Anda di halaman 1dari 49

Jurnal Kimia Mulawarman Volume 9 No.

1, November 2011
Kimia F-MIPA Unmul

ISSN 1693-5616

Reviews

STUDI KIMIA DAN FARMAKOLOGI TANAMAN KUNYIT, (Curcuma longa


L) SEBAGAI TUMBUHAN OBAT SERBAGUNA
PHARMACOLOGYCAL AND CHEMICAL STUDY OF KUNYIT, (Curcuma
longa L) AS A HERBAL MEDICINE
Partomuan Simanjuntak
Laboratorium Kimia Bahan Alam, Puslit Bioteknologi
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jl. Raya Bogor Km 46 Cibinong 16911
E-mail : partomsimanjtk@yahoo.com
Abstract
Some reports indicated a great variety of pharmacological activities of kunyit, Curcuma longa L. which
exhibit anti-inflamatory, anti virus, anti bacteria, antioxidant, nematocidal activities, etc. Curcuminoids
are major compounds in Curcuma longa L responsible for the biological activity. This paper compiles an
overview of those pharmacological activities and chemical compositions of the kunyit, Curcuma longa
establishing its importance in health.
Keywords : Curcuma longa L., pharmacological activities, Curcuminoids.
A. PENDAHULUAN
Kunyit, Curcuma longa L. (Zingiberaceae) adalah
tanaman tropis yang banyak terdapat di benua Asia yang
secara ekstensif dipakai sebagai zat pewarna dan
pengharum makanan. Dalam bentuk serbuk yang dikenal
sebagai turmerik turmeric juga banyak digunakan untuk
bahan obat. Pada zaman agama Hindu mulai berkembang,
yaitu pada buku tua Ayurvedic juga dituliskan bahwa
kunyit tercatat sebagai aromatika, stimulan, dan sebagai
sumber zat warna merah tua. Turmerik yang dicampur
dengan kapur banyak digunakan masyarakat sebagai
bahan pengobatan untuk keseleo dan pembekakan yang
diakibatkan oleh luka. Dan akhir-akhir ini secara
tradisional di India turmerik telah digunakan untuk
melawan penyakit yang berhubungan dengan empedu
maupun hepato-biliary disorders, selesma, batuk,
diabetes dan penyakit hepatik, reumatik dan sinusitis.1
Sedangkan di China dilaporkan bahwa kunyit digunakan
untuk penyakit yang berhubungan dengan penyakit perut
dan penyakit kuning.2 Secara etnologi di India maupun di
Indonesia kunyit masih mempunyai posisi penting, dan
banyak digunakan serbuk turmerik dalam upacara
keagamaan maupun adat-istiadat. Dalam tulisan ini
dilaporkan penelitian yang telah dilakukan terhadap
kunyit, C. longa yang berhubungan dengan studi kimia,
farmakologi, toksisitas, farmakokinetik maupun studi
klinisnya.
1.1.

Kandungan Kimia dalam Curcuma longa


Studi kimia pada beberapa simplisia turmerik
menunjukkan bahwa komposisi kimia di dalam tanaman
kunyit adalah minyak atsiri 4,2-14%, minyak lemak 4,412,7% dan senyawa kurkuminoid 60-70%. Srinivasan

(1953)3 menyebutkan tiga senyawa kurkuminoid sebagai


kandungan utama dari kunyit adalah senyawa 1,7-bis(4hidroksi-3-metoksifenil)-1,6-heptadiena-3,6-dion
yang
disebut sebagai kurkumin (1) yang banyak berperan
dalam aktivitas biologis, kemudian senyawa turunannya
1-(4-hidroksi-3-metoksifenil)-7-(4-hidroksifenil)-1,6heptadiena-3,5-dion atau demetoksi kurkumin (2) dan 1,7bis(4-hidroksifenil)-1,6-heptadiena-3,5-dion
atau
bisdemetoksi kurkumin (3).3 Kemudian Park (2002)4
menyatakan bahwa selain senyawa kurkuminoid (1~3)
tersebut, masih ada senyawa lainnya yang merupakan
senyawa
turunan
yaitu
4-(3-metoksi-4hidroksilfenil)-2-okso-enabutanil
3-(3-metoksi-4hidroksifenil) propenoat atau disebut sebagai calebin A
(4), 1,7-bis(4-hidroksi-3-metoksifenil)-1,4,6-heptatriena3-on
(5),
1-hidroksi-1,7-bis(4-hidroksifenil)-3metoksifenil)-6-heptena-3,5-dion
(6),
1,7-bis(4hidroksifenil)-1-heptena-3,5-dion
(7),
1,7-bis(4hidroksifenil)-1,4,6-heptatrien-3-on (8) dan 1,5-bis(4hidroksi-3-metoksifenil)-1,4-pentadien-3-on (9). Di antara
senyawa tersebut, senyawa 1, 3, 4 dan 7 berpotensi untuk
-amyloid-insult yang dapat
melawan penyakit Alzheimer dengan ED50 0,5~10
mg/ml.4 M. Ohshiro dkk. (1990)5 dalam publikasinya
menyebutkan bahwa dari ekstrak MeOH rimpang kunyit,
selain kurkuminoid, telah diisolasi beberapa senyawa
kimia minor lainnya seperti kurkumenon (10),
dehidrokurdion (11), (4S,5S)-germakron-4,5-epoksida
(12), bisabola-3,10-diena-2-on (13), -turmeron (14),
bisakumol (15), bisakuron (16), kurkumenol (17),
isoprokurkumenol
(18),
zedoaronediol
(19),
prokurkumenol (20), epiprokurkumenol (21), germakron13-al (22), 4-hidroksi-bisabola-2,10-diena-9-on (23), 4,5-

dihidroksibisabola-2,10-diena
(24),
4-metoksi-5hidroksibisabola-2,10-diena-9-on
(25),
2,5O

dihidroksibisabola-3,10-diena (26), dan prokurkumadiol


(27).5

OH

R1

R2

HO

OH

R1=R2=OCH3 (1)
R1=OCH3; R2=H (2)
R1=R2=H (3)

OH

(4)

H3CO

OCH3
O

HO

H3CO

OCH3

HO

(5)

OH
O

R1

R1=R2=OCH3 (6)
R1=H; R2=OCH3 (7)
R1=R2=H (8)

R2

HO

OH
OH

H3CO

OCH3
(9)

HO

Gambar 1.

OH

Struktur kimia kurkumin dan turunannya hasil isolasi dari kunyit, Curcuma longa L.
O

O
O
(10)

(14)

(13)

(12)

(11)

OH
H

O
HO

OH

HO

OH
(17)

(15)

HO

HO

(21)

(20)

(22)

OH

CHO
(23)

OH

H
(19)

O
HO

H
(18)

(16)

OH
OH
(24)

O
O

OMe
(25)

Gambar 2.

OH
(26)

HO

OH
(27)

Struktur kimia seskuiterpen dan turunannya hasil isolasi dari kunyit, Curcuma longa L.

Jurnal Kimia Mulawarman Volume 9 No. 1, November 2011


Kimia F-MIPA Unmul

1.2. Aktivitas Curcuma longa L


a. Aktivitas anti peradangan
Beberapa hasil penelitian tentang aktivitas anti
peradangan oleh kunyit telah dipublikasikan.
Mukophadhyay dkk (1982)6 memperlihatkan bahwa
kurkumin dan senyawa semi-sintetik (natrium
kurkuminat, diasetil kurkumin, trietil kurkumin dan
tetrahidro kurkumin) mempunyai aktivitas antiinflamasi terhadap paw edema tikus yang diinduksi
oleh karagenin. Pada percobaan tersebut digunakan
asam ferulat dan fenilbutazon sebagai obat acuan.
Natrium kurkuminat ternyata paling potensial dan lebih
larut air dibandingkan kurkumin. Di antara derivat
kurkumin, trietil kurkumin adalah antiperadangan yang
paling potensial pada model peradangan kronis, bila
dibandingkan dengan senyawa lainnya dan obat acuan.
Pada kondisi peradangan akut, semua senyawa efektif
anti peradangan, sehingga dapat disimpulkan bahwa
aktivitas senyawa-senyawa yang digunakan dalam
percobaan tersebut tergantung pada kondisi
peradangannya.6 Arora dkk (1971)7 menyelidiki
aktivitas antiperadangan oleh ekstrak petroleum eter
rimpang kunyit pada hewan. Ekstrak tersebut ternyata
mengurangi pertumbuhan granuloma pada peradangan
kronis dan tidak memiliki efek toksik.7
Aktvitas farmakologi kurkumin sebagai zat
antiperadangan telah diuji juga oleh Srimal dan
Dhawan (1973)8. Dalam studi tersebut dilaporkan
bahwa senyawa kurkumin efektif pada model
peradangan akut dan kronis. Potensi kurkumin hampir
setara dengan fenilbutazon pada uji edema yang
diinduksi oleh karagenin, tapi hanya setengah dari
aktivitas fenilbutazon pada percobaan kronis.8
Chuang dkk (2000)9 menunjukkan bahwa
kurkumin pada konsentrasi 200 mg/kg atau 600 mg/kg
dapat secara efektif menghambat peradangan hati yang
diinduksi oleh dietilnitrosamin pada tikus.9 Aktivitas
kurkumin yang menarik lainnya juga diperlihatkan oleh
Park dkk. pada hepatotoksisitas akut yang diinduksi
dengan injeksi karbon tetraklorida secara i.p. pada
tikus. Hewan yang diperlakukan dengan kurkumin,
kerusakan hatinya dapat dihambat.10
b.

Aktivitas Antioksidan
Unnikrishnan dan Rao (1995)11 meneliti
aktivitas antioksidan kurkumin dan 3 senyawa
turunannya
(demetoksikurkumin,
bisdemetoksi
kurkumin dan diasetilkurkumin). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa senyawa tersebut pada 0,08 M
dapat melindungi hemoglobin dari oksidasi yang
diinduksi oleh nitrit, kecuali diasetilkurkuminyang
memperlihatkan sedikit efek dalam penghambatan
oksidasi hemoglobin.11
Rubi dkk. (1995)12 melaporkan bahwa di antara
ketiga
senyawa
utama
kurkuminoid,
yaitu
bisdemetoksikurkumin (3) mempunyai aktivitas
antioksidan paling tinggi dibandingkan dua senyawa
lainnya. Ketiga senyawa tersebut memperlihatkan

ISSN 1693-5616

aktivitas masing-masing IC50 terhadap peroksida lipida


50 terhadap superoksida
6,25; 4,25 dan 1,9 g/ml dan IC50 terhadap radikal
hidroksil 2,3; 1,8 dan 1,8 g/ml.12 Dalam kasus
kurkumin, gugus metoksi tampaknya memainkan peran
utama, dan sistem 1,3-diketon dari senyawa tersebut
mempunyai peran penting dalam menyumbang efek
ini. Sistem diketon adalah suatu ligan yang berpotensi
untuk pengikatan logam-logam seperti besi yang
digunakan dalam penelitian ini. Fakta lain
menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan meningkat
bila gugus fenolat dan gugus metoksi berada pada
posisi orto. Mekanisme aktivitas kurkumin masih
belum diketahui dengan baik.
c.

Aktivitas Antiprotozoa
Aktivitas kurkumin dan beberapa senyawa
turunannya terhadap tripanosomatid telah dipelajari
dalam bentuk promastigot (ekstra seluler) dan
amastigot (intraseluler) pada Leishmania amazonensis.
Hasil menunjukkan bahwa kurkumin secara in vitro
memiliki aktivitas dengan LD50
dan senyawa semi-sintetiknya yaitu metilkurkumin
memiliki aktivitas terbaik dengan LD50 < 5 g/ml
terhadap bentuk promastigot. Senyawa turunan ini diuji
secara in vivo pada mencit dan memperlihatkan
aktivitas yang baik sebagai antiprotozoa dengan
penghambatan sebesar 65,6%.13
d.

Aktivitas Nematosida
Minyak curcuma yang diuji terhadap
Paramecium caudatum (dengan variasi konsentrasi
antara 1 dalam 2000 hingga 1 dalam 5000)
menunjukkan bahwa Ciliata tersebut berubah menjadi
seperti lumpur dan akhirnya mati.14
e.

Aktivitas Antibakteri
Minyak curcuma juga telah diuji terhadap kultur
Staphylococcus albus, S.aureus dan Bacillus typhosus,
dan mampu menghambat pertumbuhan bakteri S. albus
dan S. aureus pada konsentrasi IC50
dalam
5000 ml.14
B. Shankar dan Murthy (1979)15 menyelidiki
aktivitas fraksi turmerik terhadap beberapa bakteri usus
secara in vitro. Hasilnya menunjukkan bahwa daya
hambat pertumbuhan total Lactobacilli adalah 4.5 - 90
alkohol, juga efektif
(10 bila menggunakan turmerik secara langsung yang
mempunyai daya hambat pertumbuhan bakteri S.
15
Aureus sebesar 2,5 f.

Aktivitas Antivenom
Fraksi C. longa yang mengandung ar-turmeron
ternyata juga mampu menetralkan aktivitas hemoragik
hemaorrhagic dan efek mematikan gigitan ular
terhadap mencit. Dalam penelitian ini ar-turmeron
mampu menghilangkan aktivitas hemoragik venom

Bothrops dan sekitar 70% efek mematikan venom


Crotalius.16

g.

Aktivitas Anti-HIV
Mazumber dkk (1995)17 memperlihatkan bahwa
kurkumin memiliki aktivitas antivirus dengan
menghambat HIV-1 integrase dengan IC50 = 40 M
dan disarankan agar senyawa turunan kurkumin juga
dapat dikembangkan sebagai obat anti AIDS. Data
menunjukkan bahwa kurkumin dapat menghambat
replikasi protein HIV-1 integrase.17 Eigner dan Scholz
(1999) melaporkan bahwa kurkumin mempunyai
aktivitas sebagai anti HIV-1 dan HIV-2 dan telah
mengajukan paten.18
h.

Anti tumor
Huang dkk. (1988)19 meneliti pengaruh
kurkumin, asam klorogenat, asam kafeat dan asam
ferulat terhadap promosi tumor pada kulit tikus yang
diperlakukan dengan 12-o-tetradekanoil-13-asetat
(TPA). Pengamatan menunjukkan bahwa semua
senyawa tersebut dapat menghambat epidermal ornitin
dekarbosilase (ODC) dan sintesis DNA epidermal,
namun kurkumin yang paling efisien.19
i.

Penyakit
yang
berhubungan
dengan
hepatoprotektor
1. Lambung
Serbuk
C.
longa
dilaporkan
mampu
meningkatkan kandungan mucin pada cairan lambung
kelinci yang berguna untuk melindungi lapisan mukosa
lambung terhadap iritasi. Bhatia dkk menunjukkan
aktivitas protektif Curcuma terhadap perlukaan
lambung yang diinduksi histamin. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa batas pemberian secara oral
adalah 100 mg/kg berat badan per hari selama 6 hari.20

Kiso dkk. (1983)21 dengan memantau GOT dan


GPT dalam hepatosit tikus yang dikultur dan diperoleh
kurkumin 1 mg/1 ml yang dapat menghilangkan CCl 4
dan menginduksi GOT sampai 53% dan GPT sampai
20% terhadap kontrol. Induksi D-galaktosamin yang
meningkatkan GPT dikurangi sampai 44% terhadap
kontrol.21
3. Empedu
Rampasad dan Sirsi (1957)22 meneliti efek
natrium kurkuminat pada sekresi empedu dari saluran
empedu terkanulasi pada anjing yang telah dibius.
Hasilnya
natrium
kurkuminat
menyebabkan
penyembuhan sampai 100% pada pemberian 25 mg/kg
secara intra vena.22
4. Studi farmakokinetik
Percobaan menggunakan tikus yang diberi
kurkumin secara oral telah dilakukan oleh Wahlstrom
dan Blennow (1978)23. Penelitian menunjukkan bahwa
senyawa tersebut pada dosis 1-5 g/kg yang diberikan
pada tikus, jelas tidak menimbulkan efek merugikan
apapun dan sekitar 75% dikeluarkan lewat feses dan
hasil ini juga terlihat pada urin. Kurkumin juga mampu
dieliminasi dari darah setelah pemberian secara
intravena dan dengan cepat dimetabolisme dalam
sirkulasi dan dibuang.23
5. Studi klinis
Literatur
juga
memperlihatkan
bahwa
pemberian serbuk C. longa pada beberapa pasien
berpenyakit pernafasan dapat memberikan hasil yang
lebih baik. Peneliti lainnya melaporkan pemberian
kurkumin 120 mg/hari secara oral selama 7 hari pada
18 pasien penderita arthritis reumatik dan
menunjukkan perkembangan penyembuhan yang nyata
pada pasien.24

2. Hati
B. KESIMPULAN
Berdasarkan literatur yang telah ditelaah di atas diperoleh bahwa kurkumin mempunyai aktivitas farmakologi
yang kuat serta bervariasi dan mempunyai efek samping yang sangat rendah.

DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Kurup, P.N.V., 1977. Studies on traditional Indian medicine, Handbook of Med. Plants vol. 1, Central Council for
Research in Indian Medicine and Homoephaty, p.1-10
Porkert, M., 1978. Pharmacology of traditional medicine plant in China, Pharmacologie 1 (1), p.23-8
Srinivasan, K. R., 1953. Composition of Curcuma longa, J. Pharm. Pharmacol. 5, p. 448
Park, S.Y., and Kim, D. 2002. Discovery of natural prducts from Curcuma longa that protect cells from betaamyloid insult: A drug discovery effect against Alzheimers disease, J. Nat. Prod. 65 (9), p. 27-30
Ohshiro, M., Kuroyanagi, M. and Ueno, A., 1990. Structures of sesquiterpenes from Curcuma longa, Phytochem.
29 (7), p. 2201-5
Mukophadhyay A., Basu, N., Ghatak, N, and Gujral, P. K. 1982. Anti-inflamantory and irritant activities of
curcumin analogues I rats. Agents and Actions 12, p. 508-12.

Jurnal Kimia Mulawarman Volume 9 No. 1, November 2011


Kimia F-MIPA Unmul

7.
8.
9.

10.
11.
12.
13.

14.
15.
16.

17.
18.
19.

20.
21.
22.
23.
24.

ISSN 1693-5616

Arora, R. B., Basu, ., Kapoor, V., and Jain, A.P. 1971. Anti-inflamantory studies on Curcuma longa (Turmeric),
Indian J. Med. Res. 59, p.1289 95
Srimal, R.C., Dhawan, B. N. 1973. Pharmacology of diferuloyl methane (curcumin), a non-steroidal antiinflammantory agent. J. Pharm. Pharmacol. 25, p.447-52
Chuang, S. E., Chen, A.L., Lin, J.K. 2000. Inhibition by curcumin of diethylnitro samine-induced hepatic
hyperplasia, inflammation, cellular gene products and cell-cycle related protein in rats. Food Chem. Toxicol. 38, p.
991 - 25
Park, E.J., C. H., Ko, G., Kim, j., and Sohn, D. 2000. Protective effect of curcumin in rat liver injury induced by
carbon tetracholide, J. Pharm. Pharmacol. 52, p. 437 - 40
Unnikrishnan, M. K., and Rao, R. 1995. Inhibition of nitrite induced oxidation of hemoglobin by curcuminoids.
Pharmazie 50, p. 490-492
Ruby, A.J., Khuttan, G., Babu, K. D., Rajasekharan, K. N., and Khuttan R., 1995. Anti-tumour and antioxidant
activity of natural curcuminoids, Cancer lett. 94 (1), p. 79 - 83
Aradjo C.A.C., Alegrio, L.V., Lima. M. E. F., Gomes-Cardoso, L., and Leon, L. L., 1999. Studies on the
effectiveness of diarylheptanoids derivatives against Leishmania amzonensis. Mem. Inst. Oswaldo Cruz. 94 p. 791
- 794
Chopra, G. N., Gupta, J.C., Chopra, G. S., 1941. Pharmacological action of the essential oil of Curcuma longa,
Indian J. Med. Res. 29, p. 769 - 72
Bhavani, S., Murthy, S. 1979. Effect of turmeric (Curcuma longai) fractions in the growth of some intestinal and
pathogenic bacteria in vitro, Indian J. Exp. Biol. 17, p. 1363 - 66
Ferreira, L.A.F., Henriques, O.B., Andreoni, A.A.S., Vital, G. R. F., Campos, M.M.C., Habermehl, G.G., and
Moraes, V/.L.G. 1982. Antivenom and biological effects of ar-turmerone isolated from Curcuma longa
(Zingeberaceae). Toxicon 30, p. 1211 - 1218
Mazumber, A., Rhagavan, K., Weinstein, J., Kohn, K. W., Pommer, Y. 1995. Inhibiton of human
immunodeficiency virus type-1 integrase by curcumin. Biochem. Pharmacol. 49, p.1165 - 1170
Eigner, D., Schol, D. 1999. Curcuma longa in traditional medicinal treatment and diet in Nepal, J. Etnopharmacol
67, p. 1 - 6
Huang, M. T., Smart, RC., Wong, C. Conney, A.H. 1988. Inhibitory effect of curcumin, chlorogenic acid, caffeic
acid and ferulic acid on tumor promotion in mouse skin by 12-O-tetradecanoylphorbol-13-acetate, Cancer Res. 48,
p. 5941 - 5946
Prasad, D.N., Gupta, B., Srivastava, R.K., Setyavati, G. V. 1976. Effect of high does of curcumin, Indian J.
Phisiol. Pharmacol. 20, p. 92
Kiso, Y. Suzuki, y., Watanabe, N., Oshima, N., and Hikino, H. 1983. The protective action of Curcuma longa,
Planta Medica 49, p. 184-87
Rampasad, C., and Sirsi, M. 1957. J. Sci. Ind. Research, 16C, p. 108 - 10
Wahlstroom, B., Blennow, G. 1978. Acta Pharmacol. Toxicol. 43, p. 87 - 92
Deodhar, S.D., Sethi, B., and Srimal, R. 1980. Indian J. Med. Res. 71, p .632 - 34

REDUKSI SILIKA DARI PASIR ALAM (QUARTZ SAND)


TANJUNG TIRAM MENJADI SILIKON
SILICA REDUCTION FROM QUARTZ SANDS
TANJUNG TIRAM TO SILICON
Andriayani*; Saur Lumban Raja dan Herlince Sihotang
Departemen Kimia FMIPA USU
E-mail: andrikim@yahoo.com; Hp: 08126411030

Abstrak
Telah dilakukan pemanfaatan sumber bahan galian non logam Golongan C yaitu pasir alam yang
terdapat di Pantai Belacan Kecamatan Tanjung Tiram Batu Bara Asahan Sumatera Utara. Setelah
dilakukan proses pemurnian pasir alam untuk mendapatkan silikanya dengan menambahkan asam-asam
pekat dan dilakukan proses pemfloatingan beberapa tahap menggunakan zat-zat pengumpul (collector)
diperoleh silika (SiO2) berwarna putih sebanyak 10,5 gram (70%). Hasil analisis XRD diperoleh peak
yang khas pada sudut (2) derajat pada area 28,015 dengan intensitas sebesar 100%, area 66,09 dengan
intensitas 5,2% dan pada area 67,629 dengan intensitas sebesar 97%. Hasil analisis data XRD
menggunakan program soft ware MDI Jade Versi 5.0.37 (Materials Data I XRD Pattern) diperoleh ukuran
partikel (grain size) silika sebesar 57,7394 nm. Untuk mendapatkan silikon (Si) dari produk silikanya
dilakukan reaksi reduksi menggunakan Magnesium Powder di dalam furnace pada suhu 750 0C selama 2
jam. Silikon murni diperoleh setelah dilakukan beberapa tahap proses lending (leaching) untuk
memisahkannya dari senyawa-senyawa lain seperti MgO, Mg2Si, Mg2SiO4 dan SiO2 yag tidak bereaksi.
Diperoleh produk silikon berupa padatan hitam keabu-abuan sebanyak 5 gram (50%). Hasil analisis XRD
diperoleh peak yang khas pada area 28, 567 dengan intensitas 100%, pada area 32, 445 dengan intensitas
32,445% dan 36,568 dengan intensitas 33,4%. Hasil analisis data XRD menggunakan program soft ware
MDI Jade Versi 5.0.37 (Materials Data I XRD Pattern) diperoleh ukuran partikel (grain size) silikon
sebesar 38,6645 nm.
Keywords : Pasir alam, silika, silikon, X-Ray Diffraction
A. PENDAHULUAN
Pengolahan bahan galian baik logam maupun
nonlogam sering mengalami beberapa masalah,
tantangan dan hambatan dalam pengembangannya.
Tetapi karena tersedianya bahan galian pada wilayah
yang luas dan belum dimanfaatkan merupakan prospek
yang baik dimasa yang akan datang. Propensi Sumatera
Utara di sepanjang pantai Timurnya (Serdang Bedagai,
Langkat dan Asahan) memiliki jutaan ton bahan galian
golongan C pasir kwarsa yang memiliki kandungan
utama silika (SiO2). Kandungan silika di dalam pasir
berbeda-beda tergantung pada wilayah demografinya.
Pasir kwarsa yang berasal dari Kecamatan Tanjung
Tiram Kabupaten Batubara memiliki komposisi
kandungan kimianya silika (72,92%), Fe2O3 (0,31%),
Na2O (1,59%), K2O (6,17%), CaO (2,81%), Al2O3
(14,73%)
dan
MgO
(0,65%)
(www.distampropsu.go,id). Untuk mendapatkan silika murni dari
pasir kwarsa perlu dilakukan beberapa tahap
pemisahan untuk menghilangkan oksida-oksida lain
yang bercampur dengan silika. Silika (SiO2) jika
diektraksi dapat menghasilkan silikon (Si).
Di alam silikon merupakan unsur peringkat
kedua setelah oksigen. Di lapisan kerak bumi sebanyak

95% silikon terdapat dalam bentuk mineral silikat,


lempung alumino-silikat atau silika. (Lee, 1994).
Silikon yang memiliki koordinasi empat dalam
keadaan transisinya dibandingkan unsur logam lain
silikon memiliki keunggulan disamping karena mampu
membentuk empat ikatan juga bersifat kurang
elektropositif. Hal ini menyebabkan unsur silikon
dalam senyawanya tahan terhadap serangan nukleofilik
sehingga memiliki sifat yang unik dan banyak
digunakan sebagai bahan material (Schubert dan
Husing, 2004).
Ada beberapa metode yang telah dilakukan
untuk mengekstraksi silikon dari silika diantaranya:
menggunakan reaksi elektokimia leburan kalsium
klorida pada suhu 9000C menggunakan pelet silika
berpori sebagai materialnya (Pistorius dan Fray, 2006),
mereduksi kuarsa secara karbotermal dalam furnace
listrik (Myrhaug at al, 2004; Xakalashe, dan Tangstad,
2011), mereduksi silika secara aluminotermal (Das, et
al, 2009), mereduksi silika secara kalsiotermal (Misra,
et al, 1985) dan mereduksi abu (fume) silika secara
magnesiumtermal (Sadique, 2010).
Silikon dapat diubah menjadi berbagai jenis
senyawa kimia dan turunannya seperti silikon hidrida,

Jurnal Kimia Mulawarman Volume 9 No. 1, November 2011


Kimia F-MIPA Unmul

silikon halida, silikon oksida, silikon sulfida dan


silikon nitrogen. Senyawa-senyawa tersebut memiliki
banyak manfaat (Simmler, 2005). Salah satu senyawa
silikon yang banyak digunakan adalah senyawa silikon
alkoksida (Si(OR)4) seperti tetraetilortosilikat (TEOS),
tetrametilortosilikat (TMOS). Senyawa-senyawa ini
merupakan prekursor yang baik yang sering digunakan
dalam sintesa material anorganik melalui reaksi
hidrolisa dan kondensasi (Schubert dan Husing, 2004).
Dalam laporan ini kami memanfaatkan pasir
alam yang ada di Sumatera Utara. Pertama sekali
memurnikan silika dari pasir dan selanjutnya
melakukan reduksi silika untuk menghasilkan silikon
(Si). Silikon yang diperoleh akan dimanfaatkan untuk
pembuatan senyawa silikon halida dan selanjutnya
akan diubah menjadi senyawa alkoksida.
B. METODOLOGI PENELITIAN
2.1. Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini
adalah: alat-alat glass, cawan logam, lumpang batu dan
alu, ayakan listrik, hotplate dan stirrer, timbangan,
sentrifuge, furnace, oven. Karakterisasi struktur kristal
dan fasa menggunakaninstrumen X-ray Diffraction
(XRD) merek PHILIP PW1710 sumber Cu(1,54
Amstrongs) dan dilakukan di Pusat Teknologi Bahan
Industri Nuklir (PTBIN), Badan Tenaga Nuklir
Nasional (BATAN), Serpong Tangerang, Indonesia.
2.2.

Bahan
Bahan yang digunakan: pasir alam (quartz sand)
asam sulfat pekat, asam oleat, asam linoleat, gliserol,
sorbitol, etilen diamin, asam klorida , asam fluorida,
magnesium powder, asam asetat, akuades, dan
deionized water. Pasir alam yang digunakan diambil
dari daerah Pantai Belacan, Kecamatan Tanjung Tiram
Kabupaten Batubara Sumatera Utara. Eksperimen
dilakukan di laboratorium Kimia Anorganik dan
laboratorium Kimia Analitik.
2.3. Prosedur Penelitian
2.3.1. Pemurnian Silika (SiO2) dari Pasir Alam Laut
Pasir alam (quartz sand) dibersihkan dari
pengotor organik seperti serpihan kayu-kayuan dan
kulit kerang. Kemudian pasir dicuci dengan air sambil
digosok-gosok berulang-ulang hingga bersih dan
diperoleh air cucian menjadi bening. Selanjutnya pasir
yang sudah bersih dijemur hingga kering.
Pasir digiling hingga (grinding) menggunakan
lumpang batu dan diayak menjadi ukuran partikel 120
mesh. Sampel pasir dipanaskan pada suhu 100-2500C
kemudian ditambah H2SO4/p dengan perbandingan (17 g asam untuk 100 g pasir) sambil di aduk selama 545 menit. Larutan panas yang diperoleh didiamkan dan
dicuci dengan akuades dan disetrifuge selama 5-10
menit. Kemudian dilakukan floating tahap pertama
dengan menambahkan HCl/p kurang lebih 10 ml
selanjutnya ditambah asam oleat (0,3-1 g untuk 1 kg

ISSN 1693-5616

pasir). Selanjutnya ditambah polialkohol gliserol dan


sorbitol dengan perbandingan (1:1) sebanyak 0,5-2
gram untuk 10 kg pasir. Campuran reaksi diaduk dan
dikocok dan selanjutnya dipisahkan. Padatan yang
diperoleh ditambahkan asam sulfat pekat (H2SO4/p)
dan diaduk selanjutnya ditambahkan senyawa etilen
diamin (1-5 g untuk 10 kg pasir) proses ini merupakan
tahap pemfloatingan yang kedua. Campuran reaksi
diaduk dan dikocok 5-20 menit. Selanjutnya
dipisahkan dan padatan yang diperoleh dicuci dengan
akuades dan dikeringkan. Dilakukan uji kualitatif
dengan menambahkan asam fluorida pekat. Padatan
yang kering dianalisa XRD.
2.3.2. Reduksi
SiO2
Menjadi
Silikon
(Si)
Menggunakan Magnesium Powder
Untuk mendapatkan silikon (Si), produk silika
(SiO2) yang dihasilkan dari pemurnian pasir alam
dicampur dengan magensium powder dengan
perbandingan (1:2) dan dimasukkan ke dalam wadah
yang terbuat dari logam. Diaduk hingga rata dan
ditutup dengan rapat. Kemudian dimasukkan ke dalam
furnace dan dipanaskan pada suhu 7500C selama 2 jam.
Setelah selesai pemanasan campuran reaksi
didinginkan dan dilakukan tahap pemurnian dan
pemisahan produk silikon (Si) hal ini disebabkan
karena ada kemungkinan terjadi senyawa-senyawa lain.
Proses lending (leaching) dilakukan secara tiga tahap,
tahap pertama produk ditambahkan larutan HCl (2M)
sambil diaduk dan dipanaskan pada suhu 30-600C
selama 1 jam. Setelah larut sempurna campuran reaksi
dipisahkan padatan yang diperoleh dicuci dengan
deionized water dan dikeringkan. Kemudian dilakukan
proses lending tahap kedua yaitu dengan
menambahkan campuran larutan HCl 2M dan larutan
CH3COOH 25%. Campuran diaduk pada suhu kamar
selama 1 jam setelah larut sempurna dilakukan
pemisahan dan padatan yang diperoleh dicuci dengan
deionized water dan dikeringkan. Selanjutnya
dilakukan proses lending (leaching) tahap ketiga.
Padatan ditambahkan asam fluorida (HF) 4,8% dan
asam asetat (CH3COOH) 25% dengan perbandingan
(1:1) campuran reaksi diaduk dan dipanaskan pada
suhu 60-700C selama 1 jam. Setelah larut sempurna
disaring dan padatan yang dihasilkan dicuci berulang
kali dengan deionized water. Pada tahap akhir padatan
dicuci dengan deionized water yang hangat kemudian
disaring dan padatannya dikeringkan. Produk silikon
(Si) yang diperoleh dikarakterisasi struktur dan fasa
kristalnya menggunakan X-Ray Diffraction (XRD).

C. HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1. Pemurnian SiO2 dari Pasir Alam
Setelah dilakukan pencucian berulang kali
diperoleh pasir kering yang berwarna kekuningan dan
bebas daribahan pengotor organik seprti serpihan
kayu-kayuan dan kulit kerang-kerangan. Pada tahap

pemurnian, setelah ditambah asam sulfat pekat


dihasilkan campuran berwarna hitam kecoklatan.
Dilakukan pencucian dengan akuades diperoleh filtrat
berwarna coklat dan padatan coklat muda. Kemudian
dilakukan pemfloatingan tahap pertama ditambah
asam klorida pekat dan penambahan asam oleat dan
campuran gliserol dan sorbitol (1:1). Setelah diaduk
dan dikocok diperoleh campuran yang terdiri dari
padatan berwarna kuning kecoklatan, filtrat berwarna
coklat dan terbentuk busa. Padatan coklat dipisahkan
dan ditambahkan campuran asam sulfat pekat dan asam

fluorida 4,8% (1:1). Dilakukan pemfloatingan tahap


kedua dengan menambahkan etilen diamin. Pada tahap
ini dihasilkan campuran padatan putih dan filtrat
kecoklatan, kemudian dipisahkan padatan putih dicuci
dengan akuades dan dikeringkan. Padatan putih
dikeringkan dan diperoleh sebanyak 70% silika (SiO2).
Uji kualitatif dengan menambahkan asam fluorida
pekat, padatan silika yang diperoleh larut dengan baik.
Produk silika (SiO2) yang diperoleh dari pasir alam
adalah pada Gambar 1.

Gambar 1. Silika (SiO2) setelah dimurnikan dari pasir


Padatan silika (SiO2) yang telah dimurnikan
dikarakterisasi menggunakan X-Ray Diffraction
(XRD) dan menghasilkan grafik pada Gambar 2. Peak-

peak maksimum hasil analisis XRD untuk struktur


kristal dari SiO2 yang diperoleh dari hasil pemurnian
pasir alam terdapat pada Tabel 1.

Gambar 2. Grafik Peak XRD SiO2 Hasil Pemurnian dari Pasir Alam
Tabel 1. Peak-peak X-Ray Diffraction Sampel SiO2 Hasil Pemurnian Pasir

Jurnal Kimia Mulawarman Volume 9 No. 1, November 2011


Kimia F-MIPA Unmul

Dari hasil karakterisasi menggunakan XRD diambil


tiga peak maksimum yaitu pada sudut (2) derajat
muncul pada area 28,015 dengan intensitas 100%,
kemudian pada area 66,09 dengan intensitas 5,2% dan
area 67,629 dengan intensitas 97%. Peak-peak tersebut
merupakan peak yang khas untuk senyawa Silika
(SiO2). Untuk mendapatkan ukuran partikel (grain
size) dari Silika (SiO2) yang diperoleh dilakukan
analisis data menggunakan soft ware menggunakan alat

ISSN 1693-5616

MDI Jade Versi 5.0.37 (Materials Data I XRD Pattern)


menggunakan data ASCI atau DAT. Dengan
mengambil tiga rata-rata peak yang muncul diperoleh
ukuran partikel silika (SiO2) sebesar 57,739 nm.
Adapun data keseluruhan untuk mendapatkan ukuran
partikel SiO2 seperti yang tertera pada tabel 2.

Tabel 2. Hasil Perhitungan Ukuran Partikel SiO2 Menggunakan Program Soft Ware

3.2.

Reduksi SiO2 Menjadi Silikon


Menggunakan Magnesium Powder

(Si)

Proses reduksi silika (SiO2) yang diperoleh dari


pemurnian pasir alam menggunakan Magenesium
Powder dengan perbandingan (1:2) di dalam furnace
pada suhu 7500C selama 2 jam. Produk reaksi berupa
campuran yang terdiri dari padatan putih, padatan abuabu dan padatan kehitam-hitaman.
Untuk mendapatkan silikon yang bebas dari
campuran produk lain seperti MgO, Mg2Si, Mg2SiO4
dan SiO2. Dilakukan proses lending (leaching) secara
tiga tahap. Pada tahap pertama dilakukan penambahan
larutan HCl 2M dan dipanaskan pada suhu 600C.
Setelah larut sempurna campuran dipisahkan dan
padatan dicuci dengan deionized water berulang kali,
padatan dikeringkan dan dihasilkan padatan abu-abu

Gambar 3.

kehitaman. Selanjutnya dilakukan lending (leaching)


tahap kedua dengan menambahkan larutan HCl 2M
dan CH3COOH 25% dengan perbandingan yang sama,
campuran dipisahkan dan padatan dcuci dengan
deionezed water dan dikeringkan diperoleh padatan
hitam keabu-abuan. Selanjutnya dilakukan dilakukan
proses lending tahap ketiga dengan menambahakan
larutan HF 4,8% dan CH3COOH 25% masing-masing
dengan perbandingan yang sama. Campuran reaksi
dipanaskan pada suhu 60-700C dan diaduk selama 1
jam. Campuran reaksi dipisahkan dan padatan dicuci
dengan deionized water berulang kali. Diperoleh
padatan hitam keabu-abuan dan dikarakterisasi
menggunakan instrumen X-Ray Diffraction (XRD).
Hasil padatan silikon (Si) yang diperoleh sebanyak
50% dan setelah dilakukan tiga tahap proses lending
(leaching) dapat dilihat pada Gambar 3.

Silikon (Si) Hasil Proses Leaching dan Pemurnian dari Reduksi SiO2 Menggunakan Magnesium Powder

Padatan silikon (Si) yang telah dimurnikan


dikarakterisasi menggunakan X-Ray Diffraction
(XRD) dan menghasilkan grafik seperti pada gambar 4.
Peak-peak maksimum hasil analisa X-Ray Diffraction

(XRD) untuk struktur kristal dari silikon (Si) yang


diperoleh dari hasil reduksi silika (SiO2) menggunakan
Magnesium Powder dapat dilihat pada tabel 3.

Gambar 4. Grafik Peak XRD Silikon (Si) Hasil Reduksi SiO2 Menggunakan Magnesium Powder
Tabel 3. Peak-peak X-Ray Diffraction Silikon (Si) Hasil Reduksi SiO 2 Menggunakan Magnesium Powder

Untuk mendapatkan ukuran partikel (grain


size) dari silikon (Si) dilakukan analisis data
menggunakan program soft ware dengan alat MDI Jade
Versi 5.0.37 (Materials Data I XRD Pattern)
menggunakan data ASCI atau DAT.

10

Dengan mengambil tiga rata-rata peak yang


muncul diperoleh ukuran partikel silikon (Si) sebesar
38,664 nm. Adapun data keseluruhan untuk
mendapatkan ukuran partikel silikon (Si) seperti yang
tertera pada tabel 4.

Jurnal Kimia Mulawarman Volume 9 No. 1, November 2011


Kimia F-MIPA Unmul

ISSN 1693-5616

Tabel 4. Hasil Perhitungan Ukuran Partikel Silikon (Si) Menggunakan Program Soft Ware

Sebagai data pembanding silikon (Si) yang


diperoleh dari pasir alam dapat dibandingkan dengan
produk silikon (Si) dan hasil data XRD yang telah
dilakukan oleh Sadique (2010).

D. KESIMPULAN
Telah dilakukan pemanfaatan sumber bahan
galian non logam Golongan C yaitu pasir laut yang
terdapat di Pantai Belacan Kecamatan Tanjung Tiram
Batubara Sumatera Utara.
1. Setelah dilakukan proses pemurnian pasir alam
untuk
mendapatkan
silikanya
dengan
menambahkan asam-asam pekat dan dilakukan
proses pemfloatingan diperoleh silika (SiO2)
berwarna putih sebanyak 10,5 gram (70%). Hasil
analisis XRD diperoleh peak yang khas pada sudut
(2) derajat pada area 28,015 dengan intensitas

sebesar 100%, area 66,09 dengan intensitas 5,2%


dan pada area 67,629 dengan intensitas sebesar
97%. Hasil analisis data XRD menggunakan
program soft ware diperoleh ukuran partikel (grain
size) silika sebesar 57,7394 nm.
2. Untuk mendapatkan silikon (Si) dari produk
silikanya dilakukan reaksi reduksi menggunakan
Magnesium Powder di dalam furnace pada suhu
7500C selama 2 jam. Silikon murni diperoleh
setelah dilakukan beberapa tahap proses lending
diperoleh produk silikon berupa padatan hitam
keabu-abuan sebanyak 5 gram (50%). Hasil analisis
XRD diperoleh peak yang khas pada area 28, 567
dengan intensitas 100%, pada area 32, 445 dengan
intensitas 32,445% dan 36,568 dengan intensitas
33,4%. Hasil analisis data XRD menggunakan
program soft ware diperoleh ukuran partikel (grain
size) silikon sebesar 38,6645 nm.

DAFTAR PUSTAKA
1. Das, K., Bandyopadhyay, T.K. and Das, S.,Review on the Various Synthesis Routes of TiC Reinforced Ferrous
Based Composite, J.of Mat. Sci., 37 (2002) 3881-3892
2. Lee, J.D.Concise Inorganic Chemistry, Fourth Edition, Champman & Hall, New York, 1994
3. Mishra, P., Chakraverty, A. And Banerjee, H.D.,Production and Purification of Silicone by Calcium Reduction of
Rice-rusk White Ash, Jouran of Material Science, 20 (1985) 4387-4391
4. Myrhaug, E.H., Tuset, J.K. and Tveit, H., Reaction Mechanisms Of Charcoal And Coke In The Silicon Process,
Proceedings: Tenth International Ferroalloys Congress; INFACON X: Transformation through Technology Cape
Town, South Africa, ISBN: 0-9584663-5-1 Produced by: Document Transformation Technologies, 1 4 February
2004
5. Pistorius, P.C. and Fray, D.J., Formation of silicon by electrodeoxidation, and implications for titanium metal
production, The Journal of The South African Institute of Mining and Metallurgy Volume 106 Refereed Paper
January 2006
6. Sadique, S. E. Production and purification of Silicone by Magnesithermic Reduction of Silica Fume, Thesis.
Departement Material Science and Engineering University of Toronto, 2010
7. Schubert, U., Husing, N. Synthesis of Inorganic Materials, Second Edition, Revised and Updeted Edition, WileyVCH Verlag GmbH & Co, KGoA, Weinheim, 2005, 308-309
8. Simmler, W., Silicon Compounds, Inorganic, Silicon Compounds, Inorganic 1, W., Bayer AG , Leverkusen,
Federal Republic of Germany, Wiley-VCH Verlag GmbH & Co. KGaA, Weinheim, 2005, 10.1002/14356007.a24
001
9. Xakalashe, B.S. and Tangstad, M., Silicon processing: from quartz to crystalline silicon solar cells, Southern
African Pyrometallurgy 2011, Edited by R.T. Jones & P. den Hoed,Southern African Institute of Mining and
Metallurgy, Johannesburg, 6-9 March 2011
10. (www.distam-propsu.go,id).

11

UJI FITOKIMIA DAN AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOL DAUN


BINAHONG (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) TERHADAP BAKTERI
Staphylococcus aureus DAN Escherichia coli
PHYTOCHEMICAL AND ANTIBACTERIAL ACTIVITY TEST OF ETHANOL
EXTRACT FROM BINAHONG LEAVES (Anredera cordifolia (Ten.)
Steenis) TO Staphylococcus aureus AND Escherichia coli BACTERIA
Subur P. Pasaribu, Erwin, dan Nandha Putri Wardani
Program Studi Kimia FMIPA Universitas Mulawarman, Jalan Barong Tongkok No. 4 Kampus Gunung Kelua

Samarinda, 75123
Abstract
Research about phytochemical and antibacterial activity test of various Anredera cordiloafilia (Ten.)
Steenis leaves fraction which taken from Samarinda, East Kalimantan has been done. Anredera
cordiloafilia (Ten.) Steenis leaves was extracted with ethanol then concentrated by rotary-evaporator. And
then, crude ethanol extract was fractionated by ethanol, n-hexane, chloroform, and ethyl acetate. Based on
phytochemical test, crude ethanol extract of Anredera cordiloafilia (Ten.) Steenis leaves have various
secondary metabolites which are alkaloids, flavonoids, phenols, saponins and steroids. N-hexane fraction
contains steroids. Chloroform fraction contains alkaloids, saponins, and steroids. Ethyl acetate fraction
contains flavonoids and saponins. Ethanol-water fraction contains phenols, flavonoids and saponins.
Antibacterial activity test was done by paper disk method with Staphylococcus aureus (positive Gram)
and Escherichia coli (negative Gram) bacteria. In this test, have shown that the most active fraction was
chloroform with minimum inhibitor concentration of 2% with clear zone diameter of 1.80mm on
Staphylococcus aureus bacteria and 2.30 mm on Escherichia coli bacteria.
Keywords : Anredera cordifolia (Ten.) Steenis, Phytochemical test, Antibacterial.

A. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu pusat
keragaman hayati dunia dan menduduki urutan kedua
terkaya didunia setelah Brazil. Di Indonesia
diperkirakan hidup sekitar 40.000 spesies tumbuhan
Spermatophyta, di mana dari seluruh spesies tumbuhan
tersebut diperkirakan sekurang-kurangnya 9.600
spesies tumbuhan berkhasiat obat dan baru kurang
lebih 300 spesies yang digunakan sebagai bahan obat
tradisional (Depkes RI, 2006).
Saat ini obat tradisional baik berupa jamu
maupun tanaman obat masih banyak digunakan oleh
masyarakat, terutama di kalangan menengah ke bawah.
Bahkan dari masa ke masa obat tradisional mengalami
perkembangan yang semakin meningkat, terlebih
dengan munculnya isu kembali ke alam serta krisis
yang berkepanjangan (Teny, 2007).
Salah satu tanaman obat tradisional yang
berkhasiat untuk obat yaitu tanaman Binahong
(Anredera cordifolia (Ten.) Steenis). Secara turun
temurun, tanaman Binahong (Anredera cordifolia
(Ten.) Steenis) dipercaya memiliki beragam khasiat
mulai dari penyakit ringan hingga penyakit berat.
Namun hingga kini belum ada penelitian khusus yang

12

menunjukkan kebenaran khasiat tanaman tersebut, baik


dengan uji praklinis maupun klinis (Anonim, 2010).
Menurut hasil penelitian yang telah dilakukan
oleh Rochani (2009) melakukan ekstraksi dengan cara
maserasi daun Binahong (Anredera cordifolia (Ten.)
Steenis) dengan menggunakan pelarut petroleum eter,
etil asetat dan etanol, ditemukan adanya kandungan
alkaloid, saponin dan flavanoid, sedangkan pada
analisisa secara KLT ditemukan senyawa alkaloid,
saponin dan flavanoid. Setiaji (2009) telah melakukan
ekstraksi pada rhizoma Binahong (Anredera cordifolia
(Ten.) Steenis) dengan pelarut etil asetat, petroleum
eter, dan etanol 70% di dapatkan senyawa alkaloid,
saponin, flavonoid dan polifenol. Selain itu juga
dijelaskan (Uchida, et al., 2003) bahwa di dalam daun
Binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) terdapat
aktifitas antioksidan, asam askorbat dan total fenol
yang cukup tinggi. Penelitian lain tentang uji aktivitas
ekstrak air dan kloroform akar Binahong (Anredera
cordifolia (Ten.) Steenis) terhadap bakteri Gram positif
(B. cereus, B. pumilus, B. subtilis dan S, aureus) serta
Gram-negatif (Enterobacter cloacae, Enterobacter
aerogenes) juga pernah dilakukan dan hasilnya
menunjukkan adanya penghambatan pertumbuhan

Jurnal Kimia Mulawarman Volume 9 No. 1, November 2011


Kimia F-MIPA Unmul

bakteri uji pada konsentrasi 6% dan tidak menghambat


bakteri B. cereus (Tshikalange et al., 2004).
Bagian tanaman Binahong (Anredera cordifolia
(Ten.) Steenis) yang bermanfaat sebagai obat
penyembuh luka bekas operasi, tipus, radang usus,
asam urat, disentri dan ambeien pada umumnya yaitu
rhizoma dan daun Binahong. Belum diketahui secara
pasti kandungan kimia Binahong (Anredera cordifolia
(Ten.) Steenis). Tanaman dengan genus sama yaitu
Anredera scandens (L) Mor telah diteliti mengandung
alkaloid, polifenol, dan saponin melalui skrening
fitokimia dengan tekhnik kromatografi lapis tipis
(Annisa dan Nurul, 2007). Beberapa jenis alkaloid,
saponin, flavonoid dan polifenol merupakan senyawa
yang berkhasiat sebagai antimikroba (Robinson,1995).
Berdasarkan uraian di atas, dilakukan penelitian
mengenai uji fitokimia dan aktivitas antibakteri ekstrak
etanol daun Binahong (Anredera cordifolia (Ten.)
Steenis) terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan
Escherichia coli.

B. METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian
ini
merupakan
penelitian
eksperimental laboratorium untuk membuktikan
adanya kemampuan antibakteri ekstrak daun Binahong
terhadap bakteri standar laboratorium. Bakteri gram
positif pada penelitian ini dilakukan pada
Staphylococcus aureus dan bakteri gram negatif.
Penelitian meliputi preparasi sampel, pembuatan
ekstrak, proses fraksinasi dengan menggunakan
beberapa pelarut (n-heksan, kloroform, etil asetat dan
etanol), uji fitokimia dan uji aktivitas antibakteri. Hal
pertama yang dilakukan adalah proses pengambilan
yang dilanjutkan dengan proses penyortiran, kemudian
pengeringan dan proses selanjutnya adalah proses
maserasi. Setelah dilakukan proses maserasi, ekstrak
yang didapat kemudian dipekatkan. Setelah diperoleh
ekstrak pekat, selanjutnya dilakukan proses ekstraksi
fraksinasi, proses ini dilakukan di laboratorium Kimia
Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Universitas
Mulawarman. Ekstrak dari proses maserasi kemudian

ISSN 1693-5616

dipekatkan kembali dengan menggunakan rotari


evaporator, maka diperoleh ekstrak pekat dari fraksi nheksan, kloroform, etil asetat dan etanol. Proses
selanjutnya yaitu uji fitokimia dan uji aktivitas
antibakteri, bakteri yang digunakan adalah bakteri
standar yaitu Staphylococcus aureus dan Escherichia
coli. Bakteri diperoleh dari koleksi Laboratorium
Mikrobiologi Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Mulawarman Bahan uji
yang digunakan adalah daun Binahong (Anredera
cordifolia (Ten.) Steenis). Sebelum digunakan
dilakukan determinasi terlebih dahulu di laboratorium
Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam Universitas Mulawarman. Uji kemampuan
antibakteri digunakan metode difusi agar. Bakteri
disiapkan dengan meregenerasi bakteri (bakteri di
inokulasikan kedalam 10 ml media agar miring dan
diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37C).
Selanjutnya setelah bakteri diinkubasi selama 24 maka
dilakukan pengujian bakteri dengan menggunakan
variasi konsentrasi 0, 2, 4, 6, 8, 10, 20, 30, 40 dan 50 %
pada ekstrak kasar dan fraksi dengan melakukan
pengulangan uji bakteri sebanyak 3 kali lalu diinkubasi
selama 24 jam.
Teknik Analisis data yang digunakan untuk uji
aktivitas antibakteri yaitu dengan cara mengukur
diameter daerah bening yang didapat dari variasi
konsentrasi ekstrak dan fraksi dengan menentukan
MIC (Minimum Inhibitory Concentration). Selanjutnya
hasil yang didapat dibandingkan dengan standar
kloramfenikol
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Uji Fitokimia
Berdasarkan hasil uji fitokimia yang telah
dilakukan terhadap ekstrak kasar etanol, fraksi nheksan, fraksi kloroform, fraksi etil asetat dan fraksi
etanol daun Binahong (Anredera cordifolia (Ten.)
Steenis) untuk mengetahui kandungan jenis senyawa
metabolit sekundernya, disajikan dalam Tabel 1
berikut ini:

Tabel 1. Hasil Uji Fitokimia dari ekstrak kasar dan ekstrak dari masing-masing fraksi
Jenis Senyawa
Jenis
Senyawa
Ekstrak Kasar Etanol
Fraksi n-Heksana Fraksi Kloroform Fraksi Etil Asetat
Alkaloid
+
+
+
Saponin
+
+
+
Steroid
+
+
+
Triterpenoid
Flavonoid
+
Fenolik
+
+
Keterangan: + = Mengandung senyawa metabolit sekunder
- = Tidak mengandung senyawa metabolit sekunder
Telah dilakukan uji fitokimia dari ekstrak kasar
dan dari masing-masing fraksi. Berdasarkan hasil uji
fitokimia senyawa metabolit sekunder daun Binahong

Fraksi Etanol
+
+
+

(Anredera cordifolia (Ten.)Steenis) menunjukkan


bahwa pada ekstrak kasar etanol mengandung senyawa
alkaloid, flavonoid, fenol, saponin dan steroid. Fraksi

13

n-heksana mengandung senyawa steroid dan fenolik.


Fraksi kloroform mengandung senyawa alkaloid,
saponin dan steroid. Fraksi etil asetat mengandung
senyawa saponin. Fraksi etanol-air mengandung
senyawa fenol, flvonoid dan saponin.

3.2.

Uji Aktivitas Antibakteri


Pada uji aktivitas antibakteri untuk dapat
melihat pengaruh konsentrasi pada ekstrak kasar etanol

dan beberapa fraksi dari daun Binahong (Anredera


cordifolia (Ten.) Steenis) terhadap pertumbuhan
bakteri, diberikan variasi konsentrasi 2%, 4%, 6%, 8%,
10%, 20%, 30%, 40% dan 50%. Ekstrak yang telah
divariasikan konsentrasinya kemudian diujikan
terhadap dua jenis bakteri yaitu Staphylococcus aureus
(Gram positif) dan Escherichia coli (Gram negatif).
Nilai diameter hambat dari kedua bakteri uji yang
diperoleh ditunjukkan pada Tabel 2 berikut ini.

Tabel 2. Hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak kasar etanol daun Binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis)
Diameter Zona Bening (mm)
Bakteri Uji
Ekstrak kasar etanol dengan variasi konsentrasi (%)
Antibiotik
Kontrol
Kloramfenikol
2
4
6
8
10
20
30
40
50
S. aureus
1,8
2,3
2,4
2,9
6,0
6,3
7,6
9,2
11,8
26,5
E. coli
2,3
3,7
4,5
7,6
8,7
10,1
10,3
10,9
13,1
37,0
Keterangan : (-) = Tidak ada zona bening
Pada ekstrak fraksi n-heksan diberikan variasi
konsentrasi yang sama yaitu 2%, 4%, 6%, 8%, 10%,

20%, 30%, 40% dan 50%. Nilai diameter hambat yang


diperoleh ditunjukkan pada Tabel 3 berikut ini.

Tabel 3. Hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak Fraksi n-heksan daun Binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis)
Diameter Zona Bening (mm)
Bakteri Uji
Ekstrak Fraksi Heksan dengan variasi konsentrasi (%)
Antibiotik
Kontrol
Kloramfenikol
2
4
6
8
10
20
30
40
50
S. aureus
26,5
E. coli
37,0
Keterangan : (-) = Tidak ada zona bening
Pada ekstrak fraksi kloroform diberikan variasi
konsentrasi yang sama yaitu 2%, 4%, 6%, 8%, 10%,

20%, 30%, 40% dan 50%. Nilai diameter hambat yang


diperoleh ditunjukkan pada Tabel 4 berikut ini.

Tabel 4. Hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak Fraksi kloroform daun Binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis)
Diameter Zona Bening (mm)
Bakteri Uji
Ekstrak Fraksi kloroform dengan variasi konsentrasi (%)
Antibiotik
Kontrol
Kloramfenikol
2
4
6
8
10
20
30
40
50
S. aureus
2
2,2
3,3
4,1
5,9
10,3
10,8
12,8
15,5
26,5
E. coli
2,4
2,9
4,3
5,8
7,5
8,3
13,7
16,4
19
37,0
Keterangan : (-) = Tidak ada zona bening
Pada ekstrak fraksi etil asetat diberikan variasi
konsentrasi yang sama yaitu 2%, 4%, 6%, 8%, 10%,

20%, 30%, 40% dan 50%. Nilai diameter hambat yang


diperoleh ditunjukkan pada Tabel 5 berikut ini.

Tabel 5. Hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak Fraksi etil asetat daun Binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis)
Diameter Zona Bening (mm)
Bakteri Uji
Ekstrak Fraksi etil asetat dengan variasi konsentrasi (%)
Antibiotik
Kontrol
Kloramfenikol
2
4
6
8
10
20
30
40
50
S. aureus
26,5
E. coli
37,0
Keterangan : (-) = Tidak ada zona bening
Pada ekstrak fraksi etanol diberikan variasi
konsentrasi yang sama yaitu 2%, 4%, 6%, 8%, 10%,

14

20%, 30%, 40% dan 50%. Nilai diameter hambat yang


diperoleh ditunjukkan pada Tabel 6 berikut ini.

Jurnal Kimia Mulawarman Volume 9 No. 1, November 2011


Kimia F-MIPA Unmul

ISSN 1693-5616

Tabel 6. Hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak fraksi etanol daun Binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis)
Diameter Zona Bening (mm)
Bakteri Uji
Ekstrak Fraksi etil asetat dengan variasi konsentrasi (%)
Antibiotik
Kontrol
Kloramfenikol
2
4
6
8
10
20
30
40
50
S. aureus
4,8
6,6
6,8
7,1
10,8
26,5
E. coli
6,5
9,4
10,1
12,2
13,9
37,0
Keterangan : (-) = Tidak ada zona bening
3.3.

Uji Aktivitas Antibakteri


Pada uji aktivitas antibakteri kali ini bakteri
yang digunakan adalah bakteri Staphylococcus aureus
dan Escherichia coli yang masing-masing mewakili
bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif.
Penggunaan kedua bakteri tersebut untuk mengetahui
spektrum dari senyawa antibakteri yang terkandung
dalam ekstrak kasar dan tiap fraksi dari daun Binahong
(Anredera cordifolia (Ten.) Steenis), dimana suatu
senyawa antibakteri dapat dikatakan berspektrum luas
apabila dapat menghambat pertumbuhan bakteri Gram
positif dan bakteri Gram negatif atau berspektrum
sempit apabila hanya menghambat pertumbuhan dari
salah satu bakteri tersebut. Berdasarkan uji aktivitas
antibakteri yang telah dilakukan didapatkan bahwa
pada fraksi n-heksan dan etil asetat tidak terdapat
aktivitas antibakteri hal ini dapat dilihat dari tidak
adanya zona bening yang terbentuk.
Dalam uji aktivitas antibakteri digunakan etanol
10% sebagai kontrol negatif serta antibiotik
kloramfenikol sebagai standar (kontrol positif).
Penggunaan etanol 10% disini adalah sebagai pelarut
untuk membuat variasi konsentrasi dalam pengujian
aktivitas antibakteri, alasan digunakan etanol 10%
adalah agar ekstrak yang akan divariasikan
konsentrasinya dapat larut sempurna, apabila
menggunakan air ditakutkan ekstrak yang bersifat non
polar tidak dapat larut sempurna dalam pelarut air
tersebut.
Sedangkan
penggunaan
antibiotik

kloramfenikol adalah sebagai pembanding untuk


mengetahui kekuatan antibakteri dari ekstrak kasar
serta beberapa fraksi dari daun tumbuhan Binahong
(Anredera cordifolia (Ten.) Steenis).
Pada Gambar 1 dapat dilihat hasil uji aktivitas
antibakteri untuk ekstrak kasar etanol terhadap bakteri
Staphylococcus aureus dan Escherichia coli dengan
menggunakan metode kertas cakram. Hasil uji aktivitas
antibakteri terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan
Escherichia coli dengan menggunakan metode difusi
cakram ditunjukkan pada grafik diatas, dapat dilihat
bahwa pada konsentrasi 2% ekstrak kasar etanol daun
Binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) telah
dapat menghambat pertumbuhan bakteri sehingga
terbentuknya zona bening disekitar kertas cakram,
dapat dilihat juga dimana semakin besar konsentrasi
maka semakin besar pula zona bening yang dihasilkan
oleh ekstrak kasar daun Binahong (Anredera cordifolia
(Ten.) Steenis), hal ini dapat dilihat pada Gambar 1
yang menunjukkan diameter zona bening ekstrak kasar
etanol terhadap bakteri Staphylococcus aureus mulai
dari konsentrasi 2, 4, 6, 8, 10, 20, 30, 40 dan 50%
berturut-turut 1,8; 2,3; 2,4; 2,9; 6; 6,3; 7,6; 9,2 dan 11,8
mm, sedangkan pada bakteri Escherichia coli mulai
dari konsentrasi 2, 4, 6, 8, 10, 20, 30, 40 dan 50%
berturut-turut 2,3; 3,7; 4,5; 7,6; 8,7; 10,1; 10,3; 10,9
dan 13,1 mm.

Gambar 1. Grafik aktivitas antibakteri pada ekstrak kasar etanol terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan
Escherichia coli.
Pada konsentrasi 2% ini zona bening yang
dihasilkan untuk bakteri Staphylococcus aureus adalah
sebesar 1,8 mm sedangkan untuk bakteri Escherichia
coli sebesar 2,3 mm. Maka dari hasil uji aktivitas
antibakteri ini didapat konsentrasi minimum dari kedua
bakteri ini adalah sebesar 2%.

Pada Gambar 2 dapat dilihat hasil uji aktivitas


antibakteri untuk fraksi kloroform terhadap bakteri
Staphylococcus aureus dan Escherichia coli dengan
menggunakan metode kertas cakram. Hasil uji aktivitas
antibakteri terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan
Escherichia coli dengan menggunakan metode difusi
cakram ditunjukkan pada grafik di atas, dapat dilihat

15

bahwa pada konsentrasi 2% ekstrak fraksi kloroform


daun Binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis)
telah dapat menghambat pertumbuhan bakteri sehingga
terbentuknya zona bening disekitar kertas cakram,
dapat dilihat juga dimana semakin besar konsentrasi
maka semakin besar pula zona bening yang dihasilkan
oleh ekstrak fraksi kloroform daun Binahong
(Anredera cordifolia (Ten.) Steenis), hal ini dapat
dilihat pada Gambar 2 yang menunjukkan diameter
zona bening ekstrak fraksi kloroform mulai dari
konsentrasi 2, 4, 6, 8, 10, 20, 30, 40 dan 50% berturut-

Gambar 2.

Grafik aktivitas antibakteri pada ekstrak fraksi kloroform terhadap bakteri Staphylococcus
aureus dan Escherichia coli

Pada Gambar 3 dapat dilihat hasil uji aktivitas


antibakteri untuk fraksi etanol terhadap bakteri
Staphylococcus aureus dan Escherichia coli dengan
menggunakan metode kertas cakram. Hasil uji aktivitas
antibakteri terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan
Escherichia coli dengan menggunakan metode difusi
cakram ditunjukkan pada grafik di atas, dapat dilihat
bahwa pada konsentrasi 2-8% ekstrak fraksi etanol
daun Binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis)
belum terlihat adanya aktivitas antibakteri dan pada
konsentrasi 10% baru terlihat aktivitas antibakteri
dengan melihat terbentuknya zona bening disekitar
kertas cakram, dapat dilihat juga dimana semakin besar
konsentrasi maka semakin besar pula zona bening yang
dihasilkan oleh ekstrak fraksi etanol daun Binahong

Gambar 3.

16

turut 2; 2,2; 3,3; 4,1; 5,9; 10,3; 10,8; 12,8 dan 15,5
mm, sedangkan pada bakteri Escherichia coli mulai
dari konsentrasi 2, 4, 6, 8, 10, 20, 30, 40 dan 50%
berturut-turut 2,4; 2,9; 4,3; 5,8; 7,5; 8,3; 13,7; 16,4 dan
19 mm. Pada konsentrasi 2% ini zona bening yang
dihasilkan untuk bakteri Staphylococcus aureus adalah
sebesar 2 mm sedangkan untuk bakteri Escherichia coli
sebesar 2,4 mm. Maka dari hasil uji aktivitas
antibakteri ini didapat konsentrasi minimum dari kedua
bakteri ini adalah sebesar 2%.

(Anredera cordifolia (Ten.) Steenis), hal ini dapat


dilihat pada Gambar 3 yang menunjukkan diameter
zona bening ekstrak fraksi etanol mulai dari
konsentrasi 2, 4, 6, 8, 10, 20, 30, 40 dan 50% berturutturut 0; 0; 0; 0; 4,8; 6,6; 6,8; 7,1 dan 10,8 mm,
sedangkan pada bakteri Escherichia coli mulai dari
konsentrasi 2, 4, 6, 8, 10, 20, 30, 40 dan 50% berturutturut 0; 0; 0; 0; 6,5; 9,4; 10,1; 12,2 dan 13,9 mm. Pada
konsentrasi 10% ini zona bening yang dihasilkan untuk
bakteri Staphylococcus aureus adalah sebesar 4,8 mm
sedangkan untuk bakteri Escherichia coli sebesar 6,5
mm. Maka dari hasil uji aktivitas antibakteri ini didapat
konsentrasi minimum dari kedua bakteri ini adalah
sebesar 10%.

Grafik aktivitas antibakteri pada ekstrak fraksi etanol terhadap bakteri Staphylococcus
aureus dan Escherichia coli.

Jurnal Kimia Mulawarman Volume 9 No. 1, November 2011


Kimia F-MIPA Unmul

Berdasarkan dari grafik di atas menunjukkan


bahwa ekstrak daun Binahong (Anredera cordifolia
(Ten.) Steenis) mempunyai daya hambat pada bakteri
Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. Hasil uji
aktivitas dari ekstrak kasar etanol tersebut diperoleh
konsentrasi terkecil sebesar 2% pada bakteri
Staphylococcus aureus dengan daya hambat sebesar
1,8 mm dan pada bakteri Escherichia coli dengan daya
hambat sebesar 2,3 mm. Pada fraksi kloroform
konsentrasi terkecil sebesar 2% bakteri Staphylococcus
aureus dengan daya hambat sebesar 2 mm dan pada
bakteri Escherichia coli dengan daya hambat sebesar
2,4 mm. Pada fraksi Etanol konsentrasi terkecil sebesar
10% bakteri Staphylococcus aureus dengan daya
hambat sebesar 4,8 mm dan pada bakteri Escherichia
coli dengan daya hambat sebesar 6,5 mm, sedangkan
pada fraksi n-heksan dan etil asetat tidak terbentuk
zona bening sehingga pada kedua fraksi ini tidak
adanya daya hambat terhadap bakteri gram positif
maupun bakteri gram negatif. Dengan demikian ekstrak
daun Binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis)
lebih kuat dalam menghambat pertumbuhan bakteri
Escherichia coli dibandingkan bakteri Staphylococcus
aureus. Hal ini menunjukkan bahwa bakteri gram
positif, pada umumnya lebih sulit untuk dihambat
pertumbuhannya daripada gram negatif, ini terjadi
karena adanya perbedaan struktur dinding sel antara
bakteri gram negatif dengan bakteri gram positif.
Dinding sel bakteri gram negatif merupakan struktur
berlapis dengan kandungan lipid yang tinggi dan hanya
dapat berpolimer hingga 10% sedangkan bakteri gram
positif mempunyai satu lapis yang tebal dan dapat
berpolimer hingga 50%.
Berdasarkan hasil yang diperoleh diketahui
bahwa pada uji aktivitas antibakteri menunjukkan
bahwa pada fraksi kloroform menghasilkan diameter
zona bening yang lebih besar dibandingkan dengan
ekstrak kasar etanol walaupun mengandung senyawa
metabolit sekunder yang lebih banyak dibandingkan
dengan fraksi kloroform dan fraksi etanol. Hal ini
kemungkinan disebabkan karena adanya kerja yang
tidak sinergis antar senyawa metabolit sekunder dalam
ekstrak kasar etanol dalam peranannya sebagai
antibakteri. Sedangkan pada fraksi kloroform
kebalikannnya walaupun pada fraksi ini mengandung
senyawa metabolit sekunder yang tidak sebanyak
ekstrak kasar etanol namun karena adanya sistem kerja
yang sinergis antar senyawa metabolit sekunder
sebagai antibakteri. Adanya aktivitas antibakteri
tersebut kemungkinan karena adanya aktivitas kerja
dari senyawa-senyawa metabolit sekunder yang
terkandung dalam ekstrak daun Binahong(Anredera
cordifolia (Ten.) Steenis) seperti alkaloid, flavonoid,
fenol dan triterpenoid.
Alkaloid diterpenoid yang diisolasi dari
tanaman memilki sifat antimikroba. Flavonoid
diketahui disintesis oleh tanaman yang responnya besar
terhadap
inveksi
mikroba
sehingga
tidak

ISSN 1693-5616

mengherankan jika senyawa flavonoid efektif secara in


vitro terhadap sejumlah mikroorganisme. Aktivitas
mereka kemungkinan disebabkan oleh kemampuannya
membentuk kompleks dengan protein ekstraseluler dan
terlarut dengan dinding sel. Flavonoid yang bersifat
lipofilik mungkin juga akan merusak membran
mikroba.
Katekol dan pirogalol merupakan fenol
terhidroksilasi yang bersifat toksik terhadap
mikroorganisme. Katekol memiliki dua gugus hidroksil
dan pirogalol memiliki tiga. Sisi dan jumlah gugus
hidroksil pada kelompok senyawa fenol diduga
memiliki hubungan dengan toksisitas relatif terhadap
mikroorganisme, dengan bukti bahwa hidroksilasi yang
meningkat menyebabkan toksisitas yang meningkat
pula.
Terpen atau terpenoid aktif terhadap bakteri.
Terpenoid yang disebut dengan petalostemumol
memperlihatkan aktivitas terhadap bakteri gram positif
dan bakteri gram negatif. Mekanisme kerja terpen
belum diketahui dengan baik dan diduga terlibat dalam
perusakan membran sel oleh senyawa lipofilik
terpenoid.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
ekstrak daun Binahong (Anredera cordifolia (Ten.)
Steenis) memiliki spektrum yang luas yang dapat
menghambat pertumbuhan bakteri. David Stout
mengemukakan bahwa antibakteri yang memiliki
daerah hambatan sebesar 20 mm atau lebih, dinyatakan
mempunyai kekuatan antibakteri yang sangat kuat, 1020 mm kuat, kemudian 5-10 mm sedang dan daerah
hambatan 5 mm atau kurang berarti lemah
(Ardiansyah, 2005). Dari data yang diperoleh dapat
diketahui bahwa ekstrak daun Binahong (Anredera
cordifolia (Ten.) Steenis) memberikan batas daerah
hambat efektif pada ekstrak kasar etanol dengan
diameter 11,83 mm pada konsentrasi 50% untuk
bakteri Staphylococcus aureus, dengan diameter 10,1
mm pada konsentrasi 20% untuk bakteri Escherichia
coli. Pada fraksi klororform dengan diameter 10,3 mm
pada konsentrasi 20% untuk bakteri Staphylococcus
aureus, dengan diameter 13,7 mm pada konsentrasi
30% untuk bakteri Escherichia coli. Pada fraksi etanol
dengan diameter 10,8 mm pada konsentrasi 50% untuk
bakteri Staphylococcus aureus, dengan diameter 10,1
mm pada konsentrasi 30% untuk bakteri Escherichia
coli. Sedangkan untuk fraksi n-heksan dan etil asetat
tidak menghasilkan zona bening. Batas daerah hambat
dinilai efektif apabila memilki diameter daya hambat
lebih kurang 10-20 mm.
Dari hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol
daun Binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis),
menunjukkan bahwa senyawa antibakteri yang
terkandung dalam ekstrak daun Binahong memiliki
sifat spektrum luas. Artinya ekstrak tersebut memiliki
kemampuan aktivitas antibakteri yang kuat terhadap
bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli

17

mendekati kemampuan antibakteri dari antibiotik


kloramfenikol.
2.
D. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.

Kandungan senyawa metabolit sekunder pada


hasil uji fitokimia yang dilakukan didapatkan
hasil ekstrak kasar mengandung alkaloid
flavonoid, fenol, saponin dan triterpenoid. Pada
fraksi n-heksan mengandung alkaloid, flavonoid
dan steroid. Pada fraksi kloroform mengandung
alkaloid, flavonoid, saponin dan triterpenoid.
Pada fraksi etil asetat mengandung fenol dan

3.

triterpenoid. Sedangkan pada fraksi etanol


mengandung alkaloid, saponin, triterpenoid dan
fenolik.
Berdasarkan hasil uji aktivitas antibakteri
menunjukkan bahwa ekstrak fraksi kloroform
yang paling aktif, sehingga mampu menghambat
petumbuhan bakteri Staphylococcus aureus dan
6,5 mm pada bakteri Escherichia coli.
Berdasarkan uji aktivitas antibakteri ekstrak daun
Binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis)
memberikan batas daerah hambat efektif pada
fraksi klororform dengan diameter 10,3 mm pada
konsentrasi 20% untuk bakteri Staphylococcus
aureus, dengan diameter 13,67 mm pada
konsentrasi 30% untuk bakteri Escherichia coli.

DAFTAR PUSTAKA
1. Anonim, 2010. Khasiat Binahong, (online) (http://www.journalbase.com, diakses pada tanggal 10 Agustus 2010).
2. Annisa ,Nurul.2007. Dikutip dari skripsi Uji Aktivitas Gel Ekstrak Etanol Daun Binahong (Anredera cordifolia
(Tenore) Steenis) Sebagai Penyembuh Luka Bakar pada Kulit Punggung Kelinci. Kelik Puryanto.Fak. Farmasi UM
Surakarta : 2009
3. Depkes RI. (2006). Kotranas. Jakarta : Depkes RI.
4. Etnjang, I. 2003. Mikrobiologi Dan Parasitologi Untuk Akademi Keperawatan Dan Sekolah Tenaga Kesehatan Yang
Sederajat. Bandung : Penerbit PT. Citra Aditya Bakti.
5. Gupte, S. 1990. Mikrobiologi Dasar. Edisi Ketiga. Jakarta : Penerbit Binarupa Aksara.
6. H, Raina M. (2011). Ensiklopedia Tanaman Obat Untuk Kesehatan. Yogyakarta : Absolut.
7. Jawetz, M. 2007. Mikrobiologi Untuk Profesi Kesehatan. Edisi 16 : Kokus penghasil Nanah. Jakarta : EGC, pp :
239-244
8. Lenny S. 2006. Senyawa terpenoida dan steroida. USU : Repository, pp: 5-15.
9. Pink A. 2004. Gardening for the Million. Project Gutenberg Literary Archive Foundation. (online)
(http://www.wikipedia.com, diakses pada tanggal 1 Januari 2011).
10. Rachmawati, S. 2007. Studi Makroskopi, dan Skrining Fitokimia Daun Anredera Cordifolia (Ten.) Steenis. Surabaya
: Fakultas Farmasi UNAIR Surabaya.
11. Robinson, T. 1995. Kandungan Kimia Organik Tumbuhan Tinggi. Bandung: ITB.
12. Rochani, N. 2009.Uji Aktivitas Antijamur Ekstrak Daun Binahong (Anredera cordifolia (Tenore) Steenis) Terhadap
Candida albicans Serta Skrining Fitokimianya. Surabaya: Fakultas Farmasi UMS Surakarta.
13. Setiaji, A. 2009. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Petroleum Eter, Etil Asetat dan Etanol 70% Rhizoma Binahong
(Anredera cordifolia (Tenore) Steenis) Terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923 dan Escherichia coli ATCC
11229 serta Skrining Fitokimianya. Surakarta : Fakultas Farmasi UMS Surakarta.
14. Uchida, S. 2003. Production of a digital map of the hazardous conditions of soil erosion for the sloping lands of
West Java, Indonesia using geographic information systems (GIS). JIRCAS. Indonesia.
15. Teny. 2007. Ramuan Obat Tradisional. Jakarta : Pustaka, pp : 4 5
16. Takwa, M. 12 Januari 2010. Bakteri. (online) (http://www.bakteri.com, diakses pada tanggal 4 Februari 2011).
17. Tshikalange, T.E. 2007. In Vitro Anti-HIV-1 Properties Of Ethnobotanically Selected South African Plants Used In
The Treatment Of Sexually Transmitted Diseases. University Of Pretoria. Journal Of Ethnopharmacology, 96,515519.
18. Waluyo, L.2005. Mikrobiologi Umum. Edisi Pertama. Malang : Penerbit UMM Press.

18

Jurnal Kimia Mulawarman Volume 9 No. 1, November 2011


Kimia F-MIPA Unmul

ISSN 1693-5616

POTENSI PENGEMBANGAN TUMBUHAN SARANG SEMUT SEBAGAI


ANTI KANKER SECARA IN VITRO
POTENTIAL OF DEVELOPMENT SARANG SEMUT AS A
ANTICANCER BY IN VITRO
Yanti Puspita Sari, Hetty Manurung dan Ratna Kusuma
Program Studi Biologi FMIPA Universitas Mulawarman, Jalan Barong Tongkok No. 4 Kampus Gunung Kelua

Samarinda, 75123
Abstract
Sarang semut (Myrmecodia tuberosa Jack) is one of original plant from Indonesia that use to treat sick
people since long time ago. Exploration for sarang semut continuously can reduce its population rapidly.
Tissue culture technic is one of alternative to overcome of it. It can produce a lot of seeds in short periods.
This study aims to determine the effect of different growth regulators on the formation of shoots (1 mg/l
GA3 combination with 1 mg/l, 2 mg/l 3 mg/l and 4 mg/l BAP) and roots (NAA and IBA 0 mg/l, 0.05 mg/l
dan 0.1 mg/l) on the plant explants ant nests plant (M. tuberosa) in vitro. This research used Completely
Randomized Design (CRD). If the treatment shows a significant effect, then followed by Duncan's
Multiple Range test Test (DMRT) at 5% level.
Results showed that the average number of shoots ever present in plant cotyledon explants ant nests on
the addition of 1 mg / l GA3 + 4 mg / l BAP is 7.00 shoots. While the highest number of roots present in
the treatment of interaction with NAA and IBA concentration of 0.1 mg / l NAA and 0.1 mg / l IBA with
an average number of roots is the root of 13.62.
Keywords: Ant nests plant (Myrmecodia tuberosa Jack), In Vitro, BAP (Benzyl Amino Purine), GA3
(Gibberelic acid), IBA (Indole Butiric Acid) and NAA (Naphthalene Acetic Acid)

A. PENDAHULUAN
Tumbuhan sarang semut (Myrmecodia tuberosa
Jack) merupakan tumbuhan asli Indonesia yang secara
tradisional telah lama digunakan oleh penduduk asli
untuk mengobati berbagai penyakit. Berdasarkan hasil
penelitian modern didapati bahwa tumbuhan sarang
semut mengandung senyawa aktif penting seperti
Flavanoid, Tanin, Tokoferol, Fenolik dan kaya berbagai
mineral yang sangat berguna sebagai antioksidan dan
anti kanker (Hendra, 2008; Subroto dan Saputro,
2008).
Dalam uji in vitro, terbukti bahwa sarang semut
ampuh mengatasi sel kanker. Yang membuktikan
keampuhan itu adalah Gui Kim Tran dari University
National of Hochiminch City dan koleganya seperti
Yasuhiro Tezuka, Yuko Harimaya, dan Arjun dari
Ranskota. Ketiga orang sejawat Gui itu bekerja di
Toyama Medical and Pharmaceutical University.
Ekstrak sarang semut tersebut bersifat antiproliferasi
terhadap 3 jenis kanker yang diujikan yaitu kanker
serviks, kanker paru, dan kanker usus. Kanker
mempunyai sifat proliferasi berarti pertumbuhan sel
yang amat cepat dan abnormal. Antiproliferasi berarti
menghambat proses perbanyakan sel itu (Ahkam,
2007).
Popularitas tumbuhan sarang semut yang
melambung karena khasiatnya sebagai tumbuhan obat
mengakibatkan banyak orang yang memburu tumbuhan

sarang semut di alam, sehingga kontinuitas produksi


dari alam menjadi terancam. Untuk itu perlu adanya
upaya penyediaan bibit tumbuhan sarang semut
tersebut. Pelestarian secara vegetatif dengan sistem
konvensional umumnya memerlukan waktu yang
cukup lama, oleh karena itu dibutuhkan suatu sistem
perbanyakan secara vegetatif yang lebih cepat dengan
hasil yang lebih banyak yakni dengan cara teknik
kultur jaringan (Hendaryono dan Wijayani, 1994).
Kultur jaringan adalah salah satu teknik
menumbuhkembangkan bagian tanaman baik berupa
sel, jaringan maupun organ ke dalam media tumbuh
sehingga terbentuk tumbuhan baru dalam kondisi yang
aseptik. Kelebihan dari teknik kultur jaringan yaitu
dapat memperbanyak tanaman yang sulit diperbanyak
secara konvensional. Selain itu perbanyakan tanaman
secara kultur jaringan tidak memerlukan tempat yang
luas, bibit yang dihasilkan seragam dan lebih sehat
serta memungkinkan dapat dilakukannya manipulasi
genetik (Yusnita, 2003).
Keberhasilan penggunaan komposisi auksin dan
sitokinin pada family Rubiaceae telah dilaporkan oleh
Triatminingsih (1993) yang menyatakan bahwa
penggunaan 0,5 mg/l BA + 1 mg/l GA3 mampu
menginduksi tunas pada eksplan Garcinia mangostana.
Riyadi dan Tahardi (2005) dengan kombinasi NAA dan
IBA masing-masing 0,05 ml/l mampu menginduksi
akar Cinchona succirubra.

19

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka akan


dilakukan penelitian untuk mengetahui komposisi zat
pengatur tumbuh yang sesuai untuk dapat menginduksi
tunas dan perakaran tumbuhan sarang semut
(Myrmecodia tuberosa Jack) dari sumber eksplan yang
berbeda.
B. METODOLOGI PENELITIAN
Alat yang digunakan adalah laminar air flow
cabinet, autoclave, incubator, timbangan analitik, pH
meter, hot plate, pipet tetes, botol kultur, cawan petri,
erlenmeyer, labu ukur, beaker glass, magnetic stirer,
spatula, pinset, scalpel dan mata pisau, aluminium foil,
karet, lampu spiritus, corong dan alat tulis. Bahan yang
digunakan adalah biji tumbuhan sarang semut
(Myrmecodia tuberosa Jack) media MS (Murashige
dan Skoog), alkohol 70 %, larutan bayclin 30 %, 20 %,

Gambar 1.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1. Pertumbuhan Biji Tumbuhan Sarang Semut
Biji tumbuhan sarang semut yang ditanam
dalam MS0 rata-rata mulai berkecambah pada hari ke
7 setelah tanam. Ini terlihat dari munculnya tunas pada
biji dan menghasilkan tumbuhan utuh pada hari ke 60
(Gambar 1).

Perkecambahan biji tumbuhan sarang semut pada media MS0; a = umur 7 Hari; b = Umur 60 Hari.

Perkecambahan pada biji tumbuhan sarang


semut diduga karena terdapatnya cadangan makanan
(endosperm). Menurut Abidin (1991), perkecambahan
adalah proses pertumbuhan embrio dan komponenkomponen biji yang mempunyai kemampuan untuk
tumbuh secara normal menjadi tumbuhan baru.
Ditambahkan oleh Jacobsen et al. (1995) dalam Sari
(2008) bagian biji yang bersifat embrionik dan banyak
mengandung cadangan makanan akan menghasilkan
giberelin yang akan merangsang sel-sel pada lapisan
luar endosperm untuk mensistesis dan mensekresi amilase serta enzim hidrolase lainnya. Enzim-enzim
tersebut berfungsi mendegradasi pati dan cadangan
makanan lain pada endosperm guna menghasilkan
nutrisi untuk perkembangan kecambah. Apabila
senyawa-senyawa organik cukup, maka kecambah
normal akan terbentuk yang dilanjutkan dengan
pembentukan tunas.
Tumbuhan sarang semut yang telah berumur 60
hari, selanjutnya digunakan sebagai sumber eksplan
untuk ditanam pada media perlakuan. Sumber eksplan
yang digunakan adalah batang dan kotiledon.

20

10 %, fungisida Dithane M-45 dan bakterisida Agrept


20-WP, detergen, betadine, gula, agar, aquadest, zat
pengatur tumbuh NAA, IBA, BAP dan GA3, NaOH 0,1
N dan HCl 0,1 N.
Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium
Kultur jaringan, jurusan Biologi, FMIPA, UNMUL,
Samarinda. Tahapan penelitian adalah sterilisasi alat,
pembuatan media, penanaman, pengamatan dan analisa
data

3.2. Induksi Tunas


3.2.1. Eksplan Batang
Tunas yang muncul pada eksplan batang,
berasal dari kalus yang sudah mengalami
organogenesis. Tunas terbentuk mulai dari 11 12
MST. Pada eksplan batang tumbuhan sarang semut,
kalus yang bisa menghasilkan tunas adalah yang
berwarna hijau kecoklatan dan tekstur kompak.
Menurut Purnamaningsih (2006) keseimbangan nutrisi
dalam media tumbuh sangat mempengaruhi
pertumbuhan
kalus
maupun
diferensiasinya
membentuk tunas. Ditambahkan Wattimena et al.
(1992) morfogenesis eksplan tergantung kepada
keseimbangan auksin dan sitokinin di dalam media dan
interaksi antara zat pengatur tumbuh endogen di dalam
tumbuhan dan zat pengatur tumbuh eksogen yang
diserap oleh media tumbuh.
Hasil sidik ragam pada umur 12 MST
menunjukkan bahwa pemberian zat pengatur tumbuh
BAP, dan GA3 berpengaruh nyata terhadap
pertumbuhan rata-rata jumlah tunas pada eksplan
batang. Rata-rata jumlah tunas terbanyak terdapat pada
komposisi perlakuan P2 yang menghasilkan 1,16 tunas,
sedangkan pada komposisi perlakuan P3 belum mampu
menghasilkan tunas (Tabel 1).

Jurnal Kimia Mulawarman Volume 9 No. 1, November 2011


Kimia F-MIPA Unmul

ISSN 1693-5616

Tabel 1. Pengaruh komposisi GA3 dan BAP terhadap rata-rata jumlah tunas tumbuhan sarang semut pada eksplan
batang umur 12 MST.
Perlakuan
Jumlah Tunas
P1
0,66b
P2
1,16b
P3
0,00a
P4
1,00b
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT
taraf 5%. (DMRT = 0,53).
P1 = 1 mg/l GA3 + 1 mg/l BAP
P2 = 1 mg/l GA3 + 2 mg/l BAP
P3 = 1 mg/l GA3 + 3 mg/l BAP
P4 = 1 mg/l GA3 + 4 mg/l BAP
Komposisi perlakuan P2 menghasilkan rata-rata
jumlah tunas terbanyak (Gambar 2). Hal ini
dikarenakan komposisi zat pengatur tumbuh tersebut
merupakan komposisi yang paling sesuai dalam
merangsang pembentukan tunas. Diantara 3 zat
pengatur tumbuh yang ditambahkan, zat pengatur
tumbuh BAP paling berpengaruh dalam pembentukan

tunas. Wattimena et al. (1992) menyatakan bahwa


sitokinin di dalam kultur jaringan berperan dalam
proliferasi tunas.
Komposisi perlakuan P3 tidak menghasilkan
tunas. Hal ini diduga konsentrasi pemberian komposisi
zat pengatur tumbuh tidak sesuai dan belum mampu
merangsang pembentukan tunas.

Gambar 2. Perlakuan jumlah tunas terbanyak P2 pada eksplan batang


3.2.2. Eksplan Kotiledon
Tunas yang muncul pada eksplan kotiledon,
berasal dari kalus yang sudah mengalami
organogenesis. Tunas terbentuk mulai dari 7 12 MST.
Pada eksplan kotiledon tumbuhan sarang semut, kalus
yang bisa menghasilkan tunas adalah yang berwarna
hijau dan kuning-hijau dengan tekstur remah.

Hasil sidik ragam pada umur 12 MST


menunjukkan bahwa pemberian zat pengatur tumbuh
BAP dan GA3 berpengaruh nyata terhadap
pertumbuhan rata-rata jumlah tunas pada eksplan
kotiledon. Rata-rata jumlah tunas terbanyak terdapat
pada perlakuan P4 yang menghasilkan 7,00 tunas,
sedangkan pada perlakuan P1 belum mampu
menghasilkan tunas.

Tabel 2. Pengaruh komposisi GA3 dan BAP terhadap rata-rata jumlah tunas tumbuhan sarang semut pada eksplan
kotiledon umur 12 MST.
Perlakuan
Jumlah Tunas
P1
0,00a
P2
3,00b
P3
2,33b
P4
7,00c
Ket: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT taraf 5%.
(DMRT = 0,91).
Komposisi perlakuan P4 menghasilkan rata-rata
jumlah tunas terbanyak (Gambar 3). Hal ini diduga
pengaruh konsentrasi BAP dalam komposisi zat
pengatur tumbuh tersebut mampu merangsang
pembentukan tunas dan konsentrasi BAP sebanyak 4
mg/l adalah konsentrasi yang paling sesuai merangsang
pembentukan tunas terbanyak pada eksplan kotiledon.

Gunawan (1995) menyatakan bahwa BAP termasuk


kelompok sitokinin yang banyak digunakan untuk
inisiasi tunas pada berbagai jenis tumbuhan. Hal ini
didukung pula oleh Yusnita (2003) yang menyatakan
bahwa penggunaan zat pengatur tumbuh sitokinin
mampu menumbuhkan dan menggandakan tunas-tunas

21

aksilar atau merangsang tumbuhnya tunas-tunas


adventif.
Komposisi perlakuan P1 menghasilkan rata-rata
jumlah tunas terendah. Hal ini diduga komposisi

Gambar 3.

perlakuan zat pengatur tumbuh yang diberikan belum


mampu bekerja sama dengan hormon endogen untuk
merubah sel kalus membentuk organ tunas.

Perlakuan jumlah tunas terbanyak P4 pada eksplan kotiledon.

3.2.3. Perakaran
Berdasarkan hasil sidik ragam pada umur 12
minggu setelah tanam (MST), menunjukkan bahwa
pemberian zat pengatur tumbuh NAA dan interaksi
NAA dan IBA berpengaruh nyata terhadap rata-rata

pertambahan jumlah akar eksplan tanaman sarang


semut, sedangkan pemberian ZPT IBA tidak
berpengaruh nyata. Rata-rata pertambahan jumlah akar
yang dihasilkan dapat dilihat pada tabel 5 di bawah ini:

Tabel 3. Pengaruh perlakuan zat pengatur tumbuh NAA dan IBA terhadap rata-rata pertambahan jumlah akar eksplan
tanaman sarang semut umur 12 MST.
Perlakuan NAA dan IBA
Rata-rata jumlah akar
P0B0 (kontrol)
2,75a
P1B0 (0.05 mg/l NAA)
10,50b
P2B0 (0.1 mg/l NAA)
9,25b
P0B1 (0.05 mg/l IBA)
5,62tn
P0B2 (0.1 mg/l IBA)
6,50tn
P1B1 (0.05 mg/l NAA + 0.05 mg/l IBA)
13,12b
P1B2 (0.05 mg/l NAA + 0.1 mg/l IBA)
8,37a
P2B1 (0.1 mg/l NAA + 0.05 mg/l IBA)
7,50a
P2B2 (0.1 mg/l NAA + 0.1 mg/l IBA)
13,62b
Ket: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT
taraf kepercayaan 95%.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa dari
keseluruhan perlakuan yang diberikan zat pengatur
tumbuh NAA dan IBA serta interaksi NAA dan IBA
diketahui rata-rata pertambahan jumlah akar terbanyak
terdapat pada perlakuan (P2B2) 0,1 mg/l NAA + 0,1
mg/l IBA yaitu 13,62 akar. Hal ini diduga karena
interaksi zat pengatur tumbuh NAA dan IBA masingmasing (0,1 mg/l) merupakan konsentrasi yang optimal
untuk dapat menginduksi akar tanaman sarang semut.
Menurut Lakitan (1995) IBA dapat dikombinasikan
dengan NAA dengan perbandingan 1:1. Ditambahkan
Salisbury dan Ross (1992) NAA dan IBA sama-sama
berperan pada proses pembelahan dan pembesaran sel
terutama diawal pembentukan akar. Apabila NAA dan
IBA diberikan dengan konsentrasi yang seimbang
justru akan meningkatkan pertumbuhan jumlah akar
karena fungsinya saling melengkapi. Sesuai dengan
pernyataan Pierik dalam Avivi dan Ikrarwati (2004)
bahwa auksin dalam konsentrasi tertentu, baik
diberikan secara sendiri atau dalam bentuk kombinasi

22

dapat merangsang pembentukan akar adventif dari


jaringan tanaman. Gasper et al. (1996) menyatakan
bahwa auksin sangat diperlukan dalam pertumbuhan
organogenesis termasuk dalam pembentukan akar.
Hasil ini sesuai juga dengan penelitian Riyadi dan
Tahardi (2005) yang menghasilkan jumlah akar
terbanyak pada tanaman Cinchona succirubra dengan
penambahan NAA dan IBA.
Pengaruh fisiologis auksin (NAA dan IBA)
terbukti dapat meningkatkan perakaran. Mekanisme
kerja auksin dalam pembentukan akar adalah akan
memperlambat timbulnya senyawa-senyawa dalam
dinding sel yang menyebabkan dinding sel menjadi
lebih elastis. Akibatnya sitoplasma lebih mudah untuk
mendorong dinding sel ke arah luar dan memperluas
volume sel. Selain itu, auksin menyebabkan terjadinya
pertukaran antara ion H+ dengan ion K+. Ion K+ akan
masuk ke dalam sitoplasma dan memacu penyerapan
air
ke
dalam
sitoplasma
tersebut
untuk
mempertahankan tekanan turgor dalam sel, sehingga

Jurnal Kimia Mulawarman Volume 9 No. 1, November 2011


Kimia F-MIPA Unmul

sel mengalami pembengkakan/pembesaran (Anonim,


2011). Salisbury dan Ross (1992) menambahkan
bahwa auksin (NAA dan IBA) mengakibatkan sel
penerima mengeluarkan H+ ke dinding sel primer yang
mengelilinginya dan menurunkan pH sehingga terjadi
pengunduran dinding sel dan pertumbuhan yang cepat.
Pengunduran dinding sel ini akan meningkatkan
penyerapan air dan unsur hara pada media lebih
optimal yang akan digunakan ke dalam proses
pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Pada pemberian zat pengatur tumbuh NAA,
rata-rata pertambahan jumlah akar terbanyak terdapat
pada perlakuan (P1B0) 0,05 mg/l NAA yaitu 10,50
akar. Hal ini diduga karena pada konsentrasi 0,05 mg/l
NAA eksplan mampu merespon zat pengatur tumbuh
eksogen yang diberikan. Menurut George and
Sherrington (1984) bahwa NAA merupakan golongan
auksin yang sering digunakan untuk menginduksi
pembentukan akar dalam kultur.

ISSN 1693-5616

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa


pemberian zat pengatur tumbuh IBA tidak memberikan
pengaruh yang nyata terhadap rata-rata pertambahan
jumlah akar eksplan tanaman sarang semut. Hal ini
diduga karena pemberian zat pengatur tumbuh IBA
dengan konsentrasi yang rendah antara 0-0,1 ppm
belum efektif untuk merangsang pertumbuhan akar
tanaman sarang semut, sehingga perlu penambahan zat
pengatur tumbuh IBA dengan konsentrasi yang lebih
tinggi untuk dapat menghasilkan perakaran yang lebih
baik. Menurut Zear dan Mapes dalam Santoso, dkk
(2004) bahwa yang diabsorbsi tanaman akan
tergantung pada konsentrasi yang diberikan dan akan
menentukan pembelahan sel. Hal ini sesuai dengan
penelitian Santoso, dkk (2004) dengan pemberian ZPT
IBA pada konsentrasi yang rendah (0,5 ppm IBA)
menghasilkan jumlah akar terendah pada tanaman C.
succirubra secara In vitro.

Gambar 4. Jumlah akar terbanyak pada perlakuan : 0,1 mg/l NAA + 0,1 mg/l IBA yaitu 13,62 akar.

D. KESIMPULAN
Komposisi ZPT terbaik untuk jumlah tunas
terbanyak terdapat pada eksplan kotiledon yaitu 1 mg/l
GA3 + 4 mg/l BAP dengan jumlah 7,00 tunas,
sedangkan untuk jumlah akar hasil penelitian
menunjukkan bahwa rata-rata jumlah tunas terbanyak

terdapat pada eksplan kotiledon tumbuhan sarang


semut pada penambahan 1 mg/l GA3 + 4 mg/l BAP
yaitu 7,00 tunas. Sedangkan jumlah akar terbanyak
terdapat pada perlakuan interaksi NAA dan IBA
dengan konsentrasi 0,1 mg/l NAA dan 0,1 mg/l IBA
dengan rata-rata jumlah akar adalah 13,62 akar.

DAFTAR PUSTAKA
1. Anonim. 2011. Peranan Auksin Terhadap Perakaran Auksin. http/www.peranan auksin terhadap perakaran. Diaskes
Tanggal 7 November 2011.
2. Abidin, Z. 1993. Dasar-Dasar Pengetahuan tentang Zat Pengatur Tumbuh. Bandung: Angkasa.
3. Ahkam. 2007. Obat Alternatif : Sarang Semut Penakluk Penyakit maut. http://www.bdb.ilusa.net. Diakses tanggal 3
November 2008.
4. Avivi, S. dan ikrarwati. 2004. Jurnal Mikropropagasi Pisang Abaca (Musa textillis Nee) Melalui Teknik Kultur
Jaringan. Ilmu Pertanian Vol. 10 No. 2 : 27-34.
5. Gasper, T., Keverrs, C., Penel, H., Greppin, D. M. Reid. and Thorpe, T.A. 1996. Plant Hormones and Pland Growth
Regulator in Plant Tissue Culture. In Vitro Cell Dev. Biol. Plant 32: 272-289.
6. George, E.F and P.D Sherrington. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture (Handbook and Directory of
Commercial Laboratories). England: Eastern Press, Reading.
7. Gunawan L.W. 1995. Teknik Kultur In Vitro dalam Hortikultura. Jakarta : Penebar Swadaya.
8. Hendra. 2008. Tentang Sarang Semut. http://iqraherba.blogspot.com/2008/08. Diakses tanggal 3 November 2008.

23

9. Hendaryono, D.P.S. dan A. Wijayani. 1994. Teknik Kultur Jaringan. Yogyakarta : Kanisius.
10. Lakitan, B. (1995). Holtikultura Teori Budi Daya Dan Pasca Panen. Raja Grafindo : Jakarta.
11. Purnamaningsih, R. 2006. Induksi Kalus dan Optimasi Regenerasi Empat Varietas Padi Melalui Kultur In Vitro.
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian. Bogor.
12. Riyadi, I dan Tahardi, J.S. 2005. Jurnal Pengaruh NAA dan IBA terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan
Tunas Kina (Cinchona succirubra). Balai penelitian Bioteknologi Pertanian. Vol. 10 No. 2.
13. Salisbury, F. B dan Ross, C. W. 1992. Fisiologi Tumbuhan Jilid 3 Edisi Bahasa Indonesia. Bandung. Penerbit
ITB Press.
14. Sari, F.W. 2008. Pengaruh BAP (Benzil Amino Purin) Terhadap Inisiasi Tunas Kantung Semar (Nepenthes
reindwartiana Miq.) Secara In Vitro. Skripsi Sarjana Bidang Biologi, Universitas Mulawarman. Samarinda.
15. Santoso, J., Mathius, N. T., Sastraprawira, U., Suryatmana, G., dan Saodah, D. (2004). Jurnal Perbanyakan
Tanaman Kina Cinchona ledgeriana Moens. dan C. Succirubra Pavon Melalui Penggandaan Tunas Aksiler.
Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia. Bogor. Menara Perkebunan : 72 (1). 11-27
16. Subroto, M. A dan Saputro, H. 2008. Gempur Penyakit Dengan Sarang Semut. Jakarta: Swadaya.
17. Triatminingsih. 1993. Aktifitas Penelitian dalam Kultur Jaringan. http://dinyunita-kuljar.com. Diakses tanggal 5
November 2008.
18. Wattimena, G.A., Gunawan, L.W., Mattjik, N.A., Syamsudin, E., Wiendi, N.M.A. dan Ernawati, A. 1992.
Bioteknologi Tumbuhan. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Pusat Antar Universitas Bioteknologi Institut Pertanian Bogor.
19. Yusnita. 2003. Kultur Jaringan Cara Memperbanyak Tumbuhan Secara Efisien. Jakarta: Agromedia Pustaka.

24

Jurnal Kimia Mulawarman Volume 9 No. 1, November 2011


Kimia F-MIPA Unmul

ISSN 1693-5616

MODIFIKASI DAN KARAKTERISASI


ADSORBEN TANAH DIATOMAE-2-MERKAPTOBENZOTIAZOL
MODIFICATION AND CHARACTERIZATION OF ADSORBENT DIATOMAE2-MERKAPTOBENZOTIAZOL SOIL
Titik Andriani, Soerja Koesnarpadi dan Ahmad Fatoni
Program Studi Kimia FMIPA Universitas Mulawarman, Jalan Barong Tongkok No. 4
Kampus Gunung Kelua Samarinda, 75123
Abstrak
Telah dilakukan modifikasi adsorben tanah diatomae-2-merkaptobenzotiazol. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui karakteristik gugus fungsional adsorben tanah diatomae-2-merkaptobenzotiazol. Proses
modifikasi tanah diatomae dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu pemurnian dan dimodifikasi dengan
senyawa organik. Tanah diatomae yang telah diperoleh selanjutnya dimurnikan dengan metode refluks
menggunakan asam sulfat selama1,5 -5 jam pada suhu 80C, selanjutnya residu dinetralkan dengan
aquades dan dikeringkan menggunakan oven selama 1,5 jam jam pada suhu 60C . Tanah diatomae yang
telah murni direaksikan dengan senyawa organic 3-kloropropiltrimetoksisilen dan 2-merkaptobenzotiazol
kemudian hasil akhir yg diperoleh dinamakan tanah diatomae-2-merkaptobenzotiazol. Adsorben yg telah
termodifikasi dikarakterisasi gugus fungsinya menggunakan Spektrofotometer FT-IR. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa karakteristik adsorben tanah diatomae-2-merkaptobenzotiazol pada bilangan
gelombang 1656,85 cm-1 dan 1631,78 cm-1 menunjukkan adanya gugus C=C yang mengindikasikan
salah satu gugus fungsi yang spesifik dari tanah diatomae-2-merkaptobenzotiazol.
Keywords: Modifikasi, Tanah diatomae-2-merkaptobenzotiazol, Spektrofotometer FT-IR

A. PENDAHULUAN
Tanah diatomae dikenal dengan berbagai istilah
seperti diatomit, kieselguhr, tripolit atau tepung fosil
(Johnstone & Johnstone, 1961) atau tanah serap
(Hoeve, 1984). Menurut Khan (1980) secara kimiawi ,
komposisi utama tanah diatomae berupa silika amorf
yang kadarnya mencapai sekitar 55-70%, tergantung
lingkungan setempat. Kadar senyawa silica dalam
tanah diatomae sangat bervariasi, demikian juga
strukturnya. Hal ini sangat dipengaruhi oleh asalnya.
Komponen tanah diatomae yang berhubungan dengan
sifat sebagai adsorben adalah silika, yang tentu saja
berkaitan erat dengan struktur senyawa silika tanah
diatomae tersebut. Tanah diatomae sekarang digunakan
untuk berbagai hal, yaitu sebagai penyaring (filter),
material pengisi, bahan isolasi, amplas atau penggosok,
bahan penjerap atau adsorben, katalis, sumber silika,
bahan bangunan dan campuran semen pozzolan. Di
samping itu, tanah diatomae dapat pula digunakan
sebagai penyaring pada berbagai industri,seperti: gula,
minyak mineral, jus buah, bir, anggur, minyak
tumbuhan, minyak binatang serta sabun cair. Berbagai
fungsi tersebut berhubungan dengan beberapa sifat
penting, yaitu: porositas, daya adsorpsi/daya jerap,
ukuran partikel, serta konduktivitas. Polaritas
permukaan pada adsorben akan menentukan jenis zat
yang
akan
teradsorpsi
(http//ias.vub.ac.be/General/Adsorption.htm).

Pemanfaatan tanah diatomae secara luas pada


berbagai bidang maupun proses pengolahan, dengan
terlebih dahulu mengetahui keadaan dan sifat tanah
diatomae tersebut secara utuh. Dengan berkembangnya
tekhnologi, tanah diatomae dapat dibuat menjadi
adsorben termodifikasi dengan senyawa organik
sehingga memiliki kemampuan yang lebih baik dalam
menyerap. Umumnya adsorben yang tidak dimodifikasi
dengan senyawa-senyawa organik tertentu mempunyai
daya serap yang kurang optimal. Dey, dkk (2006)
menyatakan bahwa tujuan modifikasi adalah untuk
meningkatkan adsorpsi.
Beberapa contoh suatu permukaan padatan
anorganik yang telah dimodifikasi antara lain, yaitu
modifikasi silika gel dengan 2-merkaptoimidazol untuk
penyerapan logam krom(III) (Budiman, dkk., 2009),
Filho, dkk, (2005a) melakukan modifikasi tanah liat
yang mengandung elektroda karbon dengan 2-tiazolin2- tiol heksadesilammonium yang digunakan untuk
penentuan logam merkuri, modifikasi elektroda yang
mengandung 3-(2-tioimidazolil)propil silika gel untuk
pemekatan dan penentuan logam raksa (II) (Filho, dkk,
2005b), penggunaan silika gel yang secara kimia
dimodifikasi dengan 2.5 dimerkapto 1,3,4-tiadiazol
untuk adsorbsi dan prekonsentrasi ion raksa(II) dari
medium air (Lessi, dkk, 1996), lempung yang telah
dimodifikasi dengan 2-merkaptobenzotiazol untuk
adsorbsi dan prekonsentrasi ion raksa(II) dari medium

25

air (Filho, dkk, 1995), Quintanilla, dkk, (2006),


melakukan modifikasi silika mesoporus dengan
senyawa 2-merkaptobenzotiazol untuk menghilangkan
ion Hg(II) dari larutan berair dan Nurhidayati (2009)
melakukan studi adsorpsi ion logam tembaga(II) dan
kadmium(II) dalam larutan oleh tanah diatomeaemerkaptobenzotiazol.
Dari penelitian sebelumnya, silika memiliki
gugus Si-OH dan Si-O-Si yang dapat digunakan
sebagai adsorben, dengan memodifikasi material silika
tersebut, diharapkan dapat meningkatkan selektifitas
dan aktivitasnya sebagai adsorben. Menurut Grob
(1977), bahwa tanah diatomeae juga mengandung
gugus silanol (Si-OH) dan gugus siloksan (Si-O-Si).
Kemampuan adsorben tanah diatomae -MBT dalam
menyerap ion logam terletak pada atom S dan N yang
mempunyai elektron bebas sehingga dapat sebagai
donor atom untuk membentuk ikatan koordinasi
dengan logam (Filho dkk., 2005a dan 2005b ;
Budiman, dkk., 2009). Tanah diatomae juga memiliki
sifat yang penting yaitu porositas, kehalusan pori,
kemampuan menyerap, dan beratnya yang ringan
(Jensen dan Bateman, 1981). Dari pernyataan tersebut
diatas, maka dipilihlah tanah diatomae yang kemudian
dapat dimodifikasi dengan berbagai senyawa organik.
Dalam penelitian ini, akan dilakukan pembuatan
adsorben tanah diatomae - merkaptobenzotiazol
melalui beberapa tahap. Tahap pertama adalah tanah
diatomae yang telah diperlakukan secara kimia
direaksikan
dengan
senyawa
3kloropropiltrimetoksisilen. Tahap yang kedua adalah
hasil reaksi tahap pertama, kemudian dimobilisasi
dengan senyawa 2-merkaptobenzotiazol (MBT),
sehingga diperoleh adsorben tanah diatomaemerkaptobenzotiazol (MBT). Selanjutnya adsorben
tanah diatomae-2-merkaptobenzotiazol dikarakterisasi
menggunakan
Spektrofotometer
FT-IR
untuk
mengetahui gugus fungsinya.
B. METODOLOGI PENELITIAN
2.1. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian
ini adalah alat alat gelas laboratorium (beaker glass,
pipet volume, pipet tetes, gelas ukur, spatula, batang
pengaduk), oven, termometer, Erlenmeyer, hot plate,
neraca analitik, seperangkat spektrofotometer serapan
atom (SSA) merek, Spektrofotometer FT-IR, dan bahan
yang digunakan pada penelitian ini adalah tanah
diatomae, kalium permanganat (KMnO4), asam klorida
(HCl), asam sulfat (H2SO4), kertas saring Whatman,
akuades, kertas Lakmus, 3-kloropropiltrimetoksisilen,
2-merkaptobenzotiazol, toluene, aseton, etil alkohol,
dietileter, dan asam nitrat (HNO3).
2.2. Prosedur Penelitian
2.2.1. Pemurnian Tanah Diatomae
Pemurnian tanah diatomae mengacu pada hasil
penelitian yang dilakukan oleh Hidayati, (2007).

26

Sebanyak 30 g tanah diatomae alam dicampur


dengan 100 mL larutan H2SO4 6 M, dan 100 mL
larutan KMnO4 0,5 M sambil diaduk perlahan lahan
selama 2 jam pada suhu 80C. Hasilnya kemudian
disaring, residu dicuci berungkali dengan akuades
sampai air pencuciannya mencapai pH netral,
kemudian dipanaskan ke dalam oven pada suhu 60C
hingga sampel mengering.
Setelah kering, ditambahkan 100 mL larutan
H2SO4 6 M sambil diaduk perlahan-lahan selama 1,5-5
jam pada suhu 80C. Hasilnya kemudian disaring,
residu dicuci berulangkali dengan akuades sampai air
pencuciannya mencapai pH netral, kemudian
dipanaskan dalam oven sampai sampel mengering pada
suhu 60C.
Setelah kering ditambahkan 100 mL larutan HCl
6 M sambil diaduk perlahan-lahan selama 3 jam pada
suhu 70C. Hasilnya kemudian disaring, residu dicuci
berulang kali dengan aquades sampai air pencucinya
mencapai pH netral. Kemudian dipanaskan dalam oven
selama 1,5 jam pada suhu 60C.
2.2.2. Modifikasi
Tanah
Diatomae-2merkaptobenzotiazol
Modifikasi
tanah
diatomae-2merkaptobenzotiazol dilakukan berdasarkan prosedur
yang telah dilakukan oleh El-aziz Akl, dkk,. (2005).
Ditambahkan sebanyak 19,45 g diatomaetelah
murni ke dalam 100 mL larutan toluen. Kemudian
dalam campuran tersebut ditambahkan 10 mL larutan
3-kloropropiltrimetoksisilen dan campuran reaksi ini
direfluk dengan pengadukan yang kontinyu selama
4,5 jam. Modifikasi tanah diatomae tersebut kemudian
disaring, dibilas dengan larutan toluen, kemudian
dengan 50 mL etanol dan terakhir dibilas dengan
larutan dietileter. Setelah itu dikeringkan dalam oven
30 menit pada suhu 60C. Hasil modifikasi dinamakan
3-kloropropildimetoksisilen tanah diatomae.
Ditimbang 9 g 3-kloropropildimetoksisilen
tanah diatomae yang telah kering dan ditambahkan
dengan 75 mL larutan toluen dan dan 0,5 g senyawa
organik 2-merkaptobenzotiazol yang dilarutkan dalam
50 mL aseton. Campuran kemudian direfluk dengan
pengadukan secara kontinyu selama 6 jam.
Hasil refluk kemudian disaring, residu dibilas
dengan larutan toluen sebanyak 30 mL, 30 mL etanol
dan dietil eter 30 mL. Hasil modifikasi kemudian
dikeringkan dalam oven selama 30 menit pada suhu
60C. Setelah kering dinamakan adsorben tanah
diatomae - 2-merkaptobenzotiazol atau tanah diatomae
-MBT.
2.2.3. Karakteristik Gugus Fungsional terhadap
Adsorben
Tanah
Diatomae-2merkaptobenzotiazol
Karakteristik gugus fungsional dilakukan
dengan menggunakan Spektrofotometer FT-IR yang
meliputi tanah diatomeae hasil pemurnian, tahapan-

Jurnal Kimia Mulawarman Volume 9 No. 1, November 2011


Kimia F-MIPA Unmul

tahapan modifikasi tanah diatomae yang telah murni


hingga
adsorben
tanah
diatomae
-2merkaptobenzotiazol.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Perlakuan Kimia (Pemurnian) Terhadap
Tanah Diatomae
Tanah diatom merupakan tanah yang berasal
dari rangka tumbuhan air (ganggang) yang 98%
mengandung silika. Selain itu, tanah diatomae juga
mengandung unsur lain seperti oksida logam, senyawa
organik dan air. Oksida logam dengan komposisi cukup
besar adalah oksida aluminium (Al2O3).
Untuk
menghilangkan
pengotor-pengotor
tersebut atau zat-zat lain yang terdapat pada tanah
diatom maka perlu dilakukan pemurnian dengan
larutan KMnO4, H2SO4 dan HCl. Pemurnian ini
dimaksudkan agar pengotor-pengotor tersebut tidak
menghambat proses adsorpsi yang nantinya tanah
diatomae tersebut akan dijadikan adsorben.
Adapun perlakuan kimia dengan menggunakan
KMnO4 bertujuan untuk mengoksidasi senyawasenyawa organik. Kemudian dengan menggunakan
asam
(H2SO4
dan
HCl)
bertujuan
untuk

Terlihat dari gambar tersebut, dimana untuk


menggantikan salah satu gugus OH- pada permukaan
tanah diatomeae, maka ditambahkan senyawa 3kloropropiltrimetoksisilen yang diperkirakan terjadi
reaksi antara gugus OH- pada permukaan tanah
diatomae dengan gugus metoksi (O-CH3) dari senyawa
3-kloropropiltrimetoksisilen
yang
menghasilkan
kloropropilsilika
tanah
diatomae,
sehingga
menyebabkan pori-pori tanah diatomae terbuka.
Selanjutnya kloropropilsilika tanah diatomae ini
direaksikan dengan 2-merkaptobenzotiazol, dengan

ISSN 1693-5616

mendealuminasi yaitu melalui penggantian atom


aluminium pada tanah diatomae dengan ion H+ dari
H2SO4 dan atau HCl (Hidayati, 2007).
Pada pemurnian ini, H2SO4 diberikan terlebih
dahulu dibandingkan HCl. Hal ini dikarenakan bahwa
kemampuan HCl dalam mendealuminasi lebih kuat
daripada H2SO4. Kemudian pada modifikasi
kloropropiltrimetoksisilen tanah diatomae dilakukan
pencucian adsorben yang menggunakan toluen,
dietileter dan etil alkohol. Tujuannya adalah untuk
melarutkan pengotor yang masih ada dalam adsorben.
Etil alkohol (etanol) dapat mengikat air yang ada dalam
adsorben sehingga adsorben bebas dari air, sehingga
proses adsorpsi dapat berlangsung dengan baik tanpa
adanya gangguan air dan pengotor dalam adsorben
tersebut.
Pada penelitian ini, tanah diatomae dimodifikasi
dengan senyawa organik 3-kloropropiltrimetoksisilen
yang akan dilanjutkan dengan senyawa organik 2merkaptobenzotiazol sehingga membentuk tanah
diatomae-2-merkaptobenzotiazol.
Berikut reaksi pembentukan adsorben tanah
diatomae-2-merkaptobenzotiazol diperkirakan pada
gambar berikut :

melepaskan
H+
dan
Cl-.
Senyawa
2merkaptobenzotiazol ini mengandung atom donor yaitu
atom S dan atom N, sehingga kemampuan adsorben
tanah
diatomae
-2-merkaptobenzotiazol dalam
mengadsorpsi bisa menjadi lebih baik.
3.2.

Karakteristik Tanah Diatomae dengan


Spektrofotometer FT-IR
Spektrofotometer FT-IR merupakan suatu
metode untuk mengetahui gugus fungsional dari suatu
molekul. Karakterisasi tanah diatomae dengan

27

spektrofotometer FT-IR bertujuan untuk mengetahui


adanya gugus silanol, siloksan, dan gugus-gugus lain
yang mendukung modifikasi tanah diatomae.

Gambar.

Spektra FT-IR tanah diatomae murni (TD 1), tanah diatomae -3-kloropropildimetoksisilen (TD 2) dan
tanah diatomae-MBT (TD 3).

Berdasarkan spektra FT-IR pada gambar 4.2


tanah diatomae yang telah dimurnikan (TD 1)
mempunyai pita serapan melebar pada bilangan
gelombang 3423,65 cm-1 merupakan serapan vibrasi
ulur OH dari gugus Si-OH. Menurut Silverstein, dkk
(1991) pita serapan pada bilangan gelombang 11001000 cm-1 menunjukkan vibrasi ulur Si-O yang
menunjukkan gugus Si-O-Si, sehingga dapat
ditafsirkan pita serapan pada bilangan gelombang
1097,50 cm-1 pada TD 1 menunjukkan gugus Si-O-Si
pada tanah diatomae.
Pada spektra IR tanah diatomae -3klorodimetoksisilen (TD 2), pita serapan bilangan
gelombang 3421,72 cm-1 merupakan serapan vibrasi
ulur OH dari gugus Si-OH. Pita serapan bilangan
gelombang 2997,38 cm-1 dan 2958,87 cm-1
menunjukkan adanya gugus C-H ulur dari senyawa 3klorodimetoksisilen. Pada bilangan gelombang 1629,85
cm-1; 1570,06 cm-1; 1440,83 cm-1; dan 1404,18 cm-1
menunjukkan adanya gugus C-H tekuk (2400-1300 cm1
) dari senyawa 3-klorodimetoksisilen (Budiman, dkk.,
2009 dan Silverstein, dkk., 1991).
Pada spektra FT-IR pada tanah diatomae -2merkaptobenzotiazol (TD 3), terlihat pita serapan pada
bilangan gelombang 3446,79 cm-1, 3427,51 cm-1 dan

28

Identifikasi gugus fungsional tanah diatomae


murni, tanah diatomeae -3-kloropropildimetoksisilen
dan tanah diatomae-MBT, ditunjukkan dengan spektra
FT-IR pada gambar di bawah ini:

3414,00 cm-1 merupakan serapan vibrasi ulur OH dari


gugus Si-OH. Selanjutnya pada pita serapan pada
bilangan gelombang 1656,85 cm-1 dan 1631,78 cm-1
yang menunjukkan adanya gugus C=C ulur yang
mengindikasikan salah satu gugus fungsi dari senyawa
2-merkaptobenzotiazol sehingga dapat diperkirakan
tanah diatomae telah termodifikasi oleh 2merkaptobenzotiazol
(Sastrohamidjojo,
1992),
sedangkan menurut Silverstein, dkk.,(1991) pada pita
serapan
bilangan
gelombang
700-600
cm-1
menunjukkan vibrasi ulur dari gugus C-S sehingga
dapat ditafsirkan 700,16 cm-1 menunjukkan adanya
gugus C-S ulur dari senyawa 2-merkaptobenzotiazol.
Menurut Silverstein, dkk.,(1991), pita serapan
bilangan gelombang antara 900-690 cm-1 merupakan
vibrasi tekuk dari gugus fungsi =C-H sehingga pada
pita serapan bilangan gelombang 800,46 cm-1
menunjukkan vibrasi tekuk dari gugus fungsi =C-H
yang merupakan gugus aromatik dari senyawa 2merkaptobenzotiazol . Gugus fungsi S-H dari senyawa
2-merkaptobenzotiazol diharapkan muncul pada pita
serapan bilangan gelombang antara 2600-2550 cm-1
tetapi pita serapan bilangan gelombang tersebut tidak
muncul atau tidak terdeteksi. Silverstein, dkk., (1991)
menyatakan
bahwa
gugus
S-H
mempunyai

Jurnal Kimia Mulawarman Volume 9 No. 1, November 2011


Kimia F-MIPA Unmul

karakteristik yang sangat lemah sehingga mungkin


spektranya tidak dapat terdeteksi.
D. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa Karakteristik
gugus fungsional dari tanah diatomeae murni pada
bilangan 3423,65 cm-1 adanya gugus OH dari Si-OH
dan pada bilangan 1097,50 cm-1 menunjukkan gugus
Si-O-Si. Tanah diatomeae-3-kloropropildimetoksisilen

ISSN 1693-5616

menunjukkan bilangan gelombang 2956,87 cm-1 dan


2931,80 cm-1 yang menunjukkan adanya gugus C-H
ulur; dan pada bilangan gelombang 1658,78 cm-1 dan
1631,78 cm-1 adanya gugus C-H tekuk. Pada adsorben
tanah
diatomeae-2-merkaptobenzotiazol
muncul
bilangan gelombang 1656,85 cm-1 dan 1631,78 cm-1
menunjukkan adanya gugus C=C dari 2merkaptobenzotiazol.

DAFTAR PUSTAKA
1. Budiman, H., Sri, H.K.F. dan Setiawan, A. H., 2009. Preparation of Silica Modified with 2-Mercaptoimidazole and
its Sorption Properties of Chromium(III). E-Journal of Chemistry, 6 (1) : 141 150
2. Dey, R.K., Jha, U., Singh, A.C., dan Ray, A.R., 2006. Extraction of Mental Ion Using Chemically Modified Silica
Gel Covalently Bonded with 4,4 Diaminodiphenylether and 4,4 Diaminodiphenylsufone-Salicylaldehide Schiff
Bases, Analytical Sciences, Vol. 22 : 1105-1110
3. Filho, N.L.D., Gushikem, Y. dan Polito, W.L., 1995. Merkaptobenzotiazol Clay as Matrix for Sorption and
Preconcentration of Heavy Metal from aqueous Solution. Analytica Chimica Acta, 306 : 167 172
4. Filho, N.L.D.; do Carmo, D.R.; Gressner, F and Rosa, A.H, 2005a, Preparation of Clay Modified Carbon Paste
Electrode Based on 2-Thiazolin 2 Thiol Hexadecylammonium Sorption for The sensitive Determination of Mercury,
Analitycal Sciance, Vol. 21 : 1309-1316.
5. Filho N.L.D.; do Carmo, D.R.; Caetano, L and Rosa, A.H, 2005b, Preconcentration and Determination of
Mercury(II) at a Chemically Modified Electrode Containing 3-(2-Thiomidazholy)propyl Silica Gel, Analytical
Sciences, Vol. 21 : 1359-1363.
6. Forstner, U.,1983, Metal Concentration in River, Lake and Ocean Waters, in U Forstner and G.T.W Wittmann, Metal
Pollution in The Aquatic Environment, Second Revised Edition, Springer-Verlag, Berlin.
7. Fungsional dan Rasio Atom Si dan Al Sebelum Digunakan Sebagai Adsorben. Jurnal Kimia Mulawarman, Vol.5,
No. 1 4
8. Grob, R., 1977. Modern Practice of Gas Cromatography. John Wiley and Son. New York
9. Hidayati, Nurlisa., 2007. Perlakuan Kimia Terhadap Tanah Diatomeae, Karakterisasi Gugus Fungsional dan Rasio
Atom Si dan Al Sebelum Digunakan Sebagai Adsorben. Jurnal Kimia Mulawarman, Vol.5, No. 1 4
10. Hoeve, I.B. (1984). Ensiklopedi Indonesia. Volume 6.
11. Johnstone and Johnstone, M.G. (1961). Minerals for the Chemical and Applied Industries. New York: John Wiley &
Sons. Edisi ke 2.
12. Khan. (1980). Pesticides in the Soil Environment. Amsterdam:Elsevier Scientific Publishing Co.
13. Lessi, P; Filho, N.L.D; Moreira, H.C dan Campos, J.T.S., 1996. Sorption and Preconsentration of Metal Ion on
Silica Gel Modified With DMT, Analytica Chimica Acta, 327 : 183-190
14. Nurhidayati, Siti., 2009. Studi Adsorpsi Ion Logam Tembaga(II) Dan Kadmium(II) Dalam Larutan Oleh Tanah
Diatomeae-Merkaptobenzotiazol. Skripsi Kimia Mulawarman.
15. Quintanilla, D.Perez, del Hierro, L., Fajardo, M dan Sierra, I., 2006. Preparation of 2-Mercaptobenzothiazole of
Hg(II) from Aqueous Solution. Journal of Environmental Monitoring. 8 : 214 222
16. Sastrohamidjojo, Hardjono. 2001. Dasar-dasar Spektroskopi. Liberty Yogyakarta : Yogyakarta.
17. Silverstein, R.M., Bassler, G.C., and Morril, T.C., 1991, Spectrometric Identification of Organic Compound, 5th
ed, Willey & Sons Inc, New York.
18. http//ias.vub.ac.be/General/Adsorption.htm

29

KOMPOSISI KIMIA, AKTIVITAS ANTIMIKROBA DAN ANTIOKSIDAN


MINYAK ATSIRI KULIT BUAH JERUK PURUT
(Citrus hystrix)
CHEMICAL COMPOSITION, ANTIMICROBA AND ANTIOXIDANT
ACTIVITY OF ESSENTIAL OIL OF PEEL OF Citrus hystrix
Cut Fatimah Zuhra1, Sovia Lenny1, dan Kiki Nurtjahya2
1Departemen Kimia FMIPA USU
2Departemen Biologi FMIPA USU
Email : cfatimahzuhra@yahoo.com
ABSTRACT
The aim of this research was to study the chemical composition, activity antimicrobial and antioxidant
from the essential oil of peel of Citrus hystrix. GC-MS analysis of the oil peel C. hystrix shows the 31
compounds and the major components is - pinen (23,03%), sabinen (13,37%), terpinen-4-ol (11,43%),
limonen (10,59%) and citronellal (10,41%). Oil of peel C. hystrix showed antimicrobial against shigella,
S. thypii, E. Coli, S. mutant, S. aereus, S. cerevisiae, and C. albicans. The biggest antimicrobial inhibition
for the oil peel C. hystrix there is at S. cerevisiae. The essential oil of peel has IC50 value was 72,78
mg/mL
Keyword : Essential Oil, Citrus hystrix, antimicrobial, antioxidant

A. PENDAHULUAN
Minyak atsiri merupakan minyak yang mudah
menguap dan akhir-akhir ini menarik perhatian dunia.
Minyak atsiri biasanya diperoleh dari tumbuhan
aromatik. Tumbuhan aromatik seringkali digunakan
dalam pengobatan trdisioanal, yaitu salah satunya
sebagai bahan antimikroba, minyak atsiri merupakan
campuran dari senyawa volatil alami yang dapat
diisolasi dengan destilasi uap (Lutz et al., 2008).
Minyak atsiri sangat penting sebagai sumber
rasa dan obat. Minyak atsiri digunakan untuk memberi
rasa dan aroma makanan, minuman, parfum dan
kosmetik. Sifat toksik alami minyak atsiri berguna
dalam pengobatan dan minyak atsiri telah dikenal
sebagai sumber terapi yang penting misalnya sebagai
antimikroba (Setyawan, 2002).
Antioksidan merupakan senyawa kimia yang
dapat menyumbangkan satu atau lebih elektron kepada
radikal bebas, sehingga radikal bebas tersebut dapat
diredam (Suhartono, 2002 dalam Kuncahyo dan
Sunardi, 2007). Radikal bebas sangat reaktif sehingga
dapat merusak sel yang disebabkan oleh peroksidasi
lipid yang menyebabkan kerugian seperti iskemia,
arterosklerosis koroner, diabetes melitus dan penuaan
kulit (Hiriguchi et al, 1995 dalam Hafid, 2003).
Minyak atsiri pada umumnya dibagi menjadi
dua komponen yaitu golongan hidrokarbon dan
golongan hidrokarbon teroksigenasi seperti aldehid,
alkohol, keton, asam organik dan ester (Robinson,
1991 ; Ahmad, 2006). Senyawa-senyawa turunan

30

hidrokarbon teroksigenasi (fenol) memiliki daya


antibakteri yang kuat (Heyne, 1987). Sejauh ini telah
banyak dilaporkan minyak atsiri dan ekstrak tumbuhan
seperti oregano, cengkeh dan kemangi yang
mempunyai aktivitas antibakteri dan antioksidan yang
kuat (Cao et al., 2009).
Jeruk merupakan famili Rutaceae yang terdiri
hampir dari 40 spesies, jeruk merupakan tumbuhan
yang penting karena memiliki nilai nutrisi dan flavor
yang spesial. Mengkonsumsi jus jeruk dapat mencegah
penyakit jantung koroner dan asma kronik. Ekstrak
buah jeruk memiliki sifat sebagai antioksidan, anti
inflammatory, anti jamur dan antifungal (Ghafar, 2010)
Jeruk purut (Citrus hystrix) adalah tumbuhan
tropis dari famili Rutaceae yang banyak terdapat di
Indonesia dan memiliki nilai potensi ekonomi yang
besar. Air dan daun jeruk purut biasanya digunakan
sebagai bumbu pada makanan dan pengobatan
tradisional seperti obat batuk dan stimulan, tetapi kulit
jeruk purut sering dibuang. Limbah kulit jeruk purut
yang berlebihan dapat menyebabkan masalah
lingkungan. Kulit buah jeruk purut dilaporkan
mengandung senyawa fenol, terutama flavanon, flavon
dan flavonol, senyawa fenol memiliki antivitas
antioksidan secara in vitro dan in vivo dan kemampuan
meredam radikal bebas (Fazwa 1997; Chan, 2009).
Minyak atsiri dari citrus mengandung 85-99% senyawa
volatile dan 1-15% senyawa non volatile, senyawa
volatile merupakan campuran hidrokarbon monoterpen
(limonen) dan seskuiterpen dan senyawa teroksigenasi

Jurnal Kimia Mulawarman Volume 9 No. 1, November 2011


Kimia F-MIPA Unmul

seperti aldehid (citral), keton, asam, alkohol (linalool)


dn ester (Fisher and Phillips, 2008).
Dalam rangka pencarian sumber bahan
antioksidan dan antibakteri yang berasal dari bahanbahan alami maka perlu dilakukan pendayagunaan
potensi sumber daya alam. Oleh karena itu untuk
mengetahui aktivitas biologis dari minyak atsiri kulit
buah jeruk purut, dalam penelitian ini akan diuji
aktivitas antimikroba terhadap beberapa bakteri/jamur
dan aktivitas antioksidan terhadap radikal DPPH serta
menentukan komposisi kimia penyusun minyak atsiri
tersebut.
B. METODOLOGI PENELITIAN
2.1. Ekstraksi Minyak Atsiri
Kulit buah jeruk purut (Citrus hystrix) yang
sudah dihaluskan dimasukkan kedalam labu destilasi
dan didestilasi dengan menggunakan alat stahl selama
7 jam. Destilat yang diperoleh ditampung dalam
corong pisah. Fase minyak yang diperoleh
kemungkinan masih bercampur dengan sedikit air,
kemudian ditambahkan natrium sulfat anhidrat dan
didekantasi. Minyak atsiri yang diperoleh diukur
volumenya dan diuji aktivitas antibakterinya.
2.2.

Uji Aktivitas Antibakteri Minyak Atsiri Daun


dan Kulit Buah Jeruk Purut
Uji aktivitas antibakteri dari minyak atsiri
dilakukan dengan metode difusi agar. Masing-masing
suspensi bakteri diinkolusikan di atas permukaan
media Mueller Hinton Agar (MHA). Blank disc yang
telah di rendam dalam minyak atsiri kulit jeruk purut
dengan konsentrasi 2%, 4% dan 6% v/v dalam etanol
absolut dan diletakkan diatas permukaan media yang
telah diinkulasi dengan suspensi bakteri. Sebagai
kontrol pada setiap cawan petri diletakkan blankdisc
yang telah dibasahi etanol absolut. Kultur bakteri
diinkubasi dalam inkubator dengan cara terbalik pada
suhu 32-340C selama 24 jam. Diukur indeks
antimikrobial berdasarkan besarnya diameter zona
bening yang terbentuk disekitar cakram.
2.3.

Uji Aktivitas Antioksidan dengan Metode


DPPH
Larutan DPPH 0,4 mM dibuat dengan
melarutkan 15,8 mg serbuk DPPH dalam aetanol pada
labu takar 100 mL, kemudian di kocok kuat. Minyak

ISSN 1693-5616

atsiri 10% b/v dalam etanol diencerkan menjadi


konsentrasi 4 mg/mL, 8 mg/mL, 12 mg/mL, 16
mg/mL.
Sebanyak 1,0 mL DPPH 0,4 mM dimasukkan
ke dalam labu takar, ditambahkan etanol sampai
volume 5,0 mL, divorteks selama 1 menit hingga
campuran homogen dan didiamkan selama 30 menit.
Absorbansi DPPH diukur dengan spektrometer
sinar tampak pada panjang gelombang 517 nm setelah
30 menit. Kemampuan antioksidan diukur sebagai
penurunan serapan larutan DPPH akibat adanya
penambahan sampel (Tachakittirungrod, 2004).
Nilai serapan larutan DPPH sebelum dan
sesudah penambahan minyak atsiri tersebut dihitung
sebagai persen inhibisi (% inhibisi) dengan rumus
sebagai berikut :

% Inhibisi =

(Akontrol - Asampel)
Akontrol

x 100%

Keterangan : Akontrol = Absorbansi tidak mengandung


sample
Asampel = Absorbansi sampel
Selanjutnya hasil perhitungan dimasukkan ke dalam
persamaan regreasi dengan konsentrasi ekstrak (ppm)
sebagai absis (sumbu X) dan nilai % inhibisi
(antioksidan) sebagai ordinatnya (sumbu Y). Nilai IC50
dari perhitungan pada saat % inhibisi sebesar 50%. Y =
aX + b
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Komposisi Kimia Minyak Atsiri Kulit Buah
Jeruk Purut
Komposisi kimia minyak atsiri dari kulit buah
jeruk purut merupakan campuran senyawa volatil dan
terdiri dari senyawa hidrokarbon dan hidrokarbon
teroksigenasi. Komposisi kimia ini dianalisa dengan
alat GC-MS. Identifikasi senyawa kimia didasarkan
pada waktu retensi dan pola fragmentasi dari sampel
yang dibandingkan dengan pola fragmentasi dari
senyawa yang terdapat pada data library.

31

Gambar 1.

Khromatogram GC Minyak Atsri Kulit Buah Jeruk Purut

Tabel 1. Spektrum Massa Minyak Atsri Kulit Buah Jeruk Purut setelah dicocokkan dengan database
No

Waktu Retensi (menit)

Rumus Molekul

Kadar (%)

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31

6,142
6,250
7,212
8,383
8,683
9,575
9,942
10,425
10,575
11,325
11,800
12,042
1,125
13,975
14,717
15,158
15,375
15,750
16,150
16,392
16,567
17,150
17,342
17,442
17,850
18,383
18,825
19,042
19,317
20,508
23,192

C10H16
C10H16
C10H16
C10H16
C10H16
C10H16
C10H16
C10H16
C10H16
C10H16
C10H16
C10H16
C8H16O
C9H18O
C10H18O2
C10H18O2
C10H18O
C15H24
C10H18O
C15H24
C10H18O
C10H18O
C15H24
C10H18O
C12H22O2
C10H18O
C15H24
C12H20O2
C15H24
C10H20O
C15H26O

2,50
0,31
0,19
23,03
13,37
1,68
1,54
10,59
1,23
2,95
0,87
0,83
0,18
0,08
3,46
1,90
10,41
0,51
3,31
0,28
0,66
11,43
0,58
0,42
0,48
4,94
0,29
0,27
0,76
0,78
0,34

Dari hasil analisa GC-MS minyak atsiri kulit


buah jeruk purut menunjukkan ada 31 senyawa yang
terdeteksi dan diperkirakan terdiri dari 38,66%
senyawa hidrokarbon teroksigenasi dan 61,44%

32

Senyawa yang diduga


Alfa-Pinen
Alfa-Tujan
Kamfan
Beta-Pinen
Sabinen
Beta-Mirsen
Alfa-Terpinen
Limonen
Beta-Phelandren
Gamma-Terpinen
Alfa-Felandren
Alfa-Terpinolen
Oktanal
Nonanal
Linalool Oksida
Linalool Oksida
Sitronellal
Alfa-Kopaen
Linalool
Germakren
Sabinen
Terpinen-4-ol
Karyophillen
Tujan-4-ol
Sitronellil Asetat
Alfa-Terpineol
Germakren
Geranil Asetat
Delta-Kadinen
Beta-Sitronellol
Hedikaryol

senyawa hidrokarbon. Komponen utamanya adalah pinen (23,03%), sabinen (13,37%), terpinen-4-ol
(11,43%), limonen (10,59%) dan sitronellal (10,41%).

Jurnal Kimia Mulawarman Volume 9 No. 1, November 2011


Kimia F-MIPA Unmul

3.2.

Uji aktivitas antimikroba minyak atsiri yang


diperoleh dari destilasi kulit buah jeruk purut dengan
konsentrasi 2%, 4% dan 6% dalam pelarut etanol
masig-masing dapat dilihat pada Grafik di Gambar 2.

Uji Aktivitas Antimikroba Minyak Atsiri


Kulit Buah Jeruk Purut

Gambar 2.

ISSN 1693-5616

Aktivitas Antimikroba Minyak Atsiri Kulit Buah Jeruk Purut

Pada Grafik di Gambar 2. menunjukkan bahwa


minyak atsiri daun dan kulit buah jeruk purut pada
konsentrasi 2% telah dapat menghambat pertumbuhan
mikroba shigella, S. thypii, E. coli, S. mutan, S. aereus,
S. cerevisiae, dan C. albicans. Aktivitas antimikroba
menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi
minyak atsiri daun dan kulit buah jeruk purut yang
digunakan maka indeks antimirobanya juga semakin
besar. Indeks antimikroba yang paling besar untuk
minyak atsiri kulit buah jeruk purut terdapat pada
bakteri S. cerevisiae yaitu pada konsentrasi 6% adalah
2,12 mm.
Minyak atsiri bukanlah senyawa tunggal tetapi
gabungan dari beberapa senyawa dengan gugus fungsi
yang berbeda-beda. Pada umumnya minyak atsiri yang
aktif sebagai antibakteri adalah senyawa hidrokarbon

teroksigenasi yaitu senyawa yang mengandung gugus


fungsi hidroksil (-OH) dan karbonil. Turunan fenol
berinteraksi dengan sel bakteri melalui proses adsorpsi
yang melibatkan ikatan hidrogen (Parwata dan Dewi,
2008)
3.3.

Uji Aktivitas Antioksidan Minyak Atsiri


Daun dan Kulit Buah Jeruk Purut
Pengujian absorbansi peredaman radikal bebas
DPPH dilakukan terhadap minyak atsiri daun dan kulit
buah jeruk purut dibuat dengan berbagai konsentrasi
kemudian diukur serapan absorbansi pada panjang
gelombang 517 nm dengan waktu retensi 30 menit.
Aktivitas antioksidan penangkap radikal DPPH minyak
atsiri kulit buah jeruk purut pada Gambar 3.

12
10
8
% Inhibisi 6
4
2
0

y = 0.6865x + 0.074
R = 0.9589
0

10

15

20

Konsentrasi (mg/mL)
Gambar 3.

Aktivitas Antioksidan Minyak Atsiri Kulit Buah Jeruk Purut

Mekanisme penangkapan radikal DPPH oleh


antioksidan cukup sederhana, yaitu berupa donasi
proton kepada radikal. Oleh karena itu, senyawasenyawa
yang
memungkinkan
mendonasikan
protonnya memiliki aktivitas penangkapan radikal
cukup kuat. Setiap senyawa yang dapat mendonasikan
elektron atu hidrogen akan bereaksi dengan DPPH.

Donasi proton menyebabkan radikal difenil fikril


hidrazil (DPPH) yang berwarna ungu menjadi senyawa
non radikal difenil fikril hidrazin yang berwarna
kuning pucat. Aktivitas diukur dengan menghitung
jumlah pengurangan intensitas warna ungu DPPH yang
sebanding dengan pengurangan konsentrasi larutan
DPPH (Munim. Dkk., 2008 ; Hafid, 2003)

33

Hasil uji aktivitas antioksidan dengan metoda


DPPH, menunjukkan bahwa minyak atsiri kulit buah
jeruk purut memiliki harga IC50 72,78 mg/mL. Secara
umum monoterpen teroksigenasi dan monoterpen
hidrokarbon merupakan senyawa antioksidan dalam
tumbuhan (Saei-Dehkordi et al., 2010). Minyak atsiri
kulit buah jeruk purut memiliki komponen kimia
hidrokarbon teroksigenasi 38,66.

2. Minyak atsiri daun dan kulit buah jeruk purut


memiliki aktvitas antimikroba pada shigella, S.
thypii, E. coli, S. mutan, S. aereus, S. cerevisiae,
dan C. albicans. Indeks antimikroba yang paling
besar untuk minyak atsiri kulit buah jeruk purut
terdapat pada S. cerevisiae.
3. Minyak atsiri kulit buah jeruk purut memiliki harga
IC50 72,78 mg/mL

D. KESIMPULAN
1. Minyak atsiri kulit buah jeruk purut menunjukkan
31 senyawa yang terdeteksi dan komponen
utamanya adalah -pinen (23,03%), sabinen
(13,37%), terpinen-4-ol (11,43%), limonen
(10,59%) dan citronellal (10,41%).

E. UCAPAN TERIMA KASIH


Penelitian ini merupakan penelitian hibah
bersaing dengan sumber dana DIPA Dikti tahun
anggaran 2011. Penulis menyampaikan ucapan
terimakasih kepada Dirjen Dikti dan kepada semua
pihak yang telah membantu terlaksananya penelitian
ini dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA
1. Ahmad, MM., Salim, UR., Zafar, I., Faqir, M.A., and Javaid, I.S., 2006, Genetic Variability To Essential Oil
Composition In Four Citrus Fruit Species, Pak J. Bot., 38, 2, 319-324.
2. Cao, L., Jian, Y.S., Yan, L, Hong, S., Wen, J., Zhan, L., Xiao, H.Z., and Rui LP., 2009, Essential Oi Composition,
Antimicrobial and Antioxidant properties of Mosla chinensis Maxim. Food Chemistry 115, 801-805.
3. Chan, S.W., Lee C.Y., Yap C.F., Wan Aida W.M., and Ho C.W., 2009, Optimisation of Extraction Condition for
Phenolic Compounds from Limau Purut (Citrus hystrix) Peels. International Food Research Journal 16, 203-213.
4. Chantaphon, S., Suphitchaya C., and Tipparat H., 2008, Antimicrobial activities of Essential Oils and Crude
Extracts from ropical Citrus spp. Againts Food-Related Microorganism. Songklanakarin J. Sci. Technol 30 (Suppl.1)
125-131.
5. Fazwa, M.A.F., A.G.Ab. Rasip., M.A. Nor Azah., A. Abu Said., and O. Mohamad, 1997, Screening of High
Genotype Citrus hystrix for Esssential Oil Production, Forest Research, 44-49.
6. Fisher, K., and Phillips,C., 2008, Potential Antimicrobial Uses Of Essential Oils In Food : Is Citrus The Answer,
Trend in Food Science & Technology, 19, 156-164.
7. Ghafar, M.F.A., Nagendra, P., Kong, K.W., and Amin, I., 2010, Flavonoid, Hesperidine. Total Phenolic Contents
and Antioxidant Activities from Citrus Species, African Journal of Biotechnology, 9, 3, 326-330.
8. Hafid, A.F., 2003, Aktivitas Anti-Radikal Bebas DPPH Fraksi Metanol Fragrae auriculata dan Fragraea ceilanica.
Majalah Farmasi Airlangga, III, 1, 34-39.
9. Heyne, K., Tumbuhan Berguna Indinesia II, Badan Litbang Kehutanana, Jakarta.
10. Kuncahyo, I., dan Sunardi, 2007, Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Belimbing Wuluh (Averhoa blilbi, L) Terhadap
1,1-Dihenyl-2-Picrylhidrazyl (DPPH), Seminar Nasional Teknologi 2007 (SNT 2007), E-1 E-9.
11. Lutz, D.L., Daniela, S.A., Celuta, S.A., and Paul, P.K., 2008, Screening of Chemical Composition, Antimicrobial and
Antioxidant Activities of Artemisia Essential Oils. Phytochemistry, 69, 172-138.
12. Munim, A., Azizahwati., Trastiana, 2008, Aktivitas Antioksidan Cendawan Suku Pleurotaceae dan Polyporaceae
dari Hutan UI, Jurnal Ilmiah Farmasi, 5, 1, 36-41.
13. Parwata, I.O.A., dan Dewi, P.F.S., 2008, Isolasi dan Uji Aktivitas Antibakteri Minyak Atsiri dari Rimpang Lengkuas
(Alpinia galanga L), Jurnal Kimia 2, 2, 100-104.
14. Robinson, T., Kandungan Organik Tumbuhan Tingkat Tinggi, a.b. Kosasih Padmawinata, ITB, Bandung, 132-136.
15. Saei-Dehkordi, S.S., Hossein, T., Mehran, M., and Farahnaz, K.S., 2010, Chemical Composition of Essential Oils in
Zataria multiflora Boiss. from Different Parts of Iran and Their Radical Scavenging and Antimicrobial Activity.
Food and Chemical Technology.
16. Setyawan, A.D., 2002, Keragaman Varietas Jahe (Zingiber officinale Rosc) Berdasarkan Kandungan Kimia Minyak
Atsiri. Jurnal BioSMART, 4,2, 48-54.
17. Tachkittirungrod. S., and Sombat C., 2004, Comparison of Antioxidant and Antimicrobial Activities of Essential Oils
from Hyptis suaveolens and Alpinia galanga Growing in Nothern Thailand. Pharmaceeutical Science, Chiang Mai.

34

Jurnal Kimia Mulawarman Volume 9 No. 1, November 2011


Kimia F-MIPA Unmul

ISSN 1693-5616

PENGARUH PENAMBAHAN DIVINILBENZENE TERHADAP SIFAT


KEKUATAN TARIK DAN DERAJAT IKATAN SILANG DARI CAMPURAN
LOW DENSITY POLYETHYLENE-ETHYLENE PROPYLENE DIENE
TERPOLYMER-SIR 20 RUBBER DENGAN INISIATOR DICUMIL
PEROXIDE
EFFECT OF DIVINILBENZENE ADDITION TO TENSILE STRENGHT
PROPERTIES AND CROSSLINKING DEGREE OF LOW DENSITY
POLYETHYLENE-ETHYLENE PROPYLENE DIENE
TERPOLYMER-SIR 20 RUBBER BLENDS WITH
DICUMIL PEROXIDE INITIATOR
Amir Hamzah Siregar.
Department Chemistry of North Sumatera University,Medan.
ABSTRACT
A research about thermoplastic elastomer blends with addition of divinilbenzene and without
divinilbenzene has been studied. Low density polyethylene-SIR 20 rubber-EPDM rubber with weight
ratio (50 : 25 : 25) gram, variation of dicumil peroxide and divinilbenzene is 1 phr, 2 phr, 3 phr into
internal mixer at 175oC. Then the blends pressed at 175oC temperature and the specimen molded to agree
with ASTM D638. The characterization has been done with tensile strength test, surface morphology
analysis with SEM, gel content analysis and spectrum analysis with FT-IR. Blends with divinilbenzene
variations has been resulting a higher tensile strength value than without divinilbenzene. The maximum
result of blends is shown by 1 phr of dicumil peroxide and 1 phr of divinilbenzene with tensile strength
value 1,70 kgf/mm2 and elongation at break value 320,9 %. It is caused the presence of stress transfer
among phase in the blend to enhance the compatibility. Surface morphology blend with divinilbenzene
smoother and more homogenous. The divinilbenzene present is supporting the crosslingking reaction so
that the blends have higher crosslinking degree with gel content percentage is 98,2 %. Spectrum analysis
with FT-IR has been shown that occur physic interaction among components of blends.
Keyword : LDPE, EPDM, Rubber (SIR-20), DVB, Mekanic Test.
A. PENDAHULUAN
Polietilena termasuk jenis polimer termoplastik,
yaitu jenis plastik yang dapat didaur ulang dengan
proses pemanasan. Keunggulan dari polietilena adalah
tahan terhadap minyak, pelarut dan menyerap uap air
dan gas. Sifat kekuatan tariknya sama seperti material
termoplastik lainnya. Polietilena merupakan salah satu
jenis termoplastik yang murah dan paling banyak
digunakan.
Indonesia merupakan negara penghasil karet
alam terbesar kedua setelah Thailand, dengan produk
utamanya adalah Standard Indonesian Rubber (SIR)20, dengan kandungan kotoran 0,20%, abu 1,00%, zat
menguap 0,80%, dan nitrogen 0,60% (Bahruddin dkk,
2007). Karet merupakan polimer elastomer karena
sifatnya yang elastis. Karet alam memiliki keunggulan
dalam hal kekuatan dan elastisitas, sedangkan
ketahanan terhadap ozon, panas dan bahan kimia
adalah sangat lemah. Karet sintetis EPDM (Ethylene

Propylene Diene Monomer) memiliki ketahanan


terhadap ozon dan panas yang baik tetapi kekuatannya
rendah dan sifat dinamiknya buruk.
Termoplastik Elastomer (TPE) adalah bagian
dari polimer yang menggabungkan sifat termoplastik
dengan elastomer. Termoplasik Elastomer (TPE)
didasarkan pada pencampuran karet dan plastik yang
terdiri dari dua bagian yaitu Termoplastik Olefin
(TPO) dan Termoplastik Vulkanisat (TPV).
Termoplastik Olefin (TPO) dapat dengan mudah
disiapkan dengan biaya yang relatif rendah karena fase
karet terdispersi tidak diikat silang, sedangkan TPV
prosesnya lebih rumit dan diikat silang melalui proses
vulkanisasi dinamik (Sae-oui dkk, 2010).
Pembuatan TPE telah banyak dilakukan,
umumnya dari material poliolefin dengan karet alam
ataupun karet sintetis. Campuran karet alam-polietilena
densitas tinggi yang divulkanisasi dinamik dengan

35

menggunakan zat pengkompatibel fenolik resin dapat


meningkatkan kekuatan tarik dan kemulurannya
dibandingkan tanpa zat pengkompatibel (Nakason dkk,
2006). Perlakuan yang sama dilakukan pada polietilena
densitas tinggi dengan karet alam yang didasarkan
pada minyak yang diperpanjang dengan menggunakan
zat pengkompatibel fenolik termodifikasi polietilena
(Pechurai dkk, 2008). Pencampuran Polipropilena
dengan abu ban bekas dengan penambahan inisiator
dikumil peroksida dan pengkompatibel HVA-2
(Awang dkk, 2008). Juga percampuran EPDM dengan
karet
alam
dan
termoplastik
polipropilena
menggunakan inisiator dikumil peroksida dan zat
pengkompatibel HVA-2. Padahal, campuran karet
EPDM dengan polipropilena memiliki sifat mekanik
dan fisik yang baik (Halimatuddahliana,2007). Hal
yang sama juga telah melakukan penelitian yang sama
dengan zat pengkompatibel
trans-polyoctenylene
(TOR) yang berfungsi sebagai ko-vulkanisasi
(Halimatuddahliana,
2006).
Martin
Batiuk,
menyebutkan bahwa EPDM mempunyai derajat
kristalinitas tidak regang yang tinggi secara fisik
dicampur dengan polietilena dan suatu kopolimer
etilena vinil asetat untuk membentuk campuran
termoplastik. Campuran ini menunjukkan kekuatan
tarik yang unggul, lebih baik dari yang diprediksi dari
pengaruh komponen polimer itu sendiri. Tidak ada
pematangan dan zat ikat silang yang digunakan
(Batiuk,1974).
Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya,
dimana terjadi pengurangan sifat fisik dan mekanik
akibat penggantian sebagian karet sintetis dengan karet
alam, maka kami akan melakukan penelitian tentang
campuran LDPE-karet alam SIR 20-EPDM dan
dikumil
peroksida
sebagai
inisiator
dengan
penambahan divinilbenzena (DVB) sebagai zat
pengkroslingking.
Pada
umumnya
vulkanisasi
poliolefin dan karet digunakan peroksida, dihasilkan
radikal-radikal reaktif sehingga ikat silang dan
pemotongan rantai dapat terjadi secara serentak
(Halimatuddahliana, 2007). Divinilbenzena berfungsi
sebagai bahan pengikat yang diharapkan dapat
meningkatkan proses ikat silang. Seperti yang
dilakukan peneliti sebelumnya, yaitu penggunaan
divinilbenzena sebagai zat pengikat silang pada resin
penukar ion tipe polistirena dengan klorometil yang
ditentukan dengan pirolisis kromatografi gas
(Shuncong dkk, 1998). Dengan adanya divinilbenzena
tersebut diharapkan kekurangan di atas bisa
diminimalkan dengan diperolehnya sifat fisik dan
mekanik dari campuran yang lebih baik.
B. METODOLOGI PENELITIAN
2.1. Bahan dan Alat
a. Bahan
Adapun bahan-bahan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah :

36

LDPE merek Yuhwa, ltd Korea, Karet SIR 20


diperoleh dari PTPN III Rantau Parapat, Karet EPDM
dieroleh dari PT. Sumber Jaya Jakarta, Dikumil
peroksida (p.a Merck), Divinilbenzena (p.a Merck).
b. Alat.
Sedangkan alat yang gunakan, Alat uji tarik
Autograph merek Torsee Electronic System, Hot
Compressor merek
Shimadju D6072 Dreiech,
Seperangkat alat FTIR (Shimadju), Seperangkat alat
SEM ( JSM-35 C Sumandju Jepang ), Alat internal
mixer (Heles CR-52), Alat ekstruder (Shimadju), Alat
sokletasi (Pyrex).
2.2.
Prosedur Penelitian
a. Pencampuran LDPE-karet alam SIR 20-karet
EPDM.
50 g LDPE dimasukkan ke dalam alat internal
mixer pada suhu 175oC sampai meleleh, kemudian 25 g
karet alam SIR 20 dan 25 g karet EPDM ditambahkan
ke dalam alat internal mixer sampai semua bercampur.
Selang waktu 15 menit ditambahkan 1 phr dikumil
peroksida ke dalam campuran. Perlakuan yang sama
dilakukan untuk campuran dengan variasi dikumil
peroksida 2 phr dan 3 phr.
b. Pencampuran LDPE-karet alam SIR 20-karet
EPDM dengan divinilbenzena
50 g LDPE dimasukkan ke dalam alat internal
mixer pada suhu 175oC sampai meleleh, kemudian 25 g
karet alam SIR 20 dan 25 g karet EPDM ditambahkan
ke dalam internal mixer sampai semua bercampur.
Selang waktu
15 menit
ditambahkan 1 phr
divinilbenzena dan 1 phr dikumil peroksida ke dalam
campuran. Dilakukan perlakuan yang sama untuk
campuran dengan variasi divinilbenzena 2 phr dan 3
phr dan variasi dikumil peroksida masing-masing 1
phr, 2 phr dan 3 phr.
2.3.

Pembuatan Spesimen
Hasil campuran diletakkan di antara lempengan
aluminium berukuran 15 x 15 cm yang telah dilapisi
dengan aluminium foil. Alat tekan hot kompressor
diset pada suhu 175oC. Kemudian lempeng tersebut
dimasukkan ke dalam alat tekan dan dibiarkan selama
5 menit tanpa tekanan. Setelah itu diberi tekanan 100
kgf/cm2 dan dibiarkan selama 20 menit. Sampel
diangkat dan didinginkan, dan sampel dibentuk sesuai
standart ASTM D638.
a. Uji Kekuatan Tarik
Pengujian kekuatan tarik dilakukan dengan
menggunakan alat uji tarik autograph terhadap tiap
spesimen berdasarkan ASTM D638, dengan kecepatan
tarik 50 mm/menit dan beban maksimum 100 kgf.
Mula-mula dihidupkan alat Torsee Electronic System
dan dibiarkan selama 1 jam. Spesimen dijepit

Jurnal Kimia Mulawarman Volume 9 No. 1, November 2011


Kimia F-MIPA Unmul

menggunakan griff pada alat, kemudian diatur


tegangan, regangan dan satuannya. Tekan tombol start
untuk memulai uji pada spesimen sampai putus. Catat
nilai load (tegangan) dan stroke (regangan) bila sampel
sudah putus. Perlakuan yang sama dilakukan untuk
semua sampel. Dari data load dan stroke yang
diperoleh dapat dihitung besar kekuatan tarik dan
kemuluran dari masing-masing spesimen.

ISSN 1693-5616

berskala berupa aluran kurva bilangan gelombang


terhadap intensitas.
d. Analisa Kandungan Gel
Mula-mula dirangkai alat sokletasi, kemudian
dimasukkan 250 ml xilena ke dalam labu alas dan
dimasukkan 10 g (Wo) sampel yang telah dibungkus
kertas saring ke dalam alat sokletasi. Sampel
disokletasi menggunakan pelarut xilena pada titik didih
135oC selama 8 jam. Setelah itu sampel dikeringkan
sampai pelarut xilena menguap seluruhnya dan
ditimbang hasilnya sebagai Wg. Dihitung persentase
ikat silang sampel.

% kandungan gel :
x 100%

Dimana Wg dan Wo adalah berat sampel setelah dan


sebelum sokletasi.

b. Analisa permukaan dengan SEM


Proses pengamatan mikroskopis menggunakan
SEM diawali dengan merekatkan sampel pada
spesimen holder yang terbuat dari logam. Kemudian
setelah sampel dibersihkan dengan alat peniup, sampel
dilapisi dengan emas bercampur paladium dengan
menggunakan mesin Ion Sputter JFC-1100 dengan
kepakuman 0,2 Torr, tegangan 1,2 kV, arus listrik 67,5 mA dan waktu 4 menit. Sampel selanjutnya
dimasukkan kedalam chamber spesimen pada mesin
SEM (JSM-35 C) untuk dilakukan pemotretan.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN


Pengujian kekuatan tarik () dan kemuluran ()
Hasil pengujian yang diperoleh adalah nilai load
c. Analisa Spektroskopi Infra Merah (FT-IR)
(tegangan) dan stroke (regangan). Dari data yang
Film hasil pencampuran dijepit pada tempat
diperoleh dapat dihitung nilai kekuatan tarik () dan
sampel kemudian diletakkan pada alat ke arah sinar
nilai kemuluran (). Hasil yang diperoleh disajikan
infra merah. Hasilnya akan direkam kedalam kertas
dalam tabel 1.
Tabel 1. Data hasil uji kekuatan tarik () dan kemuluran () dari campuran LDPE + karet EPDM + karet alam SIR 20
tanpa penambahan divinilbenzena

No.
1
2
3

LDPE
(g)
50
50
50

Komposisi
EPDM SIR 20
(g)
(g)
25
25
25
25
25
25

DCP
(phr)
1
2
3

Tegangan
(load)
Kgf
6,25
11,25
11,23

Regangan
(stroke)
mm/menit
56,25
62,53
47,80

Kekuatan
tarik ()
Kgf/mm2
0,52
0,937
0,935

Kemuluran
() %
112,5
125,06
95,6

Tabel 2. Data hasil uji kekuatan tarik () dan kemuluran () dari campuran LDPE + karet EPDM + karet alam SIR 20
dengan 1 phr divinilbenzena

No.
1
2
3

LDPE
(g)
50
50
50

Komposisi
EPDM SIR 20
(g)
(g)
25
25
25
25
25
25

DCP
(phr)
1
2
3

Tegangan
(load)
Kgf
20,47
10,87
13,47

Regangan
(stroke)
mm/menit
160,45
118,39
70,45

Kekuatan
tarik ()
Kgf/mm2
1,70
0,90
1,12

Kemuluran
() %
320,9
236,78
140,9

Tabel 3. Data hasil uji kekuatan tarik () dan kemuluran () dari campuran LDPE + karet EPDM + karet alam SIR 20
dengan 2 phr divinilbenzena

No.
1
2
3

LDPE
(g)
50
50
50

Komposisi
EPDM
SIR 20
(g)
(g)
25
25
25
25
25
25

DCP
(phr)
1
2
3

Tegangan
(load)
Kgf
6,40
2,07
3,45

Regangan
(stroke)
mm/menit
42,21
11,91
9,65

Kekuatan
tarik ()
Kgf/mm2
0,53
0,17
0,28

Kemuluran
() %
84,42
23,82
19,3

37

Tabel 4. Data hasil uji kekuatan tarik () dan kemuluran () dari campuran LDPE + karet EPDM + karet alam SIR 20
dengan 3 phr divinilbenzena

No.
1
2
3

LDPE
(g)
50
50
50

Komposisi
EPDM SIR 20
(g)
(g)
25
25
25
25
25
25

DCP
(phr)
1
2
3

Tegangan
(load)
Kgf
8,12
6,31
9,04

Analisa Permukaan dengan Scanning Electron


Microscopy (SEM)
Data hasil pengujian kekuatan tarik dan kemuluran
diperoleh hasil optimum pada variasi 2 phr dikumil
peroksida untuk campuran TPE tanpa divinilbenzena

Regangan
(stroke)
mm/menit
47,66
19,14
25,52

Kekuatan
tarik ()
Kgf/mm2
0,67
0,52
0,75

Kemuluran
() %
95,32
38,28
51,04

dan variasi 1 phr dikumil peroksida dengan 1 phr


divinilbenzena untuk campuran dengan penambahan
divinilbenzena. Hasil optimum dari sampel dilihat
morfologi permukaannya dengan SEM. Gambar hasil
pemotretan yang diperoleh adalah sebagai berikut :

Gambar 1. Hasil pemotretan SEM pada permukaan campuran LDPE+karet EPDM+karet alam SIR
20 dan 2 phr dikumil peroksida (perbesaran 5000x)

Gambar 2. Hasil pemotretan SEM pada permukaan campuran LDPE+karet EPDM+karet alam SIR 20 dan 1
phr dikumil peroksida dengan divinilbenzena (perbesaran 5000 x)
Tabel 5. Hasil analisa kandungan gel pada campuran TPE dengan dan tanpa penambahan divinilbenzena
No.
1
2

38

Sampel
LDPE + Karet EPDM + Karet alam SIR 20 + 2 phr DCP
LDPE + Karet EPDM + Karet alam SIR 20 + 1 phr DCP
+ 1 phr DVB

Wo (g)
10
10

Wg (g)
8,99
9,82

% Kandungan gel
89,9
98,2

Jurnal Kimia Mulawarman Volume 9 No. 1, November 2011


Kimia F-MIPA Unmul

ISSN 1693-5616

gambar 3 dan gambar 4 . Dari grafik di atas dapat


dilihat hasil yang lebih baik pada campuran TPE
dengan variasi 2 phr dikumil peroksida dengan nilai
kekuatan tarik 0,937 kgf/mm2 dan kemuluran 125,06
%. Berikut adalah grafik kekuatan tarik () dan
kemuluran () pada campuran TPE dengan
penambahan divinilbenzena :

C. HASIL DAN PEMBAHASAN


Pengujian Kekuatan Tarik () dan Kemuluran ()
Dari data yang diperoleh, hasil pengukuran
kekuatan tarik dan kemuluran dari campuran LDPE +
karet EPDM + karet alam SIR 20 tanpa penambahan
divinilbenzena ditunjukkan dalam bentuk grafik pada

Kekuatan tarik (Kgf/mm2)

1
0.8
0.6
0.4
0.2
0
1

Variasi dikumil peroksida (phr)

Kemuluran (%)

Gambar:3. Grafik kekuatan tarik () pada campuran TPE tanpa penambahan Divinilbenzena

140
120
100
80
60
40
20
0
1

Variasi dikumil peroksida (phr)

Kekuatan tarik (Kgf/mm2)

Gambar:4. Grafik kemuluran () pada campuran TPE tanpa penambahan Divinilbenzena

1.8
1.6
1.4
1.2
1
0.8
0.6
0.4
0.2
0

1 phr DCP
2 phr DCP
3 phr DCP

Variasi divinilbenzena (phr)


Gambar 5: Grafik kekuatan tarik () pada campuran TPE dengan penambahan

divinilbenzena

39

350

Kemuluran (%)

300
250
200
1 phr DCP

150

2 phr DCP

100

3 phr DCP

50
0
1

Variasi divinilbenzena (phr)


Gambar:6. Grafik kemuluran () pada campuran TPE dengan penambahan divinilbenzena
Pada grafik 5 dan 6 terlihat bahwa pada
campuran LDPE + karet alam SIR 20 + karet EPDM
dengan variasi 1 phr dikumil peroksida dan 1 phr
divinilbenzena menunjukkan nilai maksimum dan hasil
yang lebih baik dengan kekuatan tarik 1,70 kgf/mm2
dan kemuluran 320,9 %.
Data hasil pengujian kekuatan tarik dan
kemuluran diperoleh hasil maksimum dari semua tipe
campuran yaitu pada campuran dengan 1 phr
divinilbenzena. Kekuatan tarik pada campuran dengan
penambahan divinilbenzena lebih besar daripada
campuran tanpa penambahan divinilbenzena. Hal ini
disebabkan karena adanya divinilbenzena yang
berfungsi sebagai zat penghubung yang dapat
meningkatkan proses ikat silang, sehingga semakin
meningkat proses ikat silang maka kekuatan tarik juga
semakin besar. Hal ini terjadi karena transfer tegangan
antara fasa-fasa dalam campuran untuk membentuk
ikatan antarmuka selama proses ikat silang. Dengan
meningkatnya interaksi-interaksi fasa dalam campuran
dapat meningkatkan kompatibilitas dari campuran,
sehingga
kekuatan
tarik
campuran
dengan
divinilbenzena lebih besar daripada campuran tanpa
divinilbenzena.
Dari data yang diperoleh, kekuatan tarik dan
kemuluran campuran menurun dengan meningkatnya
jumlah dikumil peroksida dan divinilbenzena yang
digunakan. Ini disebabkan karena dikumil peroksida
yang ditambahkan terlalu berlebihan sehingga terjadi
pemutusan rantai oleh dikumil peroksida. Hal ini
menyebabkan penurunan sifat kekuatan tarik dan
kemuluran pada campuran.

40

Analisa Permukaan dengan Scanning Electron


Microscopy (SEM)
Hasil pemotretan SEM yang diperoleh
ditunjukkan pada gambar 1 dan gambar 2. Campuran
dengan divinilbenzena lebih efektif daripada tanpa
divinilbenzena
karena
dapat
mereduksi
dan
menstabilisasi ukuran dari fasa terdispersi sehingga
memiliki permukaan yang lebih rapat karena poriporinya yang halus. Permukaan campuran dengan
divinilbenzena lebih halus dan merata karena
terjadinya ikatan antarmuka pada masing-masing fasa
dalam campuran, dan ini dapat menyebabkan sifat
mekanik dari campuran menjadi lebih baik.
Analisa Kandungan Gel
Jumlah kandungan gel ditentukan setelah sokletasi
fasa karet yang tidak terikat silang. Gel dibentuk ketika
interaksi yang kuat antara komponen-komponen
campuran, ini menunjukkan bahwa adanya ikat silang
dan kompatibilisasi yang terbentuk dalam campuran.
Penambahan divinilbenzena meningkatkan persentase
gel yang berhubungan dengan meningkatnya efisiensi
ikat silang dalam campuran karena adanya
divinilbenzena sebagai zat penghubung, sehingga fasa
karet tidak dapat dilarutkan oleh xilena pada proses
sokletasi.
Analisa Spektrum FT-IR
Analisa dengan menggunakan spektrum infra
merah ini digunakan untuk memberikan informasi
tentang adanya perubahan gugus fungsi yang
menandakan adanya interaksi secara kimia.

Jurnal Kimia Mulawarman Volume 9 No. 1, November 2011


Kimia F-MIPA Unmul

ISSN 1693-5616

Gambar 7. Spektrum FT-IR campuran LDPE + karet alam SIR 20 + karet EPDM tanpa penambahan divinilbenzena
Tabel 6. Hasil analisa spektrum FT-IR campuran LDPE + karet alam SIR 20 + karet EPDM tanpa penambahan
divinilbenzena
Sampel
Campuran LDPE + karet
alam SIR 20 + karet EPDM +
2 phr dikumil peroksida

Bilangan gelombang (cm-1)


3697,25-3621,25
2916,12-2849,12
1665,44
1462,18
1376,27
1115,23

Pada panjang gelombang 3697,25-3621,25 cm-1


terdapat gugus C-H aromatis yang berasal dari karet
EPDM, uluran C-H alifatis pada 2916,12-2849,12 cm-1,

Gugus fungsi
C-H aromatis
C-H
C=O
CH2
CH3
C-O

tekukan CH2 dan CH3 pada 1462,18 cm-1 dan 1367,27


cm-1, gugus C=O berasal dari asetofenon dan gugus CO berasal dari dikumil peroksida.

Gambar 8. Spektrum FTIR campuran LDPE + karet EPDM + karet SIR 20 + 1 phr dikumil peroksida + 1 phr
divinibenzena

41

Tabel 7. Hasil analisa spektrum FT-IR campuran LDPE + karet alam SIR 20 + karet EPDM dengan penambahan
divinilbenzena
Sampel
Campuran LDPE + karet
alam SIR 20 + karet EPDM
+ 1 phr dikumil peroksida +
1 phr divinilbenzena

Bilangan gelombang (cm-1)


3696,12-3620,9
2914,0-2850,0
1663,26
1462,3
1376,9
1115,8

Gugus fungsi
C-H aromatis
C-H
C=O
CH2
CH3
C-O

Gugus C-H aromatis berasal dari senyawa


divinilbenzena, uluran C-H alifatis pada bilangan
gelombang 2914,0-2850,0 cm-1, gugus C=O dari
asetofenon (dikumil peroksida) dan gugus C-O dari
senyawa dikumil peroksida.
Dari hasil spektrum FT-IR yang diperoleh,
untuk campuran dengan penambahan divinilbenzena
dan tanpa penambahan divinilbenzena hanya terjadi

sedikit pergeseran bilangan gelombang. Dalam hal ini


diketahui bahwa dalam reaksi yang terjadi tidak ada
penambahan gugus fungsi baru dan hanya terjadi
interaksi fisik antara senyawa penyusun campuran
dengan terjadinya proses ikat silang. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa penambahan divinilbenzena
tidak sepenuhnya membentuk ikatan kimia.

D. KESIMPULAN
`Dari penelitian yang dilakukan, maka dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Pengaruh penambahan divinilbenzena pada
campuran LDPE + karet alam SIR 20 + karet
EPDM adalah dapat meningkatkan proses ikat
silang. Dimana semakin tinggi proses ikat silang
yang terjadi dalam campuran maka derajat ikat
silang yang terbentuk juga semakin baik yang
dibuktikan dengan diperolehnya persentasi
kandungan gel yang lebih besar yaitu 98,2 %.
Derajat ikat silang yang lebih besar memberikan

kekuatan tarik yang lebih baik pula pada


campuran.
Penambahan divinilbenzena terhadap campuran
dapat mempengaruhi morfologi permukaan dan
spektrum FT-IR campuran. Morfologi permukaan
campuran dengan penambahan divinilbenzena
jadi lebih halus dan merata dan dari analisa
spektrum FT-IR tidak terjadi perubahan gugus
fungsi dan hanya terjadi interaksi fisik dalam
campuran.

2.

DAFTAR PUSTAKA
1. Allen, N. S. 1983. Degradation and Stabilisation of Polyolefins. England : Applied Science Publishers ltd.
2. Awang, M. H. Ismail. 2008. Preparation and Characterization of Polypropylene/Waste Tyre Dust with Addition of DCP and
HVA-2 (PP/WTD/HVA-2). Polymer Testing 27 : 321-329.
3. Bahl, A. 2004. A Textbook of Organic Chemistry. New Delhi : S.Chand and Company Ltd.
4. Bahruddin. Sumarno. G. Wibawa. N. Soewarno. 2007. Morfologi dan Properti Campuran Karet Alam/Polypropylene yang
Divulkanisasi Dinamik Dalam Internal Mixer. Reaktor Vol. 11 No. 2 : 71-77.
5. Bark, L. S. 1982. Analysis of Polymer Systems. London : Applied Science Publishers.
6. Batiuk, M. Richard M. Herman. J. C. Healy. 1976. Thermoplastic Polymer Blends of EPDM Polymer, Polyethylene and
Ethylene Vinil Acetate Copolymer. United States Patent 3.941.859 19 : 1-10.
7. Billmeyer, F. W. 1971. Textbook of Polymer Science. Second Edition. USA : John Wiley and Sons
8. Blackley, D. C. 1983. Synthetic Rubbers : Their Chemistry and Technology. London : Applied Science Publishers ltd.
9. Halimatuddahliana. 2007. The Effect of N,N-m-Phenylenebismaleimide (HVA-2) Addition on Properties of Polypropylene
(PP)/Ethylene-Propylene Diene Terpolymer (EPDM)/Natural Rubber (NR) Vulcanized Blends. Jurnal Teknologi Proses 6
(1) : 52-58.
10. Halimatuddahliana. 2006. Tensile Properties of Vulcanized Polypropilene/Ethylene-Propylene Diene Terpolymer/Natural
Rubber (PP/EPDM/NR) Blends : The Effect of trans Polyoctenylene Rubber (TOR) addition. Jurnal Teknologi Proses 5 (1) :
20-26.

42

Jurnal Kimia Mulawarman Volume 9 No. 1, November 2011


Kimia F-MIPA Unmul

ISSN 1693-5616

11. Mao, Shuncong. Shin Tsuge.Hajime Ohtani. Shigeru.Atsuo Kiyokawa. 1997. Determination of Cross-linking Reagent,
Divinylbenzene in Polystyrene-Type Ion Exchage Resin Precursors with Chloromethyl Substituents by pyrolisis-Gas
Chromatography in Aiding Preliminary Reduction of Chlorine Atoms in The Samples. Elsevier 39 : 143-149
12. Moldovan, Z. Florica. Simona. Ioana and Gabriel. 2008. EPDM-HDPE Blends with Different Cure System/Mechanical and
Infra-Red Spectrometric Properties. Journal of Applied Sciences 8(1) : 86-94.
13. Morton, M. 1987. Rubber Technology.New York : American Chemical Society.
14. Nakason, C. Krungjit Nuansomsri. Azizon Kaesaman. Suda Kiatkamjornwong. 2006. Dynamic Vulcanization of Natural
Rubber/High Density Polyethylene Blends : Effect of Compatibilization, Blend Ratio and Curing System. Polymer Testing
25 : 782-796
15. Naskar, K. D. Kokot. J. W. M. Noordermeer. 2004. Influence of Various Stabilizers on Ageing of Dicumyl Peroxide-Cured
Polypropylene/Ethylene-Propylene-Diene Thermoplastic Vulcanizates. Polymer Degradation and Stability 85 : 831- 839.
16. Pechurai, W. Charoen Nakason. Kannika Sahakaro. 2008. Thermoplastic Natural Rubber Based on Oil Extended NR and
HDPE Blends : Blends Compatibilizer, Phase Inversion Composition and Mechanical Properties. Polymer Testing 27 :
621-631.
17. Saechtling. 1987. Plastic Handbook : For The Technologist Engineer and User.
Second Edition.Munich : Carl
Hansenverlag
18. Sae-oui, P. Chakrit S. Promsak. 2010. Properties and Recyclability of Thermoplastic Elastromer Prepared from Natural
Rubber Powder (NRP) and High Density Polyethylene (HDPE). Polymer Testing 30 : 1-6
19. Thitithammawong, A. C. Nakason. K. Sahakaro. Noordermeer. 2007. Thermoplastic Vulcanizates Based on Epoxidized
Natural Rubber/Polypropylene Blends : Selection of Optimal Peroxide Type and Concentration in Relation to Mixing
Conditions. European Polymer Journal 43 : 4008-4018

SINTESIS DAN KARAKTERISASI NANOSILIKA MENGGUNAKAN NATRIUM


SILIKAT DARI ABU SEKAM PADI DAN NATRIUM KARBONAT
43

SYNTHESIS AND CHARACTERIZATION OF NANOSILICA USING SODIUM


SILICATE FROM RICE HUSK ASH AND SODIUM CARBONATE
Imroatul Muallimah, Soerja Koesnarpadi dan Noor Hindryawati
Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Mulawarman
ABSTRACT
The research of synthesis and characterization of nanosilica with basic material using sodium silicate from rice husk
ash and sodium carbonate has been conducted by using dry destruction method. Rice husk ash obtained from rice husk
charcoal at 700 C temperature for 4 hours. Rice husk ash is washed with acid sulfhate 5% and 0.1 M sodium EDTA,
and then it is mixed with sodium carbonate at a temperature of 900 oC for 30 minutes. The result of the mixing is
solute with aqua bides, so a solution of sodium silicate is obtained. Formation of silica gel is made by titration using
sulfuric acid which stirred constantly with a temperature of 90-100oC. Silica gel is dried after washing. Silica is mixed
by acid chloride with a temperature of 90 o C for 6 hours. The residue obtained was washed by warm aqua bides and
stirred with a sodium hydroxide for 10 hours. Then add a few drops of concentrated sulfuric acid to form a precipitate.
The precipitate is characterized by X-Ray Diffraction (XRD) and Scanning Electron Microscope (SEM). The results
obtained using XRD indicate that the value of 2 = 22,88, d = 3.88 and the particle size is 67.97 nm. The
micrograph of nanosilica SEM shows that soft particles are different with micrograph of rice husk ash.
Keywords : rice husk ash, nanosilica, X-Ray Diffraction, Scanning Electron Microscope
A. PENDAHULUAN
Sekam sering diartikan sebagai bahan buangan atau
bahan sisa dari proses pengolahan hasil pertanian. Proses
penghancuran limbah secara alami berlangsung lambat,
sehingga limbah tidak saja mengganggu lingkungan
sekitarnya tetapi juga mengganggu kesehatan manusia. Pada
setiap penggilingan padi akan selalu kita lihat tumpukan
bahkan gunungan sekam yang semakin lama semakin tinggi.
Saat ini pemanfaatan sekam padi tersebut masih sangat
sedikit, sehingga sekam tetap menjadi bahan limbah yang
mengganggu lingkungan. Struktur sekam padi memiliki
empat lapisan yaitu epidermis terluar yang dilapisi kulit ari,
Scelerenchyma, Spongi parenchyma, epidermis terdalam.
Dari keempat lapisan di atas sekam padi mengandung
silikon yang dominan pada kedua lapisan epidermisnya yang
berfungsi sebagai pengeras dan pelindung gabah terhadap
jamur.
Banyak sifat pada material padatan ditentukan dari
pengaturan tiga-dimensinya. Salah satu yang mempengaruhi
sifat dari suatu padatan adalah ukurannya, dengan ukuran
partikel antara 1 nm dan 100 nm diharapkan sifat
kuantum dari padatan tersebut akan muncul (Schubert, dan
Husing, 2000).
Material berstruktur nano dibuat mengacu pada
bahan yang memiliki karakteristik dalam rentang nanometer
sehingga akan mempengaruhi sifat fisik atau kimianya.
Bahan berstrukturnano mungkin memiliki
satu atau
beberapa fase kristal, misalnya kuarsa amorf dan bisa kristal
dari logam.
Dalam penelitian ini dilakukan sintesis da
karakterisasi nanosilika menggunakan bahan dasar natrium
silikat dari abu sekam padi dan natrium karbonat. Penelitian
ini juga diharapkan dapat membantu menambah nilai
ekonomi petani dalam mengolah limbah pertanian
khususnya sekam padi.

44

B. METODOLOGI PENELITIAN
Alat dan Bahan Penelitian
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah Absorption atomic spectrofotometry (AAS), SEM
micrographs dan X-Ray Diffractometer, Oven, Furnace, alat
alat gelas dan corong kaca.
Bahan yang digunakan adalah sekam padi yang
diambil dari tempat penggilingan padi didaerah Lempake
Samarinda Utara, Na2EDTA, H2SO4, HCl, akuabidest,
NaOH, Na2CO3, kertas saring Whatman 42, Kertas pH
indikator universal.
Prosedur Penelitian
Pembuatan Abu Sekam Padi. Sekam kering yang telah
diarangkan, diabukan dalam furnace selama 4 jam pada
temperatur 700oC. Abu yang diperoleh digerus dan disaring
dengan ayakan 200 mesh. Kemudian ditambahkan H 2SO4 5
% dan Na2EDTA 0,1 M dan disaring lalu dikeringkan dalam
oven sela 2 jam. Abu sekam padi murni ditambahkan
Na2CO3 5, 31 gr kemudian dilebur dalam furnace ( 900 o C)
selama 30 menit. Kemudian dinginkan dan tambahkan 16,62
mL akubides, diamkan selama semalam lalu diuji dengan
AAS untuk mengetahui kadar silika yang terkandung dalam
sampel.
Pembuatan nanosilika. Silika murni dapat diperoleh
dengan metode titrasi menggunakan 5 N H2SO4 dengan
diaduk secara tetap dan kondisinya terkontrol. Temperatur
yang digunakan berkisar 90o 100o C dalam tekanan
atmosper. Dalam keadaan asam pada pH 2 akan terbentuk
silika. Silika gel yang terbentuk dicuci dengan akuabidest
hangat untuk menghilangkan pengotor sulphat. Kemudian
produk yang terbentuk dipanaskan dalam oven selama 15
jam sampai terbentuk padatan silika.

Jurnal Kimia Mulawarman Volume 9 No. 1, November 2011


Kimia F-MIPA Unmul
Padatan silika direfluks dengan HCl 6 N selama 6
jam dilanjutkan pada suhu 80o 90o C. Sampel yang
terbentuk lalu dicuci dengan akuabidest hangat. Setelah itu
40 ml NaOH 2,5 N dicampurkan dengan padatan silika dan
diaduk dengan stirer yang tetap selama 10 jam. Lalu
ditambahkan H2SO4 pekat sampai terbentuk endapan.
Endapan yang terbentuk dicuci berulang dengan akuabidest
hangat. Endapan nanosilika yang terbentuk dikeringkan
dalam ruang yang panas selama 30 jam. Kemudian diuji
dengan menggunakan XRD dan SEM.
Karakterisasi dilakukan untuk mendapatkan pola
difraksinar-x (XRD). Data tersebut kemudian dianalisis
dengan menggunakan analisa Rietveld dengan software
MAUD (Material Analysis Using Diffraction) dengan
menggunakan program tersebut akan diperoleh struktur
kristal dan ukuran partikel.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
Langkah-langkah pembuatan abu sekam padi
diawali dengan proses padi diawali dengan proses menjadi
arang, dilanjutkan proses pengabuan, pencucian dan
karakterisasi abu sekam padi.
Proses menjadi arang dan menjadi abu
Sekam padi yang diambil dari daerah Lempake,
Samarinda dibersihkan dari kotoran-kotoran seperti batu,
tanah, daun maupun ranting. Sekam padi dicuci dengan air
ledeng dan akuades untuk menghilangkan kotoran yang dapat
larut dalam air. Sekam padi dikeringkan dan diarangkan.
Pengarangan sekam ini bertujuan untuk mengubah senyawa
organik dalam sekam menjadi uap air, karbon dan
karbondioksida. Selain itu dengan pengarangan diharapkan
pengabuan sekam dapat berlangsung sempurna. Arang sekam
diabukan dalam tanur pada suhu 700oC selama 4 jam. Warna
hitam arang akan menjadi abu yang berwarna putih keabuan,
hal ini menunjukan bahwa pemanasan selanjutnya membuat
arang akan teroksidasi dan meninggalkan residu berupa abu
berwarna putih yang menunjukan kandungan silikat yang
tinggi. Untuk menghomogenkan ukuran abu yang dihasilkan
maka dilakukan penggerusan menggunakan mortal atau
lumpang lalu disaring dengan ayakan berdiameter 200 mesh
(Suharsih, 2004).
Tujuan menggunakan suhu 700oC dipilih karena
berdasarkan penelitian kurniawati (2003) suhu pengabuan
yang efektif dan efisien adalah 700oC. abu sekam yang
diperoleh berstruktur amorf dan struktur amorf ini lebih
menguntungkan bila digunakan sebagai sumber silika dalam
pembuatan silika gel karena silika amorf bersifat reaktif
sehingga mudah dilebur dan akan meningkatkan efisiensi
silika gel yang dihasilkan. Pengabuan dimaksudkan untuk
menghilangkan komponen organik yang masih ada dan
mengoksidasi karbon secara sempurna, sehingga diperoleh
abu sekam yang berwarna putih. Pada proses pengabuan padi,
pemanasan akan mengubah semua komponen organik
menjadi gas karbondioksida dan uap air. Abu sekam padi
merupakan material anorganik dengan kadar silika yang
tinggi, seperti yang dinyatakan oleh Somaatmadja bahwa
pembakaran sekam biasanya menghasilkan 20 % abu dengan
silika sebagai komponen utamanya (Fatimah, 1997).

ISSN 1693-5616

Tabel 1. Efisiensi yang diperoleh dari pengarangan dan


pengabuan sekam.
Sampel
Efisiensi
Efisiensi pengabuan
pengarangan (%)
(%)
1
59,37 %
22,44 %
2
58,06 %
22, 58 %
Rerata
58,71 %
22.51%
Hasil efisiensi pengabuan pada Tabel 1 sebesar
22,51 %. Hal ini sesuai dengan penelitian Enymia,dkk
(1998) yang menyatakan bahwa sekam padi yang dibakar
pada suhu 700-900o C akan menghasilkan abu sekam sekitar
16-25% tergantung pada variasi iklim dan lokasi geografis
persawahan.
Agar pencucian yang dilakukan pada tahap
berikutnya lebih efektif maka permukaan abu diperluas
dengan cara abu sekam padi digerus dan diayak dengan
ayakan 200 mesh. Selanjutnya abu sekam padi dicuci
dengan H2SO4 5 % dan dinetralkan dengan akuabides.
Pencucian dengan H2SO4 5 % ini untuk melarutkan oksida
logam dan mendekomposisi senyawa organik yang masih
terkandung di dalam abu sekam padi. Pencucian dilanjutkan
dengan Na2EDTA 0,1 M dan dinetralkan kembali dengan
akuabides. Na2EDTA berfungsi sebagai pelarut dan pengikat
logam-logam selain Si yang ada dalam abu sekam padi.
Menurut Agustini (2003) pencucian abu dengan H2SO4 dan
Na2EDTA mampu menurunkan kadar pengotor yang berupa
oksida-oksida logam berkisar antara 20 100 % tergantung
dari jenis unsurnya.
Abu sekam yang sudah bersih kemudian dilebur
dengan Na2CO3 dengan perbandingan berat 1 ; 1,177 dimana
perbandingan ini diperoleh dari kesetaraan dalam reaksi.
Abu sekam dilebur pada suhu 900oC selama 30 menit, di
atas titik lebur Na2CO3 851oC (Suwanti, 2004). Peleburan di
atas suhu titik lebur ini dimaksudkan agar reaksi antara abu
sekam padi dengan Na2CO3 berjalan sempurna. Selain itu
sebelum dilebur campuran antara abu dengan natrium
karbonat harus homogen agar reaksi sempurna. Peleburan ini
ditujukan untuk mendekomposisi silika dalam abu sekam
padi menjadi natrium silikat sesuai dengan persamaan reaksi
berikut ini :
SiO2 + Na2CO3 Na2SiO3 + CO2
Padatan natrium silikat didinginkan kemudian
ditambahkan akuabides dan dibiarkan semalam agar larutan
natrium yang terbentuk lebih sempurna. Larutan natrium
silikat disaring untuk memisahkan endapan yang diduga
merupakan silika yang tak larut. Filtrat yang diperoleh
adalah larutan natrium silikat yang akan digunakan sebagai
bahan pembuatan silika gel.
komposisi SiO2 dalam silika gel
Silika gel dianalisa kandungan SiO2 dengan
Absorption Atomic Spectrofotometry (AAS).data penelitian
disajikan dalam tabel dibawah ini;
Tabel 2. kandungan kadar SiO2 dalam sampel abu sekam
padi
Sampel
konsent Absorbans Persentase
Abu Sekam Padi
rasi
i

45

Tanpa pemurnian
Dengan
pemurnian

42,667
ppm
45,167
ppm

0,051 mg/L

85,33 %

0,054 mg/L

90,33 %

bahwa pencucian berpengaruh terhadap berkurang pengotor


dalam abu sekam yang secara tidak langsung dapat
mempengaruhi kemurnian abu sekam dalam silika gel yang
dihasilkan.
Jika dilihat secara visual, abu sekam padi setelah
dimurnikan terlihat lebih putih, butirannya lebih halus.

Dari Tabel 2 diketahui bahwa kandungan SiO2


dalam silika gel adalah 90,33 % dan dalam abu sebelum
pemurnian 85,33 %. Dari data diatas mennjukan bahwa
pencucian memberi efek terhadap peningkatan kadar SiO2
dalam abu sekam padi.
Menurut Agustini (2003),
Sedangkan abu sekam padi terlihat bentuknya kasar dan
tidak teratur. Dampak dari pemurnian ini memberikan hasil
padatan silica yang memiliki kadar silika yang tinggi dengan
sedikit pengotor didalamnya.

(a)
(b)
Gambar 1.Gambar secara visual abu sekam padi a. tanpa pemurnian. b.dengan pemurnian
Pembuatan Silika Gel
Larutan natrium silikat digelkan dengan cara
mengasamkan menggunakan asam sulfat. Dalam penelitian
ini digunakan asam sulfat dengan konsentrasi 5 N.
Penambahan asam dilakukan perlahan dengan menggunakan
prinsip titrasi dengan pengadukan yang tetap serta suhu
antara 90-100oC dalam tekanan atmosphere. Dalam keadaan
asam ( pH 2-4 ) akan terbentuk silika dan pengadukan
dihentikan. Gel yang terbentuk didiamkan sampai tahap
sinerisis selesai. Reaksi yang terjadi diperkirakan (Suharsih,
2004):
Na2SiO3 + 2H+ + H2O Si(OH)4 + 2Na+ nSi(OH)4
nSiO2.xH2O + (n-x)H2O
Asam silikat bebas yang terbentuk dari reaksi diatas
akan membentuk dimer, trimer dan seterusnya menjadi
polimer asam silikat. Gabungan dari polimer akan
membentuk jaringan pada ukuran tertentu akan mengalami
rekasi kondensasi membentuk fasa padatan yang disebut
alkogel, yang setelah didiamkan beberapa saat akan
mengalami reaksi sinerisasis. Pada proses sinerisasis terjadi
pelepasan garam yang akan menghasilkan hidrogel yang
bersifat kaku.

46

Gel yang terbentuk kemudian dicuci dengan akuabides


sampai netral dengan tujuan untuk menghilangkan pengotor
sulfat, dan kemudian dikeringkan selama kurang lebih 15
jam dalam suhu panas. Silika gel yang telah mengalami
pengeringan disebut serogel.
Pembuatan Nanosilika
Padatan silika yang terbentuk kemudian direfluks
dengan HCl 6 N selama 4-6 jam untuk menghomogenkan
larutan dalam suhu 80-90oC. kemudian residu yang didapat
dicuci dengan akuabides hingga netral untuk menghilangkan
mineral yang tidak dibutuhkan dalam penelitian. Kemudian
residu diaduk menggunakan magnetic stirrer secara konstan
selama 10 jam. Lalu ditambahkan H2SO4 pekat secara
perlahan tiap tetes hingga terbentuk endapan. Jika telah
terbentuk endapan dicuci secara berulang dengan akuabides
hangat untuk menghilangkan pengotor sulfat hingga netral
lalu dikeringkan dalam suhu panas selama kurang lebih 30
jam. Padatan yang terbentuk diperkirakan adalah nanosilika,
untuk mengetahui karakteristik dari padatan tersebut maka
diuji dengan XRD (X-Ray Diffraction) untuk mengetahui
struktur kristal yang terbentuk dan struktur kristal
nanosilika,
Hasil pengamatan difraktrogram abu sekam dan
naosilika dengan alat difraktrogram disajikan pada Gambar
4.2

Jurnal Kimia Mulawarman Volume 9 No. 1, November 2011


Kimia F-MIPA Unmul

ISSN 1693-5616

(a)

(b)
Gambar 2. (a) Hasil X-Ray Diffraction untuk abu sekam padi, (b) hasil X-Ray Diffraction untuk nosilika
Difraksi sinar-x merupakan analisis kualitatif dan
kuantitatif yang dapat memberikan informasi mengenai
suatu struktur kristal dan ukuran partikelnya. Dari gambar
4.2 a dan b, terdapat satu puncak yang melebar pada pusat
puncak 2 = 16,45o dan d = 5,51 untuk abu sekam padi
pada gambar 2.a Kemudian pada gambar 4.2 b nanosilika
nilai 2 = 22,88o dan d = 3,88 . Secara visual terlihat
bahwa struktur padatan adalah amorf karena terlihat satu
puncak /gundukan yang melebar. Jika dilihat analisis
Rietveld struktur Kristal menunjukan amorf untuk kedua
struktur padatan di atas. Hasil analisis pada nanosilika

menunjukkan ukuran partikel 67,97 nm. Nilai tersebut tidak


jauh berbeda dengan penelitian Amutha, K (2010) yang
memperoleh hasil X-Ray diffraction memperlihatkan puncak
disekitar 15 25 dan ukuran partikel kristal 70-80 nm.
Kemudian Chananil dan Swatsitang
(2004) juga
memperoleh nanosilika dari abu sekam padi dengan ukuran
partikel 50-150 nm dan struktur amorf pada 2 = 22o.
Data XRD yang diperoleh didukung dengan
morfologi yang dihasilkan dari SEM. Morfologi permukaan
foto SEM untuk padatan abu sekam padi dan nanosilika
dapat disajikan pada gambar 3 dibawah ini;

47

(a)

(b)
Gambar 3. (a) foto SEM abu sekam padi (b) foto SEM nanosilika
Berdasarkan morfologi SEM yang dihasilkan menunjukan pada SEM abu sekam padi terdapat butir-butir yang
masih teraglomerasi dan berpori yang ukuran butirannya lebih besar disbanding (b), sedangkan pada foto SEM nanosilika
menunjukan butir-butir halus yang sangat kecil, dengan pori-pori yang kecil dimana butiran-butiran tersebut terdistribusi
merata. Berdasarkan hasil XRD dan SEM maka dapat disimpulkan bahwa material nanosilika telah berhasil disintesis.

Gambar 4. Perbedaan organoleptis nanosilika


Dari Gambar 4 diatas terlihat bahwa sintesis
nanosilika telah berhasil karena telah terbentuk material baru
yang memiliki sifat fisik dan kimia yang berbeda dari
material awalnya. Terdapat perbedaan yang sangat mencolok
dari ukuran makro (sekam) menjadi mikro (abu sekam padi)
kemudian menjadi nano (nanosilika).
D. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa
nanosilika yang diperoleh dari abu sekam padi dan natrium

48

karbonat dikarakterisasi menggunakan XRD menunjukan


nilai 2 = 22,88o d = 3.88 . Struktur amorf dengan ukuran
partikel 67,97 nm, nilai ini diperoleh dari analisis Rietveld
dengan metode MAUD sehingga dimungkinkan untuk
menentukan struktur Kristal, terutama untuk struktur yang
relative sederhana. Gambar dari foto SEM nanosilika
menunjukan butir-butir halus yang berbeda dengan gambar
SEM dari abu sekam padi.

Jurnal Kimia Mulawarman Volume 9 No. 1, November 2011


Kimia F-MIPA Unmul

ISSN 1693-5616

DAFTAR PUSTAKA
1. Amutha, K. R, Ravibaskar, and G, Sivakumar. 2010. Extraction, Synthesis and Characterization of Nanosilika from Rice
Husk Ash. Internasional Journal of Nanotechnology and Applications Vol.4, No.1,61-66
2. Agustini, A., 2003, Penggunaan NaOH dan H2SO4 pada sintesis Silika Gel dari Abu Sekam Padi, Skripsi., Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta
3. Chananil.,I.P dan Swatsitang, E., 2004. Preparation of Silicom from Rice Hulls. Technical Digest of the Internasional
FVSEC-14, Banglore, Thailand
4. Enymia, Suhanda dan Sulistiharini, N. 1998. Pembuatan Silika Gel Kering dari Sekam Padi Untuk Bahan Pengisi Karet
Ban, Jurnal Keramik dan Gelas Indonesia, ( 7 (182) 1-8 )
5. Fatimah, A., 1997. Pemanfaatan Abu Sekam Padi Untuk Menurunkan Kadar Cr (VI) dalam Limbah Industri, Skripsi,
Institut Pertanian Bogor, Bogor
6. Kurniawati, W., 2003. Sintesis Silika Gel dari Abu Sekam Padi Menggunakan Natrium Hidroksida dan Asam Sitrat,
Skripsi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
7. Schubert, U., and Husing, N., 2000. Synthesis of AnOrganik Materials, Wiley-Vch, German
8. Suharsih, T. 2004. Pengaruh Konsentrasi Asam Sitrat dan Asam Klorida dalam Pembuatan Silika Gel dari Abu Sekam
Padi Terhadap Karakterisasi Hasil. Skripsi, Unversitas Gadjah Mada, Yogyakarta

49

Anda mungkin juga menyukai