Anda di halaman 1dari 26

KONSEP DASAR PERILAKU ORGANISASI

Manusia adalah makhluk sosial, maka manusia tidak akan lepas dari organisasi, oleh karena itu
dalam kehidupannya manusia selalu tergabung dalam suatu organisasi. Organisasi merupakan
sekelompok orang yang saling berinteraksi dan bekerja sama untuk mencapai tujuan yang telah
ditentukan. Manusia merupakan pendukung utama sebagai penggerak berjalannya organisasi.
Organisasi sangat dipengaruhi oleh setiap perilaku individu yang ada didalamnya. Individuindividu tersebut mempunyai perilaku dan karakteristik yang berbeda-beda. Oleh karena itu perlu
dipahami dengan adanya ilmu perilaku organisasi.
a.

Dimensi-dimensi pokok pembahasan teori organisasi

Organisasi dapat diartikan sebagai sekumpulan orang yang saling berinteraksi dan bekerja sama
untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditentukan. Menurut Warren Bennis dalam buku Perilaku
Organisasi Konsep Dasar dan Aplikasinya, Miftah Thoha (1983:3) menyatakan bahwa terdapat
tiga dimensi pokok dalam setiap mendiskusikan teori organisasi yang tidak bisa diabaikan.
Ketiga dimensi pokok itu adalah dimensi teknis, dimensi konsep dan dimensi manusia.
Adapun penjelasan mengenai ketiga dimensi tersebut yaitu :

Dimensi teknis

yaitu dimensi yang menekankan pada kecakapan atau kemampuan seseorang yang dibutuhkan
untuk menggerakkan organisasi, otomatis yang diperlukan disini adalah sumber daya yang
memiliki keterampilan-kepterampilan dalam mengelola sebuah organisasi. Dimensi ini berisi
keahlian-keahlian birokrat atau manajer dibidang teknis atau orang yang ahli dan mempunyai
kemampuan yang diperlukan untuk menggerakkan organisasi, misalnya keahlian dalam
mengoperasikan komputer, memahami konsep pemasaran serta mampu dalam penyalurannya,
dan lain-lain.

Dimensi konsep

yaitu sebuah rancangan khusus yang dijadikan sebagai acuan dalam menjalankan sebuah
oragnisasi, artinya setiap gerak atau kegiatan yang akan dilaksanakan tetap mengacu pada
pedoman yang telah dibuat oleh seluruh atau sebagian anggota organisasi yang mempunyai
wewenang. Selain itu juga, dimensi konsep ini merupakan motor penggerak dari dimensi
pertama dan amat erat hubungannya dengan dimensi ketiga yakni dimensi manusia. Karena
adanya rencana dan rencangan pekerjaan, sehingga membuat tujuan organisasi menjadi terarah
dan anggota organisasi pun akan lebih mudah dalam menjalankan tugas-tugasnya.

Dimensi manusia

adalah dimensi yang paling utama dalam sebuah organisasi karena tanpa adanya dimensi
manusia otomatis suatu organisasi tidak akan pernah ada karena tidak ada yang membuat
organisasi dalam arti membentuk sebuah organisasi dan tidak ada penggerak yang melakukan

suatu kegiatan oragnisasi tersebut. Sehingga dapat dikatakan kalau dimensi manusia merupakan
dimensi yang komplek dalam sebuah organisasi. Namun, tetap saja dimensi manusia tidak akan
berpungsi secara utuh jika dimensi teknis dan konsep tidak ada.
b. Kerangka dasar konsep perilaku organisasi
Pada hakekatnya perilaku organisasi mendasarkan pada ilmu perilaku itu sendiri yang
dikembangkan dengan pusat perhatiannya pada tingkah laku manusia dalam suatu organisasi.
Kerangka dasar dalam perilaku organisasi didukung oleh dua komponen, yaitu individu-individu
yang berperilaku dan organisasi sebagai wadah dari perilaku itu.
Perilaku adalah suatu fungsi dan interaksi antara seorang individu dengan lingkungannya.
Sementara organisasi itu sendiri adalah sekelompok orang yang beraktivitas dan bekerja sama
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Seperti yang telah diketahui, bahwa individu atau
anggota organisasi adalah manusia. Oleh karena itu manusia merupakan makhluk sosial, dirinya
selalu ingin berpartisipasi dengan manusia lain untuk melakukan kegiatan organisasi sesuai
dengan tujuannya. Dalam individu terdapat sifat-sifat yang melekat pada dirinya. Dimana antara
individu yang satu dengan yang lainnya mempunyai perbedaan. Sehingga perlu adanya
penyesuaian terhadap sifat-sfat individu tersebut dalam satu organisasi. Adapun sifat-sifat
individu akan terlihat melalui perilakunya yang ditunjukan dalam organisasi. Oleh karena itu,
ilmu yang memperlajari individu dan organisasi disebut dengan perilaku organisasi. Dalam ilmu
tersebut diterangkan mengenai pola tingkah laku manusia sebagai individu yang tergabung dalam
organisasi.
Stephen P. Robbins menyatakan bahwa : Perilaku Organisasi adalah suatu bidang studi yang
mempelajari dampak perorangan, kelompok, dan struktur pada perilaku dalam organisasi dengan
maksud menerapkan pengetahuan tentang hal-hal tersebut demi perbaikan efektivitas
organisasi. Sementara Miftah Thoha (1983:5) menyatakan bahwa Perilaku Organisasi adalah
suatu studi yang menyangkut aspek-aspek tingkah laku manusia dalam suatu organisasi atau
suatu kelompok tertentu.
Dari pengertian diatas, dapat dirumuskan bahwa perilaku organisasi itu ialah ilmu tingkah laku
yang berusaha menjelaskan tindakan-tindakan manusia di dalam organisasi yaitu bagaimana
perilaku manusia itu mempengaruhi usaha pencapaian tujuan-tujuan organisasi.
c.

Perbedaan ilmu perilaku organisasi dengan ilmu perilaku lainnya

Perilaku organisasi (PO) adalah ilmu terapan, sehingga ilmu perilaku organisasi tidak terlepas
dari pengaruh ilmu perilaku sehingga berkontribusi dengan beberapa ilmu perilaku lain,
diantaranya:

Perbedaan antara PO dengan Psikologi Industri atau organisasi

yaitu PO mempelajari perilaku manusia dengan tidak diawali pada psikologi manusia yaitu
dengan menggunakan multidisiplin, sedangkan psikologi industri mempelajari perilaku manusia

dengan diawali dari psikologi manusia itu sendiri. Namun, keduanya sama-sama mempelajari
perilaku manusia.

Perbedaan antara perilaku organisasi dengan teori organisasi

didasarkan pada dua perbedaan antaranya unit analisisnya dan pusat variabel tak bebas. Perilaku
organisasi dirumuskan sebagai suatu studi dari tingkah laku individu dan kelompok di dalam
suatu organisasi dan penerapan dari ilmu pengetahuan tertentu. Teori organisasi adalah studi
tentang susunan, proses, dan hasil organisasi itu sendiri.

Perbedaan antara perilaku organisasi dengan personnel dan human resources

adalah bahwa perilaku organisasi lebih menekankan pada orientasi konsep, berdasarkan
teori, sedangkan personnel dan human resources menekankan pada teknik dan teknologi.
Variabel-variabel tak bebas, seperti misalnya tingkah laku dan reaksi-reaksi yang efektif dalam
organisasi, yaitu pada pengelolaan sumber daya manusia itu sendiri agar berkualitas. Keduanya
tetap mengacu pada pengembangan dan kemajuan motivasi serta kualitas dari, individu,
kelompok dan organisasi agar terjadi perubahan yang signifikan.
d.

Ruang lingkup kajian perilaku organisasi

Perilaku Organisasi, sesungguhnya terbentuk dari perilaku-perilaku individu yang terdapat dalam
organisasi tersebut. Oleh karena itu, sebagaimana telah disinggung pengkajian masalah perilaku
organisasi jelas akan meliputi atau menyangkut pembahasan mengenai perilaku individu. Dengan
demikian dapat dilihat bahwa ruang lingkup kajian ilmu perilaku organisasi hanya terbatas pada
dimensi internal dari suatu organisasi. Dalam kaitan ini, aspek-aspek yang menjadi unsur-unsur,
komponen atau sub sistem dari ilmu perilaku organisasi antara lain adalah: motivasi,
kepemimpinan, stres dan atau konflik, pembinaan karir, masalah sistem imbalan, hubungan
komunikasi, pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, produktivitas dan atau kinerja
(performance), kepuasan, pembinaan dan pengembangan organisasi (organizational
development), dan sebagainya.
Sementara itu aspek-aspek yang merupakan dimensi eksternal organisasi seperti faktor ekonomi,
politik, sosial, perkembangan teknologi, kependudukan dan sebagainya, menjadi kajian dari ilmu
manajemen strategik (strategic management). Jadi, meskipun faktor eksternal ini juga memiliki
pengaruh yang sangat besar terhadap keberhasilan organisasi dalam mewujudkan visi dan
misinya, namun tidak akan dibahas dalam konteks ilmu perilaku organisasi.
Meskipun unsur-unsur, komponen atau sub sistem yang akan dibahas bisa jadi telah banyak
dipelajari pada disiplin ilmu yang lain, namun Mata Kuliah Perilaku Organisasi akan mencoba
menjawab, mengapa berbagai unsur atau komponen tadi dapat membentuk karakter, sikap, atau
perilaku individu dalam kapasitasnya sebagai anggota suatu organisasi. Oleh karena itu, bobot
atau muatan materinya akan diusahakan agar memiliki sisi empiris yang cukup memadai. Untuk
kepentingan ini, maka pada setiap session pembahasan akan diupayakan untuk dilengkapi

dengan kasus-kasus yang relevan sebagai instrumen untuk lebih memudahkan dalam memahami
masalah perilaku organisasi.
Penutup
Dalam suatu penerapan perilaku organisasi, konsep dasar perilaku organisasi merupakan suatu
dasar pokok untuk mempelajari, memahami, ataupun menerapkan sikap perilaku organisasi
dalam kehidupan berorganisasi. Perilaku organisasi ini sangat di perlukan karena dengan
mempelajari perilaku organisasi kita dapat mengetahui perilaku pada masing-masing individu
dalam suatu organisasi. Karena perilaku individu inilah yang akan mempengaruhi berjalannya
suatu organisasi. Salah satu tujuan perilaku organisasi yaitu untuk memahami perilaku individu
sehingga dapat membuat tolak ukur dalam memecahkan masalah yang muncul dari perilaku
tersebut. Maka dari itu sebagai pemahaman dasar diperlukan materi tentang konsep perilaku
organisasi.

1. A.

Pengertian Motivasi

Motivasi adalah keinginan untuk melakukan sesuatu dan menentukan kemampuan bertindak
untuk memuaskan kebutuhan individu. Suatu kebutuhan (need), dalam terminologi berarti suatu
kekurangan secara fisik atau psikologis yang membuat keluaran tertentu terlihat menarik
(Robinns,S, 2002: 55).Motivating adalah keseluruhan proses pemberian motivasi (dorongan)
kepada para pegawai agar mereka mau dan suka bekerja sehingga tujuan organisasi dapat
tercapai secara efektif dan efisien (Wursanto, 2003: 267).
1. B.

Hubungan Antara Motivasi dan Perilaku

Hubungan antara motivasi dan perilaku dapat terwujud dalam enam variasi berikut (Sutarto,
1984; 275):
1. Sebuah perilaku dapat hanya dilandasi oleh sebuah motivasi
2. Sebuah perilaku dapat pula dilandasi oleh bebrapa motivasi
3. Perilaku yang sama dapat dilandasi oleh motivasi yang sama
4. Perilaku yang sama dapat dilandasi oleh motivasi yang berbeda
5.

Perilaku yang berbeda dapat dilandasi oleh motivasi yang sama

6. Perilaku yang berbeda dapat dilandasi oleh motivasi yang berbeda


1. C.

Teori Teori Motivasi

2. Teori Motivasi Awal


Tahun 1950an merupakan periode perkembangan konsep-konsep motivasi. Tiga teori khusus
diformulasikan selama periode ini, yang walaupun sekarang sangat dikecam dan validitasnya
dipertanyakan, mungkin masih merupakan penjelasan-penjelasan yang terkenal mengenai
motivasi karyawan:teori hierarki kebutuhan, teori X dan Y, dan teori motivasi higienis. Sejak
itulah dikembangkan penjelasan-penjelasan yang lebih valid tentang motivasi.
1. Teori Hierarki Kebutuhan
Pendekatan terkenal yang telah diterima secara luas berkaitan dengan motivasi adalah teori
hierarki kebutuhan Abraham Maslow. Maslow membuat hipotesis bahwa dalam diri setiap
manuasia terdapat lima tingkatan kebutuhan yaitu:
1. Kebutuhan fisik: meliputi rasa lapar, haus, tempat bernaung seks, dan kebutuhan fisik
lainnya.
2. Kebutuhan rasa aman : meliputi keamanan dan perlidungan dari bahaya fisik dan emosi.

3. Kebutuhan social: meliputi kasih sayang, rasa memiliki, penerimaan, dan persahabatan.
4. Kebutuhan penghargaan: meliputi factor-faktor internal seperti harga diri, otonomi, dan
persepsi, serta factor-faktor eksternal seperti status, pengakuan, dan penghargaan.
5. Kebutuhan aktualisasi diri: Dorongan untuk menjadi apa yang mampu dia lakukan ;
meliputi pertumbuhan, pencapaian potensi diri, dan pemenuhan kebutuhan diri sendiri.
Teori kebutuhan Maslow telah menerima pengakuan luas di antara manajer pelaksana karena
teori ini logis secara intuitif. Namun, penelitian tidak memperkuat teori ini dan Maslow tidak
memberikan bukti empiris dan beberapa penelitian yang berusaha mengesahkan teori ini tidak
menemukan pendukung yang kuat.
3. Teori X dan teori Y
Douglas McGregor menemukan teori X dan teori Y setelah mengkaji cara para manajer
berhubungan dengan para karyawan. Kesimpulan yang didapatkan adalah pandangan manajer
mengenai sifat manusia didasarkan atas beberapa kelompok asumsi tertentu dan bahwa mereka
cenderung membentuk perilaku mereka terhadap karyawan berdasarkan asumsi-asumsi tersebut.
1. Asumsi yang dimiliki manajer dalam teori X
2. Karyawan pada dasarnya tidak menyukai pekerjaan dan sebisa mungkin berusaha untuk
menghindarinya.
3. Karena karyawan tidak menyukai pekerjaan, mereka harus dipakai, dikendalikan, atau
diancam dengan hukuman untuk mencapai tujuan.
4. Karyawan akan mengindari tanggung jawab dan mencari perintah formal, di mana ini
adalah asumsi ketiga.
5. Sebagian karyawan menempatkan keamanan di atas semua faktor lain terkait pekerjaan
dan menunjukkan sedikit ambisi.
6. Asumsi Teori Y
Dalam teori Y, terdapat empat asumsi berlawana yang diyakini oleh manajer, yakni:
1. Para karyawan memandang pekerjaan sama alamiahnya dengan istirahat dan bermain.
2. Seseorang byang memiliki komitmen pada tujuan akan melakukan pengarahan dan
pengendalian diri.
3. Seseorang yang biasa-biasa saja dapat belajar untuk menerima, bahkan mencari tanggung
jawab.

4. Kreatifitas yaitu kemampuan untuk membuat keputusan yang baik di delegasikan kepada
karyawan secara luas dan tidak harus berasal dari orang yang berada dalam manajemen.
Teori X mengasumsikan bahwa kebutuhan tingkat rendah mendominasi individu. Teori Y
mengasumsikan bahwa kebutuhan tingkat tinggi mendominasi individu. Mc.Gregor sendiri tetap
percaya bahwa asumsi pada teori Y lebih valid daripada asumsi pada teoeri X. Oleh karena itu, ia
mengajukan gagasan seperti partisipasi dalam pengambilan keputusan, pekerjaan yang
menantang dan bertanggung jawab, dan hubungan yang baik dalam kelompok sebagai
pendekatan yang akan memaksimalkan motivasi kerja karyawan.
Sayangnya, tidak ada bukti yang menegaskan bahwa asumsi-asumsi tersebut bersifat valid. Juga
tidak terbukti bahwa penerimaan terhadap asumsi teori Y yang diikuti oleh perubahan tindakan
seseorang, akan meningkatkan motivasi para pekerja. Kelak akan terbukti, baik asumsi-asumsi
teori X ataupun teori Y mungkin tepat dalam situasi tertentu.
4. Teori Motivasi Higienis
Teori Motivasi Higienis (Motivation-Hygiene Theory) diajukan oleh ahli psikologi Frederick
Herzberg. Dengan keyakinan bahwa hubungan individu dengan pekerjaan adalah sesuatu yang
mendasar dan bahwa sikap seseorang terhadap pekerjaan akan sangat menentukan kesuksesan
atau kegagalannya, Herzberg melakukan penelitian dengan pertanyaan, Apa yang diinginkan
seseorang dari pekerjaannya? Dia meminta karyawan untuk menjelaskan dengan rinci situasi
kerja yang membuat mereka merasa luar biasa baik atau buruk.
1. Teori Reinforcement
Sebuah dukungan terhadap teori goal-setting adalah teori reinforcement. Teori terdahulu
menggunakan pendekatan kognitif menyatakan bahwa tujuan individu akan mengarahkan
tindakannya. Dalam teori reinforcement kita memiliki pendekatan perilaku yang menyatakan
bahwa refinforcement membentuk suatu perilaku. Dua teori tersebut jelas bertentangan secara
filosofis para ahli reinforcement melihat perilaku sebagai akibat dari lingkungan peristiwa
kognitif intenal bukan masalah yang perlu diperhatikan. Yang mengendalikan perilaku adalah
reinforcer yakni setiap konsekuensi terhadap tanggapan yang diberikan, meningkatkan
kemungkinan diulanginya perilaku tersebut.
Teori reinforcement mengabaikan kondisi dalam diri individu dan berkonsentrasi semata-mata
hanya pada apa yang terjadi pada seseorang ketika merangsang perilaku dari dalam, dan
memberikan alat analisis yang tajam kepada faktor-faktor yang mengendalikan suatu perilaku
1. Teori Equity

Teory Equity (kewajaran) menyatakan bahwa membandingkan apa yang mereka berikan
kedalam situasi kerja(input) terhadap apa yang mereka dapatkan dari pekerjaan
tersebut(outcome) dan kemudian membandingkan rasio input-outcome mereka dengan rasio
input-outcome mereka sama dengan orang lain, keadaan tersebut dianggap adil. Jika rasio tidak
sama, rasa ketidakadilan muncul artinya bawahan cenderung melihat diri mereka sendiri kurang
diberikan penghargaan. Bila ketidakadilan terjadi, bawahan akan berusaha untuk melakukan
koreksi.
Teori equity pada intinya adalah bahwa bila karyawan merasakan suatu ketidakadilan mereka
dapat membuat satu atau lebih dari lima pilihan tersebut:
1. Mengubah input atau outcome mereka ataupun orang lain.
2. Berperilaku sedemikian rupa sehingga menyebabkan orang lain mengubah input atau
outcome mereka
3. Berperilaku sedemikian rupa untuk mengubah input atau outcome mereka sendiri.
4. Memilih acuan perbandingan yang berbeda.
5. Keluar dari pekerjaan mereka
Teori equity mengakui bahwa individu tidak hanya memperhatikan jumlah absolut dari
penghargaan yang mereka terima atas upaya mereka, tetapi juga membandingkan jumlah itu
dengan apa yang diterima oleh orang lain. Input: seperti upaya, pengalaman, pendidikan,
kompetensi, dibandingkan dengan outcome seperti tingkat gaji, kenaikan gaji, pengakuan, dan
faktor-faktor lain. Ketika orang merasa ketidakseimbangan antar rasio input-outcome terhadap
orang lain, maka muncul suatu ketegangan ini memberikan dasar bagi motivasi, seperti ketika
orang memperjuankan tehadap apa yang mereka anggap sebagai suatu kewajaran dan keadilan.
Secara khusus teori tersebut menetapkan empat dalil yang berkaitan dengan penggajian yang
tidak adil, yakni:
1. Pembayaran diberikan berbasis waktu, karyawan yang diberikan penghargaan yang lebih
akan berproduksi lebih banyak daripada karyawan yang dibayar menurut standar.
2. Pembayaran menurut kuantitas poduksi, karyawan yang diberi penghargaan yang lebih
akan memproduksi lebih sedikit unit namun berkualitas lebih tinggi daripada karyawan
yang dibayar menurut standar.
3. Pembayaran menurut waktu, karyawan yang diberi penghargaan kurang akan
menghasilkan kualitas output yang lebih sedikit atau lebih buruk

4. Pembayaran menurut kuantitas produksi, karyawan yang diberi penghargaan kurang akan
memproduksi sejumlah besar unit yang berkualitas rendah dibanding dengan karyawan
yang dibayar menurut standar.
1. Teori Ekspetasi
Teori ekspektasi menyatakan bahwa kekuatan dari kecenderungan untuk bertindak dengan cara
tertentu tergantung pada kekuatan dari suatu harapan bahwa tindakan tersebut akan diikuti
dengan hasil tertentu serta pada daya tarik hasil tersebut bagi individu.
Teori ini menggunakan tiga variabel, yaitu:
1. Daya tarik
Pentingnya individu mengharapkan outcome dan penghargaan yang mungkin dapat dicapai
dalam bekerja. Variabel ini mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan individu yang tidak
terpuaskan.
2. Kaitan kinerja-penghargaan
Keyakinan individu bahwa dengan menunjukkan kinerja pada tingkat tertentu akan mencapai
outcome yang diinginkan.
3. Kaitan upaya-kinerja
Probabilitas yang diperkirakan oleh individu bahwa dengan menggunakan sejumlah upaya
tertentu akan menghasilkan kinerja.

BUDAYA DAN IKLIM ORGANISASI


I. PENDAHULUAN
Setiap individu memiliki kepribadian, begitu pula dengan organisasi. Sebagaimana
individu yang memiliki kepribadian yang menjadi karakteristiknya yang berbeda antara individu
satu dengan lainnya, demikian halnya dengan karakteristik organisasi yang menjadi pembeda
dengan organisasi lainnya. Karakteristik organisasi ini menjadi ciri khas yang menjadi penanda
sebuah organisasi. Dalam hal ini, sebagaimana individu, organisasi dapat digolongkan sesuai

dengan sifat-sifat yang dimilikinya. Sifat-sifat inilah yang selanjutnya dapat digunakan untuk
memperkirakan sikap dan prilaku individu yang ada dalam organisasi.
Terdapat suatu variabel dalam organisasi yang memiliki peran yang sangat menentukan
dalam pencapaian tujuan organisasi, yang walaupun sukar untuk ditentukan atau diuraikan secara
seksama tatapi variabel itu ada, dan variabel tersebut biasanya diuraikan oleh prilaku orangorang yang ada dalam organisasi dalam bentuk-bentuk yang umum sekali. Variabel tersebut
seringkali kita sebut dengan istilah budaya dan iklim organisasi. Sebagaimana budaya-budaya
suku memiliki totem dan pantangan yang mengatur bagaimana masing-masing anggota suku
bertindak terhadap anggota suku dan orang lain diluar sukunya, maka suatu organisasi juga
memiliki budaya yang mengatur bagaimana anggota-anggotanya bersikap.
Iklim organisasi juga menjadi sesuatu yang menarik untuk dikaji, dikarenakan kedua
variabel dalam organisasi ini dapat dikatakan menjadi penentu bagi keefektifan organisasi dalam
mencapai tujuannya. Jika diibaratkan sebuah senter, maka iklim organisasi adalah lampunya
sedangkan budaya organisasi adalah baterainya. Sangat jelas sekali senter itu tidak akan bisa
menyala jika baterainya tidak ada. Demikian pula dengan organisasi, Iklim yang ada dalam
organisasi sangat ditentukan oleh bagaimana budaya yang berkembang dalam organisasi
tersebut.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, makalah ini akan membahas tentang budaya organisasi yang
mencakup komponen, fungsi, karakteristik, klasifikasi, bagaimana membentuk dan
mempertahankan budaya organisasi. Hal lain yang juga akan dibahas dalam makalah ini adalah
tentang iklim organisasi yang berisi komponen serta hasil-hasil penelitian tentang iklim
organisasi yang pernah dilakukan.
II. BUDAYA DAN IKLIM ORGANISASI
A. BUDAYA ORGANISASI
a. Budaya
Istilah budaya berasal dari bahasa Latin yaitu colere yang berarti mengolah, mengerjakan,
terutama mengolah tanah atau bertani. Kemudian dalam bahasa Inggris menjadi culture. Menurut
Kotter dan Haskett (1922:3), perhatian masyarakat akademik terhadap budaya berasal dari studi
antropologi sosial yang pada akhir abad ke-19 melakukan studi terhadap masyarakat primitif,
seperti Eskimo, Afrika dan penduduk asli Amerika. Studi tersebut mengungkapkan bahwa cara
hidup anggota-anggota masyarakat ini tidak hanya berbeda cara hidup masyarakat maju di Eropa
danAmerika Utara tetapi juga berbeda di antara masing-masing masyarakat primitif tersebut.
Menurut Edgar H. Schein dalam Umam (2010) berpendapat bahwa budaya adalah suatu pola
asumsi dasar yang diciptakan, ditemukan, atau dikembangkan oleh kelompok tertentu sebagai
pembelajaran untuk mengatasi masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal yang resmi dan
terlaksana dengan baik. Oleh karena itu, budaya diajarkan (diwariskan) kepada anggota-anggota
baru sebagai cara yang tepat memahami, memikirkan, dan merasakan terkait masalah-masalah
tersebut.

Sedangkan menurut Hofstede mengartikan budaya sebagai nilai-nilai dan kepercayaan yang
memberikan orang-orang suatu cara pandang terprogram. Lebih lanjut, Nilai-nilai tersebut
menurut Phesey dalam Umam (2010) diterjemahkan sebagai segala sesuatu yang dimuliakan
(esteemed), dijunjung (prized) atau dihargai (appreciated) dalam budaya tersebut. Adapun
kepercayaan diartikan sebagai, Apa yang seseorang anggap benar (true). Dengan demikian,
bentuk atau wujud dari pengertian budaya dapat dilihat dalam tiga hal, yaitu: pertama, budaya itu
abstrak, budaya itu merupakan kepercayaan, asumsi dasar, gagasan, moral, norma, adat-istiadat,
hukum atau peraturan. Kedua, budaya itu berupa sikap yang merupakan pola perilaku atau
kebiasaan dari kegiatan manusia dalam lingkungan masyarakat, yang menggambarkan
kemampuan beradaptasi, baik secara internal maupun eksternal. Ketiga, budaya itu tampak
secara fisik yang merupakan bentuk fisik hasil karya manusia.
Dengan demikian, budaya dapat didefinisikan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai
makluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan dan
pengalamannya serta menjadi landasan bagi tingkah lakunya. Suatu kebudayaan merupakan
milik bersama anggota suatu masyarakat atau suatu golongan sosial, yang penyebarannya kepada
anggota-anggotanya dan pewarisan kepada generasi berikutnya dilakukan melalui proses belajar
dan dengan menggunakan simbol-simbol yang terwujud dalam bentuk yang terucapkan maupun
yang tidak.
Sebagai milik bersama anggota masyarakat atau suatu kelompok sosial, budaya menurut Ndaraha
(1997; 45) memiliki fungsi sebagai berikut :

Identitas dan citra suatu masyarakat

Pengikat suatu masyarakat

Sumber inspirasi

Kemampuan untuk membentuk nilai tambah

Pola prilaku

Budaya sebagai warisan

Pengganti formalisasi

Mekanisme adaptasi terhadap perubahan

Proses menjadikan bangsa kongruen dengan negara sehingga terbentuk nation state.

b. Organisasi
Organisasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Setiap
manusia hidup dalam sebuah organisasi. Organisasi didefinisikan beragam oleh para ahli. Variasi
definisi ini didasarkan pada sudut pandang dan waktu ahli ketika mendefinisikan.

Gibson, Ivancevich dan Donelly (1996) mendefinisikan organisasi sebagai wadah yang
memungkinkan masyarakat dapat meraih hasil yang sebelumnya tidak dapat dicapai oleh
individu secara sendiri-sendiri. Lebih jauh, ketiganya menyebutkan bahwa organisasi adalah
suatu unit terkoordinasi yang terdiri setidaknya dua orang yang berfungsi mencapai satu sasaran
tertentu atau serangkaian sasaran. Definisi ini menekankan pada upaya pencapaian tujuan
bersama secara efektif dan efisien melalui koordinasi antar unit organisasi.
Robbins (dalam tim dosen AP UPI) mendefiniskan organisasi sebagai kesatuan sosial
yang dikoordinasikans secara sadar, dengan sebuah batasan yang relative dapat diidentifikasi,
yang bekerja atas dasar yang relative terus menerus untuk mencapai suatu tujuan bersama atau
sekelompok tujuan. Definisi dari Robbins ini menekankan pada organisasi sebagai sebuah
sistem sosial yang perlu dikoordinasi dalam arti perlu manajemen. Batasan organisasi akan
berubah sebagaimana tuntutan lingkungan organisasi, sehingga dikatakan relative.
Definisi lain mengenai organisasi dikemukakan oleh Oteng Sutisna sebagaimana dikutip
Tim Dosen AP UPI menyebutkan bahwa organisasi yakni mekanisme yang mempersatukan
kegiatan-kegiatan untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan. Definisi ini menekankan pada
mekanisme pekerjaan dalam mencapai tujuan organisasi.
Dari pendapat-pendapat para ahli tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa organiasi
merupakan suatu sistem interaksi diantara orang-orang untuk mencapai tujuan organisasi, dimana
sistem tersebut memberikan arahan prilaku bagi anggota-anggotanya.
c. Budaya Organisasi
Terdapat kesepakatan luas bahwa budaya organisasi merujuk pada sistem pengertian
bersama yang dipegang oleh anggota-anggota suatu organisasi yang membedakan organisasi
tersebut dengan organisasi lainnya (Robbins, 2005;485). Sistem pengertian bersama ini dalam
pengamatan yang lebih seksama merupakan serangkaian karakter penting yang menjadi nilai
bagi suatu organisasi.
Budaya organisasi mengacu pada norma prilaku, asumsi, dan keyakinan dari suatu
organisasi, sementara dalam iklim organisasi mengacu pada persepsi orang-orang dalam
organisasi yang merefleksikan norma-norma, asumsi-asumsi dan keyakinan (Owens, 1991).
Sedangkan Sonhadji dalam Soetopo (2010) mengatakan bahwa budaya organisasi adalah proses
sosialisasi anggota organisasi untuk mengembangkan persepsi, nilai dan keyakinan terhadap
organisasi untuk mengembangkan persepsi, nilai, dan keyakinan terhadap organisasi. Sementara
Soetopo (2010) mengatakan bahwa budaya organisasi berkenaan dengan keyakinan, asumsi,
nilai, norma-norma prilaku, ideology, sikap, kebiasaan dan harapan-harapan yang dimiliki oleh
organisasi (dalam hal ini termasuk organisasi universitas swasta).
Gibson, Ivanichevich & Donelly dalam Soetopo (2010) berpendapat bahwa budaya
organisasi adalah kepribadian organisasi yang mempengaruhi cara bertindak individu dalam
organisasi. Budaya mengandung pola eksplisit dan implisit dari dan untuk prilaku yang
dibutuhkan dan diwujudkan hasil kelompok manusia secara berbeda termasuk benda-benda
ciptaan manusia.

Dari semua definisi tentang budaya organisasi diatas, secara umum dapat ditetapkan
bahwa budaya organisasi berkaitan dengan makna bersama, nilai, sikpa dan keyakinan. Dapat
dikatakan bahwa jantung dari suatu organisasi adalah sikap, keyakinan, kebiasaan dan harapan
dari seluruh individu anggota organisasi mulai dari manajemen puncak hingga manajemen yang
paling rendah, sehingga tidak ada aktifitas manajemen yang dapat melepaskan diri dari budaya.
Komponen-Komponen Budaya Organisasi
Robbins dalam Soetopo (2010) mengemukakan tujuh karakteristik budaya organisasi
yaitu :
1. Otonomi individu yaitu kadar kebebasan, tanggung jawab dan kesempatan individu untuk
berinisiatif dalam organisasi
2. Struktur yaitu kadar peraturan dan ketetapan yang digunakan untuk mengontrol prilaku
pegawai
3. Dukungan yaitu kadar bantuan dan keramahan manajer kepada pegawai
4. Identitas yaitu kadar kenalnya anggota terhadap organisasinya secara keseluruhan,
terutama informasi kelompok kerja dan keahlian profesionalnya
5. Hadiah performansi yaitu kadar alokasi hadiah yang didasarkan pada criteria performansi
pegawai
6. Toleransi konflik yaitu kadar konflik dalam hubungan antar sejawat dan kemauan untuk
jujur dan terbuka terhadap perbedaan
7. Toleransi resiko yaitu kadar dorongan terhadap pegawai untuk agresif, inovatif dan berani
menanggung resiko.
Fungsi Budaya Organisasi
Soetopo (2010) mengemukan bahwa fungsi budaya organisasi bergayut dengan fungsi
eksternal dan fungsi internal. Fungsi eksternal budaya organisasi adalah melakukan adaptasi
terhadap lingkungan diluar organisasi, sementara fungsi internal berkaitan dengan integrasi
berbagai sumber daya yang ada didalamnya termasuk sumber daya manusia. Jadi secara
eksternal budaya organisasi akan selalu beradaptasi dengan budaya-budaya yang ada diluar
organisasi, begitu seterusnya sehingga budaya organisasi tetap akan selalu ada penyesuaianpenyesuaian. Lebih lanjut Soetopo menjelaskan bahwa makin kuat budaya organisasi, makin
tidak mudah organisasi itu akan terpengaruh oleh budaya luar yang berkembang di
lingkungannya. Sementara kekentalan fungsi internal makin dirasakan menguat jika didalam
organisasi itu semakin berkembang norma-norma, peraturan, treadisi, adat istiadat organisasi
yang terus menerus dipupuk oleh para anggotanya sehingga berangsur-angsur budaya itu akan
menajdi semakin kuat.

Schein dalam Sotopo (2010) merinci fungsi adaptasi eksternal dan fungsi internal budaya
organisasi seperti dalam tabel berikut :

Creemers and Raynold (1993) membedakan fungsi budaya organisasi menjadi (1) memberikan
rasa identitas kepada anggota organisasi, (2) memunculkan komitmen terhadap misi organisasi,
(3) membimbing dan membentuk standar prilaku anggota organisasi, dan (4) meningkatkan
stabilitas sistem sosial.
Sementara Robbins (2005) mengemukakan tentang fungsi budaya dalam organisasi menjadi lima
fungsi yaitu :
1. Budaya memiliki suatu peran batas-batas tertentu yaitu budaya menciptakan perbedaan
antara satu organisasi dengan organisasi lainnya.
2. Budaya menyampaikan rasa identitas kepada anggota-anggota organisasi
3. Budaya mempermudah penerusan komitmen hingga mencapai batasan yang lebih luas,
melebihi batasan ketertarikan individu
4. Budaya mendorong stabilitas sistem sosial. Budaya merupakan suatu ikatan sosial yang
membantu mengikat kebersamaan organisasi dengan menyediakan standar-standar yang
sesuai mengenai apa yang harus dikatakan dan dilakukan karyawan
5. Budaya sebagai pembentuk rasa dan mekanisme pengendalian yang memberikan
panduan dan bentuk prilaku serta sikap karyawan.
Dalam organisasi, seringkali terjadi pembandingan antara budaya yang kuat dan budaya
yang lemah. Alasan ini seringkali memiliki dampak yang lebih besar terhadap sikap karyawan
dan lebih tertuju langsung untuk mengurangi keluar masuknya karywan. Dalam hal ini, Robbins
menjelaskan bahwa budaya yang kuat selalu ditandai oleh nilai-nilai inti organisasi yang
dipegang kukuh dan disepkati secara luas. Semakin banyak anggota organisasi yang menerima
nilai-nilai inti dan semakin besar komitmen mereka terhadap nilai-nilai tersebut, maka budaya
tersebut akan semakin kuat. Sejalan dengan definisi ini, suatu budaya yang kuat jelas sekali

memiliki pengaruh yang besar dalam sikap anggota organisasi dibandingkan dengan budaya
yang lemah.
Hasil spesifik dari suatu budaya yang kuat adalah keluar masuknya pekerja yang rendah.
Suatu budaya yang kuat akan memperlihatkan kesepakatan yang tinggi mengenai tujuan
organisasi diantara anggota-anggotanya. Kebulatan suara terhadap tujuan akan membentuk
keterikatan, kesetiaan, dan komitmen organisasi. Kondisi ini selanjutnya akan mengurangi
kecendrungan karyawan untuk keluar dari organisasi.
Karakteristik Budaya Organisasi
OReilly dan Jehn dalam Soetopo (2010) mengemukakan tujuh karakteristik utama yang
menjadi inti dari suatu organisasi, yaitu :
1. Innovation and risk taking, yaitu derajat sejauh mana pekerja didorong untuk inovatif dan
berani mengambil resiko
2. Attention to detail,yaitu derajat seajuh mana para pekerja diharapkan menunjukkan
presisi, analisis, dan perhatian pada detail-detail
3. Outcome orientation, yaitu sejauh mana pimpinan berfokus pada hasil, bukan pada teknis
dari proses yang dipakai untuk menjadi hasil
4. People orientation, yaitu sejauh mana keputusan manajemen memperhitungkan efek
hasil-hasil pada orang dalam fungsi budaya organisasi menjadi inti dari suatu budaya
organisasi.
5. Team orientation, yaitu sejauh mana kegiatan kerja diorganisasikan atas dasar tim kerja
daripada individu.
6. Aggressiveness, yaitu sejaunmana orang-orang dalam organisasi bersifat agresif dan
kompeteitif
7. Stability, yaitu sejauh mana aktifitas organisasi menekankan pemeliharaan status quo
sebagai kontras dari pertumbuhan.

Masing-masing karakteristik diatas bergerak pada suatu kontinuitas dari rendah hingga
ke tinggi. Menilai suatu organisasi dengan ketujuh karakter ini akan menghasilkan gambaran
mengenai budaya organisasi tersebut. Gambaran tersebut kemudian menjadi dasar untuk
perasaan saling memahami yang dimiliki anggota organisasi mengenai organisasi mereka,
bagaimana segala sesuatu dikerjakan berdasarkan pengertian bersama tersebut, dan cara-cara
anggota organisasi seharusnya bersikap (Robbins, 2005;486).
Klasifikasi Budaya Organisasi
Dalam mempelajari budaya organisasi, terdapat empat pendekatan menurut Robert dan
Hunt dalam Soetopo (2010). Keempat pendekatan itu antara lain : (1) beberapa sarjana
memandangnya sebagai asumsi bersama, keyakinan dan nilai-nilai dalam organisasi dan
kelompok kerja, (2) kelompok kedua tertarik dengan mitos, cerita, dan bahasa sebagai
manifestasi budaya, (3) memandang tata cara dan seremonial sebagai manifestasi budaya, dan (4)
mempelajari interaksi antar anggota dan symbol-simbol. Sedangkan Schein membaginya
kedalam tiga dimensi budaya yaitu : (1) artefak dan kreasi berupa teknologi, seni, pola prilaku
yang dapat dilihat dan didengar. Terlihat oleh mata tetapi sering tidak dapat diartikan dan
diuraikan, (2) nilai, dapat diuji dalam lingkungan fisik, dapat diuji hanya oleh konsensus social.
Tingkat yang lebih tinggi mengenai kesadaran, (3) asumsi dasar, yaitu menegnai hubungan
manusia-lingkungan, hakikat dasar manusia, hakikat hubungan manusia.
Sedangkan Hellriegel dan Slocum dalam Soetopo (2010) mengajukan kerangka
klasifikasi budaya organisasi sebagai berikut :

Sumbu vertical mencerminkan orientasi pengawasan yang relative normal, jarak dari
mantap ke fleksibel. Sumbu horizontal mencerminkan fokus relative terhadap perhatian, jarak
dari fungsi internal ke fungsi eksternal. Sudut-sudut dari empat persegi mewakili empat tipe
murni dari budaya organisasi yaitu birokratik, clan, entrepreneurial dan pasar.
1. Budaya Birokratik. Suatu organisasi dengan karyawan yang mempunyai formalisasi
nilai peraturan standar prosedur operasi dan koordinasi hierarkis. Perhatian jangka
panjang dalam birokrasi, efisiensi, dan stabilitas dapat diperkirakan. Karyawannya
mempunyai standar nilai yang tinggi terhadap pelayanan pelanggan. Manajer memandang
peran mereka sebagai koordinator yang baik, organisator dan memperkuat standard dan
aturan tertulis.
2. Budaya Clan, mempunyai atribusi tradisi, kesetiaan, komitmen pribadi, sosialisasi
ekstensif, tim kerja, manajemen diri dan pengaruh social. Komitmen individual jangka
panjang pada organisasi diganjar dengan komitmen jangka panjang organisasi terhadap
karyawan.
3. Budaya entrepreneurial, menunjukkan tingkat pengambilan resiko yang tinggi, dinamis
dan kreatifitas. Ada komitmen terhadap eksperimentasi, inovasi. Budaya ini tidak hanya
cepat bereaksi terhadap perubahan lingkungan, tetapi menciptakan perubahan.
4. Budaya Pasar. Nilai yang akan dicapai terukur, dan karyawan dituntut untuk mencapai
sasaran, terutama yang berbasis financial dan pasar.
Menciptakan dan Mempertahankan Budaya

Suatu budaya dalam organisasi tidak muncul begitu saja. Bila sudah terbentuk mantap,
budaya tidak akan menghilang begitu saja. Kekuatan apa yang mempengaruhi pembentukan
suatu budaya? Apa yang akan mengukuhkan dan mempertahankan kekuatan tersebut bila
kekuatan tersebut sudah berada pada posisinya. Untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan
ini, kita dapat melihat dari konsep tentang bagaimana suatu budaya berawal.
Kebiasaan, tradisi, dan cara-cara umum dalam mengerjakan sesuatu yang sudah ada
dalam suatu organisasi berkaitan erat dengan apa yang telah dilakukan sebelumnya dan dnegan
tingkat keberhasilan organisasi tersebut dengan upaya-upayanya. Dengan demikian sumber
utama budaya organisasi tersebut adalah para pendirinya (Robbins, 2005; 492)
Para pendiri organisasi secara tradisional memiliki pengaruh yang dalam membentuk
budaya awal. Mereka memiliki visi bagaimana wujud organisasi tersebut. Mereka tidak dibatasi
oleh kebiasaan-kebiasaan dalam menegrjakan sesuatu atau ideologi-ideologi sebelumnya.
Pemberian karakter terhadap organisasi-organisasi baru dengan ruang lingkup yang masih kecil,
mempermudah para pendiri dalam menerapkan visinya pada keseluruhan anggota organisasi.
Dikarenakan para pendiri tersebut memiliki ide yang masih asli, mereka juga biasanya memiliki
bias tentang cara bagaimana ide-ide tersebut bisa terpenuhi. Budaya organisasi dihasilkan dari
interaksi antara bias dan asumsi para pendiri dengan apa yang dipelajari selanjutnya oleh anggota
awal organisasi dari pengalaman mereka sendiri.
Bila suatu budaya sudah berlaku dalam suatu organiasi, praktik-praktik dalam organisasi
berfungsi untuk menjaga budaya tersebut dengan cara mengekspos karyawan agar memiliki
pengalaman yang serupa (Robbins, 2005; 493). Untyk dapat menjaga budaya tersebut agar tetap
hidup, ada tiga kekuatan yang memainkan peran penting dalam mempertahankannya. Ketiga
kekuatan itu adalah :
1.

Praktek-praktek seleksi.

Tujuan yang jelas dari proses seleksi adalah untuk mengidentifikasi dan mempekerjakan
individu-individu yang memiliki wawasan, keterampilan, dan kemampuan dalam melakukan
pekerjaan untuk keberhasilan pekerjaan. Tetapi biasanya, akan terdapat lebih dari seorang
kandidat yang dapat memenuhi persyaratan dari pekerjaan yang ditawarkan. Keputusan akhir
mengenai siapa yang akan dipekerjakan sangat dipengaruhi oleh penilaian pembuat keputusan,
yaitu seberapa bagus kandidat-kandidat tersebut memiliki kesesuaian dengan organisasi. Calon
pekerja yang memiliki konflik antara nilai-nilai yang mereka miliki dengan nilai-nilai yang ada
dalam organisasi dapat memilih untuk keluar dari proses pelamaran pekerjaan. Penyeleksian
menjadi semacam jalan dua jalur yang memeberi kesempatan kepada pihak yang mempekerjakan
dengan pihak yang melamar pekerjaan untuk membatalkan ikatan jika terdapat ketidaksesuaian.
Dalam hal ini, proses seleksi mejaga suatu budaya organisasi dengan cara membuang individuindividu yang mungkin saja menyerang atau menyepelekan budaya organisasi tersebut.
2. Tindakan-tindakan manajemen (manajemen puncak)
Tindakan manajemen puncak juga memiliki dampak utama terhadap budaya organisasi. Para
eksekutif membentuk norma-norma penyaring yang menyeluruh didalam organisasi melalui apa

yang mereka katakan dan mereka lakukan. Apakah pengambilan resiko lebih mereka kehendaki,
seberapa besar keleluasaan yang harus diberikan manajer terhadap bawahannya, seragam apa
yang dipakai, tindakan apa yang harus dilakukan untuk kenaikan gaji, promosi, dan
penghargaan-penghargaan lainnya, dan lain sebagainya.
3. Metode sosialisasi
Bagaimanapun bagusnya pelaksanaan penerimaan dan penyeleksian pegawai baru yang
dilakukan oleh organisasi, karywan-karyawan baru tidaklah sepenuhnya terdoktrin dengan
budaya organisasi tersebut. Hal ini dikarenakan mereka belum terbiasa dengan budaya organisasi
tersebut. Karyawan-karyawan baru memiliki kecendrungan untuk mengganggu kepercayaan dan
kebiasaan yang sudah berlaku. Dengan demikian, organisasi perlu membaantu karyawan baru
tersebut dalam beradaptasi dengan budaya mereka. proses adaptasi ini disebut sosialisasi.
Tahap sosialisasi yang paling penting adalah ketika karyawan baru masuk ke dalam organisasi.
Tahap ini merupakan saat-saat dimana organisasi berusaha untuk membentuk karakter orang luar
yang baru masuk mejadi karyawan dengan cara penempatan diri yang baik. Karyawankarywan yang gagal mempelajari prilaku peran yang penting akan beresiko dicap tidak dapat
bekerjasama, atau dianggap sebagai pemberontak dan pada akhirnya akan diberhentikan.
Sosialisasi dapat di konsepkan sebagai suatu proses yang terdiri dari tiga tahap yaitu kedatangan,
orientasi dan metamorphosis. Tahap pertama mengarah pada semua pembelajaran yang
dilakukan sebelum karyawan baru bergabung dengan organisasi. Pada tahap kedua, karyawan
baru berusaha mencari seperti apa organisasi tersebut dan membandingkan keadaan yang
diharapkan dengan realita yang mungkin saja berbeda. Pada tahap ketiga muncul dan berlaku
perubahan yang relative bertahan lama. Proses dengan ketiga tahap ini berpengaruh terhadap
produktivitas kerja dan komitmen karyawan baru terhadap tujuan organisasi dan keputusan
mereka untuk bergabung dengan organisasi (Robbins, 2005; 495)
Proses sosialisasi ini dapat digambarkan sebagai berikut :

B. IKLIM ORGANISASI
Owens (1991) menyatakan bahwa organizational climate is the study of perceptions
that individual have of various aspect of the environment in the organization. Dengan demikian
pengkajian iklim organisasi dapat dilakukan dengan menggali data dari persepsi individu yang
ada dalam organisasi. Taguiri dan Litwin dalam Soetopo (2010) mengartikan iklim organisasi
adalah suatu kualitas lingkungan internal organisasi yang dialami oleh anggotanya,
mempengaruhi prilakunya dan dapat dideskripsikan dengan nilai-nilai karakteristik organisasi.
Dengan penegrtian ini, Miner (1998) menyarikan aspek-aspek definisi iklim organisasi sebagai
berikut :
1. Iklim organisasi berkaitan dengan unit yang besar yang mengandung cirri karakteristik
tertentu.
2. Iklim organisasi lebih mendiskripsikan suatu unit organisasi daripada menilainya.
3. Iklim organisasi berasal dari praktik organisasi, dan
4. Iklim organiasasi mempengaruhi prilaku dan sikap aggota organisasi.
Dalam kaitannya dengan iklim organisasi, Steers dalam Soetopo (2010) menyatakan
bahwa iklim organisasi dapat dilihat dari dua sisi pandang yaitu (1) iklim organisasi dilihat dari
persepsi para anggota terhadap organisasinya, (2) iklim organisasi dilihat dari hubungan antara
kegiatan-kegiatan organisasi dan perilaku manajemennya.
Klasifikasi Iklim Organisasi
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Halpin (1971) yang menggunakan
Organizational Climate Description Quesionare (OCDC), terdapat enam klasifikasi iklim
organiasi yaitu :

1. Open Climate yang menggambarkan tentang situasi dimana anggota organisasi merasa
senang untuk bekerja, saling kerjasama serta adanya keterbukaan.
2. Outonomous Climate yaitu situasi dimana adanya kebebasan, adanya peluang kreatif,
sehingga para anggota memiliki peluang untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan
mereka.
3. The Controlled Climate yang ditandai adanya penekanan atas prestasi dalam mewujudkan
kepuasan kebutuhan social, setiap orang bekerja keras serta kurangnya hubungan antar
sesama anggota
4. The Familiar Climate yaitu adanya rasa kesejawatan tinggi antara pimpinan dan anggota
5. The Paternal Climate yang bercirikan adanya pengontrolan pimpinan terhadap anggota,
dan
6. The Closed Climate yang ditandai suatu situasi rendahnya kepuasan dan prestasi tugas
serta kebutuhan social para anggota, pimpinan sangat tertutup terhadap para anggotanya.
Dari keenam klasifikasi iklim organisasi berdasarkan OCDC tersebut, Halpin kemudian
mengelompokkan iklim organiasasi secara garis besar menjadi dua yaitu open climate dan closed
climate. Pengklasifikasian ini bukanlah pemilahan secara diskrit tetapi merupakan kontinum dari
terbuka sampai kepada tertutup. Pertanyaanya adalah apakah kecendrungan terbuka atau
tertutupnya iklim organisasi akan diikuti oleh makin tinggi atau rendahnya keefektifan
organisasi? Hal inilah yang perlu dikaji secara empirik dilapangan.
Hasil penelitian Miner ini sebagaimana dikutip dalam Soetopo (2010) menunjukkan
bahwa manajer yang bekerja dalam iklim organisasi terbuka menunjukkan pekerjaan yang lebih
baik daripada manajer yang bekerja dalam iklim organisasi yang tertutup. Hoy and Miskel
(2005) mengemukakan bahwa organisasi yang memiliki situasi kerja dengan iklim terbuka
menunjukkan tingkat kepercayaan dan keefektifan lebih tinggi daripada menggunakan iklim
tertutup. Lebih lanjut, Hoy and Miskel mengatakan bahwa pemimpin yang memperoleh
dukungan (support) tinggi menggambarkan iklim kelompok yang favorable, sementara
pemimpin yang memperoleh dukungan rendah menggambarkan iklim kelompok yang kurang
favorable.
Dalam kaitannya dengan kualitas hubungan antara pemimpin dan bawahanyang
menggambarkan iklim organisasipenelitian Fiedler dalam Owens (1991) menemukan bahwa
jika hubungan antara pemimpin dan bawahan baik (misalnya, pemipin menghargai, mempercayai
dan disenangi), maka pemipin akan lebih mudah memberikan pengaruh dan otoritas daripada
jika hubungan pemimpin dan bawahan tidak baik (misalnya, pemimpin tidak mengahrgai, tidak
disenangi, dan kurang percaya kepada bawahan).
Berdasarkan paparan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pemimpin yang
menggunakan orientasi hubungan kemanusiaan akan lebih menopang iklim organisasi yang

terbuka (member kepercayaan, menghargai) daripada pemimpin yang menggunakan otorientasi


tugas.
Halpin sebagaimana dikutip Soetopo (2010) membagi komponen iklim organisasi berdasarkan
karakteristik kelompok sebagai berikut :
1. Disengagement atau ketidakikutsertaan, yaitu suatu kadar dimana staf atau bawahan
cenderung tidak terlibat dan tidak commite terhadap pencapaian tujuan organisasi.
2. Hindrance atau halangan, yaitu mengacu pada perasaan para staf bahwa pimpinan
membebani mereka dengan tugas yang memberatkan pekerjaan mereka.
3. Esprit atau semangat, yaitu mengacu pada semangat kerja karena terpenuhinya kebutuhan
social dan rasa punya prestasi dalam pekerjaan.
4. Intimacy atau keintiman, yaitu kadar kekohesifan antar staf dalam organisasi.
Sedangkan berdasarkan kategori prilaku pemimpin sebagai berikut :
1. Aloofness atau keberjarakan, yaitu menggambarkan kadar prilaku pemimpin yang formal
dan impersonal yang menunjukkan jarak social dengan staf.
2. Production Emphasis atau penekanan pada hasil yaitu mengacu pada prilaku pemimpin
agar staf bekerja keras, misalnya dengan pengawasan ketat, direktifdan menuntut hsil
maskimal.
3. Thrust atau rasa yakin, yaitu mengacu pada kadar prilaku pemimpin yang ditandai kerja
kerasnya agar dicontoh oleh staf.
4. Consideration atau perhatian, yaitu mengacu pada kadar prilaku pemimpin dengan
memperlakukan staf secara manusiawi sesuai dengan martabatnya (Owens, 1991; Halpin,
1971)

Penelitian Iklim Organisasi


Berdasarkan hasil penelitian Halpin dan Croft tentang iklim organisasi yang dilakukan
pada 71 sekolah dasar yang ada di 6 wilayah Amerika Serikat sebagaimana dikutip dalam
Soetopo (2010), dapat digambarkan mengenai enam iklim organisasi, yaitu :
1. The Open Climate
The Open Climate menggambarkan suatu situasi dimana para anggota senang sekali
Esprit yang tinggi. Guru-guru bekerja bersama dengan baik tanpa cekcok dan keluhan
(Disengagement rendah). Mereka tidak dibebani oleh menggunungnya kerja sibuk atau oleh
laporan-laporan rutin; kebijakan kepala sekolah mempermudah pemenuhan guru akan tugastugasnya (Hindrance rendah). Pada intinya, semua anggota kelompok mempunyai hubungan
yang menyengangkan satu sama lain, tetapi mereka tidak terlalu memerlukan tingkat Intimacy
yang tinggi. Guru mencapai kepuasan kerja yang cukup tinggi, dan cukup terdorong untuk
mengatasi kesulitan dan frustasinya. Mereka memperoleh insentif untuk menegrjakan sesuatu
dan membuat organisasi berjalan. Guru merasa bangga dengan sekolah itu.
Prilaku kepala sekolah merupakan integrasi antara kepribadiannya dan peranan yang ia
mainkan sebagai kepala sekolah. Dalam hal ini prilakunya dapat dipandang sebagai asli. Dia
tidak hanya memberikan contoh dengan bekerja keras (Trust tinggi), tetapi bergantung situasi ia
dapat juga mengkritik tindakan guru-guru atau keluar dari kebiasaan untuk membantu guru-guru
(Consideration tinggi). Ia mempunyai fleksibilitas untuk melakukan control dan mengarahkan
aktivitas orang lain atau menunjukkan pemuasan kebutuhan social guru-guru secara individual.
Ia tidak menyendiri, ia tidak membuat peraturan dan prosedur yang membuat tidak fleksibel dan
tidak mempribadi. Ia tidak menekankan pada produksi, ia tidak memonitor aktivitas guru secara
ketat, karena guru-guru bekerja dengan mudah dan bebas. Ia tidak melakukan semuanya karena
ia memiliki kemampuan untuk melakukan tindakan kepemimpinan yang muncul dari guru
(Production Empahsis rendah).
2.

The Outonomous Climate

Wujud kerja dari iklim organisasi ini adalah hamper bebas sempurna, bahwa kepala
sekolah memberikan kepada guru-guru agar memberikan interaksi untuk strukturnya sendiri
sehingga mereka dapat menemukan cara dalam kelompok untuk memuaskan kebutuhankebutuhan social mereka. skor-skornya lebih kepada pemuas kebutuhan social daripada ke
pencapaian tugas (relative skor tinggi pada Esprit dan Intimacy).
Jika guru-guru berada pada situasi orientasi tugas, mereka mencapai tujuan dengan
mudah dan cepat (Disengagement rendah). Ada tekanan minoritas terhadap kelompok, tetapi
stratifikasi yang ada pada angggota kelompok tidak menghalangi kelompok sebagai keseluruhan
dari bekerja sama dengan baik. Guru-guru bekerja bersama dengan baik dan melaksanakan
tugas-tugas organisasi.
Guru-guru tidak dibebani oleh tugas-tugas administrative, dan mereka tidak mengeluh
untuk membuat laporan-laporan. Kepala sekolah menyusun prosedur dan tata aturan untuk

mempermudah pelaksanaan tugas guru. Guru-guru tidak lari ke kepala sekolah setiap
memerlukan peralatan mengajar, control yang memadai ditetapkan untuk menggambarkan tugas
kepala sekolah dan guru-guru (Hindrance rendah) semangat kerja tinggi karena adanya
pemuasan kebutuhan social yang diterima oleh guru-guru.
Kepala sekolah memberikan Thrust untuk organisasi dengan memberikan contoh dan
dengan kerja keras. Ia mempunyai fleksibilitas pribadi baik untuk control maupun untuk
kesejahteraan guru-guru. Iklim ini bercirikan skor relative tinggi pada Esprit dan Intimacy,
Disengagement rendah, Hindrance rendah, Aloofeness tinggi, Production Emphasis rendah dan
Consideration menengah.
3.

The Controlled Climate

Iklim ini ditandai dengan tekanan pada prestasi dalam mewujudkan kepuasan kebutuhan
social. Setiap orang bekerja keras, dan sedikit waktu untuk berhubungan dengan sesama atau
untuk menyimpang dari control dan arah yang telah ditetapkan. Iklim ini terlalu memberi bobot
pada prestasi tugas dan keluar dari kepuasan kebutuhan social. Namun demikian selama
semangat tinggi (Esprit), iklim ini dapat diklasifikasikan lebih Opened daripada Closed.
Iklim ini bercirikan Disengagement rendah, Hindrance tinggi, Intimacy rendah, Production
Emphasis tinggi, Consideration rendah dan Thrust menengah.
4.

The Familiar Climate

Keistimewaan iklim ini adalah kesejawatan yang tinggi, baik kepala sekolah maupun
guru. Pemuasan kebutuhan social sangat tinggi , sementara sebaliknya kecil sekali control atau
arahan kegiatan kelompok untuk mencapai tujuan.
Iklim ini bercirikan Disengagement yang tinggi, Hindrance rendah, Intimacy tinggi,
Concideration tinggi, Aloofness rendah dan Production Emphasis rendah.
5.

The Paternal Climate

Iklim ini bercirikan usaha yang tidak efektif dari kepala sekolah untuk mengontrol guruguru, termasuk untuk memuaskan kebutuhan sosialnya. Pertimbangan mereka, prilakunya tidak
asli dan dipersepsi oleh guru sebagai tidak memotivasi. Iklim ini tentu saja Closed. Ciri lainnya
adalah Hindrance rendah, Intimacy rendah, Esprit rendah, sangat bertentangan dengan
Aloofeness, menekankan Production Emphasis, tetapi tidak ada satupun yang dilaksanakan.
6. The Closed Climate
Iklim ini ditandai oleh suatu situasi dimana anggota kelompok mencapai sedikit
kepuasan dalam prestasi tugas atau kebutuhan social. Pendeknya, kepala sekolah tidak efektif
dalam mengarahkan aktifitas para guru, pada waktu yang sama ia cenderung mencari
kesejahteraan pribadi mereka.

Guru-guru tidak diikut sertakan dan tidak bekerja sama dengan baik, akibatnya prestasi
kelompok menjadi minimal. Untuk mencapai prestasi, usaha guru adalah meelngkapi berbagai
laporan dan mengerjakan tugas-tugas rumah. Kepala sekolah tidak mendorong pelaksanaan
tugas-tugas guru. Kepala sekolah sangat Aloof (mengasingkan diri) dan impersonal dalam
mengontrol dan mengarahkan aktifitas guru-guru. Ia menekankan produksi dan sering
mengatakan kita harus bekerja keras, tetapi kata-katanya keras karena ia sendiri mempunyai
Thrust yang rendah dan ia tidak memotivasi guru-guru dengan menunjukkan contoh yang baik.
Dalam hal ini, ia tidak asli dalam tindakannya, tidak peduli dengan kebutuhan social guru-guru
dan seperti tidak membuat pertimbangan.
Kata-kata marilah bekerja keras menjadi kamu bekerja keras. Ia berharap orang lain
membuat inisiatif, lagipula ia tidak member kebebasan kepada gur-guru. Ia sendiri tidak
memberikan kepemimpinan yang memadai kepada kelompok. Dengan demikian guru-guru
memandangnya tidak asli; mereka memandangnya sebagai seorang yang penuh kepalsuan.

III.

PENUTUP

Organisasi sebagai wadah tempat berkumpulnya individu untuk mencapai tujuantujuannya sangat bergantung pada bagaimana individu-individu yang ada didalamnya memiliki
asumsi, prilaku dan keyakinan terhadap organisasi. Budaya dan iklim organisasi menjadi variabel
yang sangat menentukan dalam pencapaian tujuan organisasi yang efektif dan efisien.
Budaya organisasi haruslah dibentuk dengan memperhatikan aspek-aspek yang menjadi
nilai-nilai positif bagi keberlangsungan pencapaian tujuan organisasi. Budaya yang sudah
terbentuk ini kemudian harus mampu dipertahankan oleh organisasi tentunya melalui orangorang yang ada dalam organisasi. Proses-proses yang berlangsung dalam organisasi sangat
mempengaruhi keberadaan budaya organisasi. Semakin banyak orang-orang dalam organisasi
yang memegang teguh budaya yang sudah dibentuk, maka budaya itu akan menajdi semakin
kuat. Demikian pula sebaliknya.
Hal lain yang penting dalam keberlangsungan sebuah organisasi adalah iklim organisasi.
Iklim organisasi merupakan suatu kondisi atau cerminan dari budaya yang terbentuk. Ketika

iklim organisasi tidak kondusif maka dapat dipastikan kepuasan kerja ataupun tujuan lain yang
ingin dicapai oleh organisasi akan sulit diwujudkan. Maka seorang pemimpin dalam sebuah
organisasi harus mampu menjaga atau mengkondisikan iklim organisasi agar selalu kondusif
demi terwujudnya tujuan yang sudah ditentukan organisasi.

Anda mungkin juga menyukai