Anda di halaman 1dari 21

TUGAS EVOLUSI

REKONSTRUKSI PALEODEMOGRAFI
MELALUI ANALISIS GENETIKA
MOLEKULER: Penentuan Ukuran
Populasi Efektif dan Jenis Kelamin
Populasi Purba
Sumarlina (16/401975/PBI/01424)

PROGRAM PASCASARJANA
BIOLOGI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2016
0

DAFTAR ISI

Halaman Judul
Daftar Isi...........................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................1
B. Rumusan Masalah ...........................................................................2
C. Tujuan ..............................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Rekonstruksi Paleodemografi Melalui Analisis Genetika
Molekuler ........................................................................................3
B. Penentuan Ukuran Populasi Efektif Melalui Analisis
Genetika Molekuler..........................................................................5
C. Penentuan Jenis Kelamin Melalui Analisis Genetika Molekuler.....10
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan .....................................................................................16
B. Saran ................................................................................................16
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Rekonstruksi

populasi

merupakan

metode

yang

digunakan

untuk

menentukan sejarah demografi yang meliputi studi kuantitatif populasi manusia


masa lampau didaerah tertentu. Fokus utama sejarah demografi ialah ukuran
populasi dengan tiga komponen dasar perubahan populasi yaitu kelahiran,
kematian, dan migrasi serta karakter-karakter populasi lain yang berkaitan dengan
komponen-komponen tersebut, misalnya perkawinan, status sosial ekonomi, dan
1

susunan keluarga. Rekostruksi paleodemografi umumnya dilakukan dengan dua


pendekatan yaitu dengan analisis skeletal dan analisis genetika molekuler
(Boberova, Drozdova, & Pizova, 2012).
Proses eskavasi di daerah tertentu yang sulit dijangkau seringkali
memerlukan adanya penggunaan alat berat untuk membantu proses penemuan
material rangka (fosil). Namun, penggunaan alat berat tersebut dapat menimbulkan
kerusakan atau pemisahan bagian rangka, sehingga karakterisasi bukti fosil melalu
analisis rangka yang ditemukan menjadi terhambat. Dalam kasus ini, genetika
molekuler menjadi salah satu metode yang dapat digunakan dengan validitas yang
baik, khususnya dalam rekonstruksi paleodemografi. Hal ini juga didukung dengan
teori-teori yang menyatakan bahwa perubahan kecil pada gen yang terakumulasi
dalam jangka waktu panjang akan mengakibatkan evolusi (Julian, 2010). Hal ini
berarti bahwa rekam jejak evolusi dapat dilihat dari rekam jejak materi genetik
yang dibawa oleh setiap makhluk hidup.
Analisis genetika molekuler dilakukan dengan observasi ancient DNA
(aDNA) yang diisolasi dari sampe populasi purba. Sampel aDNA menyimpan
berbagai informasi seperti halnya microfilm (Grass, et al., 2015). Berbagai teknik
analisis

genetika

molekuler

dapat

digunakan

untuk

melengkapi

data

paleodemografi. Beberapa data paleodemografi yang penting adalah data jenis


kelamin (Boberova, Drozdova, & Pizova, 2012) dan ukuran populasi efektif
(Frankham, 1995). Oleh karena itu, diperlukan informasi lebih lanjut mengenai
perkembangan penelitian peran analisis genetika molekuler dalam penelitian
rekonstruksi paleodemografi. Selain itu, diperlukan penjelasan yang lebih rinci
mengenai teknik-teknik yang dapat digunakan dalam rekonstruksi tersebut
khususnya dalam penentuan ukuran populasi efektif dan penentuan jenis kelamin
populasi purba.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, dapat diusulkan beberapa
rumusan masalah antara lain:
1. Bagaimana peran genetika molekuler dalam rekonstruksi paleodemografi?

2. Bagaimana rekonstruksi paleodemografi dalam hal penentuan penentuan


ukuran populasi efektif melalui analisis genetika molekuler?
3. Bagaimana rekonstruksi paleodemografi dalam hal penentuan jenis kelamin
melalui analisis genetika molekuler?
C. Tujuan
Tujuan dari penulisan ini antara lain:
1. Mengetahui peran genetika molekuler dalam rekonstruksi paleodemografi
2. Memahami metode rekonstruksi paleodemografi dalam hal penentuan
penentuan ukuran populasi efektif melalui analisis genetika molekuler
3. Memahami metode rekonstruksi paleodemografi dalam hal penentuan jenis
kelamin melalui analisis genetika molekuler

BAB II
PEMBAHASAN

A. Peran Genetika Molekuler Dalam Rekonstruksi Paleodemografi


Paleodemografi merupakan studi tentang demografi manusia pada masa
lampau dan pada zaman prasejarah. Secara spesifik, paleodemografi merujuk pada
perubahan populasi sebelum modern untuk menentukan pengaruhnya terhadap
masa hidup dan kesehatan manusia modern saat ini. Rekonstruksi populasi
manusia purba dapat dilakukan melalui analisis skeletal dan analisis genetiknya.
Analisis skeletal dapat menghasilkan informasi berupa dugaan panjang usia dan
waktu kematian. Penerapan metode genetika molekuler memberikan solusi untuk
mengatasi keterbatasan sampel populasi purba dan membantu membantu
melengkapi pengetahuan tentang populasi purba (Boberova, Drozdova, & Pizova,
2012).
Gambar 2.1 Grafik perkiraan populasi dunia 10.000 BCE sampai 2000 CE

(Waldir, 2010)

Grafik tersebut menunjukkan perkiraan populasi manusia sejak masa purba


yang diduga mengalami peningkatan hingga saat ini.

Model tersebut hanya

meliputi populasi hasil perkawinan yang menghasilkan keturunan dalam jangka


waktu yang panjang dan populasi sebenarnya mungkin memiliki substansi yang
lebih besar. Kelengkapan dan keefektifan estimasi data tersebut bergantung dari
banyaknya data penelitian yang diperoleh dalam rekonstruksi paleodemografi.
Rekonstruksi paleodemografi seringkali menemui kendala, terutama dalam
identifikasi hasil-hasil ekskavasi. Sampel yang diperoleh seringkali bukan berupa
sampel rangka yang utuh, tetapi hanya fragmen-fragmen tulang atau bagian
tertentu tubuh misalnya gigi. Oleh karena itu, diperlukan metode alternatif dalam
melakukan rekonstruksi paleodemografi untuk meningkatan kelengkapan dan
validitas data hasil ekskavasi populasi purba, salah satunya melalui analisis
genetika molekuler.
Pola perbedaan gen pada manusia dan spesies lainnya diseluruh dunia
menyimpan informasi sejarah demografi yang dapat menjelaskan proses evolusi
(Harpending, et al., 1997). Peningkatan ketersediaan urutan DNA (sequence DNA)
sejak akhir tahun 1990an memungkinkan estimasi ukuran populasi paleolithik
yang efektif (Drummond, Rambaut, & Shapiro, 2005). Hal ini dimulai sejak
munculnya penelitian Mendel tentang pewarisan sifat yang kemudian didukung
dengan prinsip Hardy-Wenbergh yang mengemukaan tentang perbandingan variasi
genetika populasi. Proses seleksi alam yang dikemukaan Darwin hanya dapat
bekerja

apabila

ada

banyak

variasi

dalam

sebuah

populasi,

sehingga

memungkinkan terjadinya evolusi. Berdasarkan hasil penelitian kedua tokoh


tersebut, frekuensi alel yang menyebabkan variasi gen akan tetap konstan apabila
tidak ada seleksi, mutasi, migrafi, dan hanyutan genetik (frekuensi alel yang hilang
secara random karena faktor tertentu) (Ewens, 2004).
Kedua hasil penelitian tersebut (Mendel dan Hardy-Wenbergh) mengarahkan
para ahli genetik, naturalis, dan paleontologis pada pembentukan konsep yang
dikenal dengan istilah sintesis modern (Julian, 2010) (Mayr & Provine, 1998).
Beberapa pertanyaan dalam konsep sintesis modern diantaranya bahwa semua

fenomena evolusi dapat dijelaskan secara konsisten dengan mekanisme genetik


dan bukti-bukti evolusi dari naturalis, evolusi terjadi secara bertingkat dimana
perubahan kecil pada suatu gen yang teregulasi melalui proses seleksi alam akan
terakumulasi dalam waktu yang panjang, keragaman genetik pada populasi alami
merupakan factor kunci dari evolusi. Oleh karena itu, analisis genetika molekuler
dapat menggambarkan setiap perubahan yang mengarah pada proses evolusi,
mulai dari perubahan kecil yang terjadi pada gen. Analisis tersebut dilakukan
dengan observasi ancient DNA (aDNA) yang dapat diisolasi dari sampel fosil
popuasi purba. Perkembangan metode analisis genetika molekuler ini juga telah
didukung dengan perkembangan progresif dari Polymerase Chain Reaction (PCR)
yang menjadi peralatan penting dalam analisa urutan nukleutida DNA (Mullis &
Faloona, 1987).

B. Penentuan Ukuran Populasi Purba Melalui Analisis Genetika Molekuler


Ukuran populasi efektif secara singkat dapat didefinisikan sebagai jumlah
perkawinan dalam suatu populasi yang dideterminasi dari jumlah orang tua
(moyang), rerata jumlah anak per keluarga, dan kemungkinan sejauh mana sebuah
keluarga dapat memiliki ukuran yang berbeda dari rerata tersebut. Ukuran populasi
efektif dilambangkan dengan Ne, sedangkan ukuran populasi hasil sensus
dinyatakan sebagai N. Ukuran populasi efektif ini sangat diperlukan untuk
memprediksi lanju inbreeding dan hilangnya variasi genetic pada suatu populasi,
khususnya populasi wildlife (Frankham, 1995). Konsep ukuran populasi efektif ini
pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli genetika Amerika bernama Sewall
Wright (1931).
Rekonstruksi ukuran dan dinamika populasi manusia purba didasarkan pada
bioarkeologi, DNA purba, dan keterkaitannya dengan genetika populasi modern.
Salah satu cara rekonstruksi paleodemografi dalam penentuan ukuran populasi
efektif adalah dengan memanfaatkan unsur Alu. Unsur Alu merupakan potongan
DNA yang ditandai oleh aktivitas restriksi endonuklease Arthrobacer luteus
(Schmid & Deininger, 1975). Unsur alu merupakan unsur yang dapat ditransfer

dan berjumlah lebih dari satu juta kopi tersebar diseluruh genom manusia
(Szmulewicz, Novick, & Herrera, 1998). Alu banyak ditemukan khususnya pada
genom perimata dan berasal dari genom ancestor supraperimata. Insersi Alu telah
diimplikasikan pada beberapa penyakit menurun pada manusia dan berbagai
bentuk kanker. Studi tentang Alu sangat penting untuk mempelajari genetika
populasi dan evolusi perimata, termasuk evolusi manusia. Alu merupakan unsur
retrosposons (gen yang dapat memperkuat diri dalam genom dan merupakan
komponen yang tersebar pada sebagaian besar organisme eukarotik) dan mirip
seperti salinan DNA yang terbuat dari RNAs yang dikodekan oleh RNA
polymerase III. Alu pada perimata membentuk rekaman fosil yang relatif mudah
untuk diuraiakan melalui insersi Alu memiliki karakteristik yang mudah terbaca
dan terekam dari genom generasi ke generasi. Sebagaian besar insersi

Alu

manusia dapat ditemukan pada posisi tertentu dalam genom perimata-perimata


lainnya, tetapi 7.000 insersi Alu bersifat unik hanya pada manusia.

Gambar 2.2 Bakteri Arthrobacter luteus dengan


perbesaran 12230x (Anonim, 2014)
Sherry et al. (1997) memperkirakan ukuran populasi efektif konstan
berdasarkan Alu sebanyak sekitar 18.000 individu untuk populasi Homo, nenek
moyang dari manusia modern sekitar satu sampai dua juta tahun yang lalu. Selama
masa spesiasi Homo sapiens yang terjadi 130.000 tahun yang lalu, Sjdin et al.

(2012) memperkirakan ukuran populasi efektif

sekitar 10.000 sampai 30.000

individu. Sjdin et al. (2012) juga menyimpulkan bahwa sensus penduduk yang
sebenarnya pada awal Homo sapiens berjumlah sekitar 1000.000 sampai 300.000
individu. Para peneliti juga mencatat bahwa model yang mereka buat tidak
menyetujui asumsi mengenai teori populasi bottleneck awal (Pre-Out-of-Africa)
yang mempengaruhi semua Homo sapiens.
Kelompok Alu (Alu Family) merupakan kelompok gen berulang pada genom
manusia. Alu modern terdiri dari sekitar 300 pasang basa dan diklasifikasikan
sebagai SINEs (short interspersed nuclear elements) diantara kelas (kelompok)
DNA berulang lainnya. Struktur khasnya ialah 5Part A-A5TACA6 Part B
PolyA Tail -3, dimana part A dan part B merupakan urutan nukelutida yang mirip.
Panjang ekor PolyA bervariasi diantara kelompok Alu. Ada lebih dari satu juta
Alu yang tersebar dalam genom manusia dan diperkirakan mencapai sekitar 10,7%
dari keseluruhan genom manusia. Namun, kurang dari 0,5% yang bersifat
polimorfik (AM, et al., 2001).

Gambar 2.3 Kariotipe limfosit wanita (46, XX) dengan Alu sebagai markernya
(hijau) (Bolzer, et al., 2005)
Alu merupakan salah satu penyebab umum terjadinya mutasi pada manusia,
namun mutasi tersebut sering terbatas pada daerah non-coding, sehingga hanya
memberikan dampak kecil terhadap pembawanya. Hal ini menunjukkan bahwa
mutasi yang diberikan mungkin tidak menyebabkan perbedaan apapun (atau hanya
menyebabkan sedikit perbedaan) yang muncul pada fenotip individu yang
DNAnya mengalami mutasi karena Alu. Meskipun demikian, variasi yang
dihasilkan dapat digunakan untuk mempelajari perubahan dan pewarisan sifat pada

populasi manusia (Batzer & Deininger, 2002), serta efek mutagenetik dari Alu
(Shen, et al., 2011). Estimasi ukuran populasi efektif manusia melalui analisis
unsur Alu dilakukan dengan menghitung rasio polimorfisme pada suatu populasi
tanpa perlu mengetahui proses mutasi dan laju insersinya (Sherry, et al., 1997).

Gambar 2.4 Interval kemungkinan adanya akumulasi Alu selama masa


koalesens dan keterkaitannya terhadap ukuran populasi
efektif (Sherry, et al., 1997)

Gambar 2.4 merupakan pohon skematik yang mengambarkan gen nuklir


pada sampel dari manusia. Rincian percabangan pada gambar skematik tersebut
akan menunjukkan lokus-lokus yang lebih bervariasi. Interval a pada Gambar 2.4
menunjukkan estimasi waktu proses koalesens manusia (4N) dengan menekankan
bahwa jumlah total insersi (unsur dimofik yang diamati) adalah 6 N pada
perkiraan silsilah tertentu. Interval b menunjukkan perkiraan waktu dari masa
spesiasi sampai koalesensi manusia melalui jumah unsur monomorfik. Interval c
menunjukkan estimasi waktu dari awal koalesens (root coalescent) sampai masa

spesiasi. Hal ini menunjukkan bahwa ukuran populasi efektif yang dideteksi
melalui unsur Alu memiliki peran yang penting dalam rekostruksi populasi masa
lampau. Penelitian-penelitian dengan menggunakan prinsip unsur Alu ini telah
mengarahkan para peneliti untuk menyimpulkan bahwa ukuran populasi efektif
manusia diduga sekitar ~ 18.000 selama satu sampai dua milyar tahun tearkhir.
Pada beberapa kasus, insersi Alu berkaitan dengan efek spesifik pada
manusia, terutama penyakit. Insersi Alu dapat menyebabkan kelainan menurun
pada manusia. Namun, sebagian besar variasi Alu berperan sebagai marker yang
memisahkan diri dari penyakit sehingga kehadiran alel Alu belum tentu berarti
bahwa pembawanya akan mengidap kelainan tertentu. Publikasi pertama yang
melaporkan adanya rokombinan Alu yang menyebabkan kelainan menurun ialah
pada tahun 1995 tentang kanker kolorektal nonpolyposis menurun (Nystrom-Lahti,
et al., 1995). Beberapa penyakit yang berkaitan dengan insersi Alu diantaranya
kanker payudara, hemophilia, neurofibromatosis, dan diabetes mellitus tipe II.
Selain itu, ada beberapa penyakit yang berkaitan dengan variasi nukleutida DNA
tunggal pada Alu yang mempengaruhi level transkripsinya. Penyakit tersebut
diantaranya Alzheimer, kanker paru-paru, dan kanker gastrik. Hal ini menunjukkan
bahwa Alu bukan hanya dapat digunakan untuk mengestimasi ukuran populasi,
tetapi juga dapat menjadi dasar data pendukung paleodemografi lainnya, salah
satunya penyakit yang menyebabkan kematian populasi purba. Data tersebut
penting dalam penentuan tingkat mortalitas populasi purba.
Selain dengan menggunakan Alu sebagai indicator untuk mengetahui ukuran
populasi efektif, beberapa analisis genetika molekuler lainnya juga dapat
dilakukan. Salah satunya ialah dengan menghitung Linkage Disequilibrium (LD)
suatu populasi yang dihitung dari kromosom-spesifik dengan mekanisme tertentu
(Tenesa, et al., 2007). Pendekatan lain yang dapat digunakan dalam penentuan
ukuran populasi efektif iaah laju mutasi (Harpending, et al., 1997). Metode-metode
tersebut dapat digunakan sebagai alternative-alternatif untuk melengkapi data
rekonstruksi paleodemografi.

10

C. Penentuan Jenis Kelamin Populasi Purba Melalui Analisis Genetika


Molekuler
Penentuan jenis kelamin merupakan salah satu karakter anthropologi dasar
paling penting pada rekonstruksi struktur demografi populasi purba (Boberova,
Drozdova, & Pizova, 2012). Pada beberapa kasus, penentuan jenis kelamin sering
menjadi permasalahan bagi para arkeolog, terutama ketika fosil yang ditemukan
tidak lengkap/ rusak atau ketika fosil tersebut merupakan fosil anak-anak yang
dimorfisme seksualnya belum jelas (belum berkembang sempurna). Pada kasus
ini, metode analisis genetika molekuler dapat menjadi alternatif yang tepat untuk
mendukung kelengkapan data paleodemografi.
Jenis kelamin dapat ditentukan dari sisa-sisa rangka dengan menggunakan
analisis aDNA (ancient DNA = DNA purba) dengan marker jenis kelamin yang
sesuai. Salah satu metode analisis aDNA berbasis PCR yang sering digunakan
ialah amplifikasi gen emelogenin. Gen amelogenin terletak pada kromosom X dan
Y manusia (Yp11,2; Xp22,31-p22,1) dan menghasilkan protein yang penting untuk
perkembangan matriks enamel gigi (Boberova, Drozdova, & Pizova, 2012).
Kromosom X dan Y mengandung urutan homologi yang tinggi pada lokus
amelogeninnya

(Butler,

2005).

Fragmen-fragmen

pasangan

basa

dapat

diamplifikasi dari kromosom X dan Y dengan menggunakan primer PCR


amelogenin. Munculnya pita tunggal (single band)menunjukkan bahwa sampel
yang diamati memiliki jenis kelamin perempuan, sedangkan munculnya pita ganda
menunjukkan jenis kelamin laki-laki.
Pada beberapa kasus, aDNA telah mengalami kerusakan sehingga tidak
dapat merepresentasikan jenis kelamin dari sampel yang digunakan bila
menggunakan penanda molekuler amelogenin. Oleh karena itu, diperlukan
penanda molekuler lain untuk menentukan jenis kelamin yang tepat dari suatu
sampel fosil. Salah satu penanda molekuler lain yang efektif ialah SRY (Santos,
Pandya, & Tyler-Smith, 1998). Kode gen SRY digunakan untuk menentukan jenis
kelamin laki-laki dan terletak di lengan pendek kromosom Y. Terbentuknya
amplicon (hasil amplifikasi) tunggal 92 bp (base pairs = pasangan basa) dari gen
SRY dapat membedakan sampel DNA laki-laki dengan DNA perempuan. Penanda

11

molekuler SRY telah banyak digunakan dalam penentuan jenis kelamin dari
material rangka (Palmirotta., et al, 1997) (Luptakova., et al, 2011) dan sering
dikombinasikan dengan penanda amelogenin (Cunda., et al, 2000).
Gambar 2.5 Contoh tampilan hasil elektropherogram DNA dari salah satu sampel

populasi purba dengan menggunakan kit amplifikasi PowePlex ESX


17 System (Promega) (Boberova, Drozdova, & Pizova, 2012)
Langkah-langkah yang dilakukan dalam penentuan jenis kelamin dengan
metode analisis genetika molekuler ini (Boberova, Drozdova, & Pizova, 2012)
antara lain:
1. Pembersihan potongan rangka yang menjadi sampel penelitian. Pembersihan
dapat dilkukan dengan NaOCl dan ethanol 96%.
2. Pengambilan sampel dari potongan rangka dengan micro tool ((DREMEL
Stylus Lithium-Ion) sedalam 1-2 mm. Hal ini untuk menghindari adanya
kontaminasi pada permukaan sampel.
3. Potongan sampel yang telah diambil kemudian di radiasi UV (254 nm) selama
10 menit untuk membuang kontaminan DNA.
4. Sampel kering tersebut dihaluskan dengan mortar dalam kondisi steril.

12

5. Dekalsifikasi bubuk tulang sampel dengan menggunakan 0,5 M EDTA (pH 8)


pada rotator dengan suhu 4o C selama satu malam. Supernatan yang dihasilkan
kemudian dipisah dan dilakukan dekalsifikasi ulang. Proses dekalsifikasi ini
dilakukan selama satu minggu dengan penambahan porsi 0,5 M EDTA.
Supernatan yang dihasilkan dari proses ini disimpan dalam tabung steril.
6. Ekstraksi DNA dari supernatant dilakukan dengan menggunakan QIAamp
DNA Mini Kit (Qiagen).Ekstraksi DNA dilakukan dalam kotak laminar flow
dengan minimal 3 ekstraksi per sampel.
7. Amplifikasi dengan PCR dengan penanda molekuler berupa amelogenin dan
SRY. Hasil PCR tersebut dideteksi dengan menggunakan elektroforesis.

Gambar 2.6 Gambaran tahapan penelitian sampel DNA dari populasi purba
dengan PCR (Zink, Reischl, Wolf, & Nerlich, 2002)
Salah satu contoh aplikasi analisis genetik dalam penentuan jenis kelamin
populasi purba adalah penelitian yang dilakukan oleh Boberova et al (2012) pada
hasil ekskavasi populasi dari pemakaman di daerah Pohansko, Czech Republic
yang sebagian besar terdiri dari rangka anak-anak dan potongan-potongan rangka
dari individu yang tidak diketahui jenis kelaminnya. Identifikasi molekuler jenis
kelamin pada sampel-sampel tersebut dilakukan dengan menggunakan amplifikasi
PCR dengan penanda molekuler berupa amelogenin dan SRY. Hasil identifikasi

13

tersebut kemudian di verifikasi dengan PowePlex ESX 17 System (Promega).


Sampel yang diamati berupa aDNA sebanyak 74 sampel dari tengkorak, 24 sampel
dari tulang pipa, dan 10 sampel dari gigi. Tengkorak, tulang pipa, dan gigi
merupakan sumber analisis aDNA yang paling sesuai (Gilbert, et al., 2005). Selain
itu, sampel lainnya juga diambil dari daerah vertebrae sebanyak 7 sampel, 3
sampel dari mandibula, dan 2 sampel tulang rusuk. Hasil penelitian tersebut
berhasil memlengkapi data paleodemografi terkait jenis kelamin populasi purba di
daerah Pohansko (Gambar 2.7 dan 2.8) yang sebelumnya telah dilakukan dengan
metode analisis antropologi saja (khususnya analisis rangka).

Laki-laki; 27
Individu dewasa tak teridentifikasi; 36

Perempuan ; 40

Anak-anak tak teridentifikasi; 87

Gambar
2.7
Diagram hasil penentuan jenis kelamin populasi purba di daerah
Pohansko dengan analisis antropologi (khususnya analisis skeleton)

14

Anak-anak tak teridentifikasi; 39 Laki-laki; 30


Anak perempuan; 20

Perempuan; 55

Anak laki-laki; 28
Individu dewasa tak teridentifikasi; 18

Gambar
2.8
Diagram hasil penentuan jenis kelamin populasi purba di daerah
Pohansko dengan analisis genetika molekuler (Penanda molekuler
SRY dan amelogenin)
Data pada kedua diagram diatas menunjukkan bahwa analisis genetika
molekuler dapat menjadi solusi untuk melengkapi data paleodemografi dalam hal
penentuan jenis kelamin. Data individu dan anak-anak yang sebelumnya tidak
dapat diidentifikasi melalui analisis antropologi (skeletal) dapat diidentifikasi
dengan analisis genetika molekuler yang telah dilakukan. Jumlah individu yang
tidak teridentifikasi lebih dapat diminimalisir. Jumah anak yang tak teridentifikasi
hanya 39 anak. Hal tersebut terjadi karena beberapa faktor seperti kontaminasi,
minimnya bahan sampel DNA, dan sebagainya.
Salah satu tantangan dalam melakukan rekonstruksi paleodemografi dengan
analisis genetika molekuler adalah adanya pengaruh kontaminasi. Oleh karena itu,
sterilisasi pada proses pengamatan sampel dengan analisis genetika molekuler
harus maksimal. Sterilisasi peralatan yang digunakan dapat dilakukan dengan
pemberian ethanol, larutan bleaching, dan radias UV (Boberova, Drozdova, &
Pizova, 2012). Penggunaan pipet sekali pakai juga dapat meningkatkan sterilitas
sampel. Selain itu, harus dipastikan bahwa jumlah sampel DNA yang diisolasi

15

cukup untuk merepresentasikan hasil yang diinginkan karena adanya proses


berulang pada tahapan penelitian yang dilakukan.
Berdasarkan uruaian yang telah diberikan, dapat diketahui bahwa analisis
genetika molekuler dapat mendukung rekonstruksi paleodemografi dengan sanga
efektif meskipun dengan tingkat kesulitan dan tingkat ketelitian yang lebih tinggi.
Namun, tidak berarti bahwa rekonstraksi paleodemografi dengan analisis skeletal
tidak lagi efektif untuk digunakan. Kedua analisis tersebut (skeletal dan genetika
molekuler) dapat menjadi bahan perbandingan data untuk memverifikasi validitas
data yang dihasilkan dalam penelitian. Selain itu, analisis skeletal dapat dilakukan
dengan penginderaan secara langsung, sehingga kemampuan analisis skeletal tetap
dibutuhkan untuk mengestimasi data di tempat ekskavasi dengan cepat tanpa harus
melalui proses laboratorium. Oleh karena itu, penggunaan kedua metode analisis
ini sebaiknya digunakan dengan efektif untuk melengkapi data paleodemografi.

16

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil studi literature dan analisis yang telah dilakukan, dapat
diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Analisis genetika molekuler memiliki peran yang penting dalam rekonstruksi
paleodemografi sebagai salah satu metode yang dapat digunakan untuk
melengkapi data paleodemografi yang didasarkan pada karakter-karakter
genetik dan variasi genetik yang mempengaruhi proses terjadinya evolusi.
2. Penentuan ukuran populasi efektif melalui analisis genetika molekuler dapat
dilakukan dengan pengamatan unsur Alu (Arthrobacter luteus) pada genom
manusia.
3. Penentuan jenis kelamin populasi purba dengan analisis genetika molekuler
dapat dilakukan dengan menggunakan pangamatan aDNA dengan penanda
molekuler amelogenin dan SRY.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan tersebut, dapat diusulkan beberapa saran antara lain:
1. Hendaknya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai penggunaan analisis
genetika molekuler dalam mendukung proses rekonstruksi paleodemografi.
2. Penerapan rekonstruksi paleodemografi dengan analisis genetika molekuler
harus dilakukan dengan metode yang tepat dan teliti, sehingga menghasilkan
data yang valid.
3. Penerapan rekonstruksi paleodemografi seharusnya dikembangkan di Indonesia
dengan lebih cepat dan tepat karena Indonesia mmeiliki banyak tempat-tempat
yang kaya akan fosil-fosil populasi purba. Dengan demikian rekonstruksi
paleodemografi di Indonesia dapat berkembang secara mandiri.

17

Daftar Pustaka

AM, R. -E., ML, C., E., V., RK, G., SV, N., AH, S., et al. (2001). Alu Insertion
Polymorphism for The Study of Human Genomic Diversity. Genetics, 279290.
Anonim. (2014, August 10). PIXNIO: Science. Dipetik October 29, 2016, dari
PIXNIO: http://www.pixnio.com/science
Batzer, M. A., & Deininger, P. L. (2002). Alu Repeats and Human Genomic Diversity.
Nature, 370-379.
Boberova, K., Drozdova, E., & Pizova, K. (2012). pplication of Molecular Genetic
Methods in Antropological and Paleodemographic Studies of Fragmentary
and Damaged Skeletal Material from Rescue Excavations. Journal of Life
Sciences, 961-969.
Bolzer, A., Kreth, G., Solovei, I., Koehler, D., Saracoglu, K. F., Muller, S., et al.
(2005, April 26). Public Library of Science. Dipetik October 23, 2016, dari
www.plos.org
Butler, J. (2005). Forensic DNA Typing, Biology, Technology, and Genetics of STR
Markers. Amsterdam, Boston, Heidelberg, London, New York, Oxford,
Paris, San Diego, San Fransisco, Singapore, Sydney, Tokyo: Elsevier
Academic Press.
Cunda, E., Clisson, I., Fily, M., Santos, A. L., Silva, A. M., & Umbelino, C. (2000).
Children at the Convent: Comparing Historical Data, Morphology and DNA
Extracted from Ancient Tissues for Sex Diagnosis at Santa Clara-a-Velha
(Coimbra, Portugal). Journal of Archaeological Science, 949-952.
Drummond, A., Rambaut, A., & Shapiro, B. P. (2005). Bayesian Coalescent Inference
of Past Population Dynamics from Molecular Sequences. Oxford Journals,
1185-1192.
Ewens, W. J. (2004). Mathematical Population Genetics (2nd Edition). New York:
Springer-Verlag.
Frankham. (1995). Effective Population Size/Adult Population Size Ratios in
Wildlife: A Review. Genetics Research, 95-107.

18

Gilbert, M., Bandelt, H., Hofreiter, M., & Barnes, I. (2005). Assesing Ancient DNA
Studies. Trends in Ecoogy and Evolution, 541-544.
Harpending, H. C., Batzer, M. A., Gurvens, M., Jorde, L. B., Rogers, A. R., & Sherry,
S. T. (1997). Genetic Traces of Ancient Demography. Proceedings of the
National Academy of Sciences of the United States of America, 1961-1967.
Julian, H. (2010). Evolution: The Modern Synthesis. Cambridge: MIT Press.
Luptakova, L., Babelova, A., Omelka, R., Vondrakova, M., & Bauerova, M. (2011).
Sex Determinaton of Early Medieval Individuals Through Nested PCR
Using A New Primet Set in the SRY Gene. Forensic Science International,
1-5.
Mayr, E., & Provine, W. B. (1998). The Evolutionary Synthesis: Perspectives on the
Unification of Biology. Cambridge: Harvard University Press.
Mullis, K. B., & Faloona, F. A. (1987). Specific Synthesis of DNA in vitro via a
Polymerase-catalyzed Chain Reaction. Elsevier, 335-350.
Nystrom-Lahti, M., Kristo, P., Nicolaides, N. C., Chang, S.-Y., Aaltonen, L. A.,
Moisio, A.-L., et al. (1995). Founding Mutations and Alu Mediated
Recombination in Hereditary Colon Cancer. Nature, 1203-1206.
Palmirotta, R., & et-al. (1997). Use of a Multiplex Polymerase Chain Reaction Assay
in the Sex Typing of DNA Extracted from Archeological Bone. International
Journal of Osteoarchaeology, 605-609.
Santos, F., Pandya, A., & Tyler-Smith. (1998). Reliability of DNA-based Sex Tests.
Nature Genetics, 103.
Schmid, C. W., & Deininger, P. L. (1975). Sequence Organization of The Human
Genome. Cell, 345-358.
Shen, S., Lin, L., Cai, J. J., Jiang, P., Kenkei, E. J., Stroik, M. R., et al. (2011).
Widespread Establishment and Regulatory Impact of Alu Exons in Human
Genes. PNAS, 2837-2842.
Sherry, S., Harpending, H., Batzer, M., & Stoneking, M. (1997). Alu Evolution in
Human Population: Using the Coalescent to Estimate Effective Population
Size. Genetics, 1977-1982.

19

Szmulewicz, M. N., Novick, G. E., & Herrera, R. J. (1998). Effects of Alu Insertion
on Gene Function. Electrophoresis, 1260-1264.
Tenesa, A., Navarro, P., Hayes, B. J., Duffy, D. L., Clarke, G. M., Goddard, M. E., et
al. (2007). Recent Human Effective Population Size Estimated From
Linkage Disequilibrium. Genome Research.
Waldir. (2010, March 6). Population Curve. Dipetik October 21, 2016
Zink, A. R., Reischl, U., Wolf, H., & Nerlich, A. G. (2002). Molecular Analysis of
Ancient Microbial Infection. Oxford Journal, 141-147.

20

Anda mungkin juga menyukai