Anda di halaman 1dari 18

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsurunsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air dan vegetasi serta
sumberdaya manusia sebagai pelaku pemanfaat sumberdaya alam tersebut. DAS
di beberapa tempat di Indonesia memikul beban amat berat sehubungan dengan
tingkat kepadatan penduduknya yang sangat tinggi dan pemanfaatan
sumberdaya alamnya yang intensif sehingga terdapat indikasi belakangan ini
bahwa kondisi DAS semakin menurun dengan indikasi meningkatnya kejadian
tanah longsor, erosi dan sedimentasi, banjir, dan kekeringan. Disisi lain tuntutan
terhadap kemampuannya dalam menunjang sistem kehidupan, baik masyarakat
di bagian hulu maupun hilir.
Pengelolaan sumber daya air diperlukan sebagai cara pencegahan dan perbaikan
ekosistem DAS agar dapat digunakan secara berkelanjutan. Pengelolaan DAS
tersebut diantaranya memiliki prinsip one watershed-one plan-one integrated
management. Kegiatan konservasi tanah dan pengelolaan sumber daya air
secara intensif merupakan salah satu cara yang dapat digunakan dalam
pengelolaan DAS. Dengan kegiatan konservasi tanah dan pengelolaan DAS
tersebut diharapkan dapat menekan bahaya kerusakan sumber daya air dan DAS
seminimal mungkin.
Informasi yang penting untuk diketahui dalam pengelolaan DAS tersebut
diantaranya ialah debit aliran sungai, erosivitas hujan, erodibilitas tanah,
panjang dan kemiringan lereng, serta faktor lain berupa tindakan konservasi dan

keadaan vegetasi dari waktu ke waktu. Dengan demikian dapat diperkirakan


jumlah tanah yang terangkut.
Informasi mengenai besarnya debit aliran sungai membantu dalam merancang
bangunan dengan memperhatikan besarnya debit puncak (banjir) yang
diperlukan untuk perancangan bangunan pengendalian banjir dan juga dilihat
dari data debit minimum yang diperlukan untuk pemanfaatan air terutama pada
musim kemarau. Sehingga dengan adanya data debit tersebut pengendalian air
baik dalam keadaan berlebih atau kurang sudah dapat diperhitungkan sebagai
usaha untuk mengurangi dampak banjir pada saat debit maksimum dan
kekeringan atau defisit air pada saat musim kemarau panjang.
Debit adalah suatu koefisien yang menyatakan banyaknya air yang mengalir
dari suatu sumber per satuan waktu, biasanya diukur dalam satuan liter per
detik. Untuk memenuhi kebutuhan air pengairan (irigasi bagi lahan-lahan
pertanian), debit air harus lebih cukup untuk disalurkan ke saluran-saluran
(induk-sekunder-tersier) yang telah dipersiapkan di lahan-lahan pertanian
(Dumairy, 1992).
Teknik pengukuran debit aliran langsung di lapangan pada dasarnya dapat
dilakukan melalui empat katagori (Arsyad, 2010):
1. Pengukuran volume air sungai
2. Pengukuran debiut dengan cara mengukur kecepatan aliran dan
menentukan luas penampang melintang sungai.
3. Pengukuran debit dengan menggunakan bahan kimia (pewarna) yang
dialirkan dalam aliran sungai (substance tracing method).
4. Pengukuran debit dengan membuat bangunan pengukuran debit seperti
weir (aliran air lambat) atau flume (aliran cepat).
Analisis vegetasi merupakan cara yang dilakukan untuk mengetahui seberapa
besar sebaran berbagai spesies dalam suatu area melaui pengamatan langsung.
Dilakukan dengan membuat plot dan mengamati morfologi serta identifikasi
vegetasi yang ada. Dalam ilmu vegetasi telah dikembangkan berbagai metode
untuk menganalisis suatu vegetasi yang sangat membantu dalam

mendekripsikan suatu vegetasi sesuai dengan tujuannya. Dalam hal ini suatu
metodologi sangat berkembang dengan pesat seiring dengan kemajuan dalam
bidang-bidang pengetahuan lainnya, tetapi tetap harus diperhitungkan berbagai
kendala yang ada (Syafei, 1990).
Terkait dengan kondisi lahan yang terbatas, pemanfaatan lahan harus dilakukan
secara terencana, rasional, optimal dan bertanggungjawab serta sesuai dengan
kemampuan daya dukungnya (Sugandhy, 1999). Pemanfaatan lahan yang tidak
sesuai dengan kelas kesesuaiannya akan memberikan dampak buruk, baik
secara fisik maupun ekonomi. Secara fisik, pemanfaatan lahan yang tidak sesuai
dengan daya dukung lahan dapat menimbulkan kerusakan lahan dan sebaliknya,
penggunaan lahan yang tepat adalah langkah pertama untuk menunjang program
konservasi lahan (Sinukaban, 1999). Penggunaan lahan harus memperhatikan
lingkungan juga agar tidak terjadi degradasi lahan, miaslnya banjir dan longsor
serta erosi.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dilaksanakannya praktikum ini ialah:
1. Mengetahui cara pengukuran debit menggunakan triangle weir dan
orifice.
2. Mengetahui faktor-faktor erosi yang berpengaruh di sekitar wilayah
Gunung Betung.
3. Mengevaluasi tindakan pencegahan erosi dan faktor vegetasi yang
berpengaruh terhadap erosi di sekitar wilayah Gunung Betung.
4. Mengetahui debit air pada aliran sungai di wilayah Batarnila.

II. METODE PERCOBAAN

2.1 Waktu dan Tempat


Kegiatan praktikum dilaksanakan selama satu semester yaitu pada bulan Maret
sampai Juni 2012. Praktikum dilaksanakan pada 3 lokasi, yaitu laboratorium,
Gunung Betung, dan saluran irigasi di Bataranila.
2.2 Alat dan Bahan
Adapun alat-alat yang digunakan pada praktikum ini adalah botol aqua, ember,
gelas aqua 240 ml, kran air, bola pingpong, GPS, meteran, dan clinometer.
Sedangkan bahan yang digunakan ialah air.
2.3 Cara Kerja
a. Pengukuran debit menggunakan orifice
1. Dilubangi bagian tengah botol aqua dengan ukuran diameter 0,5 cm.
2. Diisi botol dengan air hingga tinggi permukaan air konstan.
3. Ditampung air yang keluar dari titik 2 cm dengan menggunakan
gelas berukuran 240 cm3.
4. Diitung waktu yang digunakan untuk memenuhi gelas tersebut.
5. Diulangi hal yang sama pada titik 6 cm dan 11 cm. Masing-masing
titik diulang sebanyak 3 kali.
6. Lakukan kalibrasi terhadap air yang tertampung dan bandingkan
hasil tersebut dengan rumus: Q = C A

2 g h

b. Pengukuran debit menggunakan weir


1. Dilubangi penampung air berbentuk segitiga.

2. Diisi penampung air tersebut dengan air hingga tinggi permukaan


air konstan.
3. Ditampung air yang keluar dari titik 1 cm dengan menggunakan
gelas berukuran 240 cm3.
4. Diitung waktu yang digunakan untuk memenuhi gelas tersebut.
5. Diulangi hal yang sama pada titik 2 cm dan 3 cm. Masing-masing
titik diulang sebanyak 3 kali.
6. Lakukan kalibrasi terhadap air yang tertampung dan bandingkan
hasil tersebut dengan rumus: Q = 2,49 H5/2
c. Pengukuran posisi, kemiringan lereng, dan arah menggunakan GPS
1. Ditentukan titik yang akan diukur posisinya
2. Dipasang GPS pada posisi on
3. Diletakkan GPS pada titik yang akan diukur.
4. Dibiarkan sampai angka-angka pada layar GPS menjadi stabil,
minimal 10 detik
5. Dibaca angka yang tertera pada GPS (titik koordinat dan ketinggian
tempat)
d. Penentuan faktor erosi
1. Ditentukan kemiringan dan panjang lereng pada titik pengamatan.
2. Dilakukan analisis vegetasi pada titik pengamatan yang terdiri dari
jenis vegetasi dan arah penanaman.
3. Dilakukan analisis adakah tindakan konservasi tanah yang dilakukan
pada lahan tersebut.
e. Pengukuran kecepatan aliran sungai
1. Diukur panjang, lebar, dan kedalaman sungai.
2. Ditentukan titik tengah sungai dan jarak tempuh bola pingpong
untuk pengukuran.
3. Dilepaskan bola pingpong pada sungai.
4. Dihitung waktu yang ditempuh oleh bola pingpong untuk melewati
jarak tempuh yang telah ditentukan tersebut.
5. Dilakukan hal yang sama pada sisi kanan dan kiri sungai. Setiap titik
diulangi sebanyak minimal 10 kali.
f. Pengukuran luas penampang sungai
1. Dibagi penampang sungai menjadi 3 bagian, yaitu tengah, sisi kiri,
dan kanan.
2. Diukur kedalaman sungai pada bagian sungai tengah, kiri, dan kanan
menggunakan meteran.

3. Diukur juga lebar sungai menggunakan meteran.


g. Pengukuran sedimen melayang
1. Disediakan botol tempat menampung air.
2. Dimasukkan botol tersebut pada sungai.
3. Dihitung waktu yang dibutuhkan untuk memenuhi seluruh botol
aqua tersebut.
4. Ditentukan jumlah sedimen melayang yang terkandung dalam air
sungai tersebut.

III. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil Pengamatan


Tabel 1. Simulasi orifice pada titik 2 cm
Ulangan

Waktu (s)

Debit (Q)
(cm3 s-1)

1
2
3
Rata-rata

28,13
29,83
29,63

8,53
8,04
8,09
8,22

Debit hasil
perhitungan (cm3
s-1)
7,72

Tabel 2. Simulasi orifice pada titik 6 cm


Ulangan

Waktu (s)

Debit (Q)
(cm3 s-1)

1
2
3

16,99
18,52
17,27

14,12
12,96
13,90

Debit hasil
perhitungan (cm3 s1
)
13,36

Rata-rata

13,66

Tabel 3. Simulasi orifice pada titik 11 cm


Ulangan

Waktu (s)

1
2
3
Rata-rata

13,78
13,13
13,51

Debit
(Q)
(cm3 s-1)
17,42
18,28
17,76
17,82

Debit hasil
perhitungan (cm3 s-1)

18,09

Tabel 4. Simulasi weir pada titik 3 cm


Ulangan
1
2
3
Rata-rata

Waktu (s)
1,89
1,85
1,98

Volume (cm3)
240
240
240

Debit (cm3 s-1)


126,98
129,73
121,21
125,98

Tabel 5. Simulasi weir pada titik 2 cm


Ulangan
1
2
3
Rata-rata

Waktu (s)
2,65
2,79
3,06

Volume (cm3)
240
240
240

Debit (cm3 s-1)


90,57
86,02
78,43
85,01

Tabel 6. Simulasi weir pada titik 1 cm


Ulangan
1
2
3
Rata-rata

Waktu (s)
10,21
8,64
9,67

Volume (cm3)
240
240
240

Debit (cm3 s-1)


23,51
27,78
24,82
25,37

Tabel 7. Penentuan faktor erosi


Titik
1

Koordinat
S : 05o 24

Luas dan Kemiring


Ketinggian an lereng
500 m2
30o

Vegetas Tindakan
i
Konservasi
Kacang Penanaman

49,7

394 m dpl

erchis

mengikuti

E:
2

105o1128,8
S : 05o 24

500 m2

50,7

395 m dpl

8o

dan

kontur

Cabai
Buncis

Penanaman
mengikuti

E:
3

kontur

105o1128,6
S:

5000 m2

05o2451,4

392 m dpl

35o

Ubi

Penanaman

kayu

mengikuti

E:
4

kontur

105o1130,3
S:

2 ha

05o2451,7

394 m2

21o

E:

Kakao

Ditanam

Dan

dengan

Pisang

sistem

105o1124,9

wanatani

Tabel 8. Pengukuran debit pada bagian tengah sungai


Ulangan

Waktu (s)

Luas (m2)

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Rata-rata

21,53
23,25
22
17,75
17,01
23,06
20,84
29,65
22,25
26,79
18,5
22,06

0,57
0,57
0,57
0,57
0,57
0,57
0,57
0,57
0,57
0,57
0,57

Kecepatan
(m s-1)
0,23
0,22
0,23
0,28
0,29
0,22
0,24
0,17
0,22
0,19
0,27
0,23

Debit
(m3 s-1)
0,13
0,12
0,13
0,16
0,17
0,12
0,14
0,10
0,13
0,11
0,15
0,13

Tabel 9. Pengukuran debit pada sisi kanan sungai


Ulangan

Waktu (s)

Luas (m2)

1
2
3
4

16,77
19,26
14,77
16,03

0,57
0,57
0,57
0,57

Kecepatan
(m s-1)
0,30
0,26
0,34
0,31

Debit
(m3 s-1)
0,17
0,15
0,19
0,18

5
6
7
8
9
10
11
Rata-rata

24,21
13,66
18,13
33,73
18,22
18,81
18,18
19,25182

0,57
0,57
0,57
0,57
0,57
0,57
0,57

0,21
0,37
0,28
0,15
0,27
0,27
0,28
0,27

0,12
0,21
0,16
0,08
0,16
0,15
0,16
0,16

Tabel 10. Pengukuran debit pada sisi kiri sungai


Ulangan

Waktu (s)

Luas (m2)

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Rata-rata

32
34,22
23,11
23,75
37,13
35,49
56,08
56,21
37,92
38,02
37,39

0,57
0,57
0,57
0,57
0,57
0,57
0,57
0,57
0,57
0,57

Kecepatan
(m s-1)
0,16
0,15
0,22
0,21
0,13
0,14
0,09
0,09
0,13
0,13
0,14

Debit
(m3 s-1)
0,09
0,08
0,12
0,12
0,08
0,08
0,05
0,05
0,08
0,07
0,08

3.2 Pembahasan
Konservasi tanah dalam arti luas adalah penempatan setiap bidang tanah pada
cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut serta
memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak
terjadi kerusakan tanah. Dalam arti sempit diartikan sebagai upaya untuk
mencegah kerusakan tanah oleh erosi dan memperbaiki tanah yang rusak oleh
erosi (Arsyad, 2010).
Konservasi tanah dan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) merupakan dua
hal yang tidak dapat dipisahkan. Kegiatan konservasi tanah salah satunya ialah
menghindari kerusakan tanah akibat erosi. Kerusakan akibat erosi dapat

berdampak buruk pada badan-badan air, seperti sungai, waduk, dan juga sumber
daya air secara umum. Kerusakan sumber air terjadi berupa hilangnya atau
mengeringnya mata air serta menurunnya kualitas air. Hilangnya atau
mengeringnya mata air tersebut berhubungan erat dengan peristiwa erosi.
Kegiatan konservasi tanah tersebut sejalan dengan pengelolaan DAS.
Pengelolaan DAS ialah upaya di dalam penggunaan sumber daya air di DAS
secara rasional untuk mendapatkan produksi maksimum dalam waktu tidak
terbatas dan menekan bahaya kerusakan (degradasi) seminimal mungkin, serta
diperoleh water yield yang merata sepanjang tahun (Sinukaban, 1999).
Sesuai dengan pengertian pengelolaan DAS tersebut, dapat disimpulkan bahwa
pengelolaan DAS pada dasarnya bertujuan untuk menekan fluktuasi debit atau
laju aliran permukaan (Qmax: Qmin) agar tidak terlalu tinggi pada musim
penghujan dan tidak terlalu rendah pada musim kemarau. Dengan fluktuasi laju
aliran permukaan yang stabil pada akhirnya diperoleh water yield yang merata
sepanjang tahun.
Laju aliran permukaan adalah banyaknya atau volume air yang mengalir melalui
suatu titik per satuan waktu, dinyatakan dalam m3 detik-1 atau m3 per jam. Laju
aliran permukaan juga dikenal dengan istilah debit air. Besarnya debit air
ditentukan oleh luas penampang air dan kecepatan alirannya.
Pada praktikum ini dilaksanakan simulasi pengukuran debit air menggunakan
orifice dan weir. Pada perhitungan debit menggunakan weir, debit yang
dihasilkan sedikit berbeda dengan debit yang dihasilkan berdasarkan
perhitungan menggunakan rumus (Grafik 1).

20
18
16
14
12
Debit (cm3 s-1) 10
8

Simulasi
Perhitungan

6
4
2
0

11

Titik (cm)

Grafik 1. Perbandingan debit air berdasarkan sistem orifice dan hasil


perhitungan menggunakan rumus

Sedangkan pada simulasi perhitungan debit pada sistem weir, debit yang
dihasilkan berdasarkan rumus dan simulasi weir berbeda nyata. Berdasarkan
grafik (Grafik 2), debit yang dihasilkan berdasarkan perhitungan menghasilkan
debit yang lebih tinggi dibandingkan dengan debit hasil simulasi weir.
350
300
250
200
Debit (cm3 s-1) 150

Simulasi
Perhitungan

100
50
0

Titik (cm)

Grafik 2. Perbandingan debit air berdasarkan sistem weir dan hasil


perhitungan menggunakan rumus

Selain perhitungan debit sungai, komponen lain yang dilakukan untuk


mengevaluasi kerusakan tanah dan daerah aliran sungai akibat erosi ialah
keterjadian erosi itu sendiri. Menurut USLE terdapat 6 faktor yang berpengaruh
terhadap erosi, yaitu R (erosivitas hujan), L (erodibilitas tanah), L (panjang
lereng), S (kemiringan lereng), C (vegetasi), dan P (tindakan konservasi).
Berdasarkan faktor-faktor tersebut, pada praktikum ini juga dilakukan evaluasi
atau penentuan faktor erosi yang terjadi di wilayah Gunung Betung. Evaluasi
dilakukan di sekitar lahan pertanian warga.
Wilayah Gunung betung tersebut memiliki tanah dengan tekstur debu berliat
dan memiliki drainase cukup baik. Menurut hasil pengamatan, di areal tersebut
terjadi erosi alur. Menurut arsyad (2010), erosi alur adalah pengangkutan tanah
dari alur-alur tertentu pada permukaan tanah, yang merupakan parit-parit kecil
dangkal. Erosi alur terjadi karena air mengalir di permukaan tanah tidak merata,
tetapi konsentrasi pada alur tertentu sehingga pengangkutan tanah terjadi tepat
pada tempat aliran permukaan terkonsentrasi. Kecendrungan terjadinya erosi
alur lebih dipengaruhi oleh cara bertanam dan sifat fisik tanah pada oleh sifat
huan.
Pada areal lain terdapat pertanaman kacang erchis, buncis, cabai, dan ubi kayu.
Adapun sistem tanam yang dilakukan ialah dengan cara mengikuti kontur atau
memotong lereng. Cara tanam tersebut disebut juga contour cultivation. Dengan
penanaman menurut kontur tersebut diharapkan dapat meminimalisir erosi yang
terjadi. Hal tersebut disebabkan pada wilayah Gunung Betung tersebut memiliki
kontur bergelombang dan kemiringan lereng yang bervariasi hingga mencapai
30o. Apabila tidak dilakukan pencegahan, maka dikhawatirkan tanah pada
daerah tersebut akan mudah terbawa oleh energi kinetis butir hujan. Keuntungan
utama dari sistem tanam tersebut ialah menghindari pengangkutan tanah oleh air
hujan.

Faktor vegetasi akan mempengaruhi jumlah tanah yang terangkut oleh erosi.
Dengan adanya vegetasi di atas permukaan tanah maka akan mengurangi
pengaruh hujan dan topografi terhadap erosi. Berdasarkan tabel nilai faktor C
(pengelolaan tanaman) dalam Arsyad (2010), tanaman ubi kayu memiliki nilai
faktor C sebesar 0,8; kacang erchis, buncis, cabai (tegalan tidak dispesifikasi)
sebesar 0,7. Sedangkan tanah terbuka memiliki nilai faktor C sebesar 1,0.
Dengan adanya faktor vegetasi tersebut, maka erosi yang terjadi akan semakin
menurun apabila dibandingkan dengan lahan terbuka tanpa vegetasi.
Tanaman lain yang terdapat di wilayah Gunung Betung ialah pisang dan kakao
yang ditanam dengan sistem wanatani (agroforestry). Penanaman pisang dan
kakao ini, pada sistem agroforestry disebut sebagai talun-kebun. Menurut
Iskandar et al., (1981) dalam Arsyad (2010), talun atau kebun adalah suatu
sistem wanatani tradisional dimana sebidang tanah ditanami dengan berbagai
macam tanaman yang diatur secara spatial dan urutan temporal. Tanaman pisang
yang ditanam bersamaan dengan kakao (kebun campuran dengan kerapatan
sedang) memiliki faktor C sebesar 0,2.
Selain tanaman yang sengaja ditanam oleh warga untuk kegiatan produksi
tersebut. Di wilayah Gunung Betung tersebut juga terdapat wilayah terbuka
yang ditumbuhi dengan alang-alang. Tanaman alang-alang memiliki rumput
menahun yang membentuk rumpun yang besar, padat dengan arah tumbuh tegak
lurus, kompak, beraroma, bercabang-cabang, memiliki rimpang dan sistem akar
serabut yang dalam. Alang-alang merupakan salah satu tanaman yang efektif
digunakan dalam pencegahan erosi. Tanaman alang-alang yang tumbuh subur
tersebut memiliki faktor erosi (C) sebesar 0,001.
Menurut Arsyad (2010), pengaruh vegetasi terhadap aliran permukaan dan erosi
dapat dibagi dalam (1) intersepsi hujan, (2) mengurangi kecepatan aliran
permukaan, (3) pengaruh akar, bahan organik sisa-sisa tumbuhan yang jatuh di
permukaan tanah, dan kegiatan biologi yang berhubungan dengan pertumbuhan
vegetatif dan pengaruhnya terhadap stabilitas struktur porositas tanah, dan (d)
transpirasi yang mengakibatkan berkurangnya kandungan air tanah.

Selain simulasi pengukuran debit dan evaluasi faktor erosi, pada praktikum ini
juga dilakukan pengukuran debit air dan sedimentasi pada sungai di wilayah
Bataranila.
Pengukuran debit dilakukan menggunakan bola pingpong yang dihitung waktu
tempuh yang digunakan pada jarak tertentu. Perhitungan debit dilakukan pada
bagian tengah, sisi kanan, dan sisi kiri sungai. Pada bagian sisi kanan dan
tengah sungai, debit yang dihasilkan tidak terlalu berbeda jauh, yaitu 0,16 dan
0,13 m3 s-1. Sedangkan pada bagian kiri sungai debit yang dihasilkan lebih
rendah, yaitu sekitar 0,08 m3 s-1 (Grafik 2).
0.18
0.16
0.14
0.12
Debit (m3 s-1)

0.1
0.08

Kanan (35 cm)


Tengah (34 cm)
Kiri (36 cm)

0.06
0.04
0.02
0

Grafik 3. Debit air pada kedalaman saluran yang berbeda


Faktor yang berpengaruh terhadap debit pada suatu sungai diantaranya ialah
hujan. Selama hujan terjadi, laju aliran permukaan (debit) berubah terus dengan
cepat. Pada suatu DAS yang kecil, puncak laju aliran permukaan mengikuti
puncak laju hujan dengan selisih bebrapa menit. Akibat laju tertinggi yang
menimbulkan kerusakan, maka penting untuk mengetahui puncak laju aliran
permukaan (Arsyad, 2010).
Selain hujan, faktor lain yang berpengaruh diantaranya ialah luas daerah aliran.
Menurut teori, semakin dalam aliran pada suatu sungai/saluran maka semakin
besar debit aliran yang dihasilkan sepanjang ruas sungai/saluran dan sebaliknya

semakin dangkal aliran pada suatu sungai/saluran maka semakin kecil debit
aliran yang dihasilkan. Kedalaman sungai tersebut mungkin dipengaruhi jumlah
sedimen yang mengendap pada bagian dasar sungai dan jumlah penumpukannya
tidak merata. Hal ini mengakibatkan perhitungan debit tidak akurat dan kurang
sesuai dengan teori tersebut.

IV. KESIMPULAN

Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari praktikum ini adalah:


1. Perhitungan debit menggunakan sistem orifice lebih mudah
digunakan dan debit yang dihasilkan hampir sesuai dengan
perhitungan menggunakan rumus. Sehingga baik digunakan untuk
melakukan prediksi debit pada suatu aliran sungai.
2. Faktor vegetasi memegang peranan penting dalam pencegahan erosi
pada suatu areal. Dengan adanya vegetasi akan meminimalisir
3.

pengaruh butir-butir hujan dan topografi pada keterjadian erosi.


Penanaman menurut kontur atau memotong lereng merupakan
tindakan konservasi yang umum dilakukan petani di wilayah

Gunung Betung.
4. Pada bagian sisi kanan dan tengah sungai, debit yang dihasilkan
tidak terlalu berbeda jauh, yaitu 0,16 dan 0,13 m3 s-1. Sedangkan
pada bagian kiri sungai debit yang dihasilkan lebih rendah, yaitu
sekitar 0,08 m3 s-1. Hal yang mungkin berpengaruh terhadap
perbedaaan debit pada tiga sisi sungai tersebut ialah endapan
(lumpur) di dasar sungai yang dapat memperlambat debit.

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad S. 2010. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor.


Dumairy. 1992. Ekonomika Sumberdaya Air. Penerbit BPFE. Yogyakarta
Sinukaban, N. 1999. Manual Inti tentang Konservasi Tanah dan Air
di Daerah
Transmigrasi, PT. Indeco Duta Utama. Jakarta.

Sugandhy, A. 1999. Penataan Ruang dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup.


Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.
Syafei, E.S. 1990. Pengantar Ekologi Tumbuhan. ITB. Bandung.

Anda mungkin juga menyukai