Anda di halaman 1dari 2

Membuka Solo Kepada Dunia

Friday, 07 December 2007 13:54

Masyarakat Laweyan yang dulunya tertutup dan terpuruk kembali bangkit dan membuka diri
pada dunia luar.

Dalam buku berjudul Mbok Mase, Pengusaha Batik di Laweyan Solo Awal Abad 20, kita akan
menemukan gambaran bagaimana masa kejayaan dan kebangkitan batik Solo pada tempo
dulu. Buku karya Soedarmono yang diangkat dari sebuah tesis studi pasca-sarjana UGM
Yogyakarta itu menjelaskan tentang Mbok Mase yang merupakan sebutan umum yang
diberikan masyarakat bagi para saudagar batik Laweyan yang memiliki rumah tinggi nan indah
dan megah yang pernah mengalami kejayaan di masa lalu.
Sayang, memasuki abad 20 pamor Mbok Mase semakin meredup seiring berkembangnya
industri berupa batik cap dan printing. Para keturunan saudagar batik atau Mbok Mase
Laweyan yang memiliki rumah-rumah indah itu kesulitan merawat peninggalan berharga
tersebut. Keindahan itu tak pernah tampak karena tertutup dinding-dinding tinggi mengelilingi
perkampungan.

Sebagai perempuan yang dilahirkan di Kampung Laweyan, Solo, Krisnina Maharani Tandjung
merasa mendapat panggilan jiwa untuk mengangkat kembali pamor budaya batik Laweyan.
Wisata Kampung Batik bertema Mengenal Kampung Batik Laweyan pada April 2007 lalu
dijadikan Nina Tandjung sebagai langkah awal. Beserta kawan-kawannya, dia membantu para
pedagang Laweyan menarik pembeli, memfasilitasi penataan rumah produsen berikut
showroom-nya dan tak lupa mengadakan penghijauan di kawasan tersebut.

Masyarakat Kampung Laweyan yang dulunya tertutup dan terpuruk kembali bangkit dan
membuka diri pada dunia luar. Masyarakat yang tinggal di wilayah bersejarah di jantung kota
Solo ini siap menerima pengunjung untuk masuk, mengenal sejarah, mengapresiasi produksi,
berbelanja batik produksi mereka dan menyediakan homestay bagi wisatawan.

Dalam sejarahnya, Kampung Laweyan terkenal sebagai kawasan independen. Kawasan ini
sudah dikenal sejak zaman Kerajaan Pajang. Rajanya, Sultan Hadiwijoyo memberikan wilayah
Laweyan status otonom (perdikan) pada Kiai Ageng Nis, dari kekuasaan kerajaan.

1/2

Membuka Solo Kepada Dunia


Friday, 07 December 2007 13:54

Sejarah mencatat kawasan ini sebagai tempat lahirnya organisasi pergerakan pribumi yang
pertama, Sarikat Dagang Islam yang didirikan KH Samanhudi, seorang pedagang batik, pada
1905. Organisasi ini di bawah kepemimpinan HOS Tjokroaminoto kemudian berkembang
dengan nama Sarekat Islam dengan bergabungnya tokoh-tokoh pergerakan nasional lain yang
berasal dari luar Pulau Jawa seperti H Agus Salim, AM Sangaji dan Abdul Muis.

Di Kampung Laweyan, Master Kajian Wilayah Amerika Universitas Indonesia (UI) memiliki
rumah kuno yang diplot layaknya sebuah penginapan. Uniknya, ketika membuka pintu gerbang
bagian belakang, rumah dengan 13 kamar yang diberi nama Rumahku itu tampaklah sebuah
perkampungan batik.
Bangga Terhadap Sejarah
Perempuan asli Solo ini membuat bagaimana sebuah sejarah harus bisa menjadi kebanggaan
bagi semua orang. Terutama para generasi muda, yang selama ini tampaknya tak peduli
dengan sejarah bangsanya sendiri, padahal kalau ditelaah lebih lanjut, mempelajari sejarah
bisa menumbuhkan rasa cinta tanah air. Setiap tahun, Nina Tandjung mengajak sekitar 300
siswa dan guru sejarah berkunjung ke Pura Mangkunegara serta obyek wisata sejarah lain
yang terletak di Solo dan Yogya.

Selama empat tahun terakhir ini, ibu empat orang putri, Fitri Krisnawati, Karmia Krissanty,
Triana Krisandini dan Sekar Krisnauli, memberikan pengetahuan sejarah kuno Jawa pada para
pelajar dengan terjun langsung ke tempat-tempat bersejarah tersebut. Ajang kompetisi
penulisan sebuah karya ilmiah mengenai analisis sebuah sejarah pun dibentuk dalam formulasi
sebuah panduan modul yang dia buat bersama Yayasan Warna-Warni yang dipimpinnya.

Perempuan kelahiran 5 April 1960 ini suka menulis mengenai sejarah Jawa. Saat puncak ulang
tahun Pura Mangkunegaran ke-250 pada November 2007 lalu dia meluncurkan buku berjudul;
Sekelumit Pura Mangkunegaran (1757-sekarang). Buku setebal 128 halaman itu bukan hanya
memuat tentang sejarah kelahiran Mangkunegara I hingga ke IX saja, tapi berisi pula mengenai
aneka konflik, buah pikiran para raja, kejadian yang melingkupi dan terjadi dalam lingkungan
keraton Mangkunegara.

Dalam buku lain berjudul Rumah Solo (2002), sarjana lulusan Universitas Indonesia jurusan
komunikasi ini membidik tentang rasa keprihatinannya atas banyaknya bangunan di Solo yang
bernilai sejarah tinggi lenyap dan berganti dengan bangunan pertokoan modern. Buku berisi
350 foto itu berisi bangunan bersejarah dan perkembangan dari masa ke masa. Nina juga
menyunting dan menerbitkan ulang surat-surat Kartini dalam bentuk buku kecil pada perayaan
hari kelahiran Kartini 21 April 2007. ZAH (BI 52)

2/2

Anda mungkin juga menyukai