Henry Dunant
8 Mei 1828
Jenewa, Swiss
Meninggal
Kebangsaan
Swiss, Perancis[1]
Pekerjaan
hidupnya)
nonreligious (di kemudian hari)
Orang tua
Penghargaan
Jean-Jacques Dunant
Antoinette Dunant-Colladon
Nobel Perdamaian (1901)
Jean Henri Dunant (lahir 8 Mei 1828 meninggal 30 Oktober 1910 pada umur 82 tahun), yang
juga dikenal dengan nama Henry Dunant, adalah pengusaha dan aktivis sosial Swiss. Ketika
melakukan perjalanan untuk urusan bisnis pada tahun 1859, dia menyaksikan akibat-akibat dari
Pertempuran Solferino, sebuah lokasi yang dewasa ini merupakan bagian Italia. Kenangan dan
pengalamannya itu dia tuliskan dalam sebuah buku dengan judul A Memory of Solferino
(Kenangan Solferino), yang menginspirasi pembentukan Komite Internasional Palang Merah
(ICRC) pada tahun 1863. Konvensi Jenewa 1864 didasarkan pada gagasan-gagasan Dunant.
Pada tahun 1901, dia menerima Penghargaan Nobel Perdamaian yang pertama, bersama dengan
Frdric Passy.
Daftar isi
[sembunyikan]
1 Masa muda dan pendidikan Dunant
2 Aljazair
3 Pertempuran Solferino
4 Palang Merah
5 Masa yang terlupakan
6 Kembali diingat publik
7 Hadiah Nobel Perdamaian
o 7.1 Kematian dan warisan
o 7.2 Referensi
Kaisar Napoleon III dari Perancis, yang ketika itu sedang berada di Lombardi bersama
pasukannya. Prancis sedang berperang di pihak Piedmont-Sardinia melawan Austria, yang ketika
itu menduduki banyak dari wilayah yang dewasa ini bernama Italia. Markas Napoleon terletak di
kota kecil bernama Solferino. Dunant menulis sebuah buku yang isinya penuh sanjungan dan
pujian bagi Napoleon III untuk dia hadiahkan kepada kaisar tersebut. Kemudian dia melakukan
perjalanan ke Solferino untuk bertemu secara pribadi dengan Napoleon III.
kali pada tanggal 17 Februari 1863, yang sekarang dianggap sebagai tanggal berdirinya Komite
Internasional Palang Merah (ICRC).
Dari awal, Moynier dan Dunant saling berbeda pendapat dan bertikai menyangkut visi dan
rencana mereka masing-masing, dan ketidaksepahaman mereka itu semakin lama semakin besar.
Moynier menganggap ide Dunant tentang perlunya ditetapkan perlindungan kenetralan bagi para
pemberi perawatan sebagai gagasan yang sulit diterima akal serta menasihati Dunant untuk tidak
bersikeras memaksakan konsep tersebut. Namun, Dunant terus menganjurkan pendiriannya itu
dalam setiap perjalanannya dan dalam setiap pembicaraannya dengan pejabat-pejabat politik dan
militer tingkat tinggi. Ini semakin mempersengit konflik pribadi antara Moynier, yang memakai
pendekatan pragmatis terhadap proyek tersebut, dan Dunant, yang merupakan idealis visioner di
antara kelima anggota Komite itu. Pada akhirnya, Moynier berusaha menyerang dan
menggagalkan Dunant ketika Dunant mencalonkan diri untuk posisi ketua Komite.
Pada bulan Oktober 1863, 14 negara berpartisipasi dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh
Komite tersebut di Jenewa untuk membahas masalah perbaikan perawatan bagi prajurit terluka.
Namun, Dunant sendiri hanya menjadi ketua protokoler dalam pertemuan tersebut sebagai akibat
dari usaha Moynier untuk memperkecil perannya. Setahun kemudian, pada tanggal 22 Agustus
1864, sebuah konferensi diplomatik yang diselenggarakan oleh Parlemen Swiss membuahkan
hasil berupa ditandatanganinya Konvensi Jenewa Pertama oleh 12 negara. Untuk konferensi ini
pun, Dunant hanya bertugas sebagai pengatur akomodasi bagi peserta.
kewajiban utang Dunant dengan syarat teman-teman Dunant menjamin pelunasan yang separuh
lagi juga digagalkan oleh usaha Moynier.
Dunant pindah ke Paris dan hidup di sana dalam keadaan berkekurangan. Namun, dia terus
berupaya mewujudkan gagasan dan rencana kemanusiaannya. Selama berlangsungnya Perang
Prancis-Prusia (1870-1871), dia mendirikan Perhimpunan Bantuan Kemanusiaan Bersama
(''Allgemeine Frsorgegesellschaft'') dan, tak lama setelah itu, dia mendirikan Aliansi Bersama
untuk Ketertiban dan Peradaban (''Allgemeine Allianz fr Ordnung und Zivilisation''). Dunant
berargumen tentang perlunya diadakan perundingan perlucutan senjata dan perlunya didirikan
sebuah pengadilan internasional untuk memediasi konflik internasional. Kemudian, dia
mengupayakan terbentuknya perpustakaan dunia, sebuah gagasan yang mempunyai gema dalam
berbagai proyek di kemudian hari, antara lain UNESCO.
Dalam usahanya yang tak pernah berhenti untuk menganjurkan dan mewujudkan gagasangagasannya, Dunant semakin mengabaikan situasi keuangan pribadinya sehingga dia semakin
terlilit utang dan dijauhi oleh kenalan-kenalannya. Meskipun diangkat sebagai anggota
kehormatan Perhimpunan Palang Merah Austria, Belanda, Swedia, Prusia, dan Spanyol, dia
nyaris dilupakan dalam perjalanan resmi Gerakan Palang Merah, pun ketika Gerakan ini
berkembang pesat ke negara-negara lain. Dunant hidup dalam kemiskinan dan berpindah-pindah
tempat antara 1874-1886, termasuk Stuttgart, Roma, Korfu, Basel, dan Karlsruhe. Di Stuttgart,
Dunant bertemu mahasiswa Universitas Tbingan (Tbingen University) bernama Rudolf Mller
dan kemudian bersahabat karib dengannya. Pada tahun 1881, bersama-sama dengan sejumlah
teman dari Stuttgart, Dunant untuk pertama kalinya pergi ke Heiden, sebuah desa peristirahatan
di Swiss. Pada 1887, ketika tinggal di London, dia mulai menerima bantuan keuangan bulanan
dari sejumlah kerabat jauh. Ini memungkinkan dia untuk hidup dalam kondisi keuangan yang
lebih aman. Dunant pindah ke Heiden pada bulan Juli 1887 dan tinggal di desa tersebut selama
sisa hidupnya. Sejak 30 April 1892, dia tinggal di rumah sakit dan panti jompo yang dipimpin
oleh Dr. Hermann Altherr.
Di Heiden, dia bertemu dengan seorang guru muda bernama Wilhelm Sonderegger dan istrinya
Susanna. Mereka mendorongnya untuk mencatat pengalaman hidupnya. Istri Sonderegger
mendirikan cabang Palang Merah di Heiden dan, pada tahun 1890, Dunant menjadi presiden
kehormatan cabang tersebut. Dengan adanya Sonderegger, Dunant berharap akan dapat
mempromosikan gagasan-gagasannya lebih lanjut, termasuk menerbitkan edisi baru bukunya.
Namun, persahabatan mereka di kemudian hari menjadi tegang karena Dunant melontarkan
tuduhan yang tak dapat dibenarkan bahwa Sonderegger, bersama Moynier di Jenewa,
berkonspirasi menentangnya. Sonderegger meninggal pada tahun 1904, di usianya yang baru
mencapai 42 tahun. Meskipun hubungan mereka tegang, Dunant sangat terharu dengan kematian
Sonderegger yang tak terduga-duga itu. Kekaguman Wilhelm dan Susanna Sonderegger atas
Dunant, yang tetap mereka rasakan walaupun Dunant melontarkan tuduhan tersebut, terwariskan
kepada anak-anak mereka. Pada tahun 1935, putra mereka, yaitu Ren, menerbitkan kumpulan
surat-surat yang ditulis Dunant kepada ayahnya.
Pada bulan September 1895, Georg Baumberger, editor kepala Die Ostschweiz, sebuah surat
kabar yang terbit di St. Gall, menulis sebuah artikel tentang pendiri Palang Merah tersebut, yang
pernah bertemu dan mengobrol dengannya ketika mereka sedang berjalan-jalan di Heiden
sebulan sebelumnya. Artikel ini berjudul Henri Dunant, pendiri Palang Merah (Henri Dunant,
the founder of the Red Cross) dan muncul di sebuah majalah bergambar terbitan Jerman, ber
Land und Meer. Dengan segera artikel ini direproduksi di berbagai media lain di seluruh Eropa.
Artikel tersebut mendapat sambutan hangat sehingga Dunant kembali memperoleh perhatian dan
dukungan khalayak. Dia kemudian menerima Hadiah Binet-Fendt Swiss dan sebuah surat dari
Paus Leo XIII. Berkat bantuan dari janda tsar Rusia, yaitu Maria Feodorovna, dan donasi lain
dari berbagai pihak, situasi keuangan Dunant sangat membaik.
Pada tahun 1897, Rudolf Mller, yang saat itu sudah bekerja sebagai guru di Stuttgart, menulis
sebuah buku tentang asal-mula Palang Merah. Isi buku ini mengubah sejarah resmi Palang
Merah dengan menekankan peran Dunant. Buku ini juga mengikutsertakan teks Kenangan
Solferino. Dunant mulai berkorespondensi dengan Bertha von Suttner dan menulis banyak
sekali artikel dan tulisan lain. Dia terutama aktif menulis tentang hak-hak kaum perempuan. Pada
tahun 1897, Dunant memfasilitasi pendirian Green Cross (Palang Hijau), sebuah organisasi
perempuan yang berumur singkat dan hanya aktif di Brussels.
satunya penerima hadiah tersebut dalam perdebatan yang terjadi selama berlangsungnya proses
seleksi. Mller juga menyarankan bahwa sekiranya Dunant dianggap layak untuk menerima
Hadiah Nobel, hadiah tersebut perlu segera diberikan kepadanya mengingat usianya yang telah
lanjut dan kondisi kesehatannya yang sudah memburuk.
Keputusan Panitia Nobel untuk membagi hadiah tersebut antara Passy, seorang tokoh
perdamaian, dan Dunant, seorang tokoh kemanusiaan, menjadi preseden bagi persyaratan
mengenai seleksi penerima Hadiah Nobel Perdamaian yang berdampak signifikan pada tahuntahun berikutnya. Salah satu bagian dalam surat wasiat Nobel menyebutkan bahwa hadiah untuk
perdamaian diberikan kepada orang yang berupaya mengurangi atau menghapuskan pasukan
tetap (standing armies) atau berupaya untuk scara langsung mempromosikan konferensi
perdamaian. Inilah yang membuat Passy secara alamiah terpilih menjadi calon penerima hadiah
tersebut berkat usaha-usahanya di bidang perdamaian. Pemberian Hadiah Nobel untuk usahausaha di bidang kemanusiaan saja akan menjadi hal yang sangat mencolok, dan hal tersebut
dianggap oleh sejumlah pihak sebagai penafsiran yang terlalu luas atas surat wasiat Nobel. Akan
tetapi, satu bagian lain dalam surat wasiat Nobel menetapkan hadiah bagi orang yang berprestasi
terbaik dalam meningkatkan persaudaraan antarmanusia (the brotherhood of people). Ini
secara lebih umum bisa ditafsirkan sebagai pesan bahwa usaha-usaha kemanusiaan seperti yang
dilakukan oleh Dunant itu juga terkait dengan usaha-usaha perdamaian. Penerima Hadiah Nobel
Perdamaian pada tahun-tahun berikutnya yang banyak jumlahnya itu dimasukkan ke dalam salah
satu dari dua kategori yang untuk pertama kalinya ditetapkan oleh keputusan Panitia Nobel 1901
tersebut.
Hans Daae berhasil menaruh uang hadiah yang menjadi bagian Dunant, sebesar 104.000 franc
Swiss, di sebuah bank di Norwegia dan mencegah uang tersebut diakses oleh para kreditor
Dunant. Dunant sendiri tak pernah memakai sedikit pun dari uang tersebut dalam hidupnya.