prinsip Etik dalam Pelayanan Kesehatan dan Keperawatan

a. Autonomy
Perawat yang mengikuti prinsip autonomy akan menghargai hak klien untuk mengambil
keputusan sendiri. Dengan hal ini, berarti perawat menyadari keunikan individu secara
holistik.
b. Non-maleficence (do no harm)
Tindakan yang dilakukan perawat tidak menyebabkan bahaya bagi klien. Prinsip ini
adalah prinsip dasar sebagian kode etik keperawatan.
c. Beneficence (do good)
Perawat memiliki kewajiban untuk melakukan hal dengan baik, yaitu
mengimplementasikan tindakan yang menguntungkan klien dan keluarga. Beneficence itu
dimaksudkan untuk menentukan cara terbaik yang dapat meningkatkan kesehatan dan
kesejahteraan klien. Perawat harus selalu melakukan hal dengan baik, termasuk dalam hal
pemberian asuhan keperawatan guna membantu mempercepat proses penyembuhan klien.
d. Informed Consent
Merupakan persetujuan seseorang untuk mengizinkan dilakukannya sesuatu terhadap
dirinya. Dalam informed consent berisi pemberitahuan tentang resiko penting yang potensial,
keuntungan, dan alternatif yang ada.
e. Justice (perlakuan adil)
Perawat harus selalu berlaku adil kepada semua klien.
f. Kejujuran, kerahasiaan, dan kesetiaan
Prinsip mengatakan yang sebenarnya (kejujuran) mengarahkan praktisi untuk
menghindari melakukan kebohongan atau menipu klien. Dalam hal ini perawat harus
menginformasikan semua hal yang berkaitan dengan kondisinya.
Kerahasiaan adalah suatu tindakan dari perawat untuk menghindari pembicaraan
mengenai kondisi klien dengan siapapun yang tidak terlibat secara langsung terlibat dalam
perawatan klien.
Kesetiaan menyatakan bahwa perawat harus memegang janji yang dibuatnya pada klien.
Ketika seorang perawat jujur dan memegang janjinya, maka seorang pasien akan menaruh
kepercayaan pada perawat, dengan hai itu perawat dapat dengan mudah melakukan
intervensi.
BAB III
CONTOH KASUS

Contoh kasus dilema etik keperawatan gawat darurat KASUS DAN PEMBAHASAN

KASUS :
Seorang laki-laki usia 65 tahun menderita kanker kolon terminal dengan metastase yang telah
resisten terhadap tindakan kemoterapi dan radiasi dibawa ke IGD karena jatuh dari kamar mandi
dan menyebabkan robekan di kepala. laki-laki tersebut mengalami nyeri abdomen dan tulang
dan kepala yang hebat dimana sudah tidak dapat lagi diatasi denganpemberian dosis morphin
intravena. Hal itu ditunjukkan dengan adanya rintihan ketika istirahat dan nyeri bertambah hebat
saat laki-laki itu mengubah posisinya. Walapun klien tampak bisa tidur namun ia sering
meminta diberikan obat analgesik. Kondisi klien semakin melemah dan mengalami sesak yang
tersengal- sengal sehingga mutlak membutuhkan bantuan oksigen dan berdasar diagnosa dokter,
klien maksimal hanya dapat bertahan beberapa hari saja. Melihat penderitaan pasien yang
terlihat kesakitan dan mendengar informasi dari dokter, keluarga memutuskan untuk
mempercepat proses kematian pasien melalui euthanasia pasif dengan pelepasan alat-alat
kedokteran yaitu oksigen dan obat obatan lain dan dengan keinginan agar dosis analgesik
ditambah. Dr spesilalist onkologi yang ditelp pada saat itu memberikan advist dosis morfin yang
rendah dan tidak bersedia menaikan dosis yang adakarena sudah maksimal dan dapat
bertentangan dengan UU yang ada. Apa yang seharusnya dilakukan oleh anda selaku perawat
yang berdinas di IGD saat itu menghadapi desakan keluarga yang terus dilakukan?.

Pemecahan masalah :
Tindakan alternatif tentang rangkaian tindakan yang direncanakan dan konsekuensi tindakan
tersebut
a. Tidak menuruti keinginan pasien tentang penambahan dosis obat pengurang nyeri dan melepaskan
oksigen Konsekuensi :
1) Tidak mempercepat kematian klien
2) Membiarkan Klien meninggal sesuai proses semestinya
3) Tidak melanggar peraturan mengenai pemberian morfin
4) Keluhan nyeri pada klien akan tetap berlangsung
5) Pelanggaran terhadap hak pasien untuk menentukan nasibnya sendiri
6) Keluarga dan pasien cemas dengan situasi tersebut
b. Tidak menuruti keinginan klien, dan perawat membantu untuk manajemen
nyeri. Konsekuensi :
1) Tidak mempercepat kematian pasien
2) Klien dibawa pada kondisi untuk beradaptasi pada nyerinya (meningkatkan ambang nyeri)
3) Keinginan klien untuk menentukan nasibnya sendiri tidak terpenuhi

c. Menuruti keinginan klien untuk menambah dosis morphin namun tidak sering dan apabila
diperlukan. . Konsekuensi :
1) Risiko mempercepat kematian klien sedikit dapat dikurangi
2) Klien pada saat tertentu bisa merasakan terbebas dari nyeri sehingga ia dapat cukup beristirahat.
3) Hak klien sebagian dapat terpenuhi.
4) Kecemasan pada klien dan keluarganya dapat sedikit dikurangi.
5) Beresiko melanggar peraturan yang berlaku.
d. Tidak menuruti keinginan keluarga dan membantu keluarga dalam proses
berdukanya Konsekuensi :
1) Tidak mempercepat kematian klien
2) Keluarga dapat melewati proses berduka dengan seharusnya
3) Keluarga tidak menginginkan dilakuakn euthanasia terhadap
BAB. IV
ANALISIS KASUS DENGAN TEORI DAN JURNAL

Seorang pasien wanita datang ke rumah sakit mengeluhkan adanya rasa nyeri setelah,
melakukan olahraga Muaythai. Pasien disarankan melakukan USG untuk mengetahui penyebab
sakit yang dirasakan. Hasil USG menunjukkan pasien terindikasi kista, pasien direkomendasikan
untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut kesalah satu dokter kandungan. Selanjutnya dokter
tersebut
melakukan tindakan pengangkatan kista terhadap pasien, empat hari setelah tindakan, dokter
tersebut memberitahu pasien jika dua indung telur telah diangkat. Namun sebelum dilakukan
tindakan, dokter belum melakukan pemeriksaan laboratorium, dokter mengakui mengalami
situasi yang sulit ketika melakukan tindakan operasi dan memperkirakan dengan sendiri jika
indung telur pasien terindikasi kanker, sehingga memutuskan untuk mengangkat dua indung
telur pasien sekaligus. Pasien sekaligus didampingi pengacaranya menganggap bahwa tindakan
dokter tersebut merupakan hal yang tidak wajar, tidak manusiawi, dan kejam karena
mengangkat dua indung telur tanpa izin pasien. Dokter melakukan pengangkatan indung telur
tanpa seizin pasien dan tanpa melakukan pemeriksaan penunjang lainnya. Tindakan dokter
tersebut sangatlah tidak benar lantaran ini sangat merugikan pasien.
BAB. V
PENUTUP
 Pengetahuan akan cara penanganan kegawatdaruratan dan etika kegawatdaruratan sangat
diperlukan oleh tenaga kesehatan.

 Azas-azas legalitas dalam medis diantaranya azas legalitas, azas keseimbangan, azas
tepat waktu, azas etiket baik, azas kejujuran, azas kehati-hatian, dan azas keterbukaan.

 Prinsip Etik dalam Pelayanan Kesehatan dan Keperawatan adalah autonomy, non-
maleficence, beneficence, informed consent, justice, kejujuran, kerahasiaan, dan
kesetiaan.

 Pelanggaran Non Maleficence yang dilakukan dokter tersebut yaitu melakukan


pengangkatan indung telur pasien secara sepihak. Sedangkan pelanggaran Maqosid
Syariah yang dilakukan dokter tersebut yaitu membuat Pasien tidak bisa
mempunyai keturunan akibat pengangkatan kedua indung telurnya. Selanjutnya
saran yang dapat diberikan yaitu jalin komunikasi yang baik kepada pasien dan
selalu meminta izin sebelum melakukan tindakan serta melakukan pemeriksaan
lanjutan.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, http://www.scribd.com/doc/95147488/Asas-Hukum-Transaksi-Terapeutik diunduh


melalui Google Chrome 03/03/2023

Herkutanto, 2007, Aspek Medikolegal Pelayanan Gawat Darurat vol. 57, Bagian Ilmu
Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Veronica Komalawati, 2002. Peranan Informed Consent Dalam Transaksi Terepeutik


(Persetuajuan Dalam Hubungan Dokter dan Pasien); Suatu Tinjauan Yuridis, PT Citra Aditya
bakti, Bandung
Prociding Call For Paper Thalamus Fakultas Kedokteran

Universitas Muhammadiyah Surakarta

Desember 2021

PENGANGKATAN KISTA OVARIUM BILATERAL TANPA


PERSETUJUAN PASIEN; ANALISIS ETIK MODERN DAN ISLAM

Removal of Bilateral Ovarian Cysts Without The Patient's Consent; Modern Ethical
Analysis And Islam

Elfin Ainul Fikri1 ,Laras Kesuma Wardani1, Yasmindra Caroline Purdiatmaja1, Zhela Fatin
Fatiha1, Dyah Bunga Adisty 1, Aliza Mibawani1, Yusuf Alam Romadhon 2

1
Mahasiswa Program Studi Kedokteran, Fakultas Kedokteran, Universitas
Muhammadiyah Surakarta

2
Dosen Program Studi Kedokteran, Fakultas Kedokteran, Universitas
Muhammadiyah Surakarta

Korespondensi: yar245@ums.ac.id

ABSTRAK

Dokter dalam menjalankan praktik sehari-hari senantiasa berhadapan dengan peristiwa


medik yang sensitif etik. Pemahaman yang baik peristiwa medik sensitif etik, memungkinkan
dokter dapat menjalankan praktik medik dengan benar secara disiplin ilmu maupun secara
etik dan hukum. Dalam konteks Indonesia dengan mayoritas penduduknya beragama Islam,
pemahaman etik Islam yang terwakili dalam prinsip Maqasid Syariah, membuat praktik
kedokteran lebih dapat diterima dan mampulaksana untuk tercapainya kontrak terapetik
dokter – pasien Muslim. Tulisan ini melakukan pengkajian kasus dokter yang melakukan
pengangkatan ovarium secara bilateral tanpa persetujuan pasien, dalam perspektif kaidah
dasar bioetik dan maqasid Syariah. Uraian dalam tulisan ini akan memperkaya pemahaman
dokter ketika melakukan penerapan kaidah dasar bioetik dan maqasid Syariah dalam praktik
kedokteran sehari-hari.

Kata Kunci: Kaidah Dasar Bioetik, Maqasid Syariah, Kasus Praktik Medik Sensitif Etik

197
Prociding Call For Paper Thalamus Fakultas Kedokteran

Universitas Muhammadiyah Surakarta

Desember 2021

ABSTRACT

Doctors in carrying out their daily practice are always faced with ethically sensitive medical
events. A good understanding of ethically sensitive medical events allows doctors to carry out
medical practice properly in a scientific discipline as well as ethically and legally. In the
context of Indonesia, where the majority of the population is Muslim, the understanding of
Islamic ethics represented in the principles of Maqasid Syariah makes medical practice more
acceptable and feasible to achieve the therapeutic contract of Muslim doctors - patients. This
paper examines the case of a doctor who performed bilateral ovarian removal without the
patient's consent, in the perspective of the basic principles of bioethics and sharia maqasid.
The description in this paper will enrich the understanding of doctors when implementing the
basic principles of bioethics and sharia maqasid in daily medical practice.

Keywords: Basic Principles of Bioethics, Maqasid Syariah, Cases of Ethical Sensitive Medical
Practice

PENDAHULUAN menjaga integritas profesi, mengurangi


konflik etika, memberikan pencegahan
Etika kedokteran Indonesia adalah
sekunder terhadap perilaku tidak etis, dan
seperangkat nilai dan etika dalam profesi
menjaga hubungan dokter-pasien sebagai
kedokteran sebagaimana diatur dalam
ikatan kepercayaan. (Rozaliyani et al. 2018).
KODEKI, keputusan etik, pedoman, dan
perjanjian etik lainnya dari Ikatan Dokter
Majelis Kehormatan Etik
Indonesia (IDI).
Kedokteran Indonesia (MKEK IDI) adalah
badan yang menerbitkan pedoman
Etika kedokteran membantu
pelaksanaan Kode Etik Kedokteran
meningkatkan keahlian, pengetahuan,
Indonesia (KODEKI) dan Kode Etik
pemahaman, dan pengamalan prinsip-prinsip
Kedokteran Indonesia (KODEKI). MKEK
dasar bioetika serta etika kedokteran sebagai
(Majelis Kehormatan Etik
seorang dokter. Secara khusus,
pengembangan etika kedokteran adalah
untuk

198
Prociding Call For Paper Thalamus Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah

Kedokteran) adalah lembaga penegak pendistribusian sumber daya, atau keadilan


hukum etika kedokteran (kodeki) dan terdistribusi. (Alif, et al. 2019).
berwenang menentukan apakah dokter dan
dokter gigi telah melakukan kesalahan Maqosid Syariah terdapat dalam
dalam prosedur medis dan menetapkan lima tujuan hukum, kelima tujuan tersebut
sanksi. Etika dokter harus didasarkan pada merupakan preservasi Diin, kehidupan,
etika yang mengatur hubungan keturunan, intelektual, serta kekayaan.
interpersonal umum, dan prinsip-prinsip Semua tindakan medis harus memenuhi
filosofis sosial yang terus-menerus semua tujuan diatas barulah dikatakan
diterima dan dikembangkan. Apalagi di tindakan yang etis (Alif et al. 2019).
Indonesia prinsipnya adalah Pancasila, kita
semua menganggapnya sebagai dasar ideal, Tujuan dari penulisan artikel ini

dan UUD 1945 adalah dasar struktural. adalah untuk menganalisis kaidah dasar

(Pelafu, 2015). bioetik dan maqosid syariah pada kasus


kista ovarium yang diangkat ovarium
Prinsip bioetika internal adalah secara bilateral tanpa persetujuan pasien.
penerapan prinsip etika dalam bidang
kedokteran dan kesehatan. Bioetika METODE

kedokteran adalah bentuk khusus dari etika


Metode yang digunakan dalam
dan etika sosial dalam kedokteran, dengan
penulisan artikel ini menggunakan dua
pedoman prinsip-prinsip praktis (praktis)
metode: (1) Analisis peristiwa medik
dan filosofis moral (normatif), dan secara
sensitif etik; (2) eksplorasi kaidah dasar
kritis dihasilkan dari empat konsekuensi
bioetik dan maqosid syariah yang sesuai
dasar. Memenuhi perilaku penyesalan
dengan peristiwa medik sensitife etik
(seharusnya) Prinsip moral (aturan dasar
tersebut.
bioetika). KDB) dan kaidah turunannya,
yaitu (1) asas itikad baik, asas moral yang PAPARAN KASUS
mengutamakan perilaku untuk kepentingan
pasien. (2) Asas tidak berbahaya, yaitu asas Kasus berikut diadaptasi dari
moral yang melarang memburuknya tulisan Setiawan et al (2018). Seorang
kondisi pasien. (3) Prinsip otonomi adalah pasien wanita datang ke rumah sakit
prinsip moral yang berkaitan dengan mengeluhkan adanya rasa nyeri setelah
pasien, terutama hak otonomi pasien. (4) melakukan olah raga Muaythai. Pasien
Asas keadilan adalah asas moral yang disarankan melakukan USG untuk
menekankan keadilan dan keadilan dalam mengetahui penyebab sakit yang dirasakan.
Hasil USG menunjukkan pasien terindikasi

ISSN : 2721-2882
199
Prociding Call For Paper Thalamus Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah

kista, pasien direkomendasikan untuk dengan anestesi umum, sehingga dia tidak
melakukan pemeriksaan lebih lanjut ke tahu apakah dokter telah mengangkat
salah satu dokter kandungan. kedua indung telurnya yang
mengakibatkan dia tidak dapat memiliki
Selanjutnya dokter tersebut
anak. kasus ini belum sepenuhnya
melakukan tindakan pengangkatan kista
terungkap, kedua belah pihak tidak
terhadap pasien, empat hari setelah
menemukan solusi. Sehingga pasien
tindakan, dokter tersebut memberitahu
ditawari uang damai atas dugaan
pasien jika dua indung telur telah diangkat.
malpraktik oleh dokter. Selain dua indung
Namun sebelum dilakukan tindakan, dokter
telur yang diangkat selama operasi kista
belum melakukan pemeriksaan
yang dijalaninya, pasien juga mengaku
laboratorium, dokter mengakui mengalami
dokter telah melakukan prosedur medis
situasi yang sulit ketika melakukan
lain, seperti mengeluarkan usus buntu
tindakan operasi dan memperkirakan
tanpa persetujuannya.Pihak rumah sakit
dengan sendiri jika indung telur pasien
belum bisa memberikan keterangan yang
terindikasi kanker, sehingga memutuskan
jelas mengenai kasus tersebut.
untuk mengangkat dua indung telur pasien
sekaligus.
Selanjutnya kasus ini akan
diajukan ke pengadilan. Dokter yang
Pasien sekaligus didampingi
bersangkutan diketahui telah dipecat dari
pengacaranya menganggap bahwa tindakan
Rumah Sakit tersebut. (Setiawan, et al.,
dokter tersebut merupakan hal yang tidak
2018)
wajar, tidak manusiawi, dan kejam karena
mengangkat dua indung telur tanpa izin PEMBAHASAN
pasien.
Dalam kasus yang terjadi pada
Dokter mempunyai hak untuk artikel diatas, terdapat pelanggaran pada
mengambil tindakan medis apabila Ethical Principles
menyangkut nyawa pasien dan dalam
keadaan gawat darurat. Akan tetapi, pada 1. Non Maleficence

kasus ini tidak ditemukan adanya hal gawat


Pada masalah diatas, sangat terlihat bahwa
sehingga harus dilakukan tindakan
terjadi pelanggaran etika. Pasien yang
pengangkatan sel indung.
awalnya mengeluh nyeri lalu melakukan
USG dan kemudian dijadwalkan
Menurut pasien, prosedur yang
melakukan operasi guna pengangkatan
dilakukan pada dirinya adalah operasi
kista. Tetapi ternyata dokter HS melakukan
pengangkatan indung telur pasien lantaran
ketika melakukan operasi dokter
ISSN : 2721-2882
200
Prociding Call For Paper Thalamus Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah

memperkirakan sendiri bahwa terdapat Adeyani, Alif. "Kematian Janin dalam


tanda kanker dalam indung terus pasien. Rahim Ditinjau dari Aspek Medis, Kaidah
Dasar Bioetik, dan Keutamaannya
Dokter melakukan pengangkatan indung
dalam Tinjauan Islam." UMI
telur tanpa seizin pasien dan tanpa Medical Journal 4.2 (2019): 70-82
melakukan pemeriksaan penunjang
Dananjaya, AA Ngr Dwi, Anak Agung
lainnya. Tindakan dokter tersebut
Sagung Laksmi Dewi, and Luh Putu
sangatlah tidak benar lantaran ini sangat Suryani. "Sanksi Malpraktik Dan Resiko
Medik Yang Dilakukan Oleh Dokter."
merugikan pasien.
Jurnal Analogi Hukum 1.1 (2019): 6-
10.
2. Maqosid Syariah
Pelafu, Julius. "Pelaksanaan Penegakan
Pada kasus diatas terdapat pelanggaran Kode Etik Kedokteran." Lex Crimen 4.3
(2015).
maqasid Syariah, karena melanggar salah
satu dari lima unsur pokok maqasid Rozaliyani, Anna, Putri Dianita Ika Meilia,
and Nurfanida Librianty. "Prinsip
Syariah yaitu tidak menjaga keturunan.
Penetapan Sanksi bagi Pelanggaran Etik
Pengangkatan indung telur yang dilakukan Kedokteran." Jurnal Etika
dokter tersebut mengakibatkan pasien tidak
bisa mempunyai keturunan. Kedokteran Indonesia 2.1 (2018):
19.

SIMPULAN DAN SARAN


Setiawan, Heri; Putera, Devka Octara;
Sugiharta, Nicolaas. Pelanggaran Kode
Pelanggaran Non Maleficence
Etik Kedokteran Pada Kasus Pengangkatan
yang dilakukan dokter tersebut yaitu Indung Telur Pasien Secara Sepihak Di RS.
melakukan pengangkatan indung telur GRHA KEDOYA Jakarta Barat.
Jurisprudentie: Jurusan Ilmu Hukum
pasien secara sepihak. Sednagkan Fakultas Syariah Dan Hukum, 5.2:
pelanggaran Maqosid Syariah yang 99- 120.
dilakukan dokter tersebut yaitu membuat
Shidiq, Ghofar. "Teori maqashid al-
Pasien tidak bisa mempunyai keturunan Syari'ah dalam hukum Islam."
akibat pengangkatan kedua indung Majalah
Ilmiah Sultan Agung 44.118 (2021): 117
telurnya. 130.

Selanjutnya saran yang dapat


diberikan yaitu jalin komunikasi yang baik
kepada pasien dan selalu meminta izin
sebelum melakukan tindakan serta
melakukan pemeriksaan lanjutan.

DAFTAR PUSTAKA
ISSN : 2721-2882
201
Prociding Call For Paper Thalamus Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah

ISSN : 2721-2882 202

Anda mungkin juga menyukai