Anda di halaman 1dari 3

Memaknai Peristiwa Hidup

Oleh : Ubaydillah, AN
Jakarta, 12 Mei 2003
"Every adversity, every unpleasant circumstance, every failure, and every physical pain carries with it
the seed of an equivalent benefit" (Ralp Waldo Emerson).
Kalimat bijak diatas mungkin sangat mudah dimengerti. Tetapi ketika mengalami kegagalan maka
hanya sedikit individu yang bisa mengaplikasikan makna yang terkandung dalam kalimat tersebut.
Sama halnya dengan kata bijak yang lain: "Kegagalan adalah sukses yang tertunda". Benarkah?
Gagal & Sukses
Jika kita mengacu pada kisah kehidupan orang sukes yang kita kenal dan diperkenalkan oleh
sejarah maka cenderung diperoleh kesimpulan yang sama bahwa kegagalan adalah peristiwa
potensial yang bersifat netral, "hidden potential events" yang tidak memiliki makna tertentu kecuali
setelah diberi pemaknaan oleh kita: nasib, takdir, siksaan, cobaan, tantangan atau pelajaran. Apapun
makna yang dibubuhkan pada akhirnya akan kembali pada formula bahwa hidup ini lebih pada
memutuskan pilihan dan merasakan konsekuensi.
Berdasarkan hidden potential events tersebut maka bisa dimengerti jika Abraham Lincoln baru
mencapai cita-cita politiknya pada usia 52 tahun; Soichiro Honda yang sampai cacat tangannya
gara-gara mendesain piston; atau Werner Von Braun penemu roket yang menyebut angka kegagalan
65.121 kali. AMROP International, perusahaan pencari eksekutif senior yang berkantor di 78 negara
di dunia termasuk Indonesia, pernah mengeluarkan catatan tentang fluktuasi emosi pencari kerja dari
sejak di-PHK sampai menemukan pekerjaan baru. Dihitung, fluktuasi naik-turun itu terjadi
sebanyak 26 kali dengan asumsi waktu minimal enam bulan.
Pendek kata, gagal dan sukses adalah ritme hidup yang tidak terpisah dari kehidupan semua orang.
Lalu apa pembeda antara perjuangan tiada akhir (unstoppable) yang menghasilkan para "pengubah"
dunia dengan perjuangan yang dikalahkan rasa putus asa karena kegagalan yang barangkali terjadi
hanya sepersekian persen?
Menyikapi Kegagalan
Penyikapan individu pada momen di mana kegagalan terjadi dapat dibedakan sebagai berikut:
1. Membiarkan
Model penyikapan ini adalah menerima kegagalan dengan kualitas yang rendah berupa membiarkan
saja semua terjadi. Sikap ini dihasilkan dari mentalitas yang rendah untuk mendobrak keadaan
karena tidak memiliki kemauan yang dibangkitkan di dalam untuk menemukan penyebab yang
rasional. Bisa jadi kemauan itu erat kaitannya dengan level pengetahuan dan harapan yang dimiliki
orang. Karena jawaban rasional tidak ditemukan, maka cara tunggal yang digunakan untuk
memaafkan sikap demikian adalah menempatkan kegagalan dalam wilayah hidup yang tak tersentuh
oleh upaya dirinya dengan meyakini titah takdir atau nasib.
2. Menolak
Model penyikapan kedua adalah menolak kegagalan.Penolakan itu dilakukan dalam bentuk
menyalahkan orang lain, keadaan atau Tuhan sekalipun, karena dirasakan tidak adil memberi
perlakuan. Biasanya penolakan itu terjadi akibat keseimbangan hidup yang kurang mendapat
perhatian di tingkat intelektual, emosional atau spritual. Meskipun kegagalan dapat dilumpuhkan,
tetapi akibat penolakan yang dilakukan, keseimbangan antara usaha dan hasil tidak sebanding. Jika
diambil perumpaan maka model hal ini adalah ibarat orang membunuh nyamuk dengan sepucuk
pistol.
3. Menerima

Model penyikapan ketiga adalah yang paling ideal yaitu menerima kegagalan dengan kualitas yang
tinggi. Di sini kegagalan adalah materi pembelajaran-diri atau kurikulum pendidikan situasi. Daam hal
ini tentu saja bukan berarti bahwa semakin banyak kegagalan semakin bagus tetapi yang ingin
difokuskan adalah bagaimana individu menempatkan kegagalan sebagai proses yang menyertai
realisasi gagasan. Bisa jadi fakta fisik menunjukkan peristiwa yang belum / tidak berjalan seperti yang
diinginkan oleh perencanaan akan tetapi orang seperti Edison atau orang lain yang bermazhab-hidup
sama merebut tanggung jawab untuk mengubah hidup dari cengkraman fakta fisik temporer
itu. Seperti dikatakan Dr. Denis Waitley: "There are two primary choices in life: to accept conditions
as they exist, or accept the responsibility for changing them."
Munculnya penyikapan yang beragam di atas tidak terjadi secara take it for granted begitu saja tetapi
dibentuk oleh sekian faktor antara lain:
a. Lingkungan
Termasuk dalam kategori lingkungan adalah keluarga, masyarakat dan bangsa di mana kita menjadi
salah satu komponen yang ikut mempengaruhi dan dipengaruhi. Kualitas model penyikapan
lingkungan terhadap persoalan hidup secara umum tergantung tingkat pendidikan, nilai kebudayaan,
atau peradaban yang membentuknya. Orang yang dibesarkan oleh lingkungan berbeda bagaimana
pun punya format pandangan berbeda tentang persoalan hidup.
b. Sistem Struktural
Selain lingkungan, faktor sistem struktural yang mengatur organisasi, lembaga, atau perkumpulan
sosial tertentu juga ikut andil terutama membentuk karakter mentalitas individu dalam menghadapi
hidup dan kegagalan pada khususnya. Mentalitas tinggi akan membentuk kepribadian di mana
seseorang menjadi "the cause" dari peristiwa hidup sementara mentalitas rendah akan membentuk
kepribadian sebagai "the effect".
c. Personal
Meskipun tidak bisa dinafikan pengaruh yang dimiliki oleh faktor lingkungan dan sistem struktural,
tetapi pengaruh tersebut hanya bersifat menawarkan dan hanya faktor personal-lah yang
menentukan keputusan. Sudah jelas kita rasakan, tidak semua pengaruh itu murni negatif atau positif
sehingga peranan terbesar terdapat pada kemampuan kita untuk menghidupkan tombol "seleksi" dan
"pengecualian" dalam memilih model penyikapan untuk mendukung di antara yang bekerja untuk
merusak atau mandul.
Memaknai Kegagalan
Tidaklah benar jika dikatakan bahwa ketidakmampuan seseorang mengambil manfaat dari hidden
potential yang terjadi dalam suatu peristiwa yang menyebabkan kegagalan semata-mata karena
faktor negatif yang diwariskan oleh lingkungan atau sistem struktural yang ada dalam masyarakat.
Justru yang dibutuhkan adalah bagaimana kita menciptakan model penyikapan ketiga yang
dihasilkan dari pemahaman tentang cara kerja hidup dan dunia. Dalam hal memaknai kegagalan,
kesengsaraan, atau peristiwa menyakitkan lainnya, maka langkah-langkah yang kemungkinan besar
dapat membantu adalah:
1. Menciptakan Kondisi
Makna tidak datang sendiri tetapi sebagai hasil yang diciptakan oleh usaha untuk menemukannya,
dalam arti menciptakan kondisi dengan kesadaran bahwa kita sedang menjalani pendidikan situasi
untuk mematangkan diri. Kualitas conditioning akan sebanding dengan benefit yang tersimpan di
baliknya. Sebelum Ir. Ciputra bercerita riwayat hidupnya dari kecil, rasanya semua orang
membayangkan betapa enaknya menjadi sosok yang menyandang sebutan maestro property
Indonesia atau Asia Pasifik. Tetapi dengan pengakuan bahwa dirinya adalah manusia yang tidak tahu
di mana seorang ayah dimakamkan oleh penjajah kala itu yang akhirnya membuat Ciputra kecil
berusia 12 tahun harus hidup tanpa bimbingan ayah, barulah kita sadar bahwa balasan yang
diterimanya sekarang ini adalah balasan setimpal. Bocah kecil bernama Ciputra harus jalan kaki
sepanjang 7 km karena tujuannya menyelesaikan sekolah dasar. Kata kuncinya bukan pada

kematian seorang ayah di sel penjara penjajah akan tetapi kesadaran bahwa dirinya harus
merumuskan tujuan, visi, dan misi hidup seorang diri. Andaikan situasi serupa dihadapi oleh kita
sendiri, belum tentu kita berani buru-buru membayangkan alangkah enaknya menjadi sosok Ir.
Ciputra.
2. Menciptakan Perbedaan
Model penyikapan ketiga yang membedakan model pertama dan kedua pun juga tidak disuguhkan
tetapi diciptakan oleh kualitas pembeda dalam mengembangkan sembilan sumber daya inti di dalam
diri yaitu:

Sumber daya material: fisik, raga


Sumber daya intelektual: nalar
Sumber daya emosional: sikap perasaan
Sumber daya spiritual: hati, rohani
Sumber daya mental: daya dobrak
Sumber daya visual: imajinasi
Sumber daya verbal: komunikasi
Sumber daya social: relationship
Sumber daya dukungan eksternal: lingkungan dan sistem struktural

Banyak hal-hal kecil yang dapat membantu memperbaiki model penyikapan tetapi luput untuk
dijalankan karena sifat manusia yang ingin "jump to conclusion" mendapatkan hasil yang besar. Di
antaranya adalah kesadaran mendengarkan musik, olah raga, membaca, doa, meditasi, relaksasi
senyuman, tepuk tangan atas keberhasilan orang lain, dan lain-lain.
3. Menggunakan Kemampuan Baru
Hasil akhir dari pembelajaran diri dengan menjalani pendidikan situasi adalah memiliki kemampuan
baru, baik kemampuan hardware skill dan software skill atau makna lain yang anda temukan. Tetapi
balasan setimpal dari situasi yang kita rasakan menyakitkan adalah menggunakan kemampuan
tersebut untuk menambah nilai plus, competitive advantage, diri kita bagi orang lain. Salah seorang
yang pernah berhasil menggunakan kemampuan baru itu adalah prof. Hamka. Mungkin - ini hanya
pengandaian - kalau tidak dijebloskan ke penjara, buku tafsir yang menjadi karya fenomenal Hamka
tidak pernah rampung. Kalau tidak pernah bangkrut yang membuatnya hidup menggelandang
sampai usia 40 tahun, mungkin karya berseri berjudul "The Chicken Soup for Soul" yang saat ini
banyak terpampang di sejumlah toko buku di dunia tidak akan dihasilkan oleh Mark Victor Hensen.
Tentu bukan penjara atau hidup menggelandang yang membuat kedua sosok di atas merasakan
balasan setimpal, tetapi pembelajaran diri dalam memaknai setiap peristiwa hidup yang terjadi justru
menjadi kunci untuk mengembangkan sumber daya di dalam diri masing-masing dan hasilnya
digunakan demi kesejahteraan orang banyak.
Akhir kata, sebaik-baiknya seseorang maka akan sangat baik jika ia dapat belajar dan mengambil
hikmah dari setiap peristiwa hidup guna memberikan bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain.
Selamat menemukan makna dari peristiwa hidup yang anda alami guna menciptakan competitive
advantage bagi diri sendiri dan bermanfaat bagi kesejahteraan orang banyak

Anda mungkin juga menyukai