Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Tonsil atau yang lebih sering dikenal dengan amandel adalah massa yang
terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat dengan kriptus
didalamnya, bagian organ tubuh yang berbentuk bulat lonjong melekat pada kanan
dan kiri tenggorok. Terdapat 3 macam tonsil yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil
palatina, dan tonsil lingual yang membentuk lingkaran yang disebut cincin Waldeyer.
Semuanya mempunyai struktur dasar yang sama massa limfoid ditunjang kerangka
retinakulum jaringan penyambung. 1,2
Adenoid (tonsilla faringeal) mempunyai struktur limfoidnya tersusun dalam
lipatan, sedangkan tonsilla palatina mempunyai susunan limfoidnya sekitar
pembentukan seperti kripta. Sistem kripta yang kompleks dalam tonsilla palatina
mungkin bertanggung jawab pada kenyataan bahwa tonsilla palatina lebih sering
terkena penyakit daripada komponen cincin limfoid lainnya. 1
Tonsilla lingualis mempunyai kripta-kripta kecil yang tidak terlalu berlekuklekuk atau bercabang dibandingkan dengan tonsilla palatina. Prevalensi penyakit
tonsillitis akut lebih sering terkena pada anak-anak, sedangkan tonsillitis lingualis
lebih sering terkena pada orang dewasa. 1,2
Tonsillitis merupakan salah satu dari penyakit THT yang sering dikeluhkan
pasien ketika berobat ke dokter. Banyak aspek yang harus diperhatikan dalam
penanganan tonsillitis ini. Dari sisi penyakitnya, terapinya, tindakannya, akibat
akibat yang ditimbulkan baik dari penyakitnya sendiri maupun dari terapi atau
tindakan yang dilakukakan.

1.2.

Tujuan
Tujuan umum dari penulisan laporan kasus ini adalah untuk lebih mendalami
dan memahami kasus kasus tentang tonsillitis. Tujuan khususnya adalah sebagai
pemenuhan tugas laporan kasus kepaniteraan stase THT.

BAB II
LAPORAN KASUS

2.1. Identitas Pasien


Nama
:
Jenis kelamin
:
Umur
:
Alamat
:
No. RM
:
Tanggal berobat :

Nn. M
Perempuan
18 tahun
Kp. Pasirlemu 03/04 Mekarjaya
7453**
17 Mei 2016

2.2. Anamnesis
2.2.1.Keluhan utama:
Susah menelan sejak 1 bulan lalu yang lalu.
2.2.2.Riwayat penyakit sekarang:
Pasien datang dengan keluhan susah menelan sejak 1 bulan sebelum masuk rumah
sakit. Keluhan dirasakan semakin memberat. Pasien juga merasakan nyeri pada saat
menelan. Pasien merasa ada yang mengganjal pada tenggorokan. Terdapat demam,
batuk berdahak, pilek, nafsu makan menurun sejak 3 hari yang lalu.
2.2.3.Riwayat penyakit dahulu:
Pasien sering mengalami hal yang sama sebelumnya selama satu tahun terakhir.

Setiap bulan pasien berobat dengan keluhan yang sama.


Riwayat Hipertensi dan Diabetes mellitus disangkal.

2.2.4.Riwayat penyakit keluarga:


Riwayat Hipertensi dan Diabetes mellitus disangkal.
2.2.5.Riwayat alergi:
Ada riwayat alergi makanan seafood
Riwayat alergi obat disangkal
2.2.6.Riwayat pengobatan:
Pasien berobat dengan keluhan yang sama 1 bulan yang lalu. Obat dihabiskan tapi
tidak ada perubahan.
2.2.7. Riwayat Psikososial
Pasien sering mengkonsumsi minuman dingin seperti es. Pasien tidak merokok dan
mengkonsumsi alkohol.
2.3. Pemeriksaan Fisik
2.3.1. Keadaan umum : Baik
2.3.2. Kesadaran

: Compos Mentis

2.3.3. Berat badan

: 67 Kg

2.3.4. Tanda Vital


Tekanan darah

: 110/80 mmHg

Penafasan

: 22 x/menit, teratur

Nadi

: 67 x/menit, teratur, kuat angkat

Suhu

: 36.6C

2.4. Status Generalis


2.4.1. Kepala
2.4.2. Mata
2.4.3.
2.4.4.
2.4.5.
2.4.6.
2.4.7.
2.4.8.

Telinga
Hidung
Mulut
Tenggorok
Leher
Thorax
a. Inspeksi
b. Palpasi
c. Perkusi

: Normocephal (+), rambut berwarna hitam (+), distribusi rata (+)


: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks pupil (+/+)
isokor 3mm
: Lihat status lokalis
: Lihat status lokalis
: Mukosa bibir lembab, sianosis (-), stomatitis (-)
: Lihat status lokalis
: Lihat status lokalis
: Kedua hemithoraks tampak simetris, retraksi sela iga (-)
: Kedua hemithoraks terangkat simetris
: Sonor pada semua lapang paru

d. Auskultasi
2.4.9. Jantung
a. Inspeksi
b. Palpasi
c. Perkusi
d. Auskultasi
2.4.10. Abdomen
a. Inspeksi
b. Palpasi
c. Perkusi
d. Auskultasi
2.4.11. Ekstremitas

: Suara napas vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)


: Ictus cordis tidak terlihat
: Ictus cordis teraba di ICS 5 linea midclavicularis sinistra
: Batas jantung relatif dalam batas normal
: Bunyi jantung I dan II regular
: Simetris, cembung
: Supel, nyeri tekan epigastrium (-)
: Timpani pada seluruh kuadran abdomen
: Bising usus (+) normal

a. Superior

: Akral hangat, udema (-/-), RCT < 2 detik (+)

b. Inferior

: Akral hangat, udema (-/-), RCT < 2 detik (+)

2.5. Status lokalis THT


2.5.1. Telinga
Tabel 1. Pemeriksaan Telinga

AD
Normotia, hematoma (-),

AS
Aurikula

Normotia, hematoma (-),

perikondritis (-), helix sign (-),

perikondritis (-), helix sign (-)

edema (-)

edema (-)
Preaurikula

Peradangan (-), pus (-), nyeri

Peradangan (-), pus (-), nyeri

tekan (-), Pembesaran KGB (-)

tekan (-), Pembesaran KGB (-)

Retroaurikula
Peradangan (-), pus (-), nyeri

Peradangan (-), pus (-), nyeri

tekan (-), Pembesaran KGB (-)

Hiperemis (-), udem(-),

tekan (-), Pembesaran KGB (-)

MAE

Hiperemis (-), udem(-),

serumen(-), sekret (-),

serumen(-), sekret (-),

massa(-)

massa(-)

Hiperemis (-), udem(-),

Hiperemis (-), udem(-),

serumen(-) kering, sekret (-),

KAE

massa(-)
Intak, refleks cahaya (+) di jam

serumen(-) kering, sekret (-),


massa(-)

Membran timpani

5, hiperemis (-), retraksi (-)

Intak, refleks cahaya (+) di jam


7, hiperemis (-), retraksi (-)

Uji Rinne

Lateralisasi (-)

Uji Weber

Lateralisasi (-)

Sama dengan pemeriksa

Uji Schwabach

Sama dengan pemeriksa

Interpretasi : Telinga dalam batas normal

2.5.2. Hidung
2.5.2.1. Rinoskopi Anterior
Tabel 2. Pemeriksaan Hidung
Dextra

Rhinoskopi anterior

Sinistra

Hiperemis (-)

Mukosa

Hiperemis (-)

Sekret

Hipertrofi (-)

Konka inferior

Hipertrofi (-)

Deviasi (-)

Septum

Deviasi (-)

(-)

Massa

(-)

Normal

Passase udara

Normal

2.5.2.2. Sinus paranasal


Inspeksi : Pembengkakan kedua pipi (-), kemerahan kelopak mata bawah mata (-),
Palpasi

pembengkakan kelopak mata atas (-)


: Nyeri tekan pipi (-), nyeri ketuk pipi (-), nyeri tekan medial atap orbita
(-), nyeri tekan kantus medius (-)

2.5.2.3. Tes penciuman


- Kanan
: 11 cm, normal dengan kopi dan tembakau
- Kiri
: 13 cm, normal dengan kopi dan tembakau
- Kesan
: NDS normosmia

2.5.2.4. Transiluminasi
- Sinus maksilaris
Dekstra : Terang
Sinistra : Terang
Berbentuk seperti bulan sabit
- Sinus frontalis
Dekstra : Terang
Sinistra : Terang
Berbentuk seperti sarang tawon
- Kesan : sinus maksilaris dan sinus frontalis normal
2.5.3.Tenggorok
Tabel 3. Pemeriksaan Nasofaring
Naofaring (Rhinoskopi posterior)
Konka superior

tidak dilakukan

Torus tubarius

tidak dilakukan

Fossa Rossenmuller

tidak dilakukan

Plika salfingofaringeal

tidak dilakukan

Tabel 4. Pemeriksaan Orofaring


Dextra

Pemeriksaan Orofaring

Sinistra

Tenang
Simetris (normal) kotor
Simetris (normal) bersih
Lubang (-)
Simetris (normal) bersih
Tonsil
Hiperemis

Mukosa mulut
Lidah
Palatum molle
Gigi geligi
Uvula

Tenang
Simetris (normal) kotor
Simetris (normal) bersih
Lubang (-)
Simetris (normal) bersih

Mukosa

Hiperemis

T3

Besar

T4

Melebar

Kripta

Melebar

Detritus

Perlengketan

Tenang
-

Mukosa
Granula
Post nasal drip

Tenang
-

Mulut

Faring

2.5.3.1.

Tes Pengecapan

Manis

Normal

Asin

Normal

Asam

Normal

Pahit

Normal

2.5.3.2.

Laringofaring
Tabel 5. Pemeriksaan Laringofaring

Laringofaring (Laringoskopi indirect)


Epiglotis

tidak dilakukan

Plika ariepiglotika

tidak dilakukan

Plika ventrikularis

tidak dilakukan

Plika vokalis

tidak dilakukan

Rima glotis

tidak dilakukan

10

2.5.4. Pemeriksaan Maksilofasial

Tabel 6. Pemeriksaan Maksilofasial


Dextra

Nervus
I.

Sinistra

Olfaktorius
Normosmia

Normosmia
II.

Penciuman
Optikus

(+)

Daya penglihatan

(+)

Refleks pupil

(+)
(+)

III. Okulomotorius
(+)

Membuka kelopak mata

(+)

(+)

Gerakan bola mata ke superior

(+)

Gerakan bola mata ke inferior

Gerakan bola mata ke medial

(+)
(+)
(+)

(+)
(+)
(+)

Gerakan bola mata ke

laterosuperior
IV. Troklearis
(+)
(+)
V.

Gerakan bola mata ke lateroinferior


Trigeminal

Tes sensoris

(+)

Cabang oftalmikus (V1)

(+)

(+)

Cabang maksila (V2)

(+)

(+)

Cabang mandibula (V3)


VI. Abdusen

(+)
(+)

(+)

Gerakan bola mata ke lateral


VII. Fasial

11

(+)

Mengangkat alis

(+)

(+)

Kerutan dahi

(+)

Menunjukkan gigi

(+)
(+)

Daya kecap lidah 2/3 anterior


VIII. Akustikus

(+)
(+)
Normal

Normal

Tes garpu tala


IX. Glossofaringeal

(+)
(+)
X.

Refleks muntah
Daya kecap lidah 1/3 posterior

Vagus

(+)

Refleks muntah dan menelan

(-)

Deviasi uvula

Simetris

(+)
(+)

(+)
(-)
Simetris

Pergerakan palatum
XI. Assesorius

(+)

(+)

(+)

(-)

Tremor lidah

(-)

(-)

Deviasi lidah

(-)

Memalingkan kepala

Kekuatan bahu
XII. Hipoglossus

(+)

2.5.5. Leher
Tabel 7. Pemeriksaan Kelenjar Tiroid dan Kelenjar Getah Bening (KGB)
Dextra

Pemeriksaan

Sinistra

Pembesaran (-)

Tiroid

Pembesaran (-)

Pembesaran (-)

Kelenjar submental

Pembesaran (-)

Pembesaran (-)

Kelenjar submandibula

Pembesaran (-)

Pembesaran (-)

Kelenjar jugularis superior

Pembesaran (-)

12

Pembesaran (-)

Kelenjar jugularis media

Pembesaran (-)

Pembesaran (-)

Kelenjar jugularis inferior

Pembesaran (-)

Pembesaran (-)

Kelenjar suprasternal

Pembesaran (-)

Pembesaran (-)

Kelenjar supraklavikularis

Pembesaran (-)

2.6. Resume
Perempuan berusia 18 tahun, datang dengan keluhan susah menelan sejak 1 bulan
sebelum masuk rumah sakit. Keluhan dirasakan semakin memberat. Pasien juga
merasakan nyeri pada saat menelan. Pasien merasa ada yang mengganjal pada
tenggorokan. Terdapat demam, batuk berdahak, pilek, nafsu makan menurun sejak 3 hari
yang lalu.. Pasien mengalami keluhan yang sama setiap bulannya dan berobat ke dokter.
Obat dihabiskan namun tidak ada perubahan. Pasien memiliki riwayat alergi seafood.
Pada pemeriksaan fisik status generalis dalam batas normal. Status THT hasil
pemeriksaan

tenggorok menunjukkan tonsil tampak hiperemis, besar derajat tonsil

kanan dan kiri T3/T4, ,,kripta tampak melebar, detritus (+).


2.7. Diagnosis Banding
2.7.1.Tonsillitis kronik hipertrofi eksaserbasi akut
2.7.2.Abses peritonsiller sinistra
2.8. Diagnosa Kerja
Tonsillitis kronik hipertrofi eksaserbasi akut
2.9. Pemeriksaan Penunjang
Hematologi rutin: Hemoglobin, leukosit, hematokrit, trombosit, masa
perdarahan, dan masa pembekuan
2.10. Penatalaksanaan
2.10.1. Nonmedikamentosa
Menghindari minum es, makan makanan pedas, dan gorengan
Makan makanan 4 sehat 5 sempurna
Menjaga kebersihan mulut
2.10.2. Medikamentosa
Coamoksiklav tablet 500 mg 2 x 1
Parasetamol tablet 500 mg 3 x 1
Ambroksol 30 mg 2 x 1
2.10.3. Rencana Tindakan
Tonsillektomi diseksi
(Indikasi relatif operasi)

13

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1.

Anatomi Faring

Gambar 3.1. Potongan sagital rongga hidung, rongga mulut, faring, dan laring.1
Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong,
yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar
tengkorak terus menyambung ke esofagus setinggi vertebra servikal ke-6. Ke atas,
faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan berhubungan
dengan rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan dengan laring di bawah
berhubungan melalui aditus laring dan ke bawah berhubungan dengan esofagus.
Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih 14 cm; bagian ini
merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh (dari
dalam ke luar) selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot, dan sebagian
fasia bukofaringeal. Faring terbagi atas nasofaring, orofaring, dan laringofaring
(hipofaring). Unsur-unsur faring meliputi mukosa, palut lendir (mucous blanket) dan
otot.1

3.1.1.

Mukosa
14

15

Bentuk mukosa faring bervariasi, tergantung pada letaknya. Pada nasofaring


karena fungsinya untuk saluran respirasi, maka mukosanya bersilia, sedamng
epitelnya torak berlapis yang mengandung sel goblet. Di bagian bawahnya, yaitu
orofaring dan laringofaring, karena fungsinya untuk saluran cerna, epitelnya berlapis
gepeng dan tidak bersilia. 1
Di sepanjang faring dapat ditemukan banyak sel jaringan limfoid yang terletak
dalam rangkaian jaringan ikat yang termasuk dalam sistem retikuloendotelial. Oleh
karena itu faring dapat disebut juga daerah pertahanan tubuh terdepan. 1
3.1.2.

Palut lendir (mucous blanket)


Daerah nasofaring dilalui oleh udara pernapasan yang diisap melalui hidung.

Di bagian atas, nasofaring ditutupi oleh palut lendir yang terletak di atas silia dan
bergerak sesuai dengan arah gerak silia ke belakang. Palut lendir ini mengandung
enzim lysozyme yang penting untuk proteksi. 1
3.1.3.

Otot
Otot-otot faring tersusun dalam lapisan melingkar (sirkular) dan memanjang

(longitudinal). Otot-otot yang sirkular terdiri dari m. Konstriktor faring superior,


media, dan inferior. Otot-otot ini terletak di sebelah luar. Otot-otot ini berbentuk kipas
dengan tiap bagian bawahnya menutup sebagian otot bagian atasnya dari belakang. Di
sebelah depan, otot-otot ini bertemu satu sama lain dan di belakang bertemu pada
jaringan ikat yang disebut rafe faring (raphe pharyngis). Kerja otot konstriktor
untuk mengecilkan lumen faring. Otot-otot ini dipersarafai oleh n.Vagus (n.X). 1
Otot-otot yang longitudinal adalah m.Stilofaring dan m. Palatofaring. Letak
otot-otot ini di sebelah dalam. M.Stilofaring gunanya untuk melebarkan faring dan
menarik laring, sedangkan m.palatofaring mempertemukan ismus orofaring dan
menaikkan bagian bawah faring dan laring. Jadi kedua otot ini bekerja sebagai
elevator. Kerja kedua otot itu penting sewaktu menelan. M. Stilofaring dipersarafi
oleh n.IX sedangkan m. Palatofaring dipersarafi oleh n.X. 1,3
Pada palatum mole terdapat lima pasang otot yang dijadikan satu dalam satu
sarung fasia dari mukosa yaitu m. Levator veli palatini, m. Tensor veli palatini, m.
Palatoglosus, m. Palatofaring, dan m. Azigos uvula. 1,3
3.1.3.1.

M.Levator veli palatini membentuk sebagian besar palatum mole dan


kerjanya untuk menyempitkan ismus faring dan memperlebar ostium tuba
Eustachius. Otot ini dipersarafi oleh n. X.

16

3.1.3.2.

M.Tensor veli palatini membentuk tenda palatum mole dan kerjanya


untuk mengencangkan bagian anterior palatum mole dan membuka tuba
Eustachius. Otot ini dipersarafi oleh n. X.
M.Palatoglosus membentuk arkus anterior faring dan kerjanya

3.1.3.3.

menyempitkan ismus faring. Otot ini dipersarafi oleh n. X.


M.Palatofaring membentuk arkus posterior faring. Otot ini dipersarafi

3.1.3.4.

oleh n. X.
3.1.3.5.
M.Azigos uvula merupakan otot yang kecil, kerjanya memperpendek
dan menaikkan uvula ke belakang atas. Otot ini dipersarafi oleh n. X.

Gambar 3.2. Rongga mulut


3.1.4.

Pendarahan
Faring mendapat darah dari beberapa sumber dan kadang-kadang tidak

beraturan. Yang utama berasal dari cabang a. Karotis eksterna (cabang faring asendens
dan cabang fasial) serta dari cabang a. Maksila interna yakni cabang palatina superior.
1

3.1.5.

Persarafan
Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus daring yang

ekstensif. Plesksus ini dibentuk oleh cabang faring dari n.Vagus, cabang dari n.
Glososfaring dan serabut simpatis. Cabang faring dari n. Vagus berisi serabut
motorik. Dari pleksus faring yang ekstensif ini keluar cabang-cabang untuk otot-otot
faring kecuali m. Stilofaring yang dipersarafi langsung oleh cabang n. Glosofaring
(n.IX). 1

17

3.1.6.

Kelenjar getah bening


Aliran limfa dari dinding faring dapat melalui 3 saluran, yakni superior,

media, dan inferior. Saluran limfa superior mengalir ke kelenjar getah bening
retrofaring dan kelenjar getah bening servikal dalam atas. Saluran limfa media
mengalir ke kelenjar getah bening jugulo-digastrik dan kelenjar servikal dalam atas,
sedangkan saluran limfa inferior mengalir ke kelenjar getah bening dalam bawah. 1,3
3.1.7.

Pembagian faring

Gambar 3.3. Pembagian nasofaring

Berdasarkan letaknya faring dibagi atas:


3.1.7.1.

Nasofaring
Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian

bawah adalah palatum mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan ke


belakang adalah verrtebra servikal. 1
Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta berhubungan dengan
beberapa struktur penting, seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding

18

lateral faring dengan resesus faring yang disebut fosa Rosenmuller, kantong
Rathke, yang merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus
Tubarius, suatu refleksi mukosa faring di atas penonjolan kartilago tuba
Eustachius, koana, foramen Jugulare, yang dilalui oleh n. Glosofaring,
n.Vagus, dan n.Asesorius spinal saraf kranial dan v.Jugularis interna, bagian
petrosus os.Temporalis dan foramen laserum, dan muara tuba Eustachius. 1,2,3
3.1.7.2.
Orofaring
Orofaring disebut juga mesofaring, dengan batas atanya adalah
palatum mole, batas bawah adalah tepi atas epiglotis, ke depan adalah rongga
mulut, sedangkan ke belakang adalah vertebra servikal. 1
Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterio
faring, tonsil palatina, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior,
uvula, tonsil lingual, dan foramen sekum. 1
3.1.7.2.1. Dinding posterior faring
Secara klinik dinding posterior faring penting karena ikut terlibat
dalam radang akut atau radang kronik faring, abses retrofaring, serta gangguan
otot-otot di bagian tersebut. Gangguan otot posterior faring bersama-sama
dengan otot palatum mole berhubungan dengan gangguan n. Vagus. 1
3.1.7.2.2. Fosa tonsil
Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior. Batas
lateralnya adalah m.konstriktor faring superior. Pada batas atas yang disebut
kutub atas (upper pole) terdapat suatu ruang kecil yang dinamanakan fosa
supratonsil. Fosa ini berisi jaringan ikat jarang dan biasanya merupakan
tempat nanah memecah ke luar bila terjadi abses. Fosa tonsil diliputi oleh fasia
yang merupakan bagian dari fasia bukofaring, dan disebut kapsul yang
sebenarnya bukan merupakan kapsul yang sebenarnya. 1,2,3

19

Gambar 3.4. Cincin Waldeyer


Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang
oleh jaringan ikat dengan kriptus di dalamnya. 1
Terdapat 3 macam tonsil yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil
palatina, dan tonsil lingual yang ketiga-tiganya membentuk lingkaran yang
disebut cincin Waldeyer. Tonsil palatina yang biasanya disebut tonsil saja
terletak di dalam fosa tonsil. Pada kutub atas tonsil seringkali ditemukan celah
intratonsil yang merupakan sisa kantong faring yang kedua. Kutub bawah
tonsil biasanya melekat pada dasar lidah. Permukaan medial tonsil bentuknya
beraneka ragam dan mempunyai celah yang disebut kriptus. Di dalam kriptus
biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri, dan sisa
makanan. Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering juga
disebut kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring sehingga
mudah dilakukan diseksi pada tonsilektomi. Tonsil mendapat darah dari a.
Palatina minor, a. Palatina asendens, cabang tonsil a. Maksila eksterna, a.
Faring asendens, dan a. Lingualis dorsal. Tonsil lingual terletak di dasar lidah
dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum Glosoepiglotika. Di garis tengah, di
sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut
yang terbentuk oleh papila sirkumvalata. Tempat ini kadang-kadang
menunjukkan penjalaran duktus tiroglosus dan secara klinik merupakan
tempat penting bila ada massa tiroid lingual (lingual thyroid) atau kista duktus
tiroglosus. 1,2,3
3.1.7.3.

Laringofaring (hipofaring)
Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas

anterior ialah laring, batas inferior ialah esofagus, serta batas posterior adalah

20

vertebra servikal. Bila laringofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada


pemeriksaan laring tidak langsung atau dengan laringoskop pada pemeriksaan
laring langsung, maka struktur pertama yang tampak di bawah dasar lidah
adalah valekula. Bagian ini merupakan dua buah cekungan yang dibentuk oleh
ligamentum glosoepiglotika medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral
pada tiap sisi. Valekula disebut juga kantong pil (pills pocket), sebab pada
beberapa orang, kadang-kadang bila menelan pil akan tersangkut disitu. 1
Di bawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk
omega dan pada perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadangkadang bentuk infantil (bentuk omega) ini tetap sampai dewasa. Dalam
perkembangannya, epiglotis ini dapat menjadi demikian lebar dan tipisnya
sehingga pada pemeriksaan laringoskopi tidak langsung tampak menutupi pita
suara. Epiglotis berfungsi juga untuk melindungi (proteksi) glotis ketika
menelan minuman atau bolus makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke
sinus piriformis dan ke esofagus. 1
Nervus Laring superior berjalan di bawah dasar sinus piriformis pada
tiap sisi laringofaring. Hal ini penting untuk diketahui pada pemberian
analgesia lokal di faring dan laring pada tindakan laringoskopi langsung. 1

3.2.

Fisiologi Faring
Fungsi faring yang utama ialah untuk respirasi, pada waktu menelan, resonansi
suara, dan untuk artikulasi. 1,2
3.2.1. Fungsi menelan
Terdapat 3 fase dalam proses menelan yaitu fase oral, fase faringeal,
dan fase esofageal. Fase oral (voluntary), bolus makanan dari mulut menuju ke
faring. Fase faringeal (involuntary) yaitu pada waktu transpor bolus makanan
melalui faring. Fase esofagal (involuntary) yaitu pada waktu bolus makanan
bergerak secara peristaltik di esofagus menuju lambung. 1,2

21

3.2.2. Fungsi faring dalam proses bicara


Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot
palatum dan faring. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole
ke arah dinding belakang faring. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat
dan melibatkan mula-mula m. Salfingofaring dan m. Palatofaring, kemudian
m. Levator veli palatini bersama-sama m. Konstriktor faring superior. Pada
gerakan penutupan nasofaring m. Levator veli palatini menarik palatum mole
ke atas belakang hampir mengenai dinding posterior faring. Jarak yang tersisa
ini diisi oleh tonjolan Passavant pada dinding belakang faring yang terjadi
akibat 2 macam mekanisme, yaitu pengangkatan faring sebagai hasil gerakan
m. Palatofaring (bersama m. Salfingofaring) dan oleh kontraksi aktif
m.Konstriktor faring superior. Mungkin kedua gerakan ini bekerja tidak pada
waktu yang bersamaan. 1,2
Ada yang berpendapat bahwa tonjolan Passavant ini menetap pada
periode fonasi, tetapi ada pula pendapat yang mengatakan tonjolan ini timbul
dan hilang secara cepat bersamaan dengan gerakan palatum. 1
1.3.

Anatomi Tonsil
Tonsil atau yang lebih sering dikenal dengan amandel adalah massa yang
terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat dengan kriptus
didalamnya, bagian organ tubuh yang berbentuk bulat lonjong melekat pada kanan
dan kiri tenggorok. Terdapat 3 macam tonsil yaitu tonsil faringal (adenoid), tonsil
palatina, dan tonsil lingual yang membentuk lingkaran yang disebut cincin Waldeyer.
Tonsil terletak dalam sinus tonsilaris diantara kedua pilar fausium dan berasal dari
invaginasi hipoblas di tempat ini. Tonsil palatina yang biasanya disebut tonsil saja
terletak didalam fosa tonsil. 1
Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan arkus faring posterior. Arkus
faring anterior dibentuk oleh muskulus Palatoglosus yang kerjanya menyempitkan
ismus faring, otot ini dipersarafi oleh nervus Vagus (N.X). Sedangkan arkus faring
posterior dibentuk oleh muskulus palatofaring, otot ini juga dipersarafi oleh nervus
Vagus (N.X). Batas lateral fosa tonsil adalah muskulus Konstriktor faring superior.
Pada batas atas yang disebut kutub atas (upper pole) terdapat suatu ruang kecil yang
dinamakan fosa supra tonsil. Fosa ini berisi jaringan ikat jarang dan biasanya

22

merupakan tempat nanah memecah keluar bila terjadi abses. Fosa tonsil diliputi oleh
fasia yang merupakan bagian dari fasia bukofaring, dan disebut kapsul yang
sebenarnya bukan merupakan kapsul yang sebenarnya.

1,2

Gambar 3.5. Cincin Waldeyer


Pada kutub atas tonsil seringkali ditemukan celah intratonsil yang merupakan
sisa kantong faring yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar
lidah. Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah
yang disebut kriptus. Epitel yang melapisi tonsil adalah epitel skuamosa yang juga
meliputi kriptus. 1
Didalam kriptus biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas,
bakteri dan sisa makanan. Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang
sering juga disebut kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring,
sehingga mudah dilakukan diseksi pada tonsillektomi. Tonsil mendapat darah dari
arteri Palatina minor, arteri Palatina asendens, cabang tonsil arteri Maksila eksterna,
arteri Faring asendens dan arteri Lingualis dorsal. 1
Tonsil lingual terletak didasar lidah dan dibagi menjadi 2 oleh ligamentum
glosoepiglotika. Digaris tengah, disebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum
pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papila sirkumvalata. Tempat ini kadangkadang menunjukkan penjalaran duktus tiroglosus dan secara klinik merupakan
tempat penting bila ada massa tiroid lingual (lingual thyroid) atau kista duktus
tiroglossus. 1
Tonsil diperdarahi oleh beberapa cabang pembuluh darah, yaitu: 1,3

23

3.3.1. A. Palatina ascenden, cabang A. Fasialis, memperdarahi daerah postero-inferior


3.3.2. A. Tonsilaris, cabang A. Fasialis, memperdarahi daerah antero-inferior
3.3.3. A. Lingualis dorsalis, cabang A. Maksilaris interna, memperdarahi daerah anteromedia
3.3.4. A. Faringeal ascenden, cabang A. Karotis eksterna, memperdarahi daerah posterosuperior
3.3.5. A. Palatida descenden dan cabangnya, A. Palatina mayor dan A. Palatina minor,
memperdarahi daerah antero-superior
Daerah vena dialirkan melalui pleksus venosus perikapsular ke V. Lingualis
dan pleksus venosus faringeal, yang kemudian bermuara ke V. Jugularis interna.
Pembuluh darah vena tonsil berjalan dari palatum, menyilang bagian lateral kapsula
dan selanjutnya menembus dinding faring. 1

Gambar 3.6. Vaskularisasi tonsil


Tonsil tidak mempunyai sistem limfatik aferen. Aliran limfe dari parenkim
tonsil ditampung pada ujung pembuluh limfe eferen yang terletak pada trabekula yang
kemudian membentuk pleksus pada permukaan luar tonsil dan berjalan menembus M.
konstrikstor faringeus superior, selanjutnya menembus fasia bukofaringeus dan
akhirnya menuju kelenjar servikalis profunda yang terletak sepanjang pembuluh darah
besar leher, dibelakang dan di bawah arkus mandibula. Kemudian aliran limfe ini
dilanjutkan ke nodulus limfatikus daerah dada, untuk selanjutnya bermuara ke duktus
toraksikus. 1

24

Gambar 3.7. Aliran limfe tonsil


Inervasi tonsil terutama melalui N. Palatina mayor dan minor (cabang N. V2)
dan N. Lingualis (cabang N. IX). Nyeri pada tonsillitis sering menjalar ke telinga, hal
ini terjadi karena N. IX juga mempersarafi membran timpani dan mukosa telinga
tengah melalui Jacobsons nerve. 1
Peranan tonsil dalam mekanisme pertahanan tubuh masih diragukan meskipun
fungsinya memproduksi sel-sel limfosit. Berdasarkan penelitian, ternyata tonsil
memegang peranan penting dalam fase-fase awal kehidupan, terhadap infeksi mukosa
nasofaring dari udara pernafasan sebelum masuk kedalam saluran nafas bagian
bawah. 1
Hasil penelitian, mengenai kadar antibodi tonsil menunjukkan bahwa
parenkim tonsil memang mampu memproduksi antibodi. Penelitian terakhir
menyatakan bahwa tonsil memegang peranan dalam memproduksi IgA, yang
menyebabkan jaringan lokal resisten terhadap organisme patogen. 1
Sewaktu baru lahir tonsil secara histologis tidak mempunyai centrum
germinativum, biasanya berbentuk kecil. Setelah antibodi ibu habis, barulah mulai
terjadi pembesaran tonsil dan adenoid, yang pada permulaan kehidupan masa kanakkanak dianggap normal dan dipakai sebagai indeks aktifitas sistem imun. Pada waktu
pubertas atau sebelum masa pubertas, terjadi kemunduran fungsi tonsil yang disertai
proses involusi. 1
Organisme-organisme patogen yang terdapat pada flora normal tonsil dan
faring tidak menimbulkan peradangan, karena pada daerah ini terdapat mekanisme
pertahanan dan hubungan timbal balik antara berbagai jenis organisme. 1
1.4.

Tonsillitis

25

Tonsillitis adalah inflamasi pada tonsila palatina yang disebabkan oleh infeksi
virus atau bakteri. Saat bakteri dan virus masuk ke dalam tubuh melalui hidung atau
mulut, tonsil berfungsi sebagai filter/penyaring menyelimuti organisme yang
berbahaya tersebut dengan sel-sel darah putih. Hal ini akan memicu sistem kekebalan
tubuh untuk membentuk antibody terhadap infeksi yang akan datang. Tetapi bila
tonsil sudah tidak dapat menahan infeksi dari bakteri atau virus tersebut maka akan
timbul tonsillitis. Dalam beberapa kasus ditemukan 3 macam tonsillitis, yaitu
tonsillitis akut, tonsillitis membranosa, dan tonsillitis kronis.3
3.4.1. Tonsilitis akut
3.4.1.1.

Etiologi
Radang akut tonsil dapat disebabkan kuman grup A Streptokokus
hemolitikus,

Pneumokokus,

Streptokokus

viridans,

dan

Streptokokus

pyogenes. Hemophylus influenzae merupakan penyebab tonsillitis akut


supuratif. 3,4
3.4.1.2.

Patofisiologi
Penularan penyakit ini terjadi melalui droplet. Kuman menginfiltrasi
lapisan epitel, kemudian bila kuman ini mengikis maka jaringan limfoid
superficial bereaksi, terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit
polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus. Detritus ini merupakan
kumpulan leukosit, bakteri yang mati dan epitel yang terlepas. Secara klinis
detritus ini mengisi kriptus tonsil dan tampak sebagai bercak kuning. 2,3
Bentuk tonsilitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsillitis
folikularis. Bila bercak-bercak detritus ini menjadi satu, membentuk alur-alur
maka akan terjadi tonsillitis lakunaris. Bercak detritus ini dapat melebar
sehingga terbentuk membran semu (pseudomembrane) yang menutupi tonsil.
3,4

26

Gambar 3.8. Tonsillitis akut

3.4.1.3.

Manifestasi klinik
Gejala dan tanda-tanda yang ditemukan dalam tonsillitis akut ini
meliputi demam dengan suhu tubuh yang tinggi, nyeri tenggorok dan nyeri
sewaktu menelan, nafas yang berbau, rasa lesu, rasa nyeri di persendian, tidak
nafsu makan, dan rasa nyeri di telinga (otalgia). Rasa nyeri ditelinga ini karena
nyeri alih (referred pain) melalui saraf n.Glosofaringius (n.IX). 3
Pada pemeriksaan juga akan nampak tonsil membengkak, hiperemis,
dan terdapat detritus berbentuk folikel, lacuna atau tertutup oleh membrane
semu. Kelenjar submandibula membengkak dan nyeri tekan. 3

3.4.1.4.

Komplikasi
Otitis media akut (pada anak-anak), abses peritonsil, abses parafaring,
toksemia, septicemia, bronchitis, nefritis akut, miokarditis, dan arthritis. 3

3.4.1.5.

Pemeriksaan
1) Tes Laboratorium
Tes laboratorium ini digunakan untuk menentukan apakah bakteri yang
ada dalam tubuh pasien merupakan bakteri grup A, karena grup ini disertai
dengan demam reumatik, glomerulonefritis. 3
2) Pemeriksaan penunjang
Kultur dan uji resistensi bila diperlukan. 3

3.4.1.6.

Perawatan
Perawatan yang dilakukan pada penderita tonsillitis biasanya dengan
perawatan sendiri dan dengan menggunakan antibiotic.Tindakan operasi hanya
dilakukan jika sudah mencapai tonsillitis yang tidak dapat ditangani sendiri. 3
1) Perawatan sendiri
Apabila penderita tonsillitis diserang karena virus sebaiknya biarkan virus
itu hilang dengan sendirinya. Selama satu atau dua minggu sebaiknya
penderita banyak istirahat, minum minuman hangat.
2) Antibiotik

27

Jika tonsillitis disebabkan oleh bakteri maka antibiotic yang akan berperan
dalam proses penyembuhan. Antibiotik oral perlu dimakan selama
setidaknya 10 hari.
3) Tindakan operasi
Tonsillektomi biasanya dilakukan jika pasien mengalami tonsillitis selama
tujuh kali atau lebih dalam setahun, pasien mengalami tonsillitis lima kali
atau lebih dalam dua tahun, tonsil membengkak dan berakibat sulit
bernafas, adanya abses.

3.4.2. Tonsilitis Membranosa


Tonsillitis membranosa adalah radang akut tonsil disertai pembentukan selaput
atau membrane pada permukaan tonsil yang dapat meluas kesekitarnya. Bila eksudat
yang menutupi permukaan tonsil yang bengkak menyerupai membran. Membran ini
biasanya mudah diangkat atau dibuang dan berwarna putih kekuning-kuningan. 1,3,4
3.4.3. Tonsillitis difteri
Frekuensi penyakit ini sudah menurun berkat keberhasilan imunisasi pada bayi
dan anak. Penyebab tonsillitis difteri ialah kuman Coryne bacterium diphteriae,
kuman yang termasuk dalam gram positif dan hidung disaluran nafas bagian atas yaitu
hidung, faring, dan laring. 3
Tonsillitis difteri sering ditemukan pada anak berusia kurang dari 10 tahun dan
frekuensinya tertinggi pada usia 2 5 tahun walaupun pada orang dewasa masih
mungkin menderita penyakit ini. 3
3.4.3.1.

Gejala dan Tanda

Dibagi kedalam tiga golongan: 3


3.4.3.1.1.

Gejala umum, sama seperti dengan gejala infeksi lainnya seperti;

kenaikan suhu, tidak nafsu makan, badan lemah, nyeri kepala, nyeri
menelan, dan nadi melambat.
3.4.3.1.2.
Gejala Lokal, tampak tonsil membengkak ditutupi oleh bercak putih
kotor yang semakin lama semakin meluas dan membentuk membrane semu,
kemudian meluas hingga palatume mole, uvula, nasofaring, laring, trakea,

28

dan bronkus yang dapat menghambat saluran nafas. Bila penyakit ini
berkembang terus kelenjar limfe leher akan membengkak dan disebut
dengan bull neck ( leher sapi ).
3.4.3.1.3.
Gejala akibat eksotoksin, yang dikeluarkan oleh kuman yang dapat
menimbulkan kerusakan jaringan tubuh seperti jantung menjadi miokarditis
sampai dekompensasi kordis, kemudian mengenai safar cranial yang dapat
menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernafasan dan ginjal
menimbulkan albuminuria.
3.4.3.2.

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan pemerikasaan refarat

kuman yang diambil dari permukaan membrane semu dan didapatkan kuman
Corynebacterium diptheriae. 3

Gambar 3.9. Tonsillitis difteri3


3.4.3.3.

Terapi 3

3.4.3.3.1.

Antibiotik Penisilin / Eritromisin 25 50 mg/ kgBB dalam 3 dosis

selama 14 hari
3.4.3.3.2.
Kortikosteroid 1,2 mg/kgBB per hari
3.4.3.3.3.
Anti difteri serum (ADS) diberikan tanpa menunggu hasil kultur
dengan dosis 20.000 sampai dengan 100.000 ribu unit, tergantung dari umur
dan berat penyakit

3.4.3.4.

Komplikasi

29

Dapat terjadi laryngitis difteri dengan cepat, membrane semu menjalar ke


laring dan menyebabkan sumbatan. Makin muda usia pasien makin cepat timbul
komplikasi. Kelumpuhan otot palatum mole, otot mata akomodasi , otot faring serta
otot laring. Albuminemia sebagai akibat komplikasi ke ginjal. 3

3.4.4. Tonsilitis Septik


Penyebab tonsillitis septik adalah Streptococcus hemoliticus yang terdapat
dalam susu sapi sehingga dapat timbul epidemic. Oleh karena di Indonesia susu sapi
dimasak dulu dengan cara pasteurisasi sebelum diminum. Gejalanya antara

lain

demam tinggi, sakit sendi, malaise, nyeri kepala, mual dan muntah. Tanda klinis yaitu
mukosa faring dan tonsil hiperemis, bercak putih, edema sampai uvula, mulut bau.
Terapi yaitu pemeberian antibiotic dan terapi simptomatik. 3,4

Gambar 3.10. Tonsillitis septik

3.4.5. Angina Plaut Vincent ( Stomatitis Ulsero Membranosa )


Penyebabnya adalah bakteri spinochaeta atau triponema yang didapatkan pada
penderita dengan hygiene mulut yang kurang dan defisiensi vitamin C. 1,3

30

3.4.5.1.

Gejala
Demam sampai 39 C, nyeri kepala, badan lemah, gangguan pencernaan, nyeri

dimulut, hipersalivasi, gigi dan gusi mudah berdarah. 3


3.4.5.2.

Pemeriksaan
Mukosa mulut dan faring hiperemis, tampak membrane putih keabuan diatas

tonsil, uvula, dinding faring, gusi serta prosesus alveoluris, mulut berbau dan kelenjar
sub mandibula membesar. 3

Gambar 3.11. Angina plaut vincent

3.4.5.3.

Terapi
Antibiotika spectrum luas selama 1 minggu. Memperbaiki hygiene mulut.

Vitamin C dan vitamin B kompleks. 3

3.4.6. Penyakit Kelainan Darah


Tidak jarang tanda pertama leukemia akut, angina agranulositosis dan infeksi
mononucleosis timbul difaring atau di tonsil yang tertutup membrane semu. Kadang
kadang terdapat perdarahan di selaput lender dan mulut dan faring serta pembesaran
submandibula. 3

31

3.4.6.1.

Leukemia Akut
Gejala pertama berupa epistaksis, perdarahan di mukosa mulut, gusi dan di

bawah kulit sehingga bercak kebiruan. Tonsil bengkak ditutupi membrane semu tetapi
tidak hiperemis dan rasa nyeri yang hebat di tenggorok. 3
3.4.6.2.

Angina Agranulositosis
Penyebabnya adalah akibat keracunan obat dari golongan amidopirin, sulfa

dan asren. Pada pemeriksaan tampak ulkus di mukosa mulut dan faring serta di sekitar
ulkus tampak gejala radang. Ulkus ini juga dapat ditemukan di genitalia dan saluran
cerna. 3

Gambar 3.12. Angina agranulositosis

3.4.6.3.

Infeksi Mononukleosis
Pada penyakit ini terjadi tonsilo faringitis ulsero membranosa bilateral.

Membran semu yang menutupi ulkus mudah diangkat tanpa timbul perdarahan.
Terdapat pembesaran kelenjar limfa leher, ketiak dan regioinguinal. Gambaran darah
khas yaitu terdapat leukosit mononukleus dalam jumlah besar. Tanda khas lain adalah
kesanggupan serum pasien untuk beraglutinasi terdapat sel darah merah domba
( reaksi Paul Bunnel ). 3

32

Gambar 3.13. Infeksi mononukleosis4

3.4.7. Tonsilitis kronis


3.4.7.1.

Etiologi
Bakteri penyebab tonsillitis kronis sama halnya dengan tonsillitis akut ,
namun terkadang bakteri berubah menjadi bakteri golongan Gram negatif. 3

3.4.7.2.

Faktor predisposisi
Higien mulut yang buruk, pengobatan tonsillitis akut yang tidak
adekuat, rangsangan kronik karena rokok maupun makanan. 1,3,4

3.4.7.3.

Patofisiologi
Karena proses radang berulang maka epitel mukosa dan jarinagan
limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti
dengan jaringan parut. Jaringan ini akan mengerut sehingga ruang antara
kelompok melebar yang akan diisi oleh detritus, proses ini meluas hingga
menembus kapsul dan akhirnya timbul perlekatan dengan jaringan sekitar fosa
tonsilaris. 3

3.4.7.4.

Pemeriksaan

3.4.7.4.1.

Terapi
Terapi mulut (terapi lokal) ditujukan kepada higien mulut dengan

berkumur atau obat isap. 3


Terapi radikal dengan tonsillektomi bila terjadi infeksi yang berulang
atau kronik, gejala sumbatan serta curiga neoplasma. 3

33

3.4.7.4.2.

Faktor penunjang

Kultur dan uji resistensi kuman dari sedian apus tonsil.

Gambar 3.14. Tonsilitis kronik4


3.4.7.5.

Komplikasi
Timbul

rhinitis

perkontinuitatum,

kronis,

sinusitis

atau

otitis

endokarditis,

arthritis,

miositis,

media
nefritis,

secara
uveitis,

iridosiklitus, dermatitis, pruritus, urtikaria, dan furunkulosis. 3


3.4.7.6.

Indikasi Tonsillektomi
Tonsilektomi menurut American Academy of Otolaryngology (AAO) adalah: 3

3.4.7.6.1.

Indikasi Absolut

a. Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas,


disfagia berat, gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmoner.
b. Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan
drainase.
c. Tonsillitis yang menimbulkan kejang demam.
d. Tonsillitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi
anatomi
3.4.7.6.2.

Indikasi Relatif

a. Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi
antibiotik adekuat.
b. Halitosis akibat tonsillitis kronik yang tidak membaik dengan
pemberian terapi medis.
c. Tonsillitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak
membaik dengan pemberian antibiotik -laktamase resisten

34

3.4.7.7.

Teknik-Teknik Tonsillektomi

3.4.7.7.1.

Guillotine
Tonsilektomi caraguillotine dikerjakan secara luas sejak akhir abad ke

19, dan dikenal sebagai teknik yang cepat dan praktis untuk mengangkat
tonsil. Namun tidak ada literatur yang menyebutkan kapan tepatnya
metode ini mulai dikerjakan. Tonsilotom modern atau guillotine dan
berbagai modifikasinya merupakan pengembangan dari sebuah alat yang
dinamakan uvulotome. Uvulotome merupakan alat yang dirancang untuk
memotong uvula yang edematosa atau elongasi.5,6,7
Kepustakaan lama menyebutkan beberapa keuntungan teknik ini yaitu
cepat, komplikasi anestesi kecil, biaya kecil. 5
3.4.7.7.2.

Diseksi
Kebanyakan tonsilektomi saat ini dilakukan dengan metode diseksi. Di

negara-negara Barat, terutama sejak para pakar bedah mengenal anestesi


umum dengan endotrakeal pada posisi Rose yang mempergunakan alat
pembuka mulut Davis, mereka lebih banyak mengerjakan tonsillektomi
dengan cara diseksi. Cara ini juga banyak digunakan pada pasien anak. 5
Walaupun telah ada modifikasi teknik dan penemuan peralatan dengan
desain yang lebih baik untuk tonsillektomi, prinsip dasar teknik
tonsillektomi tidak berubah. Pasien menjalani anestesi umum (general
endotracheal anesthesia). Teknik operasi meliputi: memegang tonsil,
membawanya ke garis tengah, insisi membran mukosa, mencari kapsul
tonsil, mengangkat dasar tonsil dan mengangkatnya dari fossa dengan
manipulasi hati-hati. Lalu dilakukan hemostasis dengan elektokauter atau
ikatan. Selanjutnya dilakukan irigasi pada daerah tersebut dengan salin. 5
Bagian penting selama tindakan adalah memposisikan pasien dengan
benar dengan mouth gag pada tempatnya. Lampu kepala digunakan oleh
ahli bedah dan harus diposisikan serta dicek fungsinya sebelum tindakan
dimulai.Mouth gag diselipkan dan bilah diposisikan sehingga pipa
endotrakeal terfiksasi aman diantara lidah dan bilah. Mouth gag paling

35

baik ditempatkan dengan cara membuka mulut menggunakan jempol dan 2


jari pertama tangan kiri, untuk mempertahankan pipa endotrakeal tetap di
garis tengah lidah. Mouth gag diselipkan dan didorong ke inferior dengan
hati-hati agar ujung bilah tidak mengenai palatum superior sampai tonsil
karena dapat menyebabkan perdarahan. Saat bilah telah berada diposisinya
dan pipa endotrakeal dan lidah di tengah, wire bail untuk gigi atas
dikaitkan ke gigi dan mouth gag dibuka.Tindakan ini harus dilakukan
dengan visualisasi langsung untuk menghindarkan kerusakan mukosa
orofaringeal akibat ujung bilah. Setelah mouth gag dibuka

dilakukan

pemeriksaan secara hati-hati untuk mengetahui apakah pipa endotrakeal


terlindungi adekuat, bibir tidak terjepit, sebagian besar dasar lidah ditutupi
oleh bilah dan kutub superior dan inferior tonsil terlihat. Kepala di
ekstensikan dan

mouth gag

dielevasikan. Sebelum memulai operasi,

harus dilakukan inspeksi tonsil, fosa tonsilar dan palatum durum dan
molle. 5,6,7
Mouth gag yang dipakai sebaiknya dengan bilah yang mempunyai alur
garis tengah untuk tempat pipa endotrakeal (ring blade). Bilah mouth gag
tersedia dalam beberapa ukuran. Anak dan dewasa (khususnya wanita)
menggunakan bilah no. 3 dan laki-laki dewasa memerlukan bilah no. 4.
Bilah no. 2 jarang digunakan kecuali pada anak yang kecil.Intubasi nasal
trakea lebih tepat dilakukan dan sering digunakan oleh banyak ahli bedah
bila tidak dilakukan adenoidektomi. 5,6
3.4.7.7.3.

Electrosurgery (Bedah listrik)


Awalnya, bedah listrik tidak bisa digunakan bersama anestesi umum,

karena mudah memicu terjadinya ledakan.Namun, dengan makin


berkembangnya zat anestetik yang nonflammable dan perbaikan peralatan
operasi, maka penggunaan teknik bedah listrik makin meluas. 5
Pada bedah listrik transfer energi berupa radiasi elektromagnetik
(energi radiofrekuensi) untuk menghasilkan efek pada jaringan. Frekuensi
radio yang digunakan dalam spektrum elektromagnetik berkisar pada 0.1
hingga 4 MHz. Penggunaan gelombang pada frekuensi ini mencegah
terjadinya gangguan konduksi saraf atau jantung. Pada teknik ini elektroda
tidak menjadi panas, panas dalam jaringan terbentuk karena adanya aliran

36

baru yang dibuat dari teknik ini.Teknik ini menggunakan listrik 2 arah
(AC) dan pasien termasuk dalam jalur listrik (electrical pathway). 5,6,7
Teknik

bedah listrik yang paling paling umum adalah monopolar

blade, monopolar suction, bipolar dan prosedur dengan bantuan


mikroskop. Tenaga listrik dipasang pada kisaran 10 sampai 40 W untuk
memotong, menyatukan atau untuk koagulasi.Bedah listrik merupakan
satu-satunya teknik yang dapat melakukan tindakan memotong dan
hemostase dalam satu prosedur. Dapat pula digunakan sebagai tambahan
pada prosedur operasi lain. 5
3.4.7.7.4.

Radiofrekuensi
Pada teknik radiofrekuensi, elektroda disisipkan langsung ke jaringan.

Densitas baru di sekitar ujung elektroda cukup tinggi untuk membuat


kerusakan bagian jaringan melalui pembentukan panas. Selama periode 46 minggu, daerah jaringan yang rusak mengecil dan total volume jaringan
berkurang. Pengurangan jaringan juga dapat terjadi bila energi
radiofrekuensi diberikan pada medium penghantar seperti larutan
salin.Partikel yang terionisasi pada daerah ini dapat menerima cukup
energi untuk memecah ikatan kimia di jaringan. Karena proses ini terjadi
pada suhu rendah (40 C - 70 C), mungkin lebih sedikit jaringan sekitar
yang rusak. 5,6
Alat radiofrekuensi yang paling banyak tersedia yaitu alat Bovie,
Elmed Surgitron system (bekerja pada frekuensi 3,8 MHz), the Somnus
somnoplasty system (bekerja pada 460 kHz), the ArthroCare coblation
system dan Argon plasma coagulators. Dengan alat ini, jaringan tonsil
dapat

dibuang

seluruhnya,

volumenya.Penggunaan

teknik

ablasi

sebagian

radiofrekuensi

atau
dapat

berkurang
menurunkan

morbiditas tonsilektomi.Namun masih diperlukan studi yang lebih besar


dengan desain yang baik untuk mengevaluasi keuntungan dan analisa
biaya dari teknik ini. 5,6
3.4.7.7.5.

Skalpel harmonic

37

Skalpel harmonik menggunakan teknologi ultrasonik untuk memotong


dan mengkoagulasikan jaringan dengan kerusakan jaringan minimal.
Teknik ini menggunakan suhu yang lebih rendah dibandingkan
elektrokauter dan laser. Dengan elektrokauter atau laser, pemotongan dan
koagulasi terjadi bila temperatur sel cukup tinggi untuk tekanan gas dapat
memecah sel tersebut (biasanya 150 C 400 C), sedangkan dengan
skalpel harmonik temperatur disebabkan oleh friksi jauh lebih rendah
(biasanya 50 C - 100 C). Sistem skalpel harmonik terdiri atas generator
110 Volt, handpiece dengan kabel penyambung, pisau bedah dan pedal
kaki. 5,6
Alatnya memiliki 2 mekanisme memotong yaitu oleh pisau tajam yang
bergetar dengan frekuensi 55,5 kHz sejauh lebih dari 80 m

(paling

penting), dan hasil dari pergerakan maju mundur yang cepat dari ujung
pemotong saat kontak dengan jaringan yang menyebabkan peningkatan
dan penurunan tekanan jaringan internal, sehingga menyebabkan
fragmentasi berongga dan pemisahan jaringan. Koagulasi muncul ketika
energi mekanik ditransfer kejaringan, memecah ikatan hidrogen tersier
menjadi protein denaturasi dan melalui pembentukan panas dari friksi
jaringan internal akibat vibrasi frekuensi tinggi. 5,6
Dibandingkan dengan teknik diseksi standar dan elektrokauter, teknik
ini mengurangi nyeri pascaoperasi. 5,6
3.4.7.7.6.

Coblation
Teknik coblation juga dikenal dengan nama plasma-mediated tonsillar

ablation, ionised field tonsillar ablation; radiofrequency tonsillar ablation;


bipolar radiofrequency ablation; cold tonsillar ablation. 5,7
Teknik ini menggunakan bipolar electrical probe untuk menghasilkan
listrik radiofrekuensi (radiofrequency electrical) baru melalui larutan
natrium klorida. Keadaan ini akan menghasilkan aliran ion sodium yang
dapat merusak jaringan sekitar. Coblationprobe memanaskan jaringan
sekitar lebih rendah dibandingkan probe diatermi standar (suhu 60 C (45 85 C) dibanding lebih dari 100 C). 5,6
National Institute for clinical excellence menyatakan bahwa efikasi
teknik coblationsama dengan teknik tonsilektomi standar tetapi teknik ini

38

bermakna mengurangi rasa nyeri, tetapi komplikasi utama adalah


perdarahan. 5
3.4.7.7.7.

Intracapsular partial tonsillectomy


Intracapsular tonsillectomy merupakan tonsilektomi parsial yang

dilakukan dengan menggunakan mikrodebrider endoskopi. Meskipun


mikrodebrider endoskopi bukan merupakan peralatan ideal untuk tindakan
tonsillektomi, namun tidak ada alat lain yang dapat menyamai ketepatan
dan ketelitian alat ini dalam membersihkan jaringan tonsil tanpa melukai
kapsulnya. 5
Pada tonsillektomi intrakapsular, kapsul tonsil disisakan untuk
menghindari terlukanya otot-otot faring akibat tindakan operasi dan
memberikan lapisan pelindung biologis bagi otot dari sekret. Hal ini
akan mencegah terjadinya perlukaan jaringan dan mencegah terjadinya
peradangan lokal yang menimbulkan nyeri, sehingga mengurangi nyeri
pasca operasi dan mempercepat waktu pemulihan. Jaringan tonsil yang
tersisa akan meningkatkan insiden tonsillar regrowth. Tonsillar regrowth
dan tonsilitis kronis merupakan hal yang perlu mendapat perhatian khusus
dalam

teknik

tonsilektomi

intrakapsuler.Tonsilitis

kronis

dikontraindikasikan untuk teknik ini. 5


Keuntungan teknik ini angka kejadian nyeri dan perdarahan pasca
operasi lebih rendah dibanding tonsilektomi standar.Tetapi masih
diperlukan studi dengan desain yang baik untuk menilai keuntungan teknik
ini. 5

BAB IV
PENUTUP

4.1.

Kesimpulan
Tonsillitis akut adalah radang akut yang disebabkan oleh kuman Streptococcus
beta hemolyticus, Streptococcus viridians, Streptococcus pyogenes, Pneumococcus,
Haemophylus influenzae dan Staphylococcus, dapat juga disebabkan oleh virus.
Tonsillitis kronik merupakan hasil dari serangan tonsillitis akut yang berulang.
Kuman-kuman penyebab menginfiltrasi lapisan epitel dan terjadi reaksi
jaringan limfoid superfisial. Terdapat pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit
polimorfonuklear. Proses ini tampak sebagau detritus pada korpus tonsil. Detritus
merupakan kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas, suatu tonsillitis akut
dengan detritus disebut tonsillitis folikularis, bila bercak detritus berdekatan menjadi
satu maka terjadi tonsillitis lakunaris.
Manifestasi klinik tonsillitis akut berupa sakit tenggorokan, sakit saat
menelan, muntah, tonsil bengkak, panas, gatal, sakit pada otot dan sendi, nyeri pada
seluruh badan, sakit kepala dan sakit pada telinga. Pada tonsillitis dapat
mengakibatkan kekambuhan sakit tenggorokan dan keluar nanah pada lekukan tonsil.
Komplikasi dapat berupa abses peritonsil, otitis media akut, mastioditis,
laryngitis, sinusitis, rinitis, endokarditis bakterialis, arthritis reumatoid, GNAPS dan
lain-lain.
Penatalaksanaan tonsilitis akut dapat diberikan obat-obat simpotamatis dan
antibiotic. Sedangkan tonsilitis kronis dapat diberikan coamoxiclav dan antipiretikanalgesik paracetamol.
Terdapat dua indikasi tonsillektomi, yaitu indikasi yang bersifat relatif dan
absolut. Sedangkan terdapat 8 buah metode tonsilektomi.

4.2.

Saran
39

40

Tonsillitis seringkali menyebabkan gangguan menelan, umumnya pada anakanak. Sebagai dokter, maka perlu diberikan penjelasan tentang penyakit, komplikasi,
serta pilihan terapi baik dengan obat maupun tindakan pembedahan. Dokter juga
harus memberikan informasi tentang hal-hal yang dapat menyebabkan kambuhnya
penyakit ini.

DAFTAR PUSTAKA

1.

Rusmarjono, Bambang Hermani. Nyeri Tenggorok. Dalam: Buku Ajar Ilmu


Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ketujuh. Jakarta: FKUI,

2014. h. 190 194


2. Ganong, Williem S. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta. 2003.
3. Rusmarjono, Soepardi Efiaty A. Faringitis Tonsilitis,dan Hipertrofi Adenoid. Dalam:
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ketujuh.
Jakarta: FKUI, 2014. h. 195 203
4. Standar Pelayanan Medis 10 Penyakit Terbanyak. RSHS Bandung. 2004. h. 68 69
5. Ballenger JJ. Otorhinolaryngology head and the neck surgery. 17th Ed. Lea Febiger
Book. Baltimore, Philadelphia, Hongkong, London, Munich, Sydney, Tokyo,
2009:236-44.
6. Pedoman Diagnosis Dan Terapi Bag/SMF Ilmu Penyakit Telinga, Hidung, dan
Tenggorok. Edisi III. RSUD Dr. Soetomo. Surabaya. 2005. h. 46 47
7. Adam, Goerge L.2002. Penyakit-penyakit Nasofaring dan Orofaring dalam: Boeis
Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6. EGC. Jakarta

41

Anda mungkin juga menyukai