Anda di halaman 1dari 10

Uud Wahyudin & Ilham Gemiharto: Semiotika pada Iklan Bahaya Merokok

SEMIOTIKA IKLAN LAYANAN MASYARAKAT MENGENAI BAHAYA MEROKOK

Uud Wahyudin dan Ilham Gemiharto


Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran
Jl. Raya Bandung Sumedang KM 21, Jatinangor 45363

Abstract. Public service advertisement about the smoking hazards issued by Republic of
Indonesia’s Ministry of Health, build the inevitability that cigarettes have a big share in
delivering smokers into the dangers of nicotine. During this time, tobacco advertising in the
media with its strength able to provide an overview of the style, gallantry, success that is then
trusted by smokers. Through the hermeneutic code, we find the connotation of the signs
contained in the "Smoking Danger" public service ads that smoking causes the emergence of
various diseases, namely throat cancer. The meaning of connotation in the "Smoking Hazard"
public service ads issued by the Ministry of Health contains myths related to smoking habits
or addiction, namely smoking is not a style, not a valor, and not a feature of success. In these
public service ads also found the ideology of consumerism. Seen commodification conducted
by the Ministry of Health RI to the figure of smokers who described as a diseased/unhealthy
figure.
Keywords: Semiotics, Public Service Ads, Smoking Hazards

Abstrak. Iklan layanan masyarakat tentang bahaya merokok bagi kesehatan yang dikeluarkan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia membangun keniscayaan kalau rokok punya
andil besar mengantarkan para perokok memasuki bahaya nikotin. Selama ini, iklan rokok di
media dengan kekuatannya mampu memberikan gambaran tentang kegayaan, kegagahan,
kesuksesan yang kemudian dipercaya oleh para perokok. Melalui kode hermeneutik,
ditemukan makna konotasi dari tanda-tanda yang terdapat dalam ILM “Bahaya Merokok”
bahwa merokok mengakibatkan munculnya berbagai penyakit, salah satunya kanker
tenggorokkan. Makna konotasi dalam ILM “Bahaya Merokok” yang dikeluarkan
Kementerian Kesehatan RI mengandung mitos-mitos yang berkenaan dengan kebiasaan atau
kecanduan rokok, yakni kebiasaan merokok adalah bukan kegayaan, bukan kegagahan, dan
bukan ciri kesuksesan. Dalam ILM juga ditemukan ideologi yang terkandung dalam iklan ini
yakni ideologi konsumerisme. Terlihat komodifikasi yang dilakukan oleh Kemenkes RI
terhadap sosok perokok yang digambarkan sebagai sosok yang berpenyakit/ tidak sehat.
Kata Kunci : Semiotika, Iklan Layanan Masyarakat, Bahaya Merokok
Pendahuluan akan kesehatan. Jumlah perokok yang
Kebiasaan merokok dan kecanduan semula mencapai 46 persen dari penduduk
pada rokok di Indonesia sudah sangat AS pada tahun 1950 turun menjadi 21
memprihatinkan. Ditambah lagi, persen tahun 2004. Bahkan, orang-orang di
masyarakat Indonesia masih permisif dan negara maju merasa malu jika punya
tidak memahami bahwa udara yang bersih kebiasaan merokok.
dari asap rokok adalah hak setiap orang Mungkinkah Indonesia tanpa rokok
yang tidak merokok. Sementara itu, di dan tanpa perokok? Tampaknya hal itu
negara-negara maju kebiasaan merokok mustahil akan terwujud dalam waktu
merupakan pilihan yang tidak populer. dekat. Mungkin masih perlu waktu sangat
Sekadar contoh, di Amerika Serikat sejak panjang. Sekadar contoh, di Amerika
tahun 1970-an konsumsi rokok menurun Serikat sejak tahun 1970-an konsumsi
drastis karena meningkatnya kesadaran rokok menurun drastis karena
Jurnal Visi Komunikasi/Volume 16, No.02, November 2017: 44 – 54 44
Uud Wahyudin & Ilham Gemiharto: Semiotika pada Iklan Bahaya Merokok

meningkatnya kesadaran akan kesehatan. Penelitian mikro oleh Dr. Dadang


Jumlah perokok yang semula mencapai 46 Sugiana (2013) menunjukkan seorang
persen dari penduduk AS pada tahun 1950 perokok berat memaknai “hidup sehat”,
turun menjadi 21 persen tahun 2004. bergantung pada konstruksi realitas yang
Memang, berbagai upaya untuk membatasi dibangunnya berdasarkan pengalaman-
dan mengurangi rokok telah dilakukan pengalaman fenomenologis dan
oleh pemerintah melalui kebijakan empiriknya. Temuan yang menarik dari
pemerintah menaikkan harga jual eceran penelitian ini, bagi perokok makna “sehat”
rokok, kampanye kebijakan untuk tidak itu subyektif. Merokok tidak berdampak
merokok di sembarang tempat, ajakan atau pada kesehatan kalau diimbangi dengan
kampanye untuk berhenti merokok, dan pola makan dan olah raga yang teratur,
lain-lain. Namun sayang, upaya untuk maka perokok akan tetap hidup sehat. Para
mengatasi epidemik rokok dan kematian perokok tetap tak bergeming, meski
yang disebabkannya belum dianggap kampanye komunikasi antirokok
strategis dalam merencanakan menegaskan rokok (merokok) itu
pembangunan bidang kesehatan (Uud membahayakan kesehatan. Padahal
Wahyudin dalam HU. Kompas, kampanye antirokok sering kali
4/02/2010). menegaskan, rokok adalah pemicu nomor
Memang, berbagai upaya untuk satu untuk timbulnya berbagai penyakit
membatasi dan mengurangi rokok telah yang mengancam jiwa manusia. Rokok
dilakukan oleh pemerintah melalui dicitrakan sebagai benda yang
kebijakan pemerintah menaikkan harga mengandung ribuan zat, yang apabila
jual eceran rokok, kampanye kebijakan dihisap semua zat itu membahayakan
untuk tidak merokok di sembarang tempat, kesehatan. Tidak ada satu pun manfaat
ajakan atau kampanye untuk berhenti rokok bagi kesehatan.
merokok, dan lain-lain. Tak ketinggalan Para perokok pada umumnya tidak
berbagai LSM, komunitas antirokok, dan menghubungkan hidup sehat dengan
masyarakat umum sangat giat dan gencar rokok. Mereka “meyakini” kesehatan
melakukan sosialisasi untuk mengatasi seseorang tidak berkorelasi dengan
epidemik rokok dan kematian yang kebiasaan merokok. Dalih yang selalu
disebabkan bius nikotin ini (Uud mereka lontarkan: jika merokok itu
Wahyudin, Pikiran Rakyat, 2/06/2012). membuat orang sakit atau mati muda,
Salah satu langkah yang dilakukan mengapa banyak orang menderita penyakit
pemerintah/ Kementerian Kesehatan berat padahal ia tidak merokok? Mengapa
Republik Indonesia dalam membujuk dan banyak orang mati dalam usia muda
menghentikan seorang perokok untuk padahal mereka tidak merokok? Mengapa
menghentikan sedotan rokok adalah pula banyak orang berumur panjang dan
dengan membuat iklan layanan masyarakat hidup sehat padahal mereka merokok?
(ILM) di televisi. ILM yang dibuat oleh Bagi perokok berat, selalu siap sejumlah
Kementerian Kesehatan salah satunya alasan yang akan dilontarkan ketika
adalah dengan menayangkan iklan yang mereka diingatkan akan bahaya merokok
menggambarkan seorang perokok yang dan disarankan untuk berhenti merokok.
terkena kanker tenggorokan. Apabila mau Para perokok juga “berkeyakinan”
berbicara si perokok harus dibantu oleh sehat dan hidup sehat itu tidak ada kaitan
sebuah alat sehingga dia bisa berbicara. dengan rokok. Bahkan mereka berani
Kanker yang menyerang si perokok mengatakan, orang yang tidak merokok itu
berakibat tidak bisa berbicara, sehingga si tidak identik dengan orang sehat. Hidup
perokok memerlukan alat yang sehat lebih cocok dikaitkan dengan cara-
membantunya berbicara. cara orang mempersepsikan hidup dan
kehidupannya. Hidup yang tidak diwarnai

Jurnal Visi Komunikasi/Volume 16, No.02, November 2017: 44 – 54 45


Uud Wahyudin & Ilham Gemiharto: Semiotika pada Iklan Bahaya Merokok

pengekangan adalah hidup yang sehat. besar mengantarkan para perokok


Bagi perokok berat, hidup sehat adalah memasuki bahaya nikotin.
hidup yang tidak dibelenggu oleh
persoalan, bebas bergerak, dan sesuatu Penanaman Ideologi
yang menyenangkan. Rokok mampu Beriklan berarti juga memasang
memberi kepuasan dan kesenangan bagi sebuah paham bernama konsumerisme
para perokok, justru bagi mereka orang dimana konsumen dibujuk untuk
yang tidak suka rokok adalah orang yang melakukan tindakan konsumtif terhadap
tidak paham arti kesenangan. produk yang diiklankan. Selain paham
Sehat itu tidak ada hubungannya konsumerisme, iklan juga berisi ideologi-
dengan rokok. Orang merokok gampang ideologi yang sengaja atau tidak
kena penyakit itu hanyalah sebuah asumsi. ditanamkan oleh para produsen. Ideologi
Kunci sehat terletak pada pikiran yang ini kemudian muncul menjadi sebuah
lepas dan kebiasaan berolah raga. Bagi hegemoni ketika ideologi tersebut menjadi
para prokok, sehat itu tidak penyakitan. dominasi atas sesuatu, yang kemudian
Artinya, orang yang sehat adalah orang secara sadar telah diterima sebagai sesuatu
yang hidupnya tidak menderita penyakit yang dominan. Dengan kata lain, ideologi
berat. Orang yang secara fisik tidak pernah yang dikonstruksikan oleh kelompok
kelihatan lelah ketika bekerja. Rokok dominan, akan terlihat sebagai sesuatu
membuat para perokok merasa bugar dan yang biasa saja atau alami bagi kelompok
tahan bekerja (produktif). Orang sehat yang didominasi, dalam hal ini pemirsa.
adalah orang yang hidupnya jarang sakit. Proses penerimaan wacana dominan untuk
Sakit itu kalau seseorang memang kepentingan pihak tertentu inilah yang
menderita penyakit berat dan kronis. disebut sebagai hegemoni dimana
Rokok malah membuat para perokok hegemoni bekerja melalui penciptaan
memiliki tanaga ekstra dalam bekerja. kesadaran palsu melalui pengaruh budaya
Pokoknya para perokok tidak percaya yang diterima sebagai suatu kewajaran.
kalau rokok bikin orang sakit. Stereotipe-streotipe yang muncul pada
Penyebaran konsep bahwa merokok iklan tak lepas dari ideologi besar yang
adalah sebuah kegayaan hidup, merokok telah ada pada budaya masyarakat.
adalah sebuah kegagahan, dsb. tidak Ideologi-ideologi yang dianut oleh
terlepas dari keberadaan media sebagai alat masyarakat berawal dari mitos-mitos yang
penyebar informasi yang menampilkan berkembang. Althusser menyebut bahwa
stereotipe-stereotipe rokok sebagai gaya mitos bekerja dalam ideologi. Althusser
hidup, kegagahan di dalamnya, tak punya dua tesis tentang ideologi. Tesis
terkecuali dalam iklan. Dalam iklan kita pertamanya mengatakan bahwa ideologi
bisa melihat bahwa sosok pria ideal atau itu adalah representasi dari relasi imajiner
sejati adalah sosok pria dengan rokok di antara individu dengan kondisi eksistensi
tangannya. Keadaan tersebut memicu nyatanya. Tesis yang kedua mengatakan
banyaknya para perokok yang berusaha bahwa representasi gagasan yang
merokok agar terlihat gaya dan gagah, membentuk ideologi itu tidak hanya
serta menjadi lelaki sukses seperti apa mempunyai eksistensi spiritual, tetapi juga
yang dilihatnya di iklan-iklan. eksistensi material. Yang direpresentasikan
Tulisan ini mencoba melihat iklan oleh individu bukan relasi riil yang
layanan masyarakat tentang bahaya memandu eksistensi individual, tetapi
merokok bagi kesehatan yang dikeluarkan relasi imajiner antara individu dengan
Kementerian Kesehatan Republik suatu keadaan dimana mereka hidup
Indonesia dan menganalisisnya dari didalamnya.
semiotika. ILM ini membangun Pencitraan yang dilakukan secara
keniscayaan kalau rokok punya andil terus-menerus melalui iklan dapat

Jurnal Visi Komunikasi/Volume 16, No.02, November 2017: 44 – 54 46


Uud Wahyudin & Ilham Gemiharto: Semiotika pada Iklan Bahaya Merokok

membentuk suatu stereotipe. Stereotipe mereproduksi, melainkan menentukan


yang diakui oleh masyarakat inilah yang realitas melalui pemakaian kata-kata yang
kemudian berkembang menjadi mitos. terpilih untuk keperluan tertentu. Selain
Mitos itu sendiri didasari oleh suatu itu, ia juga menegaskan bahwa media
ideologi besar yang dianut oleh masyarakat hanyalah alat representasi yang berbeda
setempat. fungsinya dari sekedar merefleksikan.
Media menjadi salah satu organisasi Representasi akan sangat berkaitan dengan
yang memiliki andil besar dalam pemilihan, penyajian, penyusunan, dan
memantapkan wacana dominan, dalam hal penajaman sehingga membuat sesuatu
ini wacana kegayaan, kegagahan, dan menjadi bermakna. (Burton, 2008:64).
kesuksesan, ke tengah-tengah masyarakat. Representasi selain dapat dilihat
Media dengan kekuatannya mampu sebagai sebuah proses praktik pemaknaan,
memberikan gambaran tentang kegayaan, juga dapat dilihat sebagai sebuah wacana
kegagahan, kesuksesan yang kemudian di dan praktik pembentukan ideologi.
percaya oleh masyarakat. Di sisi lain, Althusser (Burton, 2008:134) mengatakan
media juga dapat menjadi lahan bahwa ideologi adalah sistem-sistem
pertarungan bagi pemegang kekuasaan representasi. Sementara itu, Adam Briggs
untuk mengambil alih hegemoni (counter dan Paul Cobley mendeskripsikan
hegemony) yang ada dalam masyarakat. representasi sebagai “kendaraan” untuk
Pada era modern seperti sekarang ini, mentransmisikan ideologi dalam melayani
bahaya merokok menjadi isu yang sering pemeliharaan atau perluasan relasi
dibicarakan. Dalam ILM yang dikeluarkan kekuasaan (Burton, 2008:134).
Kementerian Kesehatan RI di media Dalam kaitanya dengan media,
massa, merokok dikaitkan dengan stereotip Richard Dyer menjelaskan tiga
berbagai penyakit yang diakibatkan oleh karakteristik utama dari representasi
rokok dan dimitoskan sebagai sumber dari media, yaitu:
berbagai penyakit. Stereotip ini biasanya a) Representasi bersifat selektif. Individu
muncul sesuai dengan perubahan zaman dalam media biasanya mewakili atau
juga tergantung pada konstruksi sosial dan mengggantikan sekelompok orang.
budaya masyarakat. Sementara itu, di lain Salah satu anggota kelompok
pihak iklan-iklan di media (cetak, kemudian mewakili seluruh kelompok
elektronik, luar ruang) menggambarkan sosial.
kegayaan, kegagahan, keberanian, dan b) Representasi adalah spesifik
kesuksesan. Hal ini kemudian berdampak kebudayaan. Representasi adalah
pada pencitraan perokok sebagai sebuah presentasi. Penggunaaan kode dan
kegayaan, kegagahan, keberanian, dan konvensi tersedia dalam bentuk
kesuksesan. kebudaayan.
Iklan Layanan Masyarakat “Bahaya c) Representasi adalah subjek untuk
Rokok” menjadikan wacana rokok dan interpretasi. Walaupun kode-kode
perokok ini sebagai penyebab munculnya visual dibatasi oleh konvensi kultural,
berbagai penyakit. Melalui ILM di media mereka tidak memiliki satu
massa, berbagai bentuk penyakit kecenderungan arti. Pada tingkat
diperlihatkan, termasuk memperlihatkan tertentu maknanya tergantung pada
bagaimana pergeseran-pergeseran makna interpretasi.
merokok.
Berdasarkan karakteristik representasi
Representasi Media media di atas, representasi yang dilakukan
Dalam buku Culture, Society, and oleh Kementerian Kesehatan RI melalui
Media, Stuart Hall menegaskan bahwa ILM “Bahaya Rokok” di media bersifat
media massa pada dasarnya tidak selektif dan interpretatif. Merokok yang

Jurnal Visi Komunikasi/Volume 16, No.02, November 2017: 44 – 54 47


Uud Wahyudin & Ilham Gemiharto: Semiotika pada Iklan Bahaya Merokok

digambarkan oleh ILM “Bahaya


Merokok”dianggap mewakili bahaya Bahaya merokok yang terus-menerus
nikoton yang digambarkan oleh direpresentasikan dalam ILM baik pada
masyarakat. Bahaya merokok yang media cetak, maupun iklan pada televisi,
direpresentasikan oleh ILM tersebut telah membuat suatu streotipe mengenai
kemudian menjadi subjek yang bagaimana merokok menjadi penyebab
diinterpretasikan oleh masyarakat. munculnya berbagai penyakit. Stereotyping
Interpretasi terhadap bahaya merokok yang atau pelabelan tersebut akan
direpresentasikan oleh ILM bisa jadi mengidentifikasikan kelompok-kelompok
berbeda-beda tergantung bagaimana cara yang diberikan label. Dalam tulisan ini,
dan sudut pandang dalam memaknainya. maka masyarakat akan mampu
Dalam kaitanya dengan media massa, memberikan label pada perokok atau orang
ada beberapa unsur penting dalam yang merokok sebagai pria yang tidak
representasi yang lahir dari teks media sehat.
massa, yaitu:
a) Stereotype, yaitu pelabelan terhadap Konstruksi Sosial dalam Media Massa
sesuatu yang sering digambarkan Sebagai sebuah institusi sosial, media
secara negatif. Walaupun selama ini massa turut berperan sebagai pembentuk
representasi sering disamakan dengan opini publik. Isi media menjadi hal yang
stereotipe, sebenarnya representasi sangat penting dalam membahas media
jauh lebih kompleks dibandingkan karena di dalamnya terdapat makna, ide
stereotipe. Kompleksitas representasi yang hendak disampaikan kepada
tersebut akan terlihat dari unsur- khalayak. Isi media adalah hasil konstruksi
unsurnya yang lain. realitas dengan bahasa sebagai perangkat
b) Identity, yaitu pemahaman kita dasarnya. Sementara itu, bahasa bukan
terhadap kelompok yang sekedar alat untuk merepresentasikan
direpresentasikan. Pemahaman ini realitas, lebih dari itu bisa menentukan
menyangkut siapa mereka, nilai apa ideologi yang ditonjolkan lewat bahasa.
yang mereka anut dan bagaimana Selain merepresentasikan peristiwa,
mereka dilihat oleh orang lain, baik media dapat membentuk sebuah pencitraan
dari sudut pandang positif maupun tertentu yang hendak ditanamkan ke benak
negatif. masyarakat sebagaimana yang diinginkan
c) Pembedaan (difference), yaitu oleh pembuat pesan. Hal ini membuat
mengenai pembedaan antarkelopok media memiliki kemampuan untuk
sosial, dimana suatu kelompok memengaruhi makna dan gambaran yang
diposisikan dengan kelompok yang dihasilkan dari realitas yang
lain. dikonstruksikannya. Lebih lanjut lagi,
d) Naturalisasi (naturalization), yaitu seluruh isi media juga merupakan realitas
strategi representasi yang dirancang yang telah dikonstruksikan.
untuk mendesain, menetapkan Hal inilah yang juga terlihat di dalam
difference, dan menjaganya agar iklan layanan masyarakat “Bahaya
kelihatan alami selamanya. Merokok” yang dikeluarkan Kemenkes RI.
e) Ideologi. Representasi dalam relasinya Hal-hal yang direpresentasikan dalam ILM
dengan ideologi dianggap sebagai tersebut merupakan hasil pemaknaan
kendaraan untuk mentransfer ideologi pencipta iklan terhadap realita-realita yang
dalam rangka membangun dan terjadi di masyarakat.
memperluas relasi sosial (Burton
dalam Junaedi, 2007: 64-65).

Jurnal Visi Komunikasi/Volume 16, No.02, November 2017: 44 – 54 48


Uud Wahyudin & Ilham Gemiharto: Semiotika pada Iklan Bahaya Merokok

Gambar 1. Model Konstruksi Citra (Image) Ikla


Sumber: Bungin, Penelitian Kualitatif ( 2007: 181).

Dalam konteks konstruksi sosial, Barthes digunakan untuk melihat makna


media bukan lagi hanya sekedar alat yang denotasi, konotasi, dan mitos yang
menampilkan konstruksi-konstruksi hasil berkaitan dengan ILM Bahaya Merokok.
ciptaan pihak-pihak yang berkepentingan, Roland Barthes merupakan salah satu
tapi juga menampilkan realitas hasil ahli semiotika yang terkemuka. Dalam
konstruksi mereka sendiri untuk kemudian penelitiannya, Barthes mengembangkan
mereka tampilkan dalam berbagai bentuk, dua tingkat pertandaan yang
termasuk iklan. Penelitian ILM Bahaya memungkinkan untuk dihasilkannya
Merokok ini menggunakan semiotika makna yang terdapat dua tahap, yaitu
Roland Barthes. Analisis semiotika Roland tingkat denotasi dan konotasi.

Gambar 2 Model Pemaknaan Dua Tahap Barthes


Sumber: Sobur, Analisis Teks Media, 2002, 127
(dikutip dari John Fiske, Introduction to Communication Studies, 1990:88)

Barthes menegaskan semiotika itu Semiotika Iklan Bahaya Merokok


mempostulasikan suatu hubungan antara Iklan layanan masyarakat bahaya
penanda dan petanda. Penanda itu sendiri merokok di televisi yang dianalisis melalui
merupakan aspek material dari bahasa, semiotika Roland Barthes memberikan
yakni apa yang dikatakan atau didengar, gambaran secara denotatif tentang bapak
apa yang ditulis atau dibaca. Petanda itu yang kehilangan suaranya akibat merokok.
sendiri merupakan aspek mental bahasa. Pada salah satu iklan layanan kesehatan

Jurnal Visi Komunikasi/Volume 16, No.02, November 2017: 44 – 54 49


Uud Wahyudin & Ilham Gemiharto: Semiotika pada Iklan Bahaya Merokok

berjudul 'Berhenti Menikmati Rokok disebabkan oleh aktivitas merokok. Tentu


Sebelum Rokok Menikmatimu' pemilihan sumber ini tepat, karena aktor
disampaikan pesan yang terbilang singkat yang ditampilkan merupakan seseorang
dan sederhana. Iklan tersebut menampilkan yang sudah merasakan bahaya merokok,
seorang laki-laki penderita kanker yang sehingga audiens mampu melihat secara
sudah tua, bernama Manat H. Panjaitan. nyata gambaran mengenai akibat negatif
Dalam waktu 30 detik, Panjaitan berbicara merokok (Maria, 2017).
mengenai penyakit yang ia alami. Saat Memori jangka panjang yang dimiliki
bercerita mengenai pengalamannya, ia oleh audiens mampu memberi pengaruh
berusaha untuk berbicara dengan jelas, dalam pengambilan keputusan mereka.
karena pita suaranya telah dioperasi akibat Untuk itu, penggunaan aktor korban
penyakit kanker. Audiens pun dapat kanker dalam iklan layanan masyarakat
melihat bekas operasi pada lehernya tersebut sudah sesuai, sebab iklan tersebut
(Maria, 2017). Bila berbicara si bapak mampu menyentuh pengalaman yang juga
harus dibantu alat (semacam selang) dialami oleh audiens, terutama bagi
sehingga dia bisa berbicara. Iklan ini juga audiens yang merokok. Dengan menyentuh
menggambarkan secara verbal si bapak memori jangka panjang audiens, mereka
yang menyesali perilakunya sebagai mampu melihat dan mengingat kembali
perokok aktif. Si bapak juga mengajak pengalaman mereka terkait kegiatan
pemirsa agar tidak memulai merokok dan merokok. Lebih dari itu, mereka mampu
segera berhenti merokok karena rokok menyimpulkan lebih jauh bahwa apa yang
menyebabkan penyakit pita suara atau dialami oleh Panjaitan bisa dialami pula
kanker tenggorokan sehingga tidak dapat oleh perokok yang lain. Tujuan akhir yang
berbicara apabila tidak menggunakan alat ingin dicapai adalah, setelah melihat
bantu. tayangan tersebut, terjadi perubahan sikap
Pada tayangan tersebut, Panjaitan dan perilaku.
berkata: "...Dokter mengatakan kanker di Bator dan Cialdini (2000), juga
pita suara saya sudah stadium empat. menjelaskan jika para komunikator
Setelah diangkat, dia berkata bahwa ini percaya bahwa pesan yang kongkrit dan
merupakan akibat dari rokok, karena memproduksi perasaan yang kuat, serta
nikotin dan tar. Yang belum merasakan hidup, akan lebih memiliki arti,
sakitnya, yang sekarang masih merokok, membangkitkan emosi, dan hasilnya lebih
berhenti merokok sebelum rokok berpengaruh (hal. 534). Melalui Panjaitan,
menikmati Anda." Apa yang dikatakan kita melihat sebuah pesan yang jelas,
oleh Panjaitan merupakan hasil dari disertai dengan bukti yang kuat, dan juga
pengalaman yang ia alami. Menurut Wood adanya emosi terkait penyakit yang saat ini
(dalam Bator & Cialdini, 2000), ia alami (Maria, 2017). Selain itu, pesan
pengalaman dan kebiasaan di masa lalu yang efektif harus menggambarkan sebuah
akan lebih berkontribusi dalam membentuk tesis, pernyataan atau argumen menurut
opini kita daripada pemaparan mengenai (Rhoads dalam Bator dan Cialdini, 2000:
pengetahuan atau kognisi tertentu (hal. 534). Tesis yang dimunculkan dalam iklan
533). layanan masyarakat dari Kemenkes
Faktor penting lain dalam iklan tersebut ialah 'Berhentilah Merokok
layanan masyarakat adalah penggunaan Sebelum Rokok Menikmati Anda',
aktor atau sumber pesan yang dapat sebuah tag lineyang singkat, sederhana,
dipandang kredibel, sehingga tampaknya namun mengena.
mampu dipercaya. Iklan layanan Semiotika sebagai suatu model,
masyarakat yang diluncurkan oleh memahami dunia sebagai sistem hubungan
Kemenkes RI menayangkan sumber pesan yang memiliki unit dasar yang disebut
yaitu seorang korban kanker, yang dengan tanda. Dengan demikian, semiotika

Jurnal Visi Komunikasi/Volume 16, No.02, November 2017: 44 – 54 51


Uud Wahyudin & Ilham Gemiharto: Semiotika pada Iklan Bahaya Merokok

mempelajari hakikat tentang keberadaan berlaku dalam periode tertentu (Budiman


suatu tanda. Semiotika memfokuskan dalam Sobur, 2004:212).
perhatiannya, pertama: terutama pada teks. Dari analisis struktur teks tersebut
Kedua: pada status penerima. Dalam scene-scene terpenting yang mewakili
semiotika, penerima atau pemirsa keseluruhan scene, dimana di dalamnya
dipandang memainkan peran yang lebih terdapat tanda-tanda yang penting. Tanda-
aktif, termasuk dalam menginterpretasi tanda terpilih melalui scene-scene dari
makna yang terkandung dalam tanda teks ILM bahaya merokok ini kemudian
tersebut. dianalisis melalui analisis kode. Kode yang
Dalam perspektif semiotika, iklan digunakan adalah kode hermeneutik.
dipandang sebagai seperangkat tanda yang Melalui kode hermeneutik, ditemukan
dapat dilihat melalui teks dalam iklan makna konotasi dari tanda-tanda yang
tersebut. Dalam mengkaji iklan dalam terdapat dalam ILM “Bahaya Merokok”
perspektif semiotik, kita dapat bahwa merokok mengakibatkan
mengkajinya melalui sistem tanda yang munculnya berbagai penyakit, salah
terdapat di dalamnya. Iklan menggunakan satunya kanker tenggorokkan.
sistem tanda yang terdiri atas lambang, Roland Barthes sendiri melihat makna
baik verbal, maupun yang berupa ikon. yang terkandung di dalamnya, yakni
Iklan juga menggunakan tiruan indeks, makna-makna yang berkaitan dengan
terutama dalam iklan radio, televisi, dan ideologi dan mitos. Mitos itu sendiri dalam
film (Sobur, 2006:116). pemahaman semiotika Roland Barthes,
Analisis struktur teks yang meliputi merupakan suatu pengkodean makna dan
analisis sintagmatik dan paradigmatik nilai-nilai sosial.
untuk menemukan tanda-tanda penting Makna konotasi dalam ILM “Bahaya
yang terdapat dalam teks iklan. Dalam Merokok” yang dikeluarkan Kementerian
ILM bahaya merokok yang berdurasi 30 Kesehatan RI mengandung mitos-mitos
detik itu scene-scene yang dipilih adalah yang berkenaan dengan kebiasaan atau
semua scene karena semua scene kecanduan rokok, yakni kebiasaan
menggambarkan dengan jelas bahaya merokok adalah bukan kegayaan, bukan
merokok. kegagahan, dan bukan ciri kesuksesan.
Denotasi adalah tingkat pertandaan Dalam ILM juga ditemukan ideologi yang
yang menjelaskan hubungan antara terkandung dalam iklan ini yakni ideologi
penanda dan petanda, atau antara tanda dan konsumerisme. Terlihat komodifikasi yang
rujukannya pada realitas. Denotasi dapat dilakukan oleh Kemenkes RI terhadap
dibilang sebagai makna yang terlihat. sosok perokok yang digambarkan sebagai
Berbeda dengan denotasi, konotasi sosok yang berpenyakit/ tidak sehat.
memiliki tingkat penandaan yang Bentuk komunikasi yang ditampilkan
menjelaskan hubungan antara penanda dan pada iklan layanan masyarakat tersebut
petanda, yang di dalamnya beroperasi juga melibatkan penggunaan persuasi pada
makna yang tidak eksplisit, tidak langsung khalayak. Terdapat teori persuasi
dan tidak pasti. Konotasi itu menciptakan bernama Elaboration Likelihood Model
makna lapis kedua yang terbentuk ketika (ELM) yang ditemukan oleh Petty dan
penanda dikaitkan dengan aspek Cacioppo (dalam Maria, 2017). Teori ELM
psikologis, seperti perasaan, emosi atau mengatakan bahwa terdapat dua rute
keyakinan. Misalnya, tanda hati persuasi, yaitu Central
mengkonotasikan cinta. Dalam kerangka Routedan Peripheral Route. Kedua rute ini
Barthes, konotasi identik dengan operasi ditentukan dari seberapa tinggi motivasi
ideologi, yang disebutnya sebagai ‘mitos’ dan kemampuan individu dalam
dan berfungsi untuk mengungkapkan dan bersentuhan dengan isu yang dipaparkan
memberikan nilai-nilai dominan yang (Petty & Caciopoo, 1986, hal. 128). Maka,

Jurnal Visi Komunikasi/Volume 16, No.02, November 2017: 44 – 54 52


Uud Wahyudin & Ilham Gemiharto: Semiotika pada Iklan Bahaya Merokok

penting bagi individu untuk paham dan membeli makna simbolik (symbolic
memiliki pengetahuan akan isu terkait. meaning) yang menempatkan konsumer
Namun, jika individu tidak memiliki didalam struktur komunikasi yang
motivasi dan kemampuan untuk dikonstruksi secara sosial oleh sistem
memahami isu, jalur yang dipilih produksi (produser, marketing, iklan).
adalah Peripheral Route (dalam Maria, Konsumer dikondisikan untuk lebih
2017). terpesona dengan makna-makna simbolik
Melalui Peripheral Route,pesan yang ketimbang fungsi utilitas (kegunaan)
ditampilkan untuk mempersuasi publik sebuah produk. (Piliang, 2003:287).
tidak berfokus pada data, informasi, Penggunaan iklan layanan masyarakat
maupun pengetahuan tertentu, seperti yang oleh Kemenkes RI merupakan langkah
dilakukan pada Central Route. Central yang tepat untuk membangunkan
Routememang mengandalkan nalar dan kesadaran masyarakat. Sebab, iklan
raiso dari audiens. Sementara Peripheral layanan masyarakat (Public Service
Routelebih berfokus pada penggunaan Announcements) memang dirancang untuk
aktor atau model tertentu, serta yang tak menginformasikan atau menimbulkan
kalah penting adalah adanya permainan perilaku tertentu pada khalayak. Iklan ini
emosi yang mampu menyentuh audiens. pun dilakukan untuk keuntungan
Inilah yang digunakan pada iklan layanan nonkomersial, dengan menggunakan
masyarakat dari Kemenkes RI (Maria, pendekatan media massa, yang dalam
2017). Iklan tersebut tidak menampilkan kasus ini berupa televisi dan biskop. Iklan
data statistik berupa jumlah korban kanker layanan masyarakat mampu
di Indonesia, atau jumlah kematian akibat mempromosikan perilaku yang pro sosial,
merokok. Fokus dari iklan layanan itu karena secara efisien dan berulang kali
ditujukan agar audiens bisa ikut bersimpati menerpa sasaran populasi yang besar
pada apa yang dialami oleh Panjaitan, dan (Bator & Cialdini, 2000, hal. 527).
akhirnya memiliki niat untuk berhenti
merokok, supaya tidak berakhir seperti Kesimpulan
Panjaitan (Maria, 2017). Analisis struktur teks yang meliputi
Penggunaan Peripheral Routepada analisis sintagmatik dan paradigmatik
iklan layanan masyarakat tersebut juga untuk menemukan tanda-tanda penting
bisa dipahami melalui situasi yang yang terdapat dalam teks iklan. Dari
terbentuk di masyarakat Indonesia. analisis struktur teks tersebut scene-scene
Masyarakat cenderung mengabaikan terpenting yang mewakili keseluruhan
pesan-pesan yang mengandung scene, dimana di dalamnya terdapat tanda-
pengetahuan seputar bahaya merokok. tanda yang penting. Tanda-tanda terpilih
Merokok memang merupakan isu yang kemudian dianalisis melalui analisis kode.
masih menjadi pro dan kontra di kalangan Kode yang digunakan adalah kode
masyarakat. Maka, dengan berfokus pada hermeneutik. Melalui kode hermeneutik,
pengalaman nyata seseorang, serta ditemukan makna konotasi dari tanda-
penggambaran korban dari penyakit kanker tanda yang terdapat dalam ILM “Bahaya
yang dipicu oleh merokok, masyarakat Merokok” bahwa merokok mengakibatkan
diharapkan sadar akan akibat jangka munculnya berbagai penyakit, salah
panjang yang disebabkan oleh rokok. satunya kanker tenggorokkan.
Iklan menjadi salah satu subjek dalam Makna konotasi dalam ILM “Bahaya
melakukan penelitian semiotika. Didalam Merokok” yang dikeluarkan Kementerian
iklan, tanda-tanda digunakan secara aktif Kesehatan RI mengandung mitos-mitos
dan dinamis sehingga orang tidak lagi yang berkenaan dengan kebiasaan atau
membeli produk untuk memenuhi kecanduan rokok, yakni kebiasaan
kebutuhan (need) semata, melainkan untuk merokok adalah bukan kegayaan, bukan

Jurnal Visi Komunikasi/Volume 16, No.02, November 2017: 44 – 54 53


Uud Wahyudin & Ilham Gemiharto: Semiotika pada Iklan Bahaya Merokok

kegagahan, dan bukan ciri kesuksesan. Maria, Benedith (2 Oktober 2017).


Dalam ILM juga ditemukan ideologi yang Komunikasi Kesehatan dalam Iklan
terkandung dalam iklan ini yakni ideologi Layanan Masyarakat oleh Kementrian
konsumerisme. Terlihat komodifikasi yang Kesehatan RI. Kompasiana.
dilakukan oleh Kemenkes RI terhadap Https://www.kompasiana.com/benedit
sosok perokok yang digambarkan sebagai hmaria/59d194e82ba8d14a0138f872/k
sosok yang berpenyakit/ tidak sehat.
omunikasi-kesehatan-dalam-iklan-
DAFTAR PUSTAKA layanan-masyarakat-berjudul-
Astuti, Nuraini (2011). Sekilas Tentang berhentilah-merokok-sebelum-rokok
Louis Althusser. menikamatimu-oleh-kementrian-
Http//ressay.wordpress.com/2008/08/1 kesehatan-ri?page=all
Petty, R. E. dan J. T. Cacioppo.
4/sekilas-tentang-louis-althusser/ (10 (1986). The Elaboration Likelihood
Oktober 2011/ 14:25). Model of Persuasion.Advances in
Http//ressay.wordpress.com/2008/08/1 Experimental Social Psychology, Vol.
4/sekilas-tentang-louis-althusser/ 19.
Barthes, Roland (2007). Membedah Mitos- Piliang, Yasraf Amir (2003)
Mitos Budaya Massa: Semiotika atau Hipersemiotika: Tafsir Cultural
Semiologi Tanda, Simbol, dan Studies atas Matinya Makna.
Representasi. Yogyakarta: Jalasutra. Yogyakarta: Jalasutra.
Bator, R. J. dan R. B. Cialdini. (2000). The Sobur, Alex (2002). Analisis Teks Media.
Application of Persuasion Theory Bandung: Remaja Rosdakarya
to the Development of Effective
Sobur, Alex. (2009). Semiotika
Proenvironmental Announcements.
Journal of Social Issues, Vol. 56, Komunikasi. Bandung: Remaja
No. 3. Rosdakarya.
Bungin, B. (2007). Penelitian Kualitatif: Wahyudin, Uud (2010). Kampanye
Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Antirokok, HU Kompas, 4/2/2010.
Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Wahyudin, Uud (2012). Tidak Pada
Jakarta: Kencana. Merokok, HU Pikiran Rakyat,
Burton, Graeme (2008). Pengantar untuk 2/6/2012.
Memahami Media dan Budaya
Populer. Yogyakarta: Jalasutra.

Jurnal Visi Komunikasi/Volume 16, No.02, November 2017: 44 – 54 54

Anda mungkin juga menyukai