Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN FARMAKOGNOSI

Analisis Mikroskopis, Histokimia dan Kromatografi Lapis Tipis

Cinnamomi Cortex

Oleh :

KELOMPOK E-1

1. Faridatul Hasanah 122210101104


2. Herlina Ekawati 132210101005
3. Nurul Shalikah 132210101011
4. Mirzatus Sholicha 132210101047
5. Terryda Ayu P. 132210101059
6. Sugi Hartono 132210101062
7. Zayd Rifqi Dzulqarnayn 132210101063
8. Syafi’ Mirza 132210101084
9. Heppy Ayu Andira 132210101087
10. Friska Wira S 132210101095

LABORATORIUM BIOLOGI FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS JEMBER

2016
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam farmakognosi ini, yang menjadi kajian utama adalah bahan alam. Tumbuhan
memiliki banyak kandungan senyawa yang dapat dimanfaatkan sebagai obat. Bahan alam
kemudian dapat diolah menjadi suatu senyawa yang dapat memberikan manfaat melalui
zat-zat atau kandungan kimia yang ada di dalamnya. Bahwa simplisia sebagai bahan
dengan kandungan kimia yang bertanggung jawab terhadap respons biologis untuk
mempunyai spesifikasi kimia, yaitu informasi komposisi (jenis dan kadar) senyawa
kandungan (Anonim, 2000).
Pada makalah kali ini, kami akan membahas tentang hasil praktikum uji histokimia
dan KLT terhadap Cinnamomi Cortex. Dimana dari hasil uji tersebut dapat diketahui
kandugan apa saja yang terdapat pada Cinnamomi Cortex. Uji seperti ini sangat
bermanfaat, karena dengan melakukan pengujian terhadap suatu simplisia kita dapat
menentukan kandungan kimia apa saja yang terdapat pada simplisia tersebut sehingga
memudahkan kita dalam membuat sauatu sediaan yang sesuai dengan keinginan.
Uji kandungan ini juga berguna agar sediaan yang terbuat dari suatu simplisia dapat
memberi efek terapi yang optimum sesuai dengan kandungan kimia pada simplisia
tersebut.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimanakah hasil uji histokimia Cinnamomi Cortex dengan penambahan berbagai
reagen?
1.2.2 Bagaimanakah cara mengidentifikasi kandungan Cinnamomi Cortex dengan metode
KLT?

1.3 Tujuan
1.3.1 Mahasiswa dapat mengidentifikasi Cinnamomi Cortex dengan uji histokimia
dan mengetahui fungsi masing-masing reagen kimia yang ditambahkan untuk
analisis metode histokimia.
1.3.2 Mahasiswa dapat mengetahui kandungan kimia dalam Cinnamomi Cortex melalui
analisis histokimia dan kromatografi lapis tipis.

i
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Simplisia

Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami
pengolahan apa pun juga dan kecuali dinyatakan lain, berupa bahan yang dikeringkan.
Simplisia dibedakan menjadi simplisia nabati, simplisia hewani dan simplisia pelikan
(mineral). Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tumbuhan utuh, bagian tumbuhan
atau eksudat tumbuhan (Anonim, 2000).
Dalam hal simplisia sebagai bahan baku (awal) dan produk siap dikonsumsi langsung,
dapat dipertimbangkan tiga konsep untuk menyusun parameter standar mutu yaitu sebagai
berikut :
1. Bahwa simplisia sebagai bahan kefarmasian seharusnya mempunyai tiga parameter
mutu umum suatu bahan (material), yaitu kebenaran jenis (identifikasi), kemurnian
(bebas dari kontaminasi kimia dan biologis), serta aturan penstabilan (wadah,
penyimpanan dan transportasi).
2.  Bahwa simplisia sebagai bahan dan produk konsumsi manusia sebagai obat tetap
diupayakan memiliki tiga paradigma seperti produk kefarmasian lainnya, yaitu
Quality, Safety, Efficacy (mutu, aman, manfaat).
3. Bahwa simplisia sebagai bahan dengan kandungan kimia yang bertanggungjawab
terhadap respons biologis untuk mempunyai spesifikasi kimia, yaitu informasi
komposisi (jenis dan kadar) senyawa kandungan (Anonim, 2000).
2.2 Simplisia Cinnamomi Cortex
Klasifikasi simplisia Cinnamomi Cortex :
Kingdom: Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom: Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi: Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas: Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas: Magnoliidae
Ordo: Laurales
Famili: Lauraceae 

ii
Genus: Cinnamomum
Spesies: Cinnamomum zeylanicum 

iii
Akhir-akhir ini, pemanfaatan pengobatan alternatif dengan menggunakan tanaman
tradisional semakin sering dilakukan. Salah satu tanaman obat tersebut diantaranya adalah
kayu manis (Cinnamomum zeylanicum). Kayu manis ini sudah dikenal keberadaannya sejak
5000 tahun yang lalu. Sedangkan pemanfaatannya dalam dunia pengobatan medis pertama
kali diperkenalkan oleh bangsa Eropa dan Yunani pada 500 tahun Sebelum Masehi. Kayu
manis merupakan tanaman asli yang berasal dari India, Srilangka, Cina, dimana negara-
negara tersebut memiliki hutan yang bersifat tropis (Sastroamidjojo Setio, 1997).
Beberapa kandungan senyawa kimia yang terdapat dalam kayu manis yaitu pada
bagian kulit batang mengandung sinamaldehid 65-80 %, eugenol 5-10 %, daun mengandung
sinamaldehid 1-5 %, eugenol 70-95 %, akar mengandung kampora 60 %, buah mengandung
trans-sinamal asetat dan β-kariofilen, bunga mengandung sinamil asetat, trans-alfabergamoten
dan kariofilen oksida, kuncup mengandung terpen hidrokarbon, alfa-kopaen dan terpenoid
teroksigenasi (Vangalapati et al., 2012:657).
Kayu manis banyak dimanfaatkan untuk penyedap pada makanan, pengobatan medis,
serta tak jarang digunakan sebagai dupa dalam upacara keagamaan (Syamsuhidayat SS,
1991). Berbagai efek farmakologis yang dimiliki Kayu manis diantaranya sebagai peluruh
keringat (diaphoretic), penambah nafsu makan (stomachiva), carminative, antibakteri,
antijamur, dan lain-lain. Beberapa bahan kimia yang terkandung dalam Kayu manis
diantaranya minyak atsiri, eugenol, cinnamaldehyde, safrol, tannin, kalsium oksalat, dammar,
dan zat penyamak. Kandungan minyak atsiri dan Cinnamaldehyde ini diperkirakan dapat
menghambat aktifitas dan pertumbuhan jamur, diantaranya Malassezia furfur (Sastroamidjojo
Setio, 1997).
2.3 Uji Simplisia
Untuk mengetahui kebenaran dan mutu obat tradisional termasuk simplisia, maka
dilakukan analisis yang meliputi analisis kuantitatif dan kualitatif. Analisis kuantitatif terdiri
atas pengujian organoleptik, pengujian makroskopik, pengujian mikroskopik, dan pengujian
histokimia.
2.3.1 Uji Organoleptik
Uji organoleptik dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui khususnya bau dan rasa
simplisia yang diuji.
2.3.2 Uji Makroskopik

1
Uji makroskopik dilakukan dengan menggunakan kaca pembesar atau tanpa
menggunakan alat. Cara ini dilakukan untuk mencari khususnya morfologi, ukuran, dan
warna simplisia yang diuji.
2.3.3 Uji mikroskopik
Uji mikroskopik dilakukan dengan menggunakan mikroskop yang derajat pembesarannya
disesuaikan dengan keperluan. Simplisia yang diuji dapat berupa sayatan melintang, radial,
paradermal maupun membujur atau berupa serbuk. Pada uji mikroskopik dicari unsure-unsur
anatomi jaringan yang khas. Dari pengujian ini akan diketahui jenis simplisia berdasarkan
fragmen pengenal yang spesifik bagi masing-masing simplisia.
2.3.4 Uji Histokimia
Uji histokimia bertujuan untuk mengetahui berbagai macam zat kandungan yang
terdapat dalam jaringan tanaman. Dengan pereaksi spesifik, zat-zat kandungan tersebut akan
memberikan warna yang spesifik pula sehingga mudah dideteksi (Anonim,1987).
2.3.5 Kromatografi Lempeng Tipis
Kromatografi merupakan pemisahan campuran senyawa menjadi senyawa murninya
dan mengetahui kuantitasnya. Pemilihan teknik kromatografi sebagian besar bergantung pada
sifat kelarutan senyawa yang akan dipisahkan. Metode kromatografi planar dibagi menjadi
tiga, yaitu kromatografi lapis tipis, kromatografi kertas dan elektrokromatografi. Ketiganya
menggunakan material tipis yang dilapisi gelas, plastik atau permukaan logam. (Skoog et al.,
2004).
Kromatografi lapis tipis adalah metode pemisahan fisikokimia. Lapisan yang
memisahkan, yang terdiri atas bahan berbutir-butir (fase diam), ditempatkan pada penyangga
berupa pelat gelas, logam, atau lapisan yang cocok. Campuran yang akan dipisah berupa
larutan, ditotolkan berupa bercak atau pita (awal), setelah plat atau lapisan ditaruh didalam
bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak), pemisahan
terjadi selama rambatan kapiler (pengembangan). Selanjutnya, senyawa yang tidak berwarna
harus dideteksi (E Dumont, 1985).
KLT dapat digunakan untuk memisahkan senyawa-senyawa yang sifatnya hidrofobik
seperti lipida-lipida dan hidrokarbon yang sukar dikerjakan dengan kromatografi kertas. KLT
juga berguna untuk mencari eluen untuk kromatografi kolom, analisis fraksi yang diperoleh
dari kromatografi kolom, identifikasi senyawa kimia secara kromatografi dan isolasi senyawa
murni dalam skala kecil (Rohman, 2007).

2
BAB III. METODOLOGI

3.1. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Praktikum


Tempat Praktikum : Laboratorium Biologi Farmasi Fakultas Farmasi Universitas
Jember.
Waktu : Selasa, 08 November 2016 Pukul 10.40 – 13.10 WIB.

3.2 Alat dan Bahan


3.2.1 Uji Histokimia
Alat : Plat tetes
Bahan : Simplisia Cinnamomi Cortex, Asam sulfat Pekat, Asam sulfat 10N, Asam
klorida Pekat, Asam klorida encer, NaOh 5%, Koh 5%, Amonia 25% dan FeCl.
3.2.2 Uji KLT
Alat : Tabung reaksi, Neraca analitik, Corong kaca, Gel silica GF 254, Chamber, Sinar
UV 254, Penggaris, Pensil, Pipet ukur, Mikropipet, Kertas saring, Labu ukur dan Botol
timbang.
Bahan : Simplisia Cinnamomi Cortex

3.2. Cara Kerja


3.3.1 Mikroskopis Cinnamomum zeylanicum

Ambil sedikit serbuk Cinnamomum zeylanicum , letakkan pada objek glass

Tambahkan beberapa tetes air

Tutup dengan cover glass

Amati dibawah mikroskop dan gambar fragmen-fragmen sebagai berikut:


Parenkim cortex dengan sel minyak dan sel batu, Fragmen sel batu, Serabut
sklerenkimHablur kalsium oksalat bentuk prisma

3
3.3.2 Histokimia Cinnamomum zeylanicum

Ambil sedikit serbuk Cinnamomum zeylanicum , letakkan di 9 lubang plat


tetes

Ditambah dengan reagen berikut ini :

Asam sulfat pekat, Asam sulfat 10N, Asam klorida P, Asam asetat
encer, Natrium hidroksida 5%, Kalium hidroksida 5%, Amonia 25%,
Feri klorida 5%

Amati perubahan warna

3.3.3 Identifikasi Cinnamomum zeylanicum menggunakan KLT

Ambil serbuk Cinnamomum zeylanicum timbang sebanyak 1 gram

Letakkan pada labu ukur, tambahkan larutan ethanol 10 ml ad tanda batas

larutkan di ultrasonic ad homogen

Disaring dan endapannya dibuang

Letakkan di vial

Totolkan pada lempeng KLT dengan menggunakan mikropipet

Eluasi dengan larutan toluen : etil asetat (7:3)

4
Angkat letakkan di UV

Amati di sinar UV dengan panjang gelombang 254 nm


BAB IV. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Uji Organoleptis Cinnamomi Cortex


Hasil yang didapat setelah dilakukan identifikasi secara organoleptis berupa bau
serbuk khas aromatik, rasa agak manis, agak pedas dan kelat serta warna coklat muda.
4.2 Uji Makroskopis Cinnamomi Cortex
Potongan kulit : bentuk gelondong, agak menggulung membujur, agak pipih atau
berupa berkas yang terdiri dari tumpukan beberapa potong kulit yang tergulung membujur;
panjang sampai 1m, tebal kulit 1mm sampai 3mm atau lebih. Permukaan luar: yang tidak
bergabus berwarna coklat kekuningan atau coklat sampai coklat kemerahan, bergaris-garis
pucat bergelombang memanjang dan bergaris-garis pendek melintang yang menonjol atau
agak berlekuk; yang bergabus berwarna hijau kehitaman atau coklat kehijauan, kadang-
kadang terdapat terdapat bercak-bercak lumut kerak berwarna agak putih atau coklat muda.
Permukaan dalam: berwarna coklat kemerahan tua sampai coklat kehitaman. Bekas
patahan tidak rata.
4.3 Uji Mikroskopis Cinnamomi Cortex
Secara mikroskopik, fragmen yang ditemukan berupa fragmen pengenal dari simplisia
Cinnamomi Cortex adalah parenkim cortex dengan sel minyak dan sel batu, fragmen sel
batu, serabut sklerenkim dan hablur kalsium oksalat bentuk prisma.
Pada kulit yang lapisan luarnya belum dibuang akan tampak: lapisan epidermis dengan
kutikula berwarna kuning ; lapisan gabus terdiri beberapa sel berwarna coklat, dinding
tangensial dan dinding radial lebih tebal dan berlignin, kambium gabus jernih tanpa
penebalan dinding. Korteks : terdiri dari beberapa lapis sel parenkim dengan dinding
berwarna coklat diantaranya terdapat kelompok sel batu, sel lendir dan sel minyak. Sel
parenkim : Didalamnya benyak terdapat butir pati atau hablur kalsium oksalat berbentuk
prisma. Lapisan sklerenkim : terdapat dibawah parenkim korteks, hampir tidak terputus-
putus. Terdiri dari 3 atau lebih lapisan sklereida, diantaranya terdapat sejumlah kelompok
kecil serabut perisikel. Sklereida : berbentuk isodiametrik, kadang-kadang agak terentang
tangensial, penebalan dinding berbentuk huruf U dengan dinding dalam dan dinding radial
lebih tebal dari dinding luar, berlapis-lapis, warna kekuningan, bernoktah, berlignin tebal,
lumen agak lebar, kadang-kadang berisi butir pati. Serabut perisikel : Berdinding sangan
tebal, agak jernih, berlignin, lumen sempit, garis tengah serabut lebih kecil dari garis
tengah sel batu. Floem sekunder : terdiri dari jalur-jalur tangensial jaringan tapis, berseling

5
dengan parenkim floem ; diantara parenkim terdapat sel minyak dan sel lendir seperti pada
korteks; parenkim mengandung butir pati dan hablur seperti pada korteks. Serabut floem
sekunder : umumnya tunggal atau dalam kelompok kecil berderet kearah tangensial,
dinding serabut sangat tebal, jernih, agak berlignin, garis tengah serabut sampai 3,5 µm,
lumen sempit. Jari-jari empulur : terdiri dari 1 sel sampai 2 sel, mengandung butir pati atau
hablur kalsium oksalat bentuk prisma kecil; hablur di jari-jari empulur lebih banyak dari
pada hablur di parenkim floem.
Serbuk : warna coklat kekuningan. Fragmen pengenal adalah sklereida dengan
penebalan dinding tidak rata; serabut perisikel dan serabut floem; butir-butir pati dan
hablur kalsium oksalat bentuk prisma, lepas atau dalam parenkim; jaringan parenkim
dengan sel lendir atau sel minyak: sel gabus dan serabut sklerenkim.

4.4 Hasil Uji Histokimia Cinnamomi Cortex

No Reagen Studi Pustaka Hasil Pemeriksaan +/-


1 Asam Sulfat P Coklat merah Coklat merah +
2 Asam sulfat 10 N Coklat merah Coklat merah +
3 Asam kloria P Merah kekuningan Merah kekuningan +
4 Asam klorida encer - - -
5 Natrium Hidroksida 5 % - - +
6 Kalium Hidroksida 5 % Merah Merah +
7 Ammonia 25 % Coklat kemerahan Coklat kemerahan +
8 Feri Klorida 5 % Hijau kekuningan Hijau kekuningan +
9 Kalium iodida - - -

Tabel 1. Hasil uji histokimia Cinnamomi Cortex


Fungsi penambahan reagen pada simplisia Cinnamomi Cortex, yaitu:
a. Reagen Asam Sulfat 10N
Serbuk Cinnamomi Cortex diletakkan pada plat tetes dan ditetesi asam sulfat 10 N di
lemari asam serta diaduk. Warna yang dihasilkan adalah coklat merah. Hal ini sesuai dengan
literatur. Literatur menyatakan bahwa warna yang dihasilkan dari Cinnamomi Cortex setelah
penambahan reagen asam sulfat 10N adalah coklat merah yang menunjukkan adanya
terpenoid, steroid dan minyak atsiri.
Terpenoid termasuk derivat dehidrogenasi dan oksigenasi dari senyawa terpen. Terpen
merupakan suatu golongan hidrokarbon yang banyak dihasilkan oleh tumbuhan dan sebagian
kelompok hewan.Terpenoid merupakan komponen penyusun minyak atsiri. Sifat fisika dari

6
terpenoid yaitu dalam keadaan segar merupakan cairan tidak berwarna, tetapi jika teroksidasi
warna akan berubah menjadi gelap, mempunyai bau yang khas, mempunyai titik leleh tinggi,
indeks bias tinggi, kebanyakan optik aktif, kerapatan lebih kecil dari air, larut dalam pelarut
organik eter dan alkohol. Sifat kimianya yaitu senyawa tidak jenuh (rantai terbuka ataupun
siklik) dan isoprenoid kebanyakan bentuknya khiral dan terjadi dalam dua bentuk enantiomer.
Minyak atsiri merupakan minyak dari tanaman yang komponennya secara umum mudah
menguap. Minyak atsiri berupa cairan pekat yang tidak larut air, mengandung senyawa-
senyawa beraroma yang berasal dari berbagai tanaman. Minyak atsiri mempunyai peran yang
penting dalam bidang niaga sebagai cita rasa dan bau makanan, kosmetik, parfum, antiseptik,
insektisida, obat-obatan dan sebagainya (Robinson, 1991).
b. Reagen Asam Klorida P
Serbuk Cinnamomi Cortex diletakkan pada plat tetes dan ditetesi beberapa tetes
asam klorida P di lemari asam serta diaduk. Warna yang dihasilkan adalah merah kekuningan.
Hal ini sesuai dengan literatur. Warna yang dihasilkan dari Cinnamomi Cortex setelah
penambahan reagen asam klorida P adalah hijau yang menunjukkan adanya lignin.
c. Reagen Natrium Hidroksida 5%
Serbuk Cinnamomi Cortex diletakkan pada plat tetes dan ditetesi
beberapa tetes natrium hidroksida 5% serta diaduk. Warna yang
dihasilkan adalah coklat.
d. Reagen Kalium Hidroksida 5%
Serbuk Cinnamomi Cortex diletakkan pada plat tetes dan ditetesi
beberapa tetes kalium hidroksida 5% serta diaduk. Warna yang dihasilkan
adalah merah. Hal ini sesuai dengan literatur. Literatur menyatakan
bahwa warna yang dihasilkan dari Cinnamomi Cortex setelah penambahan
reagen kalium hidroksida 5% adalah merah.
e. Reagen Ammonia 25%
Serbuk warna yang dihasilkan dari Cinnamomi Cortex setelah penambahan
reagen asam klorida P adalah coklat kemerahan.
f. Reagen Kalium Iodida 6%
Serbuk Cinnamomi Cortex diletakkan pada plat tetes dan ditetesi beberapa tetes kalium
iodida 6% serta diaduk secara pelan-pelan. Warna yang dihasilkan adalah hijau coklat. Hal ini
sesuai dengan literatur.
g. Reagen Feri Klorida 5%

7
Serbuk Cinnamomi Cortex diletakkan pada plat tetes dan ditetesi
beberapa tetes feri klorida 5% serta diaduk secara pelan-pelan. Warna
yang dihasilkan adalah hijau kekuningan. Hal ini tidak sesuai dengan
literatur. Literatur menyatakan bahwa warna yang dihasilkan dari
Cinnamomi Cortex setelah penambahan reagen adalah hijau kekuningan
yang menunjukkan adanya tanin.
Tanin adalah suatu senyawa polifenol yang berasal dari tumbuhan,
berasa pahit dan kelat, yang bereaksi dengan dan menggumpalkan
protein, atau berbagai senyawa organik lainnya termasuk asam amino dan
alkaloid. Tanin merupakan salah satu komponen zat organik yang sangat
kompleks, berbentuk serbuk putih atau kecoklatan, atau mempunyai rasa
spesifik (sepet). Bagian tumbuhan yang banyak mengandung tanin adalah
kulit kayu, daun, akar, dan buahnya (Suprijati, 1999).
Hasil pengamatan uji histokimia Cinnamomi Cortex dengan
penambahan berbagai reagen menghasilkan warna yang sesuai
dengan literatur.

Gambar 1. Hasil percobaan Cinnamomi Cortex metode histokimia dengan penambahan


berbagai reagen dan metode KLT

8
4.5 Hasil Pengamatan Uji Kromatografi Lapis Tipis
Pembanding : Sinamaldehida 1% dalam etanol
Vol. Penotolan : 1 µlpembanding dan 10 µl larutan uji
Fase gerak :Toluen : Etil asetat (97:3)
Fase diam : Silika Gel 60 F254
Penampak noda :UV 254 nm
Warna noda : Ungu tua, Rf sinamaldehida ± 0,80
Rf standar : 0,49
Rf sampel : 0,49
Hasil tersebut didapat dari perhitungan sebagai berikut :
Jarak tempuh sampel = 4,2 cm Menentukan nilai Rf :
Jaraktempu h sampel 4,2
Jarak tempuh eluent = 8,5 cm Rf sampel = = =0,49
Jaraktempu h eluent 8,5
Jaraktempu h standar 4,2
Jarak tempuh standar = 4,2 cm Rf standar = = =0,49
Jaraktempu h eluent 8,5
Hasil praktikum menunjukkan nilai Rf sampel 0,49 sedangkan nilai Rf standar 0,49.
Nilai Rf standar dan nilai Rf sampel sesuai dengan literatur.

9
BAB V. PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Pada uji histokimia, Cinnamomi Cortex menghasilkan warna yang sesuai dengan literatur
ketika ditambahkan berbagai reagen. Simplisia Cinnamomi Cortex mengandung
sinamaldehida karena nilai Rf sampel yang diperoleh hasilnya sama dengan literatur dan Rf
pembanding adalah 0,49 dengan warna noda ungu tua. Cinnamomi Cortex minyak atsiri,
terpenoid, steroid, tanin, lignin dan sinamaldehid.

10
DAFTAR PUSATAKA

 
Anonim.2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. 3-5. Jakarta : Depkes RI.

Anonim.1987. Analisis Obat Tradisional. 2 – 3. Jakarta : Depkes RI.

E Dumont, dkk. 1985. Analisis Obat Secara Kromatografi Dan Mikroskopi. Bandung: ITB.

Sastroamidjojo, S., 1997. Obat Asli Indonesia. Jakarta : Penerbit Dian Rakyat.

Syamsuhidayat SS, Hutapea JR. 1991. Inventaris Tanaman Obat Indonesia Seri 1. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.

Harborne. J.B.,1987. Metode Fitokimia , terjemahan K. Radmawinata dan I. Soediso, 69 – 94,


142-158, 234-238. Bandung : ITB Press.

Rohman, Abdul. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Skoog, Douglas, A., 2004. Fundamentals of Analitical Chemistry Eight Edition. Kanada:
Brooks/Cole.

Vangalapati et al., 2012. A Review on Pharmacological Activities and Clinical Effect of


Cinnamon Species, Research Journal of Pharmaceutical, Biological and Chemical
Sciences, Vol 3 issue 1:657,660.

11
12

Anda mungkin juga menyukai