Anda di halaman 1dari 19

A.

Skenario
Pasangan suami istri, Apep Rohmat dan Novi Nurhayati (38) panic ketika
melihat anak keduanya, Hafdz Raffi Rabani (8) tersedak, Minggu (2/3/2014)
siang. Hafidz menolak cilok itu di potong kecil-kecil dan memilih memakannya.
Nahas, ketika anak kedua ini minum, cilok yang sedang ada di mulutnya itu ikut
tertelan. Hafidz terlihat terengah-engah kesulitan bernapas karena cilok itu
tertahan di tenggorokannya.
Melihat malapetaka menimpa anak bungsunya itu, Novi histeris dan
berupaya mengeluarkan makanan itu. Begitu juga bapaknya, Ape berupaya
mengeluarkan cilok dengan berbagai upaya,namun tidak berhasil. Mereka dan
warga segera membawa korban ke klinik terdekat. Di klinik itu, sempat mendapat
pertolongan, namun denyut nadinya sudah tidak terdeteksi lagi. Orang tuanya
segera membawa ke rumah sakit.
Di rumah sakit, dokter di instalasi gawat darurat (IGD) melakukan
manuver heimlich untuk mengeluarkan makanan yang menyumbat, kemudian
melakukan cardiopulmonary resuscitation (CPR) agar memungkinkan udara
mengalir ke paru-paru dan memompakan darah dan oksigen ke otak. Hafidz juga
sering mendapat bantuan oksigen dan denyut nadi muncul walaupun lemah sekali.
Namun selang beberapa lama nyawa bocah ini tak tertolong lagi. Kami
menerima kejadian ini dengan lapang dada,ini ujian yang harus kami hadapi, kata
Apep dengan suara lemah dan berlinang air mata.
B. Rumusan masalah
1. Apa yang di maksud dengan Cardio Pulmonary Resuscitation (CPR) dan
sebutkan langkah-langkahnya ?
2. Apa yang di maksud dengan Manuver Henlich dan sebutkan prosedurnya?
3. Macam Kegawatdaruratan secara umum & prinsip pertolongan pertama ?
4. Konsep gawat darurat ?
5. Initial assessment ?
6. Kondisi Meninggal/ mati ?
C. Pembahasan
1. Cardio Pulmonary Resuscitation (CPR)
a. Definisi

Resusitasi ialah mengembalikan fungsi pernapasan dan atau sirkulasi


dan penanganan akibat berhentinya pernapasan (respiratory arrest) dan atau
berhentinya jantung (cardiac arrest) pada orang, dikarenakan fungsi-fungsi
tersebut mengalami kegagalan total oleh sesuatu sebab yang datangnya tibatiba, dan pada orang dengan kondisi tubuh yang memungkinkan untuk hidup
normal selanjutnya bilamana kedua fungsi tersebut bekerja kembali. Dalam
arti luas resusitasi merupakan segala bentuk usaha yang dilakukan terhadap
korban yang berada dalam keadaan gawat atau kritis, untuk mencegah
terjadinya kematian (Hendrotomo, 198).
Menurut The Committe on Trauma: American College of Surgeon
(1983) menyebutkan bahwa resusitasi jantung paru (RJP) merupakan
tindakan yang dilakukan untuk memulihkan sirkulasi dan ventilasi yang
efektif pada orang-orang yang mengalami penghentian fungsi-fungsi ini
secara mendadak dan tidak terduga-duga. Penyebab umum pada semua
kasus kematian mendadak adalah anoksia. Kasus-kasus tersebut meliputi
kematian karena tenggelam, kesetrum (terkena aliran listrik), stroke, inhalasi
gas dan asap, intoksikasi bahan kimia atau obat, cedera yang mengenai
kepala dan leher atau dada, infark miokard, konvulsi atau pingsan sebab
apapun.
Resusitasi jantung paru (RJP) terbagi atas 3 tahap yaitu :
(TheCommitte on Trauma: American College of Surgeon, 1983)
1) Tahap I. Bantuan Dasar (Basic Life Support)
2) Tahap II. Bantuan Lanjut (Advance Life Support)
3) Tahap III. Bantuan Jangka Panjang (Prolonge Life Support)
Pada tulisan ini, hanya membahas tentang Resusitasi jantung paru
tingkat I atau bantuan dasar (Basic Life Support) saja. Resusitasi jantung
paru (RJP) tahap I sebagai bantuan dasar dalam penyelamatan korban (Basic
Life Support) merupakan seperangkat prosedur pertolongan pertama bagi
keadaan gawat darurat. Prosedur ini terdiri atas tindakan mengenali keadaan
berhentinya respirasi dan kerja jantung (respiratory and cardiac arrest), dan
segera melaksanakan RJP sampai penderita cukup pulih untuk dapat
dikirim/dipindahkan, atau sampai tersedia pertolongan lebih lanjut untuk
menyelamatkan jiwa penderita. Survei bantuan hidup dasar primer

merupakan awal rangkaian sistematis pertolongan yang dilakukan bagi


penderita yang mengalami keadaan henti jantung mendadak, baik yang
disaksikan atau tidak disaksikan (Subagjo dkk., 2012).
Survei bantuan hidup dasar primer berkembang seiring dengan
kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran. Bedasarkan panduan yang
dikeluarkan American Heart Association tahun 2010, bantuan hidup dasar
lebih menitik beratkan pelaksanaan RJP dengan memompa secara cepat dan
kuat sesegera mungkin, baik seorang penolong atau lebih dan di lanjutkan
dengan pemberian bantuan napas dasar dan defibrilasi segera (Subagjo dkk.,
2012).
Tujuan survey bantuan hidup dasar adalah berusaha memberikan
bantuan sirkulasi sistemik, ventilasi dan oksigenasi tubuh secara efektif dan
optimal sampai didapatkan kembali sirkulasi sistemik secara spontan atau
telah tiba peralatan yang lebih lengkap untuk melaksanakan bantuan hidup
lanjut. Pelaksanaan bantuan hidup dasar primer yang segera dan efektif
memperbesar peluang keberhasilan dan mengurangi gangguan neurologis
yang akan terjadi (Subagjo dkk., 2012).
Sistematika survei bantuan hidup dasar primer saat ini lebih
disederhanankan, yang memungkinkan orang tidak terlatih dapat melakukan
bantuan hidup dasar primer dengan baik. Bulan Oktober tahun 2010
American Heart Association (AHA) mengeluarkan pedoman baru bantuan
hidup dasar. Dalam bantuan hidup dasar ini, terdapat beberapa perubahan
sangat mendasar dan berbeda dengan panduan bantuan hidup dasar yang
telah di kenal sebelumnya seperti :
1) menerangkan perubahan urutan pertolongan bantuan hidup dasar dengan
mendahulukan kompresi sebelum melakukan pertolongan bantuan nafas
(CAB di bandingkan dengan ABC)
2) pengenalan kondisi henti jantung mendadak segera bedasarkan penilaian
respon penderita dan tidak adanya nafas
3) penekanan bantuan kompresi dada yang berkelanjutan dalam melakukan
resusitasi jantung paru oleh tenaga tidak terlatih

4) Resusitasi jantung paru yang efektif dilakukan sampai didapatkan


kembalinya sirkulasi spontan
5) Perintah look, listen and feel dihilangkan dari algoritma bantuan hidup
dasar
(Subagjo dkk., 2012).
b. Pelaksanaan Bantuan Hidup Dasar
Urutan pelaksanaan bantuan hidup dasar yang benar akan
memperbaiki tingkat keberhasilan. Berdasarkan panduan bantuan hidup
dasar yang dikeluarkan oleh American Heart Association dan European
Society of Resuscitation, Sebelum melakukan survei bantuan hidup dasar
primer, kita harus memastikan bahwa lingkungan sekitar penderita aman
untuk melakukan pertolongan, kemudian barulah pelaksanaan bantuan hidup
dasar dimulai dari penilaian kesadaran penderita, aktivasai layanan gawat
darurat dan dilanjutkan dengan tindakan pertolongan yang diawali dengan
CAB (circulation-airway-breathing) (Subagjo dkk., 2012).
1) Penilaian respon
Penilaian respon dilakukan setelah penolong yakin bahwa dirinya
sudah aman untuk melakukan pertolongan. Penilaian respon dilakukan
dengan

cara

memanggil-manggil

dan

menepuk

pundak

atau

menggoyangkan penderita sambil berteriak memanggil penderita.


Hal yang harus di perhatikan setelah melakukan penilaian respon
penderita :
a) Bila penderita menjawab atau bergerak terhadap respon yang
diberikan, maka usahakan tetap mempertahankan posisi seperti pada
saat ditemukan atau diposisikan ke dalam posisi mantap; sambil terus
melakukan pemantauan tanda-tanda vital sampai bantuan datang
b) Bila penderita tidak memberikan respon serta tidak bernafas atau
bernafas tidak normal (gasping), maka penderita dianggap mengalami
kejadian henti jantung. Langkah selanjutnya yang perlu dilakukan
adalah melakukan aktivasi sistem layanan gawat darurat (Subagjo
dkk., 2012).
2) Pengaktivan sistem layanan gawat darurat
Setelah melakukan pemeriksaan kesadaran penderita dan tidak
didapatkan respon dari penderita, hendaknya penolong meminta bantuan
orang terdekat untuk menelpon layanan gawat darurat. Bila tidak ada

orang lain di dekat penolong untuk membantu, maka sebaiknya penolong


menelpon sistem layanan gawat darurat. Saat melaksanakan percakapan
dengan petugas layanan gawat darurat, hendaknya dijelaskan lokasi
penderita, kondisi penderita, serta bantuan yang sudah diberikan kepada
penderita (Subagjo dkk., 2012).
3) Kompresi dada (Circulation)
Sebelum melakukan kompresi dada pada penderita, penolong
harus melakukan pemeriksaan awal untuk memastikan bahwa penderita
dalam keadaan tanpa nadi saat akan dilakukan pertolongan. Pemeriksaan
dilakukan dengan melakukan perabaan denyut arteri karotis dalam waktu
maksimal 10 detik. Melakukan pemeriksaan denyut nadi bukan lah hal
yang mudah untuk dilakukan, bahkan tenaga kesehatan yang menolong
mungkin memerlukan waktu yang agak panjang untuk memeriksa denyut
nadi, sehingga:
a) Tindakan pemeriksaan denyut nadi bisa tidak dilakukan penolong
awam dan langsung mengasumsikan terjadi henti jantung jika seorang
dewasa mendadak tidak sadarkan diri atau penderita tanpa respon
bernapas tidak normal
b) Pemeriksaan arteri karotis dilakukan dengan memegang leher
penderita dan mencapai trakea dengan 2-3 jari. Selanjutnya dilakukan
perabaan bergeser ke lateral sampai menemukan batas trakea dengan
otot samping leher ( tempat lokasi arteri karotis berada)

Kompresi dada terdiri dari pemberian tekanan secara kuat dan berirama
pada setengah bawah dinding sternum. Komponen yang harus
diperhatikan :
a) Penderita dibaringkan di tempat yang keras dan datar
b) Frekuensi minimal 100 kali per menit
c) Kedalaman minimal 5 cm/ 2 inch
d) Pada bayi dan anak kedalaman minimal 4 cm/ 1,5 inch

e) Penolong awam melakukan kompresi minimal 100 kali per menit


tanpa interupsi. Penolong terlatih tanpa alat bantu nafas melakukan
kompresi dan ventilasi dengan perbandingan 30:2 (setiap 30 kali
kompresi efektif, berikan 2 nafas bantuan.
f) Seminimal mungkin melakukan interupsi
(Subagjo dkk., 2012).
4) Airway (pembukaan jalan nafas)
Tindakan ini sebaiknya dilakukan oleh orang yang sudah menerima
latihan bantuan hidup dasaratau tenaga kesehatan professional dengan
menggunakan teknik angkat kepala-angkat dagu (head tilt chin lift) pada
penderita yang diketahui tidak cedera leher. Pada penderita yang dicurigai
menderita trauma servikal, teknik head tilt chin lift tidak bisa dilakukan.

Teknik yang bisa digunakan jaw thrust yaitu dengan menarik rahang
tanpa melakukan ekstensi kepala.

Setelah dilakukan tindakan membuka jalan napas, langkah selanjutnya


adalah dengan pemberian napas bantuan. Sesuai dengan revisi panduan
yang dikeluarkan American heart association mengenai bantuan hidup
dasar, penolong tidak perlu melakukan observasi napas spontan dengan
look, listen and feel karena langkah pelaksanaan yang tidak konsisten dan
menghabiskan banyak waktu kecuali jika tindakan pemberian napas
bantuan tidak menyebabkan paru terkembang secara baik (Subagjo dkk.,
2012).
5) Breathing (ventilasi)
Tindakan pemberi napas bantuan dilakukan kepada penderita henti
jantung setelah siklus kompresi selesai dilakukan (30 kompresi)
pemberian napas bantuan bisa dilakukan dengan metode :

a) Mulut ke mulut
Metode pertolongan ini merupakan metode yang paling mudah dan
cepat. Oksigen yang dipakai berasal dari udara yang dikeluarkan oleh
penolong. Cara melakukan pertolongan ini adalah
(1) Mempertahankan posisi head tilt chin lift, yang dilanjutkan dengan
menjepit hidung menggunakan ibu jari dan telunjuk tangan.
(2) Buka sedikit mulut penderita, tarik napas panjang dan tempelkan
rapat bibir penolong melingkari mulut penderita, kemudian
hembuskan lambat, setiap tiupan selama 1 detik dan pastikan
sampai dada terangkat.
(3) Tetap pertahankan head tilt chin lif, lepaskan mulut penolong dari
mulut penderita, lihat apakah dada penderita turun waktu ekshalasi.
b) Mulut ke hidung
Napas bantuan ini dilakukan jika dari mulut-mulut sulit dilakukan
misalnya karena trismus. Caranya adalah katupkan mulut penderita
disertai chin lift, kemudian hembuskan udara seperti pernafasan mulut
ke mulut. Buka mulut penderita waktu ekshalasi.
c) Mulut ke sungkup
Penolong menghembuskan udara melalui sungkup yang
diletakan diatas dan melingkupi mulut dan hidung penderita. Sungkup
ini terbuat dari plastik transparan sehingga muntahan dan warna bibir
penderita dapat terlihat.
Cara melakukannya :
(1) Letakan sungkup pada muka penderita dan dipegang dengan kedua
ibu jari
(2) Lakukan head tiltchin lift/ jaw thrust, tekan sungkup ke muka
penderita dengan rapat, kemudian hembuskan udara melalui lubang
sungkup sampai dada terangkat
(3) Hentikan hembusan dan amati turunnya pergerakan dinding dada
(Subagjo dkk., 2012).
c. Komplikasi yang mungkin terjadi saat melakukan bantuan hidup dasar
1) Aspirasi regurgitasi
2) Fraktur costae-sternum
3) Pneumotoraks, hemototoraks, kontusio paru
4) Laserasi hati atau limpa
(Subagjo dkk., 2012).

2. Tersedak
a. Pengenalan sumbatan jalan napas oleh benda asing pada pasien dewasa
Sumbatan jalan napas merupakan gangguan pada jalan nafas yang
dapat diatasi, namun jarang terjadi dan berpotensi menimbulkan kematian
bila tidak mendapatkan penatalaksanaan yang benar. Orang yang tidak
sadarkan diri mudah mengalami sumbatan jalan napas, baik yang disebabkan
oleh

sebab

intrinsik

(lidah)

ataupun

ekstrinsik

(benda

asing).

Penatalaksaanaan yang baik merupakan kunci untuk mencegah kematian


akibat sumbatan jalan napas. Kasus sumbatan jalan napas pada dewasa
umumnya terjadi pada saat makan, sedangkan bayi atau anak keadaan
tersebut terjadi pada saat makan atau sedang bermain, walaupun sudah
diawasi oleh orang tuanya (Subagjo dkk., 2012).
Pengenalan sumbatan jalan napas akibat benda asing merupakan
kunci utama untuk kesuksesan penatalaksanaan, maka penolong harus bisa
membedakan keadaan tersebut dengan pingsan, serangan jantung, kejang
atau kondisi lainnya yang dapat menyebabkan gangguan pernapasan
mendadak, sianosis, atau penurunan kesadaran. Sumbatan yang disebabkan
benda asing bisa besifat ringan atau berat, bergantung dari seberapa besar
sumbatan yang terjadi. Bila penolong menjumpai penderita yang
memberikan tanda-tanda sumbatan jalan napas berat, maka pertolongan
harus dilakukan. Tanda-tanda sumbatan jalan napas yang terganggu antara
lain pertukaran udara yang buruk serta diikuti dengan kesulitan bernapas
yang meningkat seperti batuk tanpa suara, sianosis, atau tidak bisa bicara.
Terkadang seorang penderita memperagakan cekikan di lehernya untuk
memperlihatkan tanda universal tercekik. Langsung tanyakan kepada
penderita apakah dia tersedak ? bila penderita menjawab dengan anggukan
berarti penderita mengalami sumbatan jalan napas yang berat (Subagjo dkk.,
2012).

b. Penatalaksanaan sumbatan jalan napas oleh benda asing pada pasien dewasa
Poin yang harus diutamakan adalah pengenalan terhadap gejala
sumbatan berat koleh benda asing, karena tindakan tersebut memerlukan
penatalaksanaan segera untuk mencegah terjadinya kematian.

1) Penatalaksanaan penderita tidak sadarkan diri


Bila penolong mendapatkan penderita tidak sadarkan diri akibat sumbatan
jalan napas. Langkah-langkah yang harus dilakukan
a) Segera aktifkan sistem layanan gawat darurat, panggil bantuan
b) Segera baringkan penderita, lakukan kompresi 30 kali. Bila mulut
penderita terbuka, segera periksa mulut penderita apakah benda asing
sudah bisa di keluarkan atau belum. Bila belum bisa dikeluarkan. Terus
lakukan

kompresi

jantung.

Kompresi

ini

bertujuan

untuk

mengeluarkan benda asing yang menyumbat jalan napas dan tujuan


sekundernya untuk membantu sirkulasi (Subagjo dkk., 2012).

2) Penatalaksanaan penderita sadar


Pada penderita sadar, penatalaksanaan sumbatan jalan napas di bagi
berdasarkan ringan dan beratnya sumbatan yang di alami penderita

a) Sumbatan ringan
Bila penderita masih bisa berbicara dan hanya mengalami sumbatan
ringan, maka penolong merangsang penderita untuk batuk tanpa
melakukan tindakan dan terus mengobservasi.
b) Sumbatan berat
Penolong bertanya kepada penderita, apa yang terjadi. Setelah
yakin dengan kondisi penderita selanjutnya penolong melakukan
manuver heimlich. Manuver heimlich ini merupakan metode yang
paling efektif untuk mengatasi obstruksi saluran pernapasan atas
akibat makanan atau benda asing yang terperangkap dalam pharynx
posterior atau glotis. Korban tidak dapat berbicara atau bernapas,
menjadi panik dan sering berlari dari kamar. Korban menjadi pucat
yang diikuti dengan bertambahnya cyanosis, anoxia dan kematian.
Pada kondisi tersebut di atas, manuver ini dapat dilaksanakan dengan
posisi penolong berdiri atau berbaring. Adapun pelaksanaannya
sebagai berikut:
(1) Penolong Berdiri
Penolong berdiri di belakang korban dan memeluk pinggang
korban dengan kedua belah tangan, kepalan salah satu tangan
digenggam oleh tangan yang lain. Sisi ibu jari kepalan penolong
menghadap abdomen korban diantara umbilicus dan thoraks.
Kepalan tersebut ditekankan dengan sentakan ke atas yang cepat
pada abdomen korban. Penekanan tersebut tidak boleh memantul,
dan pada waktu di puncak tekanan perlu diberi waktu untuk
menahan 0,5 - 1 detik dan setelah itu tekanan dilepas, perbuatan ini
harus diulang beberapa kali.

Naiknya diafragma secara mendadak menekan paru-paru


yang dibatasi oleh dinding rongga dada, meningkatkan tekanan
intrathoracal dan memaksa udara serta benda asing keluar dari
dalam saluran pernapasan.

(2) Penolong berlutut


Korban

berbaring

telentang

dan

penolong

berlutut

melangkahi panggul korban. Penolong menumpukkan kedua belah


tangannya dan meletakkan pangkal salah satu telapak tangan pada
abdomen korban. Kemudian melaksanakan prosedur yang sama
seperti pada posisi berdiri (Subagjo dkk., 2012).
c. Pengenalan sumbatan jalan nafas oleh benda asing pada pasien anak dan
bayi
Pedoman yang dillakukan untuk dewasa tidak bisa diterapkan pada
anak dan bayi. Umumnya benda asing yang menyebabkan sumbatan jalan
napas pada anak adalah benda cair, di ikuti benda asing yang bersifat padat
seperti kancing, mainan, atau makanan padat.
Tanda yang dikeluarkan oleh anak bila mengalami sumbatan jalan
napas biasanya adalah menangis sambil diikuti refleks batuk untuk
mengeluarkan benda asing pada anak di bandingkan manuver apapun.
d. Penatalaksanaan sumbatan jalan napas oleh benda asing pada anak dan bayi

Perbedaan utama antara pelaksanaan sumbatan jalan napas oleh


benda asing pada bayi dan anak tindakan manuver heimlich tidak dianjurkan
lagi untuk dilakukan karena risiko cedera yang tinggi. Faktor keselamatan
penolong dan penderita yang ditolong sangat diperhatikan. Itulah sebabnya
tindakan baru diberikan bila sumbatan berat.
1) Penatalaksanaan pada penderita sadar
a) Tindakan back blows
Untuk bayi dan anak, cara melakukannya sebagai berikut :
(1) Posisikan bayi atau anak dengan posisi kepala mengarah ke bawah
supaya gaya gravitasi dapat membantu pengeluaran benda asing.
(2) Penolong berlutut atau duduk, dapat menopang bayi di
pangkuannya dengan lebih aman saat melakukan tindakan.
(3) Untuk bayi, topang kepala dengan menggunakan ibu jari di satu sisi
rahang dan rahang yang lain menggunakan satu atau dua jari dari
tangan yang sama. Jangan sampai menekan jaringan lunak di bawah
rahang, karena akan menyebabkan sumbatan jalan napas kembali.,
sedangkan untuk anak berusia diatas 1 tahun, kepala tidak perlu
ditopang secara khusus.

(4)

Lakukan 5 hentakan back blows secara kuat dengan menggunakan


telapak tangan di tengah punggung. Tujuan tindakan tersebut untuk
mengupayakan sumbatan benda asing terlepas setelah satu
hentakan, bukan karena akumulasi ke-5 hentakan.
(5) Bila gagal, lakukan tindakan lanjut yaitu chest thrust pada bayi dan
jika terpaksa manuver heimlich pada anak berusia diatas 1 tahun
dilakukan.

b) Tindakan chest thrust


(1) Tindakan tersebut dilakukan dengan memposisikan bayi dengan
kepala di bawah dan posisi terlentang. Tindakan ini akan lebih aman
bila penolong meletakan punggung bayi di lengan yang bebas serta
menopang ubun-ubun dengan tangan.
(2) Topang peletakan bayi pada lengan dengan menggunakan bantuan
paha penolong.
(3) Identifikasi daerah yang akan dilakukan tekanan (bagian bawah
sternum). Kemudian lakukan chest thrust. Tindakan ini mirip
dengan kompresi dada pada bantuan hidup dasar, namun lebih
lambat dan lebih menghentak sebanyak 5 kali. Bila benda asing
belum keluar, tindakan diulang kembali dari awal (Subagjo dkk.,
2012).
c) Manuver heimlich
(1) Tindakan ini dilakukan pada anak yang berumur diatas 1 tahun .
cara melakukannya dengan berdiri atau berlutut di belakang
penderita . letakan lengan penolong di bawah lengan penderita serta
mengelilingi penderita.
(2) Kepalkan tangan penolong serta letakan anatar umbilikus dan
sternum
(3) Raih kepalan tersebut dengan tangan yang lain serta hentakan ke
arah atas dan belakang
(4) Lakukan sebanyak 5 kali, serta pastikan bahwa tindakan yang
dilakukan tidak mengenai prosesus xypohoideus atau iga bagian
bawah. Bila benda asing tidak berhasil dikeluarkan, maka tindakan
tersebut diulang kembali
(5) Karena risiko trauma yang terjadi, setiap penderita yang telah
dilakukan manuver heimlich harus diperiksa dokter (Subagjo dkk.,
2012).
2) Penatalaksanaan pada penderita tidak sadarkan diri
Pada penderita yang mengalami sumbatan jalan nafas oleh benda
asing dan tidak sadarklan diri, makan penatalaksanaannya menyerupai
bantuan hidup dasar. Segera aktifkan layanan sistem gawat darurat,
berikan kompresi sebanyak 30 kali, tidak diperlukan untuk memeriksa
nadi, dilanjutkan dengan pemberian 2 kali nafas bantuan. Usahakan untuk

memeriksa posisi benda asing setiap kali mulut penderita terbuka saat di
kompresi. Bila memungkinkan dikeluarkan sebaiknya di keluarkan
(Subagjo dkk., 2012).
3. Macam kegawatdaruratan secara umum
a. Tenggelam
Penyelamatan pernapasan sama dengan semua korban dengan henti jantung
dan paru. Tata laksana jalan napas pada bantuan hidup dasar dengan alat
bantu, contoh bag mask ventilation dan intubasi dapat diberikan pada orang
yang tenggelam.
b. Tersengat listrik
c. Asfiksia
Merupakan hal yang disebabkan gas dan udara. Hal ini dapat berkembang
dari kebakaran atau bocornya sebuah gas, yang akan menghasilkan
karbonmonoksida. Lakukan RJP dan jauhkan dari gas beracun. Jika ventilasi
pernapasan adekuat berikan oksigen dengan konsentrasi tinggi (Subagjo
dkk., 2012).
4. Konsep kegawat daruratan
a. Penderita Gawat Darurat
Penderita yang mendadak berada dalam keadaan gawat dan terancam
nyawanya atau anggota badannya (akan menjadi cacat) bila tidak mendapat
pertolongan secepatnya. Contoh : AMI, Fraktur terbuka, trauma kepala
b. Penderita Gawat Tidak Darurat
Penderita yang memerlukan pertolongan segera tetapi tidak
terancam jiwanya/menimbulkan kecacatan bila tidak segera mendapatkan
pertolongan. Misalnya kanker stadium lanjut
c. Penderita Darurat Tidak Gawat
Penderita akibat musibah yang datang tibatiba, tetapi tidak
mengancam nyawa dan anggota badannya. Contoh: luka sayat dangkal.
d. Pasien Tidak Gawat Tidak Darurat
Penderita

yang

menderita

penyakit

yang

tidak

mengancam

jiwa/kecacatan. Contoh: Pasien DM terkontrol, flu, maag dan sebagainya.


(Roffi, 2009)

5. Initial assessment
Proses penilaian awal pada penderita trauma disertai pengelolaan yang
tepat guna untuk menghindari kematian disebut sebagai initial assessment
Initial assessment meliputi :
a. Persiapan
Berlangsung dalam dua fase yaitu :
1) Fase pra rumah sakit
Kordinasi yang baik antara dokter di rumahsakit dengan petugas di
lapangan, hal yang diperhatikan adalah penjagaan airway, control
pendarahan dan syok (Prihandana, 2007).
2) Fase rumah sakit
Dilakukan perencanaan sebelum penderita tiba dengan mempersiapkan
cairan kristaloid, perlengkapan monitor, serta tenaga laboratorium. Semua
tenaga medik harus menggunakan alat protektif seperti: masker , proteksi
mata, sarung tangan, dan lain-lain (Prihandana, 2007).
b. Triase
Cara pemilihan penderita berdasarkan kebutuhan terapi dan sumber
daya yang tersedia. Terapi di dasarkan pada prioritas ABC. Triase juga
berlaku untuk pemilahan penderita di lapangan dan rumah sakit yang akan di
rujuk . dua jenis keadaan triase yang dapat terjadi :
1) Multiple casualties
Musibah masal dengan jumlah penderita dan berat perlukaan tidak
melampaui kemampuan rumah sakit. Dalam keadaan ini penderita dengan
masalah yang mengancam jiwa dan multi trauma akan di layani terlebih
dahulu (Prihandan, 2007).
2) Mass casualties
Musibah masal dengan jumlah penderita dan beratnya luka
melampaui kemampuan rumah sakit dalam keadaan ini yang akan
dilakukan

penanganan

terlebih

dahulu

adalah

penderita

dengan

kemungkinan survival terbesar, serta membutuhkan waktu, perlengkapan


dan tenaga yang sedikit (Prihandana, 2007).
c. Primary survey
Primary survey dilakukan untuk menilai keadaan penderita dan
prioritas terapi berdasarkan jenis perlukaan, tanda-tanda vital dan
mekanisme trauma. Pada primary survey dilakukan usaha untuk mengenali

keadaan yang mengancam nyawa terlebih dahulu dengan berpatokan pada


urutan berikut.
1) A : Airway
Pertama dinilai adalah kelancaran jalan nafas. Hal ini meliputi
pemeriksaan adanya obtruksi jalan napas yang disebabkan oleh benda
asing, fraktur tulang dan lain-lain. Pemasangan airway definitive
dilakukan pada penderita dengan gangguan kesadaran atau GCS
(Glasgow coma scale ) 8, dan pada penderita dengan gerakan motorik
yang tidak bertujuan (Prihandana, 2007).
2) Breathing
Lihat, dengar dan rasakan
Simpulkan kondisi pernafasan, adakah pertukaran nafas secara adekuat?
a) Ada/tidak pernafasan
b) Frekuensi pernafasan
c) Keteraturan pernafasan
d) Besar atau kecil, kualitas pernafasan
e) Simetris/asimetris, pola pernafasan
f) Pernafasan dada/perut, fase pernafasan
g) Adakah tanda distress pernafasan
(Prihandana, 2007)
3) Circulation
a) Volume darah dan cardiac output
Perdarahan merupakan sebab utama kematian yang dapat diatasi
dengan terapi yang cepat dan tepat di rumah sakit. Suatu keadaan
hipotensi pada trauma harus dianggap disebabkan oleh hipovolemia.
Dengan demikian maka diperlukan penilaian yang cepat dari status
hemodinamik penderita yang meliputi :
(1) Tingkat kesadaran
Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang yang
mengakibatkan penurunan kesadaran
(2) Warna kulit
Wajah pucat keabu-abuan dan kulit ekstremitas yang pucat tanda
hipovolemia
(3) Nadi
Perlu dilakukan pemeriksaan nadi yang besar seperti: arteri karotis
atau arteri femoralis. Untuk melihat kekuatan nadi, kecepatan, dan
irama. Nadi yang tidak cepat, kuat, dan teratur, biasanya merupakan

tanda normovolemi. Nadi cepat dan kecil merupakan tanda


hipovolemi, sedangkan nadi yang tidak teratur merupakan tanda
gangguan jantung. Apabila tidak ditemukan pulsasi , maka langsung
lakukan resusitasi
b) Perdarahan
Perdarahan eksternal dihentikan dengan penekanan pada luka. Sumber
perdarahan internal adalah perdarahan dalam rongga thoraks, abdomen,
sekitar fraktur tulang panjang, dan lain-lain (Prihandana, 2007).
4) Disability
Diukur tingkat kesadaran, reaksi pupil, tanda-tanda lateralisasi dan tingkat
atau level cedera spinal. GCS/ Glasgow coma scale adalah sistem skoring
sederhana dan dapat meramal outcome penderita (Prihandana, 2007).
5) Exposure
Penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya. Tujuannya untuk
memeriksa dan mengevaluasi penderita (Prihandana, 2007).
d. Resusitasi
e. Tambahan pada primary survey
1) Monitor EKG : dipasang pada semua penderita trauma
2) Kateter urin : jangan dipasang jika dicurigai ada ruptur uretra yang
ditandai dengan :
a) Adanya darah di orifisum uretra eksterna
b) Hematom di skrotum atau perineum
c) Pada rectal toucher prostat letak tinggi atau tidak teraba
d) Adanya fraktur pelvis
3) kateter lambung atau NGT
untuk mengurangi kemungkinan muntah dan mengurangi distensi
lambung
4) pemeriksaan rontgen
(Prihandana, 2007).
f. Secondary survey
Survey sekunder adalah pemeriksaan kepala sampai kaki (head to toe
examination)
1) Anamnesis
Riwayat AMPLE
A : Alergi
M : Medikasi (obat yang diminum saat ini)
P : Past illness atau pregnancy
L : Last meal
E : Even/ environment
2) Pemeriksaan fisik

g. Tambahan terhadap secondary survey


Pemeriksaan diagnostic yang lebih spesifik contohnya : CT-scan, USG,
Bronkoskopi dan lain-lain.
h. Pemantauan dan re-evaluasi berkesinambungan
Penurunan keadaan dapat di kenali apabila dilakukan evaluasi ulang secara
terus menerus sehingga gejala yang baru timbul segera dapat dikenali dan
dapat ditangani secepatnya
i. Penanganan definitive
Untuk keputusan merujuk penderita dapat dipakai interhospital triage criteria
(Prihandana, 2007).
6. Kondisi mati/ meninggal
a. Mati Klinis
1) Otak kekurangan Oksigen dlm 6-8 mnt
2) Terjadi gangguan fungsi
3) Sifat Reversible
b. Mati Biologis
1) Otak kekurangan Oksigen dlm 8-10 mnt
2) Terjadi kerusakan sel
3) Sifat Irreversible
(Prihandana, 2007).

Daftar Pustaka
Hendrotomo. 1986. Resusitasi Kardiopulmonal (R.K.P.). Konas 1 PCCMI. SA.1.,
Jakarta: Konas PCCMI SA.1.
Prihandana Sadar. 2007. Basic Life Support. Tegal: Tim Keperawatan Medical Bedah
Subagjo Agus. Achyar. Ratnaningsih, E. Putranto Bondan H. Sugiman Tantani.
Kosasih A. Agustinus R. 2012. Bantuan Hidup Jantung Dasar. Jakarta:
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia.
The Committe on Trauma: American College of Surgeon dialih bahasakan Yayasan
Essentia Medica (1983). Perawatan Dini Penderita Cedera. Yogyakarta:
Yayasan Essentia Medica.

Anda mungkin juga menyukai