Anda di halaman 1dari 27

Dangdut, Biduanita, dan Budaya Sawer

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Antropologi Seni

Oleh:
Ayu Prima Ferdita (170510140048)
Handi Prasetyo (170510140014)
Jaka Noer Fajar (170510140004)

Dosen:
Dr. Selly Riawanti
Dr. Lies Mariani

Program Studi Antropologi


Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Padjadjaran
2016

1. Latar Belakang
Sejarah musik dangdut berawal pada tahun 1970-an. Ia dikenal dengan
sebutan musik melayu. Musiknya mendayu-dayu, mendengarkannya orang
bisa menikmatinya sebagai sebuah alunan lagu dan orang bergoyang
namun sangat santai karena lagu-lagu saat itu mirip-mirip lagu Melayu di
Sumetera. Era Rhoma Irama di tahun 1980 menjadi penanda awal bagi
musim dangdut. Musik yang asalnya mendayu-dayu dan terkesan monoton
dirombak oleh Rhoma dengan memadukan unsur Rock dan India. Jadilah
musik dangdut kemudian berubah menjadi lebih atraktif dan lebih enerjik,
orang kemudian bergoyang dengan lebih bersemangat.
Sementara itu, pertunjukan musik dangdut biasanya terdiri dari
pemain

musik

membawa

para

dan

penyanyi.

pendengarnya

Seorang

penyanyi

kedalam

dunia

diharapkan

yang

indah,

dapat
dapat

mengilhami mereka atas pesan yang ingin disampaikan dan memberikan


kekuatan hidup. Seorang penyanyi yang melantunkan lagu harus sehat baik
secara fisik maupun mental, sehingga nyanyiannya dapat membawa energi
yang menyehatkan bagi pendengarnya.
Namun dalam perkembangannya, penyanyi dangdut pada umumnya
cenderung memposisikan

diri

sebagai

penghibur.

Dalam menghibur

penonton, penyanyi dangdut wanita membawakan ornamen kesenian


lainnya berupa joget. Bahkan sebagian penyanyi dangdut wanita lebih
mengutamakan

joget

untuk menarik perhatian penonton dari pada lagu

yang dibawakannya. Alhasil muncul budaya saweran dalam musik dangdut,


karena goyangan si biduanita yang dapat memancing para penonton.
Musik dangdut, biduanita, dan budaya sawer kiranya merupakan bayangan kesatuan yang
sulit untuk dipisahkan saat ini, terutama bagi para penggemarnya. Gambaran demikian muncul
karena hampir pada setiap pertunjukan musik dangdut, para penyanyi dangdut perempuan tampil
dengan pakaian seksi dan goyang erotis yang demikian menghanyutkan perasaan penikmatnya.

Namun demikian, nampaknya penampilan yang demikian tidak terjadi dengan sendirinya,
melainkan merupakan hal yang diusahakan oleh beberapa pihak.
Pada saat ini banyak sekali ditemukan berbagai macam event-event hiburan yang ada
dilingkungan masyarakat. Event-event yang diselenggarakan biasanya menyajikan hiburan dan
event yang mudah kita temui salah satunya hiburan event organ tunggal atau band dangdut yang
merupakan hiburan alternatif bagi masyarakat untuk mendapatkan hiburan karena mudah
diterima oleh semua kalangan masyarakat dari yang menengah kebawah hingga masyarakat
menengah keatas bahkan kalangan remaja hingga kalangan dewasa. Salah satu contoh hiburan
dalam event tersebut tersebut adalah event organ tunggal atau band dangdut yang beraliran musik
dangdut koplo.
Tulisan ini bermaksud untuk mengetahui bagaimana peran musik dangdut pada
masyarakat di Jatinangor dan bagaimana pandangan terhadap kehadiran biduanita serta budaya
saweran yang ada pada musik dangdut tersebut.

Tinjauan Pustaka
Informasi Pustaka: Kartiwa, Tatang. (2012). Daya Tarik Penyayi Dangdut dalam Saweran pada
Hiburan Dangdut (Studi deskriptif Tentang Daya Tarik Penyayi Dangdut dalam Saweran pada
Hiburan Dangdut di kota Bandung). Skripsi S1 pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
UNIKOM Bandung: tidak diterbitkan.
1) Bentuk Kesenian: Seni Musik Dangdut
2) Pelaku dalam Kegiatan Seninya: Penyanyi Dangdut
3) Cara Penulis Mendapatkan data tentang kegiatan seni: Menggunakan metode deskriptif
(kualitatif). Hasil penelitian diperoleh di lapangan dan kemudian dibahas untuk mencapai
suatu kesimpulan. Data-data yang diperoleh tersebut berdasarkan permasalahanpermasalahan yang telah dirumuskan. Pendekatan penelitian ini adalah kualitatif dengan
studi deskriptif. Subjek penelitiannya adalah penonton atau penyawer. Informan dipilih
dengan teknik purposive sampling, untuk informan utama penelitian berjumlah 5 (lima)
orang dari penonton atau penyawer, dan untuk memperjelas serta memperkuat data,
diperoleh informan kunci yang berjumlah 2 (dua) orang. Data penelitian diperoleh
melalui wawancara mendalam, observasi, dokumentasi, studi pustaka dan penelusuran
data online (internet searching). Untuk uji keabsahan data dilakukan dengan triangulasi
dan pengecekan anggota. Adapun teknik analisa data dengan mereduksi data,
mengumpulkan data, menyajikan data, menarik kesimpulan, dan evaluasi.
4) Temuan: Daya tarik fisik seorang penyanyi dangdut didasari atas faktor cantik, tampan,
memiliki suara yang bagus, komunikatif dan berpenampilan semenarik mungkin serta
sopan. Kesamaan antara penyanyi dan penonton akan kegemarannya pada musik
dangdut, bernyanyi, dan bergoyang menjadi ketertarikan satu sama lainnya. Keakraban
yang terjalin diantara penyanyi dan penonton dikarenakan faktor pendekatan penyanyi
pada penonton, semakin dekat penyanyi dengan penonton, maka akan mendapat respon
positif dan akan semakin akrab diantara keduanya.
5) Kesimpulan: Daya Tarik Fisik seorang penyanyi dangdut dalam saweran pada hiburan di
kota Bandung, dalam penelitian ini pada acara hajatan memang tidak dapat dipungkiri
haruslah cantik, tampan, komunikatif dengan penonton dan memiliki suara yang bagus

serta berpenampilan menarik dengan cara cara berbusana yang tetap memperhatikan
situasi dan kondisi serta etika yang berlaku di tempat hiburan tersebut berlangsung,
karena daya tarik fisik tersebut merupakan faktor utama yang pertama dilihat dari seorang
penyanyi oleh penontonnya, sehingga apabila memenuhi kriteria tersebut penonton akan
dengan sukarela memberikan uang saweran pada penyanyi tersebut. Jadi, daya tarik
penyanyi dangdut dalam saweran menunjukkan bahwa seorang penonton rela
memberikan uang saweran dikarenakan kemampuan dari seorang penyanyi yang
memiliki daya tarik didalamnya sebagai komunikator yang mampu membuat simpati
terhadapnya.
6) Konsep dan Teori yang dipakai peneliti: Dalam penelitian ini sebagai ranah pemikiran
yang mendasari peneliti tersusunlah kerangka pemikiran secara teoritis. Adapun kerangka
pemikiran secara teoritisnya adalah sebagai berikut: Kerangka teoritis penelitian ini
didasari dengan pendekatan pada kajian komunikasi, yaitu suatu kegiatan penyampaian
pernyataan manusia dengan lambang-lambang yang mengandung arti. Komunikasi yang
efektif hanya dapat tercapai bila pihak-pihak yang terlibat dalam proses komunikasi
memberi arti dan makna yang sama terhadap lambang-lambang yang digunakan dalam
kegiatan komunikasi tersebut. Ada pun fokus penelitian ini adalah daya tarik yang
merupakan sikap yang dapat membuat orang senang akan objek situasi atau ide-ide
tertentu. Hal ini diikuti oleh perasaan senang dan kencenderungan untuk mencari objek
yang disenanginya. Berdasarkan definisi mengenai daya tarik tersebut, maka peneliti
mengambil bahwa daya tarik adalah kekuatan komunikator dalam memikat perhatian,
sehingga seseorang mampu untuk mengungkapkan kembali pesan yang diperoleh dari
media komunikator. Daya tarik dalam membentuk kesan dari suatu bentuk komunikasi
yang sangat berperan dalam membentuk animo komunikan, dan daya tarik dapat pula
menjadi suatu proses yang sangat berkembang dan dapat menjadi pemberian respon
positif mapun respon negatif terhadap pesan komunikasi yang diberikan.

Informasi Pustaka:Titi Andaryani, Eka. Desember 2011, "Persepsi Masyarakat terhadap


Pertunjukan Musik Dangdut Organ Tunggal". Harmonia: Jurnal Pengetahuan dan Pemikiran
Seni. Volume 011 No. 02, diakses pada tanggal 16 Oktober 2016.
1) Bentuk Kesenian: Seni Musik Dangdut
2) Pelaku dalam Kegiatan Seninya: Orkes Tunggal
3) Cara Penulis Mendapatkan data tentang kegiatan seni: Penelitian ini dilakukan di Kota
Tegal. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Pembahasan
permasalahan dilakukan dengan cara menggambarkan atau menguraikan keadaan yang
terjadi pada objek penelitian. Sifat kualitatif mengarah pada mutu kedalaman uraian dan
pembahasan, yang menyangkut seluk beluk organ tunggal di Kota Tegal. Sumber data
yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : (1) Sumber data utama adalah keterangan
lisan dari informan yang dicatat melalui catatan tertulis atau melalui perekaman; (2)
Sumber data berupa tempat dan peristiwa yang diabadikan melalui foto yang dihasilkan
oleh oang lain dan peneliti sendiri; dan (3) Sumber data tertulis berupa bahan tambahan
berasal dari buku statistik untuk menjelaskan kondisi sosial budaya masyarakat Kota
Tegal, dan buku-buku lain seperti makalah, penelitian-penelitian skripsi, karya ilmiah dan
lain sebagainya sebagai bahan penunjang penelitian ini. Teknik pengumpulan data yang
digunakan meliputi : (1) Studi pustaka dari sumber data tertulis dan dokumen au dio
visual; (2) Observasi yang digunakan adalah observasi non partisipasi artinya penulis
tidak terlibat langsung kegiatan tersebut; (3) Wawancara yang digunakan adalah
wawancara dengan teknik bebas terpimpin, maksudnya informan bebas dalam
mengemukakan pendapat atas pertanyaan dari peneliti. Selain wawancara bebas
terpimpin, wawancara yang digunakan peneliti berupa wawancara berencana dan
wawancara tidak berencana. (4) Dokumentasi, teknik ini digunakan untuk mencari
sumber informasi yang ada kaitannya dengan penelitian yaitu berupa dokumen foto yang
diambil pada saat pertunjukan berlangsung. Analisis data penelitian ini dimulai dari
reduksi data, diteruskan penyajian data, dan akhirnya ditarik kesimpulan atau verifikasi
sebagai sesuatu yang jalinmenjalin pada saat sebelum, selama, dan sesudah pengumpulan
data dalam bentuk sejajar untuk membangun wawasan umum (analisis). Dan analisis
yang digunakan yaitu analisis deskriptif.

4) Temuan: Pertunjukan musik dangdut organ tunggal adalah suatu pertunjukan musik yang
menampilkan lagu-lagu dangdut dan dalam penampilannya, suara alat-alat musik seperti
gitar, kendang, bass dan suara-suara lain dapat dimainkan oleh sebuah alat musik saja
yaitu Keyboard yang cukup diprogram saja dapat memunculkan bunyi-bunyian
menyerupai alat musik yang diinginkan. Pertunjukan musik dangdut organ tunggal juga
cukup diminati masyarakat Kota Tegal, karena secara geografis Kota Tegal termasuk
sebagai daerah pesisir atau pinggiran dimana penduduknya sebagian besar bekerja
sebagai nelayan sehingga ba nyak masyarakatnya yang cukup menyenangi musik
dangdut. Persepsi penonton terhadap pertunjukan musik dangdut organ tunggal umumnya
cukup menyukai terhadap pertunjukan organ tunggal. Hal ini dibuktikan dari banyaknya
penonton yang aktif berpatisipasi dalam pertunjukan organ tunggal yaitu dengan
menyumbang lagu, berjoged, memberi sawer (uang tips) dan lainya. Adapun jenis lagu
yang sering dibawakan pada pertunjukan organ tunggal di Kota Tegal adalah jenis lagu
tarling dangdut. Bagi masyarakat Kota Tegal pertunjukan musik dangdut organ tunggal
menjadi cerminan status sosial.
5) Kesimpulan: Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pertunjukan musik
dangdut organ tunggal di kota Tegal seringkali dihadiri oleh banyak penonton dari
berbagai tingkatan usia. Lagu-lagu yang disajikan pada pertunjukan organ tunggal
sebagian besar berupa tarling dangdut. Pertunjukan musik dangdut tersebut dijadikan
cerminan status sosial masyarakat Kota Tegal.
6) Konsep dan Teori yang dipakai peneliti: Dalam tulisan ini, penulis menggunakan persepsi
menurut Lindzey and Aronson (dalam Wadiyo, 1992:10) yang menyatakan bahwa
persepsi adalah bagaimana seseorang memandang atau mengetahui ciri-ciri atau sifatsifat pihak lain. Persepsi bermula dari biologi, yang berarti hasil kegiatan indera ketika
mendapatkan rangsangan dari suatu objek yang visual kemudian konsep tersebut
digunakan oleh ilmu jiwa untuk memberi arti bagi pengetahuan seseorang mengenai
suatu objek. Persepsi masyarakat yang dimaksud adalah tanggapan masyarakat Kota
Tegal terhadap pertunjukan organ tunggal di daerah tersebut yang meliputi: tanggapan
terhadap pertunjukan organ tunggal secara umum, tanggapan terhadap penampilan
penyanyi, dan tanggapan tehadap lagu-lagu yang dibawakan.

Riwayat Kegiatan
Inong memilih menjadi seorang biduanita setahun belakangan ini. Ia memulai kariernya di akhir
tahun 2015. Ia mendapatkan keterampilan dalam bernyanyi secara otodidak. Selama menjadi
biduanita, Inong sudah pentas ke beberapa daerah, mulai dari Sumedang, Majalengka, Cirebon,
hingga Pangandaran pernah ia datangi. Inong berada di naungan sebuah manajemen yang
dikelola oleh saudaranya sendiri yang bernama Global Entertainment.
Dalam seminggu Inong bisa 2-4 kali pentas dan menjadi pengisi di berbagai acara. Mulai dari
acara hajatan, khitanan, sampai dengan event yang diadakan sebuah brand rokok ternama
dibilangan Tasikmalaya, pernah ia jalani. Inong sendiri bukanlah penyanyi yang dikontrak,
namun sifatnya freelance, jadi ia tidak harus mengambil satu job dari satu manajemen saja,
namun ia bisa mengambil job dari manajemen yang lain.
Suka duka menjadi biduanita selama setahun belakangan ini telah Inong jalani. Mulai dari
dilecehkan para penontonnya bahkan sampai dengan menahan takut karena kerusuhan yang
terjadi saat saweran. Semua itu Inong jalani dengan lapang dada. Sukanya selama menjadi
biduanita adalah ia bisa dikenal banyak orang dan ia juga sudah memiliki banyak penggemar.
Bahkan, ada sebuah perkumpulan orang-orang yang menggemari Inong atau yang biasa dikenal
dengan fansclub yang diberi nama dengan INONG CETAR. Inong sendiri tidak mengetahui
siapa yang mempelopori perkumpulan tersebut. Menurutnya keberadaan INONG CETAR telah
menjadi sebuah dukungan moril tersendiri bagi Inong dalam berkarya.

Upah yang didapat Inong untuk sekali tampil dalam sebuah acara seperti khitanan, ulang tahun,
atau hajatan saja bisa mencapai Rp. 300.000 s/d Rp. 500.000 dalam sekali tampil itupun belum
termasuk dengan uang saweran yang didapatnya. Sedangkan dalam sehari tidak jarang Inong
tampil beberapa kali. Biasanya para supir-supir truk atau warga sekitar yang memberikan
saweran kepada Inong, bahkan sempat juga ada seorang haji yang merupakan tokoh masyarakat
di desa itu memberikan uang saweran kepada Inong, balik lagi kepada musik dangdut yang bisa
menyatukan berbagai kalangan masyarakat, mulai dari buruh pabrik sampai pejabat pun bisa
menikmati musik dangdut dengan sawerannya, seperti yang pernah dialami Inong saat manggung
dalam sebuah acara parpol.
Selama dirinya menjadi seorang biduanita ada satu momen yang tidak bisa terlupakan, yaitu saat
dirinya dan orkes dangdutnya tampil dalam sebuah acara khitanan yang berbarengan dengan
pagelaran seni reak di Desa Sayang, Jatinangor. Saat itu tumpah riuh penonton membanjiri acara
tersebut. setelah beberapa lama kemudian beberapa penonton mengalami kerasukan dan keadaan
pada saat itu menjadi kacau, karena takut Inong lari ketakutan menjauhi

panggung untuk

terhindar dari kejadian yang tidak diinginkan. Untuk pertama kalinya ia melihat kesurupan
massal seperti itu. Apalagi waktu itu Inong sedang menyanyikan salah satu musik khas Cirebon
yang berjudul bambu ireng yang dikenal sebagai lagu mistis. Mungkin sama halnya dengan
lagu lingsir wengi dari Jawa Tengah. Mulai dari hari itu, Inong tidak mau lagi menyanyikan
lagu-lagu berbau mistis.
Pernah juga saat manggung di acara hajatan warga, Inong disawer oleh seorang pria paruh baya
dan menyawer Inong dengan saweran yang cukup tinggi. Tiba-tiba saja ada seorang ibu-ibu yang
diduga istri dari pria yang menyawer dirinya. Perempuan itu menghampiri dan mendamprat
Inong saat itu juga, karena merasa tidak bersalah, Inong cuek saja dan tetap menyanyi dan
menghibur para hadirin yang datang waktu itu.Wah terlalu panjang kalo diceritain semua,
selama setahun jadi biduanita setiap manggungnya pasti ada aja momen tersendirinya.
Ujarnya sambil tertawa.

Profil Pelaku Seni


Netty Rustandy alias Angel atau biasa dikenal dengan Inong, adalah seorang biduanita asal
Jatinangor. Wanita gempal kelahiran 1983 ini memilih Inong sebagai nama panggungnya
lantaran ada salah satu temannya yang merasa bahwa suara yang dimiliki Netty sama persis
dengan salah satu sinden ternama asal Cirebon yang bernama Inong. Berharap memiliki
kesuksesan yang sama Netty memilih nama Inong sebagai nama panggungnya.
Sebelumnya Inong adalah salah seorang pelayan di Kantin Fisip Unpad. Biasanya kami
memanggilnya dengan sebutan Angel, entahlah darimana nama itu berasal yang jelas Angel
menjadi salah seorang pelayan termahsyur di Fisip. Ketika ditanya alasannya pindah dari profesi
sebelumnya, Inong menjawab da jadi pelayan mah duitnya saeutik, ngga sesuai sama waktu
kerja, yauda mending saya di dangdut wae. Ya! Ternyata lebih memilih menjadi seorang
biduanita adalah pilihan yang tepat bagi hidupnya. Upah yang didapat memang lebih besar dan
dapat mencukupi kebutuhan keluarganya.
Inong memiliki seorang suami dan dua orang anak perempuan yang masing-masng masih duduk
di bangku sekolah dasar dan sekolah menengah kejuruan. Sedangkan suaminya, bekerja sebagai
tukang ojek di Unpad. Keputusannya untuk menjadi seorang biduanita tidak lain adalah untuk
membantu perekonomian keluarga dan ikut membantu suami dalam menambah penghasilan.
Sampai saat ini Inong hanya fokus pada pekerjaannya sebagai seorang biduanita. Belum ada
waktu untuk Inong mencari pekerjaan sampingan. Waktu dan tenaganya saja sudah habis untuk

menjadi seorang biduanita dalam sehari. Bagaimana tidak, dalam sehari Inong bisa sekali sampai
dua kali mentas. Dalam sekali pentas Inong bisa bekerja hingga 8-10 jam. Terkadang dari pagi
hingga pagi lagi ia habiskan untuk bekerja demi mencari sesuap nasi.
Sebenarnya ia ingin sekali bekerja di tempat yang menurutnya layak, ya namun apa daya ia
hanya lulusan SMP dan hanya bisa mengandalkan bakat menyanyinya. Menurutnya menjadi
biduanita adalah sebuah pilihan hidup. Jika hanya mengandalkan pendapatan suami, Inong tidak
akan bisa menyekolahkan kedua anaknya. Sembilan belas tahun (19) menjalani biduk rumah
tangga tidak terlepas dari permasalahan rumah tangga. Apalagi ditambah dengan pekerjaan Inong
sekarang sebagai seorang biduanita. Banyaknya omongan miring tentang dirinya tidak lantas
membuat Inong patah arang. Dia mengamini bahwa profesi sebagai seorang biduanita memang
meemiliki pandangan negatif. Menurut ceritanya, tidak jarang dari beberapa temannya yang
mengambil job sampingan sebagai wanita penghibur (kupu-kupu malam) begitu ia menyebutnya.
Desakan suami untuk Inong berhenti dari pekerjaannya sebagai seorang biduanita, makin
membuat Inong semakin ingin membuktikan pada suami dan semua orang bahwa tidak semua
biduanita itu seperti itu. Semua balik lagi ke diri masing-masing. Inong merasa pekerjaanya
hanya untuk menghibur penonton dan menyalurkan hobi.
Biduanita identik dengan pakaian minim dan goyangan yang sensual. Lain halnya dengan Inong,
ia memiliki cara tersendiri untuk menarik penontonnya. Goyang Epilepsi menjadi goyang
andalan Inong untuk menarik massa ketika sepi. Goyang epilepsi sendiri merupakan goyangan
yang gerakannya seperti orang yang sedang kejang-kejang. Ketika biduanita lainnya
berbondong-bondong mencari gerakan erotis nan sensual serta menonjolkan bagian tubuh
tertentu, berbeda dengan Inong yang justru menghibur penontonnya dengan goyangan yang
kocak.
Untuk menunjang penampilannya Inong biasa menggunakan kostum dari tukang jahit
langganannya atau terkadang bertukar dengan sesama biduan. Untuk satu kostum sendiri, Inong
harus mengeluarkan kocek sekitar Rp. 500.000,- s/d Rp. 950.000,-. Biasanya jika sedang tidak
ada uang, Inong mencicil kostumnya itu. Jika dilihat dari kostum-kostumnya tidak ada kostum
yang minim, semuanya berukuran panjang dan menutupi bagian-bagian tubuh vitalnya, karena
menurutnya ia menyanyi untuk menjual suaranya bukan tubuhnya. Lain halnya dengan kostum,
untuk alat rias sendiri Inong biasa menghabiskan uang sekitar Rp.50.000,- s/d Rp. 150.000

dalam sebulan, tergantung pemakaian dan banyaknya acara. Jika banyak acara yang harus diisi
berarti pemakaian alat tata rias pun semakin sering dan akan habis. Barulah ketika habis Inong
membeli alat rias yang baru.
Sebenarnya untuk model rias dan model kostum yang dipakai, Inong mengikuti permintaan
konsumen. Selama permintaan kostumnya masih dianggap wajar, Inong akan mengikutinya.
Role model Inong dalam bernyanyi adalah Iis Dahlia. Menurutnya, Iis Dahlia merupakan sosok
yang patut dibanggakan karena selain memiliki suara yang merdu, nama Iis Dahlia dikenal
sebagai tokoh dangdut yang sukses dan berjaya hingga saat ini. Tidak heran ketika Inong pentas
ia banyak membawakan lagu-lagu role modelnya itu.
Inong sendiri dulunya adalah seorang vokalis band. Sebelum ia terjun ke dunia dangdut, ia
menjadi seorang penyanyi pop yang biasa ikut perlombaan-perlombaan tingkat RT/RW.
Bakatnya terlihat ketika ia menjuarai loma band se-RTnya. Dari situ

Inong mencoba

peruntungannya untuk menjadi seorang vokalis band pop rock waktu itu. Lagu-lagu seperti
bintang kehidupan dari Nike Ardila atau Deru Debu dari Nafa Urbach pernah ia coba bawakan.
Namun sayang, karena kurangnya peminat lagu pop rock didesanya membuat Inong tidak
melanjutkan niatnya untuk menjadi vokalis band.
Baru setahun belakangan ini, Inong memberanikan diri untuk menjadi seorang biduanita. Tidak
disangka keputusannya untuk menjadikan biduanita sebagai profesi membuahkan hasil.
Banyaknya pesanan untuk Inong mengisi acara membuat perekonomiannya membaik. Melihat
hal ini, Kang Didi suami dari Inong merasa lega. Ternyata kekhawatirannya selama ini tidak
beralasan. Istrinya ternyata dapat membuktikan bahwa pilihannya menjadi seorang biduanita
dapat membantu perekonomian keluarga dan masih dapat menjaga statusnya sebagai seorang
istri.

Titik terendah Inong dalam hidupnya adalah ketika ia harus menerima penolakan dari suami dan
anak-anaknya ketika ia memilih biduanita sebagai profesinya. Belum lagi cibiran dari lingkungan
sekitarnya membuat ia semakin sedih menjalani hidup. Suka duka menjadi biduanita selama
setahun belakangan ini telah Inong jalani. Mulai dari dilecehkan para penontonnya bahkan
sampai dengan menahan takut karena kerusuhan yang terjadi saat saweran. Semua itu Inong
jalani dengan lapang dada.
Sukanya selama menjadi biduanita adalah ia bisa dikenal banyak orang dan ia juga sudah
memiliki banyak penggemar. Bahkan, ada sebuah perkumpulan orang-orang yang menggemari
Inong atau yang biasa dikenal dengan fansclub yang diberi nama dengan INONG CETAR.
Inong sendiri tidak mengetahui siapa yang mempelopori perkumpulan tersebut. Menurutnya
keberadaan INONG CETAR telah menjadi sebuah dukungan moril tersendiri bagi Inong dalam
berkarya. Belum lama ini Inong menghasilkan sebuah album kompilasi bersama temantemannya sesama biduan. Di dalam album itu Inong mendapat tiga buah judul lagu untuk
dinyanyikan ulang.
Lagu-lagu yang biasa Inong bawakan saat pentas adalah lagu-lagu dangdut dengan aliran koplo,
tarling, banyuwangian, cirebonan, dan tidak jarang gambus. Semuanya bergantung pada
permintaan pasar.
Beberapa hari yang lalu saat kami mewawancarai Inong, Inong ternyata baru saja mengikuti
sebuah audisi dangdut di salah satu tv swasta di bilangan Soekarno Hatta, Bandung. Sayangnya
langkahnya harus terhenti sampai babak penyisihan karena terhalang dana. Inong belum
memiliki cukup uang untuk bisa pergi ke Jakarta dan mengikuti pelatihan disana, mungkin
rejekinya belum disitu teh. Begitu ujarnya.
Lika-liku sebagai penyanyi dangdut telah Inong jalani dengan lapang dada. Hingga saat ini
belum ada niatan untuk Inong beralih profesi. Namun kerinduannya untuk kembali ke kantin
Fisip Unpad pernah terbersit. Inong bercerita bahwa ia rindu dengan guyonan-guyonan anak
antrop yang sering menggodanya ketika ia harus mengantar pesanan.

Keinginannya hanya satu, Inong berharap kelak anak-anaknya nanti bisa menjadi orang yang
sukses dan bisa mengemban pendidikan yang tinggi agar ia bisa membuktikan ke banyak orang
bahwa menjadi biduanita itu adalah pekerjaan yang halal selama masih bisa menjaga normanorma yang ada dan dengan niat yang baik, dan dengan menjadi seorang biduanita pun dapat
menyekolahkan anak-anaknya hingga lulus SMA. Ia juga berharap dangdut tidak dijadikan
rekan-rekan seprofesinya sebagai kedok untuk menjual diri. Karena dangdut adalah budaya
Indonesia dan dangdut adalah lagu khas orang Indonesia yang harus dilestarikan dan jangan
sampai tercemar hanya karena segelintiran orang yang hanya ingin mencari kepuasan sendiri.

Profil Penikmat Seni (Penyawer)


Salah seorang informan yang kami wawancarai adalah Kang Iding. Ia adalah seorang penjaga
kosan yang bekerja di salah satu kosan yang ada di Caringin, Jatinangor. Beliau berumur 36
tahun, dan ia berasal dari Tasikmalaya, namun tinggal di sekitaran Jatinangor. Kang Iding sendiri
sudah berkeluarga dan memiliki 4 orang anak, yang terdiri dari dua orang laki-laki dan dua orang
perempuan. Kegemarannya dalam menonton orkes dangdut sudah ia lakukan semenjak ia
remaja. Hal ini ia lanjutkan sampai ia pun sudah berkeluarga. Tidak jarang perilakunya ini
membuat sang istri merasa kesal. Bagaimana tidak, kang Iding bisa menghabiskan Rp.50.000,s/d Rp. 150.000,- untuk sekali sawer, tentunya hal ini membuat istrinya jengkel dengan sikap
kang Iding yang dianggap menghambur-hamburkan uang. Maka dari itulah jarang sekali Kang
Iding meminta izin kepada istrinya untuk datang ke orkes dangdut, ia lebih memilih berbohong
daripada harus ribut. Lagipula Kang Iding merasa acara orkes dangdut itu adalah ajang untuk
mencari hiburan untuk melepas penat dengan kerasnya kehidupan. Ketika ditanya alasannya
mengenai budaya sawer yang telah menjadi kebiasaannya, Kang Iding menjawab terdapat
kepuasan tersendiri ketika bisa menyawer seorang biduanita. biasanya untuk bisa berjoged
bersama dan meminta lagu orang-orang yang menyawer dengan bayaran yang tinggilah yang
akan dilayani.

Cara Kang Iding sendiri dalam memberikan uang saweran adalah dengan

menggantungkan uang didepan wajah sang biduan layaknya menyawer pada umumnya. Ia
bercerita ada juga beberapa kawannya yang menyawer dengan cara yang dianggap tidak sopan.
Kang Iding sendiri sudah mulai mengurangi kebiasaan menyawernnya itu, mengingat anakanaknya yang masih kecil dan masih banyak kebutuhan yang harus dipenuhi. Sudah hampir
setengah tahun Kang Iding vacuum dalam acara sawer-menyawernya itu. Lagipula Kang Iding
bercerita kalau acara orkes dangdut seperti itu tidak terlepas dari acara mabuk-mabukan. Tidak
jarang timbul perselisihan dan kerusuhan dalam acara tersebut. Sekarang Kang Iding lebih
memilih menonton acara dangdut di televisi bersama istrinya, dibandingkan harus datang ke
acara orkes tunggal dan memberikan sawer kepada biduan. lebih murah nonton dangdut
dirumah teh tuturnya.

Peluang, Tantangan, dan Dukungan pelaku seni untuk mendapatkan sumber daya yang
diperlukan
Tentunya menjadi seorang biduanita bukanlah suatu profesi yang mudah dijalani banyaknya
hambatan dan tantangan menjadi ujian tersendiri bagi Inong selaku seniman, karena Biduanita
juga merupakan seorang seniman. Ditengah penolakan sang suami dan kedua anaknya Inong
mencoba untuk membuktikan tekadnya untuk menjadi biduanita yang profesional. Hal ini tidak
lain adalah untuk membantu perekonomian keluarga juga. Keluarganya yang tidak menerima
profesi Inong menjadi seorang biduanita memberikan beban tersendiri untuknya. Di satu sisi
ingin membantu keluarga demi penghidupan yang lebih layak, namun disisi lain Inong harus
tabah dengan segala omongan miring yang mengarah pada dirinya.
Tantangan terbesar dari menjadi seorang penyanyi dangdut wanita adalah dari diri sendiri dan
lingkungan sekitar. Bagaimana diri sendiri dapat mencoba menjadi seorang biduanita dengan
karakteristik sendiri serta bagaimana dapat bersaing dengan biduanita-biduanita lainnya yang
lebih berani unjuk diri. Ketika Inong hanya memiliki kualtias suara dan aksi panggung yang
mempesona dan biduan-biduan lainnya mencoba menarik banyak penonton dengan goyangan
erotis dan pakaian yang minim, membuat Inong sempat tidak dilirik oleh kebanyakan orang.
Namun pada akhirnya dia bisa membuktikan bahwa dengan penampilan yang menawan bisa
membuat penontonnya terhibur, dan Inong bisa mendapatkan uang saweran yang cukup banyak.
Menjadi seorang biduanita seperti Inong, ternyata peluang suksesnya besar juga. Bagaimana
tidak, untuk sekali tampil dalam sebuah acara seperti khitanan, ulang tahun, atau hajatan saja
Inong bisa memperoleh Rp. 300.000 s/d Rp. 500.000 dalam sekali tampil itu belum termasuk
dengan uang saweran yang didapatnya. Sedangkan dalam sehari tidak jarang Inong tampil
beberapa kali. Tidak hanya itu, biduanita-biduanita lokal seperti Inong juga banyak yang dilirik
produser untuk ditarik rekaman dan menjadi bintang panggung. Sebut saja Ayu Ting-ting,
Zaskia Gotik, Inul Daratista ketiganya merupakan biduanita lokal dari panggung ke panggung
sebelum terkenal seperti sekarang ini.

Trik yang Inong gunakan untuk menarik penontonnya adalah dengan menampilkan goyangan
andalannya yaitu goyang epilepsi, yang gerakannya seperti orang yang sedang kejang-kejang.
Tidak kalah bukan dengan goyangan-goyangan hot biduanita lainnya?. Selain itu mengenakan
kostum yang berbeda dalam setiap penampilannya juga menjadi caranya tersendiri untuk
menarik penonton. Belum lagi gaya tata rias yang Inong pakai mengikuti tren kekinian, akan
makin menambah performa Inong dalam setiap kesempatannya. Kualitas suara dan aksi
panggung yang menarik yang Inong pertahankan untuk tetap membuat dirinya ada di hati para
penggemarnya. Karena menurutnya Biduanita itu menjual suara bukan tubuh, itulah yang
menjadi prinsip Inong selama ini.
Ciri-ciri sosial penikmat seni
Ciri-ciri sosial dari penikmat sendiri adalah orang-orang dari kalangan bawah sampai menengah
yang menikmati karya teh Inong. Terbukti dengan banyaknya penanggap yang meminta teh
Inong sebagai pengisi acaranya. Musik dangdut adalah musik yang merakyat dan Inong sebagai
biduanita adalah sebuah media untuk memperkenalkan dangdut lebih jauh kepada khalayak
ramai.
Apakah profil sosial penanggap tersebut sesuai harapan sang seniman?
Berdasarkan profil sosial penanggap yang telah diuraikan diatas, teh Inong sebagai biduanita
merasa penikmat karyanya sudah sesuai dengan harapannya bahkan jauh melebihi ekspetasi
Inong sendiri. Sekali lagi musik dangdut adalah musik yang merakyat dan Inong sebagai
biduanita sudah dikatakan cukup berhasil untuk memperkenalkan dangdut lebih jauh kepada
khalayak ramai dan menjadi salah satu biduanita yang berhasil menjunjung tinggi nilai asli
dangdut itu sendiri tanpa merubahnya menjadi suatu karya yang menyimpang.

Artefak yang didapat dari sang seniman, berikut dengan fungsi dan proses penciptannya

Gambar 1

Gambar 2

Gambar 3

Gambar 4

Fungsi dan Proses Penciptaannya


Keterangan
a ) Gambar 1: Menunjukkan gaya tata rias yang Inong gunakan saat pentas, untuk tata riasnya
Inong lakukan sendiri. Tentunya tata rias ini akan semakin menambah pesona Inong sebagai
biduanita di atas panggung.
b ) Gambar 2: Inong saat menjadi pengisi acara disalah satu paguyuban di Tasikmalaya, dengan
goyangan khasnya yang tentunya akan menarik penonton dan menjadi ciri khas tersendiri
bagi Inong. Goyangan epilepsy sendiri muncul begitu saja saat Inong merasa sepi penonton,
tiba-tiba saja ia bergoyang layaknya orang yang kejang-kejang dan muncullah goyang
epilepsy.
c ) Gambar 3: Kostum yang Inong gunakan saat pentas. Menurutnya gaun berwarna merah muda
ini merupakan kostum termahal yang ia punya. Kostum ini ia dapatkan dari tukang jahit
pribadinya yang diminta Inong untuk mendesain kostum setiap show di berbagai acara. Hal
ini Inong lakukan agar penonton tidak bosan melihat kostum Inong yang itu-itu saja, maka
dari itu tidak jarang pula Inong menukar atau barter dengan kostum-kostum sesama rekan
biduannya.
d ) Gambar 4: Gaun merah ini adalah gaun yang Inong pertama kali kenakan saat pentas di salah
satu acara hajatan tetangganya. Untuk mendapatkan gaun ini Inong harus rela meminjam
uang orang tuanya demi bisa tampil dan menghibur para tetangganya. Pemilihan kostum
yang tepat juga menjadi salah satu hal yang diperhatikan Inong dalam bernyanyi, karena
kostum yang nyaman juga akan mempengaruhi performanya diatas panggung.

Hasil Analisis

Hasil penelitian ini akan menguraikan tentang berbagai temuan yang diperoleh dari
lapangan, yaitu dari olahan data dan informasi yang terkait dengan wawancara dan observasi
penelitian. Apabila dikaitkan dengan bagaimana Antropologi memandang seni, maka sasaran
tradisional Antropologi adalah orang lain. Dalam artian, pandangan peneliti tentang sang liyan
itu sangat penting bagi kajian Antropologi.
Dalam penelitian ini peneliti menemukan bahwa dangdut, biduanita, dana saweran sangat
berperan bagi masyarakat Jatinangor,terlihat dari hasil wawancara terhadap beberapa informan.
Mereka menyebutkan bahwa dangdut dan atribut didalamnya itu sangat diminati, terutama oleh
kalangan bawah. Hal yang membuat musik ini begitu diminati kalangan bawah adalah jenis
musik yang ringan disertai dengan lirik lagu yang biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Sehingga penikmat musik ini tidak harus memutar otak untuk memahami maksud dari lagu.
Namun tidak hanya itu, dangdut juga dapat mencakup lebih luas dari hal tersebut.
Dalam tahapan yang lebih lanjut, untuk menganalisa berbagai fenomena yang terjadi
pada dangdut, biduanita, dan saweran peneliti mengggunakan berbagai teori yang berfungsi
untuk membedah tentang fenomena yang ditemukan. Salah satu teori yang di gunakan oleh
peneliti di bidang adalah teori fungsionalisme yang di cetuskan oleh Bronislaw Malinowski
(1884-1942).
Malinowski di didik di Polandia sebagai seorang ahli matematika dan kemudian
mempelajari antropologi di Inggris selama 4 tahun dan selama Perang Dunia I tinggal diantara
penduduk asli Pulau Trobriand, sambil mengamati cara hidup penduduk asli kepulauan tersebut.
Malinowski mencoba untuk melihat dunia dari pandangan penduduk pribumi, agar dapat
mengerti dengan baik kebudayaan penduduk Trobriand. Cara yang di tempuh oleh Malinowski
ini dinamakan pendekatan penelitian lapangan melaui pengamatan keturut sertaan (Partcipant
Observer). Malinowski mengajukan sebuah orientasi teori yang dinamakan fungsionalisme.
Teori ini beranggapan bahwa semua unsur kebudayaan mempunyai manfaat bagi masyarakat
dimana unsur itu terdapat. Adapun unsur-unsur dari suatu kebudayaan meliputi bahasa, sistem

pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan tekhnologi, sistem mata pencaharian,
sistem religi dan kesenian (Koentjaraningrat, dikutip dalam Setyorini, 2011 p.2).
Milanowski berpendapat bahwa pandangan fungsionalisme terhadap suatu kebudayaan
mempertahankan bahwa setiap pola kelakuan yang sudah menjadi kebiasaan, setiap kepercayaan
dan sikap yang merupakan bagian dari kebudayaan dalam suatu masyarkat memenuhi beberapa
fungsi mendasar dalam kebudayaan bersangkutan. Suatu unsur kebudayaan ( bahasa, sistem
pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan tekhnologi, sistem mata pencaharian,
sistem religi dan kesenian) tentunya tidak berdiri sendiri secara fungsi di suatu masyarakat,
artinya terdapat beberapa kemungkinan fungsi yang berkaitan dari satu unsur kebudayaan di
masyarkat.
Fungsi dari suatu unsur budaya adalah kemampuan untuk memenuhi beberapa kebutuhan
dasar atau beberapa kebutuhan yang timbul dari kebutuhan dasar yaitu kebutuhan sekunder dari
para warga suatu masyarkat (Ihromi, 2013 p. 60). Artinya terdapat dua kebutuhan yang timbul
akibat makna dari fungsi dari suatu unsur kebudayaan yaitu kebutuhan pokok dan kebutuhan
sekunder. Kebutuhan pokok merupakan kebutuhan mendasar dari suatu objek unsur kebudayaan,
Malinowski menyebutkan terdapat tujuh kebutuhan pokok sebagai pembentuk kondisi minimum
di masyarkat yaitu Nutrition (makanan), reproduction (keturunan), bodily conforts (kenyamanan
diri), safety (keamanan), rilexation (santai atau hiburan), movement (pergerakan), growth
(tumbuh) (Marzali, 2006 p. 132). Dalam pemenuhan kebutuhan mendasar tersebut, muncul
kebutuhan jenis kedua (derived need) atau kebutuhan sekunder yang juga harus dipenuhi oleh
kebudayaan.
Kaitan antara teori tersebut dengan penelitian ini adalah dapat dilihat bahwa dangdut
memiliki kemampuan untuk memenuhi beberapa kebutuhan dasar atau beberapa kebutuhan yang
timbul dari dasar yaitu kebutuhan sekunder. Hal ini dapat dicontohkan seperti pentas dangdut itu
bisa menjadi penunjang kebutuhan ekonomi bagi pelakunya. Seperti yang telah dilakukan
biduanita yang menjadi informan yaitu Inong, ia berpindah pekerjaan dari yang awalnya menjadi
pelayan di kantin FISIP Unpad sekarang memilih menjadi biduanita karena pendapatan yang ia
dapatkan lebih besar, meskipun pada awalnya pihak keluarga terutama suaminya tidak terlalu
mendukung ia menjadi seorang biduanita. Selain kebutuhan ekonomi, dangdut juga dapat
memenuhi kebutuhan politik juga. Contohnya pada kampanye Pilkada kabupaten Lebak tahun
2013, terdapat tiga peran bagi pertunjukan musik dangdut. Peran pertama adalah sebagai media

komunikasi politik. Para artis dangdut yang tampil di panggung Pilkada Lebak menjadi
penyampai pesan-pesan kampanye dari pasangan calon bupati-wakil bupati yang mereka wakili.
Begitu pula lirik musik dangdut yang dibawakan oleh para artis. Peran kedua adalah sebagai
hiburan. Massa pendukung dan masyarakat yang hadir secara langsung mengatakan bahwa
keberadaan musik dangdut dalam Pilkada Lebak adalah sebagai bentuk hiburan bagi mereka.
Peran ketiga adalah sebagai penarik massa. Aktifitas kampanye yang memiliki panggung
pertunjukan dangdut memiliki jumlah massa lebih besar bila dibandingkan dengan kampanye
yang tidak menggunakannya.
Serupa seperti dangdut tersebut, biduanita dan proses saweran yang terdapat pada
kegiatan dangdut itu dapat juga memenuhi kebutuhan bagi masyarakat tertentu, terutama
masyarakat yang sangat kental dengan musik dangdut yang didalamnya terdapat budaya
saweran.
Saweran itu sendiri berasal dari bahasa Sunda yaitu sawer yang artinya melempar
uang biasanya dilakukan pada saat upacara kebesaran tradisional seperti, sunatan, kawinan dan
sebagainya. Di dalam musik dangdut dari pendengar musik dangdut atau pengunjung dari
pergelaran dangdut itu. Disini dapat dilihat mengapa saweran dalam musik dangdut cukup
menarik? Karena kita tahu bahwa untuk jenis musik lain tidak ada istilah saweran apalagi uang
tip yang kadang bisa melebihi bayaran dari biduanita itu sendiri dan Indonesia banyak groupgroup dangdut yang selalu mengandalkan saweran dalam setiap pertunjukan panggung grupgrup tersebut.
Kita ketahui bahwa grup-grup musik khususnya musik dangdut itu identik dengan
saweran karena mereka harus menjalani suatu kesinambungan untuk kelangsungan hidup para
anggota grup itu sendiri. Sebenarnya kondisi saweran itu yang menyebabkan seniman musik
dangdut itu merupakan musiknya orang pinggiran atau suatu seni musik yang indah dan lebih
terbuka lagi bagi masyarakat kalangan manapun.
Sebenarnya saweran itu sudah merupakan suatu pelanggaran dari estetika kesenian,
karena dengan saweran di dalam musik dangdut dapat terjadi perubahan dari pure art musik
dangdut sendiri, dengan mengganti lirik lagu dangdut dengan lirik yang dibuat sendiri oleh
biduantita dangdut itu dan biasanya lagu dangdut itu sudah jauh dari aslinya kalau sudah

menghadapi para penyawer yang notabenenya ingin kesohor atau populer. Ada pepatah
mengatakan biar tekor asal kesohor. Mungkin ini banyak yang menjadi alasan para penyawer di
panggung-panggung dangdut hiburan kita. Ada yang beralasan rela menghamburkan uang untuk
sekedar menyawer bukan hanya ingin kesohor, melainkan mencari kepuasan batin semata.
Memang sungguh fenomenal saweran dalam musik dangdut kita.
Tapi disatu pihak saweran tersebut sangat berarti bagi kelangsungan hidup grup-grup
musik dangdut. Karena grup-grup musik dangdut papan bawah yang bayarannya per grup masih
jauh di bawah standar tentu memerlukan tambahan karena itu saweran disini sangatlah
diperlukan walaupun saweran itu merusak dari keindahan suatu kesenian musik itu.
Untuk grup-grup musik dangdut papan atas dan penyanyi dangdut papan atas, saweran
memang tidak diperlukan untuk mereka karena biasanya bayaran per grup mereka sudah
melebihi standar hidup mereka. Karena itulah saweran diperlukan oleh pemusik dan penyanyi
sebagai tambahan penghasilan mereka.
Seorang biduantita biasanya lebih banyak mendapat hasil dari saweran itu daripada
bayarannya di panggung musik dangdut, karena itu menurut beberapa biduanita saweran itu
merupakan seni dari musik dangdut itu sendiri. Tanpa saweran, itu bukan musik dangdut.
Sebenarnya kalau kita membanding dari sudut etika, benar atau salah saweran itu sudah
melanggar suatu etika kesenian karena kesenian itu harus benar-benar murni tanpa ada tambahan
atau embel-embel apapun, tapi seperti yang sudah diuraikan di atas bahwa saweran itu perlu
untuk kelangsungan hidup para pemusik dan penyanyi dangdut, karena itu disini etika
dikesampingkan walaupun sebenarnya saweran itu melanggar etika.
Kalau dilihat dari sudut estetika sebenarnya saweran itu sudah merubah suatu
keindahan seni itu. Suatu keindahan itu sudah keluar dari jalur yang ditetapkan oleh perasaan
bahwa seni bisa dilihat keindahannya kalau seni itu suatu seni yang murni/pure art.
Dapat disimpulkan bahwa suatu estetika seni bersifat relatif tergantung dari sudut mana
si penikmat seni melihatnya. Jadi pelanggaran suatu etika dalam kesenian khusunya estetika dari
seni musik dangdut itu ada tapi pelanggaran itu juga merupakan suatu keindahan dan seni musik
dangdut itu sendiri. Bahwa saweran itu tidak melanggar suatu estetika seni melainkan saweran

itu menambah keindahan dari seni itu sendiri, apalagi seni musik dangdut yang merupakan seni
musik asli Indonesia.
Seperti apa yang dikatakan Inong selaku informan dari biduanita, bahwa saweran itu
nyawa bagi musik dangdut tersebut. Ia menambahkan bahwa terkadang pendapatan dari pentas
dangdut itu rata-rata paling banyak itu dari saweran. Faktor tersebut diakibatkan karena Inong
itu bukan penyanyi dangdut papan atas dan tidak terikat kontrak dengan salah satu grup dangdut.
Jadi wajar saja apabila ia menjadikan saweran ladang untuk menambah pengahasilannya.

Daftar Pustaka

Informasi Pustaka: Kartiwa, Tatang. (2012). Daya Tarik Penyayi Dangdut dalam Saweran
pada Hiburan Dangdut (Studi deskriptif Tentang Daya Tarik Penyayi Dangdut dalam
Saweran pada Hiburan Dangdut di kota Bandung). Skripsi S1 pada Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik UNIKOM Bandung: tidak diterbitkan.


Informasi Pustaka:Titi Andaryani, Eka. Desember 2011, "Persepsi Masyarakat terhadap
Pertunjukan Musik Dangdut Organ Tunggal". Harmonia: Jurnal Pengetahuan dan
Pemikiran Seni. Volume 011 No. 02 http://download.portalgaruda.org/article.php?

article=135922&val=5651, 16 Oktober 2016.


Hesti Nurrifka I. DANGDUT SEBAGAI MEDIA KOMUNIKASI POLITIK (Studi
Etnografi Peranan Pertunjukan Dangdut dalam Pemilihan Kepala Daerah Lebak, Banten
Periode 2013). Tahun (2013) [Yogyakarta] : Universitas Gadjah Mada, 2014
http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?
mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetail&act=view&typ=html&buku_id=70074

Diakses pada 27 Oktober 2016, pada pukul 01:38 WIB


Ihromi, T.O. (2013). Antropologi Budaya. Jakarta, Buku Obor.
Marzali, Amri. (2006). Struktural-Fungsionalisme. Jurnal Universitas Indonesia
diperoleh

21

April

http://journal.ui.ac.id/index.php/jai/article/viewFile/3558/2829
-

2015

dari

Anda mungkin juga menyukai