Anda di halaman 1dari 4

Moral Exclusion dan Rokok

Oleh : RR. Ardiningtiyas Pitaloka, M.Psi.


Jakarta, 06 Februari 2006
Terlalu Permisif
Masyarakat Indonesia sangat permisif dalam masalah merokok, meskipun telah memiliki Pasal 24 PP no.81/
1999 yang menyatakan bahwa pimpinan atau penanggungjawab tempat umum dan tempat kerja harus
mengupayakan terbentuknya kawasan bebas rokok, dan Peraturan Pemerintah no.38 th.2000 yang menyatakan
bahwa rokok tidak boleh diiklankan di media elektronik antara pukul 05.00-21.30 WIB, (Kompas,2001).
Seorang konsultan WHO dan Australia, Dr. Matthew Allen, pada bulan April 2001 menyatakan bahwa tingginya
tingkat rokok dan penerimaan terhadap rokok pasif merupakan hambatan utama dan pertama bagi
penanggulangan masalah rokok di Indonesia. Allen menyatakan terdapat 7 (tujuh) hambatan bagi
penanggulangan masalah rokok di Indonesia, yaitu;
1. Tidak adanya pengetahuan di kalangan perokok tentang resiko merokok
2. Tidak cukupnya pengetahuan badan-badan pemerintah dan LSM, yaitu pengendalian rokok bagi kesehatan
dan perekonomian, serta taktik-taktik menyesatkan yang dipakai oleh industri rokok
3. Tidak adanya komitmen oleh para politisi dan departemen pemerintah
4. Adanya kerancuan wewenang Badan Pengawasan Obat dan Makanan (POM) dan Departemen Kesehatan
dan Departemen Kesejahteraan Sosial
5. Kuatnya sektor industri rokok
6. Desentralisasi dan tidak adanya kerangka kerja di daerah untuk mengimplementasikan perangkat
pengendalian rokok
7. Tak ada dana untuk membuat kampanye tandingan dan program pengendalian lainnya. (Kompas, 2001)
Melihat perkembangan kebiasaan merokok Indonesia yang semakin lama semakin parah, nampaknya harapan
untuk menanggulangi masalah ini semakin tipis, namun sebenarnya hal tersebut bukan tidak mungkin dilakukan
karena beberapa negara telah menerapkan aturan cukup keras baik bagi para perokok maupun industri rokok.
Singapura menerapkan ruang publik sebagai kawasan bebas rokok, mesin penjual rokok dinyatakan ilegal dan
melarang perusahaan rokok menjadi sponsor even publik (Oskamp & Schultz, 1998)
Negara-negara Unieropa mencanangkan kampanye anti rokok dengan slogan; "Feel Free to Say No!" yang
diluncurkan bertepatan dengan momen piala dunia 2002 serta didukung sejumlah pemain bola terkenal seperti
Luis Figo, Zinadine Zidane, Paolo Maldini,dll. Sementara dalam peringatan Hari Tanpa Tembakau sedunia (31
Mei 2002), Meksiko mengumumkan akan melarang semua iklan rokok dari radio dan televisi mulai 2003. Secara
perlahan-lahan penjualan rokok di toko-toko obat akan dikurangi dan peringatan bahwa bahaya rokok akan
diwajibkan untuk dipasang di depan, bukan di belakang seperti sekarang. (Kompas, 2002)
Jurus Kelit Industri Rokok
Bagaimana perokok dan industri rokok dapat terus "hidup" dan berkembang mengambil ruang gerak dan nafas di
Indonesia ?
Moral Exclusion
Jika moral berada dalam ruang keadilan, moral exclusion sangat berbeda (kontras), yang merupakan
rasionalisasi, jastifikasi kesalahan atau sesuatu yang membahayakan. Dalam konflik lingkungan, moral exclusion
sulit untuk dideteksi, hal ini disebabkan juga oleh adanya dukungan konvensi sosial. Analisa gejala moral
exclusion dalam konflik lingkungan mengindikasikan bahwamoral exclusion dapat digolongkan dalam tiga bentuk
penyangkalan (denial); simptom moral exclusion, yaitu;

1. Outcome Severity (hasil rumit)


a. disbenefit (kerugian berat); pihak tertentu (negara atau perusahaan) menolak penanggulangan masalah
tertentu dengan berkelit hal tersebut dapat mendatangkan kerugian besar
b. sains; memanfaatkan sains untuk tujuan tertentu, menjadikan sains sebagai alasan, misalnya perlunya waktu
untuk meneliti masalah tertentu.
2. Stakeholder
a. outsider; menempatkan diri pada pihak lawan (contoh; menganggap peraturan sebagai lawan)
b. ekstrimis; pihak yang menetang sesuatu secara radikal
3. Keterlibatan Diri
a. self exclusion; mengelak tanggung jawab personal (contoh; "Bukan hanya saya yang merokok di ruang ini.")
b. Reluctant participation; pihak tertentu menolak berpartisipasi dalam penanggulangan masalah polusi udara
namun tetap menggunakan alasan kemanusiaan dalam usahanya (contoh; industri rokok menjadi sponsor even
olahraga) (Opotow & Weiss, 2000)
Riset dalam Psikologi Sosial Seputar Perilaku Merokok
Banyak riset perilaku merokok dilakukan dalam psikologi sosial, Surgeon General Report 1964 menyatakan
bahwa faktor psikologi merupakan faktor krusial untuk memahami rokok.
Tahapan seseorang menjadi perokok tetap (Laventhal & Cleary;1980, Flay;1993);
1. Persiapan; sebelum seseorang mencoba rokok, melibatkan perkembangan perilaku dan intensi tentang
merokok dan bayangan tentang seperti apa rokok itu.
2. Inisiasi (initiation); reaksi tubuh saat seseorang mencoba rokok pertama kali berupa batuk, berkeringat.
(Sayangnya hal ini sebagian besar diabaikan dan semakin mendorong perilaku adaptasi terhadap rokok)
3. Menjadi perokok; melibatkan suatu proses "concept formation" , seseorang belajar kapan dan bagaimana
merokok dan memasukkan aturan-aturan perokok ke dalam konsep dirinya.
4. Perokok tetap; terjadi saat faktor psikologi dan mekanisme biologis bergabung yang semakin mendorong
perilaku merokok.
Faktor Psikologis;
1. Kebiasaan (terlepas dari motif positif atau negatif)
2. Untuk menghasilkan reaksi emosi positif (kenikmatan, dsb)
3. Untuk mengurangi reaksi emosi negatif (cemas, tegang, dsb)
4. Alasan sosial (penerimaan kelompok)
5. Ketergantungan (memenuhi keinginan/ kebutuhan dari dalam diri) (Oskamp & Schultz, 1998)
Proses Biologis
Nikotin diterima reseptor asetilkotin-nikotinik yang kemudian membagi ke jalur imbalan dan jalur adrenergenik.
Pada jalur imbalan, perokok akan merasakan nikmat, memacu sistem dopaminergik. Hasilnya perokok akan
merasa lebih tenang, daya pikir serasa lebih cemerlang, dan mampu menekan rasa lapar. Di jalur adrenergik, zat
ini akan mengaktifkan sistem adrenergik pada bagian otak lokus seruleus yang mengeluarkan sorotin.

Meningkatnya sorotin menimbulkan rangsangan rasa senang sekaligus keinginan mencari rokok lagi. Hal inilah
yang menyebabkan perokok sangat sulit meninggalkan rokok, karena sudah ketergantungan pada nikotin. Ketika
ia berhenti merokok rasa nikmat yang diperolehnya akan berkurang. (Mutadin, 2002)
Lemahnya kesadaran dan pengetahuan perokok
Kompleksnya permasalahan rokok di dunia termasuk Indonesia, ditambah kurangnya pengetahuan dan
kesadaran masyarakat Indonesia membuka peluang pihak tertentu untuk mencuri kesempatan dengan
memanfaatkan slogan-slogan semu dan menjadi sponsor even publik termasuk even olahraga. Baik industri
rokok maupun perokok menggunakan apa yang disebut sebagai simptom moral exclusion, yaitu rasionalisasi,
jastifikasi atau dengan bahasa awam mengatasnamakan kemanusiaan untuk menghalalkan perilaku mereka.
Dengan begitu, mereka juga menyamarkan "kesalahan" dan "penyebaran racun" yang dilakukan.
Industri rokok mempunyai kekuatan finansial sangat besar untuk membuat propaganda, iklan dibuat sedemikian
rupa sehingga tanpa menampilkan orang merokok, kini masyarakat sudah dapat menebak iklan rokok
melalui image berupa gambar pemandangan alam, petualangan ber-safari di alam terbuka, sampai dengan
suasana club disko.
Ironisnya, iklan rokok berisi pemandangan yang menyajikan keindahan alam, kebugaran, kesuksesan,
sementara rokok itu sendiri menyebabkan polusi yang merusak keindahan, merusak kesehatan. Industri rokok
menjadi sponsor utama berbagai tayangan olahraga di televisi, menawarkan beasiswa bagi pelajar berprestasi,
sungguh suatu ironi yang tidak disadari atau tidak diacuhkan masyarakat Indonesia. Tindakan-tindakan tersebut
merupakan bentuk penyangkalan merupakan simptom moral exclusion.
Sementara industri rokok bersembunyi dibalik berbagai slogan "mulia" nya, perokok pun tidak ketinggalan
menggunakan strategi penyangkalan serupa. Ruang publik menjadi senjata bagi perokok untuk berkelit, "Tempat
umum kok, saya punya hak," dan ungkapan serupa tanpa menyadari bahwa orang lain (bukan perokok) juga
mempunyai hak yang sama akan udara, terutama udara bersih.
Tempat Merokok = Mencerminkan Pola Perilaku Perokok
Tempat merokok juga mencerminkan pola perilaku perokok. Berdasarkan tempat-tempat dimana seseorang
menghisap rokok, kita dapat mengenali siapakah perokok tersebut dari pola perilakunya dalam merokok.
1. Merokok di ruang publik
- Kelompok homogen (sesama perokok); Umumya masih menghargai orang lain, karena itu mereka
menempatkan diri di smoking area.
- Kelompok heterogen (merokok ditengah orang lain yang tidak merokok); Tergolong sebagai orang yang tidak
berperasaan, kurang etis dan tidak mempunyai tata krama. Bertindak kurang terpuji, tercela dan kurang sopan,
dan secara tersamar mereka tega menyebar "racun" pada orang lain yang tidak bersalah.
2. Merokok di tempat bersifat pribadi
- kantor atau kamar tidur pribadi; tergolong individu yang kurang menjaga kebersihan diri, penuh dengan rasa
gellisah yang mencekam
- toilet; tergolong orang suka berfantasi. (Mu'tadin,2002)
Perilaku industri rokok dan perokok yang merugikan orang lain seharusnya dapat diminimalisasi seperti di
beberapa negara seperti Singapura, Meksiko dan Unieropa, namun agaknya pemerintah masih "setengah hati"
dalam menyelamatkan nyawa orang banyak.
Salah satu alasan utama pemerintah tidak melarang keras rokok adalah karena pertimbangan besarnya
kontribusi dari pajak industri tersebut. Amerika Serikat (1990) mengumpulkan lebih dari 4 $ milyar dari pajak
rokok dari 16 sen pajak dalam tiap pak (20 batang), Perancis (1992) mengumpulkan 2.3$ milyar dari pajak rokok
(Oskamp & Schultz,1998)
Indonesia sendiri telah mempunyai peraturan tentang rokok, kini tergantung pada pemerintah untuk disiplin dan
konsisten menjalankannya, disamping usaha masyarakat untuk lebih menggaungkan kampanye anti rokok serta

sikap asertif (tegas) masyarakat terhadap perokok terutama di ruang publik. Perlu upaya ekstra keras dan
strategi yang tepat untuk mengubah persepsi masyarakat bahwa merokok itu memang hak asasi bagi perokok,
namun udara bersih yang tak dicemari asap rokok juga adalah hak asasi manusia (HAM) (Kompas, 2001)

------------------------------------------ Sumber:
Opotow, Susan & Weiss, Leah. 2000.Journal of Social Issues, "Denial and The Process of Moral

Exclusion in Environment Conflict"; Malden; Blackwell Publishers; 2000; 475-488


Oskamp, Stuart & Schultz, P.W.1998. Applied Social Psychology, "Health and Health CareSmooking"; New Jersey; Prentice Hall; 1998; 205-227
Kompas. 2001. Udara Bebas Asap Rokok adalah HAM; Jakarta; Kompas-cetak; 1 Juni 2001; h.25
Kompas. 2002. "Katakan Tidak Pada Rokok", "Meksiko Larang Iklan Rokok"; Kompas-cetak; 2 Juni
2002; h. 21
Mutadin, Zainudin. 2002. http://www.e-psikologi.com/lain-lain/penulis.htm.2002

Anda mungkin juga menyukai