Meningkatnya sorotin menimbulkan rangsangan rasa senang sekaligus keinginan mencari rokok lagi. Hal inilah
yang menyebabkan perokok sangat sulit meninggalkan rokok, karena sudah ketergantungan pada nikotin. Ketika
ia berhenti merokok rasa nikmat yang diperolehnya akan berkurang. (Mutadin, 2002)
Lemahnya kesadaran dan pengetahuan perokok
Kompleksnya permasalahan rokok di dunia termasuk Indonesia, ditambah kurangnya pengetahuan dan
kesadaran masyarakat Indonesia membuka peluang pihak tertentu untuk mencuri kesempatan dengan
memanfaatkan slogan-slogan semu dan menjadi sponsor even publik termasuk even olahraga. Baik industri
rokok maupun perokok menggunakan apa yang disebut sebagai simptom moral exclusion, yaitu rasionalisasi,
jastifikasi atau dengan bahasa awam mengatasnamakan kemanusiaan untuk menghalalkan perilaku mereka.
Dengan begitu, mereka juga menyamarkan "kesalahan" dan "penyebaran racun" yang dilakukan.
Industri rokok mempunyai kekuatan finansial sangat besar untuk membuat propaganda, iklan dibuat sedemikian
rupa sehingga tanpa menampilkan orang merokok, kini masyarakat sudah dapat menebak iklan rokok
melalui image berupa gambar pemandangan alam, petualangan ber-safari di alam terbuka, sampai dengan
suasana club disko.
Ironisnya, iklan rokok berisi pemandangan yang menyajikan keindahan alam, kebugaran, kesuksesan,
sementara rokok itu sendiri menyebabkan polusi yang merusak keindahan, merusak kesehatan. Industri rokok
menjadi sponsor utama berbagai tayangan olahraga di televisi, menawarkan beasiswa bagi pelajar berprestasi,
sungguh suatu ironi yang tidak disadari atau tidak diacuhkan masyarakat Indonesia. Tindakan-tindakan tersebut
merupakan bentuk penyangkalan merupakan simptom moral exclusion.
Sementara industri rokok bersembunyi dibalik berbagai slogan "mulia" nya, perokok pun tidak ketinggalan
menggunakan strategi penyangkalan serupa. Ruang publik menjadi senjata bagi perokok untuk berkelit, "Tempat
umum kok, saya punya hak," dan ungkapan serupa tanpa menyadari bahwa orang lain (bukan perokok) juga
mempunyai hak yang sama akan udara, terutama udara bersih.
Tempat Merokok = Mencerminkan Pola Perilaku Perokok
Tempat merokok juga mencerminkan pola perilaku perokok. Berdasarkan tempat-tempat dimana seseorang
menghisap rokok, kita dapat mengenali siapakah perokok tersebut dari pola perilakunya dalam merokok.
1. Merokok di ruang publik
- Kelompok homogen (sesama perokok); Umumya masih menghargai orang lain, karena itu mereka
menempatkan diri di smoking area.
- Kelompok heterogen (merokok ditengah orang lain yang tidak merokok); Tergolong sebagai orang yang tidak
berperasaan, kurang etis dan tidak mempunyai tata krama. Bertindak kurang terpuji, tercela dan kurang sopan,
dan secara tersamar mereka tega menyebar "racun" pada orang lain yang tidak bersalah.
2. Merokok di tempat bersifat pribadi
- kantor atau kamar tidur pribadi; tergolong individu yang kurang menjaga kebersihan diri, penuh dengan rasa
gellisah yang mencekam
- toilet; tergolong orang suka berfantasi. (Mu'tadin,2002)
Perilaku industri rokok dan perokok yang merugikan orang lain seharusnya dapat diminimalisasi seperti di
beberapa negara seperti Singapura, Meksiko dan Unieropa, namun agaknya pemerintah masih "setengah hati"
dalam menyelamatkan nyawa orang banyak.
Salah satu alasan utama pemerintah tidak melarang keras rokok adalah karena pertimbangan besarnya
kontribusi dari pajak industri tersebut. Amerika Serikat (1990) mengumpulkan lebih dari 4 $ milyar dari pajak
rokok dari 16 sen pajak dalam tiap pak (20 batang), Perancis (1992) mengumpulkan 2.3$ milyar dari pajak rokok
(Oskamp & Schultz,1998)
Indonesia sendiri telah mempunyai peraturan tentang rokok, kini tergantung pada pemerintah untuk disiplin dan
konsisten menjalankannya, disamping usaha masyarakat untuk lebih menggaungkan kampanye anti rokok serta
sikap asertif (tegas) masyarakat terhadap perokok terutama di ruang publik. Perlu upaya ekstra keras dan
strategi yang tepat untuk mengubah persepsi masyarakat bahwa merokok itu memang hak asasi bagi perokok,
namun udara bersih yang tak dicemari asap rokok juga adalah hak asasi manusia (HAM) (Kompas, 2001)
------------------------------------------ Sumber:
Opotow, Susan & Weiss, Leah. 2000.Journal of Social Issues, "Denial and The Process of Moral