Anda di halaman 1dari 48

JANUARI - FEBRUARI 2012

tataruang
buletin

BKPRN | BADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG NASIONAL

Surakarta

dan Komitmen Hijau

Planning for Sustainability In Sweden


Kebijakan Perkotaan
Terkait Perubahan Iklim

Ruang Terbuka Hijau


Dalam Kota yang Sehat

Potensi Tiga Kawasan:

Memahami RTR Kawasan


Strategis Nasional Perkotaan

GERAKAN
KOTA HIJAU

Konferensi Perubahan Iklim


2011 Durban
Mengembangkan Papua yang Kaya
Pending Zone/Holding Zone:

Mempercepat dengan Menangguhkan

Program Mangrove Capital

Cities Can Lead Us


To A Green Future

Agenda Kerja BKPRN

P RO F I L

BARCODE BKPRN

BADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG NASIONAL

Imam S. Ernawi

buletin tata ruang


PELINDUNG

Ir. Imam S. Ernawi, MCM, M.Sc.


Dr. Eko Luky Wuryanto
Dr. Ir. Max Pohan
Drs. Imam Hendargo Abu Ismoyo, MA
Drs. Syamsul Arif Rivai, M.Si, MM.

PENANGGUNG JAWAB

Ir. Iman Soedradjat, MPM.


Ir. Deddy Koespramoedyo, M.Sc.
Ir. Heru Waluyo, M.Com
Drs. Sofjan Bakar, M.Sc.
DR. Ir. Abdul Kamarzuki, MPM
Ir. Basuki Karyaatmadja

PENASEHAT REDAKSI

DR. Ir. Ruchyat Deni Dj. M.Eng


Ir. Iwan Taruna Isa
M. Eko Rudianto, M.Bus (IT)

PEMIMPIN REDAKSI

Ir. Sita Indrayani,MM

WAKIL PEMIMPIN REDAKSI

Aria Indra Purnama, ST, MUM

REDAKTUR PELAKSANA

Ir. Melva Eryani Marpaung, MUM.

SEKRETARIS REDAKSI

Indira P. Warpani, ST., MT., MSc

STAF REDAKSI

Ir. Dwi Hariawan, MA


Ir. Kartika Listriana, MPPM
Ir. Nana Apriyana, MT
Wahyu Suharto, SE, MPA
Ir. Dodi S Riyadi, MT
Ir. Indra Sukaryono
Endra Saleh ATM, ST, MSc
Hetty Debbie R, ST.
Tessie Krisnaningtyas, SP
Listra Pramadwita, ST, MT, M.Sc
Ayu A. Asih, S.Si
M. Refqi, ST
Marissa Putri Barrynanda, ST
Heri Khadarusno, ST

KOORDINASI PRODUKSI

Angger Hassanah, SH

STAF PRODUKSI
Alwirdan BE

KOORDINASI SIRKULASI

Supriyono S.Sos

STAF SIRKULASI

Dhyan Purwaty, S.Kom

Penerbit: Sekretariat Tim Pelaksana BKPRN


Alamat Redaksi: Gedung Penataan Ruang dan SDA,
Jl. Patimura 20, Kebayoran Baru, Jakarta 12110
Telp. (021) 7226577, Fax. (021) 7226577
Website BKPRN:http://www.bkprn.org
Email:timpelaksanabkprn@yahoo.com
dan redaksi _butaru@pu.go.id

sekapur
sirih

Assalamualaikum warrahmatullah wabarakatuh,


Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa kita panjatkan atas kesempatan yang
selalu diberikan kepada kita untuk terus berkarya, dan Buletin Tata Ruang masih diberi
kesempatan untuk hadir kembali dalam edisi perdana di tahun 2012.
Dalam beberapa dekade terakhir, kota-kota di Indonesia mengalami permasalahan
lingkungan yang hampir sama, antara lain banjir, transportasi, dan penanganan
sampah, yang akhirnya menimbulkan penurunan kualitas ruang kota dan lingkungan.
Permasalahan kota adalah permasalahan kompleks yang tidak bisa ditangani secara
parsial atau hanya berbasis proyek, tetapi harus secara komprehensif melalui perencanaan
yang matang dengan visi yang menjawab solusi ke depan yang berkelanjutan.
Kota hijau (green city) adalah kota yang sehat secara ekologis. Kota hijau harus dipahami
sebagai kota yang memanfaatkan secara efektif dan efisien sumber daya air dan energi,
mengurangi limbah, menerapkan sistem transportasi terpadu, menjamin kesehatan
lingkungan, dan menyinergikan lingkungan alami dan buatan.
Di seluruh dunia, kota hijau atau green cities telah menjadi model pengembangan
perkotaan yang baru, baik di benua Amerika, Asia, Eropa, Australia, maupun Afrika.
Fenomena yang sama juga dialami oleh Indonesia. Maka perlu dideklarasikan bahwa
dampak perubahan iklim di Indonesia bukan hanya dihadapi melalui bidang kehutanan
dengan REDD+ atau pengembangan lahan gambut, tetapi sekarang juga melalui
pengembangan kawasan seperti entitas perkotaan, dengan konsep Green City. Ini
merupakan tantangan baru dan terbesar yang sedang dihadapi Indonesia, terlebih karena
lebih dari 52% penduduk nasional mendiami kawasan perkotaan. Indonesia saat ini fokus
pada penanganan daerah perkotaan yang sangat rentan mengalami dampak perubahan
iklim. Selain upaya-upaya mitigasi di bidang kehutanan atau yang lebih dikenal dengan
program REDD+, pengembangan gambut atau peatland management, saat ini telah
terdapat upaya yang lebih struktural dalam bidang adaptasi perkotaan. Banyak fakta
menggambarkan betapa rentan dan sensitifnya daerah perkotaan dalam menghadapi
perubahan iklim.
Oleh karena itu, penyelenggaraan penataan ruang yang terintegrasi menjadi unsur penting
didalam mewujudkan ruang yang nyaman, produktif dan berkelanjutan. Salah satunya
adalah melalui Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH) yang sedang berlangsung di
60 Kota dan Kabupaten. Bersama-sama Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota
di dalam menjalankan program P2KH diharapkan bisa memenuhi ketetapan UndangUndang No. 26/2007 tentang Penataan Ruang, terutama guna mencapai Ruang Terbuka
Hijau (RTH) sebesar 30 persen, yang sekaligus juga merespon perubahan iklim yang terjadi.
Harapan kami, penataan ruang bisa memberikan kontribusi yang nyata dalam perwujudan
kota hijau yang berkelanjutan, serta pemerintah daerah dan masyarakat diharapkan dapat
sebagai pilar utama di dalam memonitor pengembangan dan implementasi kota hijau di
Indonesia.

Direktur Jenderal Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum


Selaku Sekretaris Tim Pelaksana BKPRN

Ir. Imam S. Ernawi, MCM, M.Sc

buletin tata ruang | Januari - Februari 2012

dari
redaksi

daftar isi

PROFIL TOKOH

04

Imam S. Ernawi

Salam hangat bagi pembaca setia Butaru..

PROFIL WILAYAH
Di awal tahun 2012 ini Buletin Tata Ruang kembali pada edisi pertamanya. Pada edisi
ini Butaru mengangkat topik Green Cities (Kota Hijau), dimana perwujudan Kota Hijau
merupakan sebuah konsep perkotaan dalam upaya menjaga keseimbangan lingkungan
hidup, ekonomi, dan sosial demi generasi mendatang yang lebih baik serta dalam upaya
menjaga keberlangsungan planet bumi. Di sinilah posisi strategis act locally, while
thinking globally tidak hanya sekadar slogan semata.
Pada Profil Wilayah akan ditampilkan Kota Surakarta, yang telah menyelesaikan Perda
RTRW Kota dan juga termasuk kedalam kelompok kota yang sangat antusias untuk
mengimplementasikan Konsep P2KH (Program Pengembangan Kota Hijau). Dalam Topik
Utama edisi kali ini, redaksi mendapat kontribusi artikel dari pemerhati masalah perkotaan
Swedia yaitu Sixten Larsson yang memberikan sumbangan pemikirannya khusus untuk
Bulletin Tata Ruang melalui tulisan dengan judul Planning for Sustainability in Sweden.
Pada edisi ini pula selain artikel tentang Peningkatan Kualitas Lingkungan Melalui
Kebijakan Perkotaan Terkait Perubahan Iklim, terdapat artikel RTH dalam Kota Kota Sehat,
artikel Hasil Konferensi Perubahan Iklim-Durban, Kawasan Bentang Laut Papua, artikel
terkait masalah Pending Zone, serta program Mangrove Capital.
Profil Tokoh kali ini menampilkan seorang pemerhati terkait masalah perkotaan dan
penginisiasi kota hijau di Indonesia, Ir. Imam S Ernawi, MCM, yang akan mengungkapkan
berbagai gagasannya, agar kita bisa lebih memberi perhatian pentingnya pengembangan
kota wilayah yang respon terhadap perubahan iklim dalam mewujudkan sustainability.
Pada rubrik wacana kali ini, akan dilontarkan sebuah pandangan kota dapat menggiring
kita menuju sebuah Masa Depan Hijau (Cities can lead us to a Green Future: Low Carbon
Initiatives Make Economic Sense) yang menyatakan bahwa Kota-kota dapat mengambil
peran unggulan (leading role) dalam menggiring dunia menuju masa depan yang lebih
ramah iklim (a more climate-friendly future). Hal ini, lebih jauh dapat dicapai dalam waktu
yang singkat, dan secara praktis tanpa tambahan ongkos/biaya. Dengan investasi hanya
2% dari GDP kota yang modern, karbon rendah, dan efisien energi dalam 10 tahun, akan
mengurangi tingkat emisi karbon kota tersebut sebesar 40% tanpa tambahan biaya,
bahkan dapat menghemat anggaran tahunan sebesar 2,2% dari GDP.
Tulisan dalam Butaru ini ditulis oleh para penulis yang memiliki pengalaman yang
panjang dibidangnya dengan tema-tema yang menarik, sehingga diharapkan pembaca
dapat memperkaya wawasan.

Surakarta

08

dan Komitmen Hijau


Oleh: Redaksi Butaru

TOPIK UTAMA

Planning for Sustainablity

11

In Sweden

Oleh: Sixten Larsson

TOPIK UTAMA

Kebijakan Perkotaan

15

Terkait Perubahan Iklim

Oleh: Direktur Perkotaan dan Perdesaan


Kementerian PPN/Bappenas

TOPIK UTAMA

Ruang Terbuka Hijau

19

Dalam Kota yang Sehat

Oleh: Chris. D. Prasetijaningsih dan Mufty Riyan

TOPIK UTAMA

Potensi Tiga Kawasan:

24

Memahami RTR Kawasan


Strategis Nasional Perkotaan

TOPIK LAIN

Konferensi Perubahan Iklim


2011 Durban

30

Oleh: Redaksi Butaru

TOPIK LAIN

Mengembangkan Papua yang Kaya


Oleh: Ir. Kartika Listriana, MPPM

TOPIK LAIN

Pending Zone/Holding Zone:


Selamat membaca

40

Mempercepat dengan Menangguhkan


Oleh: Ir. chaerudin Mangkudisastra, M.Sc.

TOPIK LAIN
Redaksi

34

44

Program Mangrove Capital


Oleh: Redaksi Butaru

WACANA

Cities Can Lead Us

46

To A Green Future

Oleh: Redaksi Butaru

AGENDA

47

Agenda Kerja BKPRN


Januari - Februari 2012

Januari - Februari 2012 | buletin tata ruang

profil tokoh

Imam S.
Ernawi

Dirjen Penataan Ruang,


Kementerian PU

Gerakan Kota Hijau:


Merespon Perubahan Iklim
dan Pelestarian Lingkungan

Imam S. Ernawi adalah Direktur Jenderal Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan


Umum. Lahir di Tuban, Jawa Timur, pada 10 Mei 1955, Imam menyelesaikan
pendidikan dasar hingga lulus SMA di Probolinggo pada tahun 1973. Ia kemudian
melanjutkan studinya di Jurusan Teknik Arsitektur Institut Teknologi Bandung dan
lulus tahun 1979. Pada tahun 1991, ia mengambil studi pasca sarjana program
Construction Management, dan program Engineering Policy, di Washington
University St. Louis, Amerika Serikat.
Bergabung dengan Kementerian PU pada tahun 1980, Imam pun mulai terlibat
dalam berbagai proyek penting di Kementerian tersebut. Selama hampir 30 tahun
menata karir di institusi tersebut, ia telah memegang jabatan-jabatan antara lain
Staf Ahli Menteri PU Bidang Keterpaduan Pembangunan (2005-2007); Kepala Pusat
Kajian Kebijakan Dep. PU (2003-2005); Direktur Bina Teknik, Ditjen. Perumahan dan
Permukiman, Dep. Kimpraswil (2001-2003); Kepala Biro Perencanaan dan Informasi
Publik, Dep. Kimbangwil (1999-2001); Direktur Bina Program Ditjen. Cipta Karya
Dep. PU (1998-1999); dan Kepala Subdit Tata Bangunan Ditjen. Cipta Karya Dep. PU
(1994-1998).
Di luar itu, ia juga aktif dalam berbagai keanggotaan profesi, antara lain Ikatan
Arsitek Indonesia (IAI), Ikatan Ahli Perencanaan (IAP), Himpunan Ahli Manajemen
Konstruksi Indonesia (HAMKI), Society of American Value Engineers (SAVE), dan
Construction Management Association of America (CMAA).
Sebagai inisiator Gerakan Kota Hijau, ia memandang penataan kota yang
merujuk pada konsep green city atau kota hijau, tidak sekadar mengedepankan
pembangunan ruang terbuka hijau (RTH), melainkan juga merencanakan dan
menata ulang kota secara sehat dan ekologis. Visi-misi dan harapan beliau akan
realisasi Kota Hijau di Indonesia yang dampaknya dapat dirasakan seluruh
masyarakat, diuraikan pada wawancara berikut ini.
Apa latar belakang Kementerian PU menerapkan konsep Kota Hijau (Green Cities)?
Inisiatif mewujudkan kota hijau memiliki makna strategis karena dilatarbelakangi
oleh beberapa faktor, antara lain pertumbuhan kota yang begitu cepat dan
berimplikasi terhadap timbulnya berbagai permasalahan perkotaan seperti
kemacetan, banjir, permukiman kumuh, kesenjangan sosial, dan berkurangnya
luasan ruang terbuka hijau. Beberapa tahun terakhir, permasalahan perkotaan
semakin berat karena hadirnya fenomena perubahan iklim, yang menuntut kita
semua untuk memikirkan secara lebih seksama. dan mengembangkan gagasan
cerdas yang dituangkan ke dalam kebijakan dan program yang lebih komprehensif
sekaligus realistis sebagai solusi perubahan iklim.
4

buletin tata ruang | Januari - Februari 2012

Green waste,
green transportation,
green water,
green energy, dan
green building
merupakan atribut
yang sering kita
sebut sebagai
green infrastructure.
Oleh
karenanya,
Kementerian
Pekerjaan Umum, melalui Ditjen
Penataan
Ruang,
mendorong
terwujudnya kota hijau sebagai
metafora dari kota berkelanjutan, yang
berlandaskan penerapan prinsip-prinsip
pembangunan berkelanjutan, sekaligus
yang mampu menjawab kebutuhan
dan permasalahan kota/perkotaan
aktual, sekaligus merespon tantangan
perubahan iklim.
Apa visi dan misi pengembangan Kota
Hijau (Green Cities) secara umum?
Misi kota hijau sebenarnya tidak hanya
sekedar menghijaukan kota. Lebih
dari itu, kota hijau dengan visinya yang
lebih luas dan komprehensif, yaitu Kota
yang Ramah Lingkungan, memiliki misi
antara lain memanfaatkan secara efektif
dan efisien sumberdaya air dan energi,
mengurangi limbah, menerapkan
sistem
transportasi
terpadu,
menjamin kesehatan lingkungan, dan
Mensinergikan lingkungan alami dan
buatan, berdasarkan perencanaan
dan perancangan kota yang berpihak
pada prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan baik secara lingkungan,
sosial dan ekonomi secara seimbang.
Kota Hijau dapat diwujudkan apabila
didukung oleh green building
infrastructure
dan
partisipasi
masyarakat (green community).
Bagaimana kontribusi dua hal
tersebut terhadap konsep Kota Hijau?
Menurut saya, terdapat beberapa
atribut untuk mewujudkan kota hijau.

Yang pertama adalah perencanaan dan


perancangan kota (Green Planning and
Design), yang bertujuan meningkatkan
kualitas rencana tata ruang dan rancang
kota yang lebih sensitif terhadap agenda
hijau, upaya adaptasi dan mitigasi
terhadap perubahan iklim. Kemudian
yang ke dua adalah pembangunan
ruang terbuka hijau (Green Open
Space) untuk meningkatkan kualitas
dan kuantitas RTH sesuai dengan
karakteristik kota/kabupaten, dengan
target RTH 30%. Selanjutnya yang ke
tiga adalah Green Community, yaitu
pengembangan jaringan kerjasama
pemerintah, masyarakat, dan dunia
usaha yang sehat. Yang ke empat
adalah pengurangan dan pengolahan
limbah dan sampah (Green Waste),
dengan menerapkan zero waste. Yang
ke lima adalah pengembangan sistem
transportasi berkelanjutan (Green
Transportation) yang mendorong
warga
untuk
menggunakan
transportasi publik ramah lingkungan,
serta berjalan kaki dan bersepeda
dalam jarak pendek. Yang ke enam
adalah peningkatan kualitas air (Green
Water) dengan menerapkan konsep
ekodrainase dan zero runoff. Lalu yang
ke tujuh adalah Green Energy, yaitu
pemanfaatan sumber energi yang
efisien dan ramah lingkungan. Dan
yang terakhir, ke delapan, adalah Green
Building, yaitu penerapan bangunan
hijau yang hemat energi.
Green waste, green transportation,
green water, green energy, dan
green building merupakan atribut
yang sering kita sebut sebagai green

insfrastructure. Keseluruhan atribut


kota hijau tersebut tidak berdiri sendiri,
namun merupakan satu kesatuan yang
integral, termasuk dalam kaitannya
dengan pengembangan ekonomi
lokal sebagai dampak ikutan dari
perwujudan masing-masing atribut.
Dalam rangka mewujudkan Indonesia
sebagai Kota Hijau, Kementerian
Pekerjaan Umum (PU) saat ini
merintis Program Pengembangan
Kota Hijau (P2KH). Apa saja hambatan
dan tantangan dalam mewujudkan
Program Pengembangan Kota Hijau
tersebut?
Hambatan dan tantangan yang
dihadapi dalam mewujudkan kota hijau
di Indonesia dapat dicermati dalam
beberapa aspek, yaitu aspek Turbinlakwas,
ekonomi, sosial, lingkungan, tata kelola,
dan spasial. Dalam aspek Turbinlakwas,
ada masalah pengaturan, pembinaan,
pelaksanaan dan pengawasan yang
harus diperhatikan. Pengaturan P2KH
sebenarnya sudah cukup lengkap,
namun
masih
perlu
dilengkapi
dengan peraturan turunan yang lebih
detail, seperti Juknis, sehingga lebih
mudah
dalam
operasionalisasinya.
Lalu
dalam
pembinaan,
P2KH
terkendala karena belum optimalnya
kapasitas kelembagaan dalam rangka
perwujudan kota hijau di Indonesia.
Dalam pelaksanaannya, Rencana Tata
Ruang belum sepenuhnya digunakan
sebagai acuan pembangunan serta
rendahnya keterlibatan stakeholders
dalam penyelenggaraan RTH. Sedangkan
masalah pengawasan adalah kurang

Januari - Februari 2012 | buletin tata ruang

profil tokoh

Hambatan dan
tantangan yang
dihadapi dalam
mewujudkan kota
hijau di Indonesia
dapat dicermati
dalam aspek
Turbinlakwas,
ekonomi, sosial,
lingkungan, tata
kelola dan spasial.

hidup. Kemudian yang terakhir, dalam


aspek spasial, tantangan P2KH adalah
perkembangan kawasan perkotaan
yang cenderung bersifat ekspansif dan
menunjukkan gejala urban sprawl yang
tidak terkendali, alihfungsi kawasan
pertanian subur di pinggiran kota dan
meningkatnya ketergantungan pada
kendaraan bermotor, serta kurangnya
lahan perkotaan yang dapat digunakan
sebagai RTH.

optimalnya pengawasan oleh aparat.


Bagaimana
dengan
tantangan
pada aspek ekonomi, sosial dan
lingkungan?
Pada aspek ekonomi, P2KH menghadapi
tantangan, yaitu tingginya pendanaan
serta terbatasnya lahan perkotaan
dalam mewujudkan ruang terbuka
hijau sebesar 30% dari luas kota.
Dalam aspek sosial, P2KH menghadapi
masalah antara lain kecenderungan
perilaku
masyarakat
yang
kontraproduktif dan destruktif, serta
kurangnya pemahaman masyarakat
akan pentingnya aspek lingkungan
sehingga peran masyarakat dalam
perwujudannya kota hijau rendah.
Sedangkan dalam aspek lingkungan
P2KH menghadapi tantangan, yaitu
peningkatan
jumlah
penduduk
perkotaan dari waktu ke waktu yang
menyebabkan meningkatnya beban
yang harus didukung oleh lingkungan,
serta pembangunan yang cenderung
berorientasi pada aspek ekonomi
dan kurang memperhatikan aspek
lingkungan.
Tadi bapak menyebutkan juga ada
tantangan dalam aspek tata kelola.
Apa saja yang termasuk?
Dalam aspek tata kelola, P2KH
menghadapi masalah yaitu masih
rendahnyakerjasamadankoordinasiantar
sektor dalam pengelolaan lingkungan
6

di permukiman informal yang lebih


terpapar oleh bahaya tersebut.
Kota yang tangguh adalah kota yang
mempersiapkan diri terhadap dampak
iklim di masa kini dan masa mendatang
dengan membatasi kekuatan dan
keparahan dampak tersebut. Meskipun
dampaknya tetap terjadi, sebuah kota
yang tangguh mampu menanggapi
dengan cepat dan efektif, dengan
cara yang tepat dan efisien. Untuk itu,
membangun ketahanan kota terhadap
perubahan iklim menjadi prioritas
utama bagi kota. Selain mitigasi, yang
kegiatannya sebagian besar terfokus
pada masa lalu, kota-kota sekarang
harus memainkan peran yang lebih
besar dalam adaptasi.
Apa yang perlu
menurut bapak?

Konsep perkotaan Indonesia ke


depan, Competitive Green City
adalah suatu terobosan. Akan tetapi
yang diperlukan Indonesia, terutama
pada awal pelaksanaan, harus dapat
membangun daya tahan (resilience)
masyarakat dan pemerintah di
tingkat lokal. Bagaimana menurut
bapak?
Menurut saya, ketahanan kota lebih
tepat dikaitkan dengan kota hijau dalam
konteks mitigasi dan adaptasi perubahan
iklim. Perubahan iklim dapat dilihat
sebagai sebuah tantangan serius bagi
kota-kota di seluruh dunia, terutama di
negara berkembang, dimana urbanisasi
terjadi sangat cepat. Perubahan
iklim ini menimbulkan ancaman
yaitu
meningkatkan
kerentanan,
menghancurkan keuntungan ekonomi,
dan menghalangi pembangunan sosial
dan ekonomi. Masyarakat miskin kota
akan menerima dampak paling berat,
karena mereka tinggal dan bekerja

buletin tata ruang | Januari - Februari 2012

dipersiapkan

Membangun ketahanan tidak hanya


memerlukan pengambilan keputusan
yang cepat oleh pihak berwenang,
tetapi juga jaring hubungan institusional
dan sosial yang kuat dan mampu
menyediakan jaring pengaman bagi
warga yang rentan. Melalui kegiatan
perencanaan formal dan persiapan
informal, kota dapat membangun
kekuatannya untuk menyesuaikan diri
secara efektif pada dampak iklim di saat
sekarang dan di masa depan, sembari
bereksperimen dan berinovasi dalam
pembuatan dan perencanaan kebijakan.
Kota-kota dapat menggiring kita
menuju sebuah Masa Depan Hijau.
Bagaimana pendapat bapak?
Kota hijau masa depan (future green
cities) dapat terwujud jika kota-kota
yang saat ini tengah kita inisiasi sebagai
kota hijau dapat mengakomodasi
prinsip-prinsip kota hijau, contohnya
dengan
diakomodasinya
target
pencapaian RTH sebesar 30% dalam
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
kotanya.
Kota hijau yang kita cita-citakan
ini adalah kota masa depan milik
generasi penerus. Hal ini sejalan

dengan harapan kita semua untuk


mulai mewujudkan ruang yang aman,
nyaman, produktif, dan berkelanjutan
sesuai amanat UU No. 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang.
Keberhasilan upaya ini mensyaratkan
adanya pendekatan kolaboratif,
bukan sendiri-sendiri. bagaimana
keterlibatan semua stakeholders
khususnya pemerintah daerah?
Prakarsa P2KH merupakan tahapan
yang lebih maju dalam siklus
pelaksanaan
penataan
ruang
yang tidak berhenti pada tataran
perencanaan, namun telah bergulir
pada tataran implementasi rencana
dalam bentuk aksi-aksi nyata pada
skala
kota/kabupaten
sebagai
satu entitas yang utuh. P2KH juga
bukan sekedar himpunan sektoral,
melainkan suatu program sinergis
dan kolaboratif dengan inisiatif utama
dari pemerintah kota/kabupaten dan
masyarakat yang difasilitasi oleh
pemerintah pusat.
Karena itu, P2KH berbasis pada
Rencana Aksi Kota Hijau (RAKH) yang
berlandaskan penataan ruang sebagai
panglima pengembangan wilayah,
paradigma
kota
berkelanjutan,
pentingnya
kemandirian
daerah,
peran koordinasi provinsi dan fasilitasi
pusat, dan intervensi program yang
berkelanjutan.
Secara politis, inisiatif tersebut telah
mendapat respon yang sangat
positif dari pemerintah kabupaten/
kota. Pada Peringatan Puncak Hari
Tata Ruang 2011 pada tanggal 7-8
November yang lalu, telah dilakukan
penandatanganan Piagam Komitmen
Kota Hijau dan penyematan daun
hijau pada pohon Kantajaura (Kanopi
Kota Hijau Nusantara) oleh 60 Bupati/
Walikota, sebagai bentuk komitmen
bersama untuk mewujudkan kota hijau.
Hal yang patut mendapatkan apresiasi
ini merupakan sebuah loncatan besar
bagi pemerintah daerah yang secara
konkrit akan mewujudkan kota yang
berkelanjutan.

Perwujudan kota hijau membutuhkan dukungan dan


keterlibatan multi sektor dalam rangka memenuhi
tercapainya berbagai atribut kota hijau.
Apa upaya-upaya
dilakukan?

yang

harus

Perwujudan kota hijau membutuhkan


dukungan dan keterlibatan sektor lain
dalam rangka memenuhi tercapainya
dua atribut kota hijau. Atribut yang
pertama adalah sektor perhubungan
dalam rangka menciptakan Green
Transportation, yaitu Pengembangan
sistem transportasi yang berkelanjutan,
misalnya transportasi publik, jalur
sepeda, dsb. Yang ke dua adalah sektor
pengembangan permukiman yang
meliputi Green Waste, yaitu usaha untuk
melaksanakan prinsip 3R (mengurangi
sampah/limbah,
mengembangkan
proses daur ulang dan meningkatkan
nilai tambah), Green Water, yaitu
efisiensi pemanfaatan sumberdaya air,
dan Green Building, atau bangunan
hemat energi. Aspek lain yang tak
kalah penting adalah sektor energi
dalam rangka Green Energy, yaitu
pemanfaatan sumber energi yang
efisien dan ramah lingkungan.
Aksi kolaboratif tersebut tentunya
tidak hadir secara mekanistik semata,
namun memerlukan proses yang
konsisten dan sistematis, mulai dari
sosialisasi, mobilisasi, persuasi, hingga
implementasi,
sehingga
gerakan
kolektif yang sebenarnya dapat
terbangun.
Apa harapan bapak mengenai
perwujudan Kota Hijau di Indonesia?
Kembali kepada judul besarnya tadi,
kota hijau itu harus menjadi gerakan.
Artinya semua pihak harus berperan.
Tetapi gerakan itu harus bisa menjadi
gerakan yang penjurunya adalah
pemerintah
daerah
kabupaten/
kota
karena
merekalah
yang
sebetulnya mendapatkan tugas dan
kewenangan sesuai dengan otonomi
daerah untuk mengurus kota atau
wilayahnya. Sementara stakeholder

atau pemangku kepentingan yang


lain harus mendorong, mempercepat,
meningkatkan atau memperluas.
Apa kunci terciptanya Kota Hijau?
Saya kira kunci sukses untuk daerah
sebagai penjuru gerakan ini adalah
pertama leadership daerah tersebut
harus baik. Jadi walikota harus pro
green. Yang ke dua, politik anggaran
di daerah tersebut harus berpihak ke
arah ini, apakah lewat rencana program
kerja pemerintah daerah tahunan,
atau dengan kepandaian/kecerdasan
mereka untuk bisa mengundang
masyarakat dan dunia usaha. Yang
terakhir
adalah
adanya
green
community dalam upaya menciptakan
critical mass.
Jadi konsep Kota Hijau di sini bukan
semata masalah RTH?
Hijau di sini memang berarti
peningkatan luasan RTH, tapi bukan
semata-mata untuk memenuhi syarat
30% (sesuai UU Penataan Ruang)
atau beautification, tetapi untuk
mewujudkan kinerja hijau yang dapat
menjawab fungsi ekologi. Memang
gerakan ini perlu perjuangan. Jadi
kita perlu mengedukasi agar daerahdaerah merasa butuh, konsisten dan
berkomitmen untuk mengalokasikan
sumber dayanya, sehingga dampak
gerakan ini semakin besar.
Perwujudan Kota Hijau ini harus
dimulai dari mana?
Yang harus dilakukan adalah mulai dari
sekarang, mulai dari yang kecil-kecil,
dan mulai dari diri sendiri. Masyarakat
merubah perilakunya untuk lebih
ramah lingkungan, hemat energi,
tidak konsumtif terhadap energi. Lalu
pemerintah daerah (kabupaten/kota)
mendukung terwujudnya kota hijau
melalui prakarsa P2KH.

Januari - Februari 2012 | buletin tata ruang

profil wilayah

Surakarta
dan Komitmen Hijau

KOTA.KOTA IDENTIK dengan pemusatan seluruh kegiatan


yang ditandai dengan pembangunan gedung yang menjulang
tinggi, pembangunan infrastruktur sebagai penunjang dan
sarana penduduk kota untuk mobilisasi, berbagai macam
sarana transportasi, dan kepadatan penduduk yang tinggi
dengan segala macam aktivitasnya yang ikut memenuhi dan
mewarnai kehidupan kota setiap saat. Suatu kota dikatakan
berhasil,maju, dan berkembang jika kota tersebut memiliki
aktivitas perekonomian yang sangat tinggi yang didukung
dengan pembangunan infrastruktur dan sarana pendukung
lainnya serta diikuti dengan mobilitas penduduk yang tinggi.
Akan tetapi apakah semua pembangunan yang dilakukan
diperkotaan memiliki pengaruh positif bagi kota secara
keseluruhan??? Apakah pembangunan kota tersebut telah
seimbang dengan daya dukung lingkungan kota tersebut???
Pembangunan tidak akan pernah berhenti dilakukan untuk
membangun suatu kota, sehingga kota terus bertumbuh
dari yang awal mulanya merupakan kota kecil dengan minim
insfrastruktur dan fasilitas lainnya dan kemudian berkembang
menjadi kota besar dan terus berkembang menjadi kota
megapolitan seperti Jakarta. Kota Jakarta merupakan kota
Megapolitan yang hingga saat ini sudah dapat dikatakan kota
yang over capacity dapat dilihat dari jumlah penduduk Jakarta
yang hingga kini menjadi angka 9.5 juta jiwa, yang idelanya
penduduk Jakarta berkisar antara 4-5 juta jiwa atau setengah
dari penduduk saat ini. Dengan kondisi kota yang over capacity
tersebut, mulai timbulah berbagai macam permasalahan
perkotaan, diantaranya masalah kemacetan, masalah sosial
dapat dilihat dari tidak meratanya kesejahteraan masyarakat,
ketidaknyaman masyarakat dalam beraktivitas sehari-hari, dan
permasalahan banjir yang merupakan amcaman Kota Jakarta
pada setiap musim hujan bahkan saat ini tanpa musim hujan
pun Jakarta Utara sering terendam akibat dari naiknya muka air
laut/ROB akibat dari penurunan muka air tanah.
Bencana jebolnya Tanggul Situ Gintung pada Tahun 2009
lalu merupakan bencana alam yang disebabkan oleh
8

buletin tata ruang | Januari - Februari 2012

Oleh: Redaksi Butaru

Saat bicara tentang kota yang berhasil,


ada permasalahan RTH di dalamnya.
masyarakat yang telah melakukan penyimpangan terhadap
RTRW, di mana di sekitar area tanggul tidak diperkenankan
sebagai kawasan budidaya, akan tetapi kebutuhan akan
lahan perkotaan yang semakin meningkat, peraturan
tersebut diabaikan sehingga yang terjadi adalah bencana
yang mengakibatkan kerugian yang materi dan jiwa yang
besar. Sangat disayangkan bencana serupa sering terjadi
khususnya di kota-kota besar, beberapa lapisan masyarakat
yang hanya memikirkan keuntungan sepihak dengan sering
melakukan penyimpangan terkait peruntukan guna lahan
tanpa memikirkan kapasitas, keterbatasan daya dukung dan
daya tamping suatu lahan perkotaan.
Menanggapi permasalahan di atas, UU Nomor 26 Tahun
2007 Tetang Penataan Ruang telah mengamanatkan bahwa
setiap Prop/Kab/Kota yang dalam proses penyusunan RTRW
diwajibkan untuk memiliki proporsi Ruang Terbuka Hijau (RTH)
pada setiap wilayahnya sebesar 30%, atau untuk wilayah kota
paling sedikit 20%. Perwujudan RTH pada setiap wilayah ini
merupakan perwujudan dan penguatan dari tujuan Penataan
Ruang, yaitu mewujudkan penataan ruang yang aman,
nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Kata berkelanjutan
di dalam UU ini berkaitan erat dengan lingkungan, kualitas
lingkungan sudah seharusnya dipertahankan bahkan dapat
ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
saat ini dan generasi mendatang. Jika melihat tujuan dari
Penataan Ruang, dapat dikatakan perencanaan tidak sematamata hanya menuntut suatu wilayah agar produktif, akan
tetapi juga memperhatikan keseimbangan lingkungan dan
masyarakat di dalamnya.

Kota terus bertumbuh, dari


yang awalnya merupakan kota
kecil yang minim infrastruktur
dan fasilitas lainnya, kemudian
berkembang menjadi kota besar.

manusia di dalamnya merasakan sehat dan tenang yang


merupakan idaman bagi setiap wilayah, khususnya di kota
besar yang jauh dari suasana hijau dan asri. Sehingga tidak
heran Kementerian Lingkungan Hidup pada tahun 2011
memberikan penghargaan bagi Pemerintah Kota Surakarta
atas kerja kersa di dalam penyehatan lingkungan kota dan
menciptakan iklim yang sejuk.

Kota Surakarta, yang juga dikenal dengan Solo terletak di


Provinsi Jawa Tengah yang memiliki jumalah penduduk
600.000 jiwa dengan luas 4.404,06 Ha yang terbagi atas 5
(lima) kecamatan, yaitu Kec. Laweyan, Kec. Serengan, Kec.
Pasar Kliwon, Kec. Jebres, Kec. Banjarsari.
Kota Surakarta, selayaknya kota besar merupakan pusat
pertumbuhan wilayah Jawa Tengah dengan potensi ekonomi
sangat tinggi di bidang industry, perdagangan, pariwisata
dan sector penunjang lainnya. Selain itu Kota Surakarta juga
merupakan kota penghubung bagi daerah hinterland, di
antaranya Kab. Boyolali, Kab. Sukoharjo, Kab. Karanganyar,
Kab. Wonogiri, Kab. Sragen, dan Kab. Klaten.
Melirik potensi yang terkandung di dalamnya dan di
dukung dengan letak yang strategis, tidak menjadikan
Pemerintah Kota Surakarta memiliki keinginan sepenuhnya
mengembangkan pembangunan yang optimal untuk Kota
Surakarta ini. Dalam pembangunan Kota Surakarta, Pemkot
tetap akan memperhatikan keseimbangan lingkungan di
mana telah tertuang di dalam Tujuan Penataan Ruang yang
telah tercantum di dalam draft Raperda RTRW Kota Surakarta,
yaitu Mewujudkan Kota Surakarta Sebagai Kota Budaya
yang Produktif, Berkelanjutan dan Berwawasan Lingkungan
Dengan Berbasis Pada Sektor Industri Kreatif, Perdagangan
dan Jasa, Pendidikan, Pariwisata, Serta Olah Raga.
Kata Berkelanjutan dan Berwawasan Lingkungan yang
merupakan amanat dari UU No. 26 Tahun 2007 Tentang
Penataan Ruang telah dibuktikan dan direalisasikan melalui
beberapa program dengan tujuan memperbaiki dan
menyehatkan lingkungan Kota Surakarta, di mana program
lingkungan tersebut telah berhasil dan meraih beberapa
penghargaan, di antaranya melalui Kota Dalam Kebun
yang dicanangkan oleh Ir. Joko Widodo selaku walikota
Surakarta. Program ini dapat menciptakan kota yang
sehat dan asri, hijau dipenuhi oleh pepohonan dengan
sendirinya akan menciptakan iklim yang sejuk dan membuat

Pada tahun 2011 juga Pemkot Surakarta Kota Langit Biru


oleh Kementerian Lingkungan Hidup, di dalam penilaian ini,
Kota Surakarta memiliki skor tertinggi untuk kategori kota
besar dan telah menyisihkan 12 kota besar di Indonesia.
Penilaian ini dilakukan dengan mengukur tingkat emisi gas
buang dari sumber yang bergerak atau kendaraan bermotor
dan penyediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang telah
dirancang pemkot untuk dapat menciptakan iklim mikro
yang bersih.
Awal tahun 2011, melalui Direktorat Jenderal Penataan
Ruang telah melakukan inisiasi Program Pengembangan Kota
Hijau (P2KH) di 60 kota dan kabupaten. P2KH ini merupakan
merupakan program dalam rangka mewujudkan amanat UU
Penataan Ruang tentang perwujudan RTH 30%, selain itu juga
merupakan reaksi dan tanggapan mengenai isu global yaitu
Perubahan Iklim yang hingga kini dampaknya telah terjadi
dibelahan bumi. Telah tercatat 20 Kota yang telah sepakat
dengan menandatangani Komitmen Kota Hijau pada
tanggal 7 November 2011, yang juga merupakan rangkaian
Hari Peringatan World Town Planning Day (WTPD).
Berbagai penghargaan lingkungan telah diraih Surakarta,
akan tetapi usaha pemkot untuk selalu menghijaukan dan
ciptakan udara bersih tidak hanya berhenti sampai disini. Kota
Surakarta merupakan salah satu kota yang terpilih dan telah
berkomitmen sebagai Kota Hijau, bentuk komitmen tersebut
ditandai dengan penandatanganan piagam Komitmen Kota
Hijau yang merupakan bentuk kesepakatan antara Pemkot
Surakarta dengan Direktorat Jenderal Penataan Ruang
Kementerian Pekerjaan Umum. Berbagai program Kota Hijau
telah disiapkan oleh pemkot, perencanaan tersebut telah
tertuang di dalam Draft Raperda RTRW Kota Surakarta, yang
saat ini telah sampai pada tahap telah persetujuan substansi
dan saat ini sedang pembahasan di DPRD setempat. Di dalam
Draft Raperda RTRW Kota Surakarta telah mencantumkan
bahwa RTH Kota Surakarta dibagi atas 2 (dua) RTH Publik yang
meliputi taman pemakaman umum, dan jalur hijau sepanjang
jalan, sempadan sungai, sempadan rel kereta api, taman
wisata alam, taman rekreasi, kebun binatang, lapangan olah
raga, taman lingkungan perumahan dan permukiman, serta
pedestrian. Dan RTH Privat, yang meliputi lahan pertanian
kota atau halaman rumah/gedung milik masyarakat/swasta
yang ditanami tumbuhan, taman lingkungan perkantoran,
gedung komersial dan taman atap (roof garden).
Januari - Februari 2012 | buletin tata ruang

profil wilayah

Seluruh penduduk Kota


Surakarta juga berkewajiban
memelihara taman-taman
lingkungan di lingkup RT/RW
atau kelurahan agar iklim mikro
tetap terjaga dan mendukung
perwujudan Kota Hijau.
Direncanakan luas RTH Kota Surakarta dalam bentuk taman
seluas 357 (tiga ratus lima puluh tujuh) Ha, RTH Dalam bentuk
Taman Pemakaman Umum (TPU) seluas 50 (lima puluh) Ha,
RTH dalam bentuk sempadan rel kereta api seluas 73 (tujuh
puluh tiga) Ha dengan sebaran di beberapa kecamatan.
Selain itu juga terdapat Ruang Terbuka Non Hijau (RTNH)
di Kota Surakarta seluas 7 (tujuh) Ha yang juga tersebar
diseluruh kawasan kecamatan. Untuk mewujudkan RTH
yang telah direncanakan, Pemerintah Kota Surakarta telah
melakukan kerjasama pendanaan melalui dana sharing
APBN dan APDB serta pihak perbankan melalui Bank Mandiri
yang telah melakukan kesepakatan terkait konsep kerjasama
untuk merealisasikan RTH.
Solo City Walk merupakan salah satu bentuk perwujudan
RTH public, Solo City Walk ini dapat memberikan kesejukan
dan kehijauan pada Kota Surakarta, fasilitas pejalan kaki yang
aman dengan sisi hijau kanan dan kiri dapat memberikan rasa
sejuk di dalamnya. Selain itu lokasi PKL di beberapa bagian
tidak mengganggu bagi pejalan kaki karena tempat untuk
PKL telah disediakan oleh pemkot dengan rapi dan teratur.
Saat ini, telah tercatat 18.61% RTH di Kota Surakarta, di dalam
perencanaan ke depan Pemerintah Kota Surakarta yang dibantu
oleh jajarannya juga telah menyiapkan beberapa program dalam
rangka merealisasikan Komitmen Kota Hijau, di antaranya
adalah Program Green Building, menggalakkan konsep Roof
Garden sebagaimana yang telah tercantum di dalan Draft

RTRW Kota Surakarta, pembangunan jalan lingkungan dengan


menggunakan paving, penanaman 1 (satu) juta pohon, dan
kegiatan sayembara inisiasi rencana kota.
Pada tahun 2009, Pemerintah Kota Surakarta juga telah
mengeluarkan Perda berkaitan dengan RTH, yaitu Perda No.
8 Tahun 2009 Tentang Bangunan, yang mengatur adanya
kewajiban untuk menetapkan Koefisien Dasar Bangunan
(KDB) maksimal 85%, kecuali lokasi tertentu, dan saluran air
hujan sebelum dibuang ke saluran umum kota harus melalui
sumur resapan terlebih dahulu.
RTH tidaklah hanya direncanakan dan dilaksanakan begitu
saja, melainkan terdapat beberapa instansi Pemkot yang
terlibat didalam kepengurusan dan perawatan RTH Kota
Surakarta, di antaranya adalah untuk pengelolaan dan
pemeliharaan taman kota, jalur hijau, dan lapangan dikelola
oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan, Dinas Pekerjaan
Umum dan Badan Lingkungan Hidup berperan di dalam
penyediaan pohon dan RTH di sempadan sungai, Dinas
Pertanian juga terlibat di dalam penyediaan tanaman
produktif, selain itu seluruh penduduk Kota Surakarta juga
berkewajiban memelihara taman-taman lingkungan di
lingkup RT/RW/Kelurahan agar iklim mikro tetap terjaga dan
mendukung perwujudan Kota Hijau.
Perencanaan perwujudan RTH di Kota Surakarta memiliki
beberapa kendala dan permasalahan yang dihadapi, antara
lain mengenai status ruas jalan yang kewenangannya dimiliki
oleh Perintah Propinsi, untuk kawasan sepadan sungai dan
rel kereta api terdapat permasalahn dengan warga sekitar,
karena banyak pemukiman liar yang telah berdiri disekitar
sempadan tersebut, perlu ditingkatkan kembali koordinasi
antara beberapa dinas terkait yang bertanggung jawab
dalam pengelolaan RTH agar pelaksanaan perwujudan RTH
dapat terkoordinir dengan baik dan serasi, dan permasalahan
kesadaran masyarakat dalam pemeliharaan dan perawatan
RTH masih perlu untuk ditingkatkan kembali.
Sangat tidak mudah mendapatkan predikat Kota Bersih,
karena kota identik dengan kebisingan dan polusi dari
kendaraan, aktivitas pabrik, dan aktivitas penduduk kota yang
terus mencemari lingkungan kota. Akan tetapi komitmen
berbagai macam instansi baik pemerintahan, masyarakat,
akademisi, dan sektor swasta yang turut menghijaukan
lingkungan mereka, membuat Kota Surakarta menjadi hijau
dan bersih.

RTH Kota Surakarta

10

buletin tata ruang | Januari - Februari 2012

RTH pada hakikatnya merupakan salah satu unsur ruang kota


yang mempunyai peran penting serta dengan unsur kota
lainnya dan memiliki pengaruh sangat positif bagi lingkungan
sekitar. Perbaikan lingkungan tidak perlu diawali dengan
langkah besar dan menciptakan sesuatu yang inovatif,
melainkan berawal dari kesadaran diri sendiri yang nantinya
akan memberikan dampak yang luas bagi lingkungan sekitar.
(mpb)

topik utama

Planning for
Sustainability
in Sweden
Oleh: Sixten Larsson
Urban Planner, Visual Communication AB
Sweden

URBAN DEVELOPMENT IN SWEDEN is based on a strong


local self-governance. The municipalities in Sweden have the
right and the duty to determine how the built environment
should be developed and through its power of taxation, they
also have the means for implementation. This decentralised
character of the society is reflected in the administrative
structure and in the legislation that governs different levels
of government. This system has a long history. Many cities
and towns had their rudimentary local planning and building
regulations in place in the end of the 18th century. The main
legislative instruments that guide urban development at
present are the Local Government Act 1991, the Environmental
Code (1999) and the revised Planning and Building Act (2011).
With the increasing complexity of development, globalisation
trends, climate change issues and the need for a broader
sustainability perspective, new demands are placed on
municipalities regarding coordination and cooperation
and new approaches to participation and stakeholder
involvement. Furthermore, municipalities are required to
take into account national interests as expressed in national
policies and strategies such as:
Swedish Environmental Objectives
Climate and Energy Policy
Swedish Strategy for Sustainable Development.
Januari
Januari- -Februari
Februari2012
201 | buletin tata ruang

11

topik utama

Cities and other built areas must provide a good, healthy


living environment and contribute to good regional and global
environments. Natural and cultural assets must be protected
and developed. Buildings and amenities must be located and
designed in accordance with sound environmental principles
and in such a way as to promote sustainable management of
land, water and other resources.
Swedish Environmental Quality Objectives, no. 15

The concept of sustainable planning and development


The concept of sustainable development has gained
increasing attention among authorities, interest groups
and the general public, due to a growing awareness of
environmental threats and the potential consequences
for economic development. The holistic perspective is
however sometimes lacking. Sustainable planning and
urban development require a conscious integration of social,
economic, environmental as well as institutional, technical
and functional considerations. Many municipalities have
in recent years developed more inclusive and integrated
planning and implementation processes, reflected in
institutional structures, comprehensive planning, strategies
and policies. The three pillars for sustainable development
environmental, social, economic aspects are included in the
formulation of development visions and all three need to be
provided for in order to achieve sustainability.

Environmental sustainability

Environmental sustainability concerns protection of


biological and ecological processes and sustaining biological
diversity. To achieve this, the impact of human activities must
not exceed the carrying capacity of the environment. Urban
planning needs to protect green areas and corridors, parks,
forests and natural resources as well as agricultural land.
Climate change mitigation requires reducing emissions of
greenhouse gases, designing infrastructure and buildings to
withstand the expected effects. Transport system and energy
provision must be based on renewable energy sources,
efficient energy use and expansion of public transport
systems.

12

buletin tata ruang | Januari - Februari 2012

Social sustainability

Social sustainability entails integrated physical urban


structure with mixed development, diverse housing options,
meeting places and provision for interaction between
different groups in the society. Equally important is the
provisions for involvement in planning processes and in the
democratic processes. Access to health and education services
and fair distribution of income and assets are fundamental to
sustainable social development.

Economic sustainability

Urban areas are often called the engines of economic


growth. While planning must encourage economic initiatives,
economic sustainability requires that development is in
balance with available resources and not harmful to the
environment. Support for local production, recycling, reuse
and energy efficient technologies are economic development
in line with sustainability perspectives.

The three pillars of sustainability


must be seen as integral parts in
urban development. Environmental
ecological and biological processes;
Social interaction between people
and involvement; Economic
balanced growth.

The impact of existing urban structures

The visions and long-term strategies presented by Swedish municipalities focus


on ideal and future development scenarios with optimistic assumptions regarding
the outcome. However, development occurs in connection with or within existing
urban structures, both in physical and socio-economic terms. Cities have grown
over time and taken forms that reflect the attitudes and culture of the time.
Most Swedish towns have a historical core from medieval time or with an origin as
military fortifications. Other town structures represent the industrialisation in the
19th century. Large suburban areas came into being during the great expansion
and redevelopment programmes since the 1960s.

Gteborg; the original fortification is a main feature. Haga


(Gteborg), retaining the character and identity of the
working class housing area. The Vllingby centre is given a
new image, while protecting the urban design concept.
Planning principles for sustainable development

The planning principles that are applied in urban planning in Sweden reflect the
ambitions to promote sustainable development and are found in most visions,
strategies and comprehensive planning.
Integration functional, socio-economic, cultural
Accessibility public transport, cycle paths and walkways, services within walking
distance.
Compact urban structures - higher density, infilling and redevelopment
Mixed development Variation of land uses and activities
Diversity variation of housing types, architectural quality, character and identity.
Public transport emphasis integral part of urban planning, energy efficiency.
Protection of green areas and the natural environment limiting encroachment
into natural areas, providing and conserving green areas within urban structures.
Protection of cultural heritage and the built environment protection of areas and
significant features in the urban environment.
Protection of agricultural land and food production local food production, urban
agriculture and farming.
Local economic development support for businesses, skills development, efficient
communication and good infrastructure.
Safety and security safe walkways, street lighting, surveillance, meeting places,
community involvement.
Conservation of natural resources and assets waste reduction, recycling,
renewable energy, energy efficiency.

The planning and implementation process


The way in which urban planning and implementation
processes are carried out is just as important as the content of
the planning concepts. The integrated approach emphasise
the linkages between the different stages of the process and
the need to take implementation, operation and maintenance
into account already at the plan preparation phase.
A participatory planning process, transparency and
inclusiveness that involve relevant authorities, interest
groups, communities, private sector and other stakeholders
are necessity to promote sustainable development.
Januari - Februari 2012 | buletin tata ruang

13

stakeholders are necessity to promote sustainable development.

topik utama

REVIEW

REVIEW

REVIEW

3
2

3
IMPLEMENTING

1
PROGRAMMING

2
PLANNING

Urban planning and implementation is a continuous process with


need for feedback throughout the process and with evaluation
Urban planning and implementation is a continuous process with need for feedback throughout the
of the outcome. The linkages between Programming, Planning,
process and with evaluation of the outcome. The linkages between Programming, Planning,
Implementation and Review require new approaches, institutional
Implementation and Review require new approaches, institutional coordination and cooperation.
coordination and cooperation.
Planning
for sustainability
in Swedenurban development
Vision
for sustainable
Sixten
Larsson,
Urban
Planner,
AB in the form
Municipalities in SwedenVisual
face Communication
many challenges

an

Protection of a
gr

resources

si
Acces bility

roduction

tecting of C
Pro
ult

lic Transpor
t
Pub

ECONOMIC

&
nergy Energy
eE
E
bl

nc y

R en

e
-Us

cie
ffi

ction, Recyclin
du
g,
Re

ew
a

Re

Wa
ste

ral
ltu
icu

dp

tur

o
fo

itage and Th
Her
e

rban Struc

ntment
nviro
lt E
ui

l
ra

ct U
pa

ng

Co

of lack of resources, financial restrictions and economic


crises. There is need for considerable reforms and financial
investments to promote sustainability and the main challenge
is the need for innovative approaches to urban planning. The
three aspects of sustainability environmental, social and
economic need to be addressed with equal importance.
Swedish municipalities have made great progress in evolving
new concepts for planning and development. The key
principles that have been identified are the components that
guide the vision for sustainable urban development.

All aspects of sustainability must be addressed;


focusing on economic and social aspects only
might provide equitable situation but not
sustainable; environmental and social focus
would lead to a tolerable situation at best;
and a focus on environmental and economic
aspects might be seen as viable, but not
sustainable in the long-term perspective. The
planning principles are the tools to develop
diverse and dynamic living environment.

SUSTAINABLE
Integration

ENVIRONMENTAL

Sa

SOCIAL

eG

Protection Th

Lo
c

mic Develo
o no
pm
Ec
al

cy and Parti
ren
cip
n

tment
viron
En

buletin tata ruang | Januari - Februari 2012

al

14

Area & The Na


en
tu
re
r

t
en

Developme
xed
nt
Mi

a
sp

io
at

Tra
n

Diversity

y an
fet

d Secur

it y

Kebijakan Perkotaan

Terkait Perubahan Iklim


Oleh: Ir. Hayu Parasati, MPS,
Direktur Perkotaan dan Perdesaan
Kementerian PPN/Bappenas

Dalam kasus perubahan iklim, kota menjadi penyebab,


sekaligus penanggung akibat yang paling parah.
URBANISASI MASIH MENJADI isu utama pembangunan
perkotaan. Pada tahun 2050, diperkirakan populasi penduduk
perkotaan di Asia akan mencapai 64%. Fenomena yang sama
akan terjadi di Indonesia, dimana pada tahun 2025 penduduk
perkotaan diperkirakan akan mencapai 67,5%.
Asian Urbanization
Total Urban Population (millions)

2010

2050

1,649

3,247

Northeast Asia

805

1,284

South Asia

496

1,261

Central Asia

96

182

Urbanization (%)

41%

64%

Northeast Asia

50%

74%

South Asia

30%

55%

Southeast Asia

42%

65%

Central Asia

52%

67%

Sumber: Asia 2050. Realizing the Asian Century

Aglomerasi penduduk dan ekonomi di perkotaan memberikan


kontribusi besar terhadap perekonomian nasional. Olahan
data BPS mengindikasikan kota-kota metropolitan di
Indonesia mampu menyumbangkan 20,37% dari total PDRB
seluruh kota tahun 2008, demikian pula kota-kota besar yang
mampu menyumbangkan 15,34%. (lihat tabel berikut)
Kriteria Kota

Presentase
terhadap Jumlah
Seluruh Kota*)

Kontribusi PDRB
terhadap Total PDRB
Kota Tahun 2008

Metropolitan ( > 1juta jiwa)

11,11%

20,37%

Besar (500.000 - 1juta jiwa)

15,55%

15,34%

Menengah (100.000 500.000 jiwa)

62,22%

7,82%

Kecil (50.000 - 100.000 jiwa)

11,11%

2,37%

Perubahan Iklim di Indonesia

Indonesia merupakan penghasil emisi gas rumah kaca


terbesar ke tiga di dunia. Maka jelas Indonesia sedang
menghadapi berbagai dampak yang ditimbulkan oleh
perubahan iklim. WWF Indonesia (1999) memperkirakan,
temperatur akan meningkat antara 1.30C sampai dengan
4.60C pada tahun 2100 dengan trend sebesar 0.10C0.40C
per tahun. Selanjutnya, pemanasan global akan menaikkan
muka air laut sebesar 100 cm pada tahun 2100.
Akumulasi kejadian ini akan mempengaruhi infrastruktur,
bangunan, dan kegiatan manusia saat ini dan mendatang.
Pemanasan global akan meningkatkan temperatur,
memperpendek musim hujan, dan meningkatkan intensitas
curah hujan. Kondisi ini dapat mengubah kondisi air dan
kelembaban tanah yang akhirnya akan mempengaruhi
sektor pertanian dan ketersediaan pangan. Perubahan iklim
juga akan meningkatkan dampak buruh dari wabah penyakit
yang ditularkan melalui air atau vektor lain seperti nyamuk.
Kota juga merupakan penghasil emisi gas rumah kaca.
Sumber utama emisi gas rumah kaca di kota adalah
penggunaan bahan bakar fosil untuk listrik, transportasi,
industri, rumah tangga, dsb. Rumah tangga di Pulau Jawa
memberikan kontribusi emisi CO2 terbesar yang bersumber
dari penggunaan energi lebih dari 100 juta ton per tahun.
Industri di Pulau Jawa memberikan kontribusi emisi CO2
terbesar, meningkat dari 13 juta ton pada tahun 2003
menjadi 24 juta ton pada tahun 2005. Pada tahun 2007,
penggunaan kendaraan bermotor di Pulau Jawa memberikan
kontribusi emisi CO2 terbesar sebesar 40 juta ton, 16 juta ton
diantaranya berasal dari Provinsi DKI Jakarta.

Kawasan perkotaan sangat rentan terhadap dampak


perubahan iklim akibat populasinya yang besar, penggunaan
infrastruktur yang intensif, aktivitas ekonomi tinggi, serta
adanya konsentrasi penduduk miskin. Dampak perubahan
iklim di perkotaan berpotensi menyebabkan ancaman
Lebih lanjut, perkembangan kontribusi PDRB kota metropolitan kenaikan permukaan laut terhadap kota yang terletak di
dan besar terhadap PDRB seluruh kota pada tahun 2005-2009 wilayah pesisir, badai ekstrim dan peningkatan suhu udara
terus meningkat, sedangkan pada kota menengah dan kecil yang menimpa kota-kota di pesisir dan menghancurkan
cenderung stagnan, bahkan menurun.
infrastruktur sosial maupun ekonomi, dan masyarakat
Sumber : BPS 2008 , diolah
*) Total 90 kota, kota-kota di Provinsi DKI Jakarta dianggap sebagai satu
kota otonom

Januari - Februari 2012 | buletin tata ruang

15

topik utama
berpenghasilan rendah di kota menjadi masyarakat yang
paling rentan terhadap dampak perubahan iklim karena
keterbatasan sumber daya dan kapasitas yang dimiliki untuk
mengantisipasi dampak-dampak tersebut.
Akibat perubahan iklim permukaan air laut di pesisir Jakarta
diperkirakan akan meningkat 0,57 cm per tahun, sedangkan
penurunan muka tanah sebesar 0,8 cm per tahun. Hal ini
akan berdampak besar pada produktivitas infrastruktur dan
ekonomi perkotaan.

Indonesia
Lampung
Sumatra
Surabaya
Semarang

Tantangan Mitigasi dan Adaptasi

Mitigasi perubahan iklim adalah upaya-upaya yang


dilakukan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Hal
tersebut dilakukan antara lain dengan cara perencanaan
pembangunan kota, antara lain dengan pengendalian urban
sprawl. Tujuannya adalah agar tidak terjadi penambahan jarak
yang harus ditempuh penduduk dalam beraktivitas, serta
tidak menambah kebutuhan penduduk untuk menggunakan
kendaraan pribadi. Efektifitas strategi tersebut sangat
bergantung pada gaya hidup dan kebutuhan penduduk kota.
Selain itu, juga dilakukan mitigasi seperti peningkatan
efisiensi penggunaan energi pada kawasan terbangun di
kota, peningkatan penggunaan sumber energi alternatif, dan
pengembangan sistem transportasi massal dengan sumber
energi alternatif yang bertujuan mengurangi penambahan
kendaraan pribadi.
Sementara itu adaptasi perubahan iklim mencakup seluruh
tindakan yang dilakukan untuk mengurangi kerentanan
kota dan penduduknya terhadap dampak perubahan iklim.
Adaptasi dan mitigasi perubahan iklim merupakan dua
hal yang harus dilaksanakan secara bersama-sama. Upaya
mitigasi yang gagal akan mengakibatkan gagalnya upaya
adaptasi pula.
Contoh-contoh upaya adaptasi antara lain meningkatkan
sistem drainase kota untuk antisipasi peningkatan debit
air hujan, meningkatkan sistem pengendalian banjir,
perencanaan dan pengendalian pemanfaatan ruang/guna
lahan, meningkatkan ketahanan pangan, mengurangi
penggunaan air untuk rumah tangga maupun industri, dan
meningkatkan pemanfaatan sumber air alternatif seperti
air hujan. Upaya-upaya adaptasi ini memerlukan pelibatan
seluruh stakeholders perkotaan.

16

buletin tata ruang | Januari - Februari 2012

Jakarta
Belawan
Cilacap
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0
Sea Level Rise (mm/year)
Program-program terkait mitigasi dan adaptasi perubahan
iklim telah dilaksanakan oleh sektor-sektor pemerintah
pusat, di antaranya :
1.
Program Pengendalian Penyakit dan Kesehatan
Lingkungan (Kementerian Kesehatan)
2. Program Koordinasi Kebijakan Bidang Perekonomian
(Kemenko Perekonomian)
3. Program Pengelolaan SDA dan Program Pembinaan dan
Pengembangan Infrastruktur Permukiman (Kementerian PU)
4. Program Penanggulangan Bencana (BNPB)
5. Program Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan
Hidup (Kementerian LH)
6. Program Penciptaan Teknologi dan Varietas Unggul
Berdaya Saing (Kementerian Pertanian)
7. Program Pengelolaan Sumber Daya Laut, Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil (Kementerian Kelautan dan Perikanan)
8. Program Pengelolaan dan Pelayanan Transportasi Darat
(Kementerian Perhubungan)
9. Program Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan
Desa dan Program Bina Pembangunan Daerah (Kemdagri)
10.
Program Pengembangan Masyarakat dan Kawasan
Transmigrasi (Kemenakertrans)
11.
Program Konservasi Keanekaragaman Hayati dan
Perlindungan Hutan (Kemenhut)
12.
Program Pengelolaan Energi Baru Terbarukan dan
Konservasi Energi (Kemen ESDM)
13. Program Peningkatan Kemampuan IPTEK untuk Penguatan
Sistem Inovasi Nasional (Kemenristek)
14. Program Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)
15. Program Penelitian, Penguasaan, dan Pemanfaatan IPTEK
(LIPI)
16.
Program Pengembangan dan Pembinaan Meteorologi,
Klimatologi dan Geofisika (BMKG)

Kebijakan dan Strategi Perkotaan Nasional (KSPN)


VISI PEMBANGUNAN PANJANG
Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil, dan Makmur
RPJPN 2005-2025
- Pemerataan pertumbuhan kota
metropolitan-besar-menengah-kecil
- Pengendalian kota-kota besar dan
metropolotan
- manajemen perkotaan
- Pembangunan kota menengah dan
kota kecil
- pemenuhan kebutuhan pelayanan
dasar perkotaan
- Keterkaitan ekonomi kota-desa
- perluasan dan diversifikasi aktivitas
ekonomi dan perdagangan antar
desa-kota

Dalam KSPN terkait aspek


lingkungan dan perubahan
iklim tercantum dalam
kebijakan ketujuh yaitu
mendorong kota-kota
dalam meningkatkan
kualitas kesehatan
lingkungan dan siap
menghadapi perubahan
iklim serta adaptif terhadap
kemungkinan bencana.

RPJPN 2005-2025
Kota sebagai suatu
kesatuan kawasan/wilayah

Engine of
growth:
pendorong
pertumbuhan
nasional dan
regional

People
Centered:
tempat tinggal
berorientasi
pada
kenyamanan,
kelayakan huni,
dan kebutuhan
penduduk kota

Visi Perkotaan Nasional adalah terwujudnya kota yang layak huni, berkeadilan,
mandiri, dan berdaya saing secara berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat
perkotaan, sesuai dengan karakter potensi dan budaya lokal pada tahun 2024.
Sementara misinya adalah:
Meningkatkan pemerataan pembangunan kota-kota sesuai fungsinya dalam
sistem perkotaan nasional.
Meningkatkan pengembangan ekonomi kota yang produktif, atraktif, dan
efisien, dengan memanfaatkan potensi unggulan dan daya dukung sumber daya.
Mengembangkan sarana dan prasarana perkotaan yang memenuhi Standar
Pelayanan Perkotaan (SPP) serta mengedepankan pembangunan sosial dan
budaya masyarakat.
Meningkatkan kualitas tata ruang kota yang memperhatikan daya dukung dan
daya tampung lingkungan serta menjamin daya tahan kota terhadap ancaman
bencana dan dampak perubahan iklim.
Meningkatkan kualitas penyelenggaraan tata kelola pemerintahan kota yang
transparan, akuntabel, dan partisipatif serta mengedepankan proses komunikasi
dan interaksi publik dalam perencanaan dan pembangunan kota.

Untuk mewujudkan visi dan mendukung misi tersebut,


diberlakukanlah delapan kebijakan pembangunan perkotaan
nasional, yaitu:
1.
meningkatkan peran kota sebagai pendorong
pertumbuhan ekonomi lokal, regional dan nasional yang
berketahanan iklim (urban led development policy)
2.
menyebarkan pusat-pusat pertumbuhan perkotaan
untuk mengatasi ketimpangan pembangunan antar wilayah
(decentralized concentration)
3. mengedepankan pembangunan manusia dan sosialbudaya dalam pembangunan perkotaan
4. mendorong kota dan wilayah sekitarnya agar mampu
mengembangkan ekonomi lokal dan meningkatkan kapasitas
fiskal
5.
memacu pemenuhan kebutuhan PSU kota serta
penyediaan perumahan dan permukiman yang layak
6. mendorong terwujudnya kota-kota padat-lahan (compact
city) yang didukung oleh pemanfaatan ruang perkotaan
yang efisien serta penatagunaan tanah perkotaan yang
berkeadilan

7. mendorong kota-kota dalam meningkatkan kualitas


kesehatan lingkungan dan siap menghadapi perubahan iklim
serta adaptif terhadap kemungkinan bencana
8.
meningkatkan kapasitas sumber daya manusia,
kelembagaan, dan menerapkan prinsip-prinsip tata
pemerintahan yang baik (good governance), serta
mendorong munculnya kepemimpinan yang visioner.
Dalam KSPN terkait aspek lingkungan dan perubahan iklim
tercantum dalam kebijakan ke tujuh yaitu mendorong kotakota dalam meningkatkan kualitas kesehatan lingkungan
dan siap menghadapi perubahan iklim serta adaptif terhadap
kemungkinan bencana. Hal ini yang meliputi: (1) Pengendalian
kegiatan pembangunan kota agar tidak merusak lingkungan
melalui mekanisme insentif disinsentif; dan (2) Peningkatan
kapasitas pemerintah daerah dan pelibatan aktif masyarakat
dalam mewujudkan lingkungan permukiman yang sehat
dan adaptif terhadap bencana dan perubahan iklim melalui
pembangunan kota yang terintegrasi dan seimbang antara
aspek ekonomi dan ekologi.
Januari - Februari 2012 | buletin tata ruang

17

topik utama
Upaya Pemerintah Indonesia untuk Mitigasi
dan Adaptasi Perubahan Iklim
Setelah meratifikasi UNFCC 1994 dan Kyoto Protocol 2004,
Pemerintah Indonesia berpartisipasi aktif dalam upaya-upaya
mitigasi dan adaptasi perubahan iklim baik dalam kerangka
regional maupun internasional. Pada tahun 2010 Pemerintah
Indonesia meluncurkan Indonesia Climate Change
Sectoral Roadmap (ICCSR) 2010-2030, yang disusun untuk
menetapkan tujuan nasional, sasaran sektoral, dan prioritas
upaya-upaya yang berkaitan dengan adaptasi dan mitigasi
perubahan iklim bagi seluruh sektor. Muatan ICCSR juga telah
diintegrasikan kedalam dokumen-dokumen perencanaan
pembangunan yaitu Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJM) 2010-2014 dan Rencana Kerja Pemerintah
(RKP). Saat ini telah disusun Rancangan Peraturan Presiden
(Raperpres) tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi
Gas Rumah Kaca (RAN-GRK).
RAN-GRK disusun sebagai tindak lanjut komitmen Pemerintah
Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca pada
tahun 2020 sebesar 26% dari BAU (bussiness as usual) dan
sebesar 41% dengan bantuan internasional. RAN-GRK
berisikan rencana aksi masing-masing bidang yang terkait
erat dengan upaya penurunan emisi gas rumah kaca dalam
mengantisipasi terjadinya perubahan iklim, yaitu bidang
kehutanan dan lahan gambut, pertanian, energi, industri
dan transportasi dan juga bidang pengelolaan limbah.
Untuk pelaksanaan di daerah, RAN GRK direncanakan akan
dijabarkan ke dalam RAD GRK di tingkat provinsi. Indonesia
Climate Change Trust Fund (ICCTF) diresmikan pada tanggal
14 September 2009, dan mulai beroperasi sejak Januari 2010.
ICCTF diharapkan dapat menjadi komplemen dari berbagai
mekanisme pendanaan yang telah ada dan dapat menjadi
alternatif mekanisme pendanaan.
Saat ini ICCTF telah mendanai tiga kegiatan percontohan
(pilot project) yaitu: (1) Riset dan pengembangan manajemen
lahan gambut berkelanjutan (dilaksanakan oleh Kementerian
Pertanian); (2) Konservasi energi pada industri baja dan pulp
kertas (dilaksanakan oleh Kementerian Perindustrian); dan (3)
Penyadaran publik, pelatihan dan pendidikan untuk upaya
mitigasi dan adaptasi perubahan iklim (dilaksanakan oleh
BMKG dengan kolaborasi bersama LIPI, BPPT, Kementerian
Pendidikan Nasional, Kementerian Pertanian, Kementerian
Kelautan dan Perikanan).

Pemerintah Indonesia
berpartisipasi aktif dalam
upaya-upaya mitigasi dan
adaptasi perubahan iklim
baik dalam kerangka regional
maupun Internasional.

18

buletin tata ruang | Januari - Februari 2012

Tindak Lanjut ke Depan


Ada beberapa upaya yang dilaksanakan di tingkat pusat dan
daerah terkait masalah perubahan iklim.
Upaya yang dilakukan di tingkat pusat yang pertama adalah
penetapan Kebijakan dan Strategi Perkotaan Nasional (KSPN)
dan integrasi upaya-upaya pengelolaan lingkungan hidupmitigasi dan adaptasi perubahan iklim-penanggulangan
bencana. Upaya yang ke dua adalah sinkronisasi kebijakan
atau penyelarasan kebijakan nasional terkait adaptasi dan
mitigasi perubahan iklim melalui RPJMN, ICCSR, RAN-GRK,
ICCTF, penyelarasan atau keterkaitan berbagai inisiatif
kota-kota dengan kebijakan dan program nasional terkait
perubahan iklim.
Upaya yang ke tiga adalah pelaksanaan kebijakan dan
pembiayaan, peningkatan daya tarik dan percepatan
pembangunan kota menengah, kecil, dan perdesaan untuk
mengendalikan kecenderungan urban sprawl di kota besar
dan metropolitan, peningkatan kemitraan pemerintahmasyarakat-swasta, dan penerapan insentif-disinsentif
penghematan penggunaan energi.
Upaya yang ke empat adalah melalui data dan informasi
dengan cara sosialisasi kebijakan dan program nasional terkait
perubahan iklim kepada pemerintah daerah, pertukaran
informasi dan good practices upaya-upaya adaptasi dan
mitigasi perubahan iklim.
Sedangkan upaya-upaya terkait perubahan iklim yang
dilakukan di tingkat kota antara lain adalah dengan
sinkronisasi kebijakan, yaitu integrasi Rencana Aksi Daerah
Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD GRK)-Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)-Kebijakan
dan Strategi Perkotaan Daerah (KSPD).
Upaya yang ke dua adalah pelaksanaan kebijakan dan
pembiayaan dengan cara pengendalian urban sprawl dan
pemanfaatan ruang (termasuk keterpaduan guna lahan dan
transportasi), penggunaan energi alternatif, pengembangan
sistem transportasi massal, serta penerapan konsep
bangunan hijau (green building) dengan material dan desain
ramah lingkungan, juga penerapan insentif-disinsentif
penghematan pengunaan energi. Sementara upaya yang ke
tiga melalui data dan informasi yang bertujuan meningkatan
kesadaran penduduk kota terhadap perubahan iklim dan
menyusun database terkait perubahan iklim.
Referensi:
- Proyeksi Penduduk Indonesia 2005-2025, BPS 2008
- www.wwf.or.id; www.iklimkarbon.com
- Status Lingkungan Hidup Indonesia 2009, Global Report on Human Settlement
2011 (UN-HABITAT)
- Cities, Climate Change, and Multilevel Governance (OECD, 2009) , Indonesia
and Climate Change (World Bank, 2007)

Ruangdalam
Terbuka
Hijau
Kota yang Sehat
Oleh: Chris. D. Prasetijaningsih1) dan Mufty Riyan2)

Pembangunan kota hijau bukan semata bertujuan


menghijaukan sebuah kota. Di balik itu, ada agenda yang lebih
kompleks, yaitu menyangkut warga kota yang lebih sehat.

APAKAH ARTI KOTA SEHAT? Apakah kota seperti makhluk


hidup yang bisa dideteksi kesehatannya? Bagaimana
terminologi kota sehat muncul dari para ahli kesehatan
dan perencana kota? Kerusakan lingkungan tidak hanya
meningkatkan kematian akibat dari penyakit-penyakit yang
ditimbulkan, Aktivitas yang terjadi di kawasan-kawasan
pariwisata seringkali menjadi suatu cikal bakal timbulnya
penyakit baru karena penduduk dari luar daerah maupun luar
negeri membawa penyakit yang tidak terdeteksi atau terasa
sebelumnya, dan dalam interaksi sekumpulan orang secara
bersama-sama. Pentingnya kondisi kota yang sehat selain
untuk mengurangi peningkatan jumlah penduduk sakit
yang berakibat berkurangnya produktivitas, tetapi juga untuk
mengurangi terbuangnya devisa negara akibat mengimpor
obat-obatan dari luar negeri.
Tentu saja, definisi kota yang sehat tidak harus atau hanya
dikriteriakan terhadap fisik kota, tetapi justru terhadap orangorang atau makhluk yang hidup di dalamnya. Seringkali ahli
infrastruktruktur mengembangkannya kepada kebutuhan
akan fisik yang memungkinkan manusia hidup sehat. Pada
kenyataannya itu tidak cukup, karena ada relasi antara orang
dan alam yang mempengaruhi kesehatan seseorang, serta
orang dan orang yang mencerminkan derajat kesehatan
seseorang. Banyaknya kasus bunuh diri, seperti terjun dari
bangunan bertingkat di perkotaan, meminum obat nyamuk
di pedesaan, membunuh karena tersinggung, dll., semuanya
seringkali bermula dari kondisi lingkungan yang kurang
mendukung.
Jiwa dan tubuh yang sehat membutuhkan ruang yang sehat.
Di sinilah peran ruang terbuka hijau kota yang memadukan

unsur manusia dengan lingkungannya (alam) menjadi


penting dalam membentuk kota sehat. Lalu, bagaimanakah
mendefinisikan kota sehat yang lebih memadai dikaitkan
dengan penerapan penyediaan Ruang Terbuka Hijau sebesar
20 persen di area publik dan 10 persen di lahan privat seperti
yang digariskan dalam UU Tata Ruang No. 26 tahun 2007?

RUANG TERBUKA HIJAU DALAM KOTA SEHAT


KOTA SEHAT
Pendekatan Kota Sehat pertama kali dikembangkan di Eropa
oleh WHO pada tahun 1980-an sebagai strategi menyongsong
Ottawa-Charter. Ditekankan bahwa kesehatan dapat dicapai
dan berkelanjutan apabila sernua aspek, yaitu sosial, ekonomi,
lingkungan dan budaya diperhatikan. Penekanan tidak cukup
pada pelayanan kesehatan, tetapi kepada seluruh aspek yang
mempengaruhi kesehatan masyarakat, baik jasmani maupun
rohani.
Tahun 1996, WHO menetapkan tema Hari Kesehatan Sedunia
Healthy Cities for Better Life. Di Indonesia, Pilot Proyek Kota
Sehat pertama kali diluncurkan di 6 kota, yaitu Kabupaten
Cianjur, Kota Balikpapan, Bandar Lampung, Pekalongan,
Malang, dan Jakarta Timur, yang dicanangkan oleh Menteri
Dalam Negeri pada tanggal 26 Oktober 1998 di Jakarta.
Kemudian diikuti dengan pengembangan Kabupaten/Kota
Sehat khususnya di bidang pariwisata di delapan kota, yaitu
Kawasan Anyer di Kabupaten Serang, Kawasan Batu Raden
di Kabupaten Banyumas, Kotagede di Kota Yogyakarta,
Kawasan Wisata Brastagi di Kabupaten Karo, Kawasan Pantai
Senggigi di Kabupaten Lombok Barat, Kawasan Pantai dan
Januari - Februari 2012 | buletin tata ruang

19

topik utama
laut Bunaken di Kota Manado, Kabupaten Tana Toraja, dan
Kawasan Nongsa dan Marina di Kota Batam (Kementerian
Kesehatan dan Kementerian Dalam Negeri, Pedoman
Penyelenggaraan Kabupaten/Kota Sehat, 2005).
Pada tahun berikutnya, 1 Maret 1999, konsep pembangunan
berwawasan kesehatan dicanangkan oleh Presiden BJ
Habibie. Pembangunan berwawasan kesehatan berarti setiap
pembangunan yang dilakukan perlu mempertimbangkan
aspek dan dampak kesehatan. Upaya meningkatkan
kesehatan merupakan tanggung jawab semua sektor,
masyarakat dan swasta. Pengertian Kabupaten/Kota Sehat
adalah suatu kondisi kabupaten/kota yang bersih, nyaman,
aman, dan sehat untuk dihuni penduduk, yang dicapai melalui
terselenggaranya penerapan beberapa tatanan dengan
kegiatan yang terintegrasi yang disepakati masyarakat dan
pemerintah daerah.
Pada tahun 1999, upaya mewujudkan Kota Sehat, meliputi
tiga aspek, yaitu:
1. Pembuatan, penggunaan dan pemeliharaan sumber air
bersih (sumur gali, sumur pompa, atau air pipa), jamban atau
WC, tempat sampah dan lubang pembuangan sampah, dan
tempat pembuangan air bekas dari dapur dan kamar mandi;
2. Pemeliharaan kebersihan di dalam rumah, di pekarangan,
serta makanan dan minuman (pemilihan bahan makanan,
pengolahan, penyiapan, penyajian, dan penyimpanan);
3. Penggunaan dan penyimpanan pestisida secara benar
(seperti racun nyamuk dan racun hama agar tidak meracuni
manusia, hewan peliharaan atau lingkungan).
Selanjutnya peringkat kota sehat bisa ditetapkan
berdasarkan nilai Indeks Pembangunan Kesehatan
Masyarakat (IPKM). Terdapat 24 indikator yang masuk dalam
IPKM. IPKM adalah indikator komposit yang menggambarkan
kemajuan pembangunan kesehatan yang dirumuskan dari
data kesehatan berbasis komunitas yaitu Riskesdas (riset
kesehatan dasar), PSE (pendataan sosial ekonomi) dan survei
podes (potensi desa) (Triono Soendoro, 2011; http://health.
detik.com/read/2011/04/21/134659/1622759/763/
daftar-kota-paling-sehat-dan-kurang-sehat;
Peraturan
Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kesehatan No.
34 tahun 2005)

Pembangunan berwawasan
kesehatan berarti setiap
pembangunan yang dilakukan
perlu mempertimbangkan
aspek dan dampak kesehatan
yang merupakan tanggung
jawab semua sektor,
masyarakat dan swasta.
RUANG TERBUKA HIJAU
Kondisi fisik dari suatu lingkungan perkotaan terbentuk dari
tiga unsur (dinamis) dasar yaitu pepohonan dan organisme di
dalamnya, struktur (kondisi sosial), dan manusia (Grey, 1996).
Gunadi (1995) menjelaskan istilah Ruang Terbuka (open
space), yakni daerah atau tempat terbuka di lingkungan
perkotaan. Ruang Terbuka berbeda dengan istilah ruang
luar (exterior space), yang ada di sekitar bangunan dan
merupakan kebalikan ruang dalam (interior space) di dalam
bangunan. Definisi ruang luar, adalah ruang terbuka yang
sengaja dirancang secara khusus untuk kegiatan tertentu, dan
digunakan secara intensif, seperti halaman sekolah, lapangan
olahraga, termasuk plaza (piazza) atau square. Sedangkan
zona hijau bisa berbentuk jalur (path), seperti jalur hijau
jalan, tepian air waduk atau danau dan bantaran sungai,
bantaran rel kereta api, saluran/jejaring listrik tegangan
tinggi, dan simpul kota (nodes), berupa ruang taman rumah,
taman lingkungan, taman kota, taman pemakaman, taman
pertanian kota, dan seterusnya. Zona hijau inilah yang
kemudian kita sebut Ruang Terbuka Hijau (RTH).
Dalam pendefinisian selanjutnya, RTH adalah bagian dari
ruang terbuka yang merupakan salah satu bagian dari
ruang-ruang di suatu kota yang biasa menjadi ruang bagi
kehidupan manusia dan mahkluk lainnya untuk hidup dan
berkembang secara berkelanjutan. Ruang terbuka dapat
dipahami sebagai ruang atau lahan yang belum dibangun
atau sebagian besar belum dibangun di wilayah perkotaan
yang mempunyai nilai untuk keperluan taman dan rekreasi;
konservasi lahan dan sumber daya alam lainnya; atau
keperluan sejarah dan keindahan (Green, 1959).
Ruang terbuka hijau merupakan salah satu bentuk dari
kepentingan umum. Penting untuk disediakan di dalam suatu
kawasan karena dapat memberikan dampak positif berupa
peningkatan kualitas lingkungan sekitarnya dan menjadi
pertimbangan penting dalam menentukan tata guna lahan di
suatu kota (Keeble, 1959). Pendefinisian menurut Permendagri
No.1 tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau
Kawasan Perkotaan, RTH kawasan perkotaan merupakan
bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang
diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna mendukung manfaat
ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika.

20

buletin tata ruang | Januari - Februari 2012

RTH memiliki tiga fungsi dasar, yaitu secara sosial, fisik, dan
estetik (Adams, 1952). Secara sosial, RTH merupakan fasilitas
untuk umum dengan fungsi rekreasi, pendidikan, dan olah
raga. Ruang terbuka hijau kota dapat menjadi tempat untuk
menjalin komunikasi antar masyarakat kota. Sedangkan secara
fisik, RTH berfungsi sebagai paru-paru kota, melindungi sistem
tata air, peredam bunyi, pemenuhan kebutuhan visual, dan
menahan perkembangan lahan terbangun (sebagai penyangga).
Pepohonan dan vegetasi yang ada di ruang terbuka hijau dapat
menghasilkan udara segar dan menyaring debu serta mengatur
sirkulasi udara sehingga dapat melindungi warga kota dari
gangguan polusi udara. Lalu secara estetik, RTH kota berfungsi
sebagai pengikat antar elemen gedung, sebagai pemberi ciri
dalam membentuk wajah kota, dan juga sebagai salah satu unsur
dalam penataan arsitektur perkotaan.

Berdasarkan definsi dan fungsinya, peran


RTH sangat esensial dalam membangun
suatu kota sehat. Keberadaan suatu RTH
sebagai ruang terbuka yang bebas dan
dilengkapi dengan elemen-elemen hijau
seperti pepohonan dapat meningkatkan
kesehatan warga kota, baik secara jasmani
(fisik) maupun rohani (jiwa). Ini mengapa
sebagian dari 24 indikator (IPKM), yang
telah disinggung di atas, berkaitan dengan
RTH, dilihat dari manfaat dan fungsi RTH.

INDIKATOR
Indikator kota sehat yang terkait dengan penyediaan RTH
adalah prevalensi pneumonia, prevalensi asma dan prevalensi
ISPA (Infeksi saluran pernapasan akut). RTH harus 30% dari
luas wilayah kota. Bagian-bagian RTH (Ditjen Penataan Ruang,
2008) selalu mengandung tiga unsur dengan fungsi pokok
RTH, yaitu yang pertama fisik-ekologis, termasuk perkayaan
jenis dan plasma nutfahnya, yang ke dua, ekonomis, yaitu
nilai produktif/finansial dan penyeimbang untuk kesehatan
lingkungan, dan yang ke tiga adalah sosial-budaya, termasuk
pendidikan, dan nilai budaya dan psikologisnya.

Dengan berbagai jenis tanaman pengisinya, RTH mempunyai


multifungsi yaitu penghasil oksigen, bahan baku pangan,
sandang, papan, bahan baku industri, pengatur iklim mikro,
penyerap polusi udara, air dan tanah, jalur pergerakan
satwa, penciri (maskot) daerah, pengontrol
suara, dan pandangan. Pencemaran udara
RTH berfungsi sebagai yang sering menyebabkan penurunan
paru-paru kota,
kesehatan manusia adalah partikel yang
melindungi sistem tata sangat kecil (PM10 diameter aerodinamik
sebesar 10 mikrometer) yang akan
air, peredam bunyi,
pemenuhan kebutuhan menyebabkan penyakit pernafasan, asma,
dan kardiovaskular.

visual, dan menahan


perkembangan lahan
terbangun.

Penyediaan RTH di suatu kota tidak hanya selalu dari


pemerintah, seperti penyediaan taman kota, jalur hijau, dan
lainnya. Namun, penyediaan RTH juga dapat ditingkatkan
dengan meningkatkan kesadaran penghuni kota akan
pentingnya RTH. Berbagai jenis RTH dapat dilakukan di lahan
privat milik masyarakat atau swasta. Membangun kesadaran
masyarakat akan pentingnya peran RTH inilah yang juga
penting dalam membangun kota sehat.
Sosialisasi mengenai penyediaan dan pemanfaatan RTH di
tingkat masyarakat perlu dilakukan. Selain itu, pembentukan
dan pelestarian komunitas hijau juga penting dalam rangka
membangun gaya hidup sehat di masyarakat. Dukungan
dari pemerintah dapat dilakukan melalui penyelenggaraan
kegiatan sosial dan kebijakan lokal yang mendorong, di
antaranya adalah adanya insentif bagi masyarakat/swasta
yang menyediakan RTH di halaman/lahan miliknya sendiri.

Kemenpera dalam lokakarya Standard


Pelayanan Minimum bidang perumahan
dan permukiman (Heripoerwanto, 2009)
menyatakan, untuk mewujudkan lingkungan yang sehat dan
aman, sustainable human settlement perlu memperhatikan
empat hal, yaitu menghemat input sumberdaya (tanah,
air, energi, bahan bangunan); meminimasi limbah (padat,
cair, polusi udara, suara, panas, GRK); menjamin keadilan
(antargenerasi, antarwilayah, sosial); dan menjamin
pengambilan keputusan yang baik (pendelegasian dan
partisipasi).
Bila kita cermati, dewasa ini isu strategis yang terkait dengan
pembangunan kota adalah semakin meningkatnya penduduk
yang bermukim di kota. Pada 2010, penduduk perkotaan di
Indonesia mencapai 54%. Diperkirakan pada 2025, penduduk
Indonesia yang bermukim di perkotaan mencapai 68%.
Kota hijau atau green city adalah konsep perkotaan, dimana
masalah lingkungan hidup, ekonomi, dan sosial budaya
Januari - Februari 2012 | buletin tata ruang

21

topik utama
(kearifan lokal) harus seimbang demi generasi mendatang
yang lebih baik. Kota hijau berkorelasi dengan faktor
urbanisasi yang menyebabkan pertumbuhan kota-kota besar
menjadi tidak terkendali bila tidak ditata dengan baik.
Adapun kriteria kota hijau setidaknya memiliki delapan
atribut, yaitu perencanaan dan perancangan kota ramah
lingkungan, ruang terbuka hijau, konsumsi energi yang efisien,
pengelolaan air, pengelolaan limbah, memiliki bangunan
hemat energi, punya sistem transportasi berkelanjutan, dan
pelibatan aktif masyarakat sebagai komunitas hijau (Marhum,
2011). Maka, kota hijau dengan penyediaan RTH akan
menjadikan kota yang lebih baik yaitu kota sehat.

Kota hijau berkorelasi


dengan faktor urbanisasi
yang menyebabkan
pertumbuhan kota-kota
besar menjadi tidak
terkendali bila tidak ditata
dengan baik.

PERENCANAAN RUANG TERBUKA HIJAU


Berdasarkan Permendagri No.1 tahun 2007, perencanaan pembangunan dan
pemanfaatan RTH kawasan perkotaan melibatkan para pelaku pembangunan.
RTHKP publik tidak dapat dialihfungsikan, dan pemanfaatannya dapat
dikerjasamakan dengan pihak ke tiga ataupun antar pemerintah daerah.
Sedangkan RTH privat dikelola oleh perseorangan atau lembaga/badan hukum
sesuai dengan peraturan perundangan-undangan.
Pengendalian RTHKP dilakukan melalui perizinan, pemantauan, pelaporan
dan penertiban. Penataan RTHKP melibatkan peranserta masyarakat, swasta,
lembaga/badan hukum dan/atau perseorangan. Peranserta masyarakat dimulai
dari pembangunan visi dan misi, perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian,
dapat dilakukan dalam proses pengambilan keputusan mengenai penataan
RTHKP, kerjasama dalam pengelolaan, kontribusi dalam pemikiran, pembiayaan
maupun tenaga fisik untuk pelaksanaan pekerjaan.
Dalam rangka mendorong kabupaten/kota berlomba-lomba memperbaiki
lingkungannya, ada beberapa lomba/award yang dilakukan pemerintah dan
dimotori oleh instansi-instansi pemerintah. Lomba ini ada yang menunjukkan
kualitas daerah (kabupaten/kota) secara keseluruhan, tapi ada juga yang khusus pada
aspek-aspek tertentu saja dan yang dilakukan pemerintah, seperti Adipura (aspek
lingkungan), Inovasi Manajemen Award (aspek partisipasi dan inovasi penanganan),
dan Adi Puritama (aspek permukiman, pengembang). Lomba ini juga merupakan
suatu alat untuk memantau suatu daerah di dalam pelaksanaan program yang ada,
lalu pemenangnya dapat menjadi contoh bagi daerah-daerah lain.

Dalam rangka mendorong


kabupaten/kota berlombalomba memperbaiki
lingkungannya, ada beberapa
lomba/award yang
dilakukan oleh pemerintah
dan dimotori oleh
nstansi-instansi pemerintah.

22

Kota Surabaya sebagai salah satu pemenang Indonesia Green Region Award
(IGRA) 2011 (igraaward.com) dapat dijadikan contoh bagaimana lingkungan yang
hijau dibentuk melalui kegiatan atau program berbasis komunitas/masyarakat.
Selain meningkatkan sendiri luas RTH-nya melalui pembangunan/revitalisasi
taman-taman kota, Pemerintah Kota Surabaya juga sadar bahwa peningkatan
kualitas lingkungan akan lebih mudah apabila melibatkan peranserta masyarakat.
Program-program seperti Urban Farming, Surabaya Green and Clean, Surabaya
Berwarna Bunga, dan meningkatkan kembali implementasi 3R (Reuse, Reduce,
Recycle) dalam pengelolaan sampah, dilakukan dalam rangka membentuk kota
hijau yang sehat.
Program-program ini telah meningkatkan RTH yang di bawah 10% menjadi
20,25% (Forum Diskusi Nasional Perkotaan, Bappenas 2011). Walikota Surabaya

buletin tata ruang | Januari - Februari 2012

dalam presentasinya mengenai Kota Yang Berkelanjutan dan Berketahanan Iklim


di Bappenas pada November 2011 yang lalu, menunjukkan adanya penurunan
penderita penyakit seperti infeksi saluran pernafasan setelah dilakukan programprogram terkait pemeliharaan ruang terbuka hijau, peningkatan kualitas
lingkungan dengan perbaikan sanitasi, pengelolaan persampahan dan perbaikan
kampung kumuh. Kota Denpasar yang juga memperoleh IGRA Award urutan ke
tiga dan Kota Sehat ke dua pada tahun 2011, memiliki RTH 24% dari luas kota.
Tabel. Kota Sehat dan IGRA Award tahun 2011
No.

No.

Igra Award **)

Makasar

Kota Sehat *)

Surabaya

Denpasar

Yogyakarta

Padang

Denpasar

Menado

Palangkaraya

Balikpapan

Banda Aceh

Solok

Cimahi

Sukabumi

Kota sehat memerlukan


inisiatif dari pemerintah
kota untuk melakukan
kebijakan dan program
pembangunan kota
yang bertujuan untuk
meningkatkan kondisi
lingkungan dan kesehatan
masyarakat.

Sumber:
*) metro.kompasiana.com
**) igraaward.com

Dengan demikian bisa kita simpulkan bila ruang terbuka hijau, sebagai bagian dari
ruang publik, harus berkualitas karena menjadi tempat berkumpul dan berinteraksi
masyarakat, juga menjadi media untuk mengurangi berbagai macam polusi akibat
aktivitas manusia. Ruang terbuka hijau menjadi salah satu elemen penting menuju
Kota Sehat yang dapat mencegah terjadinya penurunan kualitas udara maupun
meningkatnya emisi dari angkutan/mobil, industri, dan lain-lain, serta menjadi
sarana hiburan dan tempat bersantai yang akan meningkatkan kualitas kehidupan
masyarakatnya.
Krisis RTH sebenarnya berkaitan dengan perencanaan yang tidak memadai, yang
diakibatkan pergulatan antara kepentingan ekonomi versus kepentingan publik,
serta kemampuan mengelola dan melaksanakan rencana yang ada. Perwujudan
Kota Sehat memerlukan inisiatif dari pemerintah kota untuk melakukan kebijakan
dan program pembangunan kota yang bertujuan untuk meningkatkan kondisi
lingkungan dan kesehatan masyarakat. Selain meningkatkan kembali proporsi
RTH di kawasan perkotaan, perwujudan kota sehat juga dapat dilakukan dari
pendekatan di dalam lingkungan masyarakat kota dalam rangka mengembalikan
kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan.
Kota sebagai tempat tinggal, harus menjadi ruang yang mampu menyediakan
pelayanan yang dibutuhkan oleh masyarakatnya agar layak huni dan nyaman (people
centered). Kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan dapat terwujud melalui
program-program berbasis komunitas (community-based program). Dalam hal ini,
tata ruang harus memastikan terpenuhinya kebutuhan ruang masyarakat, terutama
tersedianya ruang publik berupa Ruang Terbuka Hijau. Penelitian terus menerus
terkait kebutuhan dan kualitas Ruang Terbuka Hijau juga perlu dilakukan untuk
meningkatkan kualitas Rencana Tata Ruang yang sesuai dengan kebutuhan akan
peningkatan kualitas kehidupan masyarakatnya. Karena pada akhirnya keberlanjutan
sebuah kota tidak lagi dilihat dari program atau pembangunan fisiknya, melainkan
tercermin dari kesehatan manusia-manusia di dalamnya.
Referensi:
1) Widyaiswara Madya Penataan Ruang, Pusat Pembinaan, Pendidikan dan Pelatihan Perencana Bappenas;
chris.dwi3@yahoo.com
2) Sarjana lulusan Perencana Wilayah dan Kota, ITB; riyanmufty@gmail.com

Januari - Februari 2012 | buletin tata ruang

23

topik utama

Potensi Tiga Kawasan:

Memahami RTR Kawasan


Strategis Nasional Perkotaan

Kawasan Strategis
Nasional bukan hanya
Jabodetabekpunjur.
Mamminasata,
Mebidangro dan
Sarbagita punya
potensi yang tak kalah
pentingnya secara
nasional.

KAWASAN STRATEGIS NASIONAL (KSN) ialah wilayah yang penataan ruangnya


diprioritaskan. Hal ini karena secara nasional KSN berpengaruh sangat penting
terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial,
budaya, dan/atau lingkungan, termasuk wilayah di dalamnya yang ditetapkan
sebagai warisan dunia. Di dalam PP No. 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional (RTRWN), ditetapkan 76 KSN yang memiliki kepentingan ekonomi,
lingkungan hidup, sosial budaya, pendayagunaan sumber daya alam dan teknologi
tinggi, serta pertahanan dan keamanan.
Hingga saat ini, telah ditetapkan 4 (empat) Perpres RTR KSN Perkotaan yaitu RTR
Jabodetabekpunjur (Perpres 54/2008), Sarbagita (Perpres 45/2011), Mamminasata
(Perpres 55/2011) dan Mebidangro (Perpres 62/2011).
Masing-masing KSN tersebut memiliki karakteristik dan tantangan yang berbedabeda. Dengan demikian kebijakan dan program yang spesifik diperlukan agar
tujuan RTR KSN tersebut berhasil. Namun di antara empat KSN tersebut, hanya
Jabodetabekpunjur yang sudah sering diulas. Artikel ini akan membahas
permasalahan ketiga KSN lainnya, yaitu Mamminasata, Mebidangro, dan Sarbagita.
Bagaimana RTR kawasan Perkotaan tersebut ditetapkan, apa visi KSN tersebut,
tujuan RTR KSN, isu-isu, dan strategi untuk mencapai tujuan.

I. RENCANA TATA RUANG KAWASAN PERKOTAAN MAMMINASATA (Perpres No. 55 Tahun 2011)
VISI KAWASAN PERKOTAAN MAMMINASATA
Kawasan Perkotaan Mamminasata yang meliputi Kota
Makassar, Kabupaten Maros, Gowa dan Takalar dibentuk
berdasarkan SK Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan Tahun
2003 dengan luas wilayah 246.230 ha. Kawasan Perkotaan
Mamminasata merupakan kawasan pengembangan yang
terbentuk akibat pengembangan Kota Makassar yang
begitu pesat dan menyebabkan terjadinya aglomerasi
antara tiga kota utama lainnya. Secara umum, Kota Makassar
mendominasi semua kegiatan perkotaan di Kawasan
Perkotaan Mamminasata. Maka, Kota Makassar, yang saat ini
juga berkembang sebagai pintu gerbang bagi pembangunan
Indonesia di Kawasan Timur, adalah representasi dari Kawasan
Perkotaan Mamminasata.
Di dalam sistem perkotaan nasional, Makassar sebagai kota
utama dalam lingkup Kawasan Perkotaan Mamminasata
24

buletin tata ruang | Januari - Februari 2012

berperan sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN). Hal ini berarti


cakupan pelayanan Makassar menjangkau wilayah nasional
dan berfungsi sebagai pusat pelayanan produksi, distribusi
dan jasa, serta berfungsi sebagai simpul transportasi untuk
melayani wilayah nasional atau beberapa propinsi.
Namun bersamaan dengan pesatnya perkembangan Kota
Makassar, tumbuh pula berbagai pesoalan pada Kawasan
Perkotaan Mamminasata kepada, antara lain lingkungan,
transportasi, kelangkaan sarana dan prasarana permukiman,
sosial dan ekonomi. Persoalan tersebut saling berkaitan erat
dan tidak terbatas oleh batas administrasi, jadi tidak bisa
dilihat sebagai persoalan individu kota, melainkan sistem
perkotaan yang terpadu.
Dalam Pengembangan Kawasan Metropolitan Mamminasata
terdapat empat isu strategis yang menjadi perhatian utama,

yaitu pengembangan ekonomi (investasi) dan keseimbangan


antar wilayah, pengembangan Kawasan Metropolitan
Mamminasata dalam kerangka pengembangan Pulau
Sulawesi, keterkaitan Kawasan Perkotaan Mamminasata
dengan kawasan produksi di Sulsel dan Sulbar, dan
penyelesaian persoalan internal perkotaan di Kawasan
Perkotaan Mamminasata.
Semua isu tersebut dipandang strategis karena menentukan
tercapainya visi Kawasan Perkotaan Mamminasata yaitu
terwujudnya Kawasan Perkotaan Mamminasata dengan
program perkotaan yang hijau, nyaman, indah dan sehat
yang juga mampu mendatangkan investor serta dapat
disejajarkan dengan kota metropolitan di dunia sebagai
kawasan metropolitan terkemuka dan terdepan di Kawasan
Timur Indonesia yang berwawasan internasional dan
bersendikan kearifan lokal. Penataan Ruang Kawasan
Perkotaan Mamminasata yang tertuang dalam Perpres No. 55
tahun 2011 harus mendukung terwujudnya visi ini.
Untuk itu, Penataan Ruang Kawasan Perkotaan Mamminasata
diselenggarakan untuk menuju tujuannya. Tujuan
yang pertama adalah mewujudkan Kawasan Perkotaan
Mamminasata sebagai salah satu pusat pertumbuhan wilayah
dan/atau pusat orientasi pelayanan berskala internasional
serta penggerak utama di Kawasan Timur Indonesia; ke
dua, menciptakan keterpaduan penyelenggaraan penataan
ruang antara wilayah nasional, wilayah provinsi, dan wilayah
kabupaten/kota di Kawasan Perkotaan Mamminasata, ke
tiga, membangun sistem perkotaan Kawasan Perkotaan
Mamminasata yang berhierarki, terstruktur, dan seimbang
sesuai dengan fungsi dan tingkat pelayanannya, ke empat,
menjaga keseimbangan fungsi lindung dan fungsi budi daya
pada Kawasan Perkotaan Mamminasata sesuai dengan daya
dukung dan daya tampung lingkungan, dan yang terakhir
adalah mewujudkan pertahanan dan keamanan negara
yang dinamis serta integrasi nasional di Kawasan Perkotaan
Mamminasata.
Hal-hal tersebut di atas kemudian diuraikan di dalam
Penataan Ruang Kawasan Perkotaan Mamminasata dengan

kebijakan-kebijakan lebih detail, yang meliputi:


1. Pengembangan ekonomi, sosial, budaya, pertahanan
dan keamanan negara, serta pelestarian lingkungan hidup
sebagai satu kesatuan,
2. Pengembangan Kawasan Perkotaan Mamminasata
sebagai pusat orientasi pelayanan berskala internasional
dan penggerak utama bagi Kawasan Timur Indonesia,
3. Pengembangan Kawasan Perkotaan Mamminasata sebagai
pusat pertumbuhan dan sentra pengolahan hasil produksi
bagi pembangunan kawasan perkotaan inti dan kawasan
perkotaan di sekitarnya, dan
4. Peningkatan aksesibilitas antarwilayah dan pemerataan
jangkauan pelayanan
Untuk menyukseskan kebijakan-kebijakan di atas, diperlukan
strategi-strategi. Dalam pengembangan ekonomi, sosial,
budaya, pertahanan dan keamanan negara, serta pelestarian
lingkungan hidup sebagai satu kesatuan, dilakukan strategistrategi sebagai berikut:
- Meningkatkan pelestarian situs warisan budaya lokal yang
beragam;
- Mengembangkan pusat pertumbuhan berbasis potensi
sumber daya alam dan kegiatan budi daya unggulan
sebagai penggerak utama di Kawasan Timur Indonesia;
- Mengelola pemanfaatan sumber daya alam sesuai daya
dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
- Mengembangkan kegiatan budi daya secara selektif di
dalam dan di sekitar kawasan pertahanan dan keamanan
negara;
- Mengembangkan zona penyangga yang memisahkan
antara kawasan untuk pertahanan dan keamanan negara
dengan kawasan budidaya terbangun di sekitarnya;
- Mengembangkan kegiatan budidaya tidak terbangun
yang berfungsi sebagai zona penyangga yang memisahkan
kawasan lindung dengan kawasan budidaya terbangun;
- Merehabilitasi dan merevitalisasi kawasan lindung yang
mengalami kerusakan fungsi lindung;
- Mengendalikan pengembangan Kawasan Perkotaan
Mamminasata, khususnya di kawasan pantai dan daerah
irigasi teknis.
Januari - Februari 2012 | buletin tata ruang

25

topik utama
Kemudian dalam pengembangan Kawasan Perkotaan
Mamminasata sebagai pusat orientasi pelayanan berskala
internasional dan penggerak utama bagi Kawasan Timur
Indonesia ada tiga strategi yang dilakukan, yaitu:
1. Mendorong kawasan perkotaan inti dan pusat-pusat
pertumbuhan agar berdaya saing dalam mendukung
pengembangan kawasan perkotaan di sekitarnya,
2. Mengembangkan pusat pertumbuhan baru di kawasan
yang memiliki nilai ekonomi, sosial, budaya, serta yang
belum terlayani oleh pusat pertumbuhan yang ada,
3. Mendorong terselenggaranya pembangunan Kawasan
Perkotaan Mamminasata secara terpadu melalui koordinasi
lintas sektor, lintas wilayah dan antar pemangku
kepentingan.
Sementara strategi pengembangan Kawasan Perkotaan
Mamminasata sebagai pusat pertumbuhan dan sentra
pengolahan hasil produksi bagi pembangunan kawasan
perkotaan inti dan kawasan perkotaan di sekitarnya adalah:
1. Mendorong pengembangan pusat perdagangan dan jasa,
pusat kegiatan pertanian, pusat kegiatan perikanan, dan
pusat kegiatan pengolahan hasil produksi,
2. Mendorong pengembangan sentra-sentra kawasan
ekonomi baru dalam pengolahan hasil produksi, pertanian,
dan perikanan,
3. Mendorong pembangunan industri strategis kawasan
dengan pemanfaatan sumber daya pesisir dan kelautan,
4. Meningkatkan keterkaitan wilayah penghasil bahan baku
industri dengan kawasan peruntukan industri pengolahan
di Kawasan Perkotaan Mamminasata.

Selain itu, peningkatan aksesibilitas antarwilayah dan


pemerataan jangkauan pelayanan sistem jaringan prasarana
di Kawasan Perkotaan Mamminasata juga memiliki strategi,
antara lain:
- memantapkan aksesibilitas antarwilayah guna mendukung
pengembangan Koridor Ekonomi Sulawesi;
- meningkatkan kualitas dan jangkauan pelayanan sistem
jaringan transportasi perkotaan yang seimbang dan terpadu
untuk menjamin aksesibilitas yang tinggi antara kawasan
perkotaan inti dengan kawasan perkotaan di sekitarnya;
- mengembangkan jaringan jalan bebas hambatan,
manajemen dan rekayasa lalu lintas, serta penyediaan dan
sosialisasi sistem pelayanan angkutan umum massal yang
terpadu;
- mengembangkan keterpaduan sistem jaringan
transportasi darat, transportasi laut, dan transportasi udara,
untuk menjamin aksesibilitas yang tinggi antar-PKN dan
antarnegara;
- meningkatkan kualitas dan jangkauan pelayanan sistem
jaringan energi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat;
- meningkatkan kualitas dan jangkauan pelayanan
sistem jaringan telekomunikasi yang mencapai seluruh
pusat kegiatan dan permukiman di Kawasan Perkotaan
Mamminasata;
- meningkatkan konservasi sumber daya air, pendayagunaan
sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air dengan
berbasis pengelolaan wilayah sungai secara terpadu; dan
- meningkatkan kualitas dan jangkauan pelayanan air minum,
air limbah, drainase, dan persampahan secara terpadu
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di Kawasan
Perkotaan Mamminasata.

Tabel. Program Pembangunan Kawasan Perkotaan Mamminasata


No.

26

Program

Uraian

Jaringan Jalan Metropolitan


Mamminasata

Pembangunan jalan arteri termasuk Jalan Trans-Sulawesi, Hertasning,


Abdulah Daeng Sirua, dan Mamminasata Bypass

PengelolaanSampah TPA
Regional
Mamminasata

Pengelolaan Sampah Regional Mamminasata termasuk pabrik pemilahan, pengomposan, TPA (Pattalassang), alat berat, jalan akses, fasilitas
pendukung, stasiun transfer

Pasokan Air Bersih

Pasokan air bersih Mamminasata, utamanya Maros dan Takalar

Pengelolaan Limbah Cair

Instalasi Pengolahan Air Limbah di Kota Makassar (Pantai Losari)

Program Go Green

Promosi areal hijau dan taman dengan sasaran peningkatan areal hijau
seluas 25.000 ha

Kawasan Kota Baru

Pembangunan KotaBaru meliputi Gowa dan Maros (3.500 ha)

Drainase

Drainase kawasan Bandara dan kawasan rawan banjir di sebelah timur


Kota Makassar dan maros

Kawasan Industri

KIMA 2 Pembangunan kawasan Industri diMaros (566 ha)

UniversitasHassanudin (Kampus Baru)

Relokasi Fakultas Teknik UNHAS ke Bontomarannu Gowa (Kawasan Pendidikan Mamminasata)

10

Kawasan MaritimTakalar

Pengembangan Kawasan MaritimTakalar

11

Pembangunan Monorel

Pembangunan Monorel Kawasan Perkotaan Mamminasata

buletin tata ruang | Januari - Februari 2012

II. RENCANA TATA RUANG METROPOLITAN MEBIDANGRO (Perpres No.62 Tahun 2011)
Kebijakan Tata Ruang Nasional menempatkan Metropolitan
Mebidangro sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN) sekaligus
sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN) dengan fokus
pengembangan kegiatan ekonomi. Metropolitan Mebidangro
berada di Wilayah Sumatera Bagian Utara yang memiliki
kedudukan strategis terhadap pengembangan Segitiga
Ekonomi Regional Indonesia - Thailand - Singapura (IMT-GT).
Posisinya yang strategis ini menjadi perhatian penting dalam
pengembangan Metropolitan Mebidangro ke depan.

Penguatan kelembagaan
berorientasi pada sinergi program
pembangunan, kepastian hukum
dan perpendekan proses birokrasi
sehingga mampu meningkatkan
gairah investasi di wilayah
Metropolitan Mebidangro.

Medan-Binjai-Deli Serdang & Karo sendiri memiliki visi yang


jauh ke depan (visi 2027) yaitu kota yang nyaman dihuni,
memiliki fasilitas kota yang terjangkau, mendorong gairah
berakitivitas sosial, ekonomi maupun kebudayaan, banyak
ruang publik yang mudah dicapai dengan bersepeda atau
jalan kaki dan transportasi umum yang andal.

Metropolitan Mebidangro didukung dengan keberadaan


Bandara Kualanamu (dalam proses pembangunan)
sebagai pengganti Bandara Polonia. Bandara Kualanamu
ditetapkan sebagai bandara internasional dengan hierarki
pusat pengumpul skala primer (KM 11 Tahun 2010,
Tatanan Kebandarudaraan Nasional). Bandara Kualanamu
direncanakan memiliki kapasitas pelayanan untuk
penerbangan pesawat tipe B.747-400, dengan rencana luas
wilayah bandara minimal 1.365 ha. Metropolitan Mebidangro
juga didukung keberadaan pelabuhan laut Belawan dengan
status pelabuhan internasional (PP No. 26 tahun 2008,
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional).

Selain itu, sebagai PKN dan KSN Ekonomi, Rencana


Pengembangan Metropolitan Mebidangro telah disiapkan
sampai tahun 2030. Tujuannya agar Mebidangro mampu
menjadi pusat pelayanan ekonomi skala nasional yang
mampu bersaing dengan pusat pelayanan ekonomi Regional
IMT-GT, di samping melayani penduduknya dengan prima.
Luas wilayah Metropolitan Mebidangro adalah 301.697 ha,
meliputi Kota Medan, Kota Binjai, Kabupaten Deli Serdang
dan sebagian Kabupaten Karo. Pada tahun 2009 total jumlah
penduduk metropolitan ini mencapai 4.2 juta Jiwa.
Dengan perkiraan pertumbuhan penduduk selama 20 tahun
terakhir sebesar 30,95%, diperkirakan jumlah penduduk
Metropolitan Mebidangro pada tahun 2029 akan mencapai
5.5 juta Jiwa. Dilihat dari daya dukung fisik dasarnya, sekitar
37,55% lahan Metropolitan Mebidangro, yaitu 113.280
ha, potensial dikembangkan untuk kegiatan perkotaan.
Diperkirakan daya tampung kawasan Metropolitan
Mebidangro mencapai 6,8 juta jiwa.

Dalam melaksanakan pengelolan Kawasan Metropolitan,


penguatan kelembagaan eksisting melalui pola kerjasama
daerah menjadi perhatian penting terkait implementasi
pengembangan
Metropolitan
Mebidangro
2030.
Penguatan kelembagaan berorientasi pada sinergi program
pembangunan, kepastian hukum dan perpendekan proses
birokrasi sehingga mampu meningkatkan gairah investasi di
wilayah Metropolitan Mebidangro.
Kebijakan dalam Penataan Ruang Kawasan Perkotaan
Mebidangro meliputi:
1. Pengembangan dan pemantapan fungsi Kawasan
Perkotaan Mebidangro sebagai pusat perekonomian
nasional yang produktif dan efisien serta mampu bersaing
secara internasional terutama dalam kerja sama ekonomi
subregional Segitiga Pertumbuhan Indonesia-MalaysiaThailand;
2. Peningkatan akses pelayanan pusat-pusat kegiatan
perkotaan Mebidangro sebagai pembentuk struktur ruang
perkotaan dan penggerak utama pengembangan wilayah
Sumatera bagian utara;
3. Peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan jaringan
prasarana transportasi, energi, telekomunikasi, sumber
daya air, serta prasarana perkotaan Kawasan Perkotaan
Mebidangro yang merata dan terpadu secara internasional,
nasional, dan regional;
4. Peningkatan keterpaduan antarkegiatan budi daya serta
keseimbangan antara perkotaan dan perdesaan sesuai
dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan;
5. Peningkatan fungsi, kuantitas, dan kualitas RTH dan
kawasan lindung lainnya di Kawasan Perkotaan Mebidangro.
Januari - Februari 2012 | buletin tata ruang

27

topik utama
Untuk mendukung kebijakan tersebut, maka diambillah lima
langkah strategis pengembangan Kawasan Metropolitan
Mebidangro, yaitu pengembangan koridor ekonomi
internasional Belawan Kuala Namu, pembangunan pusatpusat pelayanan kota baru, revitalisasi pusat kota lama
Medan dan Kawasan Tembakau Deli, pembangunan dan
pemantapan Koridor Hijau Mebidangro, dan pengembangan
Akses Strategis Mebidangro.
Pengembangan Koridor Ekonomi Internasional BelawanKuala Namu dilakukan dengan menata pusat Kota Medan
menjadi pusat kegiatan perdagangan dan jasa, kawasan cagar
budaya, dan kegiatan pariwisata budaya dan buatan. Selain
itu, dilakukan pula penataan kawasan agropolitan tembakau
Deli yang berfungsi sebagai ruang terbuka hijau perkotaan,
wisata buatan, dan trade mark perkotaan Mebidangro.
Selanjutnya yang dimaksud dengan pembangunan pusatpusat pelayanan kota baru adalah membangun pusatpusat pelayanan kota baru yang berfungsi sekunder
dan menghubungkan mereka dengan sistem jaringan
transportasi massal yang dapat menampung serta melayani
sekitar 500.000 jiwa untuk masing-masing pusat pelayanan
sekunder. Di sisi lain, dilakukan pula pengembangan koridor
kegiatan primer berdasarkan skalanya.

pusat Kota Medan sebagai pusat kegiatan perdagangan dan


jasa, kawasan cagar budaya, dan kegiatan pariwisata budaya
dan buatan. Penataan kawasan agropolitan tembakau Deli
yang berfungsi sebagai ruang terbuka hijau perkotaan,
wisata buatan, dan trade mark perkotaan Mebidangro.
Pembangunan dan pemantapan Koridor Hijau Mebidangro
dimaksudkan untuk memantapkan kawasan hutan di kawasan
hulu dan hilir Mebidangro yang berfungsi sebagai resapan
air, perlindungan daerah di bawahnya, dan perlindungan
flora fauna. Selain itu dilakukan pula pembangunan
sempadan sungai yang membentang dari perbukitan Bukit
Barisan sampai Selat Malaka, sempadan waduk/danau, dan
sempadan pantai yang berhadapan dengan perairan Selat
Malaka sebagai ruang terbuka hijau.
Sedangkan, pengembangan akses strategis Mebidangro
berarti mengembangkan keterhubungan sistem jaringan
jalan arteri primer sebagai akses pergerakan pusat produksi
ke pusat distribusi dan koleksi. Termasuk pula di dalamnya
pembangunan sistem jaringan angkutan massal berbasis
jalan dan kereta api yang menghubungkan antar pusat
kegiatan sekunder, dan pembangunan keterpaduan simpul
sistem jaringan transportasi yang memadukan transportasi
darat, udara, dan laut di Pelabuhan Belawan, Bandara
Kualanamu dan Stasiun Medan.

Sementara itu revitalisasi pusat Kota lama Medan dan


Kawasan Tembakau Deli menitikberatkan pada penataan

III. RENCANA TATA RUANG KAWASAN PERKOTAAN METROPOLITAN SARBAGITA (Perpres No. 45 Tahun 2011)
Rencana

Tata Ruang Wilayah Nasional Menetapkan Kawasan
Perkotaan Denpasar-Badung-Gianyar-Tabanan (Sarbagita)
sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN) dan juga sebagai
Kawasan Strategis Nasional. Dalam kaitannya dengan
fungsi kawasan sebagai PKN, maka berdasarkan pasal 14
PP RTRWN, terkait dengan penetapan kriteria PKN, maka
kawasan berpotensi sebagai pintu gerbang internasional
kepariwisataan. Dengan demikian, simpul utama skala
transportasi nasional menjadi aspek yang mendukung
penetapan tersebut.
Terbentuknya wujud fisik Kawasan Perkotaan Sarbagita
disebabkan oleh adanya kegiatan perkotaan yang secara
fisik menyatu akibat kedekatan pusat-pusat perkotaan di
Denpasar, Gianyar dengan pusat perkotaan Gianyar dan
Ubud, Badung dengan kawasan Kuta dan Kota Semarapura
yang akan dikembangkan, juga Tabanan dengan pusat
perkotaan Kediri. Tampilan fisik dan aktivitas perkotaan
sangat menyatu, terutama pada jalan-jalan utama yang
menghubungkan pusat-pusat kegiatan tersebut. Hubungan
ini ditandai dengan makin maraknya perkembangan kegiatan
pemukiman, kegiatan perdagangan dan jasa, kegiatan
pariwisata dan penunjangnya, serta kegiatan penunjang
kegiatan perkotaan lainnya.
28

buletin tata ruang | Januari - Februari 2012

Kedekatan antar pusat kegiatan tersebut menyebabkan


kecenderungan pola penglaju (commuter) antara Kota Denpasar
dengan kawasan sekitarnya (Kuta, Nusa Dua, Tabanan, Gianyar,
Ubud). Oleh karena itu penataan Ruang Kawasan Perkotaan
Sarbagita membutuhkan koordinasi dalam pengembangan
secara keseluruhan, mulai dari konsep pengembangan, sampai
pada pengembangan sarana dan prasarana.
Tujuan Penataan Ruang Kawasan Perkotaan Sarbagita adalah
mewujudkan kawasan yang aman, nyaman, produktif, berdaya
saing, dan berkelanjutan, sebagai pusat kegiatan ekonomi
nasional berbasis kegiatan pariwisata bertaraf internasional,
yang berjati diri budaya Bali dan berlandaskan Tri Hita Karana.
Terdapat empat kebijakan utama dalam penataan ruang
Kawasan Perkotaan Sarbagita, yaitu: satu, Pengembangan
keterpaduan sistem pusat-pusat kegiatan yang mendukung
fungsi kawasan sebagai pusat kegiatan ekonomi nasional
berbasis kegiatan pariwisata yang bertaraf internasional;
dua, Peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan sistem
prasarana; tiga, Peningkatan fungsi dan perlindungan fasilitas
pertahanan dan keamanan Negara; empat, Pelestarian alam dan
sosial-budaya di Kawasan Perkotaan Sarbagita sebagai pusat
pariwisata bertaraf internasional yang berjati diri budaya Bali.

Indikasi Program Utama Tahunan


1

Jalan Bebas Hambatan


Benoa - Bandar Udara Ngurah Rai

Lokasi

Kecamatan Denpasar Selatan dan Kecamatan Kuta Selatan

Sumber Pendanaan

APBN, APBD Provinsi, dan APBD Kabupaten

Instansi Pelaksana

Kementerian Pekerjaan Umum, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah


Kabupaten

Waktu Pelaksanaan

2011 - 2014

Pelabuhan Internasional Benoa


Pengembangan, Peningkatan, dan Pemantapan Pelabuhan

Lokasi

Kecamatan Denpasar Selatan

Sumber Pendanaan

APBN dan Sumber lain yang sah

Instansi Pelaksana

Kementerian Perhubungan dan PT. Pelindo III

Waktu Pelaksanaan

2011 - 2014

Bandar Udara Internasional Ngurah Rai


Pengembangan, Peningkatan, Bandar Udara Internasional Ngurah Rai

Lokasi

Kecamatan Denpasar Selatan

Sumber Pendanaan

APBN dan Sumber lain yang sah

Instansi Pelaksana

Kementerian Perhubungan dan PT. Pelindo III

Waktu Pelaksanaan

2011 - 2014

Bandar Udara Internasional Ngurah Rai


Pengembangan, Peningkatan, dan Pemantapan Pembangkit Tenaga

Mengingat karakteristik budaya Bali yang yang sangat


kuat, maka ada hal-hal non-teknis yang perlu diperhatikan
dalam pengembangan kawasan ini. Karena itu, diperlukan
dibentuknya arahan peraturan zonasi, yang merupakan
ketentuan umum untuk mempertahankan dan melestarikan
kawasan berjati diri budaya Bali. Arahan peraturan zonasi ini
meliputi:
1. Penerapan konsep cathus patha, hulu teben, tri mandala,
sebagai dasar penetapan struktur ruang utama dan arah
orientasi ruang kota.
2. Perlindungan terhadap kawasan-kawasan yang telah
ditetapkan sebagai kawasan suci dan kawasan tempat suci.
3. Penerapan konsep karang bengang atau ruang terbuka
berupa lahan pertanian yang dikelola subak sebagai
penyangga.
4. Pengintegrasian dan harmonisasi pemanfaatan jalur-jalur
jalan utama kawasan perkotaan untuk kegiatan prosesi
ritual keagamaan dan budaya.
5. Penerapan ketentuan umum ketinggian bangunan
setinggi-tingginya 15 meter.
6. Penerapan wujud lansekap dan tata bangunan yang
bercirikan arsitektur tradisional Bali.

Listrik
lokasi

Kawasan Perkotaan Serbagita

Sumber Pendanaan

Sumber lain yang sah

Instansi Pelaksana

PT.PLN dan Swasta

Waktu Pelaksanaan

2011 - 2014

Arahan Perizinan

Arahan Insentif dan Disinsentif

Arahan Perizinan merupakan acuan dalam pemberian


izin pemanfaatan ruang.
Setiap pemanfaatan ruang harus mendapatkan izin pemanfaatan ruang dari pemerintah, pemerintah provinsi,
dan/atau pemerintah kabupaten atau kota sesuai
peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah
kabupaten/kota beserta rencana rinci dan peraturan
zonasinya yang didasarkan pada rencana tata ruang Kawasan Perkotaan Serbagita sebagaimana diatur dalam
Peraturan Presiden ini.
Setiap pemanfaatan ruang harus mendapatkan izin
sesuai dengan ketentuan masing-masing sektor/bidang
yang mengatur jenis kegiatan pemanfaatan ruang
yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan sektor/bidang terkait

Penataan Ruang Kawasan


Perkotaan Sarbagita
membutuhkan koordinasi
dalam pengembangan
secara keseluruhan,
mulai dari konsep
pengembangan, sampai
pada pengembangan
sarana dan prasarana.

Arahan Sanksi

Arahan insentif dan disinsentif merupakan acuan bagi


Pemerintah dan Pemerintah daerah sebagai upaya pengendalian pemanfaatan ruang dalam rangka mewujudkan rencana tata ruang Kawasan Perkotaan Serbagita.

Arahan sanksi diberikan dalam bentuk


sanksi administrasi dan/atau sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bidang penataan ruang.

Insentif dan disinsentif dapat diberikan oleh :



Pemerintah kepada Pemerintah daerah ;

Pemerintah Daerah kepada Pemerintah Daerah
Lainnya ; dan

Pemerintah dan/ atau Pemerintah Daerah kepada
Masyarakat.

Pengenaan sanksi diberikan terhadap


kegiatan pemanfaatan ruang yang
tidak sesuai peraturan daerah tentang
rencana tata ruang wilayah kabupaten/
kota beserta rencana rinci tata ruang
dan peraturan zonasinya yang didasarkan pada Rencana Tata Ruang Kawasan
Perkotaan Sarbagita.

Bentuk, nilai, dan tata cara pemberian insentif dan disinsentif ditetapkan berdasarkan keputusan bersama dalam
kerangka kerja sama antar daerah.

Terwujudnya rencana tata ruang Kawasan Perkotaan Sarbagita tentu saja tak luput
dari pengelolaan Kawasan Perkotaan Sarbagita itu sendiri. Pengelolaan Kawasan
Perkotaan Sarbagita dilaksanakan oleh Menteri, Gubernur, dan Bupati atau Walikota
sesuai dengan kewenangannya. Pengelolaan Kawasan Perkotaan Sarbagita oleh
Menteri dapat dilaksanakan oleh Gubernur melalui dekonsentrasi dan/atau tugas
pembantuan. Dalam rangka pengelolaan Kawasan Perkotaan Sarbagita, Gubernur
dapat membentuk suatu badan dan/atau lembaga pengelola, sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan, yang disetujui oleh Menteri. Pembentukan tugas,
susunan organisasi, dan tata kerja, serta pembiayaan badan pengelola diatur oleh
Gubernur.
Referensi:
- Buku Populer Perpres Metropolitan Maminasata, Perpres Metropolitan Mebidangro, Perpres Metropolitan
Sarbagita disusun oleh Subdit Pegembangan Perkotaan, Direktorat Perkotaan, Ditjen Penataan Ruang,
Kemen PU.

Januari - Februari 2012 | buletin tata ruang

29

topik lain

KONFERENSI
PERUBAHAN IKLIM
2011 DURBAN
Oleh: Redaksi Butaru

Di konferensi ini, agenda-agenda perubahan iklim


dibahas. Selain melanjuti COP 16 dan memperkuat
komitmen terhadap masa depan Protokol Kyoto,
juga dihasilkan solusi bersama terkait adaptasi.

Sambutan Sekretaris Eksekutif UNFCCC, Ms.Christiana Figueres,pada


Pembukaan COP17/CMP 7, di King Protea Room-ICC, Durban

COP 17/CMP 7 DIBUKA OLEH sambutan dari Sekretaris


Eksekutif UNFCCC, Christiana Figueres, Presiden Afrika
Selatan, Jacob Zuma, dan pidato pembukaan oleh Menteri
Lingkungan Afrika Selatan, Nkoana-Mashabane selaku
Presiden COP 17/CMP 7. Konferensi yang berlangsung
di International Convention Centre (ICC), Durban, Afrika
Selatan ini dihadiri oleh 163 negara parties, 1.409 LSM, dan
86 pengamat, dengan total partisipan lebih dari 20.000 jiwa
pada tanggal 28 November 2011.
Dalam konferensi ini, dikemukaan isu-isu yang berkembang
terkait perubahan iklim di dunia. Isu yang pertama adalah
tugas lanjutan dari pertemuan Cancun atau COP 16, antara
lain: (1) Peluncuran Adaptation Committee, memperbaiki
modalities dan guidelines untuk Rencana Adaptasi
Nasional (National Adaptation Plans), dan kemajuan pada
pendekatan terhadap identifikasi loss and damage, (2)
operasionalisasi secara penuh Technology Mechanism
pada tahun 2012 dan suatu proses yang jelas untuk seleksi
the host for the implementing arm of the mechanism,
(3) mempertimbangkan dan menyetujui Green Climate
Fund, (4) progres lanjutan untuk masalah penyediaan
guidelines untuk monitoring, pelaporan, dan verifikasi, (5)
mendefinisikan apa dan bagaimana dari suatu review, serta
(6) mendapatkan penjelasan yang lebih baik terhadap faststart finance, yang tersedia dengan akses secara mudah dan
transparan.
30

buletin tata ruang | Januari - Februari 2012

Isu yang ke dua adalah ancaman terkait komitmen terhadap


masa depan Protokol Kyoto yang merupakan dasar dari
komitmen perubahan iklim akan segera berakhir tahun
2012. Dan isu yang ke tiga adalah segera dihasilkannya solusi
bersama (common solution) yang menjamin masa depan
yang aman untuk generasi mendatang.
Adapun kegiatan dalam COP 17/CMP 7 di Durban meliputi
proses negosiasi berupa Conference on the Parties (COP)
17, Conference of the Parties serving as the meeting of the
Parties to the Kyoto Protocol (CMP 7), Subsidiary Body for
Implementation (SBI) 35, Subsidiary Body for Scientific and
Technological Advice (SBSTA) 35, Ad hoc Working Group
on Long-term Cooperative Action under the Convention
(AWG LCA) 14-4, dan Ad hoc Working Group on Further
Commitments for Annex I Parties under the Kyoto Protocol
(AWG KP) 16-4. Selain itu ada pula acara pendamping
termasuk pameran dan presentasi berupa pavillion dari
masing-masing Negara atau parties.
Indonesia berpartisipasi aktif hampir dalam semua agenda
kegiatan-kegiatan COP 17/CMP 7. Selain dalam hal negosiasi
untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, Indonesia
turut aktif dalam pameran, side events, dan Pavillion. Yang
membanggakan, Pavillion Indonesia merupakan salah
satu pavillion yang terbesar dan satu-satunya dari negara
berkembang selain China dan Afrika.

Pavillion pada COP 17 merupakan


kesempatan yang langka bagi
Indonesia bukan hanya untuk
menunjukkan suatu citra Indonesia
yang lebih kuat dan lebih
berkelanjutan terhadap dunia,
tetapi juga untuk memperlihatkan
pada publik keberpihakan dalam
perubahan iklim, sekaligus
membentuk atau mengembangkan
hubungan jejaring yang lebih berarti.
PAVILLION INDONESIA
Pavillion adalah kegiatan kolaborasi selama COP 17/CMP7 di
Durban, Afrika Selatan tahun 2011. Kolaborasi ini melibatkan
berbagai pihak dari Pemerintahan Indonesia (kementerian
dan lembaga, pemerintah provinsi, kabupaten dan kota),
pihak swasta, pihak publik lainnya termasuk pemuda-pemudi
perguruan tinggi, dan stakeholder penting lainnya. Pavillion ini
merupakan media atau platform untuk menangkap dan
menyampaikan secara gamblang upaya-upaya yang sudah,
sedang, atau akan dilakukan Indonesia untuk menghadapi
dampak perubahan iklim. Di sisi lain, dari pavillion ini,
diharapkan muncul keinginan (interests) berupa tanggapan
atau kerjasama dari berbagai pihak, pengunjung, dan para
ahli untuk memperkaya upaya-upaya berbagai bidang yang
terkait perubahan iklim di Indonesia.
Pavillion pada COP 17 merupakan kesempatan yang langka
bagi Indonesia bukan hanya untuk menunjukkan suatu citra
Indonesia yang lebih kuat dan lebih berkelanjutan terhadap
dunia, tetapi juga untuk memperlihatkan pada publik
keberpihakan dalam perubahan iklim, sekaligus membentuk
atau mengembangkan hubungan jejaring yang lebih berarti.
Untuk itu, pavillion akan diisi dengan berbagai program
pembangunan dan kampanye komunikasi yang luas, yang
akan terus dilengkapi secara sistematis sebelum, selama, dan
bahkan setelah COP 17.
Konsep dan desain Arsitektur pavillion mengembangkan
pengalaman ruang sedemikian rupa sehingga ketika
memasuki pavillion, pengunjung mendapatkan suatu
kombinasi berbagai pengalaman budaya Indonesia
tradisional dan modern. Sesuai dengan tema utama:
Indonesia, solutions for the world, pavilion dibangun dengan
konsep sebagai solusi terhadap berbagai permasalahan
perubahan iklim yang dialami.
Ada empat subtema yang dipilih Indonesia dalam Pavillion,
yaitu Forest and Biodiversity Solution, Power and Energy
Solutions, Inovation and Investment Solutions, dan Climate
Resilience Solutions.

Pada subtema Forest and Biodiversity Solution, dijelaskan


tentang kenyataan bahwa Indonesia adalah negara nomor
dua terbesar di dunia yang memiliki hutan tropis basah
dan lahan gambut yang tersisa. Untuk itu, pada subtema
ini akan diperlihatkan contoh-contoh best practice
sebagai kontribusi Indonesia terhadap mitigasi perubahan
iklim. Upaya-upaya tersebut antara lain: studi sektor Land
Use, Land Use Change and Forestry (LULUCF), upaya
penghutanan kembali (reforestation), proyek kegiatankegiatan demonstrasi pelaksanaan Reduction Emission
from Deforestation and Degradation (REDD), pelaksanaan
pengelolaan hutan yang berkelanjutan, inisiatif kebijakan
pemerintah daerah, dan berbagai inisiatif dari dunia usaha.
Sementara pada subtema Power and Energy Solutions
digambarkan peran dan kepemimpinan Indonesia dalam
promosi konservasi energi dan penggunaan energi yang
terbarukan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Untuk
subtema ini, Indonesia menunjukkan perkembangan atau
kemajuan dalam kebijakan penggunaan berbagai energi,
energi terbarukan, dan konservasi energi. Di sini juga
ditunjukkan proyek-proyek biomassa, proses gas berasal dari
batubara, penangkapan CO2, energi air, energi panas bumi,
dan pengkayaan penggunaan energi di sektor angkutan
publik.
Dalam subtema Inovation and Investment Solutions, pavilion
memfasilitasi pemerintah dan dunia usaha, terutama industri
jasa antara lain: ICT, perusahaan keuangan dan investasi
dalam mempromosikan upaya-upaya mitigasi dan adaptasi
perubahan iklim. Subtema pavilion ini juga memfasilitasi
investasi dan inovasi dengan penggunaan teknologi yang
berkembang. Selain itu, di sini juga disediakan kesempatan
yang seluas-luasnya bagi pemerintah dan dunia usaha
untuk menjelaskan praktek-praktek yang ramah lingkungan
dan kesempatan investasi rendah karbon (low-carbon
investment) di Indonesia.
Subtema yang terakhir, Climate Resilience Solutions,
bicara tentang perubahan iklim yang sampai saat ini telah
terakomodasi dalam kebijakan pembangunan yang baru dan
kritis. Subtema ini menegaskan inisiatif pemerintah dalam
mengarusutamakan perubahan iklim ke dalam rencana
pembangunan. Untuk itu, ditegaskan beberapa inisiatif
kebijakan pembangunan yang dikaitkan dengan strategi
adaptasi perubahan iklim.
PERUNDINGAN COP17 UNFCCC ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM
Pada pembahasan dan perundingan isu/agenda Komite
Adaptasi, terdapat kemajuan negosiasi yang cukup signifikan.
Pembahasan dan diskusi difokuskan pada persoalan:
modalitas, cara pelaporan, hubungan dengan kelembagaan
yang lain, keanggotaan, proses dalam pengoperasian komite,
serta satu tahun pelaksanaan kegiatan untuk mempersiapkan
rencana kerja komite.
Januari - Februari 2012 | buletin tata ruang

31

topik lain
Terkait pelaporan, terdapat dua pilihan pelaporan
aktivitas komite. Yang pertama menyebutkan bahwa
pertemuan dilakukan paling sedikit dua kali, namun tetap
mempertimbangkan kebutuhan (fleksibel). Sedangkan yang
ke dua, pertemuan dilakukan paling sedikit dua kali dalam
setahun. Isu lainnya yang muncul namun masih terkait
dengan fokus periodesasi pertemuan komite adaptasi ini
adalah implikasinya kepada keuangan.
Dalam pembahasan dan perundingan NAPs, banyak pihak
yang menilai NAPs ini sebagai media untuk mengintegrasikan
kegiatan dan aktivitas adaptasi. Di samping itu, kehadirannya
dapat menjadi pedoman dalam rangka kebutuhan dan
strategi adaptasi yang membutuhkan waktu dan periode
jangka panjang.
Selain itu, banyak juga para pihak yang menegaskan bahwa
isu teknologi adaptasi menjadi salah satu isu penting dalam
upaya memperkuat kapasitas adaptasi. Oleh karena itulah
negara-negara maju diminta untuk membantu penyediaaan
sumber pendanaannya. Kerangka NAPs menilai bahwa
modalities dan guidelines yang akan ditetapkan harus
dikaitkan dengan isu/persoalaan kelembagaan. Dengan
penjelasan tersebut, dibutuhkan adanya penguatan
kerjasama internasional yang mendukung implementasinya.
Negara/kelompok LDC menilai dibutuhkan adanya
pendanaan lingkungan yang merupakan langkah untuk
meningkatkan sumber daya, termasuk untuk mendorong
pelaksanaan NAPs.
Sebagian besar negara berkembang dan kelompok Least
Developed Countries memandang bahwa dalam upaya
membangun program kerja NAPs dibutuhkan adanya
lokakarya mengenai NAPs yang bertujuan membangun
kapasitas dan meningkatkan dukungan teknis terhadap aksi
adaptasi sebagai upaya memperkuat ketahanan. Oleh sebab
itu dibutuhkan pedoman (semacam MRV) untuk mendukung
NAPs. Kelompok negara berkembang (G77 + China) secara
khusus berpesan agar modalities dan pedoman dirancang
agar sesuai, tepat, sederhana, jelas dan bermanfaat untuk
membantu wilayah/kawasan/region yang rentan.
NAPs juga mendukung strategi adaptasi dan upaya
pengurangan resiko bencana (disaster risk reduction), sesuai
dengan hasil laporan IPCC Special report on Managing the
Risks of Extreme Events and Disaster to Advance Climate
Change Adaptation.

Isu Loss and Damage harus


mendapatkan pendanaan secara
penuh dan harus melihat dan
mempertimbangkan kondisi setiap
negaranya (national circumstances).

32

buletin tata ruang | Januari - Februari 2012

Dalam perundingan Durban, pembahasan National


Adaptation Plans merujuk pada guidelines, modalities,
financial arrangements for formulation and implementation,
termasuk peran sekretariat dalam mendukung NAPs.
Selanjutnya penyusunan guidelines dan persiapan NAPs akan
dikembangkan berdasarkan pengalaman pelaksanaan NAPAs.
Isu adaptasi lainnya adalah pembahasan dan perundingan
mengenai Loss and Damage. Pembahasan difokuskan
pada draft SB135 mengenai Loss and Damage. Para pihak
mendorong proposal yang telah disampaikan pada rapat
ahli sangat penting untuk menjadi subyek pembahasan.
Untuk area tematik, diusulkan adanya rapat informal, yang
bisa dinilai sebagai pertemuan pra-lokakarya. Secara umum,
struktur format draft sudah cukup baik namun diusulkan untuk
meletakkan program aktivitas dan elemen secara spesifik.
Terkait dengan isu Loss and Damage, negara, kelompok
negara LDC, G77+China dan AOSIS menyampaikan bahwa
adanya work and program dari isu ini sebaiknya dijadikan
target COP 18, 2012. Hal lainnya adalah bahwa isu Loss and
Damage harus mendapatkan pendanaan secara penuh
dan harus melihat dan mempertimbangkan kondisi setiap
negaranya (national circumstances). Dalam konteks area
kerentanan, Indonesia meyampaikan isu agrikultur dan
pesisir sebagai area penting yang harus mendapatkan
tekanan dalam mekanisme isu/agenda ini.
Terakhir adalah pembahasan dan perundingan mengenai
NWP. Dalam pertemuan di Durban ini dibutuhkan elaborasi
pedoman NWP yang telah dikeluarkan saat perundingan di
Cancun. Dalam konteks substansi isu NWP, dibutuhkan upaya
peningkatan basis ilmiah untuk mendefinisikan NWP ini.
NWP menjadi isu untuk membantu peningkatan kapasitas
adaptasi.
Banyak pihak menyadari adanya kemajuan pelaksanaan
kegiatan dan pelaksanaan aktivitas dari aksi adaptasi
NWP. Beberapa negara memberikan penekanan terhadap
keberlanjutan NWP, khususnya dalam menilai dampak
dan strategi adaptasi dan metodologi di sektor kehutanan
untuk mengaitkan isu mitigasi dan adaptasi. Oleh karenanya
integrasi antara pendekatan kearifan lokal dan sistem
keamananan pangan dan air merupakan satu keharusan.
Ke depannya, pembahasannya harus menekankan pada
kegiatan program selanjutnya yang sejalan dengan temuan
ilmiah saat ini. Program baru dan pelaksanaan secara penuh
dengan modalities yang baik diharapkan dapat menurunkan
tingkat kerentanaan (technical and social based and local
knowledge). Pengintegrasian dengan persoalan ekosistem,
air dan ketahanan pangan harus diletakkan secara bersama.
Bagi negara yang tergabung dalam G77 dan China aktivitas
selanjutnya dari NWP harus lebih ditekankan pada upaya
mendorong pelaksanaan adaptasi secara kongkrit (proposal
yang ditawarkan membuka area tematik kerja).

Beberapa negara mengusulkan agar harus ada


pengintegrasian upaya adaptasi dan mitigasi. Disepakati
bahwa perlu ada langkah-langkah yang difokuskan pada
penggalian elemen-elemen (yang ditawarkan/disampaikan
dalam lokakarya). Amerika Serikat yang telah mengambil
pelajaran dari program NWP sebelumnya dan mereka
meminta untuk lebih menekankan basis ilmiah untuk
mendukung aksi implementasi di periode ke dua NWP
ini. Sementara Uni Eropa mendorong struktur NWP yang
dapat merefleksikan kepentingan para pihak (parties). Bagi
Indonesia, sektor pertanian dan pesisir menjadi isu yang
harus mendapatkan perhatian dalam pengembangan
kapasitas dan pendanaan serta kegiatan dan aktivitas lainnya.
Perundingan
dan
pembahasan
Komite
Adaptasi
menghasilkan butir-butir kesepakatan sebagai berikut:
Kesepakatan umum untuk memulai aktivitas persiapan
komite adaptasi untuk satu tahun ke depan dan akan
dilaporkan pada COP 18.
Perlunya upaya untuk mendukung implementasi aksi
adaptasi dalam mendukung upaya menurunkan kerentanan
dan membangun ketahanan.
Upaya di atas tersebut dilakukan sesuai ketentuan
konvensi, harus mengikuti kepentingan nasional, gender
sensitive, pelibatan stakeholder dan transparan dengan
memprioritaskan kepada kelompok dan masyarakat serta
ekosistem yang rentan, dengan panduan pengetahuan
yang dimiliki, kearifan tradisional dan lokal.
Memasukkan adaptasi ke dalam kebijakan dan rencana aksi
(lingkungan, ekonomi, dan spasial).
Komite Adaptasi bekerja di bawah otoritas dan
bertanggungjawab pada COP. Komite Adaptasi secara
langsung melapor kepada COP.
Komposisi Komite Adaptasi merupakan keterwakilan
mayoritas negara berkembang yang membutuhkan
adaptasi. Anggota Komite Adaptasi ini merupakan pakar
yang berasal dari akademisi dan masyarakat sipil waki dari
Afrika dan Negara berkembang lainnya, Asia dan Pasifik,
Amerika dan Karibia, Europa TImur, Europa Barat dan Negara
lainnya).

Hasil perundingan dan pembahasan isu/agenda NAPs,


adalah:
Mengakui upaya banyak negara brekembang dan kemajuan
yang telah dicapai oleh LDC yang telah memulai/membuat
rencana, persiapan dan pelaksanaan adaptasi melalui NAPs.
Peran NWP sangat membantu dalam mempercepat dan
penyediaan informasi terkait best practise kegiatan adaptasi.
Terkait dengan technical paper, Sekretariat bersama
para mitra akan menyiapkan: (1) prioritas informasi
yang dibutuhkan dalam rangka penyusunan rencana
dan pelaksanaan aksi adaptasi pada level lokal, (2) pilihanpilihan strategi (planning) dan kebijakan yang terkait
dengan keamanan pangan, hutan, dan mata pencaharian
ekonomi masyarakat.
Memprioritaskan kepada LDC dalam mendukung pendanaan
terkait penyusunan dan pelaksanaan NAPs.
Penyusunan NAPs sepatutnya dibangun dan menjadi
pelengkap dari rencana adaptasi yang sudah ada. NAPs
harus dibangun berdasarkan pengetahuan dan basis ilmiah
yang tepat dan kearifan tradisional dan masyarakat lokal serta
kebutuhan/kondisi sosial, ekonomi dan kebijakan lingkungan
(dan tujuan dari pembangunan yang berkelanjutan).

Sementara hasil perundingan dan pembahasan isu/agenda


Loss and Damage, antara lain:
Keputusan Cancun Agreement (1/CP16) menjadi acuan dalam
menetapkan program kerja terkait isu loss and damage ini.
Keputusan SBI 34 yang telah menetapkan tiga area tematik
dalam mendorong implementasi (assesing the risk of Loss
and Damage, a range of approaches to addres)
Loss and Damage, the role of the Concention in enhancing
the implementation).
Meminta kepada SBI untuk melanjutkan pelaksanaan NWP
ini pada persidangan COP 18 nanti.
Pada COP18 diharapkan adanya diskusi lebih dalam,
termasuk elemen dalam keputusan 1/CP16 terkait
pendekatan, pengembangan, dan mekanisme dari Loss and
Damage tersebut.
Substansi keempat isu merupakan hasil pemikiran dari
persoalan yang dimiliki oleh para negara yang memiliki
tingkat kerentanan. Adanya Komite Adaptasi ini dan aktivitas
kongkrit program NWP dapat mempercepat aksi adaptasi di
negara-negara berkategori rentan. Indonesia menyampaikan
kepada UNFCCC isu kelautan dan pertanian sebagai isu yang
perlu mendapat tekanan dan dapat diadopsi dalam kedua
teks di atas. Kedua isu sektoral tersebut telah diadopsi di
dalam teks negosiasi, baik teks komite adaptasi, maupun
untuk teks Loss and Damage.
Referensi:

Paviliun Indonesia

- Laporan Khusus Konferensi Perubahan Iklim-COP 17 Durban, 2011, disusun


Dit. Tarunas, Ditjen Penataan Ruang, Kemen PU

Januari - Februari 2012 | buletin tata ruang

33

topik lain

MENGEMBANGKAN PAPUA
YANG KAYA
Oleh: Ir. Kartika Listriana, MPPM,
Kementerian Kelautan dan Perikanan

Dari wilayah paling timur,


Kawasan Bentang Laut
Kepala Burung Papua
dengan segala potensinya
menjanjikan kesejahteraan
bagi masyarakat Indonesia.
Dengan syarat, kebijakan
dan perencanaannya
berpihak pada
keberlanjutan ekosistem.

POTENSI SUMBERDAYA ALAM perikanan dan kelautan yang dimiliki Indonesia


sangat besar. Namun, potensi ini belum dikelola dan dimanfaatkan secara benar,
bertanggung jawab dan berkelanjutan demi kesejahteraan masyarakat. Hal ini
disebabkan masih kurangnya pengetahuan dan informasi para pelaku kegiatan akan
pentingnya memanfaatkan dan mengolah secara lestari dan berkesinambungan.
Kawasan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil di wilayah Bentang Laut Papua sendiri
memiliki sumberdaya perikanan, migas, wisata, perhubungan laut dan potensi
konservasi yang tinggi. Dengan potensi sumber daya alam yang sangat besar,
kawasan ini mungkin sekali dimanfaatkan dan dikembangkan sebagai penghasil
devisa negara dan kebutuhan konsumsi domestik.
Sayangnya, pemanfaatan dan pengolahan sumberdaya alam tersebut masih
belum optimal dan kurang tepat sasaran. Penggunaan bom molotov dan racun
sianida dalam penangkapan ikan oleh para nelayan, penambangan di tengah
laut yang kurang memperhatikan nilai lingkungan tanpa antisipasi penanganan
yang memadai bila terjadi kebocoran, dan pencemaran yang berasal dari daratan
(sampah organik maupun anorganik) akan menimbulkan dampak yang sangat
fatal yaitu terhentinya proses regenerasi yang mengakibatkan kelangkaan, atau
lebih jauh lagi, kepunahan biota-biota yang hidup di perairan. Pengembangan
sumberdaya kelautan dan perikanan, kawasan pesisir dan laut perlu direncanakan
dengan cermat, sesuai karakteristik wilayahnya.

Perencanaan pengembangan Bentang Laut Papua


dikembangkan berdasarkan prinsip bioekoregion. Dalam UU
No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil, disebutkan bahwa bioekoregion adalah
bentang alam yang berada di dalam satu hamparan kesatuan
ekologis yang ditetapkan oleh batas-batas alam, seperti
daerah aliran sungai, teluk, dan arus. Sejalan dengan hal
tersebut, pemerintah melalui UU No. 27 Tahun 2007 berupaya
melakukan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
dengan tujuan:
- melindungi, mengonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan,
dan memperkaya sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil
serta sistem ekologinya secara berkelanjutan;
34

buletin tata ruang | Januari - Februari 2012

- menciptakan keharmonisan dan sinergi antara pemerintah


dan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya
pesisir dan pulau-pulau kecil;
- memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga
pemerintah serta mendorong inisiatif masyarakat dalam
pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil agar
tercapai keadilan, keseimbangan, dan keberkelanjutan; dan
- meningkatkan nilai sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat
melalui peran serta masyarakat dalam pemanfaatan
sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil.
Marine Bioregional Planning akan mendukung peningkatan
pengelolaan lingkungan laut dan keanekaragaman hayati

melalui pendekatan ekosistem. Hal ini karena Marine


Bioregional Planning tidak hanya fokus pada satu spesies
atau satu ekosistem saja, tapi melihat keseluruhan ekosistem
yang ada di lingkungan wilayah pengembangan, hubungan
antara satu ekosistem dengan ekosistem yang lainnya,
peran ekosistem tersebut terhadap lingkungan laut, serta
pengaruhnya terhadap aktivitas masyarakat sekitar.
Dalam penetapan Kawasan Konservasi Laut diperlukan
adanya standar deliniasi wilayah laut yang memasukkan
unsur keterkaitan ekologi pada Kawasan Konservasi Laut.
Marine Ecoregion of The World (MEOW) yang ditentukan
oleh Spalding 2007 merupakan dasar deliniasi yang cocok
dalam proses ini karena pembagian ekoregion dalam MEOW
memiliki skala yang cocok untuk diterapkan di masa yang
akan datang.
Berdasarkan MEOW, Indonesia memiliki 12 ekoregion laut
yang berpotensi menjadi kawasan konservasi laut, yaitu:
Papua, Laut Banda, Nusa Tenggara, Laut Sulawesi/Selat
Makassar, Halmahera, Palawan/Borneo Utara, Sumatera
Ruang Lingkup Wilayah

Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 717

Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 718

Peta Pembagian Kawasan Bentang Laut (Marine Ecoregion) di Indonesia

Bagian Barat, Laut Sulawesi Timur/Teluk Tomini, Paparan


Sunda/Laut Jawa, Laut Arafura, Jawa Bagian Selatan dan Selat
Malaka (Spalding dkk., 2007). Papua sendiri termasuk dalam
batas wilayah ekoregion kesatuan ekosistem koral yang
diprioritaskan pengelolaannya. Secara geografis, kawasan
bentang Laut Papua merupakan wilayah administrasi Provinsi
Papua dan Provinsi Papua Barat.

Ruang Lingkup Pengembangan Kawasan Bentang Laut Kepala Burung Papua


Kawasan Bentang Laut Kepala Burung Papua terdiri dari wilayah pesisir, laut dan
pulau-pulau kecil di Provinsi Papua dan Papua Barat. Wilayah ini meliputi wilayah
kecamatan yang berada di pesisir hingga 12 mil ke arah laut. Pengembangan
Kawasan Bentang Laut Kepala Burung Papua terkonsentrasi pada delapan titik
pusat pengembangan, yaitu Jayapura, Biak, Manokwari, Sorong, Raja Ampat, Fakfak, Bintuni dan Kaimana.
Potensi dan Permasalahan Kawasan
Secara umum Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Papua terbagi dua, yaitu
perairan utara Papua tergabung dalam WPP 717 yang mencakup perairan
Laut Cendrawasih dan Pasifik dengan pantai 509 mil laut (916 Km) dengan
luas diperkirakan 6.110 mil laut (11.000 km2) sebagai kawasan yang kaya akan
sumberdaya perikanan Pelagis Besar (Tuna, Paruh Panjang, Cakalang dan Tenggiri).
Sedangkan pada bagian selatan Papua masuk dalam WPP 718 yang mencakup
perairan Laut Arafura dengan panjang pantai 662 mil laut (1.191 km) dengan
luas perairan 7.944 mil laut (14.300 km) dan merupakan kawasan yang kaya akan
sumberdaya Ikan Demersal (udang, Kakap Merah, Kakap Putih, Bawal, Pari, Cucut
dan juga Ikan Pelagis kecil lainnya (Teri, Tongkol, Kembung). Kelompok ikan lainnya
adalah Ikan Kerapu, Napoleon, Lobster dan ikan hias.
Papua memiliki potensi sumberdaya alam yang sangat besar, terutama pada
wilayah pesisir dan lautnya. Sumberdaya ini dapat dilihat dari berbagai ekosistem
tropik yang ada (mangrove, terumbu karang dan padang lamun) dengan tingkat
keanekaragaman yang tinggi. Selain itu, Papua juga memiliki potensi sumberdaya
hayati perikanan terutama perairan utara Papua dengan potensi Ikan Pelagis dan
perairan selatan dengan komoditi utama udang. Berbagai sumberdaya tambang,
mineral dan gas juga dapat ditemukan di perairan pesisir dan Laut Papua.
Kegiatan perikanan dapat dikatakan masih relatif sederhana. Jenis alat tangkap
yang digunakan oleh masyarakat lokal masih bersifat tradisional, contohnya jaring
insang, pancing dan alat tangkap lainnya seperti tonda, tombak serta kalawai
(tombak bermata banyak).
Januari - Februari 2012 | buletin tata ruang

35

topik lain
Sampan digunakan para nelayan sebagai sarana transportasi ke areal tangkap
(fishing ground) dengan waktu tempuh selama 0,5 2 jam. Pada umumnya nelayan
menggunakan perahu tanpa motor berupa perahu dayung/sampan/semang dan
perahu motor. Kapasitas mesin motor yang digunakan 15 pk, 25 pk, dan 40 pk.
Umumnya mesin penggerak 40 pk yang dimiliki oleh setiap kampung merupakan
bantuan dari pemerintah. Namun karena harga BBM yang tinggi maka motor
tersebut jarang digunakan.

Wilayah Peta Potensi Perikanan Tangkap Papua

Secara umum sarana dan prasarana perikanan di Papua meliputi :


1. Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) di Biak dan Merauke, yang masih dalam
tahap studi dan diharapkan segera dibangun untuk melayani kapal-kapal
perikanan yang beroperasi di Lautan Pasifik dan Laut Arafuru. Sehingga kapalkapal ikan tersebut dapat memenuhi kebutuhan operasional maupun kegiatan
lainnya tanpa harus ke pelabuhan di luar Provinsi Papua.
2. Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) di Sorong.
3. Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) di Jayapura, Manokwari, Kaimana, Sorong, FakFak dan Mimika.
4. Balai Benih Ikan Air Tawar (BBI) Sentral di Masni, Kabupaten Manokwari untuk
memenuhi sebagian besar kebutuhan benih bagi Provinsi Papua, yang juga
ditunjang oleh BBI Lokal yang tersebar hampir di seluruh kabupaten.
5. Balai Budidaya Ikan Pantai (BBIP) di Biak untuk mendukung pengembangan
budidaya laut, terutama penyediaan benih ikan kepada para pembudidaya di
Provinsi Papua.

Peta Lokasi Sarana dan Prasarana


Perikanan di Papua

Peta Potensi dan Persebaran Migas Papua

Kegiatan pertambangan yang mungkin dikembangkan adalah pertambangan gas


dan minyak lepas pantai dan pertambangan batubara. Pengembangan kegiatan
pertambangan ini potensial, namun banyak cadangan yang belum diketahui
secara pasti. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian lebih mendalam, terutama
dampaknya terhadap lingkungan. Mengingat lokasi tambang, khusus untuk
batu bara, umumnya berada pada daerah dataran di pesisir pantai atau di pulaupulau kecil. Kegiatan pertambangan ini akan memberikan dampak yang sangat
berat terhadap keberlanjutan ekosistem pesisir di wilayah ini. Selain mengancam
biota perairan, kegiatan ini juga mengubah keindahan bentang alamnya dan
menurunkan keindahan berbagai objek wisata baik darat maupun perairan laut.

Indikasi Kebijakan Pengembangan Bentang Laut Papua


Pola Pengembangan Kawasan dan Fungsi Kota
Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional telah ditetapkan beberapa pusat
pertumbuhan wilayah Tanah Papua yang terbagi ke dalam sembilan kawasan
andalan dengan berbagai sektor unggulan yang sangat beragam. Kawasankawasan yang berperan mendorong pertumbuhan ekonomi bagi kawasan itu
sendiri dan di sekitarnya, serta mewujudkan pemerataan pemanfaatan ruang di
wilayah nasional ini kemudian disebut sebagai Kawasan Andalan.

Peta Sistem Perkotaan Papua Menurut RTRWN

36

Kawasan Andalan ditentukan berdasarkan potensi yang ada, memiliki


aglomerasi pusat-pusat permukiman perkotaan dan kegiatan produksi, serta
pertimbangan perkembangan daerah sekitarnya. Dalam Kawasan Andalan
diindikasikan sektor-sektor unggulan berdasarkan potensi sumberdaya alam
kawasan. Kawasan ini ditetapkan untuk mengupayakan sinergi keselarasan
pengembangan antar wilayah dan sektor.

buletin tata ruang | Januari - Februari 2012

Kawasan Andalan ditentukan


berdasarkan potensi yang
ada, memiliki aglomerasi
pusat-pusat permukiman
perkotaan dan kegiatan
produksi, serta pertimbangan
perkembangan daerah
sekitarnya.

Sementara itu, yang dimaksud Pusat Kegiatan Nasional (PKN) adalah kota yang
mempunyai potensi sebagai pintu gerbang ke kawasan-kawasan internasional
dan mendorong daerah sekitarnya. Kriteria yang menjadikan sebuah kota menjadi
PKN antara lain berpotensi sebagai pintu gerbang ke kawasan internasional dan
mendorong daerah sekitarnya, pusat jasa-jasa pelayanan keuangan/bank yang
cakupan pelayanannya berskala nasional atau provinsi, pusat pengolahan atau
pengumpul barang secara nasional atau provinsi, simpul transportasi secara
nasional atau provinsi, jasa pemerintahan untuk nasional atau provinsi, dan jasa
publik yang lain untuk nasional atau provinsi.
Di dalam PKN, terdapat Pusat Kegiatan Lokal (PKL). Kota yang dikategorikan PKL
adalah kota sebagai pusat jasa, pusat pengolahan dan simpul transportasi yang
melayani satu kabupaten atau beberapa kecamatan, dengan kriteria penentuan
pusat jasa.

Kawasan Pemanfaatan Umum


Secara umum, Kawasan Bentang Laut Papua memiliki
potensi budidaya kelautan dan perikanan yang sangat besar.
Pemanfaatan ruang pada kawasan budidaya kelautan dan
perikanan dibagi menurut prioritas penanganannya sebagai
berikut:
1. Perikanan budidaya laut di Kepulauan Raja Ampat, pesisir
selatan Kabupaten Kaimana, Teluk Cenderawasih, dan
Jayapura;
2. Pengembangan perikanan tangkap meliputi wilayah:
Laut Papua Utara, dengan pusat kegiatan di Sorong, Biak,
dan Jayapura.
Laut Kepala BurungTeluk Bintuni, dengan pusat kegiatan
di Sorong.
Laut Papua Selatan, dengan pusat kegiatan di Mimika,
Merauke, dan Kaimana.
3. Perikanan budidaya air payau (tambak) di Kabupaten
Sarmi, Sorong Selatan dan Waropen;
4. Perikanan budidaya air tawar (kolam) di Kabupaten
Jayawijaya, Jayapura dan Manokwari.

Kawasan Konservasi
Terdapat delapan kawasan konservasi perairan nasional
(KKPN) di wilayah kajian Kawasan Bentang Laut Papua, dan
tiga di antaranya telah resmi ditetapkan Menteri kelautan dan
perikanan pada tanggal 3 September 2009. Secara nasional,
delapan kawasan konservasi perairan tersebut, merupakan
kawasan suaka alam dan/atau kawasan pelestarian alam (KSA/
KPA) yang telah diserahterimakan dari Departemen Kehutanan
kepada Departemen Kelautan dan Perikanan tanggal 4 Maret
2009.
Tiga kawasan konservasi perairan yang berada di Kawasan
Bentang Laut Papua yang disinggung di atas adalah: (1)
Suaka Alam Perairan di Kawasan Perairan Kepulauan Raja
Ampat dan laut sekitarnya seluas lebih kurang 60.000 ha,
(KEP. 64/MEN/2009) tentang Penetapan Kawasan Konservasi
Perairan Nasional Kepulauan Raja Ampat dan Laut di
Sekitarnya, di Provinsi Papua Barat; (2) Suaka Alam Perairan
di Kawasan Perairan Sebelah Barat Kepulauan Waigeo, atau

Kepulauan Panjang dan laut sekitarnya seluas lebih kurang


271.630 ha, yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP. 65/MEN/2009; (3) Taman
Wisata Perairan Kepulauan Padaido beserta laut di sekitarnya
seluas lebih kurang 183.000 ha (KEP. 68/MEN/2009) tentang
Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kepulauan
Padaido dan Laut di Sekitarnya di Provinsi Papua.
Tindak lanjut yang dilakukan pasca penetapan kawasan
konservasi perairan nasional (KKPN) tersebut adalah: (1)
mengumumkan dan mensosialisasikan kawasan konservasi
perairan nasional tersebut kepada masyarakat, serta (2)
menunjuk Panitia Penataan Batas Kawasan yang terdiri dari
unsur-unsur pejabat pemerintah dan pemerintah daerah,
untuk melakukan penataan batas. Dalam hal ini, Menteri
Kelautan dan Perikanan menunjuk Dirjen Kelautan, Pesisir
dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) untuk mengelola Kawasan
Konservasi Perairan tersebut.
Selanjutnya, upaya yang akan dilakukan antara lain adalah
menata batas kawasan. Kawasan yang selama ini dikelola
berdasarkan blok-blok dibuat zonasi yang disertai rencana
pengelolaan detail kawasan konservasi. Pengelolaan kawasan
konservasi yang dilakukan harus senantiasa mengutamakan
kesejahteraan masyarakat dan keberlanjutan fungsi kawasan,
misalnya melalui pengembangan mata pencaharian
alternatif. Kegiatan sosialisasi pengelolaan kawasan perlu
terus dilakukan guna mendorong partisipasi pemerintah
daerah dan masyarakat dalam konteks pengelolaan terpadu.
Selain itu dukungan sarana dan prasarana pengawasan,
rehabilitasi kawasan konservasi, monitoring dan evaluasi
kawasan konservasi, maupun penyediaan SDM dengan
kapasitas dan kapabilitas baik, sangat diperlukan untuk
mendukung keberhasilan pengelolaan kawasan.
Yang tidak boleh dilupakan adalah dukungan kebijakan,
sistem perencanaan dan pengembangan yang sinergis,
yang melibatkan multi pihak dalam pengelolaan kawasan
konservasi sehingga memberikan dampak bagi keberlanjutan
sumberdaya ikan.
Januari - Februari 2012 | buletin tata ruang

37

topik lain
Hal yang juga harus diingat adalah penetapan KKPN menambah jumlah kawasan
konservasi perairan nasional. Selain itu, sebanyak 35 kawasan konservasi laut daerah
(KKLD) telah dicadangkan melaui SK bupati/walikota, termasuk di antaranya 12 lokasi
yang ada di wilayah Program COREMAP II, seperti: Batam, Bintan, Lingga, Natuna,
Mentawai, Nias, Tapanuli Tengah, Buton, Raja Ampat, Selayar, Pangkep, dan Biak
Numfor. Jika dihitung-hitung, total luasan KKLD secara keseluruhan mencapai 4,6 juta
ha. Data dari Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut (KTNL) menyebutkan
bahwa sampai bulan Mei 2009 tercatat seluas 13,5 juta ha kawasan konservasi laut
di Indonesia. Jumlah ini melampaui target kawasan konservasi, sebagai komitmen
pemerintah indonesia yaitu 10 juta ha kawasan konservasi pada tahun 2010.
Pada dasarnya Luasan kawasan konservasi itu sendiri bukan target utama. Target ke
depan adalah melakukan pengelolaan kawasan konservasi tersebut secara efektif
mendukung pengelolaan perikanan yang berkelanjutan untuk kesejahteraan
masyarakat.

Tabel. Arahan Kawasan Lindung dalam RTRWN


No.

38

Kawasan Lindung

Provinsi

Ket

No.

Kawasan Lindung

Provinsi

Ket
I/B/3

Suaka Alam Laut Kaimana

Papua Barat

II/B/1

29

Cagar Alam Teluk Bintuni

Papua Barat

Suaka Margasatwa P. Dolok

Papua

II/B/2

30

Cagar Alam Peg. Fakfak

Papua Barat

I/B/3

Suaka Margasatwa Jayawijaya

Papua

II/B/2

31

Cagar Alam Peg. Kumawa

Papua Barat

II/B/3

Suaka Margasatwa Mamberamo Foja

Papua

II/B/2

32

Cagar Alam Tamrau Utara

Papua Barat

II/B/3

Suaka Margasatwa Danau Bian

Papua

II/B/2

33

Cagar Alam Tanjung Wiay

Papua Barat

II/B/3

Suaka Margasatwa Anggromeos

Papua

II/B/2

34

Cagar Alam Wagura Kote

Papua Barat

II/B/3

Suaka Margasatwa Komolon

Papua

II/B/2

35

Cagar Alam Peg Wayland

Papua

II/B/3

Suaka Margasatwa Tanjung MubraniSidei Wibein I-II

Papua Barat

I/B/2

36

Taman Nasional Lorentz

Papua

I/A/4

Suaka Margasatwa P. Venu

Papua Barat

II/B/2

37

Taman Nasional Wasur

Papua

I/A/4

10

Suaka Margasatwa Laut Kep. Raja Ampat

Papua Barat

I/B/2

38

Taman Nasional Laut Teluk Cendrawasih

Papua Barat

I/A/4

11

Suaka Margasatwa Laut P. Sabuda dan


P. Tataruga

Papua Barat

II/B/2

39

Taman Wisata Alam Beriat

Papua Barat

III/B/6

40

Taman Wisata Alam Klamono

Papua Barat

III/B/6

Taman Wisata Alam Teluk Youtefa

Papua

II/B/6

Papua Barat

II/B/2

41

Cagar Alam Cycloops

Papua

II/B/3

42

Papua Barat

II/B/6

14

Cagar Alam Enarotali

Papua

II/B/3

Taman Wisata Alam Laut Distrik Abun,


Sorong

15

Cagar Alam Bupul/Kumbe

Papua

II/B/3

43

Taman Wisata Alam Laut Kep Padaido

Papua Barat

II/B/6

16

Cagar Alam P. Waigeo Barat

Papua Barat

I/B/3

17

Cagar Alam P. Batanta Barat

Papua Barat

II/B/3

18

Cagar Alam Peg. Arfak

Papua Barat

II/B/3

19

Cagar Alam P. Salawati Utara

Papua Barat

II/B/3

20

Cagar Alam Biak Utara

Papua Barat

I/A/3

21

Cagar Alam Tamrau Selatan

Papua Barat

II/B/3

22

Cagar Alam Peg. Yapen Tengah

Papua Barat

II/B/3

23

Cagar Alam P. Supriori

Papua Barat

I/B/3

24

Cagar Alam Peg. Wondiboy

Papua Barat

II/B/3

25

Cagar Alam P. Waigeo Timur

Papua Barat

I/B/3

26

Cagar Alam P. Misool

Papua Barat

II/B/3

27

Cagar Alam P. Kofiau

Papua Barat

II/B/3

28

Cagar Alam Laut Pantai Sausapor

Papua Barat

II/B/3

12

Suaka Margasatwa Laut Kep. Panjang

13

buletin tata ruang | Januari - Februari 2012

Sumber: PP 26 Tahun 2008 tentang RTRWN


Keterangan:
I IV
A
A/1
A/2
A/3
A/4
A/5
A/6
B
B/1
B/2
B/3
B/4
B/5
B/6
C/1
D
E
F

:Tahapan Pengembangan
: Rehabilitasi & Pemantapan Fungsi Kawasan Lindung Nasional
: Suaka Alam Laut
: Suaka Margasatwa dan Suaka Margasatwa Laut
: Cagar Alam dan Cagar Alam Laut
: Taman Nasional dan Taman Nasional Laut
: Taman Hutan Raya
: Taman Wisata Alam dan Taman Wisata Alam Laut
: Pengembangan Pengelolaan Kawasan Lindung Nasional
: Suaka Alam Laut
: Suaka Margasatwa dan Suaka Margasatwa Laut
: Cagar Alam dan Cagar Alam Laut
: Taman Nasional dan Taman Nasional Laut
: Taman Hutan Raya
: Taman Wisata Alam dan Taman Wisata Alam Laut
: Kawasan Resapan Air
: Pengembangan Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Nasional
: Rehabilitasi & Pemantapan Fungsi Kawasan Taman Buru Nasional
: Pengembangan Pengelolaan Kawasan Taman Buru Nasional

Arahan Kebijakan Pengembangan Kawasan Bentang Laut Kepala Burung Papua


Kebijakan pengembangan Kawasan Bentang Laut Papua
dirumuskan berdasarkan potensi dan permasalahan wilayah
yang dimiliki oleh masing-masing pusat pertumbuhan
di kawasan tersebut. Jayapura yang merupakan pusat
administrasi di Provinsi Papua akan dikembangkan sebagai
sentra perikanan tangkap dan budidaya. Kegiatan perikanan
di Jayapura didukung dengan keberadaan Pangkalan
Pendaratan Ikan (PPI).
Kemudian Biak akan dikembangkan sebagai sentra perikanan
tangkap, distribusi dan konservasi laut. Biak sendiri merupakan
kawasan strategis nasional yaitu kawasan pengembangan
ekonomi terpadu yang memiliki potensi kawasan konservasi.
Sektor unggulan yang dapat dikembangkan di kawasan Biak
antara lain pariwisata, perikanan, dan industri. Kabupaten
ini merupakan gugusan pulau yang berada di sebelah
utara daratan Papua dan berseberangan langsung dengan
Samudera Pasifik. Posisi ini menjadikan Biak sebagai salah
satu tempat yang strategis dan penting untuk berhubungan
dengan dunia luar terutama negara-negara di kawasan
Pasifik, Australia atau Filipina.
Biak dapat dikembangkan sebagai alternatif pintu gerbang
pariwisata bahari di Raja Ampat. Letak geografis ini juga
memberikan kenyataan bahwa posisinya sangat strategis
untuk membangun kawasan industri. Biak memiliki Balai
Budidaya Ikan Pantai (BBIP) yang mendukung pengembangan
budidaya laut, terutama penyediaan benih ikan kepada para
pembudidaya di Provinsi Papua.
Sementara itu, Manokwari yang merupakan pusat administrasi
di Provinsi Papua Barat akan dikembangkan sebagai sentra
perikanan tangkap dan budidaya air tawar. Manokwari
merupakan Ibukota Provinsi Papua Barat yang berstatus
Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) yaitu kawasan perkotaan
yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala provinsi atau
beberapa kabupaten/kota. Selain memiliki potensi perikanan
tangkap yang tinggi, di sini juga dikembangkan perikanan
budidaya air tawar melalui Balai Benih Ikan Air Tawar (BBI)
Sentral di Masni, Kabupaten Manokwari. Balai Benih Ikan Air
Tawar (BBI) Sentral memenuhi sebagian besar kebutuhan
benih bagi Provinsi Papua. Kegiatan perikanan di Manokwari
didukung oleh keberadaan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI)
Manokwari yang secara teratur disinggahi kapal penumpang
yang dioperasikan oleh PT. Pelni.
Selanjutnya Raja Ampat akan dikembangkan sebagai sentra
wisata bahari, perikanan budidaya dan konservasi laut. Raja
Ampat yang terletak di Provinsi Papua Barat sangat terkenal
akan keindahan alam bawah lautnya. Raja Ampat ditentukan
sebagai kawasan strategis nasional yaitu kawasan konservasi
keanekaragaman hayati Raja Ampat yang memiliki Suaka
Margasatwa Laut Kepulauan Raja Ampat didalamnya. Sektor
unggulan yang dapat dikembangkan di kawasan andalan

Laut Raja Ampat adalah perikanan tangkap, budidaya, dan


pariwisata. Raja Ampat dapat dikembangkan sebagai sentra
wisata bahari yang terkait dengan kegiatan konservasi laut.
Pengembangannya juga diatur agar tidak mencapai kegiatan
wisata massal dan dibatasi tingkat kepadatan penduduknya.
Sorong akan dikembangkan sebagai sentra perikanan
tangkap, migas dan pelayanan. Sorong merupakan Pusat
Kegiatan Nasional (PKN) di Provinsi Papua Barat. PKN adalah
kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan
skala internasional, nasional, atau beberapa provinsi. Sorong
adalah pusat kegiatan penangkapan ikan untuk wilayah Laut
Papua Utara dan wilayah Laut Kepala BurungTeluk Bintuni.
Sorong juga memiliki potensi migas yang sudah berproduksi.
Kegiatan perikanan di Sorong didukung oleh keberadaan
Pangkalan Perikanan Pantai (PPP) dan Pangkalan Pendaratan
Ikan (PPI). Pelabuhan Sorong secara teratur telah disinggahi
kapal penumpang yang dioperasikan PT. Pelni. Sorong dapat
dikembangkan sebagai sentra pelayanan jasa penunjang dan
infrastruktur pendukung kegiatan pariwisata di Raja ampat.
Fak-fak akan dikembangkan sebagai sentra perikanan tangkap
dan budidaya. Fak-fak terletak di Provinsi Papua Barat memiliki
potensi perikanan tangkap dan budidaya. Kegiatan perikanan
di Fak-fak didukung oleh keberadaan Pangkalan Pendaratan
Ikan (PPI). Pelabuhan Fak-fak juga secara teratur disinggahi
kapal penumpang yang dioperasikan oleh PT. Pelni.
Bintuni akan dikembangkan sebagai sentra produksi migas.
Bintuni yang terletak di Provinsi Papua Barat memiliki potensi
migas berproduksi yang sangat tinggi. Perkembangan
sektor migas perlu diatur agar tidak berdampak buruk
terhadap lingkungan. Pembangunan harus memiliki konsep
keberlanjutan dan integrasi antarsektor dan antarwilayah.
Sedangkan Kaimana akan dikembangkan sebagai sentra
perikanan budidaya laut. Kaimana yang terletak di Provinsi
Papua Barat memiliki potensi perikanan budidaya laut dan
konservasi. Kaimana memiliki Suaka Alam Laut Kaimana
dengan tahapan pengembangan pengelolaan kawasan
lindung nasional.

Kebijakan Pengembangan Pusat-pusat Pertumbuhan


Januari - Februari 2012 | buletin tata ruang

39

topik lain
utama

Pending Zone /
Holding Zone:

Saat banyak substansi kehutanan


revisi RTRWP belum disetujui,
kebijakan pending zone/holding
zone menjadi upaya percepatan
penyiapan pola ruang kawasan
hutan sebagai substansi kehutanan
dalam Rencana Tata Ruang
Wilayah Provinsi.

Mempercepat
dengan
Menangguhkan.
Oleh: Ir. Chaerudin Mangkudisastra, M.Sc.
Kementerian Kehutanan

SEJAK BERLAKUNYA UU No. 26 Tahun 2007 tentang


Penataan Ruang, khususnya pasal 78, hampir semua provinsi
di luar Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara mengajukan
usulan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan
dalam revisi RTRWP kepada Kementerian Kehutanan.
Berdasarkan UU No. 26 Pasal 78 ayat 4.b, ditegaskan bahwa
dalam waktu dua tahun sejak diberlakukannya UU tersebut
semua peraturan daerah provinsi tentang rencana tata ruang
wilayah provinsi telah rampung disusun dan disesuaikan.
Namun hingga kini dari 22 provinsi yang mengusulkan
perubahan kawasan hutan dalam revisi RTRWP, 15 provinsi
diantaranya masih dalam proses pengkajian oleh Tim Terpadu
yang dibentuk Kementerian Kehutanan.
Penelitian terpadu merupakan mandat UU No. 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan, khususnya Pasal 19 ayat (1), yaitu:
Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan
oleh Pemerintah dengan didasarkan pada hasil penelitian
terpadu. Sedangkan Pasal 19 ayat (2) mengamanatkan
bahwa, Perubahan peruntukan kawasan hutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang berdampak penting dan
cakupan yang luas serta bernilai strategis, ditetapkan
oleh Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat. Dua landasan hukum pokok inilah yang melandasi
mekanisme penyelesaian substansi kehutanan dalam revisi
RTRWP, di samping PP Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata
Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, dan
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 36/Menhut-II/2010
tentang Tim Terpadu dalam Rangka Penelitian Perubahan
Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan.
40

buletin tata ruang | Januari - Februari 2012

Belum optimalnya proses penyelesaian substansi kehutanan


dalam revisi RTRWP tidak semata-mata disebabkan oleh
jangka waktu proses penelitian terpadu, tetapi ada beberapa
faktor lain yang turut mempengaruhi seperti: (1) Usulan
perubahan kawasan hutan provinsi yang terlambat diajukan;
(2) Usulan perubahan kawasan hutan dengan luasan cukup
besar yang mengakomodir keterlanjuran perizinan yang
bermuatan pelanggaran kawasan hutan; (3) Usulan dilakukan
secara berulang-ulang meskipun bersifat menambah usulanusulan sebelumnya; (4) Terbatasnya data dan informasi yang
tersedia yang diperlukan dalam kajian berupa data biofisik/
ekologi, sosial, ekonomi, budaya, hukum, dan kelembagaan
pada setiap lokasi (poligon) kawasan hutan yang diusulkan
perubahannya; (5) Dukungan yang belum optimal untuk

menunjang percepatan proses-proses kajian terpadu


oleh pengusul sesuai ketentuan yang ada; dan (6) Adanya
rekomendasi perubahan peruntukan kawasan hutan yang
diperkirakan akan menimbulkan dampak penting dan
cakupan luas serta bernilai strategis (DPCLS) sehingga harus
dilakukan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dan
memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
untuk penetapannya.
Sedangkan perubahan peruntukan non-DPCLS dan
perubahan fungsi kawasan hutan provinsi dapat ditetapkan
tanpa melalui persetujuan legislatif. Secara singkat alur kajian
terpadu perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan
dalam revisi RTRWP sebagaimana gambar berikut.

USULAN
GUBERNUR

SK TIM
TERPADU

Perubahan
Fungsi

Non
DPCLS

Penetapan
Perubahan KH
oleh Menhut

KAJIAN
Perubahan
Peruntukan

DPCLS

Penetapan
Perubahan KH setelah
persetujuan
DPR RI

Alur proses penelitian terpadu perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan dalam revisi RTRWP

Perkembangan Penelitian Terpadu Perubahan Peruntukan


dan Fungsi Kawasan Hutan dalam Revisi RTRWP
Usulan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan dalam revisi RTRWP
yang disampaikan gubernur dan telah diekspos di Kementerian Kehutanan sejak
diberlakukannya UU No. 26 Tahun 2007 bervariasi, dan tidak diajukan pada waktu
yang bersamaan. Usulan perubahan kawasan hutan yang disampaikan pada tahun
2007 sebanyak satu provinsi (Kalteng); tahun 2008 sebanyak tiga provinsi (Kalsel,
Kalbar, Kaltim); tahun 2009 sebanyak tujuh provinsi (Sumut, Riau, Kepri, Jambi,
Babel, Sultra, Gorontalo), tahun 2010 sebanyak delapan provinsi (Aceh, Bengkulu,
Sumbar, Sulut, Sulteng, Sulbar, Maluku, Papua), dan tahun 2011 sebanyak tiga
provinsi (Sumsel, Malut, dan Papua Barat). Sebanyak 11 provinsi tidak mengusulkan
perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan dalam revisi RTRWP.
Dalam proses penelitian terpadu, dilakukan beberapa tahap kegiatan sebagai
standar proses yaitu: (1) Pemutakhiran (updating) peta penunjukan kawasan hutan;
(2) Identifikasi gap (overlay usulan perubahan dengan peta penunjukan updated);
(3) Penentuan kriteria evaluasi perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan;
(4) Analisis evaluasi perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan; (5) Kajian
Lingkungan Hidup Strategis (KLHS); (6) Konsultasi publik dan uji konsistensi hasil
penelitian terpadu terhadap kebijakan pemerintah (pusat dan daerah); (7) Finalisasi
rekomendasi akhir dan penyusunan laporan untuk pertimbangan persetujuan
substansi kehutanan.
Januari - Februari 2012 | buletin tata ruang

41

topik lain

Dari 22 provinsi,
tujuh di antaranya
telah melewati proses
penelitian terpadu,
dimana dua provinsi
(Kalteng dan Sultra)
masih menunggu proses
persetujuan DPR RI
atas perubahan
peruntukan DPCLS.

Sampai saat ini, dari 33 provinsi di Indonesia, masih 15 provinsi (45%) yang sedang
diproses penyelesaian persetujuan substansi kehutanannya melalui mekanisme
penelitian terpadu. Dari 22 provinsi, tujuh di antaranya telah melewati proses
penelitian terpadu, dimana dua provinsi (Kalteng dan Sultra) masih menunggu
proses persetujuan DPR RI atas perubahan peruntukan DPCLS. Berikut ini disajikan
rekapitulasi progres persetujuan substansi kehutanan dalam revisi RTRWP sampai
dengan Desember 2011.
Tabel. Rekapitulasi perkembangan substansi kehutanan dalam revisi RTRWP sampai Desember 2011.
Selesai Tahun 2011

Hasil Kesepakatan dan tindak lanjut

(18 provinsi)

(15 provinsi)

Ada Perubahan :
1.
2.
3.
4.

Kalsel
Gorontalo
Bengkulu
Papua*

5.
6.
7.

Kalteng**
Sumbar
Sultra**

14.
15.
16.
17.
18.

Sulsel
Jabar
Banten
Jatim
DKI

Tdk Ada Perubahan :


8.
9.
10.
11.
12.
13.

Lampung
Jateng
DIY
Bali
NTB
NTT

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.

Maluku Utara
Sulut
Maluku
Kepri
Sumsel
Aceh
Sumut
Sulteng
Papua Barat
Kalbar
Jambi
Babel
Riau
Sulbar
Kaltim

Keterangan:
**) Dalam proses persetujuan DPR; *) Dalam proses penetapan perubahan kawasan hutan.

Pending Zone/Holding Zone sebagai upaya percepatan persetujuan


substansi kehutanan dalam revisi RTRWP
Beragam upaya telah dilakukan Kementerian Kehutanan untuk memberikan
percepatan penyelesaian persetujuan substansi kehutanan dalam revisi RTRWP,
antara lain dengan melakukan sosialisasi proses konsultasi persetujuan substansi
kehutanan, koordinasi percepatan dan harmonisasi kriteria usulan perubahan
kawasan hutan, serta mempersingkat tahapan proses penelitian terpadu. Proses
percepatan juga dilakukan melalui pembentukan Tim Teknis yang membantu
Tim Terpadu untuk menghimpun data teknis dan memproses setiap tahap kajian
melalui Sistem Informasi Geografis (SIG). Namun, harmonisasi antara keinginan dan
kebutuhan perubahan kawasan hutan yang diusulkan dengan kriteria kajian yang
dibangun terkadang tidak bisa diselesaikan dalam waktu singkat, termasuk adanya
perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi Areal Penggunaan Lain (APL) yang
termasuk DPCLS.
Persetujuan substansi kehutanan sangat diharapkan dalam proses penetapan
Peraturan Daerah (Perda) RTRWP mengingat posisinya yang strategis akan menjadi
acuan pemanfaatan ruang pembangunan oleh semua sektor karena menjadi
legitimasi dari sisi aturan manapun. Namun provinsi yang kajian terpadunya telah
selesai tetapi masih terdapat perubahan peruntukan kawasan hutan DPCLS, atau
yang hasil kajian terpadunya belum sesuai dengan daerah, cenderung menyisakan
masalah, meskipun luasnya relatif kecil.
Hambatan dan kendala waktu penyelesaian substansi kehutanan ini telah
menjadi bahasan hangat dalam forum BKPRN (Badan Koordinasi Penataan Ruang
Nasional). Bahkan pada Rakornas BKPRN bulan Desember 2011 disepakati perlunya
terobosan-terobosan yang dapat mempercepat penetapan Perda Tata Ruang
Provinsi, khususnya bagi provinsi yang sudah mendapatkan persetujuan substansi
teknis dari Kementerian PU.
42

buletin tata ruang | Januari - Februari 2012

Hambatan dan kendala


waktu penyelesaian
substansi kehutanan ini
telah menjadi bahasan
hangat dalam forum
BKPRN (Badan Koordinasi
Penataan Ruang Nasional).

Tetapi untuk sebagian wilayah provinsi yang status kawasan


hutannya belum dapat dipastikan waktu penyelesaiannya,
maka Perda-nya dapat ditetapkan dengan melokalisir
kawasan hutan dengan fungsi sebelumnya yang ditetapkan
sebagai pending zone/holding zone. Untuk itu diperlukan
adanya pedoman atau acuan yang dapat digunakan dan
menjamin kawasan hutan yang ditangguhkan statusnya
dalam Perda RTRWP.
Menyikapi adanya inisiatif perlunya pending zone/holding
zone untuk percepatan penetapan Perda RTRW maka perlu
dilakukan penegasan adanya pedoman terkait dengan
lokasi/areal, dan arahan tindak lanjut mekanisme pending
zone dalam penetapan Perda RTRWP dengan muatan pokok
di antaranya sebagai berikut:
1. Areal pending zone/ holding zone adalah areal/poligon
kawasan hutan yang telah direkomendasi perubahan
peruntukannya menjadi APL yang berdampak penting
dan cakupan luas serta bernilai strategis (DPCLS), tapi saat
persetujuan, substansi teknis struktur ruang yang diberikan
masih dalam proses pertimbangan oleh DPR RI (belum ada
persetujuan).
2. Bagi provinsi yang rekomendasi perubahan peruntukan
kawasan hutan DPCLS-nya belum memperoleh persetujuan
DPR, maka penetapan perubahan peruntukan kawasan
hutan non-DPCLS dan perubahan fungsi kawasan hutan
hasil penelitian terpadu yang telah ditetapkan oleh Menteri
Kehutanan dapat menjadi substansi teknis kehutanan dalam
Perda RTRWP. Areal DPCLS menjadi lokasi pending zone/
holding zone, dan fungsi areal pending zone adalah fungsi
kawasan hutan awal (sebelum rekomendasi).
3. Bagi provinsi yang telah memperoleh persetujuan DPR atas
rekomendasi perubahan peruntukan kawasan hutan DPCLS,
maka penetapan penunjukan kawasan hutan baru dapat
menjadi substansi teknis kehutanan dalam Perda RTRWP.

Penetapan perubahan
kawasan hutan hasil penelitian
terpadu, dan penunjukan
kawasan hutan baru harus
diusahakan untuk selesai
seoptimal mungkin agar dapat
digunakan sebagai persetujuan
substansi kehutanan dalam
Perda Tata Ruang.

Diperlukan adanya pedoman atau


acuan yang dapat digunakan dan
menjamin kawasan hutan yang
ditangguhkan statusnya dalam
Perda RTRWP.

Maka bisa disimpulkan bahwa penetapan Perda Tata Ruang


Wilayah merupakan kebijakan yang sangat ditunggu semua
pihak untuk mencapai optimalisasi pemanfaatan ruang bagi
kepentingan pembangunan dan kesejahteraan rakyat yang
berkelanjutan. Untuk itu diperlukan penyelesaian penelitian
terpadu terhadap 15 provinsi yang lebih efektif di samping
melakukan koordinasi dan pemenuhan data dan informasi
kawasan hutan yang diperlukan untuk kajian. Penetapan
perubahan kawasan hutan hasil penelitian terpadu, dan
penunjukan kawasan hutan baru harus diusahakan untuk
selesai seoptimal mungkin agar dapat digunakan sebagai
persetujuan substansi kehutanan dalam Perda Tata Ruang.
Mengingat masih ada kawasan-kawasan yang substansi
teknis struktur ruangnya masih belum diputuskan oleh
DPR RI, maka diperlukan kebijakan pending zone/holding
zone. Dengan adanya kebijakan pending zone/holding
zone maka penetapan Perda RTRW bisa dipercepat dengan
menggunakan penetapan perubahan peruntukan dan
fungsi kawasan hutan non-DPCLS. Di sisi lain kebijakan ini
juga mengakomodir kemungkinan perubahan peruntukan
kawasan hutan menjadi APL pada lokasi-lokasi perubahan
peruntukan DPCLS yang di tunda penetapannya. Seperti
halnya kebijakan lain, pending zone/holding zone akan lebih
berhasil jika ada kebijakan tertulis yang dikeluarkan menteri
terkait.
Januari - Februari 2012 | buletin tata ruang

43

topik lain

PROGRAM
MANGROVE CAPITAL
Oleh: Redaksi Butaru

Sebagai negara yang banyak menggantungkan hidupnya pada


kawasan pesisir, kondisi hutan mangrove bisa jadi indikasi
terwujudnya keberlanjutan kehidupan masyarakat Indonesia.
Itu mengapa restorasi mangrove sangat diperlukan.
INDONESIA ADALAH negara yang paling kaya akan mangrove. Diketahui total luas
mangrove di Indonesia, yaitu 3,2 juta ha, merupakan lebih dari 20% luasan mangrove
di dunia. Mangrove memiliki berbagai nilai dan manfaat hingga ikut serta mendukung
mitigasi dan adaptasi perubahan iklim global. Namun, kini lebih dari 60% kondisinya
rusak akibat alih fungsi berbagai kepentingan. Oleh karena itu, Mangrove Capital
(organisasi sektor swasta dan masyarakat lokal) bersama pemerintah, berupaya
mendorong pengembangan beberapa proyek pilot baru berskala besar dan menguji
berbagai pilihan inovatif dengan menggunakan mangrove sebagai komponen kunci
pertahanan pesisir dan pengembangan akuakultur.

Mangroves are among Indonesias most


valuable natural assets

Penyelenggaraan program Mangrove Capital di Indonesia diinisiasi oleh Wetland


International dan mitranya (Wageningen University), Deltares, The Nature
Conservancy, Kementerian Kehutanan, Bakosurtanal dan IPB bertujuan memperbaiki
pengelolaan dan restorasi hutan mangrove sebagai strategi efektif memastikan
ketahanan terhadap bahaya alam dan dasar kemakmuran di wilayah pesisir.

Mangrove dan Komunitas Mangrove


Yang disebut sebagai mangrove ialah tumbuh-tumbuhan
yang hidup dan berkembang di daerah pasang surut (daerah
antara daratan dan laut) di wilayah tropik dan subtropik.
Asosiasi antara tumbuhan mangrove dengan berbagai
makhluk hidup (mikroba, fungi, flora, dan fauna lainnya) ini
mengakibatkan timbulnya komunitas.
Terdapat beberapa isu Mangrove yang krusial saat ini,
antara lain:
Terjadinya konversi lahan mangrove menjadi tambak
udang, infrastruktur publik, jalan, bangunan, pertanian dan
perkebunan
Terjadinya kerusakan mangrove akibat bencana alam yaitu
longsor, tsunami
Upaya Restorasi di yang tidak tepat, seperti pembagunan
seawall, pemecah gelombang megakibatkan kerusakan
mangrove
Kurangnya pemahaman nilai hutan mangrove sebagai
karbon stok, produtivitas air, biodeversity, kapasitas proteksi.
Isu kebijakan dan pelaksanaan (kebijakan greenbelt dan
rencana tata ruang)
44

buletin tata ruang | Januari - Februari 2012

Tabel. Dalam 20 tahun terjadi konversi hutan Mangrove


di seluruh wilayah Indonesia

Region

Area (ha)
1989

Present (2009)

Sumatera

857.000

576.956

Java

170.500

34.482

Bali Nusra

39.500

34.524

Kalimantan

1.092.000

638.283

Sulawesi

242.027

150.017

Maluku

197.500

178.751

Papua

1.500.000

1.634.003

Total

4.098.527

3.247.016

Source: RePPProt (1985 - 1989) cited in Giesen et al (1991); Bakosurtanal (2009)

Distribusi hutan mangrove dan nilai ekonominya bagi


masyarakat.
Visi Program Mangrove Capital
Adapun Visi Program Mangrove Capital adalah mereplikasi
pendekatan pengelolaan mangrove yang sukses untuk
seluruh Indonesia, serta memaksimalkan kontribusi
mangrove sehingga menghasilkan pertumbuhan ekonomi.
Karena mangrove sangat krusial dalam pembangunan
berkelanjutan, maka diperlukan upaya pengintegrasian
pengelolaan mangrove berkelanjutan ke dalam kebijakan
rencana tata ruang dan pemanfaatan lahan. Untuk itu
identifikasi luas mangrove yang akurat dibutuhkan, dimana
luas Mangrove di masing-masing Provinsi di Indonesia (data
tahun 2009) adalah sebagai berikut:
Tabel. Luas Mangrove masing-masing Provinsi berdasarkan hasil
pemetaan Mangrove 2009
Luas (Ha)

No.

No.
NAD

Propinsi

22.950.321

18

Jawa Timur

Propinsi

18.253.871

Luas (Ha)

Sumatera Utara

50.369.793

19

DKI Jakarta

500.675

Bengkulu

2.321.870

20

DI Yogyakarta

Jambi

12.528.323

21

Bali

1.925.046

Riau

206.292.642

22

NTT

20.678.450

Kepulauan Riau

54.681.915

23

NTB

11.921.179

Sumatera Barat

3.002.689

24

Sulawesi Utara

12.445.712

Bangka Belitung

64.567.396

25

Gorontalo

12.315.465

Sumatera Selatan

149.707.431

26

Sulawesi Tengah

43.746.508

10

Lampung

10.533.676

27

Sulawesi Barat

3.182.201

11

Kalimantan Barat

149.344.189

28

Sulawesi Selatan

12.821.497

12

Kalimantan Selatan

56.552.064

29

Sulawesi Tenggara

62.506.924

13

Kalimantan Tengah

68.132.451

30

Maluku

139.090.920

14

Kalimantan Timur

364.254.989

31

Maluku Utara

39.659.729

15

Banten

2.936.188

32

Papua Barat

475.734.835

16

Jawa Barat

7.932.953

33

Papua

1.158.268.619

17

Jawa Tengah

4.857.939

INDONESIA

3.244.018.460

0.000

Sumber: Guitno dkk(2009), Peta Mangrove Indonesia Pusat Survei


Sumberdaya Alam Laut Bakos

Program ini juga bagian dari upaya rehabilitasi hutan


mangrove yang saat ini masih sangat kecil dibanding
laju kerusakannya. Karena itu Kementerian Kehutanan
menyambut baik upaya pengelolaan hutan mangrove
melalui program Mangrove Capital.
Pada tahun 2010-2014, Kementerian Kehutanan akan
merehabilitasi lahan kritis, termasuk hutan mangrove,
hutan pantai, rawa dan gambut seluas 40.000 ha. Kemudian,
Pedoman Penyusunan RAD-GRK, sebagai tindak lanjut Perpres
No. 61 Tahun 2011, telah disusun dan diharapkan Raperpres
Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove Indonesia
dapat ditetapkan menjadi Perpres tahun 2012 ini.

Pieter van Eijk dan Femke Tonneijck dari WI-HQ mengatakan


kelestarian hutan mangrove berjalan seiring dengan
pendapatan masyarakat. Alasannya adalah karena mangrove
dapat menjaga kelestarian alam dan keanekaragaman hayati.
Maka, dengan menjaga hutan mangrove, masyarakat dapat
memanfaatkan hasil alamnya dengan maksimal.
Selain itu, mangrove dapat mereduksi resiko bencana, menyerap
karbon dan zat beracun dari air, meningkatkan salinitas air. Ini
mengapa mangrove krusial bagi pembangunan berkelanjutan.
Lebih lanjut, Mangrove sebagai natural water purification system
merepresentasikan hanya 1% dari total hutan tropis dan lahan
basah, tetapi dapat menyerap 25% karbon dunia. Kesempatan
ekonomi mangrove sangat luas, mulai dari ekoturisme, sumber
alam, produk farmasi dan bioteknologi. Mangrove juga
melindungi pesisir alami melalui tiga proses, yaitu redaman
gelombang, kenaikan elevasi dan reduksi erosi pesisir.

Upaya dalam Mendukung Mangrove Capital


Kementerian Kehutanan telah menyusun kebijakan rehabilitasi
mangrove yang diatur dalam Permenhut No. 35 Tahun 2010
tentang Perencanaan Teknis Rehabilitasi Hutan Mangrove dan
Pesisir. Kelompok Kerja Mangrove Nasional (KKMN) yang berdiri
tahun 2006 merupakan kelompok kerja lintas sektor, pakar dan
praktisi mangrove, serta LSM terkait pengelolaan mangrove.
Kedudukan ketua dan kesekretariatan KKMN bergilir setiap
tahun pada empat instansi utama pengelola ekosistem
mangrove, yaitu Kementerian Kelautan dan Perikanan,
Kementerian Kehutanan, Kementerian Dalam Negeri dan
Kementerian Lingkungan Hidup. KKMN diharapkan dapat
terus melakukan berbagai aktivitas koordinasi dan sinergi,
yang sedikit demi sedikit mengurai beberapa permasalahan
pengelolaan mangrove di Indonesia.
Lebih lanjut, untuk mewujudkan pengelolalan mangrove
yang lebih efektif, sinkronisasi data dan informasi harus
lebih baik dilakukan, karena selama ini masing-masing
instansi mengeluarkan data-data yang berbeda disesuaikan
dengan kepentingan masing-masing. Untuk itu, Kemendagri
secara khusus berusaha menggandeng Bakosurtanal untuk
membantu berperan aktif menggali informasi dan data untuk
melaksanakan pemetaan mangrove.
Peta Mangrove Indonesia pada tahun 2009 telah diterbitkan
Bakosurtanal, dimana buku tersebut dijadikan salah satu
output Kelompok Kerja Mangrove Nasional serta turut
disosialisakan dalam setiap kegiatan sosialisasi KKMN kepada
stakeholder di daerah. Sinkronisasi data, informasi dan peta
hutan mangrove untuk menghasillan data dan informasi
yang lebih baik dan akurat, akan menjadi salah satu agenda
penting program KKM pada tahun 2212, demi terwujudnya
pengelolaan mangrove yang berkelanjutan.

Referensi:
-Paparan Ekosistem Mangrove sebagai Soft Strucuture Pelindung Pantai/Kombinasi Hard Structure dan Soft Structure dalam Perlidungan Pantai, Kementerian
Kelautan dan Perikanan, pada Mangrove Capital Workshop 2012.

Januari - Februari 2012 | buletin tata ruang

45

Wacana

Cities Can
Lead Us

To A Green Future
Oleh: Redaksi Butaru

A major study done by two leading British university


has found that cities could take a leading role in
guiding the world to a more climate-friendly future.
Whats more, say the scientists, it could be done
within a suprisingly short period and a practically no
extra cost. They even found could save money.
THEY CONFIDENTLY state that investing just two percent of
modern citys gross domestic product (GDP) in low carbon and
energy-efficient opportunities for 10 years would reduce such
a city carbon emission levvels by 40 percent at no net cost.
The report, dubbed the :City-scale Minis Stern Review, wa
presented this week at COP17. The research was carried out
over 18 months by a team from University of York which has
headed by Proffesor Andy Gouldson of Leeds School of Earth
and Environment.

Collaborative
The investigation was commisioned by the Center for Low
Carbon Future, a collaborative membership organization
that focuses on whet it calls Sustainabiltiy for Competitive
Advantage. Founded by the universities of Hull, Leeds, Sheffield
and York, it brings together multidisciplinary abd evidencebased research to inform policy-aking and to demnostrate lowcarbon innovations. It says its activities are focused on enegry
systems, smart infrastructure and the circular economy.
The project focused on the importance of decarbonising
cities as part of a strategy to tackle global climate change. It
evaluated the cost and carbon-effectiveness of a wide rane
of low carbon options that could be applied to households,
industry, commerce and transport at the city scale.
A statement on the findings says that the top-line results
from the research showed that investment of two percent of
city scale GDP each year for 10 years would generate direct
annual savings of 2.2 percen of GDP a year. Furthermore,
every 1 billion pound (R12.79 billion) of investment in low
46

buletin tata ruang | Januari - Februari 2012

carbon option would generate 220 million pound of energy


cost savings each year in the forms reduced energy bills for
households, firms and the public sector. As a result, such
investment would be able to repaid in just over four years.
Durban, with its impressive skyline, could be aworld in showing
the rest of humanity how to live in harmony with nature.
Investment on this scale would result in numerous benefits
for cities, including meeting carbon reduction targets,
stimulating economic growth, reducing exposure to energy
costs and creating jobs.
Commenting on the research, John Price, director of the
Center for Low Carbon Future sayus: Finding financially
viable solutions to decarbonise our cities should be central
to our global cities change strategy. After all, more than half
of economic output in generated in cities, and more than
half of all people live ini cities-leading to 40 percent and 70
percent of all anthropogenic greenhouse emmissions bring
produced in cities. This reserach demonstrates that investing
in low carbon solutios now not only financially possible, but
also makes absolute economic sense.
Professor Goudson says: This research demonstrates that
investing in low carbon measures in not only cost effective, but
also can result on investment. More importantly, it can deliver
numerous benefits for huge number of peole around the world
who live in cities. It wont be possible with financial capital
alone, we need political and social buy in to make it happen.
The statement says the 2008 Research Assessment Exercise
showed the University of Leeds to be the UKs eight
biggest research powerhouse. The university is one of the
institutions in the UK and is a member of the Russel Group of
universities. Its vision is to secure a place among the worldss
top 50 Universities by 2015.
Referensi:
Leon Marshall Paper published on Durban local daily, 2011.

agenda

Agenda Kerja

BKPRN

JANUARI - FEBRUARI 2012

Menindaklanjuti dari Hasil Rakernas 2011 pada Pokja


1-4, dilakukan perumusan Agenda Kegiatan BKPRN pada
awal tahun 2012 yang sampai saat ini masih dalam proses
pembahasan bersama. Seluruh K/L (Kementerian/Lembaga)
anggota BKPRN diminta untuk memberikan masukan kepada
Sekretariat BKPRN (Bappenas) berupa agenda kegiatan
masing-masing K/L sepanjang tahun 2012-2013 yang
dirangkum menjadi sebuah Agenda Kerja yang komprehensif.
Draft awal agenda kerja telah dibahas bersama ketika rapat
BKPRN unit Eselon II pada tanggal 3 Februari 2012 yang lalu.
Maksud dari diadakannya rapat tersebut adalah untuk lebih
merinci agenda kerja BKPRN serta mengklarifikasi agenda
kerja yang telah dikirimkan oleh masing-masing K/L. Adapun
draft agenda BKPRN yang akan dibawa ke Rapat Eselon 1
pada tanggal 5 Maret 2012 adalah :
No.

Agenda Kegiatan BKPRN

Koordinator

Tahun
Pelaksanaan

Pokja 1 Koordinasi Penyiapan Kebijakan dan Peraturan Perundang-undangan


Bidang Penataan Ruang
1

Persetujuan substansi dari Menteri PU untuk


Perda RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota

Kemen. PU

2012 - 2013

Perpres RTR KSN dan Pulau/Kepulauan:


Persetujuan dari Eselon I & Menteri BKPRN

Kemen. PU

2012 - 2013

Persetujuan substansi dari Menteri Kehutanan


untuk RTRW seluruh provinsi

- Penyelesaian perubahan peruntukan fungsi kaw.


hutan melalui Timdu untuk 12 prov.

Kemenhut

- Penyelesaian perubahan peruntukan dan fungsi


kawasan hutan melalui Timdu untuk 3 provinsi

No.

Agenda Kegiatan BKPRN

Koordinator

Tahun
Pelaksanaan

16

Penyiapan/pengadaan peta kawasan hutan skala


1:50.000 & standarisasi/pengesahan peta dasar
kehutanan skala 1:250.000 dan 1:50.000

K e m e n h u t
berkoordinasi
dengan BPN dan
Bakosurtanal

2012 - 2013

Pokja 2 Koordinasi Peningkatan Kapasitas Kelembagaan


17

Penetapan mekanisme dan tata kerja (SOP) sekretariat, Tim Pelaksana dan Pokja BKPRN

Bappenas

2012

18

Pemantapan fungsi sekretariat BKPRN, antara lain


terkait fasilitas rapat koordinasi, kehumasan, dan
dokumentasi (web, newsletter, dsb.)

Bappenas

2012 - 2013

19

Penetapan mekanisme penyelesaian konflik


pemanfaatan ruang

Kemenko,
Perekonomian

2012

20

Review Keppres No. 4 Tahun 2009 tentang BKPRN


terkait dengan adanya usulan penambahan
keanggotaan BKPRN

Kemenko, &
kemendagri

2012

21

Penyelenggaraan Rakernas BKPRN

Kemenko
atau
kemendagri

2013

22

Penyelenggaraan Raker BKPRD di Pekanbaru Riau

Kemendagri

2012 (Bulan
November)

23

Penyelenggaraan Raker Regional BKPRN di


Banten dan Makasar

Kemendagri

2012 (bulan
Juni
dan
September)

Pokja 3 Koordinasi Perencanaan dan Program Penataan Ruang


24

Pelaksanaan rapat koordinasi kebijakan dan


program antar K/L untuk penyusunan agenda
kerja BKPRN 2012-2013

Bappenas

2012 - 2013

25

Pelaksanaan rapat triwulanan untuk melihat kemajuan pelaksanaan kegiatan BKPRN 2012-2013

Bappenas

2012 - 2013

26

Pemantauan penyelenggaraan penataan ruang


daerah

Masing-masing
K/L dilaporkan ke
Kemenko.

2012 - 2013

2012
2013

Keputusan Mendagri mengenai evaluasi Raperda


RTRW Provinsi

Kemendagri

2012 - 2013

27

Pemantauan pelaksanaan tindak lanjut hasil


Rakernas

Bappenas

2012

Penyusunan instrumen pemantauan dan evaluasi


penataan ruang kawasan nasional

Kemendagri

2012 - 2013

28

Publikasi atau sosialisasi produk studi tentang integrasi antara rencana tata ruang dengan rencana
pembangunan

Bappenas

2012

Penyelesaian RPP Tata Ruang Wilayah Pertahanan


menjadi PP

Kamenhan

2012 - 2013

Penyelesaian RPP Tingkat Ketelitian Peta menjadi PP

Bakosurtanal

2012

Penyiapan substansi revisi PP 26/2008 tentang


RTRWN(diantaranya yang terkait kawasan karst
dan kawasan lindung geologi, dan lainnya)

Penyelesaian NSPK:
- Pedoman Penyusunan RTR KSN;
- Pedoman Pengawasan Penataan Ruang; dll

10

Penyelesaian NSPK:
- Pedoman tentang Tata Cara PeranMasyarakat
dalam Perencanaan Tata Ruang
- Pedoman sinkronisasi peraturan dalam bentuk
SEB kepada Pemda

11

Penyelesaian Pedoman KLHS untuk Perubahan


Kawasan Hutan

12

Pedoman Teknis Perpetaan RDTR

13

Penyelesaian perangkat hukum dalam rangka


harmonisasi UU 26/2007 dengan UU 27/2007

14

Penyelesaian SEB Menhut kepada daerah untuk


penerapan holding zone dalam Raperda RTRWi

15

Supervisi dan Asistensi Peta RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota, RTR Pulau dan KSN

Kemen. PU
danK/L terkait

2012

Kemen. PU

2012

Pokja 4 Koordinasi Penyelesaian Sengketa dan Konflik Penataan Ruang


30

Penyelesaian sengketa dan konflik pemanfaatan


ruang

Kemenko,
Perekonomian

2012

31

Melakukan inventarisasi hasil audit pemanfaatan


ruang (stocktaking)

Kemen. PU

2012

Kemen PU

2012

Kemenko,
Perekonomian
berkoordinasi
dengan
K/L
terkait

2012

32

Penyelesaian masalah kekosongan hukum RTRW

Kemendagri

2012

LH

2012

Bakosurtanal

2012

KKP

2012

Kemenhut dan
Kemendagri

2012

Bakosurtanal

2012 - 2013

33

Penetapan kesepakatan (dalam bentuk


inpres atau lainnya) untuk menunda pemberian izin baru sementara menunggu
Perda RTRW baru ditetapkan
revisi peta indikatif penundaan izin baru
Penyelesaian mekanisme penyelesaian
masalah alih fungsi lahan

Selain itu, selama periode Januari Februari ini juga terdapat


beberapa pembahasan Raperda RTRW beberapa Kab./
Kota. Diantaranya adalah Kab. Keerom, Kab. Nduga, Kab.
Puncak, Kab. Sinjai, Kab. Pidie Jaya, Kota Banjar Baru dan
Kota Palopo. Sehingga jumlah Kabupaten-Kota yang masih
belum melakukan pembahasan pada forum BKPRN menjadi
37 Kabupaten.
Januari - Februari 2012 | buletin tata ruang

47

The health of the land is the capacity of the


land for self-renewal. Conservation is our effort
to understand and preserve this capacity.

Anda mungkin juga menyukai