Anda di halaman 1dari 38

UJI TOKSISITAS EKSTRAK ETANOL DAUN SENGGANI

(Melastoma malabathricum L.) TERHADAP LARVA


UDANG (Artemia salina L) DENGAN METODE BSLT
(Brine Shrimp Lethality Test)

Usulan Penelitian untuk Karya Tulis Ilmiah

Diajukan Oleh :

SISKA PUTRI UTAMA


F.15.124

Kepada
PROGRAM STUDI DIPLOMA III FARMASI
POLITEKNIK BINA HUSADA KENDARI
KENDARI
2018

1
2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tumbuhan merupakan sumber berbagai jenis senyawa kimia yang

memiliki khasiat sebagai obat. Pemanfaatan tumbuhan sebagai obat merupakan

warisan nenek moyang yang sejak dahulu kala dan telah banyak digunakan

dalam kurun waktu yang cukup lama hampir diseluruh dunia.

Pengembangan produksi tanaman obat saat ini semakin pesat,

dipengaruhi oleh kesadaran masyarakat yang meningkat tentang manfaat

tanaman obat (Dalimartha, 1999). Masyarakat semakin sadar akan pentingnya

kembali ke alam dengan memanfaatkan obat – obat alami (obat tradisional).

Hal ini disebabkan karena penggunaan obat tradisional memiliki efek samping

yang relatif lebih kecil (Djauhariya dan Hernani, 2004).

Sesuai standar mutu dari WHO penggunaan obat tradisional harus

memiliki beberapa persyaratan meliputi kualitas, keamanan, dan khasiat

(Depkes RI, 2000), sehingga untuk memenuhi persyaratan tersebut diperlukan

upaya penegasan keamanan melalui uji praklinik yaitu uji aktivitas/efektivitas

dan uji toksisitas, yang jika syaratnya terpenuhi maka dapat berlanjut ketahap

uji klinik.

Salah satu tumbuhan berkhasiat obat, yang dikenal masyarakat adalah

Senggani (Melastoma malabathricum L.) dari suku Melastomaceae. Tanaman

ini berkhasiat sebagai penurun demam (antipiretik), pereda nyeri (analgesik),

peluruh air seni (diuretik), mengobati keputihan (leukorea), dan dapat

3
mengobati berbagai jenis luka tersayat (Dalimartha, 2000). Hasil skrining

fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun Senggani mengandung

senyawa tanin, flavonoid, steroid, saponin, kuinon, alkaloid, triterpenoid dan

glikosida (Gholib, 2009 & Dalimartha, 1999).

Menurut Penelitian Dwi Samni Miarni, (2017) ekstrak etanol daun

senggani dengan dosis 360/720 mg/kg BB mampu menurunkan kadar gula

mencit secara signifikan. Penelitian Endra Dewi Prianingrum, (2006) ekstrak

etanol daun senggani memiliki efek anti inflamasi berturut-turut sebesar 10,75

%; 11,57 %; 32,67 %; dan 25,07 %. Potensi relatif efek anti inflamasi secara

berturut-turut adalah sebagai berikut : 18,89 %; 20,33 %; 57,42 %; dan 44,06

%. Penelitian Galuh Nindya Tyas Tusthi, (2007) ekstrak etanol daun senggani

memiliki efek analgesik terhadap mencit putih betina pada dosis 850 mg/kg

BB, 1000 mg/kg BB, 1330 mg/kg BB, dan 1670 mg/kg BB berturut-turut

adalah 88,06 %; 83,42 %, 68,26 %, dan 44,56%.

Uji toksisitas merupakan uji hayati yang digunakan untuk menentukan

tingkat toksisitas dari suatu zat atau bahan pencemar. Uji toksisitas meliputi

berbagai pengujian yang dirancang untuk mengevaluasi keseluruhan efek

umum suatu senyawa pada hewan percobaan, salah satu pengujian toksisitas

yang sering dilakukan adalah uji toksisitas yaitu pengujian yang dirancang

untuk menentukan dosis level median (LC50). Tujuan pengujian toksisitas

adalah untuk mendeteksi adanya toksisitas suatu zat, menentukan organ sasaran

dan kepekaannya, memperoleh data bahayanya setelah pemberian suatu

senyawa secara akut dan untuk memperoleh informasi awal yang dapat

4
digunakan untuk menetapkan tingkat dosis yang diperlukan untuk uji toksisitas

selanjutnya. Metode awal yang digunakan pada uji toksisitas adalah

menggunakan metode BSLT (Lu, 1995).

Metode BSLT adalah suatu metode pengujian toksisitas dengan

menggunakan larva udang (Artemia salina L). Penggunaan metode BSLT

dalam penelitian ini karena belum adanya informasi ilmiah mengenai potensi

toksisitas daun senggani sehingga perlu dilakukan pengujian toksisitas. Selain

itu metode BSLT sering digunakan untuk praskrinning terhadap senyawa aktif

yang terkandung dalam suatu ekstrak tumbuhan serta penggunaannya

sederhana, cepat, murah, mudah, dapat dipercaya dan hasilnya representatif

(Meyer dkk, 1982).

Uji toksisitas dengan menggunakan BSLT yang ditentukan dari jumlah

kematian larva udang dengan hasil uji dinyatakan sebagai LC 50, dinyatakan

bersifat toksik terhadap Artemia salina L dan jika ekstrak tumbuhan tersebut

memiliki LC50 < 1000 µg/mL dan berpotensi sitotoksik, maka dapat

dikembangkan sebagai anti kanker. Namun jika hasil uji menunjukkan ekstrak

tumbuhan tersebut bersifat tidak toksik, maka dapat dikembangkan

kepenelitian lebih lanjut seperti kepengujian khasiat lainnya atau uji toksisitas

lanjutan.

Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan

pengujian secara ilmiah tentang “Uji Toksisitas Ekstrak Etanol Daun

senggani (Melastoma malabathricum L.) Terhadap larva udang (Artemia

salina L) Dengan Metode BSLT (Brine Shrimp Lethality Test)”.

5
B. Rumusan masalah

1. Apakah ekstrak daun senggani memiliki efek toksisitas terhadap larva

udang (Artemia Salina Leach)?

2. Berapakah nilai LC50 dari ekstrak daun senggani terhadap kematian larva

udang (Artemia Salina Leach)?

C. Tujuan penelitian

1. Untuk mengetahui efek toksisitas ekstrak daun senggani terhadap larva

udang (Artemia Salina Leach).

2. Untuk menentukan nilai LC50 dari ekstrak daun senggani dengan melihat

kematian larva udang.

D. Manfaat penelitian

Dari penelitian ini diharapkan manfaat yang dapat diperoleh antara lain:

1. Manfaat Teoritis

a. Sebagai bahan referensi bagi penelitian selanjutnya dan penelitian

penulis dimasa mendatang.

b. Untuk menambah wawasan peneliti tentang efek toksisitas dari ekstrak

etanol daun senggani.

2. Manfaat Praktis

a. Memberi pengetahuan kepada masyarakat tentang tingkat keamanan

dalam pengembangan daun senggani sebagai obat tradisional.

6
BAB II

LANDASAN TEORI

A. Rujukan Penelitian

Penelitian yang menjadi rujukan atau referensi dalam penelitian ini

antara lain adalah:

1. Penelitian Dwi Samni Agus Miarni (2017) yang berjudul uji efek

antidiabetik ekstrak etanol daun senggani terhadap penurunan kadar

gula darah mencit menyimpulkan bahwa ekstrak etanol daun senggani

memiliki efek sebagai antidiabetik pada dosis 360/720 mg/kg BB

mampu menurunkan kadar gula mencit secara signifikan.

2. Penelitian Galuh Nindya Tyas Tusthi, (2007) yang berjudul uji efek

analgesik ekstrak etanol daun senggani pada mencit putih betina

menyimpulkan bahwa ekstrak etanol daun senggani memiliki efek

analgesik terhadap mencit putih betina pada dosis 850 mg/kg BB, 1000

mg/kg BB, 1330 mg/kg BB, dan 1670 mg/kg BB berturut-turut adalah

88,06 %; 83,42 %, 68,26 %, dan 44,56%. Hal ini diduga karena adanya

flavonoid yang memiliki aktivitas sebagai pemberi hidrogen dan dapat

menghambat enzim siklooksigenase pada pembentukan prostaglandin.

3. Penelitian Endra Dewi Prianingrum (2006) yang berjudul efek anti

inflamasi ekstrak etanol daun senggani (melastoma polyanthum BI.)

pada mencit putih betina menyimpulkan bahwa ekstrak etanol daun

senggani memiliki efek anti inflamasi. Ekstrak etanol daun senggani

dosis 850 mg/kg BB, 1000 mg/kg BB, 1330 mg/kg BB, dan 1670

7
mg/kg BB memiliki efek anti inflamasi berturut-turut sebesar 10,75 %;

11,57 %; 32,67 %; dan 25,07 %. Potensi relatif efek anti inflamasi

secara berturut-turut adalah sebagai berikut : 18,89 %; 20,33 %; 57,42

%; dan 44,06 %.

4. Penelitian Rika Tri (2011) yang berjudul uji aktivitas sitotoksik ekstrak

etanol daun Senggani (melastomae affinis d. Don) dan daun jati

Belanda (guazuma ulmifolia lamk.) Terhadap sel Kanker payudara

T47D menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun senggani kurang

memiliki efek sitotoksik (IC50 364,5 μg/mL), sedangkan ekstrak etanol

daun jati belanda menunjukkan efek sitotoksik terhadap sel kanker

payudara T47D (IC50 69,00 μg/mL). Hasil analisis kromatografi lapis

tipis menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun senggani mengandung

senyawa flavonoid dan polifenol, sedangkan ekstrak etanol daun jati

belanda mengandung senyawa golongan alkaloid, flavonoid, minyak

atsiri, dan polifenol.

5. Penelitian Rista Puspita R (2013) yang berjudul uji toksisitas ekstrak

daun bayam (Amaranthus tricolor L.) dengan metode BSLT

menunjukan bahwa presentasi kematian larva udang setelah pemberian

ekstrak daun bayam pada konsentrasi 1000 ppm, 750 ppm, 500 ppm,

250 ppm, 100 ppm, 50 ppm dan 0 ppm sebagai kontrol negatif adalah

30%, 23,3%, 20%, 16,7%, 6,7%, 0% dan presentasi kematian kelompok

kontrol 0%. Hasil dari analisis probit menunjukkan harga LC50 dari

ekstrak daun bayam adalah 1038, 962 µg/mL.

8
B. Landasan Teori

1. Tanaman Daun Senggani

a. Uraian Daun Senggani

Daun senggani (Melastoma malabathricum L.). Nama senggani

(Jawa), di daerah Sunda, dinamakan harendong, sedangkan di Malaysia

disebut senduduk. Tumbuhan ini termasuk famili/suku

Melastomataceae, genus/marga Melastoma tumbuh liar pada tempat

yang cukup sinar matahari, seperti lereng gunung, semak belukar,

lapangan yang tidak terlalu gersang. Biasanya ditemukan sampai pada

ketinggian 1650 m dpi. Senggani telah digunakan dalam pengobatan

untuk luka dan borok, diare, disentri dan juga penanggulangan

hipertensi (digunakan selurah bagian tumbuhan), sakit gigi, kumur-

kumur (akarnya). Daun muda dapat dimakan sebagai lalapan, atau

direbus untuk pengobatan rematik, radang sendi (arthritis) dan untuk

relaksasi pada kaki. Selain itu daun, buah, biji dan akar dapat digunakan

untuk penetral racun, dengan direbus dan diminum airnya. Daunnya

berguna dalam peternakan ulat sutera sebagai bahan makanan. Daging

buah (pulp) sekeliling biji dapat dimakan, bijinya untuk pewarna hitam,

dan akarnya untuk pewarna pink.

9
Gambar 1. Tumbuhan daun senggani (Melastoma malabathricum L.)

b. Klasifikasi

Divisio : Spermatophyta

Sub divisio : Angiospermae

Classis : Dicotyledoneae

Ordo : Myrtales

Familia : Melastomataceae

Genus : Melastoma

Species : Melastoma malabathricum L.

c. Morfologi Tumbuhan

Tumbuhan senggani tumbuh liar (Melastoma malabathricum L.)

pada tempat - tempat yang mendapat cukup sinar matahari, seperti di

lereng gunung, semak belukar, lapangan yang tidak terlalu gersang, atau

di daerah objek wisata sebagai tanaman hias dan dapat tumbuh sampai

ketinggian 1.650 m di atas permukaan air laut. Perdu, tegak, tinggi 0,5-4

m, banyak bercabang, bersisik, berambut. Daun tunggal, bertangkai, letak

berhadapan silang. Helai daun bundar telur, memanjang sampai lonjong,

10
ujung lancip, pangkal membulat, tepi rata, permukaan berambut pendek

yang jarang dan kaku sehingga teraba kasar. Berbunga majmuk keluar

diujung cabang, warna ungu kemerahan. Buah masak akan merekah dan

terbagi atas beberapa bagian, warnanya ungu tua kemerahan. Biji kecil

warnanya coklat. Buahnya dapat dimakan, sedangkan daun muda dapat

dimakan sebagai lalap atau disayur. Perbanyakan dengan biji (Dalimartha,

2000).

d. Nama Lain

Harendong (Sunda), Kluruk, Senggani (Jawa), Senduduk

(Sumatera/Melayu), Kemanden (Madura), Yeh mu tan (China), Asian

melastome (Inggris) (Starr dkk, 2003, Prianto dkk, 2006, Hariaman,

2008, Sentra informasi IPTEK, 2009).

e. Kandungan Kimia

Tumbuhan senggani (Melastoma malabathricum L.) mengandung

senyawa flavonoid, tanin, steroida/triterpenoida, saponin, alkaloid dan

glikosida (Dalimartha, 1999 dan Arief, 2011).

Buah senggani (Melastoma malabathricum L.) berwarna ungu

kemerahan dan menandakan adanya kandungan antosianin. (Sentra

informasi IPTEK, 2009).

f. Khasiat Daun Senggani

Tumbuhan ini berkhasiat sebagai penurun panas, penghilang rasa

sakit, peluruh urine, penghilang bengkak, pelancar aliran darah, dan

penghenti pendarahan (hemostatik) sebagai penurun demam (antipiretik),

11
pereda nyeri (analgesik), peluruh air seni (diuretik), mengobati keputihan

(leukorea), dan dapat mengobati berbagai jenis luka tersayat (Dalimarta,

2000 dan Anief 2009).

Menurut Sentra informasi IPTEK (2009) Buah senggani dapat

dijadikan sebagai sumber pewarna alami. Daun senggani berkhasiat

sebagai antidiabetik (Dwi Samni Agus Miarni, 2017), daun senggani

berkhasiat sebagai pereda nyeri (analgetik) (Thusti, 2007), daun senggani

berkhasiat sebagai antiinflamasi (Endra dewi, 2006).

2. Ekstraksi

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia dari simplisia

nabati atau hewani dengan pelarut yang sesuai sehingga terpisah dari bahan

yang tidak dapat larut. Pemilihan pelarut dan metode ekstraksi akan

mempengaruhi hasil kandungan senyawa metabolit sekunder yang dapat

terekstraksi.

Hasil ekstraksi yang diperoleh adalah ekstrak. Ekstraksi adalah

sediaan kering, kental atau cair yang dibuat dengan menyari simplisia menurut

cara yang cocok di luar pengaruh cahaya langsung (Noor, 2015).

Metode ekstraksi dipilih berdasarkan pada beberapa fakta seperti sifat

dari bahan mentah obat dan daya penyesuaian dengan tiap macam metode

ekstraksi, serta kepentingan dalam memperoleh ekstrak yang sempurna atau

mendekati sempurna dari obat. Sifat dari bahan mentah obat harus

dipertimbangkan dalam memilih metode ekstraksi (Faisal, 2014). Dalam

metode ekstraksi bahan alam, dikenal suatu metode maserasi. Penekanan

12
utama pada maserasi adalah tersedianya waktu kontak yang cukup antara

pelarut dan jaringan yang diekstraksi. Maserasi merupakan cara ekstraksi yang

sederhana. Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam

pelarut. Pelarut akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel

yang mengandung zat aktif sehingga zat aktif akan larut (Diantika, 2014).

Ekstraksi yang menggunakan pelarut dapat dilakukan dengan dua

cara, yaitu (Agoes, 2007 dan Tiwari P. 2011) :

1. Ekstrak cara dingin

a. Maserasi

Maserasi merupakan suatu proses pengekstraksian simplisia

dengan cara menggunakan pelarut sebagai perendam dan dilakukan

beberapa kali pengadukan dengan suhu kamar yang terlindungi dari

cahaya. Metode ini digunakan untuk menarik kandungan kimia yang

mudah larut dalam zat cair.

b. Perkolasi

Perkolasi adalah proses ekstraksi dengan pelarut yang selalu

baru sampai sempurna (exhaustive extraction). Metode ini umumnya

dilakukan pada temperatur ruangan dan dilakukan dengan cara

melewatkan pelarut yang sesuai secara lambat pada simplisia dalam

satu perkulator.

13
2. Ekstraksi cara panas

a. Refluks

Refluks merupakan metode ekstraksi dengan pelarut pada

temperatur titik didihnya selama waktu tertentu dan menggunakan

jumlah pelarut yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

Ekstraksi refluks digunakan untuk bahan yang tahan terhadap

pemanasan.

b. Digesti

Digesti adalah proses maserasi kinetik, yaitu proses

pengekstraksian dengan pengadukan terus-menerus pada temperatur

yang lebih tinggi dari suhu kamar (40-500C).

c. Soxhlet

Soxhlet merupakan ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru

dan dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstrak terus-

menerus dengan jumlah pelarut yang relatif konstan dengan adanya

pendingin balik.

d. Infusa dan Dekok

Infusa adalah ekstraksi dengan pelarut air pada suhu penangas

air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih), suhu terukur

(96-98oC) selama waktu tertentu (15-20 menit). Dekok adalah infus

pada waktu yang lebih lama dan suhu sampai titik didih air, yaitu pada

suhu 90-100oC selama 30 menit.

14
e. Destilasi uap

Destilasi uap adalah metode ekstraksi untuk mendapatkan zat

aktif yang mudah menguap dari bahan segar atau simplisia dengan

berdasarkan tekanan parsial.

3. Cairan penyari

Farmakope Indonesia menetapkan bahwa sebagai cairan penyari yang

aman digunakan adalah air, etanol, etanol-air atau eter (Kementrian Kesehatan

RI, 1986). Pemilihan cairan penyari harus mempertimbangkan banyak faktor.

Cairan penyari yang baik harus memenuhi kriteria berikut (Kementrian

Kesehatan RI, 2000) :

1. Selektivitas

2. Kemudahan bekerja dan proses dengan cairan tersebut

3. Ekonomis

4. Ramah lingkungan

5. Keamanan.

Etanol merupakan golongan alkohol dengan jumlah atom karbon

dua dan mempunyai nilai kepolaran 0,68 (Ashurst, 1995). Keuntungan

penggunaan etanol sebagai pelarut adalah mempunyai titik didih yang rendah

sehingga lebih mudah menguap, oleh karena itu, jumlah etanol yang

tertinggal di dalam ekstrak sangat sedikit.

Etanol dipertimbangkan sebagai penyari karena lebih selektif,

mikrobia sulit tumbuh dalam etanol 20% ke atas, tidak beracun, netral,

absorpsinya baik, etanol dapat bercampur dengan air pada segala

15
perbandingan, panas yang diperlukan untuk pemekatan lebih sedikit. Etanol

dapat melarutkan alkaloid basa, minyak menguap, glikosida, kurkumin,

kumarin, antrakinon, flavonoid, steroid, damar dan klorofil, dengan demikian

zat pengganggu yang terlarut hanya sedikit (Kementrian Kesehatan RI, 1986).

Etanol tidak menyebabkan pembengkakan membran sel dan memperbaiki

stabilitas bahan obat terlarut. Keuntungan lain dari etanol mampu

mengendapkan albumin dan menghambat kerja enzim. Etanol (70%) sangat

efektif dalam menghasilkan jumlah bahan aktif yang optimal, dimana bahan

pengganggu hanya skala kecil yang turun kedalam cairan pengekstraksi

(Kementrian Kesehatan RI, 1986).

4. Larva Udang (Artemia salina Leach)

Artemia salina Leach merupakan hewan uji brine shrimp (udang

laut), sejenis udang-udangan primitif dan hidup sebagai zooplankton. Artemia

pada tahun 1778 diberi nama cancer salinus yang kemudian diubah namanya

oleh Leach pada tahun 1819 menjadi Artemia salina. Hewan ini

diperdagangkan dalam bentuk telur istirahat yang disebut kista, berbentuk

bulat kecil berwarna kelabu kecoklatan dengan diameter 200-300 μm (Baraja

M, 2008).

16
a. Klasifikasi & Morfologi Artemia salina Leach (Mudjiman, 2000) :

Kingdom : Animalia

Phylum : Arthropoda

Classis : Crustaceae

Subclassis : Branchiopoda

Ordo : Anostraca

Famili : Artemilidae

Genus : Artemia

Species : Artemia salina Leach.

b. Lingkungan hidup

Artemia hidup planktonik di perairan yang berkadar garam tinggi

(antara 15 – 300 permil). Suhu yang dikehendaki berkisar antara 25-30oC,

oksigen terlarut sekitar 3 mg/L dan pH antara 7,5-8,5. Sebagai plankton

Artemia Salina tidak dapat mempertahankan diri terhadap pemangsaan

musuh-musuhnya sebab tidak mempunyai alat ataupun cara untuk

membela diri. Satu-satunya cara untuk menghindarkan diri dari

pemangsaan adalah lingkungan hidup yang berkadar garam tinggi, sebab

pada kadar garam yang tinggi tersebut, pemangsanya pada umumnya

sudah tidak dapat hidup lagi (Mudjiman, 2000).

c. Morfologi

Artemia dewasa dapat mencapai panjang antara 1-2 cm dengan

berat badan sekitar 10 mg. Anak yang baru menetas disebut nauplius.

Perkembangan nauplius terbagi atas tiga tahap yaitu: nauplius instar I

17
panjang sekitar 0,4 mm dengan berat badan sekitar 15 mikrogram,

nauplius instar II panjangnya sekitar 0,6 mm, sedangkan nauplius instar III

sudah sepanjang 0,7 mm. Telur yang masih bercangkang bergaris tengah

sekitar 300 mikron dengan berat sekitar 3,65 mikrogram. Sedangkan telur

yang sudah didekaptulasi garis tengahnya sekitar 210 mikron. Pada

Artemia dewasa, biasanya ditandai dengan adanya tangkai mata yang jelas

terlihat pada kedua sisi bagian kepala, antenna sebagai alat sensori

(Mudjiman, 2000).

d. Siklus Hidup dan Perkembangbiakan

Artemia berkembang biak secara biseksual dan beberapa jenis

lainnya secara parthenogenesis. Artemia dengan jenis biseksual tidak dapat

berkembang biak secara parthenogenesis dan jenis parthenogenesis tidak

dapat berkembang biak secara biseksual. Perkembangbiakan pada jenis

biseksual harus melalui proses perkawinan antara induk betina dan induk

jantan. Sedangkan jenis parthenogenesis tidak ada perkawinan, karena

memang tidak ada pejantannya, jadi betinanya akan beranak dengan

sendirinya tanpa kawin (Mudjiman, 2000).

Perkembangbiakan baik pada biseksual maupun pada

parthenogenesis, keduanya dapat terjadi secara ovovivipar maupun ovipar.

Pada ovovivivar yang keluar dari induknya itu sudah berupa anak

(burayak) yang dinamakan naupilus. Jadi sudah langsung hidup sebagai

Artemia muda. Sedangkan pada cara ovipar, yang keluar dari induknya

berupa telur yang bercangkang tebal, yang dinamakan siste. Untuk

18
menjadi anak (burayak) masih harus melalui proses penetasan terlebih

dahulu. Ovoviviparitas biasanya terjadi apabila keadaan lingkungan

memburuk, dengan kadar garam lebih dari 150 permil dan kandungan

oksigennya rendah.

Artemia dewasa dapat hidup sampai 6 bulan, sementara induk-

induk betinanya akan beranak atau bertelur setiap 4-5 hari sekali. Setiap

kali dapat dihasilkan 50-300 ekor anak atau 50-300 butir telur. Anak-anak

Artemia sudah menjadi dewasa setelah berumur 14 hari.

Oleh karena itu, apabila keadaan lingkungannya cukup baik,

Artemia akan berkembang biak secara cepat melalui ovoviviparitas.

Dengan demikian maka jumlahnya akan cepat sekali bertambah banyak

(Mudjiman, 2000)

e. Penetesan telur Artemia

Telur yang siap menetas berwarna coklat keabu-abuan. Untuk

media penetasan dapat digunakan air laut biasa (kadar garam ± 30 permil).

Tapi untuk mencapai hasil penetasan yang lebih baik, kita perlu

menggunakan air berkadar garam 5 permil. Ini dapat dibuat dengan

mengencerkan air laut dengan air tawar.

Sebelum ditetaskan, telur-telur tersebut perlu di cuci terlebih

dahulu, yakni dengan di rendam dengan air tawar selama satu jam, baru

kemudian di masukan kedalam wadah penetasan. Suhu air yang baik

selama peroses penetasan antara 25-30ᵒC. sedangkan kadar oksigennya

harus lebih dari 2mg/L. Untuk merangsang proses pentasannya media

19
penetasan tersebut perlu di sinari dengan lampu yang di pasang di samping

wadah. Dalam waktu 24-36 jam setelah telur di masukkan, biasanya telur-

telur itu sudah menetas menjadi anak Artemia yang di namakan nauplius.

Nauplius aktif yang berumur 48 jam digunakan sebagai hewan uji dalam

penelitian (Mudjiman, 2000).

5. Toksikologi

Toksikologi dapat didefinisikan sebagai kajian tentang hakikat dan

mekanisme efek berbahaya (efek toksik) berbagai bahan kimia terhadap

makhluk hidup dan sistem biologik lainnya. Apabila zat kimia dikatakan

berracun (toksik), maka kebanyakan diartikan sebagai zat yang berpotensial

memberikan efek berbahaya terhadap mekanisme biologi tertentu pada suatu

organisme. Sifat toksik dari suatu senyawa ditentukan oleh: dosis, konsentrasi

racun di reseptor “tempat kerja”, sifat zat tersebut, kondisi bioorganisme atau

sistem bioorganisme, paparan terhadap organisme dan bentuk efek yang

ditimbulkan. Sehingga apabila menggunakan istilah toksik atau toksisitas,

maka perlu untuk mengidentifikasi mekanisme biologi di mana efek

berbahaya itu timbul. Sedangkan toksisitas merupakan sifat relatif dari suatu

zat kimia, dalam kemampuannya menimbulkan efek berbahaya atau

penyimpangan mekanisme biologi pada suatu organisme.

1. Toksisitas

Toksisitas merupakan istilah relatif yang biasa dipergunakan dalam

memperbandingkan satu zat kimia dengan lainnya. Adalah biasa untuk

mengatakan bahwa satu zat kimia lebih toksik daripada zat kimia lain.

20
Perbandingan sangat kurang informatif, kecuali jika pernyataan tersebut

melibatkan informasi tentang mekanisme biologi yang sedang

dipermasalahkan dan juga dalam kondisi bagaimana zat kimia tersebut

berbahaya. Oleh sebab itu, pendekatan toksikologi seharusnya dari sudut

telaah tentang berbagai efek zat kimia atas berbagai sistem biologi, dengan

penekanan pada mekanisme efek berbahaya zat kimia itu dan berbagai

kondisi di mana efek berbahaya itu terjadi (Loomis, 1979).

2. Uji toksisitas

Uji toksisitas merupakan uji hayati yang digunakan untuk

menentukan tingkat toksisitas dari suatu zat atau bahan pencemar. Suatu

senyawa kimia bersifat “racun akut” jika senyawa tersebut dapat

menimbulkan efek racun dalam jangka waktu singkat. Suatu senyawa

kimia bersifat “racun kronis” jika senyawa tersebut dapat menimbulkan

efek racun dalam jangka waktu panjang (karena kontak yang berulang-

ulang walaupun dalam jumlah yang sedikit) (Dhahiyat, 2009).

Ada tiga cara utama bagi senyawa kimia untuk dapat memasuki

tubuh, yaitu melalui paru-paru (pernafasan), mulut, dan kulit. Melalui

ketiga rute tersebut, senyawa yang bersifat racun dapat masuk ke aliran

darah, dan kemudian terbawa ke jaringan tubuh lainnya (Departemen

Farmakologi dan Terapeutik, 2007).

Salah satu perhatian utama dalam toksisitas adalah kuantitas/dosis

senyawa yang diuji. Sebagian besar senyawa yang berada dalam bentuk

murninya memiliki sifat racun (toksik). Sebagai contohnya adalah

21
senyawa oksigen yang berada pada tekanan parsial 2 atm mempunyai sifat

toksik. Konsentrasi oksigen yang terlalu tinggi dapat merusak sel

(Priyanto, 2009).

Median Lethal Concentration (LC50) yaitu konsentrasi yang

menyebabkan kematian sebanyak 50% dari organisme uji yang dapat

diestimasi dengan grafik dan perhitungan pada waktu pengamatan tertentu,

misalnya LC50 48 jam, LC50 96 jam sampai waktu hidup hewan uji

(Pourfraidon, 2009).

3. LD50 dan LC50

Pengujian LD50 dilakukan untuk menemukan efek toksik suatu

senyawa yang akan terjadi dalam waktu yang singkat setelah pemejanan

dengan takaran tertentu. Pada pengujian toksisitas akut LD50 akan

didapatkan gejala ketoksisan yang dapat menyebabkan kematian hewan

percobaan. Gejala ketoksikan yang timbul berbeda dalam tingkat kesakitan

pada hewan (Connel dan Miller 1995).

Kisaran tingkat dosis yang digunakan yaitu dosis terendah yang

hampir tidak mematikan seluruh hewan percobaan dan dosis tertinggi yang

dapat menyebabkan kematian seluruh atau hampir seluruh hewan

percobaan. Setiap hewan percobaan akan memberikan reaksi yang berbeda

pada dosis tertentu. Perbedaan reaksi akibat pemberian suatu zat

diakibatkan oleh perbedaan tingkat kepekaan setiap hewan (Guyton dan

Hall, 2002).

22
Menurut Environmental Protection Agency (EPA 2002), LD50

digunakan untuk mengetahui kematian 50% hewan percobaan dalam 24-

96 jam. Pengaruh LD50 secara umum diukur menggunakan dosis

bertingkat. Dosis bertingkat terdiri dari kelompok kontrol dan beberapa

tingkat dosis yang berbeda. Toksisitas akut dilakukan untuk mengetahui

respon hewan percobaan terhadap dosis yang diberikan. Penghitungan

LD50 didasarkan pada jumlah kematian hewan percobaan. Pengamatan

hewan percobaan dilakukan selama 24 jam. Pada kasus tertentu sampai 7-

24 hari (Donatus 1998).

Kisaran nilai LD50 diperlukan untuk mengetahui tingkat toksisitas

suatu zat. Semakin besar kisaran LD50 semakin besar pula kisaran

toksisitasnya. Suatu toksikan akan mengalami proses librasi yaitu

penghancur sediaan di saluran pencernaan. Toksikan kemudian akan

diabsorbsi oleh darah dan limfe serta didistribusikan ke seluruh tubuh.

Toksikan akan mengalami proses toksikodinamik didalam sel.

Toksikodinamik adalah proses reaksi antara toksikan dan reseptor.

Biotransformasi terjadi setelah terjadinya reaksi toksikan dengan reseptor.

Biotransformasi akan menghasilkan zat baru. Zat baru yang dihasilkan

dapat bersifat lebih toksik atau kurang toksik dari sebelumnya. Zat baru

yang kurang toksik dari sebelumnya mengakibatkan terjadinya detoksikasi

sedangkan zat baru yang lebih toksik dapat menimbulkan gangguan fungsi

sel.

23
Letal dosis (LD50) dapat dihubungkan dengan Efektif Dosis (ED50)

yaitu dosis yang secara terapeutik efektif terhadap 50% dari sekelompok

hewan percobaan. Hubungan tersebut dapat berupa perbandingan antara

LD50 dengan ED50 yang disebut Indeks Terapeutik (IT). Makin besar indeks

terapeutik suatu obat makin aman obat tersebut (Mutschler, 1991).

Selanjutnya klasifikasi toksisitas menurut Lu (1995) dapat disajikan pada

tabel berikut :

Tabel 1. Klasifikasi Zat Berdasarkan Nilai LC50 nya (Lu, 1995)

Nilai LC50
No Kelas
(µg/mL)

1 Super toksik 5 atau kurang

2 Amat sangat toksik 5 – 50

3 Sangat toksik 50 – 500

4 Sedang 500 – 5.000

5 Toksik ringan 5.000 – 15.000

6 Praktis tidak toksik Lebih dari 15.000

4. Metode BSLT

Metode BSLT adalah suatu metode pengujian toksisitas dengan

menggunakan larva udang (Artemia salina L) dinyatakan bersifat

toksik/aktif terhadap Artemia salina L bila ekstrak tumbuhan tersebut

memiliki LC50 < 1000 µg/mL dan berpotensi sitotoksik, maka dapat

dikembangkan sebagai antikanker (Meyer dkk, 1982).

24
Uji toksisitas dengan metode BSLT ini dapat ditentukan dari

jumlah kematian Artemia salina Leach akibat pengaruh ekstrak atau

senyawa bahan alam dengan konsentrasi tertentu yang dinyatakan dalam

LC50. Nilai LC50 merupakan angka konsentrasi ekstrak yang dapat

menyebabkan kematian sebesar 50% dari jumlah hewan uji. Sifat toksisitas

dari suatu senyawa dapat diasosiasikan sebagai aktivitas antikanker,

namun dalam metode BSLT ini tidak spesifik untuk mendeteksi senyawa

antikanker (McLauughlin dkk, 1998).

Uji dengan metode BSLT ini merupakan uji awal untuk

mengetahui senyawa yang berpotensi sebagai antikanker. Keuntungan dari

metode BSLT antara lain pengerjaan yang cepat hanya membutuhkan

waktu pengamatan selama 24 jam, murah, merupakan metode yang

sederhana, dan hanya dibutuhkan sampel yang sedikit, selain itu dalam

pelaksanaannya tidak membutuhkan keahlian khusus (McLauughlin dkk,

1998).

Jika hasil uji menunjukkan bahwa ekstrak tumbuhan tersebut

memiliki LC50 < 1000 µg/mL dan berpotensi sitotoksik, maka dapat

dikembangkan sebagai antikanker. Namun jika hasil uji menunjukkan

ekstrak tumbuhan tersebut bersifat tidak toksik, maka dapat dikembangkan

kepenelitian lebih lanjut seperti kepengujian khasiat lainnya atau uji

toksisitas lanjutan.

25
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang akan digunakan adalah penelitian

eksperimental. Perlakuan dengan pemberian ekstrak daun senggani terhadap

larva udang dengan menggunakan metode Brine Shrimp Lethality Test

(BSLT).

B. Desain penelitian

Desain penelitian yang akan digunakan dalam uji toksisitas ekstrak

daun senggani terhadap larva Artemia salina Leach menggunakan metode

Brine Shrimp Lethality Test (BSLT). Penelitian ini menggunakan 210 ekor

larva udang yang terdiri atas 6 perlakuan dan 1 kontrol dengan 3 kali replikasi

yang dinotasikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Desain Penelitian

Larva Udang Perbandingan %


Perlakuan Hidup Mati Total Angka Kematian Kematian
Kontrol
25 ppm
50 ppm
100 ppm
250 ppm
500 ppm
1000 ppm

26
C. Waktu dan tempat penelitian

Penelitian akan dilaksanakan pada bulan April-Juli 2018 bertempat

di Laboratorium Farmakologi Politeknik Bina Husada Kendari.

D. Populasi dan sampel penelitian

1. Populasi : Populasi dalam penelitian ini adalah tumbuhan daun

senggani.

2. Sampel : Larva udang umur 48 jam dan ekstrak tumbuhan daun

senggani 25 ppm, 50 ppm, 100 ppm, 250 ppm, 500

ppm, 1000 ppm.

E. Kerangka konsep penelitian

e
Metode BSLT dengan Kematian larva
Daun senggani Ekstrak hewan coba larva Artemia salina Nilai LC50
Artemia salina Leach Leach

F. Variabel penelitian

1. Variabel bebas : Ekstrak daun senggani

2. Variabel terikat : Toksisitas ekstrak daun senggani yang dilihat pada

nilai LC50

G. Definisi operasional variabel

1. Ekstrak daun senggani yang digunakan merupakan sediaan yang dibuat

dengan mengekstraksi daun senggani dengan menggunakan pelarut etanol

70% dengan metode maserasi, lalu pelarutnya diuapkan dan didapatkan

ekstrak yang kental.

27
2. Uji toksisitas adalah suatu uji untuk mendeteksi efek toksik suatu zat pada

sistem biologi dan untuk memperoleh data dosis-respon yang khas dari

sediaan uji.

3. Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) merupakan metode untuk uji toksisitas

dengan menggunakan larva udang sebagai hewan uji.

4. Artemia salina Leach adalah sejenis udang-udangan primitif hidup

planktonik di perairan yang berkadar garam tinggi (antara 15-300 permil),

yang digunakan sebagai hewan uji untuk uji toksisitas bahan alam yang

berumur 48 jam dengan metode BSLT.

5. LC50 (Lethal Concentration 50) merupakan konsentrasi zat yang

menyebabkan terjadinya kematian pada 50% hewan uji yaitu larva udang

setelah pemberian larutan uji ekstrak daun senggani.

H. Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah Ekstrak daun senggani tidak

memiliki efek toksik terhadap larva udang.

I. Prosedur Penelitian

1. Alat dan Bahan yang digunakan

Alat yang digunakan dalam persiapan sampel yaitu, Batang

pengaduk, Cawan petri, Gelas kimia, Gelas ukur, Gunting, Pisau stenlis,

Pipet ukur, Pipet tetes, Rotavapor, Timbangan dan Water bath.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Air laut, air

bersih, aquadest, daun senggani, etanol 70%, kertas saring, kain flanel,

larva udang, ragi (makanan larva), sarung tangan, tissu.

28
2. Prosedur Penelitian

a. Pembuatan Simplisia

1. Diambil daun senggani di lembar ke 5 dari pangkal dengan

cara pemetikan langsung pada pagi hari saat proses fotosintesis

sedang berlangsung yaitu antara jam 09.00-11.00.

2. Daun senggani disortasi basah dengan tujuan untuk

memisahkan kotoran-kotoran atau bahan-bahan asing. Juga

bertujuan untuk memisahkan bahan yang busuk atau bahan

yang muda dan yang tua serta untuk mengurangi jumlah

pengotor yang ikut terbawa pada simplisia.

3. Daun senggani kemudian dicuci dengan air mengalir,

pencucian bertujuan menghilangkan kotoran-kotoran dan

mengurangi mikroba-mikroba yang melekat pada daun.

4. Daun yang sudah dicuci kemudian diangin-anginkan agar

kadar air pada daun senggani berkurang.

5. Daun senggani selanjutnya dirajang menjadi bagian-bagian

yang kecil.

6. Dikeringkan dengan cara diangin-anginkan pada suhu kamar

hingga kadar airnya kurang lebih sisa 10 %.

7. Kemudian disortasi kering kemudian dipisahkan sampel yang

kering atau bagian tanaman yang membusuk, lalu diserbukkan

menggunakan belender stenlis kemudian disimpan pada wadah

tertutup rapat.

29
3. Pembuatan ekstrak daun senggani secara maserasi

1. Ditimbang sebanyak 500 gram simplisia.

2. Diekstraksi simplisia menggunakan metode maserasi dengan

pelarut etanol 70%.

3. Dimasukkan Simplisia kedalam bejana maserasi kemudian

ditambahkan pelarut etanol 70% dengan perbandingan 1 : 7,5

lalu di diamkan selama 3 - 5 hari sambil sesekali diaduk.

4. Disaring maserat setelah 3 - 5 hari menggunakan kain flanel

dan ditampung, lalu dicukupkan volumenya.

5. Dimaserasi sampai terbentuk 2 lapisan bawah ditampung lalu

dipekatkan di rotavapor pada suhu tidak lebih dari 700C.

6. Dipekatkan lagi di atas water bath pada suhu 700C sampai

diperoleh ekstrak kental.

7. Disimpan ekstrak kental yang diperoleh dalam wadah kering

tertutup rapat.

4. Pembuatan larutan uji

Mula-mula dibuat larutan stock dengan konsentrasi 1% atau setara

dengan 10.000 ppm, dengan cara menimbang ekstrak daun senggani

sebanyak 1 gram lalu disuspensikan dengan 100 mL air laut.

Dari konsentrasi 10.000 ppm dibuat serangkaian pengenceran yaitu

konsentrasi 25 ppm, 50 ppm, 100 ppm, 250 ppm, 500 ppm dan 1000

ppm, dengan cara memipet 0,125 mL, 0,25 mL, 0,5 mL, 1,25 mL, 2,5 mL

dan 5 mL lalu dicukupkan volumenya hingga 50 mL.

30
5. Pelaksanaan pengujian

1. Disiapkan cawan petri untuk masing-masing konsentrasi dan untuk

kontrol air laut.

2. Dimasukkan sebanyak 10 ekor larva udang yang berumur 48 jam

atau berusia dua hari ke dalam masing-masing cawan petri yang

telah berisi air laut 4 mL.

3. Dimasukkan larutan uji 1 ml ke dalam masing-masing cawan petri.

4. Untuk kontrol air laut dimasukkan sebanyak 10 ekor larva artemia

yang berumur 48 jam atau berusia dua hari ke dalam cawan petri

yang telah berisi air laut sebanyak 4 mL.

5. Ditambahkan ragi 0,6 mg/mL ke dalam masing-masing cawan petri

sebagai makanan larva udang.

6. Pengamatan dilakukan setelah 24 jam dari waktu memasukkan larva

udang ke dalam cawan petri, kemudian dihitung jumlah larva udang

yang mati.

6. Analisis Data

1. Data

a. Sifat data

Data kuantitatif (kontinyu), yaitu data yang nilai variabelnya

dapat diukur sampai sekecil-kecilnya.

31
b. Jenis data

Data interval, yaitu jenis data yang diukur berdasarkan range atau

memiliki nilai rendah sampai tinggi dan secara mutlak tidak

memiliki nilai nol.

c. Sumber data

1) Data primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung dari

hasil penelitian di laboratorium farmakologi politeknik bina

husada kendari.

2) Data sekunder, yaitu data yang berasal dari literatur-literatur

yang relevan.

2. Teknik Pengumpulan Data

Observasi atau pengamatan kegiatan yaitu data penelitian ini

diperoleh dari hasil uji toksisitas ekstrak etanol Daun senggani

(Melastoma malabathricum L.) terhadap larva udang (Artemia salina

L.) dengan metode BSLT.

3. Penyajian Data

Data yang dianalisi disajikan dalam bentuk tabel, yang diperoleh

dengan bebrapa tahapan yaitu pencatatan, editing, pengklasifikasian dan

pengkodean, penyusunan, perhitungan dan penyimpanan (storing).

4. Pengolahan Data

Data dari uji toksisitas ekstrak daun senggani akan dianalisis

dengan analisis probit untuk mengetahui harga LC50. Data yang

diperoleh adalah berupa jumlah kematian larva udang pada tiap flakon

32
uji. Untuk menentukan persentase kematian larva udang pada tiap-tiap

konsentrasi yang digunakan, dapat menggunakan rumus Abbot:

Kematiantest −kematian kontrol


% Kematian= × 100 %
jumlah hewan uji(30)

Untuk mencari nilai LC50 digunakan analisis probit. Langkah

menghitung nilai LC50 berdasarkan analisis probit adalah:

1. Mempunyai tabel probit.

2. Menentukan nilai probit dari % kematian tiap kelompok hewan uji.

3. Menentukan log konsentrasi tiap-tiap kelompok.

4. Menentukan persamaan garis lurus hubungan antara nilai probit

dengan log konsentrasi, Y = mX + b.

5. Masukkan nilai 5 (probit dari 50% kematian hewan coba) pada

persamaan garis lurus, pada nilai Y. Nilai LC50 dihitung dari nilai

anti log X pada saat Y = 5.

Ʃ( X ) Ʃ(Y )−n Ʃ(XY )


Rumus : nilai slope (m) = 2 2
(Ʃ (X )) – n Ʃ( X )

Ʃ( X ) Ʃ( XY )−Ʃ( X 2) Ʃ(Y )
Intersep (b) =
(Ʃ(X ))2 – n Ʃ( X 2)

Harga LC50 di bawah 1000 µg/mL dinyatakan bersifat toksik,

sedangkan apabila harga LC50 di atas 1000 µg/mL dinyatakan tidak

bersifat toksik.

33
J. Skema Jalannya Penelitian

Tumbuhan Daun
senggani (Melastoma
malabathricum L.)

1. Diambil sampel
2. Disortasi basah
3. Dicuci
4. Dirajang sampel
5. Diangin-anginkan
6. Disortasi kering
7. Diserbukkan
8. Ditimbang

Maserasi

1. Simplisia+etanol 70%
2. Didiamkan 3-5 hari
3. Disaring
4. Dipekatkan di rotavapor

Ekstrak kental

Pembuatan larutan uji


Ekstrak Etanol Daun
senggani (Melastoma
malabathricum L.)

34
Simplisia Daun senggani Kontrol

(Air Laut)
25 ppm 50 ppm 100 ppm 250 ppm 500 ppm 1000 ppm

0,125 mL 0,25 mL 0,5 mL 1,25 mL 2,5 mL 5 mL


Replikasi 3 kali

Replikasi 3 kali

Masing-masing cawan petri ditambahkan : Cawan petri ditambahkan :

1. Air laut 4 mL 1. Air laut 4 mL


2. 10 ekor Artemia salina L. 2. 10 ekor Artemia salina L.
3. 1 mL larutan uji 3. Ragi 0,6 mg/mL sebagai makanan
4. Ragi 0,6 mg/mL sebagai makanan larva larva
udang

Setelah 24 jam dihitung Artemia salina L yang mati

Dihitung nilai LC50

Data

Temuan

Kesimpulan

35
DAFTAR PUSTAKA

Anief, Moh. 2009, Prinsip Umum dan Dasar Farmakologi, Universitas


Gadjah Mada Press, Yogyakarta.

Arief M Rudianto. 2011, Pemrograman Web Dinamis menggunakan


PHP dan MySQL. C.V ANDI OFFSET, Yogyakarta.

Agoes, Goeswin. 2007, Teknologi Bahan Alam, Penerbit ITB, Bandung.

Ashurst. 1995, Flavouring, Blackie Academic & Profesional, New York.

Das, Braja M. 2008, Advanced Soil Mechanics, Third Edition, New


York, Taylor & Francis Group.

Connel DW dan Miller GJ. 1995, Kimia dan Ekotoksikologi


Pencemaran. Terjemahan dari Chemistry and Toxicology of
Pallution oleh penerjemah Yanti K, Penerbit University
Indonesia, Jakarta.

Dalimartha, S. 1999, Ramuan Tradisional untuk Pengobatan Kanker,


Jakarta, Penebar Swadaya, pp 1-2.

Dalimartha, S. 2000, Atlas Tumbuhan Obat Indonesia, Jilid I, Trubus


Argo Widya, Jakarta, pp 68-69.

Depkes RI. 2000, Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat.


Jakarta, Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan, pp 1,
9-11, 13-17.

Depkes RI. 1995, Farmakope Indonesia, Edisi IV, Jakarta, Departemen


Kesehatan RI.

Depkes RI. 1986, Sediaan Galenik, Jakarta, pp 5-27.

Dwi Samni Agus M. 2017, Uji Efek Antidiabetik Ekstrak Etanol Daun
Senggani (Melastomae Polyanthum BL.) Terhadap Penurunan
Kadar Gula Darah Mencit (Mus Musculus).

Diantika, F., Sandra Malin Sutan, dan Rini Yulianingsih. 2014.


Pengaruh Lama Ekstraksi Dan Konsentrasi Pelarut Etanol
terhadap Ekstraksi Antioksidan Biji Kakao (Theobroma cacao
L.), Jurnal Teknologi Pertanian,15 No. 3:160.

36
Departemen Farmakologi dan Terapeutik, 2007, Farmakologi dan
Terapi, Edisi 5, Jakarta, FKUI.

Dhahiyat, Yayat. 2009, Uji Toksisitas Akut Lc-50 Dan Kronis Terhadap
Daphnia Carinata King, Universitas Padjadjaran, Bandung.

Djauhariya, E dan Hernani. 2004, Gulma Berkhasiat Obat, Cetakan I,


Penebar Swadaya, Jakarta.

Donatus. 1998, Toksikologi Dasar, UGM Press, Yogyakarta.

Endra Dewi P. 2006, Efek Anti Inflamasi Ekstrak Etanol Daun Senggani
(melastoma polyanthum BI.) Pada Mencit Putih Betina.

Faisal, A. P., 2014, Telaah Aktivitas Ekstrak Etanol Kulit Batang Mojo
(Aegle marmelos L.) terhadap Aktivitas Fagositosis Sel Makrofag
dan Proliferasi Sel Limfosit Mencit secara In Vitro, Tesis,
Universitas Setia Budi Surakarta.

Galuh Nindya Tyas Tusthi, 2007, Ekstrak Etanol Daun Senggani


Memiliki Efek Analgesik Terhadap Mencit Putih Betina.

Gholib, D., Sri Rahmawati dan P. Masniari. 2009, Beberapa Tanaman


Biofarmaka Untuk Penanggulangan Penyakit Ringworm dan
Kuman Enterobacter. Laporan Akhir Penelitian, Balai Besar
Penelitian Veteriner, Bogor.

Guyton AC dan Hall JE. 1997, Buku ajar fisiologi kedokteran. Ed ke-9,
Penerjemah oleh Setiawan I, Tengadi KA, Santoso A,
Terjemahan dari Textbook of Medical Physiology, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.
Hariaman, A. 2008, Tumbuhan Obat dan Khasiatnya, Penebar Swadaya,
Jakarta.

Loomis, T.A., 1978, Toksikologi Dasar, Edisi III, Diterjemahkan oleh


Imono A. Donatus, IKIP Semarang Press, Penebar Swadaya, pp
1-3.

Lu, F.C. 1995, Toksikologi dasar asas organ sasaran dan penelitian
resiko edisi ke II. Diterjemahkan oleh Edi Nugroho, UI Press,
Jakarta.

Meyer, B.N., dkk. 1982, Brine Shrimp: A Convenient General Bioassay


for Active Plant Constituents, Planta Medica, 45:32-33.

37
Mudjiman. A., 2000, Makanan Ikan Cetakan XIV. Jakarta: Penebar
Swadaya, pp 75-95.

Mutschler Ernest.1991, dinamika Obat. Edisi 5, Penerjemah Mathilda B


Widianto, Anna Setiadi Ranti, ITB, Bandung.

McLauughlin, JL and Rogers LL. 1998, The use of biological assay to


evalute botanicals, Drug information Journal, 32:512-524.

Noor, S. N. S., 2015, Aktivitas Antidiabetes Ekstrak Etanol Bunga


Kasumba Turete (Carthamus tinctorius Linn.) pada Tikus Wistar
Jantan yang Diinduksi Glukosa, Skripsi, Universitas Halu Oleo,
Kendari.

Prianto, E., R. Jhonnerie, R. Firdaus, T. Hidayat dan Miswadi. 2006,


Keanekaragaman Hayati dan Struktur Ekologi Mangrove Dewasa
di Kawasan Pesisir Kota Dumai - Propinsi Riau. Biodiv. 7( 4):
327-332.

Priyanto. 2009, Farmakoterapi dan Terminologi Medis, Leskonfi.,


Depok, pp 143-155.

Pourfraidon, Zahra. 2009, Biological activity of prominent anti-cancer


plants using Brine Shrimp Lethality Test. Journal of Microbial
World.

Rika Tri, W. 2011, Uji Aktivitas Sitotoksik Ekstrak Etanol Daun


Senggani (Melastomae affinis D.Don) dan Daun Jati Belanda
(Guazuma ulmifolia Lamk.) Terhadap Sel Kanker Payudara
T47D.

Starr, F., K. Starr and L. Loope. 2003, Melastoma candidum Asian


Melastome Melastomataceae. Laporan Penelitian. United States
Geological survey - Biological Resources Division Haleakala
Field Station, Maui, Hawai’i.

Sentra Informasi IPTEK, 2009, Senggani (Melastoma candidum D.


Don).http://www.iptek.net.id/ind/pd_tanobat/view.php?
mnu=2&id=156. [09 April 2009].

Tiwari P. 2011, Phytochemical screening and extraction: A review.


Internationale Pharmaceutica Sciencia (IPS).

38

Anda mungkin juga menyukai