Sub Bab 3.2.4 Buku Bendungan Tipe Urugan, Suyono Sosrodarsono
Sub Bab 3.2.4 Buku Bendungan Tipe Urugan, Suyono Sosrodarsono
air penuh normal atau elevasi permukaan banjir lebih tinggi dari elevasi banjir rencana
dan dalam keadaan yang demikian yang disebut elevasi permukaan air maksimum
rencana adalah elevasi yang paling tinggu yang diperkirakan akan dicapai oleh
permukaan air waduk tersebut. Selain itu dalam hal-hal tertentu tambahan tinggi
penahan ombak di atas mercu bendungan kadang-kadang diperhitungkan pula pada
penentuan tinggi jagaan.
1.1.3.Panjang bendungan
Yang dimaksud dengan panjang bendungan adalah seluruh panjang mercu bendungan
yang bersangkutan, termasuk bagian yang dgali pada tebing-tebing sungai di kedua
ujung mercu tersebut. Apabila bangunan pelmpah atau bangunan penyadap terdapat
pada ujung-ujung mercu, maka lebar bangunan-bangunan pelimpah tersebut
diperhitungkan pula dalam menenukan panjang bendungan.
1.1.4.Volume bendungan
Seluruh jumlah volume konstruksi yang dibuat dalam rangka pembangunan tubuh
bendungan termasuk semua bangunan pelengkapnya dianggap sebagai volume
bendungan.
1.1.5.Kemiringan lereng (slope gradient)
Kemiringan rata-rata lereng-lereng bendungan (lereng udik dan lereng hilir) adalah
perbandingan antara panjang garis vertikal yang melalui puncak dan panjang garis
horizontal yang melalui tumit masing-masing lereng tersebut. Berm-lawan dan drainage
prisma biasanya dimasukkan dalam perhitungan penentuan kemiringan lereng, akan
tetapi alas kedap air biasanya diabaikan.
1.1.6.Penimbunan extra (extra-banking)
Sehubungan dengan terjadinya gejala konsotidasi tubuh bendungan, yang prosesnya
berjalan lama sesudah pembangunan bendungan tersebut diadakan penimbunan extra
melebihi tinggi dan volume-rencana dengan perhitungan agar sesudah proses
konsolidasinya berakhir, maka penurunan tinggi dan penyusutan volume akan
mendekati tinggi dan volume-rencana bendungan.
1.2. Tinggi Jagaan
Sebagai mana telah diuraikan terdahulu, bahwa bendungan urugan sangat peka terhadap
limpasan. Dan limpasan yang terjadi di atas mercu bendungan akan dapat menyebabkan
jebolnya suatu bendungan urugan. Karenanya tinggi bebas bendungan urugan perlu
direncanakan dengan sangat hati-hati sehingga akan diperoleh tinggi jagaan yang memadai.
Dalam menentukan tinggi jagaan perlu diperhatikan berbagai faktor yang mungkin akan
mempengaruhi existensi dari calon bendungan, antara lain:
kondisi dan situasi tempat kedudukan calon bendungan,
pertimbangan-pertimbangan tentang karakteristika dari banjir abnormal.
kemungkinan timbulnya ombak-ombak besar dalam waduk yang disebabkan oleh
angin dengan kecepatan tinggi ataupun gempa bumi.
pelimpah.
tingkat kerugian yang mungkin dapat ditimbulkan dengan jebolnya bendungan yang
bersangkutan.
Tinggi jagaan (Hf) dapat dihitung dengan rumus sbb.:
H f h+ h w atau
H f hw +
he
+h a+ hi
2
he
+h +h
2 a i
Dimana :
ha
hi
1.2.1.Tinggi kenaikan permukaan air yang disebabkan oleh banjir abnormal (h)
Biasanya debit banjir abnormal yang kadang-kadang melebihi debit banjir
rencana dialirkan ke luar melalui bangunan pelimpah, akan tetapi elevasi permukaan air
waduk akan naik melebihi elevasi maximum-rencana, setinggi h yang telah
diperkirakan sebelumnya dan dapat dihitung dengan rumus sbb.:
2 Q0
h=
3 Q
h
Ah
1+
QT
Dimana:
Q0
: debit banjir-rencana
Q
: kapasitas rencana bangunan pelimpah untuk banjir abnormal.
: 0,2 untuk bangunan pelimpah terbuka.
: 1,0 untuk bangunan pelimpah tertutup.
h
: kedalaman pelimpahan-rencana
A
: luas permukaan air waduk pada elevasi banjir-rencana.
T
: durasi terjadinya banjir abnormal (biasanya antara 1 s/d 3 jam)
1.2.2.Tinggi jangkauan ombak yang disebabkan oleh angin
Tinggi jangkauan hempasan ombak yang naik ke atas permukaan lereng udik
bendungan (hw) dapat diperoleh dengan metode S.M.B. yang didasarkan pada
panjangnya lintasan ombak (F) dan kecepatan angin di atas permukaan air waduk. Akan
tetapi disamping tinggi ombak (R), jangkauan hempasan ombak yang naik di atas
permukaan lereng udik bendungan tersebut masih tergantung dari beberapa faktor
lainnya, yang di antaranya adalah kemiringan serta kekasaran permukaan Iereng udik
tersebut. Faktor kemiringan dan kekasaran permukaan lereng ini diselidiki oleh Saville
yang diadoptasikan pada metode S.M.B dan dapat dipergunakan untuk menghitung
tinggi jangkauan hempasan ombak yang naik di atas permukaan lereng bendungan.
Agar harga hw dapat diperoleh dengan mudah, maka oleh Saville telah dibuatkan suatu
diagram (periksa Gbr. 3-52), yang didasarkan pada tinggi ombak (R), panjang lintasan
ombak (F) dan kekasaran permukaan lereng udik bendungan.
Pada penggunaan diagram tersebut di atas, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
o biasanya panjang lintasan ombak diukur pada lintasan yang lurus, sedangkan
kenyataannya lintasan ombak yang bergerak di atas permukaan air yang luas
o
he =
e.
g . H0
dimana:
e
: intensitas seismis horizontal
Sesudah tubuh bendungan selesai dibangun, proses konsolidasi ini masih terus berlangsung
untuk beberapa waktu Iamanya dan penimbunan extra diperlukan agar sesudah proses
konsolidasi tersebut selesai, supaya mercu bendungan dapat mencapai elevasi yang telah
direncanakan. (elevasi-rencana).
Selain itu penimbunan extra dilakukan pula untuk jalan-jalan exploitasi & pemeliharaan dan
kadang-kadang untuk memperindah tubuh bendungan yang bersangkutan.
Sebagaimana yang telah disinggung terdahulu, bahwa penurunan mercu bendungan yang
disebabkan proses konsolidasi pondasi dari tubuh bendungan yang secara singkat dapat
diuraikan sebagai berikut:
1.4.1.Proses konsolidasi pondasi
Penurunan terbesar permukaan pondasi bendungan terjadi pada tempat dengan beban
yang terbesar. Dan beban yang terbesar terdapat pada bagian bendungan yang tertinggi,
yang biasanya terletak di bagian tengah bendungan yang bersangkutan.
Kadang-kadang penurunan terbesar permukaan pondasi terjadi di sekitar daerah tumit
hilir (toe) dari bendungan, dimana terjadinya konsentrasi-konsentrasi beban pada
permukaan pondasi tsb. Agar besarnya penurunan yang terjadi pada permukaan pondasi
bendungan dapat diketahui sebelumnya, biasanya dilakukan pengujian-pengujian
pembebanan atau pengujian-pengujian konsolidasi pada permukaan pondasi calon
bendungan yang bersangkutan. Apabila lapisan pondasi terdiri dari batuan yang keras,
maka terhadap suatu pembebanan, intensitas penurunannya akan sangat kecil. Akan
tetapi semakin lemah lapisan pondasi, maka intensitas penurunannya semakin besar.
Selanjutnya apabila pembebanan pada pondasi sedemikian besarnya, sehingga terjadi
proses konsolidasi yang melampaui batas (over-consolidation), maka proses penurunan
permukaan pondasi akan berakhir segera sesudah penyelesaian pembangunan
bendungannya, karena di dalam struktur lapisan pondasi tersebut terjadi deformasi
elastis.
1.4.2.Proses konsolidasi tubuh bendungan
Biasanya pada bendungan urugan dengan pemadatan yang baik dan dengan pondasi
yang terdiri dari lapisan batuan yang kompak dan keras, maka penurunan mercu
bendungan tidak akan berarti.
Penurunan tubuh bendungan yang disebabkan oleh proses konsolidasi di dalam tubuh
bendungan tersebut, biasanya berkisar antara 0,2 s/d 0,4 % dari tingginya dan angka
terbesar yang pernah terjadi adalah sekitar, 1,0% saja.
Pada bendungan urugan yang tubuhnya terdiri dari beberapa zone dengan karakteristika
bahan yang berbeda-beda dan cara penimbunan yang berbeda-beda pula, serta tekanan
yang berbeda-beda pada setiap titik dalam tubuh bendungan tersebut maka intensitas
penurunan pada setiap titik tsb akan berbeda-beda pula.
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas, maka dapatlah ditarik kesimpulan;
bahwa besarnya penurunan tubuh bendungan sangat dipengaruhi oleh karakteristika
bahan yang membentuk tubuh bendungan.
Dengan demikian besarnya volume penimbunan extra hanya dapat ditentukan dengan
angka perkiraan yang sangat kasar, didasarkan pada rumus-rumus empiris atau pada
hasil-hasil pengamatan bendungan-bendungan yang sudah dibangun.
1.4.2.1.
Penggunaan rumus empiris
Besarnya penurunan tubuh bendungan (H) segera sesudah bendungan selesai dibangun
dapat diperoleh dengan rumus sebagai berikut:
H=
E=
1
2
H T
2E
p0 p x
1
=
e0e x mv
1+e 0
Dimana:
H
: tinggi bendungan
T
: koeffisien penurunan (antara 0,3 s/d 0,5), yang didasarkan pada type
bendungan dan kecepatan pelaksanaan penimbunannya).
P0
: tegangan efektif permulaan (beban pendahuluan)
Px
: tegangan efektif setelah mencapai ketebalan x meter
e0
: angka pori pada keadaan tegangan P0
ex
: angka pori pada keadaan tegangan Px
mv
: koeffisien kompresi volume
Contoh:
Apabila karakteristika bahan tubuh bendungan diketahui sebagai berikut:
E : 9,843 ton/m2 (diperoleh dari pengujian konsolidasi)
y : 2,1 1 ton/m3
H : 46 m
T : 0,3 (bahan berbutir kasar)
Dengan rumus di atas, maka akan diperoleh:
H=
H/H = 0,15%
1.4.2.2.
Penggunaan hasil-hasil pengamatan pada bendungan yang sudah dibangun
Sebagai mana diketahui, bahwa faktor-faktor utama yang mempengaruhi intensitas
kompresi suatu bahan adalah type bahan tersebut serta tingkat kadar air yang terdapat di
dalamnya.
Umumnya apabila tegangan efektifyang bekerja pada bahan lebih rendah dari 7 kg/cm 2,
maka intensitas kompresinya akan sangat dipengaruhi oleh tingkat kadar air yang
terdapat pada bahan tersebut. Akan tetapi apabila tegangan efektif yang bekerja pada
bahan yang bersangkutan lebih besar dari 7 kg/cm, maka intensitas kompresinya akan
sangat dipengaruhi oleh jenis bahan.
Contoh angka kompresi perkiraan yang didasarkan pada jenis bahan-bahan timbunan,
dapat diperiksa pada Tabel 3-11 (diterbitkan oleh U.S.B.R.).
Berdasarkan Tabel 3-11, maka angka kompresi suatu bahan dapat diketahui secara kasar
dan dari tabel tersebut dapat diambil kesimpulan, bahwa semakin kasar butiran bahan,
angka kompresinya semakin rendah. Bahan dengan kandungan lebih dari 50% kerikil
mempunyai angka kompresi yang sangat rendah dan hampir tidak terjadi gejala
konsolidasi.
Suatu bahan dalam keadaan dengan kelembaban yang lebih rendah dari angka kadar air
optimumnya, ditimbun pada sebuah bendungan dan apabila waduknya kemudian diisi,
maka pori-pori bahan timbunan akan jenuh terisi air dan angka kompresi bahan tersebut
akan meningkat.
3-14).
ditinjau dari bentuk butiran batu, maka bentuk yang bersegi-segi lebih baik dari
2. Tinggi Jagaan
Tinggi jagaan pada bangunan pelimpah direncanakan untuk dapat menghindarkan terjadinya
limpasan, pada kemungkinan elevasi permukaan aliran air yang paling tinggi, ditambah tinggi
ombak serta kemungkinan adanya benda-benda terapung yang terdapat pada aliran tersebut.
Dengan demikian di samping untuk menghindarkan limpasan-limpasan pada elevasi permukaan
air di saat mengalirkan debit banjir rencana, maka tinggi jagaan tersebut supaya diuji pula pada
pengaliran debit banjir abnormal.
Apabila pada saluran banjir atau bangunan pelimpah terdapat bangunan-bangunan (seperti
jembatan, pintu-pintu, dan lain-lain), maka batas terbawah bangunan-bangunan tersebut terhadap
permukaan air tertinggi yang mungkin terjadi, supaya diperhitungkan dengan tinggi jagaan, tidak
kurang dari 1,5 meter.
Untuk elevasi puncak dinding bangunan pelimpah, supaya sekurang-kurangnya diambilkan
sebesar tinggi tekanan kecepatan aliran (velocity head) sub-kritis di atas permukaan aliran
tertinggi yang melintasi bangunan pelimpah tersebut atau sekurangkurangnya sebesar 0,5-0,6
meter di atas permukaan aliran super kritis.
Perhitungan untuk memperoleh tinggi jagaan pada bangunan pelimpah berlereng curam, dapat
digunakan rumus empiris sebagai berikut:
Fb =CV d 1 /2
atau
Fb =0,6+0,037 V d 1 /3
dimana:
Fb : tinggi jagaan (m)
C : koeffisien 0,10 untuk penampang saluran berbentuk persegi panjang dan 0,13 untuk
penampang saluran berbentuk trapesium.
V : kecepatan aliran (m/dt)
d : kedalaman air di dalam saluran (m)
Q=CA 2 gH
dimana:
Q
: debit penyadapan sebuah lubang (m3 /dt)
C
: koeffisien debit 0,62
A
: luas penampang lubang (m2)
g
: gravitasi (9,8 m/dt)
H
: tinggi air dari titik tengah lubang ke permukaan (m).
3.2.2.Untuk lubang penyadap yang besar (Gbr. 3-87b)
2
Q= BC 2 g {( H 2+ ha )3 /2( H 1+ ha )2 /3 }
3
dimana:
B
: lebar lubang penyadap (m)
H1
: kedalaman air pada tepi atas lubang (m)
H2
: kedalaman air pada tepi bawah lubang (m)
ha
: Tinggi tekanan kecepatan di depan lubang penyadap (m)
V a2
ha =
2g
Va
: kecepatan aliran air sebelum masuk ke dalam lubang penyadap (m/dt)
Biasanya dianggap harga Va = 0, sehingga rumus di atas berubah menjadi:
2
Q= CB 2 g ( H 23 /2H 13 /2 )
3
Apa bila lubang penyadap yang miring membentuk sudut dengan bidang horizontal, maka:
Qi=Q sec
Q=C r 2 2 gH
Dimana :
r
: radius lubang penyadap (m)
Rumus berlaku untuk
H
>3
r