Anda di halaman 1dari 5

Contoh Kasus Penyimpangan Sila Ke-V

1) 15 Tahun Nenek Astami Tinggal di Kandang Sapi


Kamis, 9 Juni 2016 | 03:07 WIB
Oleh : Syahrul Ansyari, antv/tvOne

Nenek Astami, puluhan tahun tinggal di kandang sapi. (VIVA.co.id/ Veros Afif.)
VIVA.co.id - Puluhan tahun seorang nenek bernama Astami, warga Dusun
Aengnyeor, Desa Lobuk, Kecamatan Bluto, Sumenep, Jawa Timur, menjalani kehidupan
sehari-hari seorang diri di kandang sapi miliknya sendiri. Bahkan perempuan yang sudah
berusia lanjut tersebut belum pernah berkeluaga. Astami mengaku tinggal dan beraktivitas di
kandang sapi miliknya sejak 15 tahun lalu. Alasan adalah karena ia tidak punya tempat
tinggal. "Karena saya tidak punya tempat tinggal lagi ya tinggal di kandang ini. Meskipun
jika hujan kadang atapnya bocor," katanya, Rabu, 8 Juni 2016.
Selama belasan tahun itu, ia terpaksa hidup bersama dengan bau dan kotoran sapi
serta nyamuk yang setiap saat menggigitnya. "Untuk tahun ini, saya tidak mendapatkan
bantuan apa pun dari Pemerintah Sumenep. Cuma tahun lalu saya mendapat bantuan," ujar
dia. Walaupun tinggal di tempat yang tidak layak seperti itu, Astami tetap menjalankan
ibadah puasa. Menurutnya, bukan alasan baginya untuk tidak berpuasa. "Saya beternak sapi.
Itu sapi bukan milik saya. Saya hanya memelihara untuk mendapatkan bagian dari sapi
tersebut bila dijual nanti," tuturnya. Dalam menjalankan ibadah puasa tahun ini, untuk makan
sahur dan berbuka, Astami numpang dari kerabat terdekat. Lebih miris lagi, ia harus
4

menunggu kiriman orang yang mau berbaik hati padanya. Ia juga hampir tidak pernah
tersentuh oleh program pemerintah. Kondisi itu membuatnya semakin sulit dalam menjalani
kehidupan sehari-hari.
(http://nasional.news.viva.co.id/news/read/782503-15-tahun-nenek-astami-tinggal-dikandang-sapi)
2) Potret Ketimpangan Dunia Pendidikan di Indonesia
Selasa, 23 Agustus 2016 09:02

Di tengah euforia perayaan hari ulang tahun ke-71 Kemerdekaan Indonesia, kita patut
prihatin karena masih banyak fasilitas pendidikan yang kondisinya memprihatinkan. Bahkan,
di pelosok-pelosok Nusantara banyak gedung sekolah yang sudah reyot dan hampir roboh.
Masih tingginya angka kemiskinan dan keterbelakangan juga menjadi pertanda bahwa belum
semua penduduk Indonesia bisa menjangkau pendidikan formal. Banyak faktor yang
menyebabkannya seperti masih kentalnya budaya setempat yang menjadikan sekolah bukan
sebagai kebutuhan penting bagi anak serta faktor keterbatasan ekonomi.
Seperti diberitakan media-media massa baik cetak maupun elektronik setiap
menjelang HUT Kemerdekaan RI, ketimpangan fasilitas pendukung sekolah di wilayah
pelosok negeri, sangatlah menyedihkan. Selain ruang untuk belajar mengajar yang banyak
memprihatinkan, sekolah-sekolah di pedesaan hingga wilayah pelosok negeri rata-rata belum
memiliki sarana perpustakaan memadai bagi anak didik di luar buku-buku mata pelajaran.
Guru yang tersedia juga minim, tidak sebanding dengan jumlah anak didik.
Bahkan, gaji yang diberikan kepada para guru tersebut sangat rendah dan kurang
layak yakni sekitar Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu. Sangat jauh dibandingkan gaji seorang
guru PNS yang telah bersertifikasi profesi guru yang bisa mencapai Rp 5 juta per bulan.
Padahal, beban guru di wilayah pelosok lebih berat tanpa didukung fasilitas pendidikan yang
memadai. Kondisi fasilitas pendidikan di pedesaan dan wilayah pelosok negeri yang
memprihatinkan tersebut makin komplit ditambah dengan akses bagi mobilitas warga menuju
sekolah yang tidak mendukung. Salah satu media cetak lokal pernah memberitakan, warga
Desa Purwojiwo, Kecamatan Kalikajar, Wonosobo yang berjumlah 3.000 jiwa mayoritas
hanya tamat SD. Sebagian besar bekerja sebagai petani. Mereka tidak mampu

menyekolahkan anaknya ke jenjang menengah ditambah dengan akses menuju sekolah yang
sulit.
Potret yang memprihatinkan tersebut seharusnya menjadi tamparan keras bagi
pemerintah. Di tengah usia Republik Indonesia yang sudah cukup tua yakni 71 tahun,
ketimpangan di dunia pendidikan seharusnya tidak ada lagi. Kondisi ini jika diketahui negera
lain terutama negeri jiran, akan sangat memalukan, terlebih dulu beberapa negara tetangga
seperti Malaysia pernah mempelajari pendidikan di Indonesia. Namun, patut disayangkan,
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang baru, Muhadjir Effendy tampaknya belum
memahami adanya ketimpangan di dunia pendidikan kita. Setelah diangkat Presiden Joko
Widodo menggantikan Anies Baswedan, Menteri Muhadjir justru langsung menggagas
program sekolah sehari penuh (full day school/FDS) dan akan menghapus kebijakan sekolah
gratis karena dianggap menyulitkan APBN.
(http://jateng.tribunnews.com/2016/08/23/potret-ketimpangan-dunia-pendidikan?page=1)

Analisis Penyimpangan
Kasus pertama, nenek Astami merupakan salah satu dari sekian banyak potret
kemiskinan di Indonesia. Dari kasus ini dapat kita ketahui bahwa pemerataan kesejahteraan
sosial di Indonesia masih belum terlaksana dengan baik. Hal ini dapat digolongkan sebagai
penyimpangan nilai pancasila khususnya pada sila ke-5, yaitu Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Karena pada hakikatnya setiap warga negara Indonesia mendapatkan hak
yang sama, yaitu hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak seperti yang tercantum pada
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat (2). Serta yang tercantum pada Pasal 34 ayat
(1) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa Fakir miskin dan anak-anak
terlantar dipelihara oleh negara.

Solusi :

Untuk solusi dari kasus nenek Astami tersebut, sekiranya pemerintah dapat
melakukan sensus kesejahteraan dengan lebih akurat serta menganggarkan APBN untuk
bantuan sosial bagi masyarakat miskin di Indonesia. Dan yang perlu diperhatikan adalah
pendistribusian bantuan sosial tersebut agar tepat sasaran dan tidak jatuh pada tangan yang
salah.

Kasus kedua, yaitu kasus ketidakmerataan pendidikan di Indonesia. Kasus ini


merupakan kasus penyimpangan terhadap nilai pancasila pada sila ke-5, karena pada
hakikatnya seluruh warga negara Indonesia berhak atas pendidikan untuk meningkatkan
kualitas hidupnya seperti yang tercantum pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28C
Ayat (1) yang menyebutkan bahwa Setiap warga negara berhak mengembangkan diri
melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh
manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas
hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. Serta yang tercantum pada UndangUndang Dasar 1945 Pasal 31 Ayat (1) yang menyebutkan Setiap warga negara berhak
mendapat pendidikan.

Solusi :
Untuk solusi pada kasus kedua tersebut, pemerintah sebaiknya melakukan pendataan
sekolah-sekolah terutama sekolah yang berada di daerah terpencil. Karena sering kali
sekolah-sekolah yang berlokasi di daerah terpencil tidak terdata dan terjamah oleh
pemerintah. Hal ini yang menyebabkan ketertinggalan dan minimnya sarana prasarana
pendidikan di daerah terpencil. Setelah melakukan pendataan, langkah selanjutnya adalah
memberikan sarana prasarana pendidikan yang terstandar sehingga tidak ada kesenjangan
antara kualitas pendidikan di kota dan di daerah terpencil. Dengan demikian hak setiap warga
negara Indonesia untuk mendapatkan pendidikan yang layak dapat terwujud.

Anda mungkin juga menyukai