Anda di halaman 1dari 56

Media Informasi Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Diterbitkan oleh: Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan

Lingkungan Penasihat/Pelindung: Direktur Jenderal Tata Perkotaan dan Perdesaan, DEPKIMPRASWIL Penanggung Jawab: Direktur Permukiman dan Perumahan, BAPPENAS Direktur Penyehatan Air dan Sanitasi, DEPKES Direktur Perkotaan dan Perdesaan Wilayah Timur, DEPKIMPRASWIL Direktur Bina Sumber Daya Alam dan Teknologi Tepat Guna, DEPDAGRI Direktur Penataan Ruang dan Lingkungan Hidup, DEPDAGRI Pemimpin Redaksi: Oswar Mungkasa Dewan Redaksi: Hartoyo, Johan Susmono, Indar Parawansa, Poedjastanto Redaktur Pelaksana: Maraita Listyasari, Rewang Budiyana, Rheidda Pramudhy, Joko Wartono, Essy Asiah, Mujiyanto Desain/Ilustrasi: Rudi Kosasih Produksi: Machrudin Sirkulasi/Distribusi: Anggie Rifki Alamat Redaksi: Jl. Cianjur No. 4 Menteng, Jakarta Pusat. Telp. (021) 31904113 e-mail: redaksipercik@yahoo.com redaksi@ampl.or.id oswar@bappenas.go.id Redaksi menerima kiriman tulisan/artikel dari luar. Isi berkaitan dengan air minum dan penyehatan lingkungan dan belum pernah dipublikasikan. Panjang naskah tak dibatasi. Sertakan identitas diri. Redaksi berhak mengeditnya. Silahkan kirim ke alamat di atas.
foto cover: MUJIYANTO/PERCIK

Dari Redaksi Suara Anda Laporan Utama Sampah Masih Jadi Sampah Seputar Sampah Upaya Mengurangi Emisi Metan dari TPA Belajarlah Sampah ke Negeri Cina Program Bangun Praja, Memacu Daerah Peduli Lingkungan Wawancara Penanganan Sampah Jelek, Tingkat Kesehatan Rendah Wawasan Sampah Sebagai Sumber Energi, Tantangan Bagi Dunia Persampahan Indonesia Masa Depan Pre-Studi Masalah Sampah, Kasus Kota Surabaya Pengelolaan Sampah di Makassar Pengelolaan Program Air Minum dan Penyehatan Lingkungan dan Tantangan ke Depan Masalah AMPL di Kabupaten Kebumen Sistem Pengolahan Air Limbah Rumah Tangga di Kota Tangerang Sampah Membawa Berkah di Desa Temesi, Kabupaten Gianyar, Bali Reportase Kiprah Ny. Bambang Sampah Wahono, Kelola Sampah, Hijaukan Banjarsari Ragam Ragam Teknologi Pengolahan Sampah Kapsul Sampah, Model Penyimpanan Sampah Jangka Panjang Teropong Perusahaan Daerah (PD) Kebersihan Kota Bandung Info Buku Info CD Info Situs Kunjungan Diseminasi Program WASPOLA di Propinsi Gorontalo Pringga Jurang Keruntuhan Bulan Seputar WASPOLA Pelaksanaan Kebijakan Nasional AMPL Berbasis Masyarakat di Daerah Lokakarya Kelompok Kerja WASPOLA Pertemuan Tim Pengarah WASPOLA Seputar AMPL Orientasi MPA/PHAST Pokja AMPL Ikuti Nusantara Water 2004 Pertemuan Perencanaan dan Evaluasi Proyek ProAir Seminar Teknologi Tepat Guna Pengolahan Limbah Cair Persiapan Proyek ProAir di Kabupaten Alor Pustaka AMPL Agenda Glosari

1 2 3 3 6 8 9 11 13

16 18 20 22 23 25 27

29 32 34 35 37 38 39 40 41 42 44 45 46 47 47 48 49 50 51 52

DARI REDAKSI
embaca, Percik mulai menapaki babak baru yakni bagaimana Percik mulai menjangkau para pemangku kepentingan air minum dan penyehatan lingkungan di seluruh Tanah Air. Percik telah menyebar dari Sabang sampai Merauke meski dalam jumlah yang terbatas. Alhamdulillah, berbagai kalangan menyambut hangat kehadiran Percik. Ini dibuktikan dengan banyaknya tanggapan yang datang kepada kami. Bahkan ada beberapa kalangan yang berharap bisa berlangganan Percik kendati harus membayar padahal Percik merupakan majalah gratis. Ini tentu hal yang membahagiakan kami. Beberapa waktu lalu kami mengikuti Nusantara Water 2004 di Jakarta Convention Center bersama dengan Program WASPOLA dan Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (Pokja AMPL) sebagai induk kami. Langkah itu merupakan upaya kami untuk makin mendekatkan Percik ke tengahtengah pemangku kepentingan AMPL. Kami akan terus berupaya agar majalah ini makin eksis dan menjadi rujukan, referensi, dan wadah komunikasi bagi pihak-pihak terkait di bidang ini. Pembaca, pada edisi ini, Percik hadir dengan laporan utama mengenai sampah. Mengapa ini diangkat? Sampah merupakan suatu hal yang masih menjadi persoalan di negeri ini. Isu penyehatan lingkungan tak pernah lepas dari sampah. Semua orang tahu itu, tapi tak semua orang memiliki kepedulian terhadap masalah yang satu ini. Ibarat peribahasa, Anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu, sampah tak pernah kunjung usai penanganannya meski banyak pihak berbicara kebersihan dan kesehatan.

FOTO: OM

LESEHAN Salah satu kekhasan dari Kelompok Kerja AMPL Pusat adalah lesehan dalam beberapa lokakarya.

Persoalan sampah sebenarnya bukan sekadar persoalan teknis. Teknologi apa yang cocok dan berapa dana yang dibutuhkan. Sekjen Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Budiman Arief, menjelaskan itu. Kuncinya, penanganan sampah harus merupakan langkah yang sistemik. Lebih dari itu, menarik kiranya pandangan M. Gempur Adnan, Deputi Menteri Negara Lingkungan Hidup Bidang Peningkatan Kapasitas Pengelolaan Lingkungan Hidup Kewilayahan bahwa itu semua tergantung komitmen semua pihak. Tanpa ada komitmen, jangan diharap persoalan sampah akan tuntas. Dana hanyalah masalah nomor kesekian. Percik kali ini juga banyak memuat artikel-artikel sampah dari para praktisi dan pegiat sampah. Kami berharap dengan banyaknya artikel yang sesuai dengan laporan

utama, pengetahuan kita mengenai sampah semakin bertambah luas. Yang tak kalah menarik, ada reportase mengenai peran perempuan dalam mengelola sampah sejak dari hulu. Berkat keuletannya itu, kampungnya yang berada di jantung kota Jakarta, berubah hijau dan asri. Bahkan kini kampung tersebut menjadi salah satu tujuan wisata lingkungan. Banyak orang, baik dari dalam dan luar negeri, yang belajar dari perempuan tersebut. Dan berkat usahanya itu pula ia menyabet berbagai penghargaan. Seperti biasanya, Percik tetap menampilkan rubrik-rubrik rutin lainnya. Kami berharap ada masukan dan kritik dari para pembaca demi perbaikan majalah ini ke depan. Akhirnya kami berharap Percik berguna bagi Anda, para pembaca. Salam.

Percik I/ Agustus 2004 Vol. 5 Tahun

S UARA ANDA
MDGs Kurang Greget
Kami ucapkan selamat atas terbitnya media informasi Percik. Izinkanlah kami menyarankan agar Millennium Development Goals (MDGs) disosialisasikan terlebih dahulu ke daerah supaya gregetnya atau gaungnya sampai ke telinga masyarakat sehingga masyarakat sendiri terinspirasi dan memiliki tanggung jawab moral untuk mewujudkan target MDGs.
Natalia Silitonga Kantor Bupati Toba Samosir Bagian Perekonomian-Kasubbag Kimpraswil Jl. Pagar Batu No. 1 Balige Sumatera Utara

melakukan sosialisasi. Kami pun ikut andil dalam masalah ini dengan memuatnya pada Percik edisi 3 yang lalu. Apa yang kami lakukan memang belum apa-apa tanpa ada gerakan sosialisasi yang tersistem dari para pemangku kepentingan MDGs itu sendiri. (Redaksi)

hatan Kabupaten Musi Rawas, Prop. Sumatera Selatan, menuju Indonesia Sehat 2010.
Drs. H. Syamsul Anwar, MF, MM Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Musi Rawas

Membantu Stakeholder di Daerah


Adanya media informasi air minum dan penyehatan lingkungan (Percik) akan sangat membantu kami dalam melaksanakan interaksi dengan pemangku kepentingan (stakeholder) di bidang air minum agar tercipta suatu kerja sama para pemangku kepentingan dengan program seksi penyehatan air dan pengamanan limbah di Dinas Kese-

Kami sangat senang bila para pembaca bisa mengambil manfaat dari Percik. Majalah ini memang diterbitkan untuk menyosialisasikan berbagai kebijakan dan program air minum dan penyehatan lingkungan sekaligus menjadi ajang para pemangku kepentingan untuk saling berbagi pengalaman dan berkomunikasi. (Redaksi) Kami menerima ucapan selamat dan terima kasih dari berbagai pihak yang tidak bisa kami sebut satu per satu atas terbit dan dikirimnya Percik. (Redaksi)

Saran Anda sangat sesuai dengan harapan kami. Para pemangku kepentingan soal ini kini sedang berupaya

L O M B A K A R YA T U L I S
Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (Pokja AMPL) bekerja sama dengan Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (Dep. KIMPRASWIL) Menyelenggarakan Lomba Karya Tulis Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (AMPL) TEMA : PENYELENGGARAAN AIR MINUM DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN BERBASIS MASYARAKAT SUB TEMA : 1) Pemberdayaan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan 2) Pendanaan Berbasis Masyarakat dalam Penyelenggaraan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan 3) Kelembagaan Pengelolaan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan berbasis masyarakat 4) Peran Wanita dalam Penyelenggaraan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan PERSYARATAN 1. Peserta Lomba : Masyarakat Umum 2. Panjang tulisan 10-15 halaman folio; 1,5 spasi dan ditulis dalam bahasa Indonesia. Naskah digandakan 5 (lima) kali. 3. Tulisan belum pernah dipublikasikan 4. Peserta melampirkan foto copy identitas. 5. Karya Tulis diserahkan ke Panitia Lomba Paling Lambat tanggal 28 Oktober 2004 6. Pemenang Karya Tulis akan Diumumkan tanggal 28 November 2004 7. Hadiah: Pemenang 1 Rp. 5.000.000 Pemenang 2 Rp. 3.000.000 Pemenang 3 Rp. 1.500.000 Keterangan lebih lanjut silakan hubungi Panitia Lomba Karya Tulis Jl Cianjur No. 4 Menteng, Jakarta Pusat Telp. (021) 31904113

Percik I/ Agustus 2004 Vol. 5 Tahun

L APORAN UTAMA

Masih Jadi Sampah


FOTO: MUJIYANTO

SAMPAH

Kita tidak pernah lepas dari sampah. Setiap hari ada saja sampah yang harus kita buang. Entah di kantor, di rumah, di manapun kita berada. Tidak heran ketika kita tidak mengelola dengan baik maka sampah akan dengan mudah kita temui bertebaran di sekitar kita.

ungkin bagi sebagian orang selembar kertas, atau setas limbah rumah tangga tak jadi masalah. Tapi begitu kertas dan limbah rumah tangga itu berkumpul dengan sampah sejenis dari banyak orang, persoalan akan timbul, apalagi di perkotaan yang lahannya terbatas. Dan faktanya menunjukkan potensi timbulan sampah terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk.

Timbulan sampah Tidak tersedia data berapa persisnya jumlah timbulan sampah di Indonesia. Namun berdasar hasil perhitungan Bappenas sebagaimana tercantum dalam Buku Infrastruktur Indonesia, pada tahun 1995 perkiraan timbulan sampah di Indonesia mencapai 22,5 juta ton, dan meningkat lebih dua kali lipat pada tahun 2020 menjadi 53,7 juta ton. Sementara di kota besar di Indonesia diperkirakan timbulan sampah per kapita berkisar antara

600 830 gram per hari. Sebagai ilustrasi betapa besarnya timbulan sampah yang dihasilkan, data beberapa kota besar di Indonesia dapat menjadi rujukan. Kota Jakarta setiap hari menghasilkan timbulan sampah sebesar 6,2 ribu ton, Kota Bandung sebesar 2,1 ribu ton, Kota Surabaya sebesar 1,7 ribu ton, dan Kota Makassar 0,8 ribu ton (Damanhuri, 2002). Jumlah tersebut membutuhkan upaya yang tidak sedikit dalam penanganannya. Berdasarkan data tersebut diperkirakan kebutuhan lahan untuk TPA di Indonesia pada tahun 1995 yaitu seluas 675 ha, dan meningkat menjadi 1.610 ha pada tahun 2020. Kondisi ini akan menjadi masalah besar dengan memperhatikan semakin terbatasnya lahan kosong khususnya di perkotaan. Salah satu contoh terkini adalah kesulitan pemerintah DKI Jakarta dalam menyedi-

Percik I/ Agustus 2004 Vol. 5 Tahun

L APORAN UTAMA
akan lahan untuk pengolahan sampah setelah TPA Bantar Gebang tidak dapat dipergunakan lagi. Penanganan Sampah Menurut data BPS, pada tahun 2001 timbulan sampah yang diangkut hanya mencapai 18,03 persen, sementara selebihnya ditimbun 10,46 persen, dibuat kompos 3,51 persen, dibakar 43,76 persen, dan lainnya (dibuang ke sungai, pekarangan kosong dan lainnya) 24,24 persen. Terlihat bahwa sampah yang diangkut masih sangat sedikit, demikian pula sampah yang diproses menjadi kompos, sementara yang dibakar dan dibuang ke tempat yang tidak seharusnya bahkan masih mencapai 68 persen. Kondisi ini menunjukkan masih besarnya potensi sampah menjadi sumber pencemaran baik udara, maupun air termasuk menjadi pemicu timbulnya penyakit. Di daerah perkotaan sekalipun, sampah yang dibakar dan dibuang sembarangan masih mencapai 50,76 persen. Proporsi sampah yang ditimbun sendiri masih cukup besar mencapai 10,46 persen. Sampah seperti plastik dan sejenisnya relatif sulit diurai sehingga penanganan sampah dengan cara menimbun menjadi kurang tepat. Pengomposan juga belum populer di masyarakat. Sebagian besar Tempat Pengolahan Akhir (TPA) sampah direncanakan menggunakan sistem sanitary landfill. Namun dalam perjalanan waktu, akhirnya sebagian besar TPA tersebut akhirnya menggunakan sistem open dumping (70 persen) dan hanya sebagian kecil yang tetap menggunakan sistem controlled landfill dan sanitary landfill (30 persen). Beberapa kota yang menerapkan controlled landfill di antaranya Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Padang, Malang, Yogyakarta, Pontianak, Balikpapan, Banjarmasin, dan Denpasar.
persen

mulai dilakukan walaupun masih dalam skala kecil dan sebagian besar dilakukan oleh pemulung. 60 Pengomposan pun sudah dila50 kukan namun dalam jumlah yang 40 sangat terbatas. 30 Sementara itu TPA yang ada 20 10 tidak dikelola dengan baik. Masih 0 terjadi pembakaran sampah Diangkut Ditimbun Dibuat Dibakar Lainnya untuk mengurangi timbunan Kompos sampah, dan tidak terkelolanya gas metan yang dihasilkan oleh Perkotaan Perdesaan Total timbunan sampah. Sementara dalam Kyoto Protocol yang sudah diratifikasi oleh pemerintah Penyebab rendahnya penerapan sis- Indonesia, pengurangan gas metan mentem sanitary landfill di Indonesia, antara jadi salah satu persyaratan. Masalah lainlain, rendahnya disiplin pengelola dalam nya yang timbul akibat pengelolaan TPA menerapkan prosedur teknis, terbatasnya yang tidak sesuai persyaratan di anggaran untuk operasi dan pemeli- antaranya timbulnya bau, menurunnya haraan, sulitnya mendapatkan tanah kualitas air akibat pembuangan sampah penutup, terbatasnya ketersediaan alat ke sungai, merembesnya air lindi dari berat, rendahnya kualitas sumber daya TPA ke air tanah dangkal dan air permanusia, dan belum terorganisasikannya mukaan, pencemaran udara serta merepemulung di lokasi TPA sebagai bagian baknya dioxin yang bersifat karsinogen. Kesadaran masyarakat akan kebersihterpadu sistem sanitary landfill. an sudah baik tetapi terbatas hanya pada lingkungan halaman rumah saja. Rumah Karakteristik Sampah Karakteristik sampah perkotaan memang bebas dari sampah tetapi samberbeda dengan sampah perdesaan. pah tersebut dibuang tidak pada tempatSecara umum, sampah perkotaan di nya seperti selokan, sungai, dan bahkan Indonesia memiliki komposisi 80 persen halaman kosong milik tetangga. Fenosampah organik, dan selebihnya sampah mena NIMBY (Not In My Backyard) sanon-organik. Sampah non organik terse- ngat terasa di sini. Hal ini juga didorong oleh belum but separuhnya merupakan sampah plastersedianya pelayanan persampahan tik. yang memadai. Jika dibandingkan dengan kesediaan Isu Utama Cakupan pelayanan pengelolaan per- membayar pelayanan air minum maka sampahan yang masih rendah khususnya kesediaan membayar pengelolaan samdi perkotaan dapat berdampak pada pah relatif lebih rendah. Ini terjadi karemeningkatnya wabah penyakit menular na masyarakat tidak mengetahui sebeseperti tipus, kolera, muntaber, disentri, narnya seperti apa pengelolaan sampah pes, leptospirosis, salmonelosis, demam itu berlangsung. Rendahnya tingkat pengorbanan gigitan tikus. Selain juga sampah yang dibuang ke sungai dan saluran pembu- masyarakat untuk memberikan kontribusinya berbanding terbalik dengan angan berpotensi menimbulkan banjir. Prinsip pengurangan timbulan sam- jumlah timbulan sampah. Kebutuhan pah pada dasarnya telah dikenal dan lahan untuk lokasi TPA meningkat. Perlu
Penanganan Sam pah (%)

Percik I/ Agustus 2004 Vol. 5 Tahun

L APORAN UTAMA
dicari alternatif pengolahan sampah yang tidak memerlukan lahan yang luas. Di sisi lain, saat ini belum tersedia kebijakan nasional persampahan yang dapat menjadi payung pengelolaan persampahan oleh seluruh pemangku kepentingan. Peraturan-peraturan yang ada tercecer di daerah atau instansi sektoral. Wajar bila hingga kini belum terwujud sistem kelembagaan, koordinasi dan integrasi pengelolaan sampah. Dimulainya era otonomi daerah menjadikan pengelolaan sampah menjadi kewenangan pemerintah daerah. Namun di lain pihak, masih banyak pemerintah daerah yang menganggap persampahan bukan prioritas. Ini terlihat dari minimnya alokasi anggaran ke sektor ini. Kebijakan ke Depan Penyelesaian persampahan mau tidak mau harus dilakukan secara sistemik dan terintegrasi dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Apalagi pada 2025 telah dicanangkan sebagai tahun zero waste (bebas sampah) dunia. Beberapa langkah yang bisa diambil dalam rangka menuju ke arah itu yakni: 1. Mengurangi volume timbulan sampah dengan menggunakan konsep 3R (reduce, reuse, dan recycle). Metode ini perlu disosialisasikan ke tengah-tengah masyarakat agar mereka mau menggunakan kembali dan mendaur ulang sampahnya. Tentu langkah ini perlu dibarengi penyadaran akan pentingnya memilah sampah di rumah tangga sehingga memudahkan pengolahan pada tahap berikutnya. Konsep 3R akan makin efektif jika didukung peraturan perundang-undangan yang memberikan penghargaan dan hukuman (reward and punishment) kepada semua pemangku kepentingan yang terkait, apakah itu pemulung, masyarakat, dan lainnya. Selain itu, pemanfaatan sampah sebagai sumber energi (wasre to energy) layak untuk diperhatikan mengingat hingga kini belum ada pihak yang mempraktekkan langkah ini di Indonesia. Bila sampah telah termanfaatkan sejak dari hulu maka sistem sanitary landfill tidak memerlukan lahan yang luas dengan biaya besar. Sanitary landfill hanya digunakan untuk mengolah residu dari hasil pembakaran insinerator. 2. Peningkatan peran masyarakat dan dunia usaha Langkah mengurangi timbulan sampah tidak akan efektif tanpa peran aktif masyarakat. Merekalah penghasil utama sampah dan mereka pula yang merasakan dampak negatifnya bila sampah tak dikelola dengan baik. Kuncinya adalah peningkatan kesadaran dan tanggung jawab dalam pengelolaan sampah. Masyarakat bisa berperan sebagai a) pengelola (mengurangi timbulan sampah dari sumber); b) pengawas (mengawasi tahapan pengelolaan agar berjalan dengan benar); c) pemanfaat (memanfaatkan sampah secara individu, kelompok, atau kerja sama dengan dunia usaha); d) pengolah (mengoperasikan dan memelihara sarana dan prasarana pengolah sampah); e) penyedia biaya pengelolaan (lihat diagram.) 3. Peningkatan peran antarpemerintah daerah dalam pengelolaan sampah Persoalan sampah pada dasarnya bukan persoalan individual kota tapi persoalan regional. Polusi udara, air, dan tanah berdampak pada wilayah yang luas melintasi batas administratif. Oleh karena itu penentuan lokasi TPA yang selama ini berdasarkan wilayah administratif menjadi tidak relevan. Di masa mendatang konsep TPA regional dan terpusat (regional solid waste management) perlu dikembangkan sebagai upaya bersama dalam mengatasi kesulitan lahan TPA. 4. Pengembangan teknologi baru Kemampuan pelayanan persampahan tergantung pada pilihan teknologi yang tersedia. Penggunaan teknologi yang tepat akan mengoptimalkan pengelolaan persampahan. Oleh karena itu, penggunaan teknologi baru bisa menjadi alternatif peningkatan kemampuan pengelolaan persampahan khususnya di kota besar. 5. Peningkatan kampanye perilaku hidup bersih dan sehat Pengelolaan sampah tak akan berhasil tanpa ada kesadaran masyarakat bahwa lingkungan sehat juga merupakan kebutuhan pokok mereka. Peningkatan kesadaran ini harus dilakukan secara terus menerus kepada seluruh lapisan masyarakat. Program edukasi di bidang kesehatan perlu ditanamkan sejak dini kepada siswa sekolah. Akhirnya, meningkatkan kepedulian semua pemangku kepentingan (stakeholder) di bidang persampahan tak bisa ditawar-tawar lagi. Seberapa canggih teknologi, uang banyak, sumber daya bagus, tapi tidak ada perhatian serius dari pemangku kepentingan, maka persoalan sampah akan tetap menjadi sampah. OM/MJ

Percik I/ Agustus 2004 Vol. 5 Tahun

L APORAN UTAMA

Seputar Sampah
FOTO: OSWAR MUNGKASA

Apa itu sampah? Sampah adalah suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari sumber hasil aktifitas manusia maupun alam yang belum memiliki nilai ekonomis Bagaimana pengklasifikasian sampah? Sampah dapat diklasifikasikan berdasar sumbernya yaitu (i) sampah domestik yang terdiri dari sampah rumah tangga, bongkaran bangunan, sanitasi dan sampah jalanan. Secara umum sampah jenis ini berasal dari perumahan dan kompleks perdagangan (ii) sampah berbahaya seperti sampah industri dan sampah rumah sakit yang kemungkinan mengandung racun. Beberapa sampah rumah tangga juga termasuk sampah berbahaya seperti baterai, semir sepatucat, botol obat; (iii) sampah medis Sampah dapat diklasifikasikan berdasar bentuknya yaitu (i) sampah anorganik/kering seperti logam, besi, kaleng, botol yang tidak dapat mengalami pembusukan secara alami; (ii) sampah organik/basah seperti sampah dapur, restoran, sisa makanan yang dapat mengalami pembusukan secara alami; (iii) sampah berbahaya seperti baterai, jarum suntik bekas. Sampah dapat diklasifikasikan berdasar kemampuan sampah untuk dihancurkan yaitu (i) biodegradable yaitu sampah yang dapat mengalami pembusukan alami termasuk sampah organik seperti sampah dapur, sayuran, buah, bunga, daun dan kertas; (ii) nonbiodegradable yang terdiri dari sampah daur ulang seperti plastik, kertas, gelas; sampah beracun seperti obat, cat, baterai, semir sepatu; sampah medis seperti jarum suntik. Berapakah waktu yang dibutuhkan untuk menghancurkan sampah? Lama waktu yang dibutuhkan untuk menghancurkan sampah sangat beragam

Sampah organik (tumbuhan, buah dan sejenisnya) Kertas Baju katun Kayu wool Wool Alumunium, kaleng, dan sejenisnya Kantong plastik Botol gelas

1-2 minggu 10-30 hari 2-5 bulan 10-15 tahun 1 tahun 100-500 tahun 1 juta tahun? Tidak diketahui

tergantung pada jenis sampah. Pada umumnya sampah organik dapat dihancurkan dalam jangka waktu singkat, sementara sampah seperti plastik bahkan diperkirakan baru akan hancur setelah 1 juta tahun. Bagaimana langkah pengurangan produksi sampah domestik? Produksi sampah dapat dikurangi.
4R (Refuse, Reuse, Recycle, Reduce)
1. Refuse. Menggunakan barang yang yang lebih tahan lama dari lebih tahan lama dari pada barang pada sekali pakai. barang sekali pakai. Reduce. Mengurangi 2. 2. Reduce. Mengurangi timbulan timbulan sampah. sampah. Reuse. Menggunakan yang 3. 3. Reuse. Menggunakan barangbarang bisa dipergunakan kembali. yang bisa dipergunakan 4. Recycle. Menggunakan barang yang kembali. bisa Recycle. Menggunakan 4. didaur ulang.

1.

Refuse. Menggunakan barang

Prinsipnya adalah pengurangan sampah tersebut harus dilakukan sedekat mungkin dengan sumbernya. Dalam kaitan dengan pengurangan sampah, maka kita telah mengenal prinsip 3R (Reduce, Reuse, Recycle) yang kemudian berkembang menjadi 4R (Reduce, Reuse, Recycle, Refuse). Perbedaan mendasar dari prinsip 3R dan 4R terletak pada penambahan prinsip Refuse (kadang disebut juga replace) yang memfokuskan pada penggunaan barang yang lebih tahan lama dibanding barang sekali pakai. Keuntungan penerapan prinsip 4R di antaranya adalah mengurangi efek rumah kaca, mengurangi polusi udara dan air, menghemat energi, konservasi sumber daya, mengurangi kebutuhan lahan untuk TPA, menciptakan lapangan kerja, dan mendorong penciptaan teknologi hijau. Jenis sampah sangat bergantung pada budaya masyarakat. Pada masyarakat modern khususnya di kota besar penggunaan sampah plastik sangat dominan. Sebagai ilustrasi, sebagian besar sampah domestik berasal dari kantong plastik (kresek) belanja rumah tangga, atau styrofoam untuk wadah makanan. Sementara sampah plastik merupakan ancaman terbesar bagi lingkungan karena waktu hancurnya mencapai 1 juta tahun (mungkin sudah keburu kiamat sebelum sam-

Percik I/ Agustus 2004 Vol. 5 Tahun

L APORAN UTAMA
FOTO: MUJIYANTO

bakaran sampah dilakukan sebagai alternatif terakhir atau lebih difokuskan pada penanganan sampah medis. (v). Pengomposan. Pengomposan adalah proses biologi yang memungkinkan organisme kecil mengubah sampah organik menjadi pupuk. Sampai seberapa jauh tanggung jawab produsen? Jika rumah tangga diberi peran untuk mengurangi timbulan sampah melalui prinsip 4R, maka produsen seharusnya juga diberi tanggungjawab yang jelas. Produsen dapat membantu rumah tangga dalam menerapkan prinsip 4R tersebut. Salah satunya melalui EPR (Extended Producer Responsibility/Perluasan Tanggung jawab Produsen) yang merupakan usaha mendorong produsen untuk menggunakan kembali produk dan kemasan yang diproduksinya. Pemberian insentif bagi produsen menjadi suatu keniscayaan. OM

pah plastik tersebut hancur). Kondisi ini menyadarkan kita akan semakin pentingnya penerapan prinsip 4R dalam mengurangi timbulan sampah. Jadi gerakan mengurangi timbulan sampah harus dimulai dari sumbernya yaitu rumah tangga itu sendiri. Oleh karenanya penerapan prinsip ini sangat tergantung pada kesadaran masyarakat. Bagaimana cara pengolahan sampah? Terdapat paling tidak lima cara yang dikenal secara umum dalam pengolahan sampah yaitu (i). Open dumps. Open dumps mengacu pada cara pembuangan sampah pada area terbuka tanpa dilakukan proses apapun. (ii). Landfills. Landfills adalah lokasi pembuangan sampah yang relatif lebih baik dari open dumping. Sampah yang ada ditutup dengan tanah kemudian dipadatkan. Setelah lokasi penuh maka lokasi landfill akan ditutup tanah tebal dan kemudian lokasi tersebut biasanya dijadikan tempat parkir. (iii). Sanitary landfills. Berbeda dengan landfills maka sanitary landfills menggunakan material yang kedap air sehingga rembesan air dari sampah tidak akan mencemari lingkungan sekitar.

Biaya sanitary landfills relatif jauh lebih mahal. (iv). Insinerator. Pada cara pengolahan menggunakan insinerator, dilakukan pembakaran sampah dengan terlebih dahulu memisahkan sampah daur ulang. Sampah yang tidak dapat didaur ulang kemudian dibakar. Biasanya proses pem-

Fakta Sampah di Amerika Serikat


Tahun 2001 produksi sampah mencapai 229 juta ton atau sekitar 4,4 pon per orang per hari. Meningkat hampir dua kali produksi sampah tahun 1960. Sekitar 30 persen sampah didaur ulang, 15 persen dibakar, dan 56 persen dibuang ke TPA Pada tahun 1999, daur ulang dan pengomposan mengurangi 64 juta ton sampah yang seharusnya dikirim ke TPA. Sekarang ini proses daur ulang dilakukan terhadap 30 persen produksi sampah. Persentase ini meningkat dua kali lipat dibandingkan kondisi 15 tahun yang lalu Daur ulang baterai mencapai 94 persen, kertas 42 persen, botol plastik 40 persen, kaleng minuman ringan dan bir 55 persen Jumlah TPA berkurang dari 8.000 lokasi pada 1998 menjadi 1.858 lokasi pada 2001 dengan kapasitas yang relatif sama.

Fakta Sampah Negara Lain


Amerika Serikat merupakan negara maju penghasil sampah terbesar di dunia yaitu 4,4 pon sampah per kapita per hari, disusul Kanada 3,75 pon dan Belanda 3 pon. Jerman dan Swedia merupakan negara maju dengan produksi sampah terendah. Amerika Serikat merupakan negara maju dengan proporsi daur ulang terbesar yakni 24 persen, disusul Swiss 23 persen, dan Jepang 20 persen.

Percik I/ Agustus 2004 Vol. 5 Tahun

L APORAN UTAMA

Emisi Metan dari TPA


T
PA merupakan sumber terbesar emisi metan di Amerika Serikat bahkan mungkin juga di Indonesia. Padahal sebenarnya emisi metan dari TPA dapat menjadi salah satu sumber energi yang potensial. LFG (Landfill Gas) dihasilkan ketika sampah dihancurkan di TPA. Gas ini terdiri dari 50 persen metan (CH4), komponen utama gas alam, dan sisanya CO2. Sebagai ilustrasi per Desember 2003, terdapat 360 proyek energi berbasis LFG di Amerika Serikat dan sekitar 600 TPA yang potensial untuk proyek sejenis. Beberapa keuntungan dari penggunaan energi LFG adalah (i) akan mengurangi bau; (ii) mencegah gas metan terlepas ke atmosfir dan mempengaruhi iklim global. Diperkirakan proyek LFG akan mencegah sekitar 60-90 persen metan yang dihasilkan dari proses di TPA, tergantung pada jenis teknologi yang dipergunakan. Metan tersebut diproses menjadi air dan CO2 ketika gas diubah menjadi listrik. Untuk sekitar
FOTO: FANI WEDAHUDITAMA

Upaya Mengurangi

4 megawatt listrik setara dengan menanam 60 ribu are hutan setahun atau mengurangi emisi CO2 dari 45 ribu mobil setahun. Energi yang dihasilkan juga dapat menggantikan penggunaan batu bara dari 1.000 kereta api atau penggunaan 500 ribu barel minyak; (iii) mengurangi polusi udara dengan mengurangi penggunaan bahan bakar yang tidak ter-

Sampah dan Perubahan Iklim


ungkin kita kurang menyadari bahwa sampah dapat mempengaruhi iklim melalui emisi gas rumah kaca dengan berbagai cara. Bagaimana kaitan sampah dan perubahan iklim? Pertama. Penghancuran sampah di TPA menghasilkan gas metan, yang berpotensi 21 kali lebih kuat dari gas CO2 dalam menyumbang efek rumah kaca. Kedua. Insinerator menghasilkan CO2. Sebagai tambahan, kendaraan yang mengangkut sampah juga memproduksi CO2.

Bagaimana strategi pengelolaan sampah mengurangi emisi gas rumah kaca? Pengurangan timbulan sampah organik yang diolah di TPA akan mengurangi gas metan yang dihasilkan dalam proses penghancuran sampah tersebut. Pengurangan timbulan sampah yang diolah insinerator akan mengurangi emisi gas rumah kaca. Barang yang dapat di daur ulang biasanya menggunakan lebih sedikit energi dalam proses pengolahannya sehingga dapat mengurangi emisi.

barukan seperti batu bara, gas alam dan minyak; (iv) menciptakan lapangan kerja, penghasilan dan penghematan biaya. Program penggunaan LFG di Amerika Serikat telah secara signifikan mengurangi emisi metan sebesar 14 juta m3 ton setara karbon (MMTCE). Keuntungan reduksi gas rumah kaca setara dengan penanaman 18 juta are hutan atau mengurangi emisi tahunan dari 13 juta mobil. Sementara 600 TPA yang berpotensi menghasilkan listrik dari gas metan, ternyata berdasar perhitungan dapat menghasilkan listrik bagi 1 juta rumah. Terdapat beberapa pilihan proses LFG menjadi energi, di antaranya berupa (i) pembangkit listrik, (ii) penggunaan langsung untuk menggantikan bentuk bahan bakar yang ada seperti gas alam, batu bara, bensin; (iii) cogeneration, merupakan kombinasi panas dan tenaga (Combined Heat and Power/CHP) yang menghasilkan listrik dan energi panas. Terlepas dari berbagai keuntungan mengubah LFG menjadi energi tetapi ternyata dalam prosesnya menghasilkan emisi NOx yang dapat merusak ozon dan membentuk kabut asap. OM

Percik I/ Agustus 2004 Vol. 5 Tahun

L APORAN UTAMA

esta Olimpiade di Athena baru saja usai, Negara tirai bambu China akan menyambut pesta Olimpiade berikutnya tahun 2008 di Beijing. Menjelang Olimpiade 2008 tersebut, Cina mulai sibuk berbenah diri mulai dari penataan infrastruktur kota sampai masalah kebersihan kota. Ini tampak sekali di ibukota Cina, Beijing. Kendati secara hitungan masih lama, pembenahan perkotaan dan pembangunan infrastruktur sudah mulai dilakukan. Maklum, mereka tak ingin kota berpenduduk 16 juta jiwa itu mengecewakan para atlet, ofisial, dan penggembira yang datang dari seluruh penjuru dunia. Dalam rangka event Olimpiade ini, Pemerintah Cina telah mengeluarkan kebijakan khusus untuk meningkatkan kualitas lingkungan perkotaan termasuk peningkatan sistem pengelolaan persampahan. Khusus Kota Beijing, Pemerintah Kota setempat memformulasikan sebuah kebijakan persampahan yakni (i) meningkatkan pelayanan 98 % pada 2007; (ii) daur ulang dan kompos 30 % pada tahun 2007; (3) pemisahan sampah di sumber sampai dengan 50 % pada tahun 2007; (iv) tahun 2007 pengelolaan lokasi landfill harus sesuai dengan ketentuan standar lingkungan; dan (v) pengembangan teknologi pengolahan lechate terus dilakukan untuk mencapai standar efluent yang dipersyaratkan. Kondisi Pengelolaan Persampahan Aspek Teknis Penanganan persampahan di Beijing pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan di Indonesia. Ini karena komposisi dan karakteristik sampah yang hampir sama. Pola penanganan sampah dari sumber sampai TPA hampir sama, termasuk tidak dilakukan proses pemilahan sampah di sumber. Hanya saja, Beijing dengan jumlah sampah 9000 ton per hari (seba-

Belajarlah Sampah ke Negeri Cina


gai perbandingan Jakarta menghasilkan sampah 6.000 ton/hari) memiliki pelayanan yang yang jauh lebih baik, terutama bila ditinjau dari sudah tingginya cakupan pelayanan (90%) maupun kualitas pelayanannya. Meskipun tidak dilakukan pemisahan sampah di sumber, namun transfer station yang ada kota itu memiliki fasilitas pemisahan sampah, sehingga sampah yang dibuang ke TPA hanya residu. Selanjutnya sampah organik dimanfaatkan sebagai bahan baku kompos (diproses di instalasi kompos skala kota, kapasitas 200400 ton/hari) dan daur ulang. Sistem pengumpulan dan pengangkutan sampah juga hampir sama dengan yang dilakukan di Indonesia, seperti menggunakan gerobak sepeda dan truk (compactor truck). Namun kualitas dan efisiensi pengangkutan sampahnya sangat baik karena setiap radius 8 km dilengkapi dengan transfer station. Metode pembuangan akhir sampah dilakukan dengan sistem sanitary landfill yang sudah cukup memadai. Tabel di bawah ini menggambarkan jumlah landfill, luas dan kapasitas. Tabel 1. Lokasi Landfill di Beijing
No Lokasi Landfill
1 2 3 4 Beishinshu landfill Liulitun landfill Asuwei landfill Anding landfill

FOTO: ENDANG SETYANINGRUM

Pemilahan sampah melalui ban berjalan.

Luas (Ha)
33,7 46,5 60 21,6

Kapasitas (ton/hari)
1000 1500 2000 700

berat, mobil tangki air, penutupan tanah (harian), perkantoran, fasilitas olah raga, dan stok tanah penutup. Kendati fasilitas cukup lengkap, namun hasil proses pengolahan leachate masih belum sesuai dengan standar effluent yang berlaku untuk kota Beijing. Tabel berikut menggambarkan proses dan kualitas effluent dari beberapa landfill yang ada di Beijing dan standar effluent China dan Beijing: Tabel 2. Hasil proses pengolahan leachate
Landfills Beishinshu Liulitun Asuwei Pilot Test RO Membrane Tipe Proses Pengolahan Leachate Diangkut ke sewerage treatment plant Oxidition Ditch Oxidation Ditch Filtrasi dengan reverse osmosis Parameter kualitas efluent leachate COD BOD Amonia 324 787 3 - 17 22,9 126 17 24 1,2 15

Fasilitas landfill tersebut meliputi lapisan dasar kedap air, jaringan pengumpul leachate, kolam penampungan leachate, pengolahan leachate (oxidation ditch), saluran drainase keliling landfill dan drainase setiap lapisan, pengumpulan gas (saat ini hanya dibakar melalui flare), jalan operasi dan keliling landfill, buffer zone, jembatan timbang, alat

Percik I/ Agustus 2004 Vol. 5 Tahun

L APORAN UTAMA
FOTO: ENDANG SETYANINGRUM

Tabel 3. Standar efluent China dan Beijing


COD BOD Amonia < 300 < 150 < 25 < 60 < 20 < 25

Penutupan tanah akhir dilakukan dengan menggunakan tanah lempung, geo textile, bentonite dan tanah lempung /top soil. Pemanfaatan lahan pasca operasi sebagai lahan terbuka hijau. Aspek Manajemen Pengelolaan sampah di Beijing dilakukan oleh Dinas Persampahan (BSWAD). Lembaga ini memperoleh alokasi dana (dana investasi maupun O/M) berasal dari dana Pemerintah kota Beijing dan kontriibusi dari masyarakat berupa tarif. Tarif ditentukan berdasarkan jumlah anggota keluarga. Untuk keluarga lebih dari tiga orang, setiap orang harus membayar tarif 3 RMB per bulan (atau setara dengan Rp.3000/orang/bulan). Sedangkan untuk keluarga yang kurang dari tiga orang tarifnya 2 RMB/orang per bulan (Rp. 2000/orang/bulan). Peran serta masyarakat kota Beijing sangat tinggi, namun peran swasta dalam pengelolaan sampah masih sangat terbatas. Pembelajaran Aspek Teknis Peningkatan pelayanan hampir 100 % pada tahun 2007 menunjukkan komitmen Pemerintah sangat tinggi. Kondisi seperti ini diperlukan untuk kota-kota metropolitan seperti Jakarta Meskipun program 3R belum dilaksanakan di Beijing, namun proses pemilahan yang dilakukan di transfer station sudah cukup memadai. Kotakota besar/metropolitan di Indonesia dapat mengembangkan sistem serupa dengan membuat transfer station yang

Pembakaran sampah dengan insinerator tidak dilakukan di Beijing, karena selain karakteristik sampah yang tidak layak bakar juga masih menunggu kajian kelayakan. Di Indonesia, banyak ditawarkan insinerator kecil yang tidak ramah lingkungan dan pada umumnya hanya menyelesaikan masalah dengan masalah

Salah satu TPA di Beijing.

dilengkapi dengan proses pemilahan Hal lain yang menarik adalah dalam rangka Olimpiade 2008, pemisahan sampah di sumber ditargetkan 50 % pada tahun 2007. Untuk penerapan di Indonesia program 3R harus mulai serius dilaksanakan Proses pengangkutan sangat efisien karena setiap radius 8 km memiliki transfer station, di Indonesia transfer station diperlukan untuk jarak ke TPA > 25 km Proses composting dengan kapasitas besar (200-400 ton/hari) cukup memadai (kualitas kompos baik dan digunakan oleh petani). Untuk penerapan di Indonesia, composting skala besar dapat dilakukan tanpa harus menerapkan prinsip benefit system dari segi ekonomi Pembuangan akhir yang dilakukan dengan sistem sanitary landfill sangat memadai ditinjau dari ketersediaan fasilitas dan kehandalan operasional. Untuk penerapan di Indonesia perlu kemauan dan kerja keras dalam meningkatkan kualitas landfill Penerapan standar kualitas effluent yang lebih ketat di Beijing telah memacu pengembangan teknologi pengolahan leachate seperti RO (reverse osmosis) semata-mata demi pengamanan kualitas lingkungan terutama sumber-sumber air

Aspek Manajemen Pemerintah kota Beijing memiliki komitmen yang tinggi dalam meningkatkan kualitas landfill (saat ini dalam kondisi sangat baik, kecuali masalah effluent) Adanya kesungguhan dan sikap profesional dari petugas di lapangan merupakan modal yang menentukan keberhasilan program kebersihan di Beijing. Di Indonesia, SDM yang ditempatkan sebagai orang kebersihan pada umumnya merasa sebagai terpinggirkan Retribusi pengelolaan sampah dengan sistem insentif bagi keluarga kecil, di Indonesia sistem insentif dapat dikembangkan berdasarkan pengurangan volume sampah Penerapan peraturan sudah cukup memadai, sementara di Indonesia buang sampah sembarangan sah-sah saja, lebih takut kena tilang lampu merah atau Three In One atau sabuk pengaman Tingkat kesadaran masyarakat sudah sangat tinggi dalam bidang kebersihan. Di Indonesia perlu kesungguhan untuk membangun kesadaran masyarakat, bahkan mungkin perlu dikenalkan melalui pendidikan formal sejak dini Pelajaran-pelajaran di atas bisa diambil oleh para pengambil kebijakan di Indonesia. Apa salahnya kita belajar persampahan ke Cina, negara tirai bambu yang kualitas kebersihan kotanya tidak kalah dengan negara Eropa maupun Jepang?
Endang Setyaningrum, Staf Direktorat Perkotaan, Ditjen TPTP, Depkimpraswil dan anggota Pokja AMPL

10

Percik I/ Agustus 2004 Vol. 5 Tahun

L APORAN UTAMA
Program Bangun Praja

Memacu Daerah Peduli Lingkungan

ak ada Adipura, kebersihan pun diabaikan. Kepedulian pemerintah daerah yang dulu begitu bersemangat berlomba menjaga kebersihan dan keindahan kota tak begitu tampak lagi utamanya setelah tahun 1998. Kota-kota yang dulunya memiliki nilai kebersihan cukup tinggi, mendadak menurun drastis pada evaluasi tahun 2003. Ini terjadi di hampir semua kota di Indonesia baik kota metropolitan, besar, sedang, dan kecil, seperti tergambar dalam tabel 1.

TUJUAN DAN SASARAN PROGRAM BANGUN PRAJA

Kenyataan ini menunjukkan bahwa masalah lingkungan hidup cenderung meningkat di berbagai daerah di tanah air. Ada yang terjadi secara alami, tapi tak sedikit yang disebabkan oleh ulah manusia, seiring dengan meningkatnya laju pertumbuhan penduduk dan meningkatnya permintaan ruang dan sumber daya alam. Kerusakan lingkungan makin diperparah oleh rendahnya kekuatan politik yang memiliki sense of environment. Oleh karena itu, perlu ada peningkatan kapasitas pengelolaan lingkungan hidup. Modelnya tentu tak lagi sentralistik,

tapi desentralisasi. Setiap daerah bisa mendayagunakan seluruh kemampuannya dan memobilisasi dukungan dari segenap segmen masyarakat untuk bersama-sama menyadari urgensi dari penyelamatan kerusakan lingkungan hidup di daerah masing-masing, dan menyusun rencana yang konkrit untuk pelestarian lingkungan. Hanya saja, untuk bisa mewujudkan pengelolaan dan pelestarian hidup yang efektif perlu kepemerintahan yang baik (good governance). Dari sinilah kemudian muncul paradigma baru yaitu good environmental governance yang diterjemahkan sebagai Tata Praja Lingkungan. Inilah yang mendasari lahirnya Program Bangun Praja, sebuah program dari Kementerian Lingkungan Hidup yang bertujuan mendorong kemampuan pemerintah daerah untuk melaksanakan kepemerintahan yang baik di bidang lingkungan hidup sekaligus untuk meningkatkan kinerja pemerintah. Program ini juga didukung oleh Program Warga Madani yang bertujuan memberdayakan masyarakat. Program Bangun Praja dimulai pada tahun 2002. Pencanangannya dilaksana-

kan bertepatan dengan peringatan Hari Lingkungan Hidup pada 5 Juni 2002 di Denpasar, Bali. Deputi Menteri Lingkungan Hidup Bidang Peningkatan Kapasitas Pengelolaan Lingkungan Hidup Kewilayahan, M Gempur Adnan menjelaskan inti Tata Praja Lingkungan adalah penguatan sistem koordinasi sehingga pemerintah bisa mendapatkan respon yang tepat untuk penyelesaian masalah-masalah lingkungan yang mendesak. Penguatan sistem ini meliputi mekanisme yang dapat menjamin semua pihak yang berkepentingan menyampaikan suaranya secara demokratis, menjamin adanya prosedur yang transparan dan adil dalam perencanaan dan pelaksanaan rencana, serta adanya standar dan kriteria untuk menilai pelaksanaan yang adil dan transparan. Beberapa unsur penentu dalam Program Bangun Praja agar Tata Praja Lingkungan tercapai yaitu: 1. Motivasi kepala daerah 2. Kompetensi dan komitmen pimpinan efektivitas institusi (kelembagaan) 3. Kapasitas dan kemampuan sumber daya manusia

11

Percik I/ Agustus 2004 Vol. 5 Tahun

L APORAN UTAMA
4. Adanya kebijakan yang mendukung 5. Adanya sistem pertanggungjawaban yang jelas 7. Ketersediaan dana Kegiatan program ini tahun 20022003 difokuskan pada monitoring dan evaluasi isu-isu lingkungan perkotaan atau daerah urban meliputi: pengelolaan sampah, pengelolaan ruang terbuka hijau, pengelolaan fasilitas publik, dan pengendalian pencemaran air. Pada tahun ini, jumlah yang ikut 59 kota. Setiap daerah didata melalui kuisioner dan pengamatan langsung di lapangan. Komponen yang dievaluasi yaitu manajemen, daya tangkap, institusi, hasil (fisik), dan inovasi. Data itu kemudian disimpan pada data base dan diperbaharui setiap ada evaluasi setiap tahun. Kebijakan dan program peningkatan kapasitas daerah disusun berdasarkan data yang ada. Pada tahun kedua (Juni 2003-Mei 2004) jumlah peserta Program Bangun Praja bertambah menjadi 133 kota. Dari jumlah tersebut, 31 kota masuk nominasi sebagai kota terbersih yang akan memperoleh penghargaan Adipura. Penghargaan ini terdiri atas Anugerah Adipura bagi kota-kota yang nilai kinerjanya melewati batas yang ditentukan, dan Piagam Adipura bagi kota-kota yang kinerjanya mendekati nilai batas yang ditentukan. Pada 7 Juni lalu, 15 kota menerima Anugerah Adipura, dan 10 kota meraih Penghargaan Adipura. Penyerahan penghargaan itu dilakukan oleh presiden di Istana Negara. Program ini tak berhenti sampai di sini. Program ini akan terus berlanjut, tentu dengan berbagai penyesuaian baik dalam pemantauan dan evaluasi, serta kelembagaannya. Tujuannya, terwujudnya tata praja lingkungan. (MJ)

M. Gempur Adnan, Deputi Menteri Lingkungan Hidup Bidang Peningkatan Kapasitas Pengelolaan Lingkungan Hidup Kewilayahan

Kuncinya, Komitmen Pemerintah Daerah

emua orang sebenarnya tahu bagaimana mengatasi masalah sampah. Orang juga tahu hambatan-hambatannya, seperti kendala teknis, dana, peralatan, dan SDM. Tetapi mengapa masalah ini tak pernah terselesaikan? Beberapa daerah yang dibantu juga tetap tak bisa menyelesaikan masalah ini. Lalu apa sebenarnya kata kunci dari permsalahan sampah itu? Kita sampai pada kesimpulan bahwa itu semua tergantung komitmen pemerintah daerah. Punya nggak pemerintah daerah dan masyarakat komitmen untuk mengatasi sampah? Kalau mereka punya komitmen, sebenarnya uang itu tak jadi masalah. Sampah bisa bersih kalau pemerintah daerah punya komitmen. Kalau tidak ada komitmen, diberikan apapun maka tak akan bisa berbuat banyak. Masalah uang itu sebenarnya ada. Hanya masalahnya dialokasikan ke arah yang betul. Melalui program ini, kita ingin menaikkan komitmen pemerintah daerah.

Biar kalau daerah itu kotor, pemerintahnya malu. Kita mendorong agar masalah sampah dan kota bersih menjadi isu. Kalau isu ini tidak diangkat maka pemerintah daerah akan tenang-tenang saja. Saat ini kita terus berupaya mengangkat isu sampah ke level pengambil keputusan di daerah sampai ke pusat. Kita berharap muncul komitmen daerah dan nasional. Coba kalau presiden teriak, gubernur teriak, kita bisa mengatasi hal itu. Program ini bersifat sukarela. Ada dua hal dalam program ini yakni pertama mendorong daerah membuat kotanya bersih dan teduh (clean and green city). Kedua adalah capacity building. Kita mendorong daerah meningkatkan kapasitasnya dalam bidang lingkungan khususnya perkotaan. Kita memberikan workshop, pelatihan, studi banding dan sebagainya yang berkaitan dengan cara mengelola kota. Visinya untuk sementara sampah dulu, perbaikan fasilitas publik, dan ruang terbuka hijau. Kita batasi tiga dulu,

karena masalah di daerah sudah kacau. Kalau semuanya, mereka tidak akan bisa-bisa. Sebenarnya program ini hampir sama dengan program Adipura dulu. Hanya saja berbeda, mekanismenya. Pada bangun praja ada peningkatan kapasitas, tapi tidak pada Adipura. Sistem evaluasinya juga berbeda. Kalau Adipura sekali setahun, Bangun Praja tiga kali setahun. Semuanya transparan. Jadi setiap kota mengetahui perkembangan kotanya setiap ada pemantauan dan evaluasi. Kota lain pun bisa tahu. Masyarakat pun juga tahu melalui media massa karena kita berusaha mengeksposnya. Memang kita belum bisa berharap kota-kota yang memperoleh penghargaan itu benar-benar bersih. Semuanya masih kotor. Tapi kalau kita menunggu, sampai kapan mereka sampai pada nilai tertentu bersih? Ini kan butuh waktu. Kita berharap, dalam 5 tahun ke depan lahir 50 kota yang bersih di Indonesia. (MJ)

12

Percik I/ Agustus 2004 Vol. 5 Tahun

W AWANCARA
Budiman Arief, Sekjen Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah

Penanganan Sampah Jelek, Tingkat Kesehatan Rendah M


engatasi persoalan sampah bukan hal mudah. Terbukti, hingga kini masalah persampahan di Indonesia tidak kunjung usai. Banyak faktor yang mempengaruhi dan faktor-faktor itu saling terkait satu sama lain. Oleh karena itu, pengelolaan sampah merupakan sebuah sistem sehingga penanganannya memerlukan sinergi semua pemangku kepentingan. Begitu intisari perbincangan PERCIK dengan Sekjen Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Budiman Arief, di kantornya beberapa waktu lalu. Berikut petikannya:

FOTO: MUJIYANTO

Bagaimana kondisi pengelolaan sampah di Indonesia saat ini? Secara umum, pengelolaan sampah, terutama sampah kota, masih kurang. Walaupun dulu pernah cukup baik pada waktu ada program Adipura pada tahun 1986-1996, karena waktu itu dibantu dengan reward (penghargaan) bagi kotakota yang bisa menjaga kebersihan. Setelah itu kondisinya menurun. Dan baru saja ada lagi program Bangun Praja sejak 2002. Tapi gaungnya belum seperti Adipura karena pesertanya terbatas. Mengapa kondisinya menurun? Apakah karena tidak ada reward atau ada faktor lain? Memang reward tidak ada. Yang kedua karena ada krisis. Penanganan sampah tak lagi menjadi prioritas. Pemerintah lebih banyak memperhatikan soal kemiskinan dan segala macamnya. Akhirnya penanganan sampah agak tertinggal. Perhatian pemerintah kota/kabupaten pun menurun. Saya kira ada fak-

tor saling mempengaruhi. Tidak ada reward maka perhatian berkurang. Padahal pengelolaan sampah itu merupakan layanan masyarakat yang sangat mendasar. Sampah terkait dengan kesehatan. Kota yang tidak menangani sampah dengan baik, bisa dipastikan tingkat kesehatannya pun tidak baik sebab sampah merupakan salah satu vektor penyakit. Bagaimana dengan faktor dana? Kalau kita lihat pengelolaan sampah secara umum, dan ini sudah kita sampaikan ke seluruh pemerintah kota/kabupaten, bahwa ada lima aspek dominan dalam pengelolaan sampah. Antara aspek satu dan yang lain saling terkait. Kalau mau berhasil, maka kelima aspek itu harus diwujudkan. Pertama, aspek institusi. Kedua, aspek pembiayaan. Ketiga,

aspek teknis. Keempat, aspek hukum. Dan kelima, aspek peran serta masyarakat. Mungkin banyak yang menganggap bahwa sampah ini hanya soal teknis, padahal tidak. Semua harus saling mendukung. Sebagai contoh aspek kelembagaan. Kalau di kota bentuk/derajat institusi itu kelewat rendah maka ini kan susah. Seorang kepala seksi/sub seksi akan sulit bertemu walikota karena tingkatnya terlalu jauh. Makanya dulu ada kesepakatan, kalau kota besar/metropolitan maka pengelola sampah harus dinas. Kalau kota sedang bisa subdinas. Jadi jangan kelewat rendah. Pembiayaan juga jangan terlalu rendah. APBD untuk sampah jangan terlalu kecil. Susah. Walaupun sebetulnya, kalau nanti dikelola dengan bagus, sampah bisa menghasilkan retribusi meskipun tidak

13

Percik I/ Agustus 2004 Vol. 5 Tahun

W AWANCARA
100 persen. Paling tidak 70 persen bisa didapatkan dari retribusi. Jadi subsidi hanya 30 persen saja. Tapi kalau aspek pembiayaan tidak dibenahi dan retribusi tidak ditarik dengan baik, maka akan membuang uang saja. Dari aspek hukum, peraturan harus dibenahi. Perdanya bagaimana, supaya jelas. Kalau orang membuang sampah sembarangan didiamkan, wah susah. Sampah itu kan berasal dari manusia, maka hukumnya harus ditegakkan. Dari aspek teknis juga jangan seenaknya. Ada hitungan-hitungannya. Sistemnya bagaimana, waktu mengangkutnya bagaimana, waktu di TPA-nya bagaimana. Terus dari aspek peran serta masyarakat, itu satu hal yang sangat penting. Kalau masyarakat tidak mendukung maka biaya menjadi mahal. Oleh karena itu peran masyarakat harus selalu ditingkatkan. Kelima itu saling terkait. Jadi tidak ada yang dominan? Ya. Tapi sebetulnya ada dananya dulu. Kalau tidak ada ya gimana? Tapi duit saja bukan jaminan. Apa yang telah dilakukan pemerintah selama ini dalam menangani sampah ini? Tugas Depkimpraswil adalah membuat pedoman-pedoman. Kita sudah banyak menghasilkan pedoman mengenai pengelolaan sampah yang betul. Tapi tidak hanya itu. Kita juga memberikan stimulan. Kita berikan kepada pemerintah daerah yang memang ingin mengatasi masalah ini. Kalau tidak ingin, kita tidak memberikannya karena itu buang-buang uang saja. Jadi kita akan berikan kepada yang benar-benar ada upaya. Kekurangan mereka kita bantu. Ini juga sebagai reward. Berapa banyak pemda yang mendapatkan stimulan ini? Sejak 2001, sudah cukup banyak pemda yang mendapatkannya. Kita juga membantu kota-kota yang baru terbentuk, misalnya untuk modal awal kita berikan mobil pengangkut sampah. Kalau selanjutnya bagus, kita tambah lagi. Apa rencana pemerintah ke depan? Saya rasa kita akan tetap meneruskan apa yang sudah dilaksanakan. Pengelolaan TPA akan kita perbaiki lagi. Maunya pemda, mereka ingin menerapkan sanitary landfill, tapi faktanya hanya open dumping saja. Ini yang menyebabkan banyak protes. Mestinya open dumping ini sudah ditinggalkan. Meskipun kita belum bisa menuju sanitary landfill penuh. Kita akan memberikan bantuan kepada pemda yang kesulitan dalam penanganan TPA. Bagaimana penanganan terhadap masyarakat? Semua pemda harus memberikan pengertian kepada masyarakat mengenai pengelolaan sampah. Sebagai contoh, ada warga yang merasa sudah membayar kepada tukang sampah tapi ada tagihan lagi dari dinas kebersihan. Kalau seperti ini masyarakat bisa bingung. Mestinya diberikan pengertian bahwa pengelolaan sampah dari sisi teknis itu ada yang mengumpulkan, ada yang mengangkut, dan ada yang mengolah di akhir. Kalau membayar ke RT/RW itu hanya mengumpulkan saja. Itupun sebenarnya hanya 30 persen dari seluruh proses teknis. Kadang-kadang yang diambil RT/RW itu terlalu besar sehingga dinas tidak kebagian. Makanya masyarakat harus diberi pengertian sejelas-jelasnya sehingga mereka terbuka dan mengetahui dengan jelas bagaimana mengelola sampah dengan betul. Pandangan Anda terhadap kesadaran masyarakat dalam hal sampah? Saya kira masyarakat belum memahami secara utuh betapa pentingnya pengelolaan sampah itu. Bagi masyarakat desa mungkin sampah tak jadi masalah karena tanahnya luas, tapi tidak dengan masyarakat kota. Mereka tak bisa lagi mengelola sampah secara individual, tapi harus kolektif. Hanya saja persoalannya, kebanyakan masyarakat kota kan berasal dari desa. Jadi kelakuannya masih kelakuan desa. Ini kan susah. Dan kalau sudah masuk kota tidak ada sistem pelayanan yang tidak bayar. Bagaimana keterkaitan langkah pemerintah dalam penanganan sampah dengan MDGs? Saya kira salah satu tujuan dari MDGs adalah perbaikan pelayanan sanitasi. Sekarang kita sedang menyusun National Action Plan. Kita harus menerjemahkan MDGs itu untuk Indonesia. Tujuan MDGs itu bisa dianggap cukup kuantitatif, tapi juga kualitatif. Bisa saja sampah itu habis, tapi kalau diangkutnya seminggu sekali atau dua minggu sekali, secara kualitatif itu jelek. Karena sampah harus diangkut paling lambat tiga hari sekali supaya tidak busuk. Jadi tingkat pelayanan bisa kita anggap kuantitatif dan kualitatif. Bisakah target MDGs dalam masalah sanitasi khususnya sampah tercapai pada 2015? Kalau kita seperti negara maju dengan sanitary landfill, saya kira kita belum bisa. Hanya saja kita bisa menerjemahkan bagaimana penanganan secara kualitatif. Yang penting ada peningkatan lebih baik dari sebelumnya. Makanya National Action Plan perlu ada kesepakatan dengan departemen-departemen terkait dan daerah, bagaimana mencapai target MDGs. Bagaimana Anda melihat keterkaitan otonomi daerah dan penanganan sampah? Sebenarnya dari dulu pengelolaan sampah ini menjadi tugas dari pemerin-

14

Percik I/ Agustus 2004 Vol. 5 Tahun

WAWANCARA
tah kota/kabupaten karena ada UU 22, PP 25, tapi dulu ada PP 18 tahun 1953 yang menyatakan bahwa pengelolaan sampah itu menjadi tugas pemerintah kota/kabupaten. Itu mestinya tugas yang melekat di pemerintah daerah. Jadi adanya perubahan ke arah otonomi daerah beberapa tahun lalu tak berpengaruh terhadap tugas pengelolaan sampah? Sebetulnya tidak. Hanya saja kita berharap daerah menjadi lebih baik dalam menangani sampah ini. Yang dulu belum begitu tegas, sekarang sudah lebih tegas lagi. Bagaimana dengan penanganan sampah lintas daerah yang banyak menimbulkan pergesekan seperti kasus Bantar Gebang dan Bojong? Memang masalah muncul di kota metropolitan. Kalau kota kecil dan sedang, mereka bisa menyelesaikan karena masih cukup lahan yang tersedia. Di kota besar seperti Jakarta, penanganan menjadi sulit. Makanya sebaiknya sanitary landfill itu dibangun secara bersama-sama dengan daerah lainnya. Insinerator saya kira terlalu mahal baik dari sisi investasi maupun operasional. Makanya kita harus hati-hati dalam menilai aspek teknis. Kalau income per kapita kita 5.000 dolar AS, bisa kita memikirkan insinerator. Bagaimana pandangan Anda terhadap perhatian pemerintah daerah terhadap sampah? Saya kira masih kurang. Mengapa Adipura itu diadakan? Karena dulu dianggap pengelolaan sampah akan baik jika ada perhatian yang cukup baik. Saya kira investasi sampah tak cukup besar dibandingkan dengan membuat jalan dan air minum. Kalau pemda ada perhatian seharusnya pengelolaan sampah itu bisa berlangsung dengan baik. Bagaimana alokasi anggaran pemerintah pusat dalam menangani Adakah negara yang mendekati Indonesia yang bisa dijadikan contoh dalam penanganan sampah? Saya kira perlu studi banding dengan negara lain yang kondisinya mirip dengan Indonesia. Tidak ke negara-negara maju seperti Jepang, Australia. Itu terlalu jauh. Yang dekat-dekat kita. Misalnya kita bisa studi banding ke Kuching (Malaysia). Kita sudah lakukan. Dari apa yang Anda uraikan, penanganan sampah ini sepertinya harus menggunakan pendekatan institusi? Menurut saya begini, institusi itu kan wujudkan. Kalau keindahan barangkali itu suatu yang lux. Kebersihan adalah pangkal. Kalau mau membenahi yang lain, kebersihan harus didahulukan. Bupati dan Walikota perlu memberikan perhatian yang lebih soal ini. Kalau perlu ada reward, saya kira juga tak masalah. Bagaimana bentuk kerja samanya? Sampah itu kan dibilang nimby (not in my back yard), pokoknya jangan di tempat saya dech. Yang kena dampak harus memperoleh kompensasi yang memadai sehingga merasa ada manfaatnya. Dan teknik penanganan masyarakat pun harus betul. (mujiyanto) sampah ini? Seperti saya jelaskan, pemerintah hanya memberikan stimulan saja. Departemen ini hanya membina infrastruktur dasar yakni air minum, limbah, sampah, drainase, dan jalan. Kita tak hanya mengeluarkan pedoman saja tapi juga stimulan. Ini juga supaya ada perhatian daerah. Maksudnya apakah anggaran yang ada sudah cukup? Kurang. Masih terlalu kecil. Dan memang infrastruktur itu masih dianggap kurang. jelas penanggungjawabnya. Memang harus ada institusinya, tapi masyarakat tetap ikut dalam sistem yang jelas. Bisa saja RT/RW atau kelompok masyarakat bisa saja ditugaskan dalam pengumpulan. Institusi yang bertanggung jawab secara keseluruhan bisa bertugas mengambil dari TPS ke TPA. Jadi institusi yang menangani harus jelas dan tingkatnya cukup memadai. Harapan Anda ke depan terhadap kota-kota kita? Kebersihan dan kerapian harus kita
FOTO: OSWAR MUNGKASA

15

Percik I/ Agustus 2004 Vol. 5 Tahun

WAWASAN
Sampah Sebagai Sumber Energi :

Tantangan Bagi Dunia Persampahan Indonesia Masa Depan


eberapa teknologi pemusnahan sampah telah dicoba untuk diterapkan di Indonesia. Teknologi yang paling umum diterapkan adalah lahan urug saniter, yang dikembangkan di beberapa kota besar di Indonesia. Sesungguhnya lahan urug saniter tersebut merupakan suatu reaktor biologis untuk mendegradasi sampah secara anaerobik. Salah satu produk yang diharapkan dari degradasi anaerobik tersebut adalah gas metana (CH4) yang memiliki nilai kalor cukup tinggi. Ini bisa menjadi sumber energi yang signifikan. Kompos Belum Dimanfaatkan Kompos dari sampah kota di Indonesia tidak berhasil dipasarkan dengan baik kepada masyarakat. Para petani, pengelola perkebunan dan pertamanan belum tertarik menggunakannya. Ini bisa jadi karena kompos relatif tidak memberikan nutrisi tambahan bagi tanah dan tanaman, serta tidak memberikan dampak yang langsung bagi peningkatan produksi tanaman. Selain itu, kompos tidak ditujukan untuk berperan seperti layaknya pupuk kimia. Kompos lebih berperan untuk memperbaiki tekstur tanah dan meningkatkan cadangan air pada tanah, sehingga penyerapan air oleh tanaman akan lebih baik. Di sisi lain, pemerintah kurang menggalakkan gerakan pemanfaatan kompos. Produksi kompos dari beberapa instalasi pengomposan sampah tidak optimum, dan akhirnya berhenti beroperasi akibat ketiadaan pelanggan tetap dan berkesinambungan.

Sandhi Eko Bramono *) Sumber Energi Perlu konsep baru untuk menangani sampah perkotaan. Sebagai alternatif, sampah bisa diubah menjadi suatu materi baru yang memiliki nilai jual lebih dan dibutuhkan oleh masyarakat. Ini adalah energi. Mengapa? Karena Indonesia mulai mengalami krisis energi. BBM mulai langka, sumber minyak bumi yang terbatas, harga minyak mentah dunia semakin mahal. Perlu dicari sumber energi baru yang terbarukan dan memberikan dampak negatif yang lebih kecil terhadap lingkungan. Di sinilah sumber energi dari sampah bisa menjadi alternatif sumber energi baru, sekaligus menjadi sarana pemusnahan sampah secara si-

multan. Dengan demikian diharapkan pemanfaatan bahan bakar fosil dapat ditekan, serta mereduksi tingkat eksploitasi bahan bakar fosil dari perut bumi. Teknologi Yang Tersedia Kompos pada dasarnya melakukan konversi energi. Namun energi yang ada terlepas dalam bentuk materi yang memiliki nilai kalor yang lebih rendah. Hal ini disebabkan proses pengomposan secara aerobik akan melepas materi organik padatan lain yang lebih sederhana, serta gas CO2 yang tidak siap untuk dimanfaatkan energinya secara langsung. Tersedia beberapa proses lain yang dapat mengkonversi energi yang tersimpan di dalam sampah menjadi suatu materi baru. Proses itu antara lain yaitu:
FOTO: FANY WEDAHUDITAMA

16

Percik I/ Agustus 2004 Vol. 5 Tahun

WA W A S A N
FOTO: FANY WEDAHUDITAMA

Sementara temperatur kerja pada proses ini adalah pada rentang 600 - 800 oC, yang bertujuan untuk mereduksi pembentukan senyawa karsinogenik dioksin dan furan. Riset pada beberapa buah insinerator di Amerika Serikat masih belum menunjukkan hasil yang memuaskan dalam mereduksi pembentukan kedua senyawa ini, meskipun proses dijalankan pada temperatur jauh di atas 600 - 800 oC. Proses ini akan menghasilkan panas yang cukup tinggi sehingga bisa digunakan sebagai sumber energi pembangkit tenaga uap. Tenaga uap itu dapat dikonversi menjadi energi listrik. Rentang Energi Yang Dihasilkan Sebagai suatu proses yang menghasilkan energi, jumlah input energi dan output energi harus dihitung dalam suatu neraca massa dan energi. Energi yang dimasukkan ke dalam suatu proses diharapkan seminimum mungkin, mengingat output dari proses yang diharapkan adalah energi pula, sehingga total energi yang dihasilkan dari proses dapat dihitung. Jika terlalu banyak energi yang harus ditambahkan ke dalam proses, maka proses tidak efisien. Selain itu, masih perlu dikaji rentang energi yang dapat dimanfaatkan, karena setiap output dari suatu proses memiliki rentang pemakaian. Dalam hal ini, efisiensi pemanfaatan energi dengan jumlah energi tertentu yang dihasilkan dari suatu volume sampah harus dipertimbangkan. Harus disadari bahwa setiap proses memiliki jangkauan pemanfaatan dalam setiap produk yang dihasilkan. Dengan demikian pemanfaatannya bisa dilakukan secara tepat dan efisien.
*) Penulis adalah mahasiswa pascasarjana pada UNSW, Australia.

Proses Anaerobik Proses ini akan melepas energi yang tersimpan dalam gas CH4 ( metana ) yang memiliki nilai kalor tinggi yang akan terbentuk. Lahan urug saniter, sesungguhnya merupakan reaktor anaerobik dalam kapasitas yang besar. Beberapa teknik telah dilakukan untuk meningkatkan produksi gas metana yang terbentuk. Resirkulasi air lindi merupakan salah satu teknik yang diterapkan untuk meningkatkan produksi gas metana, selain untuk mempercepat degradasi sampah itu sendiri. Akan tetapi, reaktor anaerobik yang direncanakan secara khusus dengan kapasitas yang lebih kecil, dapat lebih mudah untuk dimonitor dan dikontrol dalam kinetika pembentukan gas metana dengan lebih baik ketimbang pada lahan urug saniter. Residu yang terbentuk dapat dimanfaatkan untuk kompos, yang sebelumnya telah diambil sebagian energinya menjadi gas metana, ketimbang proses aerobik pada pengomposan yang hanya akan menghasilkan kompos saja. Jika tahapan proses anaerobik ini dihentikan hanya pada tahapan fermentasi saja, yaitu tahapan sebelum pemben-

tukan gas metana, maka dapat dihasilkan alkohol yang memiliki nilai kalor tinggi. Penggunaan alkohol ataupun derivatnya sebagai sumber bahan bakar alternatif dari sampah dapat dipertimbangkan juga. Proses Gasifikasi dan Pirolisis Kedua proses ini membutuhkan energi tambahan untuk menaikkan temperatur hingga 600 oC yang dilakukan dengan oksigen substoikiometrik atau tanpa kehadiran oksigen sama sekali. Proses pirolisis akan menghasilkan padatan (char) dan cairan (tar) yang memiliki nilai kalor tinggi. Produk ini dapat dimanfaatkan sebagai biodiesel (salah satu bahan bakar pengganti atau aditif solar) yang sedang marak digunakan dewasa ini. Sedangkan gasifikasi, akan menghasilkan gas yang memiliki nilai kalor tinggi. Pemanfaatannya sebagai sumber energi alternatif dapat dipertimbangkan pula. Proses Insinerasi Proses ini lebih mahal ketimbang dua proses di atas. Sampah dengan kadar air terendah sekalipun hanya dapat menghasilkan temperatur alami sekitar 200 oC.

17

Percik I/ Agustus 2004 Vol. 5 Tahun

W AWASAN

Pre-Studi Masalah Sampah


Kasus Studi: Kota Surabaya
erkembangan penduduk selain membutuhkan ruang/lahan, penyediaan prasarana dan sarana kota yang memadai, juga menghasilkan sampah (Tchobanoglous, 1977: 4). Sesuai aturannya, sampah harus ditangani dengan cara ditampung pada tempat pembuangan sementara (TPS), kemudian diangkut ke tempat pembuangan akhir (TPA) dan disortir antara sampah kering dan sampah basah. Barulah sampah diolah dengan berbagai macam teknologi, antara lain sanitary landfill, composting, pembakaran dengan incenerator, teknologi ATAD (autogenous Thermophilic Aerobic Digestion) dan sebagainya. Namun di lapangan proses tersebut tidak berjalan sesuai dengan perencanaan fasilitas kesehatan lingkungan yang telah dilakukan oleh pemerintah kota (Chiara, 1982: 6). Akibatnya, sampah menimbulkan persoalan yang sangat kompleks, tidak hanya di daerah tapi di tingkat nasional. Sampah dan Kota Surabaya Pengumpulan, pembuangan dan pengolahan sampah dalam wilayah perkotaan menjadi tanggung jawab pemerintah kota (UU No. 22 Pasal 11, ayat 2; Cointreau, 1982: 4), khususnya dinas kebersihan. Tapi Pemerintah Kota Surabaya tak lagi mampu menangani sampah. Banyak kendala yang dihadapi seperti pengadaan lahan untuk TPA, pembiayaan pengelolaan sampah yang sangat besar dan kegiatan rutin pembangunan yang sudah cukup banyak. Untuk memecahkan persoalan tersebut pemkot Surabaya menggandeng pihak swasta. Hanya saja kerja sama ini terbatas pada jual beli, sahingga pemkot sebenarnya belum memiliki pengalaman kerja sama dalam pengelolaan sampah secara menyeluruh.

Fany Wedahuditama *)

open dumping dan sanitary landfill. Ada beberapa macam teknologi pengolahan akhir sampah (Moenir, 1983: 33) yaitu: 1. Metode open dumping 2. Metode sanitary landfill 3. Metode pengepakan sampah (baling method) 4. Metode pembakaran (incineration/thermal converter) 5. Metode kompos 6. Metode ATAD (Autogenous Thermophilic Aerobic Digestion) Masing-masing teknologi di atas mempunyai kelebihan dan kelemahan. Oleh karena itu perlu pengkajian mengenai tiap-tiap teknologi tersebut agar tidak terjadi kesalahan yang dapat mengakibatkan kegagalan penanganan sampah. Pemindahan dan pengangkutan sampah juga berperan dalam menentukan keberhasilan teknologi pengolahan sampah yang dipilih. Jadwal pengangkutan sangat bergantung pada kapasitas pengolahan sampah di TPA, karena jika overload maka akan menyebabkan pengolahan terganggu. Simpul Persoalan Berdasarkan uraian mengenai lingkup makro masalah sampah Kota Surabaya, maka rumusan persoalan sampah Kota Surabaya adalah sebagai berikut: 1. Keterbatasan Pemerintah Kota Surabaya dalam penanganan sampah, baik dalam hal teknis, biaya, sumber daya manusia, pengetahuan dan yang paling utama, yaitu perencanaan penanganan sampah yang komprehensif dan terpadu; 2. Sistem pengelolaan sampah yang tidak berjalan dengan baik, mulai dari sistem pengangkutan, penyebaran dan penggunaan TPS, fasilitas TPA, Fasilitas penunjang TPA, sistem pengolahan sampah dan sistem treatment limbah cair sampah;

Komposisi dan Teknologi Pengolahan Sampah Pada dasarnya, suatu teknologi pengolahan sampah yang akan diterapkan harus dapat mengatasi masalah yang timbul atau minimal dapat mengurangi bobot dari masalah yang telah timbul (Ryding, 1994: 71). Dalam menentukan teknologi pengolahan sampah yang akan diterapkan, maka hal tersebut sangat bergantung kepada jenis sampah yang dihasilkan (Cointreau, 1982: iv).

Klasifikasi Musim Hujan 13.54 Paper 1.85 Textil 52.93 Organic 19.15 Wood/grass 7.7 Plastic 0.45 Leather/rubber 0.82 Metal (Ferrous) 0.08 Metal (Non Ferrous) 1.12 Glass 1.61 Stone ceramic 0.62 Bones 0.13 Others TOTAL 100

Musim Kemarau 4.37 2.03 55.59 15.72 7.51 0.03 0.74 0.16 0.68 4.46 0.74 0.07 100

Sumber: JICA Study, 1992

Keterkaitan antara jenis sampah yang dihasilkan dan teknologi yang diterapkan, menyebabkan perbedaan penerapan teknologi pengolahan sampah di negara industri dan negara berkembang. Di negara berkembang kepadatan sampah diperkirakan 2-3 kali lebih tinggi dibandingkan kepadatan sampah di negara industri. Komposisi sampah juga sebagian besar organik dengan porsi terbesar berasal dari tanaman, dan diperkirakan tiga kali lebih tinggi. Oleh karena jenis sampah seperti yang disebutkan di atas, maka di negara berkembang salah satu sistem pengolahan yang umum adalah

18

Percik I/ Agustus 2004 Vol. 5 Tahun

WAWASAN
3. Teknologi pengolahan sampah yang sangat mahal; 4. Kelangkaan lahan untuk fasilitas TPA, karena jika benar-benar harus dipindahkan maka perlu lahan yang luas. Selain itu produksi sampah tidak akan tetap pada angka + 8.000 m3 per hari, karena tingginya laju peningkatan penduduk; 5. Terbatasnya atau kurangnya pengalaman dan pengetahuan pemerintah kota mengenai kerja sama dengan pihak swasta maupun dengan pemerintah kota lain dalam penanganan sampah. Rekomendasi Studi Mengacu pada uraian dalam studi ini, maka rekomedasi yang diberikan dimaksudkan sebagai arahan bagi Pemerintah Kota Surabaya dalam rangka menangani masalah sampah. 1. Kerjasama antara Pemerintah Kota Surabaya, Sidoarjo dan Gresik. Cepat atau lambat, jika setiap pemerintah kota dituntut untuk semakin sigap dalam melayani publik, maka harus terjadi kerja sama antara pemerintah kota. Suatu kota tidak dapat berdiri sendiri, tetapi suatu kota hidup karena adanya kota-kota lain di sekelilingnya. Kerja sama itu tak sebatas masalah sampah tapi masalah lainnya. 2. Kerjasama dengan pihak swasta dalam proses pengangkutan, pengolahan sampah. Kata-kata bahwa pemerintah kota sudah bukan berperan sebagai fasilitator tetapi sebagai enabler seharusnya menjadi dasar dari kerja sama dengan pihak swasta. Pada dasarnya adanya persaingan di antara pihak swasta untuk menjadi rekanan pemerintah kota dalam penyelenggaraan layanan publik dapat menekan harga layanan. 3. Penggunaan lahan milik pemerintah propinsi Keterbatasan lahan yang dimiliki oleh pemerintah kota selalu menjadi kendala, terutama dalam hal untuk dijadikan sebagai TPA. Hal tersebut dikarenakan masih dibutuhkannya lahan tersebut untuk fungsi yang lebih memberikan nilai tambah pada perekonomian kota. Keterbatasan ini tak boleh jadi penghalang.
FOTO: FANY WEDAHUDITAMA

Pemerintah kota berhak meminta bantuan kepada pemerintah propinsi baik dalam hal dana, lahan atau bantuan lainnya demi penyelenggaraan layanan publik yang sebaik-baiknya. 4. Teknologi pengolahan sampah yang tepat bagi kota Surabaya dalam jangka waktu 10 tahun ke depan. Dengan menumpuknya sampah yang terdapat pada TPA di kota Surabaya, maka perlu ada pemusnahan sampah secara cepat. Paling tidak, dalam kurun waktu setahun, volume sampah yang masuk ke TPS dan TPA harus dapat dikurangi sampai 30 persen dari total volume sampah kurang lebih 8.000 m3 per hari. Teknologi pengolahan sampah yang dapat mengurangi volume sampah dengan cepat adalah teknologi incenerator/thermal converter. Selain itu, teknologi ini dapat juga menghasilkan produk sampingan berupa tenaga listrik. Berkaitan dengan biaya teknologi pengolahan sampah, seperti yang kita ketahui, hampir semua teknologi pengolahan sampah memerlukan biaya investasi yang tinggi. Hal ini karena tidak pernah dipertimbangkannya faktor kandungan/potensi lokal. Menurut pengamatan selama ini, teknologi pembakaran ini mempunyai prinsip yang hampir sama dengan teknologi pembangkit listrik dengan bahan bakar batu bara. Untuk membangun sebuah mesin pembakaran dengan bahan bakar sampah menurut pakar-pakar dari ITB bukanlah hal yang tidak mungkin. Hampir seluruh komponen untuk membuat mesin tersebut tersedia di Indonesia. Hanya beberapa komponen saja yang perlu diimpor dari negara lain. Pembuatan mesin dengan kandungan lokal yang besar tentu saja akan menekan biaya investasi alat/teknologi pengolahan, dan hal tersebut merupakan kesempatan bagi Pemerintah Kota untuk menuntaskan masalah sampah.
*)

Penulis adalah alumni Magister Teknik Lingkungan ITB

19

Percik I/ Agustus 2004 Vol. 5 Tahun

WAWASAN

Pengelolaan Sampah di Makassar

ampah selalu menjadi bagian kehidupan sehari-hari. Dalam setiap kegiatan, sampah selalu menjadi salah satu hasilnya, sebaik atau serapi apapun kegiatan itu. Sayang banyak orang yang belum peduli terhadap hal ini. Di sebagian besar rumah tangga utamanya perkotaanpenanganan sampah dibebankan kepada pembantu rumah tangga. Walhasil, persoalan sampah sudah dianggap selesai manakala sampah itu dibersihkan dan dimasukkan ke tong sampah. Ini jelas pandangan yang perlu diluruskan. Kini sampah menjadi masalah yang besar bagi kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, termasuk Makassar. Di beberapa kota, masalah sampah kota melibatkan kota lain, tetangga mereka, akibat kekurangan lahan untuk dijadikan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah. Tulisan ini mencoba mengupas permasalahan sampah di Kota Makassar, salah satu kota metropolitan di Indonesia. Kota Makassar berpenduduk 1,5 juta orang. Luas 175,77 km persegi. Kota ini terus berkembang seiring pembangunan daerah Makassar sebagai pusat pembangunan di wilayah Indonesia Timur. Pengelolaan Sampah oleh Dinas Kebersihan dan Keindahan Penanganan sampah di Kotamadya Makassar mencakup tiga tahap kegiatan yaitu pengumpulan, pengangkutan dari sumber sampah atau TPS/kontainer di lokasi pembuangan sementara, dan pembuangan/penimbunan sampah di lokasi pembuangan akhir. Tahap pengumpulan terdiri atas dua cara yaitu: Individual System (door to door) baik

Nirman Niswan, ST. *)

menggunakan gerobak atau alat pengangkut lain seperti alat angkut jauh (kendaraan pengangkut sampah) yang dilakukan oleh Dinas Kebersihan dan Keindahan atau pihak swasta. Comunal System yaitu pengangkutan sampah dari lokasi penampungan (TPS) yang diangkut oleh armada pengangkutan sampah Dinas Kebersihan dan Keindahan. Sistem pengoperasian pengangkutan sampah terbagi dalam dua waktu kegiatan: pelayanan operasi pagi hingga siang dan pelayanan operasi sore hingga malam. Wilayah pelayanan dibagi dalam tiga kategori yaitu: wilayah inti, wilayah penunjang inti, dan wilayah pengembangan. Selain sampah yang dihasilkan oleh perumahan dan daerah komersial, Dinas Kebersihan dan Keindahan juga mengangkut hasil pembersihan jalan dan selokan sesuai dengan pembagian wilayah kerja rutin. Sumber dana Dinas Kebersihan dan Keindahan berasal dari APBD Tk. I, APBD Tk. II dan restribusi yang berasal dari restribusi kebersihan dan restribusi

septik tank. Sumber daya operasional Dinas Kebersihan dan Keindahan Kotamadya Dati II Makassar 135 orang pengemudi dan 225 orang pengangkut sampah. Kotamadya Makassar hingga saat ini telah menggunakan tujuh TPA yaitu : TPA Karuwisi, TPA Sappabulo, TPA Andi Tonro, TPA Panampu, TPA Kantisang, TPA Tanjung Bunga, dan TPA Tamangapa. Semua TPA telah ditutup kecuali TPA Tamangapa. Perubahan TPA dilakukan akibat pertumbuhan produksi sampah kota yang semakin tahun semakin bertambah. TPA yang telah ditutup masih menggunakan sistem open dumping. TPA Tamangapa menggunakan Metode Semi Sanitary Landfill. Metode ini dilakukan untuk mengadaptasi metode Sanitary Landfill dengan metode Open Dumping. Hal ini dilakukan untuk penerapan pada daerah yang tidak mempunyai dana yang cukup untuk menerapkan metode Sanitary Landfill. Di TPA Tamangapa, sampah dipisah oleh para pemulung untuk dijual pada para tengkulak kemudian disalurkan ke pabrik-pabrik yang memerlukan. Penghasilan mereka cukup baik untuk memenuhi kebutuhan. Selain pemulung, di TPA Tamangapa terdapat sapi yang dapat mengurangi jumlah sampah basah yang akan ditimbun.

Kondisi Pengelolaan Sampah Di Kotamadya Makassar


Luas Layanan Jumlah penduduk daerah layanan Perkiraan Timbunan - Domestik - Komersial Volume yang tertangani Tingkat pelayanan
Sumber Dinas Kebersihan Kotamadya Ujung Pandang Sumber: :Dinas Kebersihan Kotamadya Ujung Pandang 1998 1998

175,77 km 1.300.000 jiwa 3.535,20 m3 1.576,60 m3 1772,7 m3 2996,67 m3 84,8 %

20

Percik I/ Agustus 2004 Vol. 5 Tahun

WAWASAN
FOTO: ISTIMEWA

Permasalahan Metode Semi Sanitary Landfill membutuhkan tanah penutup dalam jumlah yang cukup besar. Hal ini jelas menambah biaya operasional pengelolaan sampah, apalagi kalau tanah yang dibutuhkan jauh dari lokasi TPA. Untuk TPA Tamangapa, tanah penutup dapat diperoleh pada daerah sekitar TPA. Selain itu, metode ini juga perlu pengawasan yang ketat dalam pemasangan pipa untuk mengalirkan biogas yang dihasilkan timbunan sampah. Biogas ini baru berhenti setelah penimbunan berkisar 50 tahunan bahkan lebih. Jika biogas ini tidak disalurkan dapat mengakibatkan ledakan yang akan menghamburkan timbunan sampah. Perpipaan biogas TPA Tamangapa dilakukan setelah timbunan terbentuk selama setahun lebih. Hal ini patut disayangkan karena pada perencanaan awal pipa biogas telah dirancang. Air hujan yang jatuh pada daerah timbunan sampah juga menimbulkan masalah jika tidak tertangani dengan baik. Di TPA Tamangapa proses pengolahan menggunakan proses fotosintesis karena merupakan sistem yang relatif mudah dan murah. Lindi (Leachate) yang dihasilkan oleh timbunan sampah dapat merusak air tanah jika dasar timbunan tidak kedap air. Bahkan dapat merusak air permukaan seperti sungai. Untuk lingkungan sekitarnya perlu pula diperhatikan faktor bau dan angin berhembus sehingga tidak mempengaruhi pemukiman sekitarnya. Berdasarkan standar pemilihan daerah TPA, sebenarnya tidak dibenarkan adanya pemukiman di sekitar TPA tetapi penduduk biasanya malah membangun semakin dekat dengan TPA terutama para pemulung. Sampah Mereka Sampah Kita Masalah-masalah yang timbul sebenarnya dapat direduksi dengan menerapkan sistem pengelolaan yang terpadu antara masyarakat dan pemerintah kota. Selama ini masalah sampah hanya menja-

di bagian pelengkap dalam struktur masyarakat dan pemerintahan. Seharusnya masalah sampah ini diberi perhatian yang cukup dari kedua belah pihak. Sebab luas lahan kota dan anggaran yang terbatas memerlukan alternatif pengolahan. Seperti diketahui, pengelolaan sampah sebenarnya terdiri atas pengumpulan sampah, pengangkutan sampah, dan pengolahan sampah yaitu penimbunan sampah sebagai salah satu cara. Pengumpulan bisa ditangani oleh masyarakat. Cara terbaik dalam pengumpulan ini adalah dengan pemilahan sampah sehingga dalam tahap selanjutnya pengolahan lebih mudah dan efisien. Namun ini memerlukan pemahaman yang tinggi dari masyarakat dan pelaksana di lapangan. Pada tahap ini pula kita dapat menerapkan metode Zero Waste yaitu mengurangi sampah hingga tidak ada lagi yang dapat diolah dengan penimbunan. Penerapan aturan tentang sampah yang masih sedikit membuat masyarakat tidak menganggap penting masalah ini. Seperti contoh di Jakarta, dengan penuhnya TPA Bantar Gebang membuat pemerintah kota sulit menyalurkan sampahnya. Walaupun akhirnya masalah selesai tetapi sampai kapan lagi TPA selanjutnya akan penuh? Pemerintah pasti akan mencari lahan baru lagi. Sedangkan lahan bekas TPA hanya dapat digunakan kembali sebagai lahan produktif se-

telah puluhan tahun. Sampah bisa juga dibuang di lahan bekas galian tambang, tapi tiap kota tidak selalu mempunyai penambangan. Jadi betapa beruntunnya masalah jika tidak dipikirkan secara serius. Pola pikir masyarakat harus diubah dengan memandang sampah masyarakat lain merupakan sampah mereka juga. Maksudnya sampah menjadi tanggung jawab bersama. Karena jika sampah itu semakin hari semakin tinggi produksinya bisa dibayangkan kota besar seperti Jakarta dan Makassar khususnya akan menjadi timbunan sampah. Untuk saat ini, tentu kita hanya dapat mengharapkan pengelolaan sampah yang menjadi tanggung jawab pemerintah untuk dikelola dengan baik. Karena seperti pencemaran lainnya dampak yang ditimbulkan akan terlihat atau dirasakan setelah bertahun-tahun. Sementara sumber pencemaran sudah tidak dapat dideteksi lagi. Sebenarnya aturan mengenai lingkungan di negara ini sudah cukup. Yang kurang adalah penerapan dan hukuman terhadap pelanggaran. Oleh karena itu tanggung jawab kita semua untuk memperbaikinya.
*)

Penulis adalah Alumni Teknik Lingkungan ITB. Tulisan disarikan dari Tesis Penulis Rencana Pengembangan Kapasitas Layanan TPA Tamangapa, Makassar

21

Percik I/ Agustus 2004 Vol. 5 Tahun

WA W A S A N
Pengelolaan Program Air Minum dan Penyehatan Lingkungan dan Tantangan ke Depan

achel Carson telah mengisyaratkan, manusia perlu disadarkan bahwa lingkungan akan rusak parah karena ulahnya, sekalipun tindakan itu dianggap produktif bagi manusia; (Majalah Silent Spring, 1963). Kondisi lingkungan hidup sangat mempengaruhi perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Makhluk hidup, baik manusia, hewan ataupun tumbuh-tumbuhan tidak akan mampu bertahan hidup tanpa lingkungan hidup yang baik, lebih-lebih tanpa air. Air memegang peranan penting dalam kehidupan. Saat ini sumber air yang ada dan dapat diambil langsung manfaatnya yakni air hujan, mata air, air tanah, waduk embung situ-situ dan sungai. Namun kondisinya kini tak seimbang lagi antara kebutuhan dan ketersediannya. Gangguan keseimbangan itu terjadi akibat a) pertumbuhan penduduk yang sangat pesat, khususnya di daerah perkotaan; b) merebaknya berbagai industri yang mengubah peruntukan lahan dan sekaligus memanfaatkan air yang cukup besar; c) meningkatnya penebangan hutan liar, kebakaran hutan dan penambangan bahan galian di hutan yang tidak dibarengi dengan upaya konservasi dan rehabilitasi hutan dan lahan; serta d) terjadinya pencemaran air akibat limbah industri, intrusi air laut dan limbah penambangan tanpa izin (PETI). Program AMPL di Era Otonomi Daerah Program Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (AMPL) bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat berpenghasilan rendah di perdesaan dan pinggiran perkotaan dengan pendekatan berbasis masyarakat. Caranya

S. Budi Susilo *)

melalui penyediaan air yang lebih mudah terjangkau, murah, dan berkualitas serta penyediaan sarana sanitasi (dasar) yang lebih sesuai dengan kondisi setempat serta dibarengi dengan upaya perbaikan perilaku hidup bersih dan sehat. Pengalaman di lapangan selama dua tahun terakhir menunjukkan bahwa program AMPL yang didanai dari Bank Dunia dan AusAID tersebut cukup berhasil. Ini karena metode yang diterapkan sesuai dengan prinsip-prinsip otonomi daerah, yaitu pembangunan sarana dan prasarana air bersih dimulai dari bawah berdasarkan prakarsa sendiri, menampung dan memperhatikan aspirasi masyarakat serta dengan memperhatikan keragaman daerah. Tidak ada pemaksaan, keseragaman, instruksi dan mobilisasi masyarakat. Semua dikelola melalui upaya pemberdayaan masyarakat. Sesuai peran dan fungsinya, pemerintah pusat dan propinsi akan bertindak sebagai fasilitator, sedang pemerintah kabupaten/kota diharapkan mampu mengkoordinasikan dan memadukan pembangunan di daerah serta memberdayakan masyarakatnya. Untuk itu halhal yang perlu diperhatikan oleh berbagai pihak, dari tingkat pusat hingga daerah dalam menyukseskan program/proyek tersebut antara lain: 1. Ada kebijakan, baik nasional, regional maupun lokal. Artinya pemerintah pusat dan daerah perlu menyiapkan peraturan perundangan, pedoman, standar dan lainnya yang memberikan arahan agar program/proyek AMPL dapat terlaksana dengan baik, benar,

transparan, dan berkelanjutan. 2. Masyarakat. Artinya masyarakat perlu memiliki kesiapan, kemauan, dan kemampuan untuk berpartisipasi dalam program/proyek ini. 3. Sumber daya alam. Potensi sumberdaya alam, khususnya air dapat memberikan kontribusi positif bagi pengembangan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat sehingga harus dikelola dengan baik dan benar. Tantangan ke Depan Keberhasilan program AMPL yang dikoordinasikan oleh Kelompok Kerja AMPL cukup menggembirakan. Tak heran bila banyak daerah berminat ikut serta dalam proyek-proyek ini. Namun ada kendala teknis yang menghalangi. Menyadari kondisi tersebut, tugas yang harus diemban instansi terkait yang tergabung di dalam Pokja AMPL adalah a) Mampu menyusun kebijakan umum yang dapat dijadikan landasan pemangku kepentingan (stakeholder) untuk berpartisipasi dalam penyediaan air minum dan penyehatan lingkungan yang berbasis masyarakat; b) Mampu meyakinkan jajaran pemerintah daerah dan stakeholder lainnya bahwa program ini merupakan salah satu upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat; c) Mampu meyakinkan negara donor, NGO dan pihak ke-3 lainnya untuk berpartisipasi; dan d) Mampu memfasilitasi pengembangan jaringan kerja di tingkat pelaksanaan (kab/kota) dengan mendorong pelibatan instansi terkait serta LSM yang memiliki komitmen terhadap AMPL.
*)

Staf Ditjen Bangda, Depdagri dan anggota Pokja AMPL

22

Percik I/ Agustus Vol. 5 Tahun

WA W A S A N
Masalah AMPL di Kabupaten Kebumen
Alma Arief 1) dan Budiono 2)
Jenis Teknologi

SARANA AMPL DI KEBUMEN


Jumlah Desa 9 19 11 4 3 1 1 6 Kondisi baik 6 8 10 1 3 6 Kelembagaan berfungsi 6 6 10 3 5

abupaten Kebumen mempunyai kekhasan di bidang pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan (AMPL). Program rinci bidang AMPL tercantum di dalam Renstra 2000 s/d 2005 (menyatu dalam PERDA No 18 thn 2002). Pemda setempat pun sangat tanggap terhadap gagasan Kelompok Kerja WASPOLA untuk mendiseminasi dan mengoperasionalisasikan Kebijakan Nasional AMPL. Bahkan pemda bersedia memberikan kontribusi finansial bagi pelaksanaan kegiatan tersebut. Pemda mengalokasikan dana untuk pembangunan AMPL bukan hanya dari DAK tetapi juga anggaran reguler tahunan, dan itu sudah terlaksana. Tahun anggaran 2005 mendatang, tak kurang lima desa mendapat alokasi dana AMPL masing-masing sebesar Rp 100 juta. Usulan ini merupakan aspirasi masyarakat yang digali melalui mekanisme Jaring Asmara (jaring aspirasi masyarakat), yakni mekanisme jemput bola dengan membentuk task force yang khusus untuk keperluan tersebut. Selain program yang disusun melalui jaring asmara, program AMPL juga berasal dari usulan dinas (sektor). Dinas Pekerjaan Umum, pada tahun anggaran 2005 mengalokasikan dana untuk pembangunan AMPL sebesar Rp 120 juta untuk tujuh desa. Selama ini, berbagai sarana yang dibangun cukup terpelihara. Sarana AMPL yang dibangun pada pertengahan 1980 dan 1990-an, masih berfungsi meskipun mulai ada tanda-tanda kerusakan. Dari tabel di atas dapat ditarik pengertian bahwa sarana AMPL di Kabupaten Kebumen cukup terpelihara (baca berkelanjutan). Namun, di balik data

Perpipaan gravitasi Perpipaan PSA Sumur gali Sumur bor PAH SGL & PAH Campuran

data tersebut sesungguhnya tersembunyi masalah yang rumit. Kebumen yang memiliki sumber air berlimpahmeskipun untuk memanfaatkannya memerlukan teknologi khusus pada musim kemarau mengalami kesulitan air secara serius. Pada musim kemarau pemda selalu mengerahkan armada tanki air bersih, membeli air bersih di PDAM dan membagikan secara gratis ke desa-desa yang mengalami kesulitan air. Paling tidak 80 desa selalu mengalami kekeringan dan memerlukan droping air bersih. Masalah Lingkungan Masalah kelangkaan air di musim kemarau terjadi karena penebangan hutan di wilayah resapan air milik Perhutani. Konon penebangan hutan heterogen dan diganti dengan tanaman pinus (homogen) menjadi sebab berkurangnya debit air dan longsor. Contohnya bak penampung air di desa Adiwarno ambrol terbawa longsor, menurunnya debit air Waduk Semporsumber air di Kabupaten Kebumen. Meskipun aparat pemerintah tidak menunjuk secara pasti bahwa kekeringan itu terjadi karena alih fungsi hutan, peristiwa kelangkaan air itu memang terjadi setelah adanya berbagai perubahan tersebut. Kelembagaan Masyarakat ikut serta dalam pembangunan sarana AMPL, khususnya dalam

teknologi perpipaan. Di desa Banyumudal, sebagai contoh, masyarakat juga dipungut kontribusi hingga Rp 100 ribu/orang. Peraturan juga dibuat rinci menyangkut beberapa aspek seperti: cara permintaan sambungan RT, ketentuan besarnya biaya, denda keterlambatan membayar, besarnya iuran, organisasi pengelola dan pemakai air. Awalnya masyarakat di sekitar mata air di Desa Banyumudal tak menghadapi masalah sebelum ada pembangunan jaringan perpipaan untuk tiga dusun di bagian hilir. Setelah ada pembangunan itu, justru warga tak memperoleh air pada musim kemarau. Akhirnya mereka merusak broncaptering untuk mendapatkan air kembali. Akibatnya, suplai air ke tiga dusun tersebut menjadi tidak merata. Berawal dari peristiwa ini, sistem iuran yang tadinya dibakukan menjadi berhenti. Pengelola pun tak mau menanganinya lagi. Teknologi Teknologi untuk menanggulangi masalah AMPL, pada umumnya yakni sistem perpipaan, baik perpipaan gravitasi maupun sistem pompa (genset). Beberapa desa menggunakan teknologi sumur gali (SGL), sumur bor, dan penampungan air hujan (PAH). Teknologi sumur gali dan PAH kelembagaannya tidak terbentuk dan berfungsi. Teknologi PAH sa-

23

Percik I/ Agustus 2004 Vol. 5 Tahun

WAWASAN
FOTO: ALMA ARIEF

at ini tidak dipakai karena ukurannya yang kecil sehingga air yang tertampung cepat habis. Sarana air minum dengan teknologi sumur bor juga terdapat di beberapa desa, satu di antaranya dibangun di tempat pelelangan ikan (TPI). Mengenai pilihan teknologi, masyarakat terlibat sejak perencanaan kegiatan. Masyarakat juga memberikan kontribusi dalam bentuk uang tunai, tenaga, dan material. Sebagai contoh, masyarakat Desa Pakuran mengumpulkan dana secara swadaya untuk menutupi kekurangan biaya pembangunan bak penampung, pembelian genset, dan pipa. Saat itu pemerintah membantu dana sebesar Rp 34 juta sedangkan kebutuhannya mencapai Rp 50 juta. Karena teknologi ini terbilang baru bagi warga Pakuran, maka warga pun dilatih bagaimana mengoperasikan dan memelihara genset dan mengelola perpipaan. Biaya operasi genset ditanggung bersama oleh warga. Di Desa Tugu, Kecamatan Buayan, masyarakat menyewa mobil untuk mengangkut air dari sumber air di lembah ke desa mereka yang letaknya di dataran tinggi. Langkah itu diambil warga mengingat pasokan air dari pemerintah hanya seminggu sekali. Pada musim kemarau, wilayah Kabupaten Kebumen pada umumnya menghadapi masalah air karena sumber airnya menyusut tajam atau kering. Untuk menanggulangi masalah ini, pemerintah memberikan pasokan air gratis kepada masyarakat di 80 desa. Pemerintah membeli air tersebut dari PDAM. Sosial Budaya Masyarakat di Kebumen sangat kooperatif dan memiliki kemandirian yang tinggi. Mereka mudah diorganisasikan untuk memecahkan masalahnya dan tidak keberatan untuk berkontribusi baik uang, material maupun tenaga. Oleh karena itu, pada dasarnya masyarakat Kebumen sangat kondusif untuk melaksanakan pembangunan AMPL secara mandiri, dan tampaknya ini telah terkemas di propinsi Jawa Tengah secara umum. Bukan hanya di Kebumen,

hal yang sama juga ditemukan di Banyumas, dan di Semarang. Pembangunan sarana AMPL, sesungguhnya tidak perlu sampai ke rumah tangga dengan sistem kran rumah tangga. Banyak anggota masyarakat yang secara sendiri-sendiri membeli selang yang sangat panjang sampai ratusan meter. Di Desa Klesem, bahkan ada yang memasang selang sampai ke sumber air dengan panjang selang mencapai 2.500 meter dengan perkiraan biaya Rp 1,5 juta. Apabila masyarakat sudah menilai air sebagai benda berharga, yang diindikasikan dengan kesediaan mereka mengeluarkan biaya sampai begitu besar, maka mereka akan mudah untuk secara bersama-sama diorganisasikan untuk memecahkan masalah. Ini pada akhirnya akan menyangkut masalah pengorganisasian dan/atau pengembangan kelembagaan, termasuk pendekatan yang mengena di hati masyarakat. Aspek Finansial Dari diskusi dengan staf camat di kantor BAPPEDA, bisa diperoleh pengertian bahwa kesediaan untuk membayar iuran bulanan bukan ditentukan oleh kaya atau miskinnya seseorang. Di Kecamatan Ayah, bahkan ada desa yang penduduknya relatif miskin dibandingkan desa lain, namun mereka mau membayar iuran dengan teratur. Dari tabel di atas (mekipun belum dila-

kukan kajian secara teliti) juga tampak bahwa kelembagaan pengelola air berpengaruh terhadap fungsi sarana. Keberfungsian kelembagaan akan berkorelasi positif terhadap pengumpulan iuran bulanan. Penutup Kebumen memiliki sumber air berlimpah, namun masih banyak penduduknya yang belum bisa memperoleh layanan air bersih (minum). Ini terjadi akibat faktor kesulitan alamiah dan kecenderungan perubahan lingkungan yang terjadi pada akhir-akhir ini. Secara sosial budaya, masyarakat Kebumen sangat kooperatif dan mau memberikan kontribusi baik tenaga, uang, material, bagi pembangunan sarana AMPL. Hal itu tentunya sangat menunjang bagi pengembangan kelembagaan maupun pengorganisasian sumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah secara bersama-sama. Di Kebumen, banyak sumber air yang berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut. Namun karena kondisi alamnya di beberapa tempat memang cukup sulit penanganannya, maka diperlukan jenis pilihan teknologi tertentu. Masalahnya adalah jenis teknologi yang seperti apakah yang tepat untuk diterapkan dan terjangkau oleh masyarakat.
1. Konsultan WASPOLA 2. Staf Bidang Sosial Budaya BAPPEDA Kebumen

24

Percik I/ Agustus 2004 Vol. 5 Tahun

WA W A S A N

Sistem Pengolahan Air Limbah Rumah Tangga di Kota Tangerang


FOTO: BAMBANG PURWANTO

Bambang Purwanto

*)

ota Tangerang mulai berdiri tahun 1993 dengan luas wilayah 177 km2 termasuk Bandara Soekarno- Hatta. Kota ini tergolong cepat perkembangannya. Pertumbuhan penduduknya 4,9 % per tahun. Tahun ini penduduknya berjumlah 1,4 juta jiwa. Kota Tangerang merupakan salah satu kota penyangga ibukota Jakarta. Di wilayah tersebut banyak pekerja kantor di Jakarta bertempat tinggal. Industri-industri manufaktur pun tumbuh pesat sehingga banyak menyerap tenaga buruh. Perkembangan jumlah penduduk yang cepat mau tidak mau mengharuskan adanya penyediaan prasarana dan sarana perkotaan yaitu listrik, telepon, pengelolaan persampahan, air minum, dan air limbah rumah tangganya. Tidak seperti halnya listrik, telepon, dan pengelolaan sampah, pelayanan air minum dan air limbah domestik di kota tersebut masih tergolong rendah. Dipandang dari aspek lingkungan, air buangan domestik yang diterima oleh lingkungan di kota tersebut yakni 1,4 juta jiwa x 100 liter/jiwa atau sekitar 140.000 m3/hari. Alam akan terlalu berat menanggung beban pencemaran ini jika tidak ada campur tangan manusia untuk mengelolanya. Oleh karena itu perlu upaya-upaya bijak untuk membantu alam mengolah air limbah domestik, baik secara individual, komunal, maupun skala kota. Salah satu upaya Pemko Tangerang untuk membantu alam menetralisir pencemaran air limbah domestik tersebut adalah dengan membangun Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) di Tanah

Tinggi dan Kolam Oksidasi di 8 Lokasi dan Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) di Kelurahan Karawaci. Kondisi Kini Secara ringkas beberapa aspek pengelolaan prasarana dan sarana air limbah domestik kota Tangerang dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Aspek Teknis. Pada saat ini Kota Tangerang memiliki dua macam sistem pengelolaan air limbah domestik yaitu a) Sistem On Site (setempat) yaitu sistem layanan dengan penyedotan limbah tinja di tangki septik (septic tank) milik warga/masyarakat yang selanjutnya diolah di Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) yang terdapat di daerah Karawaci. Adapun sistem yang ada yaitu; Tangki septik 205.572 unit ( 61 %) WC Umum 111.624 unit ( 33 % ) Saluran/Kali/ Lahan Terbuka 21.360 KK ( 6 % ).

b). Sistem Off Site (terpusat) yaitu sistem pengolahan air limbah domestik yang menggunakan jaringan perpipaan di Kelurahan Babakan dan Sukasari Tangerang yang merupakan satu-satunya IPAL Type Carrousel di Indonesia. IPAL ini mulai dibangun tahun 1982 , diuji coba tahun 1985, dan mulai dikelola 1992. Konsultan dari Belanda DHV Cons. Eng. dan Has Koning bertindak sebagai perencana IPAL Tanah Tinggi. IPAL itu merupakan bantuan pemerintah Belanda dan mempunyai cakupan pelayanan 3.000 sambungan rumah atau ekivalen 15.000 jiwa melayani Kelurahan Sukasari dan Babakan. Selain IPAL Tanah Tinggi, Kota Tangerang juga mempunyai prasarana dan sarana pengolahan air limbah domestik lainnya yang terdiri atas kolam oksidasi sebanyak delapan unit dengan total luas sebesar 44,5 hektar terdapat di Perumnas I, melayani 7.932 sambungan rumah atau ekivalen 31.728 jiwa.

25

Percik I/ Agustus 2004 Vol. 5 Tahun

WA W A S A N
FOTO: BAMBANG PURWANTO

Aspek Teknologi a) Sistem Terpusat ( Offsite System) di IPAL Tanah Tinggi melayani Kelurahan Sukasari dan Babakan; seluruh limbah rumah tangga baik yang berasal dari kamar mandi, kakus maupun dapur diproses menjadi satu secara alamiah terpadu dengan sistim Carrousel yang pengalirannya sebagian menggunakan perpompaan. b). Sistem Setempat (Onsite system) melayani rumah tangga yang masih belum terjangkau oleh sistem terpusat, yaitu dengan menyedot lumpur tinja dari septik tank di setiap rumah yang selanjutnya diolah di IPLT Karawaci. Aspek Keuangan Untuk sistem setempat telah dilakukan kerjasama dengan pihak swasta (PT Pola Inti Konsultama) mulai September 2002 dengan kewajiban pembayaran ke Pemda Tahun I sebesar Rp. 40 juta, Tahun II sebesar Rp. 50 juta, Tahun III sebesar Rp. 100 juta, Tahun III sebesar Rp. 150 juta, Tahun IV sebesar Rp. 130 juta dan Tahun V sebesar Rp. 150 juta. Total Rp. 470 juta untuk kontrak selama 5 tahun. Masyarakat yang menggunakan jasa penyedotan dikenai biaya sebesar Rp. 70.000 untuk sekali penyedotan, sedangkan pengelola IPLT memungut biaya Rp. 5 Rp 10 ribu untuk setiap truk tinja yang membuang lumpur tinja di IPLT Karawaci. Karyawan pengelola IPLT seluruhnya berjumlah 30 orang termasuk supir dan tenaga pengelola IPLT dengan penghasilan rata-rata berkisar Rp. 600.000/karyawan/bulan. Armada truk tinja ada tujuh. IPLT Karawaci selain berfungsi sebagai pengolah lumpur tinja curahan mobil tinja juga melayani sekitar 60 sambungan rumah yang langsung menyalurkan buangan limbah domestiknya ke IPLT sehingga secara tidak langsung IPLT tersebut berlaku pula sebagai IPAL. Sedangkan pengelolaan sistem off site (terpusat) masih disubsidi oleh Pemko

Tangerang sebesar Rp. 56 juta per tahun. Belum ada pungutan untuk biaya operasi dan pemeliharaan dari masyarakat. Tantangan, Hambatan, dan Peluang Tantangan yang dihadapi yakni kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan air limbah baik secara offsite system (terpusat) maupun melalui pelayanan onsite system (setempat) untuk melindungi pencemaran lingkungan khususnya pencemaran badan air. Adapun hambatan yang ada yaitu keterlambatan pihak pengelola untuk menyosialisasikan pengelolaan IPAL Tanah Tinggi sehingga sampai saat ini retribusi/iuran masyarakat pelanggan belum dapat ditarik. Sedangkan peluang yang memungkinkan yakni banyak warga yang belum terlayani pengelolaan air limbah domestik, lagipula kapasitas IPAL maupun IPLT masih bisa dikembangkan di masa mendatang. Kesimpulan dan Saran Pengolahan limbah dengan menggunakan sistem IPAL Tanah Tinggi cukup efektif untuk menangani pencemaran lingkungan oleh limbah rumah tangga (kamar mandi, kakus, dan dapur), namun masih perlu ditingkatkan cakupan pe-

layanannya. Biaya investasi IPAL cukup tinggi sehingga diperlukan alokasi anggaran khusus dari Pemko Tangerang untuk mengembangan IPAL di kawasan lain di Kota Tangerang guna meningkatkan pelayanan pengelolaan air limbah domestik bagi penduduk. Biaya Operasi & Pemeliharaan (O&P) IPAL cukup tinggi dikarenakan penggunaan listrik PLN secara penuh. Perlu segera diupayakan pembayaran retribusi sambungan rumah bagi pelanggan di Kelurahan Babakan dan Sukasari guna menutup biaya O&P tersebut agar IPAL dapat dioperasikan secara optimal dan berkesinambungan. Perlu disusun organisasi pengelola secara profesional dan permanen, bisa dalam bentuk Unit Pengelola Teknis Daerah (UPTD) atau bentuk lainnya (kerjasama dengan pihak ketiga/swasta) Perlu ada sosialisasi bagi seluruh warga tentang pembangunan dan pengelolaan prasarana dan sarana air limbah domestik, serta menyangkut seluruh aspek teknis, lingkungan, keuangan, dan kelembangaannya.
*)

Staf Dirjen TPTP, Depkimpraswil

26

Percik I/ Agustus 2004 Vol. 5 Tahun

WAWASAN

Sampah Membawa Berkah di Desa Temesi, Kabupaten Gianyar, Bali S


ampah membawa berkah? Mungkin sebagian besar orang paham arti dan nilai lebih dari sampah. Namun hanya segelintir orang yang peduli dan betul-betul memanfaatkan sampah semaksimal mungkin. Sampah dan TPA (Tempat Pembuangan Akhir), tampaknya sudah akrab di telinga dan benak sebagian besar masyarakat kota besar. Hampir di semua kota, terdengar keluhan masyarakat yang tinggal di sekitar TPA. Di beberapa kota malah sempat terjadi bentrokan fisik dan penutupan sementara. TPA di Desa Temesi juga tidak terkecuali. TPA Temesi, terletak di Desa Temesi, di Kabupaten Gianyar, Bali, sudah beroperasi sejak tahun 1993. Di tanah seluas 5 Ha ini, semua sampah dari Kota Gianyar, Ubud, Sukawati, Tampak Siring, dan wilayah sekitarnya, ditimbun. Awalnya lokasi TPA Temesi berupa lahan yang cukup landai. Sampah yang ditimbun selama bertahun-tahun, meratakan permukaan lahan TPA. Sayangnya selama bertahun-tahun pula, sebagaimana halnya praktek penimbunan sampah open dumping di TPA-TPA kota lainnya, menebar bau tak sedap dan meningkatkan jumlah lalat sampai dengan radius 2 km. Saat musim hujan, truk-truk sampah Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Gianyar pun enggan masuk ke TPA karena kemungkinan besar truk mereka amblas terbenam di tumpukan sampah. Akibatnya kadang as roda patah atau timbul kerusakan fatal lainnya. Sampah dari kawasan Ubud dan sekitarnya pun berakhir di Banjar Intaran, Desa Pejeng, Tampak Siring, karena permintaan masyarakat untuk mengurug Yuyun Ismawati dan Noka Destalina atau menimbun bantaran sungai kecil yang makin tergerus erosi. Selama 6 tahun, sampah kawasan tersebut ditimbun di desa ini. Akhirnya, kesehatan lingkungan masyarakat terancam. Air tanah dan udara di sekitar tercemar, menebar bau, dan tidak sehat. Minimasi dan pemilahan sampah di Fasilitas Pemilahan Sampah Temesi, Gianyar Bali.
100 % sampah masuk ke fasilitas 10 ton/hari atau 40 m/hari

30% Sampah An-organik 3 ton/hari

50% Fraksi Organik 5 ton/hari

20% residu 2 ton/hari

25% pakan ternak 2,5 ton/hari (10 m/hari)

25% kompos 2,5 ton/hari (10 m/hari)

(Sumber: Laporan Studi Kelayakan Fasilitas Temesi BaliFokus, Juli 2004)

Sejak tahun 2001, Bali Fokus mengajak berbagai pihak untuk menyikapi hal ini dan mencari solusi yang menguntungkan bagi semua. Dimulai dari ide replikasi fasilitas pemilahan sampah pariwisata di Jimbaran, muncul gagasan untuk membangun fasilitas serupa di TPA Temesi untuk menangani sampah kota Gianyar. Melalui persiapan dan perencanaan yang matang, dengan sosialisasi dan pendekatan yang mengedepankan partisipasi masyarakat maka diba-

ngun Fasilitas Pemilahan Sampah (FPS) yang berlokasi di TPA Temesi. Fasilitas pemilahan sampah seluas 400 m2 ini mungkin merupakan yang pertama di Indonesia, dibangun sejak akhir Maret 2004 dan diresmikan pengoperasiannya oleh Bupati Gianyar pada 25 Juni 2004 yang lalu. Pembiayaan konstruksi fasilitas ini berupa in-kind material dari USAID/OTI senilai Rp. 380 juta, Swiss Development Cooperation senilai Rp. 110 juta, kontribusi dari Rotary Club Bali Ubud serta RC Hamburg dan RC Atlanta sejumlah Rp. 60 juta, dari Bali Fokus-BORDA network sejumlah Rp. 50 juta, dengan total biaya konstruksi mencapai Rp. 600 juta. Pemakaian lahan, sewa atau beli, tidak diperhitungkan karena menggunakan lahan TPA milik Pemerintah Kabupaten Gianyar. Target dari pelayanan fasilitas ini adalah 30% sampah dikelola Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Gianyar atau kurang-lebih 80 m3/hari atau 20 truk/hari (total sampah Kota Gianyar dan sekitarnya adalah sekitar 260 m3/hari). Tujuan dari dibangunnya fasilitas ini adalah memilah sampah dan meningkatkan nilai manfaat dan potensi daur ulang sampah sebagai alternatif insinerator. Inisiatif Temesi ini mungkin merupakan proyek pengelolaan sampah kota yang pertama di Indonesia yang menerapkan sinergi positif antar berbagai pihak: - Rotary Club Bali Ubud (RCBU), melalui Community Service Program, berperan sebagai koordinator penggalangan dana (USAID/OTI, Rotary Club International, SDC, dan lain-lain).

27

Percik I/ Agustus 2004 Vol. 5 Tahun

W AWASAN
- Bali Fokus-BORDA, lewat Program Pengelolaan Sampah, berperan sebagai penyedia bantuan teknis, pemberdayaan masyarakat dan pendamping manajemen operasional selama 5 tahun ke depan, - Pemkab Gianyar dalam hal ini Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Gianyar berperan sebagai pemasok sampah dan penyedia lahan, - Badan Pengelola Sampah Desa Temesi, berperan sebagai pengelola fasilitas bersama Bali Fokus (joint operation management). Dalam tahap persiapan dan pelaksanaan konstruksi fasilitas, proyek ini melibatkan masyarakat secara aktif melalui pertemuan-pertemuan rutin dan diskusi di lapangan. Bali Fokus memfasilitasi pembentukan Badan Pengelola Sampah di Desa Temesi yang akan bertanggung jawab terhadap operasional FPS Temesi ini dalam jangka panjang. Selain memberdayakan masyarakat di tingkat manajemen, fasilitas ini juga membuka lapangan pekerjaan baru bagi 60 orang karyawan, yang berasal dari masyarakat warga Desa Temesi. Desa Temesi terdiri atas tiga Banjar, yaitu Banjar Peteluan, Banjar Pegesangan, dan Banjar Temesi dengan jumlah penduduk + 650 KK. Pada tahap awal operasi FPS Temesi sampai dengan awal tahun 2005, pengolahan dilaksanakan hanya setengah kapasitas yang direncanakan, yaitu sekitar 40 m3 sampah per harinya. Hal ini dimaksudkan sebagai tahap pembiasaan dan pembelajaran bagi keseluruhan komponen operasional fasilitas. Sebuah Badan Pengelola dibentuk bersama untuk memfasilitasi pengelolaan fasilitas dan mengatur manajemen operasional. Bali Fokus bertindak sebagai pendamping untuk 5 tahun ke depan dan membantu mewujudkan keseluruhan sistem yang berkelanjutan. Manfaat dan keuntungan dari inisiatif Temesi ini antara lain: - Ada alternatif pengelolaan limbah pa-

Tabel Kebutuhan Lahan


No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Kebutuhan Lahan/Area Receiving area atau ruang penerimaan sampah Belt Conveyer (BC) atau ban berjalan Area penampungan sementara sampah an-organik Area penampungan residu sampah Area penyimpanan sampah an-organik sebelum dijual ke bandar lapak Area pengomposan Area pembuatan pakan ternak Total luas area Luas (m2) 50 50 150 Lahan TPA 250 400 200 1,100

dat/sampah tanpa menggunakan incinerator yang realistis dan layak untuk dikembangkan di tiap daerah. - Aplikasi teknologi ramah lingkungan untuk penanganan limbah tersedia di tingkat lokal. - Penanganan sampah yang melibatkan

multipihak dapat diimplementasikan dengan koordinasi dan sinergi yang baik. - Masalah TPA yang berdampak kepada masyarakat dapat dicarikan solusi yang sama-sama menguntungkan (win-win solution). Dengan adanya FPS Temesi, mekanisme monitoring pengelolaan TPA oleh masyarakat dan kompensasinya lebih terstruktur. TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR (TPA) TEMESI - Kompos organik yang dihasilkan didukung kebijakan dan program perRUANG PENERIMAAN tanian organik di wilayah Kabupaten Gianyar. - Pakan ternak yang diPEMILAHAN SAMPAH hasilkan dijual kepada ANORGANIK DI BELT CONVEYOR RECYCABLES peternak sapi dan sangat (GELAS, PLASTIK, KERTAS, membantu peternak daKARDUS, KALENG, DLL) lam penyediaan pakan dan diversifikasi pakan PEMILAHAN RESIDUAL RESIDUAL DI BELT CONVEYOR ternak, terutama saat musim kemarau. PABRIK DAUR - Kreativitas masyarakat ULANG SAMPAH ORGANIK dengan pembuatan baDIPOTONG/ DICINCANG DI MESIN rang kerajinan dari samPENCACAH pah/barang daur ulang yang bernilai ekonomis PAKAN KOMPOS dapat dikembangkan. TERNAK ORGANIK - Membuka lapangan pekerjaan baru untuk INSTALASI 60-100 orang. SANITARY LANDFILL PENGOLAHAN AIR LIMBAH - Produk yang dihasilkan: barang lapak, kompos orDiagram Alur proses pemilahan di fasilitas Temesi. ganik dan pakan ternak, Fasilitas Temesi ini beroperasi dari pukul 06.30 s/d 16.30 WITA dengan merekrut 60 orang dapat menjamin keberkaryawan yang bekerja dalam 2 shift. lanjutan fasilitas. Semua berasal dari Desa Temesi.

28

Percik I/ Agustus 2004 Vol. 5 Tahun

R EPORTASE
Kiprah Ny. Bambang Sampah Wahono

Kelola Sampah, Hijaukan Banjarsari


FOTO: MUJIYANTO

ngin berhembus semilir. Daundaun tanaman melambai-lambai. Warna-warni bunga menyembul dari rimbun dedaunan. Pot-pot bunga berbaris di sisi jalan yang sekaligus berfungsi sebagai halaman. Itulah gambaran sekilas lorong-lorong di Kampung Banjarsari, Kelurahan Cilandak Barat, Kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan. Kondisi Banjarsari sangat bertolak belakang dengan kondisi wilayah Jakarta pada umumnya. Biasanya orang selalu berpikir bahwa Jakarta itu panas, gersang, kotor, dan tak tertata rapi. Maka, tak heran potret Banjarsari bisa menjadi miniatur wilayah Jakarta di masa mendatang yang sejuk, hijau, dan memperhatikan lingkungan. Perubahan Banjarsari, RW berpenduduk sekitar 1.500 jiwa atau 218 kepala keluarga, yang terletak di bilangan Fatmawati itu tak lepas dari tangan dingin Ny.

Harini Bambang Wahono dan suaminya. Nenek yang tahun ini berusia 73 tahun tersebut tak henti-hentinya menggugah kesadaran warga Banjarsari untuk peduli terhadap lingkungan. Satu di antaranya bagaimana mengelola sampah rumah tangga. Sejak saya pindah ke sini (Banjarsari), saya selalu mengimpikan daerah ini menjadi hijau seperti kampung saya dulu. Apa bisa ya? kata Ny. Bambang suatu sore di sudut rumahnya yang kini menjadi tempat pelatihan berbagai ketrampilan pengelolaan lingkungan hidup. Kebetulan, saat ia dan suami datang ke Banjarsari tahun 1982, Bambang ditunjuk sebagai Ketua RT. Dari sinilah Ny. Bambang mulai merintis pendekatan kepada masyarakat. Saya mencoba mendekati satu-satu orang-orang di sini. Waktu itu ada 12 orang yang buta huruf. Mereka saya ajari baca dan tulis. Lama-lama kita

menjadi akrab dan muncul kedekatan, kata dia yang mengaku lulusan Sekolah Guru Atas (SGA). Dari kedekatan itu, Ny. Bambang menyodorkan kepada mereka tanaman obat keluarga (Toga) untuk ditanam di tempatnya masing-masing. Kemudian suatu saat, ketrampilan bercocok tanam Toga itu diperlombakan. Yang paling subur mendapatkan hadiah. Semua hadiah saya ambil dari kocek saya sendiri, jelas perempuan yang terlihat trengginas itu. Pendekatan kepada masyarakat tak sebatas itu. Ia dan beberapa ibu-ibu membentuk arisan RT. Arisan itu tak sekadar untuk mengumpulkan uang dan menariknya, tapi lebih dari itu untuk mempererat persaudaraan. Ny. Bambang berprinsip, orang akan diikuti kalau sudah mendapatkan simpati dari orang lain. Dan, simpati bisa dibangun dengan persaudaraan yang erat. Kiprahnya bertambah banyak ketika sang suami menjadi Ketua RW dan ia terpilih sebagai Ketua PKK RW. Posisinya tak disia-siakan. Ia berusaha menerapkan Program 10 Pokok PKK, khususnya yang ke-9 yakni kelestarian lingkungan hidup. Warga 8 RT yang dibawahkannya dibina secara bertahap. Ada pasang, ada surut. Ada tantangan dan kendala. Tapi itu tak membuat perempuan yang sangat mendambakan lingkungan asri ini patah semangat. Ia mengadakan lomba lingkungan antar RT di wilayahnya. Sambutan masyarakatpun mulai tumbuh. Perempuan yang tergolong aktif ini kemudian membentuk Kelompok Tani Dahlia pada tahun 1992. Kelompok Tani tersebut memperoleh bantuan tanaman dari dinas pertanian. Wajah Banjarsari

29

Percik I/ Agustus 2004 Vol. 5 Tahun

R EPORTASE
FOTO: MUJIYANTO

pun mulai berubah. Selanjutnya ia menjadi pengurus PKK kelurahan, dan kecamatan. Ia tak kenal lelah mengubah Banjarsari menjadi hijau, rimbun, dan asri. Peran aktif Ny. Bambang terhadap lingkungan ini ternyata mendapat sorotan UNESCO, badan dunia di bawah PBB yang mengurusi pendidikan. Pada tahun 1996 badan tersebut menawarkan pelatihan baginya dalam pengelolaan sampah. Saya sangat senang banget, ujarnya tersenyum. Dari pelatihan ini, ia memperoleh sertifikat sebagai trainer UNESCO di bidang pengelolaan sampah. Warga kemudian diajarinya bagaimana menjadikan sampah rumah tangga bernilai dan tidak mencemari lingkungan. Ia menjadikan salah sudut rumahnya yang sederhana di Jl. Banjarsari XIV No. 4a sebagai ruang kelas. Lahirlah kaderkader sampah di Banjarsari. Sampah mulai dikelola oleh setiap rumah tangga sejak dari hulu. Tong-tong sampah dibuat di depan rumah warga. Ada tiga tong sampah dengan warna berbeda. Merah untuk sampah plastik, kuning untuk sampah botol dan kaleng, dan hijau untuk sampah organik. Sampah dari tong warna merah dan kuning boleh diambil oleh pemulung dan tukang sampah yang sudah dibina jumlahnya 20 orang. Sedangkan sampah organik diolah masing-masing kalau mampumenjadi kompos. Bagi yang tak mampu melakukannya, sampah organik tersebut diolah bersama di RT atau RW. Hasil kompos ini kemudian dipakai sendiri warga sebagai pupuk tanaman atau dijual. Permintaan kompos banyak. Kita masih kewalahan memenuhinya, kata Ny. Bambang. Pembelinya adalah para pengunjung. Apa yang dicapai Banjarsari membuat banyak kelompok masyarakat dari berbagai kalangan dan wilayah belajar di tempat itu silih berganti. Seiring dengan itu, kesadaran masyarakat Banjarsari terhadap lingkungan terus tumbuh. Hasilnya, Banjarsari menyabet juara nasional lomba penghijauan dan konservasi alam

Sampah di DKI Jakarta setiap harinya sekitar 6 ribu ton. Hampir setengahnya adalah sampah rumah tangga. Kalau seluruh masyarakat menanganinya secara sadar, maka persoalan sampah di DKI tinggal 50 persen saja dan tak serumit seperti sekarang.
pada tahun 2000. Dan, sang pelopor, Ny. Bambang memperoleh Kalpataru pada tahun itu untuk kategori penyelamat lingkungan. Prestasi Banjarsari ini menjadikan kampung tersebut dipilih oleh Dinas Pariwisata Jakarta Selatan sebagai Desa Tujuan Wisata. Kesempatan ini pun disambut warga dengan berbagai ragam kreatifitas. Kini di sana ada taman di atas atap yang bisa dikunjungi wisatawan

secara bebas, ada green corner yang khusus mengajarkan/menyediakan makanan yang serba organik dan daur ulang makanan, ada corner lansia, ada corner lautan, dan ada corner pendidikan. Lokasinya di rumah-rumah warga. Tak heran banyak wisatawan datang ke tempat tersebut, termasuk wisatawan mancanegara. Ada yang studi banding, ada yang memang khusus untuk belajar. Tahun ini Banjarsari terpilih sebagai RW terbaik se-DKI Jakarta. Karenanya, Ny. Bambang bersama para kadernya30 ibu dan 25 anak peduli sampah memperoleh tugas untuk membina daerah lain di Jakarta. Ia juga aktif diundang sebagai pembicara di berbagai seminar. Jadilah ia kini mendapat julukan baru: Ny. Bambang Sampah. Kendati, keberhasilan demi keberhasilan telah diraih Banjarsari, bukan berarti daerah itu bebas sama sekali dari permasalahan sampah. Ny. Bambang mengungkapkan masih sekitar 60-70 persen warga yang sadar. Sisanya masih belum. Kalau soal kebersihan sih sudah 100 persen, katanya. Selain itu, yang saat ini agak sulit ditangani yaitu adanya orang luar (bukan warga Banjarsari) yang membuang sampah di daerah tersebut

30

Percik I/ Agustus 2004 Vol. 5 Tahun

R EPORTASE
secara sembarangan. Saya terkadang sedih dan jengkel, ucapnya. Sampah dan Kesadaran Penanganan sampah, menurut Ny. Bambang merupakan upaya yang sistematik. Masalah sampah tak akan tuntas manakala hanya ditangani oleh pemerintah saja. Masyarakat yang membuat sampah, tapi kenapa masyarakat tak ikut serta menanganinya? katanya. Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat akan pentingnya pengelolaan sampah dari hulu menjadi hal yang tak bisa ditawar. Hanya saja memberdayakan masyarakat bukanlah hal yang mudah. Butuh waktu panjang, karena hal ini menyangkut perubahan pola pikir, perilaku, dan kebiasaan. Di sini kita butuh kerja keras dan tak kenal putus asa. Kalau ada yang nggak suka dengan apa yang kita sampaikan, itu hak dia, kata Ny. Bambang. Sebagian besar orang, lanjutnya, saat

Masyarakat bisa memerankan diri seperti mengolah sampah organik menjadi kompos, mendaur ulang sisa makanan, dan mengurangi penggunaan kantong plastik.
ini masih belum mau tahu akibat pembuangan sampah sembarangan. Orang tak pernah mikir sampah itu akan jalan ke mana, katanya. Sampah-sampah yang tak teruraikan akan mengotori sungai dan laut. Akibatnya bisa terjadi banjir dan pencemaran. Maka tiap sumber sampah harus diselesaikan, tegasnya. Ia mencontohkan, sampah di DKI Jakarta setiap harinya sekitar 6 ribu ton. Hampir setengahnya adalah sampah rumah tangga. Kalau seluruh masyarakat

menanganinya secara sadar, maka persoalan sampah di DKI tinggal 50 persen saja dan tak serumit seperti sekarang. Masyarakat bisa memerankan diri seperti mengolah sampah organik menjadi kompos, mendaur ulang makanan/sisa makanan, dan mengurangi penggunaan kantong plastik. Ada empat prinsip dasar yang digunakan yakni reduce (mengurani), reuse (menggunakan kembali), recycle (mendaur ulang), dan replant (menanam lagi). Bayangkan kalau setiap rumah tangga mampu menghemat penggunaan kantong plastik 10 buah per bulan, kita sudah bias mengurangi pencemaran darat dan laut, kata Ny. Bambang. Maka sangat wajar bila Ny. Bambang kini masih punya impian yang belum terwujud yakni bagaimana menyadarkan masyarakat untuk peduli terhadap sampah. Karena tanpa adanya kesadaran bersama, permasalahan sampah akan tetap sulit dipecahkan. (mujiyanto)

Banyak yang masih ribet


FOTO: MUJIYANTO

Tukang Sampah Udin

amanya Udin. Umurnya sekitar 35 tahun. Pekerjaannya sebagai tukang sampah. Setiap hari ia mengangkut sampah dari warga di Banjarsari. Ada 30-40 warga yang menjadi langganannya. Saya mendapat imbalan 30 ribu per rumah, katanya sambil tersipu. Udin sudah menjalani profesi ini sejak tahun 1994. Ia mengontrak sebuah rumah di daerah tersebut. Setiap hari ia menarik gerobak sampah. Gerobak itu terdiri atas gerobak dan karung besar yang digantungkan di belakang gerobak. Karung besar tersebut berfungsi sebagai tempat menampung ben-

da-benda non organik seperti plastik, botol, dan kaleng, serta kertas. Sampah di karung besar ini tidak dibuang di tempat pembu-

angan sampah (TPS) setempat, tapi dikumpulkannya untuk dijual. Lumayan, buat nambah penghasilan, katanya di salah satu sudut jalan di Banjarsari. Udin menceritakan memang belum semua warga Banjarsari memisahkan sampah-sampah yang dibuangnya. Padahal ia berharap semua warga telah memisahkan sampahnya sejak awal. Kalau sudah dipisahkan kan gampang ngambilnya, nggak usah misah-misahin lagi, tuturnya. Ketika ditanya mengapa warga masih bersikap seperti itu, ia menjawab, Katanya ribet (sulitred).

31

Percik I/ Agustus 2004 Vol. 5 Tahun

R AGAM

Ragam Teknologi Pengolahan Sampah

FOTO: MUJIYANTO

eknologi pengolahan sampah perkotaan merupakan satu faktor penting yang turut menentukan keberhasilan pengelolaan. Pada dasarnya terdapat tiga teknologi pengolahan sampah dasar yang digunakan oleh berbagai lembaga pengelola persampahan, yaitu pengolahan dengan cara pembakaran (incenerator), secara kimiawi (pengomposan), dan penimbunan (landfill burying). Tiap teknologi pengolahan tersebut mempunyai dampak yang berlainan dan biaya penanganan dampak yang berbeda. Teknologi pengolahan sampah mana yang dipilih, tergantung pada tingkat permasalahan sampah di wilayah yang bersangkutan, komposisi sampah, timbulan sampah yang dihasilkan tiap harinya, risiko teknis, anggaran yang tersedia dan lain-lain. Pemilihan teknologi pengolahan yang tidak sesuai dengan beberapa faktor tersebut dapat menambah permasalahan. Salah satu indikator dalam pemilihan teknologi pengolahan sampah adalah teknologi yang ramah lingkungan dan mempunyai keefektifan yang cukup tinggi. Selain itu, suatu teknologi tersebut harus dapat mengatasi masalah yang timbul atau minimal dapat mengurangi bobot dari masalah yang telah timbul (Ryding, 1994: 71). Ada beberapa macam teknologi pengolahan akhir sampah (Moenir, 1983: 33) yaitu: Metode open dumping Pada metode ini, sampah dibuang pada daerah berbentuk lembah, ditimbun secara terbuka tanpa mengalami proses pemadatan dan tanpa ditutup oleh lapisan tanah, demikian seterusnya sampai lembah tersebut menjadi rata dengan daerah di sekitarnya.

Metode sanitary landfill Pada metode ini sampah dibuang ke daerah parit, daerah cekungan atau daerah lereng, kemudian ditimbun dengan lapisan tanah dan dipadatkan. Metode ini mempunyai tiga macam cara yaitu metode area, metode trench dan metode depression. Metode pengepakan sampah (baling method) Di sini sampah dalam berbagai jenis diolah pada instalasi, dengan cara sampah itu ditekan dengan kekuatan + 2000 psi, sehingga terbentuk suatu balok padat dengan ukuran tertentu yang selanjutnya dapat dimanfaatkan sebagai bahan penimbun (terutama sampah dengan bahan anorganik). Balok-balok itu baik untuk digunakan sebagai penimbun jalan ataupun sebagai penimbun daerah lembah yang terkontrol. Metode pembakaran (incineration) Pada metode ini, sampah dibakar dengan alat pembakar. Metode ini akan menghasilkan sisa pembakaran dan gas lain. Berat dan volume dari

sisa pembakaran lebih kecil dari berat dan volume sampah semula. Metode kompos Kompos adalah hasil pemecahan biokimia dari zat organik dalam sampah, yang dapat mempengaruhi karakteristik tanah. Proses pemecahan kompos dilakukan oleh mikroorganisme dan mikroflora pada temperatur yang sama dengan temperatur sampah tersebut. Metoda ATAD (Autogenous Thermophilic Aerobic Digestion) Teknologi ini menggunakan bakteri aerobik yang responsif pada suhu tertentu untuk memproses sampah organik menjadi bahan pupuk dalam bentuk pellet (padat) dan cair. Teknologi ini sebenarnya digunakan untuk pengolahan air limbah. Dari teknologi pengolahan di atas, metode open dumping yang kini banyak dipakai di kota-kota Indonesia sebenarnya sudah tidak layak digunakan karena keterbatasan lahan di perkotaan. Selain itu metode tersebut tidak efektif untuk

32

Percik I/ Agustus 2004 Vol. 5 Tahun

R AGAM
skala perkotaan. Metode pengomposan merupakan cara paling murah dengan risiko teknis yang rendah tetapi membutuhkan waktu yang lama. Di lain pihak volume sampah terus meningkat setiap harinya, sehingga perlu perhitungan yang tepat jika akan mengadopsi teknologi tersebut. Sedangkan untuk metode ATAD, hanya dibutuhkan waktu yang singkat untuk menguraikan sampah dengan risiko yang rendah, tetapi biaya investasinya sangat tinggi. Salah dalam memilih teknologi bisa menyebabkan risiko teknis seperti kerusakan alat yang digunakan karena overload sehingga proses pengolahan berhenti dan kemudian sampah menumpuk dimana-mana (Ryding, 1994: 287). Selanjutnya akibat berhentinya proses pengolahan tersebut, sistem pengolahan kembali menjadi open dumping, hal ini sangat tidak diharapkan untuk terjadi karena hal ini berarti mulai dari awal lagi. Secara umum, resiko teknis seringkali potensi dampak yang buruk seperti timbulnya gas metana dan ada kecenderungan berubah menjadi open dumping. Sedangkan pada teknologi pengepakan sampah, biaya yang harus diinvestasikan cukup tinggi, dan biaya pemeliharaan dan operasional juga mahal. Selain itu juga teknologi tersebut tidak menjelaskan mengenai pembuangan cairan yang dihasilkan oleh pengepakan sampah. Teknologi pembakaran sampah dapat membakar habis sampah, akan tetapi biaya mesin yang tinggi, biaya operasional dan pemeliharaan juga tinggi. Selain itu teknologi tersebut menimbulkan pencemaran udara. Teknologi kompos dan ATAD, merupakan teknologi yang paling menguntungkan jika diterapkan dalam kerjasama. Perbedaan antara keduanya menyangkut waktu dan biaya investasi. Jika pada kompos dibutuhkan waktu yang cukup lama dalam mengubah sampah menjadi kompos, pada ATAD waktunya lebih singkat karena adanya bantuan bakteri aerobik. Sedangkan untuk biaya investasi, teknologi ATAD merupakan teknologi yang KELEBIHAN, KELEMAHAN SERTA RESIKO TEKNIS TEKNOLOGI PENGOLAHAN SAMPAH Mekanisme Pengolahan Kelebihan Kelemahan Resiko teknis membutuhkan biaya invesSampah dibuang pada daerah lembah atau Tidak membutuhkan biaya pengolahan Sampah menumpuk dan tidak terurai sebagaimana Menyebabkan sampah terus menumpuk tasi yang besar sekali, selain cekungan tanpa ada pengolahan lebih lanjut sampah mestinya dan polusi udara, air dan tanah itu ATAD belum pernah ditePada metoda ini sampah dibuang ke daerah - Merupakan cara yang paling murah - Memerlukan tanah yang luas, sehingga untuk kota Jika tidak ada perawatan secara periodik rapkan di Indonesia. parit, daerah cekungan atau daerah lereng, - Investasi rendah besar tidak memungkinkan akan berubah menjadi open dumping kemudian ditimbun dengan lapisan tanah dan - Tidak ada pemisahan sampah - Pengoperasian hrs sesuai dengan standar Secara keseluruhan, ridipadatkan. Metoda ini mempunyai tiga - Menimbulkan gas metana yang berbahaya macam cara yaitu metoda area, metoda trench siko teknis pada tiap tekdan metoda depression. nologi pengolahan sampah Berbagai jenis sampah dikumpulkan dan Sampah dapat digunakan sebagai - Biaya investasi cukup mahal Cairan sampah (leachete) yang keluar ditekan dengan kekuatan + 2000psi sehingga penimbun jalan atau penimbun lembah - Jika tidak digunakan sebagai penimbun akan pada saat pengepakan dapat dapat diminimalkan melamenyerupai balok daerah terkontrol menimbulkan pencemaran air tanah menyebabkan penumpukan sampah (walaupun lui penerapan teknologisudah dilakukan pengepakan) Sampah dibakar pada suhu yang sangat tinggi Sampah terbakar habis - Biaya investasi yang sangat mahal Pengolahan sampah dengan cara ini teknologi yang terbukti ba- Penggunaan mesin yang sesuai standar (tidak menimbulkan polusi udara yang tinggi boleh melebihi kapasitas) ik, seperti teknologi kom- Sampah yang mengandung cairan dapat pos dan ATAD, yang dipamenyebabkan kerusakan mesin - Suhu minimal agar sampah dapat terbakar habis sok dan didukung oleh perseringkali tidak dapat dicapai sehingga usahaan-perusahaan yang pembakaran menghasilkan pencemaran Kompos adalah hasil pemecahan biokimia dari Merupakan pengolahan sampah yang Memerlukan waktu yang cukup lama untuk menjadi Karena butuh waktu yang lama, ada memiliki reputasi. Sejarah zat organik dalam sampah, yang dapat bersifat zero waste dan menghasilkan kompos kemungkinan terjadi antrian sampah, hal mempengaruhi karakteristik tanah. Proses pupuk kompos ini menyebabkan polusi kinerja dan pemecahan pemecahan kompos disebabkan oleh masalah yang baik merumikroorganisme dan tipe mikroflora pada temperatur yang sama dengan temperatur pakan faktor penting dasampah tersebut lam memilih pemasok tekTeknologi ATAD (autogeneous thermophilic Merupakan pengolahan sampah yang Investasi yang dilakukan cukup tinggi dan perlu ada Belum diketahui aerobic digestion) menggunakan bakteri bersifat zero waste sekaligus mengolah uji coba dahulu karena belum pernah dilakukan di nologi. Turut sertanya peaerobik yang responsif pada suhu tertentu air limbah Indonesia untuk memproses sampah organik menjadi masok sebagai calon mitra pupuk dalam bentuk pellet (padat) dan cair. merupakan faktor penguTeknologi ini sebenarnya adalah untuk pengolahan air limbah rang risiko teknis. FW disebabkan oleh keinginan swasta dan pemerintah untuk menerapkan teknologi yang paling mutakhir yang memiliki sejarah pengoperasian yang kurang memadai (Cointraeu, 1982). Masalah-masalah yang tidak diperkirakan sebelumnya seringkali muncul pada saat suatu teknologi diperkenalkan ke suatu negara atau wilayah untuk pertama kali karena adanya masalah-masalah spesifik dengan daerah tersebut yang belum ditangani sebelumnya (Ryding, 1994: 187). Risiko teknis ini harus dialokasikan kepada pihak swasta. Di bawah ini adalah tabel yang menunjukkan kelebihan dan kelemahan teknologi pengolahan sampah serta risiko teknisnya. Pada tabel di bawah, jelas sekali open dumping adalah teknologi pengolahan sampah dengan tingkatan yang paling rendah dan akan mungkin diterapkan pada kerja sama antara pemerintah kota dengan swasta. Untuk sanitary landfill, keuntungannya adalah biaya investasi cukup rendah, akan tetapi mempunyai

Jenis Teknologi Open Dumping Sanitary landfill

Pengepakan (Balling method) Incineration

Kompos

ATAD (Autogenous Thermophilic Aerobic Digestion)

Sumber: hasil olahan dari Moenir, 1983: 33

33

Percik I/ Agustus 2004 Vol. 5 Tahun

R AGAM
Model Penyimpanan Sampah Jangka Panjang
enanganan sampah tradisional sering kali membawa banyak masalah berupa polusi tanah, air, dan udara; kerugian sumber daya penting yang terus menerus; standar kehidupan yang buruk dan penurunan nilai-nilai properti yang dekat lokasi sampah; dan peningkatan biaya karena pertumbuhan volume sampah. Berbagai upaya dilakukan di seluruh dunia untuk menangani masalah sampah ini. Industri daur ulang pun dikembangkan. Namun hasilnya belum memuaskan. Kini ada sebuah terobosan baru dalam teknologi penyimpanan sampah yakni kapsul sampah atau dikenal sebagai balbal sampah. Pengemasan sampah ini konon memberikan nilai efisiensi dan keamanan yang lebih baik. Teknologi ini memungkinkan sampah bisa disimpan dalam waktu yang lama-bisa tahunan tanpa menganggu lingkungan di sekitarnya. Lebih dari itu jenis penanganan sampah ini memperbaiki lingkungan sekitar dan lebih bisa diterima oleh penduduk sekitar. Dengan teknologi ini sampah bisa disimpan sampai ada pembakar sampah (insinerator), pabrik kompos, atau sanitary landfill yang berteknologi dibangun. Bila instalasi pengelohan sampah sudah siap, kapsul sampah tersebut tinggal
FOTO: ISTIMEWA

Kapsul Sampah
Bersih dan tanpa bau Tidak ada masalah dengan penyimpanan di luar ruang sepanjang tahun dan bertahuntahun Siap untuk pemulihan Sampah hanya ditutupi dengan plastik film, mudah membuka celah. Tanpa kabel baja untuk mengikat. Tidak butuh banyak material sampah untuk dibakar di insinerator Kecil dan berbentuk bundar Sampah bentuk bulat butuh ruang simpan kecil dan transportasinya rasional. Tidak ada sudut yang mudah pecah selama penanganan.

Tak dikenal Bentuk penutup plastik putihnya tidak menarik perhatian burungburung

Tidak ada udara di bagian dalam Sampah tidak membusuk. Tidak ada resiko gas yang terbentuk dan pembakaran spontan

Tertutup secara keseluruhan Kandungan energi sampah terpelihara. Kotoran sampah dan kebocoran dapat dicegah secara efektif.

Lingkungan yang harmonis Plastik jaring dan plastik film lapisan luar dibuat dari jenis plastik polythene yang dapat didaur ulang.

diproses dengan mudah sekaligus mengoptimalkan pengolahan akhir. Selain itu kapsul sampah itu bisa disuplai sepanjang waktu tanpa tergantung cuaca, dan hanya membutuhkan tempat penyimpanan yang murah.

Proses Pengemasan Sampah-sampah rumah tangga dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam kantung plastik film berbentuk kapsul/bulat dan kedap udara. Bahan pembungkus ini dibuat dari jenis plastik polythene bekas klorin sehingga dapat didaur ulang dan bisa dibakar dalam insinerator. Setelah itu sampah dipres dengan tekanan tertentu sehingga bisa menghilangkan kantong-kantong udara di dalam kemasan tersebut yang memungkinkan proses biologis aerob maupun anaerobterhenti. Dengan demikian tidak terjadi risiko pembakaran spontan dan pembentukan gas. Proses pengemasan ini berlangsung hanya 3-4 menit. Kemasan itu tinggal disimpan di tempat terbuka atau tertutup dan bisa ditumpuk. Bila pengolahan siap, kapsul tinggal dibuka dengan cara yang mudah. MJ

Bisnis Jemput Sampah, Mengapa Tidak?

ampah pun bisa jadi duit. Tidak percaya? Para pemulung sudah membuktikan. Mereka bisa hidup dari sampah ini, meskipun sampah yang dikaisnya sangat terbatas. Pemerintah daerah pun telah mengambil retribusi kepada penduduk yang membuang sampah. Ini artinya sampah telah menjadi sumber uang. Kini ada sebuah terobosan lain yang dilakukan oleh sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Tangerang. LSM ini memberikan layanan pengambilan sampah ke rumahr u m a h dengan

menggunakan sepeda motor. Untuk satu kantong kresek sampah ukuran sedang atau sekitar 1,5 kg sampah dikenakan biaya Rp. 400. Layanan ini diberikan setiap hari Senin-Sabtu pukul 06.00-17.00 WIB. Motor beroda tiga akan mendatangi rumah tangga yang telah menelepon kantor LSM tersebut. (MJ)

34

Percik I/ Agustus 2004 Vol. 5 Tahun

T EROPONG
Perusahaan Daerah (PD) Kebersihan Kota Bandung

Bertahan di Tengah Keterbatasan


nilah salah satu dari beberapa Perusahaan Daerah (PD) Kebersihan yang tersisa di Indonesia. Beberapa kota yang dulunya memiliki perusahaan sejenis telah mengubah pengelolaan kebersihan kotanya dari perusahaan daerah ke dinas. PD Kebersihan Bandung tergolong cukup berumur. Perusahaan ini dibentuk pada tahun 1985 melalui Peraturan Daerah No. 02 Tahun 1985. Pembentukan PD ini difasilitasi oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya, Departemen PU (kini Kimpraswil) melalui Proyek Pengembangan Kota Bandung atau Bandung Urban Development Project (BUDP). Perusahaan ini bertanggung jawab melestarikan lingkungan hidup dan secara khusus memelihara serta meningkatkan kebersihan kota dalam arti seluasluasnya, sebagai usaha menjamin terwujudnya kota yang rapi, bersih, dan sehat. Berdasarkan SK Walikota, PD Kebersihan juga diberi tugas merumuskan kebijakan, melaksanakan pengelolaan sampah, meneliti dan mengembangkan cara pengelolaan sampah kota. Operasi perusahaan ini mencakup wilayah seluas 16.29 hektar dengan penduduk sekitar 2,2 juta jiwa yang berada di 26 kecamatan (139 kelurahan). Volume timbulan sampah di kota ini 6.500-7.500 meter kubik per hari. Namun, perusahaan ini baru bisa melayani sekitar 65 persen. Sistem pengelolaan sampah melibatkan masyarakat, dalam hal ini RT/RW. Pengurus RT/RW diberi kewenangan untuk menetapkan tarif kebersihan masing-masing guna membiayai operasionalisasi kebersihan rumah tangga (sumber sampah ) hingga ke tempat pembuangan sementara (TPS). Setelah itu, sampah menjadi tanggung jawab PD Kebersihan. Perlakuan terhadap sampah jalan, pasar, dan komersial/fasilitas umum

agak berbeda dengan sampah rumah tangga. PD Kebersihan langsung bertanggung jawab atasnya. Perusahaan melakukan penyapuan, pengumpulan, dan pewadahan. Untuk kebutuhan kegiatan ini, PD Kebersihan memiliki 617 penyapu jalan, dan 235 penyapu pasar. Perkiraan timbulan sampah dapat dilihat di tabel berikut:
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. Sumber Timbulan Sampah Permukiman Pasar Jalan Industri Usaha/Komersial Fasilitas umum Volume (m3/hari) 3.978 613 449 787 312 361

Sampah-sampah tersebut kemudian dibuang di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Ada dua TPA yakni TPA Leuwigajah (17,5 Ha) dan TPA Jelekong (9,7 Ha). Sampah kemudian diperlakukan menggunakan sistem open dumping. Tarif layanan kebersihan ditetapkan oleh walikota. Besarnya sesuai skala sumber sampah. Tarif jasa kebersihan sesuai SK Walikota No 644 Tahun 2002 (Lihat tabel). Dengan tarif tersebut, setiap tahun PD kebersihan rata-rata memperoleh pendapatan sekitar Rp. 17 milyar. Pendapatan ini diperoleh dari masyarakat dan jasa kebersihan dari pemerintah daerah. Angka ini masih jauh dari kebu-

tuhan operasional perusahaan. Tak heran bila per tahunnya, perusahaan dengan karyawan 1.642 orang ini terus merugi. Tahun 2002 lalu, perusahaan ini menderita kerugian 3,8 milyar lebih. Direktur Utama PD Kebersihan Kota Bandung Awan Gumelar mengakui hal itu. Namun, menurutnya, bagi APBD skala kota, ada efisiensi yang cukup besar. Ia mengungkapkan hingga 16 tahun ini, APBD Kota Bandung baru mengalokasikan dana sebesar Rp. 34 milyar atau rata-rata sebesar Rp. 2,1 milyar/tahun. Angka itu masih jauh dibandingkan dengan anggaran kebersihan kota-kota lainnya di Indonesia seperti DKI Jakarta (Rp. 373 milyar/tahun), Surabaya (51 milyar/tahun), Semarang (Rp. 27 milyar/tahun), dan Yogyakarta (Rp. 8 milyar/tahun). Kendati anggaran kebersihan kota tergolong kecil, peran serta masyarakat cukup besar. Tahun 2003 lalu, retribusi masyarakat sebesar Rp. 13 milyar atau 72 persen dari total pendapatan. Sedangkan dari APBD hanya Rp. 5 milyar. Angka pendapatan dari retribusi ini jauh lebih tinggi dari kota-kota besar lainnya di Indonesia. Kondisi keuangan yang demikian tentu mengganggu gerak perusahaan. Berbagai upaya kini sedang dilakukan untuk meningkatkan kinerja perusahaan dengan peningkatan sumber daya manusia dan penyadaran masyarakat. (MJ)

TARIF LAYANAN RUMAH TINGGAL DAN SOSIAL


Kelas I II III IV V VI Daya
(Watt) Pengambilan Tak Langsung

PTL (Rp)

Pengambilan Langsung

PL (Rp)

Sosial (Rp) 7.500/bln 6.000/bln 5.000/bln 4.000/bln 3.000/bln 2.000/bln

>6600 >3600-6600 >2200-3600 >1300-2200 > 900-1300 450

7.500/bln 6.000/bln 5.000/bln 4.000/bln 3.000/bln 2.000/bln

20.000/bln 17.500/bln 15.000/bln 10.000/bln 7.500/bln 5.000/bln

Non Komersial Rp. 12.500/hari; Komersial Rp. 15.000/hari;Angkutan kota Rp. 500/hari; Bus Rp. 1.000/hari

35

Percik I/ Agustus 2004 Vol. 5 Tahun

T EROPONG
Awan Gumelar, Direktur Utama PD Kebersihan Kota Bandung

Rakyat Sadar Kebersihan Dulu


B
isa Anda jelaskan latar belakang pembentukan PD Kebersihan? PD Kebersihan dibentuk dengan Perda No. 2 tahun 1985, yang diperbaharui dengan Perda 15 tahun 1993 (berkaitan dengan modal), terakhir Perda 27 tahun 2001. Sekarang sudah 19 tahun. Asalnya dari dinas kebersihan kota. Mengapa dibentuk PD? Supaya penanganan kebersihan di kota Bandung lebih optimal. Dulu dinas kebersihan dinilai kurang memiliki kapasitas untuk mengembangkan pelayanan. Selain itu dengan berbentuk PD, akan mempercepat rekrutmen pegawai dan penyediaan sarana dan prasarana. Yang lebih penting, ini untuk kepentingan legalitas dan kepercayaan bagi pemberi pinjaman. Apakah tidak berbenturan kepentingan dengan pelayanan? Saya kira tidak ada. Kita sama dengan PT Kereta Api atau Damri. Mereka kan juga mencari untung dari pelayanan yang diberikan. Bagaimana kinerja perusahaan yang Anda pimpin sekarang? Kinerja kita alhamdulillah, walaupun serba kekurangan dan terbatas kita masih mampu berjalan memberikan pelayanan kepada masyarakat. Memang sejak awal kita kekurangan sarana dan prasarana. Ke depan kita berharap ada perbaikan. Sejauh mana tingkat pelayanan PD Kebersihan kepada masyarakat? Kita sekarang baru mampu melayani sekitar 65 persen dari sampah yang ada. Itu tadi karena kita masih banyak keterbatasan. Bagaimana hubungan PD Kebersihan dengan instansi struktural? Kita koordinasi saja. Dengan camat kita bertemu 3 bulan sekali. Jadi sifatnya kami mohon bantuan, karena kami buFOTO: MUJIYANTO

kan atasan dia. Koordinasi kan boleh-boleh saja. Jadi hubungannya kemitraaan saja. Bukan atasan bukan bawahan. Kita bekerjasa sama dengan dinas taman dalam menentukan titik-titik tempat sampah. Yang penting adalah bagaimana visi walikota Bandung tercapai. Saya kira kita harus pandai bagaimana memperlakukan sebuah perusahaan tapi tetap terikat dengan pemerintahan. Memang sangat lain dengan perusahaan swasta. Aktivitas dan action-nya berbeda dengan struktur pemerintahan karena memiliki otoritas tersendiri. Apa upaya Anda untuk meningkatkan kinerja? Ke depan kita ingin menjadi entrepreneur. Kita akan memberdayakan asetaset kita. Kita akan membentuk anakanak perusahaan. Saat ini belum bisa karena kita masih serba kekurangan. Gaji juga masih terbatas. Tapi alhamdulillah etos kerja masih tinggi. Selain itu, kita ingin meningkatkan kemampuan operasional seperti meningkatkan cakupan pelayanan dari 65 persen menjadi 80 persen, memperbaiki kualitas SDM, dan mengintroduksi teknologi pengolahan sampah melalui kerja sama. Pokoknya kita berharap bisa menerapkan corporate governance bagi perusahaan.

Bagaimana dengan masalah keuangan? Kita akan memaksimalkan realisasi hasil penagihan jasa dari seluruh potensi yang ada dan memaksimalkan pembayaran jasa pelayanan umum dari APBD. Kita juga mengusulkan kepada Pemkot untuk memplot subsidi kebersihan bagi masyarakat dalam APBD. Sebab kita perlu dana yang cukup untuk memberikan layanan yang minimal. Kita juga mengusulkan ada restrukturisasi permodalan perusahaan yang sudah negatif kepada Pemkot. Kalau bisa Pemkot mengambil alih sebagian atau seluruh utang perusahaan dan memasukkan sebagai penyertaan modal. Di sisi lain kita terpaksa harus melakukan efisiensi. Apa sebenarnya yang bisa mendorong kebersihan suatu kota? Kalau kita ingin maju ke depan, pertama rakyat harus sadar kebersihan dengan ikut mengelola sampah di lingkungannya masing-masing. Prinsip 3R (reduce, reuse, recycle) harus diterapkan. Itulah yang kami sosialisasikan kepada masyarakat. Kita berharap ada komitmen, kalau tidak kan susah. Terobosan apa saja yang Anda ambil agar pengelolaan sampah lebih baik? Kita tahun ini bekerja sama dengan KLH untuk menangani pengomposan dan pihak ketiga. Adakah rencana untuk membuat Bandung bersih? Saat ini ada renstra walikota No. 36 tahun 2004. Isinya Bandung bersih, makmur, taat, bersahabat. Bersihnya menyangkut sampah. Kita tahun 2008 harus bersih. Sampah harus dikelola dengan baik. Dengan 3R sebenarnya sudah cukup. Tahun 2005 harus ada perubahan meskipun dalam kondisi terbatas. (MJ)

36

Percik I/ Agustus 2004 Vol. 5 Tahun

NFO BUKU

Laporan Pembangunan Manusia Indonesia 2004


Indonesia Human Development Report 2004
The Economics of Democracy Financing Human Development in Indonesia Penerbit Badan Pusat Statistik (BPS) Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) United Nation for Development Program (UNDP) Tebal :xii + 205 hal Judul kondisi keuangan negara seperti saat ini, Indonesia mampu menyediakan lebih banyak anggaran untuk pelayanan publik yang mencapai angka 3-6 persen dari PDB. Laporan ini kemudian mengestimasi berapa banyak biaya yang dibutuhkan, dan menunjukkan bahwa jumlah tersebut masih berada dalam batas kemampuan Indonesia. Secara umum, laporan ini juga mengungkapkan kondisi pembangunan manusia (human development) di Indonesia. Beberapa data yang terekam misalnya Indeks Pembangunan Manusia/Human Development Index (IPM/HDI) yang menurun antara tahun 1996 dan 1999, terlihat meningkat pada tahun 2002. Peningkatan ini dipengaruhi salah satunya oleh penurunan angka kematian bayi dan tingkat kemiskinan. Walaupun demikian secara keseluruhan peningkatan tersebut belum menggembirakan. Selain HDI, terdapat beberapa indikator lain yang digunakan dalam laporan ini yaitu Gender-related Development Index (GDI), dan Human Poverty Index (HPI-1). (OM)

aporan ini diluncurkan bersamasama oleh Bappenas, BPS, dan UNDP Indonesia. Jika laporan Tahun 2001 difokuskan pada mengapa, maka pada laporan tahun 2004 mengedepankan bagaimana dan berapa besar. Dalam semangat inilah maka pesan yang ingin disampaikan adalah bahwa Indonesia memerlukan investasi sumber daya manusia yang lebih besar tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar

manusia tetapi juga sebagai dasar pencapaian pertumbuhan ekonomi dan untuk memastikan kesinambungan demokrasi dalam jangka panjang. Laporan ini menekankan bahwa di masa yang akan datang, pendapatan kaum miskin kelihatannya tidak akan meningkat dengan pesat. Ini berarti bahwa pemerintah harus mengeluarkan anggaran yang lebih banyak untuk menyediakan pelayanan-pelayanan publik. Pertanyaannya apakah mungkin dengan

angan-tangan manusia lambat tapi pasti telah mengubah iklim dunia. Ini dipicu oleh penggunaan bahan bakar fosil (BBF) dan kegiatan alih guna lahan. Tindakan tersebut menghasilkan gas-gas seperti karbondioksida, metana, nitrous oksida yang memiliki sifat seperti kaca yaitu meneruskan cahaya matahari (radiasi gelombang pendek) tapi menyerap dan memantulkan radiasi gelombang panjang atau radiasi balik yang dipancarkan bumi. Akibatnya suhu atmosfer meningkat sehingga terjadi pemanasan global dan perubahan iklim. Yang memiliki kontribusi besar terhadap pemanasan itu tentu negaranegara maju. Untuk mengurangi laju pemanasan tersebut, sebuah pertemuan yang dihadiri lebih dari 10.000 delegasi sepakat untuk mengeluarkan protokol yang kemudian disebut Protokol Kyoto.

Pembangunan Bersih
Implementasinya Terhadap Negara Berkembang Penulis : Daniel Murdiyarso Penerbit : Penerbit Buku Kompas Tebal: xx + 200 halaman

Protokol Kyoto

Judul:

Protokol itu disusun untuk mengatur target kuantitatif dan waktu penurunan emisi bagi negara maju. Keberadaan protokol ini sangat penting untuk dipahami oleh semua pihak, apakah itu masyarakat, pejabat pemerin-

tah, anggota legislatif, lembaga swadaya masyarakat, dunia bisnis, dan politisi. Pemahaman terhadap protokol itu bisa membuka wawasan mengapa terjadi berbagai bencana di muka bumi ini. Buku ini menguraikan secara gamblang tentang protokol tersebut termasuk perjalanan pembuatannya yang berlikuliku dan penuh kontroversi. Penulisnya juga menjelaskan apa yang bisa dilakukan oleh negara berkembangtermasuk Indonesia yang ikut meratifikasi protokol ini. Ada satu mekanisme Kyoto yang bisa diterapkan yakni Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism/CDM). Ratifikasi Protokol Kyoto akan mendorong pemerintah dan masyarakat untuk mempersiapkan diri dalam menyiapkan kelembagaan yang terkait dengan protokol tersebut melalui proyek-proyek CDM. MJ

37

Percik I/ Agustus 2004 Vol. 5 Tahun

NFO CD

CD Interaktif AMPL
ejak 2003 lalu, Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (Pokja AMPL) meluncurkan situs www.ampl.or.id. Isinya meliputi berita-berita penting dan artikel seputar air minum dan penyehatan lingkungan yang dimuat oleh media massa nasional, kebijakan nasional, pilihan teknologi, pustaka, data, agenda kegiatan, dan informasi terbaru seputar AMPL. Di dalamnya juga ada newsletter yang hadir setiap pekan. Tahun itu juga Pokja AMPL menerbitkan Majalah PERCIK. Majalah yang memposisikan diri sebagai media informasi air minum dan penyehatan lingkungan ini hingga Juni 2004 telah terbit

empat edisi. Majalah ini dibagikan secara cuma-cuma kepada pihak terkait di seluruh Indonesia.

Pokja mendokumentasikan apa yang ada di website dalam bentuk kliping. Ada kliping berita dan kliping artikel yang dimuat dari Agustus 2003 hingga Juli 2004, ada juga kliping newsletter. CD interaktif AMPL ini memuat itu semua dari mulai situs (off line), kliping (berita dan artikel), berita mingguan (newsletter), kebijakan nasional pembangunan AMPL berbasis masyarakat, majalah Percik semua edisi, dan publikasi AMPL. Dengan kemasan ke dalam CD, penyebarluasan informasi diharapkan lebih mudah, murah, dan efisien. CD ini bisa diperoleh di sekretariat Pokja AMPL Jl. Cianjur No. 4 Menteng, Jakarta Pusat, telepon 021-31904113. MJ

Publikasi dan Komunikasi WASPOLA


a t e r Supply and Sanitation Policy Formulation and Action Planning (WASPOLA) tahap I telah selesai dilaksanakan. Program berjangka lima tahun tersebut memfokuskan kegiatan pada penyusunan kebijakan, peningkatan pelayanan dan proses pembelajaran serta komunikasi. Fokus utama program yakni memfasilitasi penyediaan air minum dan penyehatan lingkungan permukiman skala kecil dan menengah.

WASPOLA merupakan program kerja sama antara pemerintah Indonesia dalam hal ini Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Australian Agency for International Development (AusAID), dan World Bank/Water and Sanitation Program for East Asia and the Pacific (WSP-EAP). Bisa jadi banyak orang yang belum tahu ada program ini. Padahal program tersebut telah berlangsung sejak 1998 dan memfasilitasi pemerintah Indonesia dalam penyusunan Kebijakan Nasional Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Masyarakat. CD ini ingin menjelaskan dan memaparkan apa saja yang telah dilakukan oleh

WASPOLA selama ini kepada masyarakat. Isi CD meliputi: (i) proses penyusunan Kebijakan Nasional Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Masyarakat; (ii) proses awal penyusunan Kebijakan Nasional Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Lembaga; (iii) kegiatan lokakarya; (iv) uji coba dan studi kasus; (v) publikasi; dan (vi) manajemen proyek. CD ini dibagikan secara gratis kepada masyarakat. Bila Anda berminat mendapatkannya, silahkan hubungi sekretariat WASPOLA Jl. Cianjur No. 4 Menteng, Jakarta Pusat, telepon 021-3142046. (MJ)

Koleksi Sumber Informasi tentang Sampah


PA telah meluncurkan sebuah CD berjudul A Collection of Solid Waste Resources. CD ini berisi lebih dari 300 publikasi mengenai limbah berbahaya dan limbah yang aman. Dokumen di dalamnya bisa dicari, data disusun berdasarkan topik menurut abjad, dan beberapa di antaranya dalam

bahasa Spanyol. Publikasi ini meliputi banyak topik, termasuk daur ulang (recycle) dan pakai ulang (reuse), manajemen limbah berbahaya, composing, dan penggunaan bahan bakar motor. CD ini sengaja diperuntukkan bagi banyak kalangan, terutama para remaja. Sampul CD ini didesain oleh

pemenang kontes anak usia 7-12 tahun. Topik-topik yang ada pada CD ini antara lain: Perubahan Iklim dan Limbah, Minyak dan Gas, Manajemen Sampah di Perkotaan, Pencegahan Polusi, Manajemen Limbah Berbahaya, Pendidikan Lingkungan, Landfilling, dan Komposing. MJ

38

Percik I/ Agustus 2004 Vol. 5 Tahun

NFO SITUS

Jaringan Pengelolaan Sampah Nasional

www.jala-sampah.or.id

arangkali ini merupakan satusatunya situs di Indonesia yang mendedikasikan diri khusus sektor sampah. Situs ini cukup sederhana. Hanya ada beberapa menu yakni profil, kegiatan, galeri, dan link. Situs ini merupakan sarana komunikasi Jaringan Pengelolaan Sampah Nasional (Jala-Sampah) atau Garbage Network yang terdiri atas 29 lembaga swadaya masyarakat (LSM) dari 25 kota besar di Indonesia yang peduli pada pengelolaan sampah. Jala-sampah merupakan bagian dari Global Anti-Incinerator of Alliance/Global Alliance for Incinerator Alternatives.

Tak heran bila dalam satu artikelnya pada menu kegiatanmemuat tulisan berjudul Proyek Waste to Energy, Proyek Eksploitasi terhadap Sumber Daya Alam Publik, karya Gopal Krishna, yang isinya bahwa insinerator memunculkan emisi zat-zat beracun. Tulisan lainnya juga cukup menarik di antaranya Peran Pendidikan Lingkungan Hidup dalam Penanganan Sampah, dan Pengembangan Bahan Plastik Biodegradable Berbahan Baku Pati Tropis. Yang menarik lagi untuk diamati, situs ini juga memuat harga barang lapak dari mulai bekas botol air kemasan, botol kaca, besi, tembaga, kertas sampai plastik.

Sampah dan Perlindungan Lingkungan


http://www.epa.gov/epaoswer/osw/cdos wpub.htm ampah bukanlah masalah sederhana. Banyak hal yang terkait dengan persoalan ini. Situs milik Badan Perlindungan Lingkungan (Environmental Protection Agency/EPA) Amerika Serikat ini memuat berbagai permasalahan dan pemecahan sampah secara cukup lengkap. Mulai dari sampah rumah tangga hingga sampah industri dengan beragam bentuknya. Ada pula bentuk kerjasama

yang mungkin dilakukan serta apa saja program sampah yang ada.

Sistem Sampah Regional di Spokane


http://www.solidwaste.org/

itus ini memuat banyak hal mengenai sampah di antaranya sampah

sebagai sumber energi, transfer stations,

komposing, sampah berbahaya, mengurangi sampah, pembelajaran sampah, dan daur ulang. Sistem pengelolaan yang ada memang khusus yang dilakukan di

Asosiasi Sampah Internasional (ISWA)


http://www.iswa.org/

Spokane, satu kota di Amerika Serikat.

itus ini milik asosiasi sampah internasional/International Solid Waste Association (ISWA) yang memiliki 1.100 anggota dari 70 negara. Isinya cukup lengkap, dari mulai definisi sampah hingga kebijakan dan rencana tindak tiap negara-negara di dunia. Di dalamnya juga ada artikel dan berita-berita penting soal sampah. Pada 17-21 Oktober nanti lembaga independen ini akan mengadakan kongres di Roma, Italia.

39

Percik I/ Agustus 2004 Vol. 5 Tahun

K UNJUNGAN
Diseminasi Program WASPOLA di Propinsi Gorontalo
iseminasi program WASPOLA dilaksanakan di Propinsi Gorontalo 7 Juli lalu. Upaya ini dimaksudkan untuk memberikan masukan bagi daerah untuk membuat rencana strategi pembangunan daerah untuk masa mendatang mengingat cakupan penduduk yang mendapatkan pelayanan air minum ratarata masih rendah yaitu di bawah 50 persen. Acara yang berlangsung di Kantor Bapeda Propinsi Gorontalo ini dibuka oleh Ketua Bappeda Propinsi. Instansi tingkat propinsi yang hadir antara lain berasal dari Bappeda, Dinas Kesehatan, PDAM, Kantor PMD, Dinas Sosial, Kantor Lingkungan Hidup, LSM, Perguruan Tinggi dan anggota DPRD Propinsi yang terpilih. Pemaparan program WASPOLA disampaikan oleh Rheidda Pramudhy dari Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (AMPL). Selain pemaparan Kebijaksanaan Pembangunan AMPL berbasis masyarakat dan kegiatan WASPOLA, acara juga diisi dengan diskusi kelompok yang membahas potret AMPL sebelum dan sesudah terbentuknya propinsi tersebut, serta penyusunan rencana tidak lanjut oleh peserta. Permasalahan yang berhubungan dengan sarana air minum dan penyehatan lingkungan di propinsi yang terbagi atas tiga kabupaten yakni Kotamadya Gorontalo, Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Boalemo yakni: Belum meratanya pembangunan AMPL Pelaksanaan pembangunan AMPL tidak sesuai dengan keinginan masyarakat

FOTO: RHEIDDA PRAMUDHY

Keterbatasan pelayanan PDAM terutama di perkotaan Tingginya pencemaran air oleh limbah mercuri dari pertambangan emas Belum dimanfaatkannya sumbersumber air dari embungembung Sering terjadi kejadian luar biasa (KLB) diare yang disebabkan oleh perilaku masyarakat yang tidak sehat. Pemerintah daerah masih berorientasi pada pendapatan asli daerah (PAD) daripada pelayanan kepada masyarakat mengenai ketersediaan air minum yang mencukupi. Proses diseminasi ini juga menghasilkan rencana tindak lanjut dan

Acara juga diisi dengan diskusi kelompok yang membahas potret AMPL, serta penyusunan rencana tidak lanjut oleh peserta.
kesepakatan pembentukan Tim Kerja AMPL Tingkat Propinsi. Bappeda propinsi ditunjuk sebagai ketua dan anggotanya terdiri atas instansi terkait. Untuk mendukung kegiatan, tim kerja tersebut telah mengajukan dana dari anggaran belanja tahunan (ABT) propinsi pada tahun anggaran 2004 dan 2005, untuk mendampingi kegiatan WASPOLA di daerah. (Rheidda Pramudhy)

40

Percik I/ Agustus 2004 Vol. 5 Tahun

K UNJUNGAN

Pringga Jurang
Keruntuhan Bulan
FOTO: OSWAR MUNGKASA

eperti bulan turun ke pangkuan, begitu ungkapan warga Desa Pringga Jurang, Kecamatan Montong Gading, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, menanggapi keberadaan proyek WSLIC 2 di desanya. Mereka telah begitu lama menantikan sarana air minum. Tingkat pendapatan masyarakat setempat tergolong rendah. Hampir 73 persen warganya tergolong miskin. Tak heran bila warga desa yang berjarak 12 km dari ibukota Lombok Timur itu rendah dalam perilaku hiudp bersih dan sehat. Sebanyak 85 persen penduduk buang air besar di sembarang tempat, 93 persen buang sampah sembarangan, 95 persen tidak cuci tangan setelah buang air besar, dan 61 persen minum air belum dimasuk.Wajar bila kejadian luar biasa diare menimpa desa ini beberapa kali. Berkat proyek WSLIC 2, kini desa itu memiliki sarana pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan. Perpipaan sistem gravitasi mampu melayani 887 jiwa. Proyek tersebut juga membangun

jamban sekolah sebanyak empat unit. Murid-murid sekolah di sana juga telah mampu mendapatkan air minum dengan metode SODIS. Khusus jamban keluarga, pembangunannya dilaksanakan secara

bergulir. Biaya pembangunan sarana AMPL di desa itu sebesar 200 juta, 20 persennya merupakan kontribusi masyarakat. Sarana AMPL tersebut dikelola oleh Himpunan Penduduk Pemakai Air Minum (HIPPAM). Di tiap bak umum, pengelolaannya di bawah Kelompok Pemakai Air (Pokmair). Iuran yang dipungut sebesar Rp. 1.000/KK/bulan. Namun pemungutan iuran itu belum sepenuhnya dilaksanakan karena alasan mereka baru saja mengeluarkan dana yang besar sebagai kontribusi WSLIC 2. Berdasarkan peninjauan di lapangan, salah satu kran di bak umum rusak. Kerusakan tidak hanya di lokasi tersebut tapi juga di lokasi WSLIC 2, RWSS, dan proyek sejenis lainnya. Keadaan ini diduga disebabkan sulitnya mendapatkan kran pengganti atau perlu biaya besar untuk menggantinya dibandingkan nilai kran itu sendiri. (OM)

SODIS
Membuat Air Sehat dengan Sinar Matahari
eralatan yang diperlukan hanya berupa botol transparan bisa juga bekas botol air kemasanberukuran 1,5 liter atau lebih kecil. Botol kemudian dicat hitam separuh badannya. Isi dengan air sampai penuh dan tutup. Setelah itu botol berisi air itu dijemur di tempat terbuka dengan badan berwarna hitam di bagian bawah. Penjemuran berlangsung selama 4-5 jam bila cuaca cerah, 6-7 jam bila cuaca mendung, dan 2 hari berturut-turut bila hari hujan diselingi cuaca cerah. Air yang telah disinari tersebut langsung siap diminum.

41

Percik I/ Agustus 2004 Vol. 5 Tahun

S EPUTAR WASPOLA
Pelaksanaan Kebijakan Nasional AMPL Berbasis Masyarakat di Daerah
FOTO: ALMA ARIEF

asilitasi Kebijakan Nasional Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (AMPL) berbasis masyarakat berlangsung di tujuh propinsi dan tujuh kabupaten sejak pertengahan Juni 2004. Daerah-daerah tersebut dipilih berdasarkan surat minat dan komitmen daerah sebagai tindak lanjut lokakarya nasional 10-12 Maret 2004 di Yogyakarta. Sampai dengan Juli 2004, kegiatan yang dilaksanakan di daerah antara lain: mobilisasi fasilitator ke daerah, koordinasi persiapan pelaksanaan kebijakan di daerah, dan presentasi umum pemaparan program setiap propinsi dan kabupaten. Kegiatan tersebut difasilitasi oleh tujuh fasilitator yang ditempatkan di daerah. Mereka didukung dan dikoordinasikan oleh sekretariat WASPOLA dan Kelompok Kerja AMPL di Jakarta. Koordinasi Persiapan pelaksanaan kebijakan di daerah didahului koordinasi dengan pimpinan dan instansi terkait di daerahBappeda, Dinas Kesehatan, Dinas Kimpraswil/Kimtaru, Dinas/Badan Pemberdayaan Masyarakat guna memperkenalkan dan memperjelas rencana program. Secara umum semua daerah memberikan dukungan positif terhadap program dan menyiapkan prasarana kerja fasilitator. Seluruh fasilitator berkantor di Bappeda kabupaten kecuali di Kabupaten Lombak Baratberkantor di Dinas Kimtaru (PU). Selain dukungan di atas, pemerintah daerah juga mengalokasikan dana untuk mendukung pelaksanaan kegiatan. Hanya saja, bagi sebagian besar daerah, alokasi tersebut masih dalam bentuk pembahasan/usulan dalam Anggaran Belanja Tahunan (ABT). Daerah yang telah mengalokasikan dana yakni Kabupaten

Kebumen, Kabupaten Sijunjung, Kabupaten Gorontalo, Kabupaten Bangka Selatan, dan Kabupaten Lombok Barat. Pemetaan Stakeholder Untuk memperoleh gambaran siapa saja yang berpotensi ikut serta dalam pelaksanaan program kebijakan di daerah, fasilitator mengidentifikasi dinas terkait dan pihak lain yang peduli terhadap AMPL khususnya dari kalangan LSM. Identifikasi itu menghasilkan nama-nama yang diikutsertakan dalam TOT MPA dan Pelaksanaan Kebijakan yang diselenggarakan oleh Kelompok Kerja AMPL di Cisarua, Bogor, 13-16 Juli 2004. Pengumpulan Data AMPL Fasilitator dan pemangku kepentingan (stakeholder) di daerah telah mengumpulkan data sarana air minum dan penyehatan lingkungan. Data tersebut menjadi bahan pembahasan pada lokakarya daerah dalam pengembangan rencana kerja pembangunan AMPL. Semua

daerah menyadari permasalahan mengenai kelengkapan data. Oleh karena itu, penyiapan data memerlukan waktu yang cukup. Paparan Program Agenda pemaparan program meliputi: (i) gambaran umum program penyusunan kebijakan; (ii) pokok-pokok kebijakan nasional AMPL berbasis masyarakat; (iii) proses fasilitasi pelaksanaan kebijakan di daerah; (iv) diskusi dan klarifikasi; dan (v) kesepakatan rencana kegiatan jangka pendek. Secara umum semua daerah memberikan respon positif terhadap rencana kegiatan dan memahami keberlanjutan AMPL sebagai isu penting yang perlu mendapatkan penanganan. Agenda jangka pendek yang disepakati antara lain penyiapan kelompok kerja, penetapan calon peserta yang dikirim ke TOT MPA dan Pelaksanaan Kebijakan. Hal lain yang perlu ditindaklanjuti oleh fasilitator antara lain:

42

Percik I/ Agustus 2004 Vol. 5 Tahun

S EPUTAR WASPOLA
- Ada kebutuhan pelatihan lanjutan MPA disertai praktek lapangan dan pelatihan penyusunan renstra AMPL. - Antusiasme daerah lain mengikuti acara TOT MPA dan pelaksanaan kebijakan. Rencana Kegiatan Daerah Rencana kegiatan daerah secara umum diarahkan dalam rangka pelaksanaan kebijakan, dengan langkah kegiatan: Kabupaten 1. Lokakarya pemahaman kebijakan nasional AMPL berbasis masyarakat dan sosialisasi/promosi kebijakan kepada pemangku kebijakan secara luas. 2. Pemetaan isu/permasalahan AMPL daerah melalui lokakarya II dilanjutkan dengan kajian permasalahan dan kajian keberlanjutan pembangunan AMPL serta pertemuan kelompok kerja untuk membahas hasil kajian untuk menetapkan prioritas kegiatan. 3. Lokakarya pengembangan kerangka kebijakan daerah bidang AMPL dilanjutkan dengan penyusunan kebijakan/rencana kerja daerah. 4. Pelaksanaan kebijakan/rencana kerja daerah pascafasilitasi. Propinsi 1. Lokakarya pemahaman kebijakan nasional AMPL berbasis masyarakat dan sosialisasi/promosi kebijakan kepada pemangku kebijakan secara luas. 2. Monitoring/supervisi dan pembelajaran proses pelaksanaan kebijakan di daerah pilot. 3. Lokakarya pengembangan strategi fasilitasi pelaksanaan kebijakan dilanjutkan dengan penyusunan kebijakan/rencana kerja propinsi. 4. Pelaksanaan kebijakan/rencana kerja daerah pasca fasilitasi. Sekr. WASPOLA

Adanya harapan program ini dilengkapi dengan proyek fisik. Pemahaman ini berdasarkan kebiasaan bahwa setiap program yang berasal dari pusat selalu identik dengan proyek fisik. Ketidakhadiran unsur DPRD. Padahal mereka memegang peranan penting dalam mendukung dan menindaklanjuti pelaksanaan kegiatan AMPL. Alokasi dana yang belum jelas dari beberapa daerah seperti Jawa Tengah, Sumatera Barat, NTB, Gorontalo, dan Sulawesi Selatan. Orientasi TOT MPA dan Pelaksanaan Kebijakan Semua daerah mengirimkan peserta, bahkan Banten menambah satu orang dan Gorontalo menambah dua orang. Sebanyak dua orang dari Babel dan Bangka Selatan tidak hadir karena alasan kesulitan transportasi. Secara umum, seluruh peserta antusias mengikuti pelatihan. Mereka juga telah membuat rencana kerja pelaksanaan kebijakan yang akan dibicarakan lebih lanjut di daerah masing-masing. Berdasarkan evaluasi, 80 persen peserta menyatakan sangat puas dan puas, 2 orang menyatakan kurang efektif dan terlalu banyak teori, sisanya menyatakan biasabiasa saja. Beberapa Temuan Penting Berdasarkan hasil koordinasi dan kegiatan sampai dengan Juli 2004, beberapa hal yang perlu ditindaklanjuti dan diantisipasi oleh Pokja AMPL pusat yakni: Ada perubahan staf/kontak person di daerah. Ada perbedaan kepentingan di tingkat instansi daerah akibat ketidaktepatan menetapkan personil yang dikirim ke lokakarya di Yogyakarta.

Secara umum, seluruh peserta antusias mengikuti pelatihan. Mereka juga telah membuat rencana kerja pelaksanaan kebijakan yang akan dibicarakan di daerah masing-masing.

Komitmen alokasi anggaran. Meski secara formal daerah menyatakan siap untuk mengalokasikan dana untuk pelaksanaan program, perkembangan di lapangan menunjukkan sebagian besar masih dalam perjuangan untuk meyakinkan pihak DPRD setempat. Hal yang perlu dipertimbangkan ke depan adalah waktu konfirmasi kegiatan yang lebih awal. Respon positif propinsi dalam pelaksanaan kebijakan: - Propinsi Jawa Tengah akan mengundang 14 kabupaten sebagai langkah sosialisasi. - Propinsi Sumatera Barat mengundang kabupaten lainnya itu Pasaman dan Pesisir Selatan pada presentasi pertama. Kedua daerah tersebut berminat ikut serta pada periode 2005 - Propinsi Sulawesi Selatan telah menjadwalkan melakukan sosialisasi pada seluruh kabupaten. - Propinsi Babel dan Jawa Tengah mempertanyakan kabupaten terpilih dan mengharapkan ada peluang bagi kabupaten lainnya.

43

Percik I/ Agustus 2004 Vol. 5 Tahun

S EPUTAR WASPOLA
Lokakarya Kelompok Kerja WASPOLA
ntuk mengevaluasi pelaksanaan program kerja WASPOLA 2004 dan sekaligus merasionalisasikan sisa kegiatan yang belum terlaksana, Kelompok Kerja WASPOLA mengadakan lokakarya tiga hari, 6-8 Juli 2004 di Hotel Novus, Puncak, Jawa Barat. Lokakarya ini juga bertujuan untuk memasukkan Millennium Development Goals (MDGs) dalam rencana kegiatan WASPOLA. Lokakarya diikuti sebagian anggota Pokja itu dan dibuka oleh Direktur Perumahan dan Permukiman, Bappenas, Basah Hernowo. Dalam pembukaannya ia menekankan pentingnya penyelesaian Dokumen Kebijakan Nasional Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (AMPL) Berbasis Lembaga di akhir tahun 2004. Selain dianggap sebagai momentum yang tepat, finalisasi dokumen ini juga akan menghilangkan anggapan bahwa WASPOLA identik dengan pendekatan berbasis masyarakat. Ia mempertegas hal-hal yang perlu dilakukan yakni (i) menyepakati struktur dan kerangka kebijakan AMPL, (ii) menyiapkan rencana kerja umum WASPOLA-2 sampai dengan Desember 2004, (iii) koordinasi dengan kegiatan Pokja AMPL, (iv) merumuskan kegiatan untuk pengelolaan data yang terkoordinasi, (v) menentukan topik untuk uji coba maupun studi kasus yang berhubungan dengan kebijakan. Lokakarya ini diisi presentasi mengenai Project Design Document (PDD) oleh Oswar Mungkasa dari Direktorat Perumahan dan Permukiman, Bappenas. Ia menjelaskan bahwa proses penyusunan PDD melibatkan semua pihak dalam kemitraan yaitu Pemerintah Indonesia, AusAID, dan WSP-EAP. Ia memaparkan pula tujuan dan perbandingan komponen WASPOLA 2 dan WASPOLA 1. Review program kerja WASPOLA 2004 dipimpin oleh Sofyan Iskandar,

WASPOLA-1 1. Perubahan Kebijakan 2. Peningkatan Pelayanan 3. Pembelajaran & Komunikasi 4. Pengelolaan proyek

WASPOLA-2 1. Pelaksanaan Kebijakan 2. Perubahan Kebijakan 3. Manajemen Pengetahuan (Informasi) 4. Koordinasi & Pengelolaan proyek

koordinator proyek WASPOLA. Menurutnya, sebagian program kerja sudah terlaksana, sebagian dalam proses, dan ada yang belum terlaksana. Peserta lokakarya menilai program kerja tersebut terlalu optimistis, karena relatif banyaknya item kegiatan dibanding dengan personel kelompok kerja maupun sekretariat WASPOLA, dan program dilaksanakan bertepatan dengan proses pergantian pemerintahan. Oleh karena itu peserta mengusulkan adanya rasionalisasi berdasarkan analisa secara mendalam dan penjadwalan ulang program kerja. Akhirnya

muncul kesepakatan untuk merevisi Program Kerja 2004. Sementara itu berkenaan dengan MDGs, lokakarya menyepakati beberapa hal di antaranya (i) Baseline data yang akan dipergunakan adalah data SUSENAS dari BPS; (ii) Ruang lingkup sektor adalah Air Minum dan Penyehatan Lingkungan yang terdiri atas Air limbah dan Sampah; (iii) Target MDGs sektor AMPL menyesuaikan dengan laporan kemajuan Pemerintah Indonesia dalam pencapaian MDGs. Selain itu, disepakati pula program kerja MDGs untuk tahun 2004. OM
FOTO: OSWAR MUNGKASA

44

Percik I/ Agustus 2004 Vol. 5 Tahun

S EPUTAR WASPOLA
Pertemuan Tim Pengarah WASPOLA
lon 1 instansi terkait ertemuan Tim Pengarah seperti Bappenas, Dep(Central Project Commitdagri, Depkeu, Depkes, tee/CPC) WASPOLA 2 berlangDepkimpraswil, dan sung pada 11 Agustus 2004 di wakil dari pemerintah Hotel Four Season, Jakarta. Australia, Bank Dunia. Pertemuan tersebut dihadiri Tim Pengarah ini beroleh Suyono Dikun (Deputi Satemu setiap 6 bulan. rana dan Prasarana Bappenas), Fokus kegiatan Leila Komala (Deputi Sumber WASPOLA 2 sampai Daya Manusia dan Kebudayaan dengan Desember Bappenas), Robin Davis dan 2004 meliputi penyeZabeta Moutafis (Kedubes Auslesaian Kebijakan Natralia), serta para pejabat dari sional Pembangunan instansi terkait. Air Minum dan PePertemuan diisi dengan penyehatan Lingkungan nandatanganan Memorandum Berbasis Lembaga, dan Subsidiary Agreement (MSA) Penyerahan secara simbolis hasil WASPOLA I dari Richard Pollard (Bank Dunia) kepada Suyono Dikun (Deputi Sarana dan Prasarana Bappenas). Implementasi Kebiantara Pemerintah Indonesia jakan Nasional Pembayang diwakili oleh Deputi Sarana dan Prasarana Bappenas dan Peme- majuan pekerjaan WASPOLA 2 periode Ja- ngunan Air Minum dan Penyehatan rintah Australia; penyerahan hasil nuari-Juni 2004 dan rencana kerja Lingkungan Berbasis Masyarakat di tujuh propinsi dan tujuh kabupaten. (OM) WASPOLA 1 kepada Bappenas selaku WASPOLA 2 periode Juli-Desember 2004. Tim Pengarah terdiri atas pejabat eseexecuting agency, serta penjelasan ke-

FOTO: DORMARINGAN S.

Lokakarya Penyusunan Kebijakan Nasional Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Institusi

okakarya penyusunan Kebijakan Nasional Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Institusi berlangsung 1-2 September lalu di Bogor, Jawa Barat. Lokakarya ini merupakan pelaksanaan rencana kerja WASPOLA 2 guna menyempurnakan kebijakan tersebut. Lokakarya serupa akan diselenggarakan secara berseri. Sekitar 60 peserta yang berasal dari berbagai kalangan seperti pemerintah pusat, pemerintah daerah, PDAM, asosiasi (PERPAMSI, FORKAMI), swasta (PT. Palyja, PT. Wira Gulfindo Sarana), perguruan tinggi, LSM dan lembaga donor (Bank Dunia) hadir dalam lokakarya itu. Proses lokakarya menggunakan

pendekatan partisipatif sehingga setiap peserta merupakan narasumber yang berharga dalam proses penyempurnaan kebijakan. Diskusi berlangsung santai tanpa mengabaikan keseriusan. Pada akhir lokakarya, peserta menyepakati beberapa masukan dan perbaikan terhadap rancangan kebijakan yang ada. Hasil tersebut nantinya akan diakomodasikan

dalam rancangan terdahulu. Lokakarya berikutnya direncanakan akan dilaksanakan pada minggu I Oktober 2004. (OM)
FOTO: OSWAR MUNGKASA

45

Percik I/ Agustus 2004 Vol. 5 Tahun

S EPUTAR AMPL
Orientasi Methodology for Participatory Assessment (MPA)/PHAST
bagi Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (AMPL) Daerah
engan telah disepakatinya Kebijakan Nasional Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Masyarakat oleh pemangku kepentingan tingkat nasional, maka dipandang perlu untuk mulai melakukan operasionalisasi kebijakan tersebut di daerah. Pada tahun 2004, pelaksanaan operasionalisasi baru dapat dilaksanakan pada 7 propinsi dan 7 kabupaten terpilih yaitu Kabupaten Sawahlunto Sijunjung dan Propinsi Sumatera Barat; Kabupaten Bangka Selatan dan Propinsi Bangka Belitung; Kabupaten Lebak dan Propinsi Banten; Kabupaten Kebumen dan Propinsi Jawa Tengah; Kabupaten Lombok Barat dan Propinsi NTB; Kabupaten Pangkep dan Propinsi Sulawesi Selatan; Kabupaten Gorontalo dan Propinsi Gorontalo. Salah satu langkah pendukung pelaksanaan operasionalisasi kebijakan tersebut adalah menyiapkan pembentukan Kelompok Kerja AMPL di daerah dan ditindaklanjuti dengan peningkatan kapasitas anggota pokja AMPL. Sebagai tahap awal maka dipandang penting untuk memperkenalkan MPA sebagai salah satu alat pendukung utama baik dalam pelaksanaan pembangunan AMPL maupun penyusunan kebijakan nasional selama ini. Kegiatan orientasi MPA/PHAST tersebut dilaksanakan oleh Ditjen PMD Depdagri sebagai salah satu anggota Pokja AMPL Pusat di Hotel Parama, Cisarua, Bogor pada tanggal 12-16 Juli 2004. Pesertanya 70 orang yang terdiri atas anggota pokja dari beragam institusi yaitu Kantor/Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa; Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda); Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah; Dinas Kesehatan; Dinas Pendidikan Nasional;

Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda). Secara umum orientasi dimaksudkan agar anggota pokja AMPL daerah dapat memahami kebijakan nasional pembangunan AMPL berbasis masyarakat, memahami dasar-dasar MPA/PHAST, memahami dasar-dasar fasilitasi; mengetahui proses penyusunan kebijakan berbasis pendekatan partisipatif. Selain itu, diharapkan pertemuan ini dapat membantu peserta menyusun rencana kerja Pokja AMPL daerah. Pertemuan dibuka secara resmi oleh Drs. K. Paembonan Msi (Sekditjen PMD, Depdagri). Ia menekankan pentingnya memahami pendekatan pembangunan berbasis masyarakat agar pembangunan AMPL dapat berjalan efektif sehingga keluaran, dampak, dan manfaatnya menjadi optimal. Hal ini sejalan dengan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang menegaskan bahwa "hal-hal mendasar dalam undang-undang ini adalah mendorong untuk memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, serta meningkatkan peran serta masyarakat". Pemberdayaan masyarakat dan otonomi daerah memiliki hubungan timbal balik. Basah Hernowo (Direktur Permukiman dan Perumahan Bappenas) saat presentasi mengenai WASPOLA menjelaskan tentang kondisi air minum dan sanitasi di Indonesia yang memprihatinkan. Akses terhadap air minum baru mencapai 50 persen sementara sanitasi walaupun telah mencapai angka 63,5 persen tapi ditengarai bahwa kualitas sarana sanitasi dasar yang ada masih rendah. Bahkan dari angka 63,5 persen tersebut, diperkirakan banyak yang sudah tidak berfungsi. Salah satu indikasinya adalah tingginya pencemaran air tanah di kota besar, bahkan untuk Jakarta menca-

pai 84 persen. WASPOLA merupakan proyek hibah Pemerintah Australia yang dikelola oleh WSP-EAP Bank Dunia yang tujuannya ingin meningkatkan kondisi AMPL di Indonesia melalui reformasi kebijakan AMPL. WASPOLA tahap 1 telah diselesaikan pada tahun 2003, dengan salah satu keluaran utama adalah Kebijakan Nasional Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Masyarakat. Selanjutnya telah disepakati kelanjutan WASPOLA tahap 1, dimulai per 30 Juni 2004 sampai Desember 2008. WASPOLA tahap 2 difokuskan pada implementasi kebijakan AMPL berbasis masyarakat, dan melanjutkan reformasi kebijakan AMPL dengan fokus pada Kebijakan Nasional AMPL berbasis lembaga. Kebijakan Nasional Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Masyarakat terdiri atas 11 kebijakan umum yaitu (i) Air merupakan benda sosial dan benda ekonomi; (ii) Pilihan yang diinformasikan sebagai dasar pendekatan tanggap kebutuhan; (iii) pembangunan berwawasan lingkungan; (iv) pendidikan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS); (v) keberpihakan pada masyarakat miskin; (vi) peran perempuan dalam pengambilan keputusan; (vii) akuntabilitas proses pembangunan; (viii) peran pemerintah sebagai fasilitator; (ix) peran aktif masyarakat; (x) pelayanan optimal dan tepat sasaran; (xi) penerapan prinsip pemulihan biaya. Basah Hernowo juga menjelaskan secara ringkas tentang Millennium Development Goals untuk sektor air minum dan sanitasi yaitu pada tahun 2015, mengurangi proporsi penduduk yang tidak memiliki akses terhadap air minum dan sanitasi dasar. Kesepakatan ini telah ditandatangani oleh sekitar 193 pemimpin dunia. Bagaimana strategi mencapai target tersebut masih sedang disusun oleh Pokja AMPL pusat.

46

Percik I/ Agustus 2004 Vol. 5 Tahun

S EPUTAR AMPL
Pokja AMPL Ikuti Pameran
Nusantara Water 2004
FOTO: DORMARINGAN S.

elompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (Pokja AMPL) dan WASPOLA ikut ambil bagian dalam Nusantara Water 2004 di Jakarta Convention Center, 19-20 Agustus 2004. Stand ini memamerkan poster, buku, leaflet, dan berbagai produk Pokja dan WASPOLA. Poster yang ditampilkan antara lain 100 juta orang Indonesia belum memperoleh akses air minum dan sanitasi, Kebijakan Nasional Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Masyarakat, Perilaku Hidup Bersih dan Sehat, dan poster WSLIC serta SANIMAS. Pokja dan WASPOLA juga membagikan buku Kebijakan Nasional AMPL Berbasis Masyarakat, Majalah Percik, dan sejumlah leaflet secara gratis kepada

pengunjung. Lebih dari 200 pengunjung mengunjungi stand pameran berwarna biru abuabu tersebut. Sebagian di antaranya mengaku terkesan dengan apa yang sedang dilakukan oleh Pokja dan WASPOLA. Bahkan ada pengunjung yang bermi-

nat untuk menjadi daerah pelaksanaan Kebijakan Nasional Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Masyarakat yang kini sedang berlangsung. Pengunjung yang lain ada yang berminat untuk berlangganan Majalah Percik media informasi air minum dan penyehatan lingkungan produk Pokja AMPLkendati harus membayar. Pameran tersebut diikuti oleh 40 peserta dari kalangan pemerintah, PDAM, swasta, perguruan tinggi, dan organisasi profesi. Nusantara Water juga diisi dengan seminar dan konferensi. Acara ini diselenggarakan oleh PERPAMSI (Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia). (MJ)

Pertemuan Perencanaan dan Evaluasi Proyek ProAir


ertemuan perencanaan dan evaluasi proyek ProAir berlangsung di Denpasar 28-29 Agustus 2004. Pertemuan itu dimaksudkan untuk menyusun rencana kegiatan tahun 2005 sekaligus mengevaluasi pelaksanaan proyek ProAir tahun 2004. Acara ini dihadiri Tim Teknis Pusat dan Tim Teknis Daerah serta konsultan. Hadir pula KfW Review Mission yang menyampaikan temuan dan rekomendasinya. Hasil pertemuan tersebut dibahas dalam pertemuan antara KfW dan Pemerintah Indonesia di Jakarta, 6 September 2004. Pemerintah daerah mengungkapkan beberapa kendala yang dihadapi, antara lain (i) pelaksanaan pemilu; (ii) pihak legislatif belum memahami sepenuhnya pendekatan partisipasi masyarakat; (iii) tahapan pelaksanaan terlalu panjang; (iv)

dana pendamping yang disediakan pemerintah daerah tidak terserap sehingga mempengaruhi kinerja pemerintah daerah. Kendati begitu, Pemda Timor Tengah Selatan sepakat dengan KfW bahwa dana investasi tidak terpengaruh oleh tahun anggaran. Namun Pemda Sumba Barat menyatakan bahwa pihak auditor mengharuskan dana tersebut dikembalikan ke kas daerah jika tidak dapat dicairkan. Temuan dan Rekomendasi KfW Mission Review Misi tersebut mengemukakan beberapa temuan yakni (i) penundaan pelaksanaan ProAir disebabkan salah perhitungan kebutuhan waktu yang dibutuhkan untuk persiapan proyek, keraguan dari berbagai pihak, kesulitan memobili-

sasi kontribusi non investasi dari pemda; (ii) tidak banyak lokasi yang bisa menggunakan sistem gravitasi karena jauh dari sumber air sehingga biaya investasi menjadi besar; (iii) konsultan berkualitas tidak tersedia dalam jumlah yang memadai; (iv) pedoman umum belum diselesaikan; (vi) pengumpulan dana kontribusi tersendat karena rendahnya kemampuan keuangan masyarakat. Rekomendasi yang disampaikan yakni (i) pelaksanaan proyek ProAir pada dua kabupaten yaitu Ende dan Alor baru akan dimulai pada pertengahan tahun 2005; (ii) percepatan penyelesaian pedoman umum; (iii) perlu sosialisasi kepada pihak legislative di daerah; (iv) pelaksanaan tender harus mengikuti peraturan yang ditetapkan oleh donor. (OM)

47

Percik I/ Agustus 2004 Vol. 5 Tahun

S EPUTAR AMPL

Pengolahan Limbah Cair


FOTO: OSWAR MUNGKASA

Seminar Teknologi Tepat Guna

usat Teknologi Limbah (Pusteklim) bekerjasama dengan JICA, JBIC, WSP-EAP Bank Dunia, dan Kelompok Kerja AMPL 24-25 Agustus lalu menyelenggarakan Seminar Teknologi Tepat Guna Pengolahan Limbah Cair: Saatnya untuk Melangkah di Yogyakarta. Seminar ini bertujuan untuk berbagi perkembangan teknologi yang berkaitan dengan pengolahan limbah cair dan berbagi informasi pola kerja antarpemerintah. Seminar dihadiri oleh sekitar 200 peserta yang berasal dari berbagai kalangan mulai dari birokrat, praktisi, perguruan tinggi, konsultan, lembaga donor, maupun LSM. Direktur Permukiman dan Perumahan, Bappenas, Basah Hernowo, mengungkapkan kondisi pengelolaan air limbah di Indonesia. Menurutnya, (i) sanitasi belum menjadi prioritas baik pemerintah, legislatif, maupun swasta. Ini terlihat dari alokasi dana pemerintah, dalam kurun waktu 1992-2002, hanya Rp. 1,5 milyar dibanding alokasi air minum yang mencapai Rp. 2 triliun; (ii) kesadaran masyarakat masih rendah. Masyarakat menggunakan prinsip NYMBI (not in my backyard) dalam perilaku penanganan air limbah; (iii) pengelolaan air limbah belum terkoordinasi dengan baik; (iv) cakupan pelayanan sanitasi belum memadai (74%) dan cakupan pelayanan sistem pengolahan air limbah masih sangat rendah (2%); (v) biaya penanganan air limbah semakin meningkat dengan semakin tercemarnya air permukaan; (vi) tantangan ke depan adalah mencapai target Millenium Development Goals (MDGs) dan reformasi kebijakan nasional. Ia juga menyampaikan beberapa solusi, di antaranya penerapan prinsip good governance, dan prinsip polluter pays, mengembangkan kemitraan dengan swasta, mengembangkan mekanis-

Pembukaan Seminar

me pendanaan, kepedulian masyarakat, memadukan penanganan air minum dan sanitasi/air limbah, Sesuai dengan tema seminar, semua solusi tersebut harus dilaksanakan sekarang. Dibutuhkan aksi dan bukan lagi sekadar rencana. Seminar ini menghadirkan beberapa pemakalah dengan topik-topik menarik. Dr. Tjandra Setiadi (ITB) menyampaikan

makalah berjudul Produksi Plastik Biodegradable dari Limbah Cair, S. Uemura (Asisten Profesor Kiazarazu Institute of Technology, Jepang) dengan Kinerja Downflow Hanging Sponge (DHS) Biotower di Karnak, India, dan Prof. Dr. Azis Djajadiningrat (ITB) dengan makalah Pengolahan Limbah Tanpa Bahan Kimia. (OM)

Sekilas PUSTEKLIM
rogram Pengembangan Pusat Teknologi Limbah (Pusteklim) adalah suatu program kerjasama Yayasan Dian Desa dengan Asian People's Exchange (APEX-Jepang) dengan dukungan dari JICA Partnership Program (JPP). Tujuan utama program ini adalah meningkatkan kondisi lingkungan

hidup Indonesia. Sasarannya adalah (i) pengadaan prasarana dan sarana dasar penanganan limbah; (ii) pengembangan teknologi tepat guna dan uji coba; (iii) pengembangan SDM; (iv) pengembangan jaringan. Program dimulai tahun 2001 dan berakhir pada tahun 2004.

48

Percik I/ Agustus 2004 Vol. 5 Tahun

S EPUTAR AMPL

Persiapan Proyek ProAir di Kabupaten Alor


apat persiapan proyek ProAir tingkat propinsi berlangsung di kantor GTZ di Mataram, Nusa Tenggara Barat 12 Agustus lalu. Pertemuan ini bertujuan untuk mengetahui persiapan pelaksanaan proyek tersebut di kabupaten baru yaitu Kabupaten Alor dan Kabupaten Ande, dan pelaksanaan Proyek ProAir untuk kabupaten lama yaitu Kabupaten Timur Tengah Selatan (TTS), Sumba Barat dan Sumba Timur. Beberapa hal yang terungkap pada pertemuan itu antara lain bantuan ProAir berasal dari bantuan investasi dari KfW dan non investasi dari GTZ. Rencana bantuan investasi untuk Kabupaten Ende dan Alor sebesar Rp 18 milyar untuk bantuan konstruksi. Dana tersebut sudah tersedia. Dana GTZ dalam rangka mempersiapkan masyarakat belum jelas. Menurut informasi, pihak GTZ mengalami problem keuangan. Dengan adanya persoalan tersebut, proyek ProAir kemungkinan tak bisa dilaksanakan secara serentak. Kabupaten Ende dipilih terlebih dahulu, dengan pertimbangan: 1. Komitmen pemerintah daerah untuk melaksanakan proyek ProAir lebih baik. 2. Banyak sumber air yang tersedia 3. Secara geografi kondisi lapangan dan transportasi lebih mudah dan kemudahan transportasi 4. Tersedia laboratorium pemeriksaan kualitas air 5. Tersedia fasilitator persiapan masyarakat yang sudah terlatih dari Proyek GTZ- PROMISE. Sementara itu, pelaksanaan proyek untuk Kabupaten TTS, Sumba Barat dan Sumba Timur pada tahun 2004 sampai tahap tender. Konstruksi diharapkan pada bulan Oktober. Ada permasalahan di Kabupaten Sumba Timur yakni tenaga fasilitator yang tidak full time karena

FOTO: ISTIMEWA

mereka direkrut dari pegawai Pemda. Kemajuan pesat terjadi di Kabupaten TTS. Di kabupaten ini tersedia tenaga fasilitor dengan fasilitas kendaraan roda dua. Kondisi ini memungkinkan Kabupaten TTS bisa melaksanakan konstruksi bersama-sama dengan Kabupaten Sumba Barat dan Sumba Timur, masingmasing di tiga lokasi.

Bantuan ProAir berasal dari bantuan investasi dari KfW dan non investasi dari GTZ.
Rapat ProAir juga berlangsung di Kabupaten Alor bertempat di kantor Bappeda setempat, 14 Agustus 2004. Rapat ini dipimpin oleh ketua Bappeda dan dihadiri oleh instansi terkait di da-

erah yakni Dinas Kimpraswil, Kantor PMD, dan Dinas Kesehatan. Cakupan ratarata penduduk yang sudah mendapatkan akses layanan air bersih sebesar 60%. Tahun ini pemda setempat mengalokasi anggaran untuk kegiatan pembangunan sarana air bersih sebesar Rp 1,4 milyar terutama untuk pembuatan sumur bor, dengan ratarata kedalaman muka air tanah 70 m. Terdapat dua kegiatan proyek dari GTZ yaitu Proyek Promise bertujuan untuk peningkatan pendapatan penduduk pedesaan dan Proyek Siskes dalam rangka peningkatan kesehatan masyarakat, ke dua proyek tersebut masih berjalan. Proyek bantuan pembangunan air bersih lainnya yakni WSSLIC 2. Namun sarana yang dibangun tak berfungsi lagi karena lembaga pengelola di tingkat desa tak berfungsi. Ini akibat masyarakat tidak mau berdisiplin untuk membayar iuran bulanan. Berdasarkan evaluasi masyarakat akan lebih taat apabila lembaga tersebut di bawah struktur pemerintah desa. (Rheidda Pramudy)

49

Percik I/ Agustus 2004 Vol. 5 Tahun

P USTAKA AMPL
BUKU UMUM
Water for Urban Areas. Challenges and Prospective.
Editor: Juha I. Uitto & Asit K. Biswas Penerbit: United Nations University Press

MAJALAH
Kota-Kota Majalah Populer Perkotaan. Edisi 1, 2004 Air Minum Majalah yang ditertbitkan oleh Perpamsi. Edisi 101, Maret 2004 Sinergi Desa Kota Majalah Pembangunan Perdesaan dan Perkotaan. Edisi perdana, Januari 2004.

Rubbish! The Archeology of Garbage.


Penulis: William Rathje & Cullen Murphy Penerbit: The University of Arizona Press

Profil Daerah Kabupaten dan Kota


Penulis: Tim Litbang Kompas Penerbit: Penerbit Buku Kompas

Politik Air

Penguasaan Asing Melalui Utang Penulis: P. Raja Siregar, dkk Penerbit: WALHI & KAU

Melestarikan Sumber Daya Air Dengan Teknologi Rawa Buatan


Penulis: Maulida Khiatuddin Penerbit: Gadjah Mada University Press

Mengolah Air Limbah Supaya Tidak Mencemari Orang Lain


Penulis: Ir. S. Hindarko Penerbit: Esha

STUDI
Wastewater Treatment in Latin America. Old and New Option
Penulis: Emmanuel Idelovitch & Klas Ringskog Penerbit: World Bank Washington

PROSIDING
Asset Management For Hydraulic Infrastructure. Towards sustainability in Flood Protection, Irrigation, and Dam. Directorat for Water Resources and Irrigation, national Development Planning Agency/Bappenas.

PA N D U A N
Pedoman Pengelolaan Air Limbah Perkotaan. Untuk Ekseskutif dan Legislatif Pemerintah Kabupaten/Kota. Direktorat Jenderal Tata Perkotaan dan Perdesaan. Depkimpraswil.

Subsidy of Self-Respect? Participatory Total Community Sanitation in Bangladesh.


Penulis: Kamar Kar Penerbit: Institute of Development Studies, Brighton, England

50

Percik I/ Agustus 2004 Vol. 5 Tahun

A GENDA
Tgl 2 3 4 5 6 9 10 10-11 11 11-12 12-14 13 16 18 19 19-20 24 24-25 26-27 Bulan Agustus Agustus Agustus Agustus Agustus Agustus Agustus Agustus Agustus Agustus Agustus Agustus Agustus Agustus Agustus Agustus Agustus Agustus Agustus Kegiatan Rapat Persiapan Nusantara Water 2004 dan Penyebarluasan Informasi tentang Kebijakan Nasional Pembangunan AMPL Rapat Sub Tim Air Minum Penyusunan Kebijakan Nasional Pembangunan AMPL Berbasis Lembaga Rapat Sub Tim Air Limbah Penyusunan Kebijakan Nasional Pembangunan AMPL Berbasis Lembaga Rapat Pre-Project Coordinating Committee (PCC) WASPOLA Rapat Rutin Pokja AMPL Rapat Rutin Pokja AMPL Rapat Sub Tim Sampah Penyusunan Kebijakan Nasional Pembangunan AMPL Berbasis Lembaga Rapat Persiapan Pengambilan Sampel Air PDAM Rapat Rutin Pokja AMPL Penyusunan Kebijakan Nasional Pembangunan AMPL Berbasis Lembaga Rapat Sub Tim Sampah Penyusunan Kebijakan Nasional Pembangunan AMPL Berbasis Lembaga Pertemuan Koordinasi ProAir Lokakarya Kebijakan Nasional Pembangunan AMPL Berbasis Masyarakat di Prop. Sumbar Rapat PCC WASPOLA Kick off Meeting ADB, Appraisal Mission Proyek CWSH Lokakarya Kebijakan Nasional Pembangunan AMPL Berbasis Masyarakat di Kab. Pangkep Advokasi ProAir pada Pemerintah Daerah Kab. Alor Rapat Rutin Pokja AMPL Rapat Penyusunan Kebijakan Nasional Pembangunan AMPL Berbasis Lembaga Rapat Tim Koordinasi Perencanaan Kebijakan Nasional Penanggulangan Banjir Water Sanitation Discussion Forum Using Wind Power for Water Supply and Irrigation Ekshibisi Nusantara Water 2004 Rapat Perbaikan Kebijakan Nasional Pembangunan AMPL Berbasis Lembaga Rapat Persiapan Pertemuan Perencanaan dan Evaluasi ProAir di Denpasar Seminar Internasional Teknologi Tepat Guna Pengolahan Limbah Cair, Pusteklim Lokakarya Kebijakan Nasional Pembangunan AMPL Berbasis Masyarakat di Prop. Bangka Belitung Pertemuan Koordinasi ProAir di Bali Lokakarya Kebijakan Nasional Pembangunan AMPL Berbasis Masyarakat di Prop. Jawa Tengah Lokakarya Kebijakan Nasional Pembangunan AMPL Berbasis Masyarakat di Prop. Gorontalo Lokakarya Kebijakan Nasional Pembangunan AMPL Berbasis Masyarakat di Kab. Lebak Rapat Presentasi Kemajuan Kerja WASPOLA Lokakarya Kebijakan Nasional Pembangunan AMPL Berbasis Masyarakat di Kab. Gorontalo Lokakarya Kebijakan Nasional Pembangunan AMPL Berbasis Lembaga Lokakarya Kebijakan Nasional Pembangunan AMPL Berbasis Masyarakat di Kab. Bangka Selatan Wrap-up Meeting misi review KfW mengenai ProAir Rapat Pokja AMPL mengenai Dana Hibah Sanitasi dari Belanda Rapat Pokja AMPL - Diskusi mengenai Peningkatan Hygiene di Indonesia Lokakarya Kebijakan Nasional Pembangunan AMPL Berbasis Masyarakat di Kab. Sijunjung Lokakarya Kebijakan Nasional Pembangunan AMPL Berbasis Masyarakat di Kab. Kebumen Lokakarya Kebijakan Nasional Pembangunan AMPL Berbasis Masyarakat di Kab. Gorontalo Lokakarya dengan tema Global Practices Forum Health in Your Hands : Critical Importance of Hygiene Improvement for Health, Water and Sanitation Program in Indonesia Pertemuan Tim Pengarah WSLIC2 Workshop on Community Led Total Sanitation Rapat WASPOLA tentang kemajuan kerja WASPOLA Lokakarya Kebijakan Nasional Pembangunan AMPL Berbasis Masyarakat di Prop. Banten Rapat Rutin Pokja AMPL Lokakarya Kebijakan Nasional Pembangunan AMPL Berbasis Masyarakat di Prop. Sulawesi Selatan Rapat Rutin Pokja AMPL Kick of Meeting Misi Supervisi WSLIC2 Misi Supervisi WSLIC2 Peringatan Hari Habitat di Yogyakarta

30 30-31 1-2 2-3 6

Agustus Agustus September September September

6-7

September

8 15

September September

15-16 September 16 September 17-18 September 21 September 22 September 22 September- 8 Oktober 4 Oktober

51

Percik I/ Agustus 2004 Vol. 5 Tahun

GLOSARI
- Aerasi : penambahan zat asam ke dalam air limbah. - Aerator : peralatan untuk menambah zat asam ke dalam air limbah. - Akuifer : lapisan pasir di bawah tanah yang mengandung air.

A B C

- Back Water : aliran tidak sejajar muka airnya dengan dasar pipa, biasanya ada pembendungan disebelah hilir aliran. - Bakteri Anaerobic : bakteri yang hidup dalam suasana tanpa zat asam. - Black Water : air limbah yang berasal dari kakus, berbentuk tinja manusia. - Capacity Building : meningkatkan kapasitas suatu lembaga dengan pelatihan, dan lain-lain. - Community Based : program yang melibatkan masyarakat. - Effluent : limpahan keluar air limbah yang sudah diolah dalam Instalasi Pengolah Air Limbah (IPAL). - Grey Water : air limbah yang berasal dari kamar mandi, bak cuci, dapur (tidak mengandung tinja). - Hygienic : bersih, sehat dan tidak mengganggu kesehatan. - In-let : aliran masuk.

- Kesadahan : air mengandung bi-karbonat tinggi, sehingga tidak sanggup membilas sabun yang dioles pada badan kita. - Koagulan : bahan kimia untuk menggumpalkan butiran suspensi, supaya mengendap. - Kolam Sedimentasi : kolam untuk mengendapkan lumpur dari air limbah. - Kolam Stabilisasi : kolam untuk melakukan stabilisasi air limbah supaya tidak berbau. - Manhole : lubang pemeriksaan pipa atau bangunan lain. - Off-Site : pengolahan air limbah dilakukan di luar (off) kawasan pemukiman warga. - On-Site : pengolahan air limbah dilakukan di dalam (on) kawasan pemukiman warga. - Permeabilitas : daya resap air pada lapisan tanah, misalnya dinyatakan dalam cm/hari. - Purifikasi : memurnikan kembali air limbah terhadap pengaruh pencemaran. - Real Demand Survey : survey tentang kebutuhan nyata dari penduduk.

- Sanitary Land-fill : mengurug sampah dengan tanah/lumpur, agar tidak mencemari lingkungan. - Sewerage : jaringan perpipaan untuk menampung air limbah dengan dilengkapi instalasi pengolahan. - Sumur Rembesan : sumuran berdinding rembes air untuk meresapkan air limbah ke dalam lapisan tanah dalam. - Tangki Imhoff : tangki yang ditemukan oleh Imhoff (nama orang), untuk mencerna lumpur air limbah. - Truk Tinja : truk yang dilengkapi dengan tangki dan pompa untuk menyedot lumpur tinja dari tangki septik di rumah penduduk.

E G H I K M O P R S T

(Disarikan dari Buku Mengolah Air Limbah, Supaya Tidak Mencemari Orang Lain, karya: Ir. S. Hindarko)

52

Percik I/ Agustus 2004 Vol. 5 Tahun

Anda mungkin juga menyukai