PENDAHULUAN
Hepatitis B adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B (HVB).
Virus ini endemik di seluruh dunia, dapat ditemukan dalam semua cairan tubuh pasien
dengan infeksi akut atau kronik. Diagnosis infeksi HVB kronis didefinisikan sebagai keadaan
persistensi HBsAg selama lebih dari 6 bulan. Perlu ditetapkan apakah individu ini berada
pada fase HBeAg-positif atau HBeAg-negatif.(PROTOKOL HVB WGO)
Penularan infeksi HVB dapat terjadi secara vertikal maupun horizontal. Penularan
yang terjadi semasa neonatal atau perinatal selalu akan berlanjut menjadi HVB kronik
Sebaliknya, ketika transmisi virus terjadi pada masa remaja atau dewasa, biasanya melalui
kontak seksual, tertusuk jarum yang terkontaminasi, atau dari transfusi produk darah yang
terinfeksi biasanya dapat sembuh kecuali pada individu yang mengalami penekanan sistim
imun seperti pada penderita HIV yang terinfeksi HVB, pasien yang mendapat kemoterapi
atau terapi imunosupresan jangka panjang. (PROTOKOL HVB WGO)
Pada individu yang terinfeksi HVB kronis akan terjadi peningkatkan risiko
berkembangnya sirosis hati dekompensasi dan karsinoma hepatoseluler (HCC). Setiap
individu yang terinfeksi secara kronis oleh HVB memiliki kesempatan untuk dapat dicegah
menjadi kasus yang lebih lanjut melalui pemberian vaksin. Vaksinasi hepatitis B adalah
sangat efektif, paling tidak vaksinasi harus ditawarkan kepada semua individu yang beresiko.
Wanita hamil harus diskrining untuk hepatitis B sebelum melahirkan, karena hal ini dapat
mencegah penularan dari ibu ke janin. (PROTOKOL HVB WGO)
Sekitar 2 miliar orang di seluruh dunia memiliki bukti serologis infeksi HVB masa
lalu atau masa sekarang, dan 350 juta terinfeksi secara kronis serta berisiko untuk
berkembang menjadi penyakit hati yang berkaitan dengan HVB. 15 - 40% dari pasien yang
mengalami infeksi kronis akan berkembang menjadi serosis, kegagalan fungsi hati dan atau
hepatoma. Infeksi HVB menyebabkan 500.000 1.200.000 kematian setiap tahun. Prevalensi
HVB sangat bervariasi antara daerah yang berbeda di dunia. Dalam literatur, perbedaan
biasanya dibuat antara daerah endemisitas tinggi, sedang, dan rendah, serta yang sangat
rendah. Prevalensi infeksi kronis berkisar sekitar 10% dari populasi di Asia Tenggara, Cina,
daerah Amazon, dan sub-Sahara Afrika, < 1% di Eropa Barat dan Amerika Utara. Secara
keseluruhan, sekitar 45% dari populasi global tinggal di daerah endemisitas tinggi.
(PROTOKOL HVB WGO)
1
Dimasa lalu indonesia merupakan persimpangan jalan migrasi manusia dari belahan
barat ketimur yang menyisakan genotip B dan C dengan serotipe ayw pada penduduk Nusa
Tenggara Timur, sedangkan migrasi dari utara ke selatan membawa genotipe B dengan
serotipae adw kemudian mereka mendiami Asia Tenggara termasuk Indonesia yang
menyebabkan terjadinya perbedaan genotip dan serotipe virus hepatitis B di kepulauan
indonesia.(REFRAT RONI)
Julius, Theja M.D dan kawan-kawan mendapatkan HbsAg positif pada 5,4 % populasi
umum di Sumatra Barat dengan HBV DNA positif sebesar 84,8 % dan pada 49 penderita
penyakit HVB kronik didapatkan 100 % HbsAg positif dengan HBV DNA positif vsebesar
75,5 %, genotip terbanyak ditemukan adalah genotip C 82,1 % dan genotip B 17,9 %.
Arnelis, Julius et al tahun 2009 mendapatkan pada etnis minang banyak ditemukan genotip C
dengan serotipe C1.(REFRAT RONI)
BAB II
HEPATITIS B KRONIK
2.1. Definisi
Hepatitis B adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B (HVB).
Virus ini endemik di seluruh dunia, dapat ditemukan dalam semua cairan tubuh pasien
dengan infeksi akut atau kronik. Diagnosis infeksi HVB kronis didefinisikan sebagai keadaan
persistensi HBsAg selama lebih dari 6 bulan. Perlu ditetapkan apakah individu ini berada
pada fase HBeAg-positif atau HBeAg-negatif.(PROTOKOL HVB WGO)
Virus hepatitis B (HBV) kronis menginfeksi 350 juta orang di seluruh dunia,
menyebabkan penyakit mulai dari hepatitis akut hepatitis kronis, sirosis dan hepatoma
(HCC), dan bertanggung jawab terhadap hampir 1 juta kematian. Virus hepatitis B bukan
jenis virus sitopatik, terjadinya nekrosis
sel hepatosit
konsekuensi dari respon sitotoksik dari sel T yang ditujukan terhadap HBV atau antigen
virus yang terikat pada membran sel hepatosit.(BIOLOGI DAN PATOGENESIS HEPATITIS
VIRUS)
2.2. Epidemiologi
Sekitar 2 miliar orang di seluruh dunia memiliki bukti serologis infeksi HVB masa
lalu atau masa sekarang, dan 350 juta terinfeksi secara kronis serta berisiko untuk
berkembang menjadi penyakit hati yang berkaitan dengan HVB. Spektrum perjalanan
penyakit dan riwayat alamiah infeksi HVB kronik memiliki variasi yang luas mulai dari
keadaan viremia, karier inaktif, hepatits kronik progresif yang dapat berkembang menjadi
sirosis dan berakhir dengan hepatoma. 15 - 40% dari pasien yang mengalami infeksi kronis
akan berkembang menjadi serosis, kegagalan fungsi hati dan atau hepatoma. hepatoma
bertanggung jawab terhadap lebih dari 1 juta kematian per tahun, dimana 5-10% dari kasus
penyakit hati yang membutuhkan transplantasi [2-5 / b73co]. (PROTOKOL WGO) .(b73c0)
Infeksi HVB menyebabkan 500.000 1.200.000 kematian setiap tahun. Prevalensi
HVB sangat bervariasi antara daerah yang berbeda di dunia. Dalam literatur, perbedaan
biasanya dibuat antara daerah endemisitas tinggi, sedang, dan rendah, serta yang sangat
rendah. Prevalensi infeksi kronis berkisar sekitar 10% dari populasi di Asia Tenggara, Cina,
daerah Amazon, dan sub-Sahara Afrika, < 1% di Eropa Barat dan Amerika Utara. Secara
keseluruhan, sekitar 45% dari populasi global tinggal di daerah endemisitas tinggi.
(PROTOKOL HVB WGO) .
Faktor host dan virus, serta adanya koinfeksi dengan virus lain, seperti virus hepatitis
C (HCV), virus hepatitis D (HDV), atau human immunodeficiency Virus (HIV) serta
bersama-sama dengan faktor komorbit lainnya seperti penyalahgunaan alkohol dan kelebihan
berat badan, dapat mempengaruhi perjalan alami infeksi HVB serta efektivitas strategi terapi
antivirus. (b73co)
Dimasa lalu indonesia merupakan persimpangan jalan migrasi manusia dari belahan
barat ketimur yang menyisakan genotip B dan C dengan serotipe ayw pada penduduk Nusa
Tenggara Timur, sedangkan migrasi dari utara ke selatan membawa genotipe B dengan
serotipae adw kemudian mereka mendiami Asia Tenggara termasuk Indonesia yang
menyebabkan terjadinya perbedaan genotip dan serotipe virus hepatitis B di kepulauan
indonesia.(REFRAT RONI)
Julius, Theja M.D dan kawan-kawan mendapatkan HbsAg positif pada 611 populasi
umum di Sumatra Barat sebayak 5,4 % dengan HBV DNA positif sebesar 84,8 % dan pada
49 penderita penyakit HVB kronik didapatkan 100 % HbsAg positif dengan HBV DNA
positif sebesar 75,5 %, genotip terbanyak ditemukan adalah genotip C sebesar 82,1 % dan
genotip B sebesar 17,9 %, pada penderita penyakit hati kronik, genotip C ditemukan pada
64,9% penderita sedangkan genotip B 35,1 %. Serotipe HbsAg pada populasi didapatkan
adrq+ (75 %), adw (21,4 %), ayr (3,6 %) sedangkan pada penyakit hati kronik didaopatkan
jenis serotipe qdrq+ (67,6%), adw (24,3%), ayr (5,4 %). Arnelis, Julius et al tahun 2009
4
mendapatkan pada etnis Minang banyak ditemukan genotip C dengan serotipe C1. Multono
et al tahun 2009 memetakan penyebaran genotipe HVB menjadi 7 zona yang didapat dari
pengumpulan sampel pada 28 kota di Indonesia (REFRAT RONI)
Hepatitis B kronik dapat muncul berupa hepatitis B dengan HbeAg positif atau
HbeAg negatif yang dapat dipakai sebagai pertanda tahap awal infeksi HVB kronis.
Prevalensi HbeAg negative mengalami peningkatan pada dekade terakhir.[6-8]. Morbiditas
dan mortalitas pada HVB kronik sangat terkait dengan tingkat replikasi virus dan perubahan
perjalanan penyakit dari HVB kronik menjadi serosis atau hepatoma. (b73c0)
Studi longitudinal pasien dengan HVB memperlihatkan hasil 5 tahun setelah penyakit
HVB kronik terdiagnosis, kejadian kumulatif perkembangan penyakit menjadi serosis
berkisar antara 8 - 20%, menjadi penyakit hati dekompensasi sekitar 20% dengan probabilitas
kelangsungan hidup 5 tahu berkisar antara 80-86% pada pasien dengan sirosis kompensasi
[4,9-13]. Pasien dengan serosis dekompensasi memiliki prognosis yang buruk dengan
kemungkinan bertahan hidup 5 tahun sekitar 14-35%. Kejadian hepatoma di seluruh dunia
mengalami peningkatan yang sebagian besar disebabkan oleh infeksi HVB dan Infeksi HVC.
Saat hepatoma merupakan keganasan kelima dimana sekitarr 5% dari semua kanker. Kejadian
hepatoma pada infeksi HVB kronik setelah diagnosis serosis ditegakkan berkisar antara 2%
sampai 5%.[13].(b73c0)
sebuah DNA
polimerase transkriptase, genom virus dan protein seluler. Genom terdiri dari molekul dobel
strendit DNA sirkuler (dsDNA) yang terdiri dari 3200 pasang basa panjang. Protein inti dari
virus dikenal dengan HbcAg yang dapat mengalami paska translasi untuk menghasilkan
kation yang akan dimodifikasi menjadi HbeAg. HbeAg merupakan seromarker yang dapat
digunakan untuk menilia tingkat replikasi virus. (patogenesis hbv)
Berbagai interaksi dengan protein selular telah diusulkan sebagai target potensial dari
HBxAg. Selain gen virus yang sudah dikenal, juga terdapat beberapa elemen genetik yang
terlibat dalam
dikodekan oleh gen polimerase [P] yang merupakan pusat penting untuk replikasi virus.
Berbeda dengan virus DNA mamalia, replikasi hepadna virus terjadi melalui transkripsi balik
dari RNA [3,4], pregenomik RNA merupakan strategi sentral bagi kehidupan siklus retrovirus
RNA[1]. Berdasarkan siklus replikasi yang unik dari HVB, strategi terapi antivirus yang
ditujukan untuk transkripsi balik HVB RNA atau sebaliknya HVB transcriptase telah berhasil
digunakan sebagai antivirus untuk mengobati infeksi HBV [5-13]. (patogenesis hbv)
Bukti telah menunjukkan bahwa terjadinya mutasi pada HVB akan menyebabkan
terjadinya perubahan pada manifestasi klinik, perjalanan alamiah penyakit dan resistensi
terhadap pengobatan antivirus yang diberikan. Terjadinya mutasi pada gen inti atau pra cor
(pra-c) akan menyebabkan hilangnya HBeAg
terjadinya peningkatan replikasi virus. Mutasi yang terjadi pada gen transkriptase /
polimerase dapat menyebabkan terjadinya resistensi terhadap obat antivirus. (patogenesis
hbv)
Virus hepatitis B utuh atau partikel Dane merupakan partikel bulat berukuran 42 nm
dengan selubung fosfolipid ( HBsAg) yang memiliki ketebalan sekitar 7 nm, bagian dalam
dari virus merupakan nukleokapsid yang terdiri dari HBcAg. Partikel Dane merupakan virus
yang utuh terdiri dari dua lapisan:
Mayor protein, terdiri dari 226 asam amino, didapatkan dalam dua bentuk berupa
bentuk glikoprotein dengan berat molekul 27 KD (P27) dan bentuk nonglikosilat
molekulnya 33 KD (P33)
Large protein yang merupakan rangkaian 389 - 400 asam amino, terdiri dari 2 bentuk,
berupa bentuk glikoprotein dengan berat molekul 42 kD (P42) dan bentuk
nonglikosilat dengan berat molekul 39 kD (P39).(REFRAT RONI)
7
HBsAg dapat ditemukan pada ketiga macam protein tersebut. Lapisan dalam HVB terdiri
dari satu macam protein core, yang mengandung hepatitis HBeAg, DNA HVB, enzim HVB
seperti enzim DNA Polimerase dan protein phospokinase yang mempunyai kaitan dengan
HBcAg. Genom HVB mempunyai struktur berupa DNA sirkuler dimana sebagiannya berada
dalam keadaan berpasangan (party double-strated DNA). Untaian yang panjang atau L
disebut juga sebagai strand negative, memiliki panjang yang tetap sekitar 3.200 nukletida
sedangkan untaian yang pendek atau S disebut juga strand positif, memiliki mempunyai
panjang bervariasi, sekitar 50-70% dari panjang strand negatif. (REFRAT RONI)
Genom HVB merupakan genom kecil berupa sepasang rantai DNA berbentuk sirkuler
dengan panjang rantai yang tidak sama. Rantai DNA yang panjang disebut rantai DNA L(-)
dengan panjang lebih kurang 3200 nukleotida, sementara rantai yang pendek atau rantai DNA
S (+) memiliki panjang berfariasi sekitar 50 70% dari rantai panjang. Bagian transkripsi
dari rantai L (-) berisi 4 daerah sandi yang besar dan disebut sebagai Open Reading Frames
( ORFs), sedangkan rantai S (+) tidak memiliki ORFs yang tetap. Terdapat 4 ORF yang
terdiri dari ORF-C, ORF-P, ORF-S dan ORF-X. Gen S dan Pre S akan mengkode HBsAg,
gen Pre C dan gen C akan mengkode HBeAg dan HBcAg, gen P akan mengkode DNA
polymerase, sedangkan gen X akan mengkode HBxAg yang berfungsi untuk memacu
ekspresi seluler dari gen virus dengan cara berintegrasi pada daerah gen tertentu pada genom
host.(REFRAT RONI)
Replikasi merupakan proses virus menginfeksi sel yang rentan, memproduksi
berbagai bahan genom dan protein virus, kemudian merakit virus progeny yang infeksius dan
mengeluarkannya dari sel. Replikasi virus berlangsung dalam dua fase, dimulai dengan fase
eklips dimana terjadi perlekatan (adsorbtion), penembusan (penetration) dan pelepasan
selaput pembungkus (uncoating). Kemudian diikuti oleh fase sintesis yang meliputi replikasi
genom HVB, sintesis protein dan pembentukan partikel progeny HVB.(REFRAT RONI)
Perlekatan merupakan proses interaksi yang pertama terjadi antara HVB dengan sel
hepatosit yang terjadi melalui 2 tahap:
HVB kemudian masuk kedalam sitoplasma sel tuan rumah, yang selanjutnya akan diikuti
dengan pelepasan selaput luar HVB yang meliputi pemisahan dan pembebasan genom HVB
dari kapsidnya. Genom HVB yang bebas akan bermigrasi ke dalam inti sel dan mengalami
proses replikasi dimana pada tahap awal akan terjadi transkripsi molekul RNA yang disebut
8
dengan pre-genom. Sebagian pre-genom akan mengalami proses tanslasi, dan sebagian akan
mengalami encapsidated menjadi immature core yang mengandung enzim polimerase. Pregenom, selanjutnya akan mengalami proses transkripsi terbalik dari RNA menjadi negative
stranded DNA oleh enzim polimerase.(REFRAT RONI)
Selanjutnya enzim DNA Polimerase akan mulai pembentukan kembali plus-shanded
DNA dengan menggunakan negative strand sebagai cetakan, DNA HVB dapat tinggal cukup
lama dalam sel hepatosit tuan rumah, sampai menjadi DNA beruntai ganda lengkap, DNA
HVB tersebut akan kembali ke inti sel untuk mengikuti replikasi berikutnya atau akan
meninggalkan sel hepatosit setelah mendapatkan tambahan selaput luar.
Di dalam sel hepatosit, DNA virus dapat berada dalam keadaan bebas maupun
terintegrasi dalam genom hepatosit, kedua keadaan tersebut biasanya tidak terdapat
bersamaan di dalam satu penderita walaupun kedua bentuk tersebut dijumpai pada satu
penderit masing masing bentuk tersebut akan terdapat dalam sel hepatosit yang berbeda.
Rangkaian DNA virus yang terintegrasi ke dalam genom hepatosit, dapat dljumpai
pada penderita penyakit hati kronik dengan maupun tanpa sirosis, penderita hepatoma dan
juga pada beberapa penderita penyakit hati akut. Pada penderita hepatoma yang sudah lanjut
tidak lagi dijumpai DNA HVB bebas dalam hepatosit baik dalam sel tumor maupun sel non
tumor, tetapi semuanya terdapat dalam bentuk terintegrasi. Adanya DNA HVB yang
terintegrasi dalam sel non tumor pada penderita hepatoma, menunjukkan bahwa proses
integrasi mendahului terjadinya keganasan13.
Terlepas dari efek biologis langsung varian HVB seperti yang terlihat pada tabel,
respon kekebalan tubuh host terutama respon dari sel T spesifik terhadap virus merupakan
faktor kunci dalam menentukan proses perjalanan penyakit dan timbulnya penyakit hati.
Tabel: . Varian HVB dan patogenessi potensial infeksi HVB
Sebuah analisis genom RNA yang diperoleh dari beberapa waktu setelah infeksi
HBV pada simpanse menunjukkan bahwa HBV tidak menginduksi gen apapun selama masuk
dan mengekspansi sel hepatosit [99],
dihasilkan oleh sel T akan mengatur gen yang menginduksi pembersihan virus di hati 99].
Sebagai dampak dari respon adaptasi sel T akan terjadi penghambatan terhadap replikasi
virus sehingga dapat mengakhiri proses infeksi, hal ini memperlihatkan perenan penting dari
respon adaptasi sel T terhadap pembersihan virus pada saat infeksi akut [98,100-105].
Beberapa peneliti telah menunjukan bahwa respon efek sitotoksik limposit T terhadap
HVB poliklonal pada pasien HVB akut dapat memberikan penyembuhan yang baik terhadap
infeksi akutnya walaupun masih terdapat sisa virus, rangasangan dari antigen virus yang
tersisa dapat juga membentuk kekebalan yang dapat memberikan kesembuhan penyakitnya
[106]. sebaliknya pada infeksi HVB kronik respon yang diberikan oleh sel T relatif lemah
10
dibanding infeksi akut kecuali pada saat terjadinya flaer atau adanya induksi pemulihan oleh
interferon [101.104].
Maini dkk menemukan adanya peranan respon spesifik sel T CD8 + yang terdeteksi
selama fase infeksi akut, sel T CD8 + akan terakumulasi dalam sel hati dan terdeteksi dalam
jumlah yang tinggi bahkan pada saat telah terjadinya serokonversi HbsAg menjadi anti HBs.
[100, 107]
. Studi pada model tikus transgenik HBV mengungkapkan bahwa, selain menyebabkan
hepatitis virus, respon spesifik sel T, sel NK dapat menekan ekspresi dan replikasi HBV tanpa
menghancurkan sel hepatosit. [104108109]
Berbeda dengan HVB kronik dimana HVB akut memiliki respon kekebalan tubuh
yang lebih kuat yang diperantarai oleh sel T. Pada pasien HVB kronik respon imun dari sel T
lebih lemah [98]. Mekanisme yang berkonstribusi terhadap kegagalan sel T sebagai respon
imun spesifik pada HVB kronik dalam membersihkan virus kemungkinan disebabkan oleh
terjadinya kelelahan dan disfungsi sel T. HBV kronis yang menetap terutama terjadi bila
penularan secara vertikal didapatkan pada saat neonatus dari ibu yang terinfeksi HVB.
Efek imunomodulator dari HBeAg mungkin berperan dalam terjadinya kelelahan dan
kegagalan sel T, keadaan ini terbukti dapat menyebabkan terjadinya toleransi terhadap sel T
pada tikus trans genik yang berperan dalam terjadinya mutasi virus. Terjadinya inaktivasi
mutasi sel B dan epitop sel T telah dibuktikan pada infeksi HBV kronis tetapi jika
dibandingkan dengan HVC mutasi pada HVB lebih sedikit.[101104114].
11
BAB III
PENATALAKSANAAN HEPATITIS VIRUS B KRONIK
(Pengobatan hepatitis) Tujuan pengobatan infeksi HVB kronik adalah menekan
replikasi VHB sebelum terjadi kerusakan hati yang ireversibel. Saat ini, hanya interferon-alfa
(IFN-) dan nukleosida analog yang mempunyai bukti cukup banyak untuk keberhasilan
terapi. Respon pengobatan ditandai dengan menetapnya perubahan dari HBeAg positif
menjadi HBeAg negatif dengan atau tanpa adanya anti-HBe. Hal ini disertai dengan tidak
terdeteksinya DNA-VHB dan perbaikan penyakit hati yang ditandai oleh normalnya nilai
ALT dan perbaikan gambaran histopatologi apabila dilakukan biopsi hati. Umumnya
pengobatan hepatitis B dibedakan antara pasien HBeAg positif dengan pasien dengan HBeAg
negatif karena berbeda dalam respon terhadap terapi dan manajemen pasien.
Pengobatan antivirus hanya diindikasikan pada kasus-kasus dengan peningkatan ALT.
Interferon mempunyai efek antivirus, antiproliferasi dan immunomodulator. Cara kerja
interferon dalam pengobatan hepatitis belum diketahui dengan pasti. Pada pasien dengan
HbeAg positif, pemberian IFN- 3 juta unit, 3 kali seminggu selama 6-12 bulan dapat
memberi keberhasilan terapi yang ditandai dengan hilangnya HBeAg yang menetap pada 30
40 % pasien. Pasien dengan HBeAg negatif, respon terapi dengan melihat perubahan
HBeAg tidak bisa digunakan. Untuk pasien dalam kelompok ini, respon terapi ditandai
dengan tidak terdeteksinya DNA-VHB dan normalisasi ALT yang menetap setelah terapi
dihentikan. Respon menetap dapat dicapai pada 15 25% pasien.
Penggunaan interferon juga dapat menghilangkan HBsAg pada 7.8% pada pasien
dengan HBeAg positif dan 2 8% pada pasien dengan HBeAg negatif. Hilangnya HBsAg
tidak tercapai pada penggunaan lamivudin. Penggunaan pegylated-interferon alfa 2a selama
48 minggu pada pasien hepatitis B kronik dengan HBe-Ag negatif setelah 24 minggu followup 59 % pasien menunjukkan transaminase normal dan 43 % dengan DNA VHB yang rendah
(< 20.000 copy/mL) dibandingkan dengan pasien yang mendapatkan lamivudine saja (44 %
dengan transaminase normal dan 29 % dengan DNA VHB rendah).
Lamivudin kurang menimbulkan efek samping dibandingkan dengan inteferon dan
dapat digunakan per oral sehingga lebih praktis untuk pasien. Lamivudin digunakan dengan
12
dosis 100 mg per hari, minimal selama 1 tahun. Kebehasilan terapi dengan menghilangnya
HbeAg dicapai 16-18% pasien. Angka keberhasilan terapi dapat lebih besar bila jangka waktu
pengobatan ditambahkan namun risiko timbulnya mutasi virus mutan juga menjadi lebih
besar yang dapat menghambat keberhasilan terapi. Studi jangka panjang penggunaan
lamivudin dapat menurunkan angka kejadian komplikasi HVB berat. Studi semacam ini
belum ada pada interferon walaupun angka keberhasilan serokonversi lebih besar dari pada
lamivudin dan nukleosida analog lain seperti adefovir. Adefovir memberikan keberhasil
terapi yang sama dengan lamivudin tetapi kurang menimbulkan mutan sehingga dapat
digunakan apabila ditakutkan akan timbulnya mutasi virus atau apabila pada penggunaan
lamivudin sudah timbul mutasi virus. Entecavir memberikan angka keberhasilan serokonversi
yang hampir sama dengan lamivudin.
13
ini juga ditemukan pada percobaan lain yang lebih besar dengan menggunakan sampel pasien
HVB kronik dengan HbeAg negatif dan HbeAg positif. (12).
Pada uji klinis kedua, dosis tinggi ADV harian sebesar 30 mg juga digunakan dan
ditemukan terkait dengan insiden yang lebih tinggi gangguan ginjal ringan dan reversibel
dibandingkan dengan kedua plasebo dan 10 mg dosis ADV (12). Relatif lebih tinggi ADV
dosis (60 atau 120 mg sehari) juga telah dilaporkan dikaitkan dengan peningkatan risiko
nefrotoksisitas setelah 20 minggu atau lebih pemberian terapi (13). Berdasarkan temuan dan
kemanjuran yang serupa antara ADV dosis 10 mg dan 30 mg pada pasien HVB kronik
HBeAg-positif (12), 10 mg dosis ADV telah dipilih untuk menjadi dosis pilihan untuk
pengobatan baik HVB kronik HBeAg-positif dan HBeAg-negatif. Dosis ADV 10 mg dapat
dengan aman diberikan bahkan pada pasien dengan gangguan hati atau ginjal ringan dan
dosis penyesuaian direkomendasikan hanya untuk pasien dengan bersihan kreatinin kurang
dari 50 mL / menit dan pasien yang memerlukan hemodialisis (14). ADV juga telah terbukti
tidak memiliki interaksi yang signifikan dengan obat lain (15).
Sebuah temuan yang sangat menarik dari dua percobaan besar yang menggunakan
ADV adalah bahwa tidak ada bukti resistensi terhadap ADV terdeteksi selama masa
pengobatan 48 minggu (11,12). Bahkan, resistensi virus untuk ADV belum terdeteksi bahkan
pada pasien mengonsumsi obat sampai 136 minggu (16). ADV juga telah dievaluasi untuk
pengobatan resisten terhadap lamivudine strain mutan HVB YMDD dengan hasil awal secara
in vitro yang sangat menjanjikan (17,18).
Pada uji klinis terakhir baik HVB kronik HBeAg-positif dan - HVB kronik HBeAg
negatif dengan serosis dekompensasi atau pasien transplantasi dengan resistensi terhadap
lamivudine, pemberian ADV terbukti dapat ditoleransi dengan baik dan untuk mencapai
pengurangan yang signifikan kadar serum HBV DNA serta perbaikan fungsi hati dan skor
Child-Pugh (19-22). ADV ditemukan memiliki khasiat antivirus yang sama terhadap semua
jenis strain mutan resisten lamivudine YMDD HBV (23). Data terakhir juga menyarankan
bahwa pemberian monoterapi ADV dapat mencapai penghambatan replikasi yang sama
strain virus mutan YMDD seperti yang peroleh bila memberikan kombinasi ADV ditambah
lamivudine. Dalam sebuah uji coba secara acak termasuk pasien HVB kronik dengan
HBeAg-positif yang resisten terhadap lamivudine, pengurangan kadar serum HBV-DNA dan
proporsi pasien dengan kadar ALT yang normal tidak secara signifikan berbeda setelah 16
minggu pemberian monoterapi ADV (10 mg per hari) atau kombinasi ADV (10 mg per hari)
14
dan lamivudine (100 mg setiap hari) (24). Selain itu, mempertahankan terapi lamivudine
tampaknya dapat menunda atau mencegah terjadinya mutasi baru pada strain virus mutan
YMDD, yang sering diamati pada pasien yang diobati dengan ADV saja (25). Apakah
pemberian monoterapi ADV memiliki khasiat yang sama dengan kombinasi ADV dan
lamivudine untuk pengobatan pasien HVB kronik dengan HBeAg-negatif dengan resistensi
terhadap lamivudine masih harus dievaluasi.
Meskipun ADV lebih unggul dibandingkan plasebo pada pengobatan HBeAg-negatif
pasien hepatitis B kronis, tetapi masih terdapat sekitar 30% dari mereka memperlihatkan
peningkatan aktivitas biokimia setelah 48 minggu (11). Selain itu, tidak ada data mengenai
frekuensi kekambuhan yang dapat dinilai dengan melihat respon virologi dan biokimia
setelah 1 tahun atau lebih berhenti dari pengobatan ADV pada pasien HVB kronik dengan
HbeAg negatif, sama halnya dengan terapi lamivudin yang dimana tidak ada bukti
pembersihan HbsAg setelah monoterapi ADV maka oleh karena itu pemakaian terapi jangka
panjang mungkin akan diperlukan dalam rangka mempertahankan remisi pada pasien HVB
kronik dengan HbeAg negatif.
Data tentang kemanjuran terapi jangka panjang ADV tersedia hanya dari satu studi
fase II yang menggunakan sampel sebanyak 39 pasien dimana HVB kronik dengan HBeAgpositif sebanyak 28 pasien dan HBeAg-negatif sebayak 11 pasien (26). Dalam studi ini,
jangka waktu pemberian ADV selama 24 32 bulan didapatkan hasil ADV memiliki
aktivitas antivirus yang berkelanjutan pada pasien HVB kronik dengan HBeAg-positif dannegatif tanpa terjadinya toksisitas yang signifikan dan tanpa bukti resistensi virus (26).
Entecavir
Entecavir adalah analog karboksilat dari guanosin dengan penghambatan ampuh dan
selektif pada semua HBV polimerase fungsi, yaitu priming dan pembentukan dari kedua untai
negatif dan positif (27). Data awal menyarankan bahwa entecavir diberikan bahkan dalam
dosis rendah 0,1 mg sehari menekan replikasi HBV memuaskan di treatmentnave atau
lamivudine tahan hepatitis B kronis pasien (28,29). Dalam sebuah studi dosis mendefinisikan
tahap II, yang entecavir administrasi sehari-hari 0,1 mg dan 0,5 mg ditemukan untuk
mencapai penghambatan yang lebih besar pada HBV replikasi dibandingkan dengan 100 mg
lamivudine, sedangkan dosis entecavir dari 0,01 mg ditemukan suboptimal (30). Hasil uji
coba klinis besar dari terapi entecavir pada pasien dengan HBeAg-positif (n = 121) ataunegatif (N = 60) hepatitis B kronis dan resistensi terhadap lamivudine-baru ini
15
dipresentasikan (31). Dalam hal ini, double-blind, uji coba secara acak, 3 dosis entecavir (0,1
mg, 0,5 mg dan 1,0 mg sehari) dibandingkan dengan terus lamivudine terapi dalam dosis
harian 100 mg biasa. Pada 24-minggu, titik akhir primer penelitian [serum HBV-DNA tidak
terdeteksi oleh Chiron DNA bercabang (bDNA) assay] dicapai pada sekitar 75% dari pasien
yang diobati dengan dosis 1,0 mg tinggi entecavir dan 50% dari mereka yang dirawat dengan
0,5 mg entecavir dosis (P = 0,012). Kedua dosis secara signifikan lebih unggul dibandingkan
dengan dosis 0,1 mg entecavir rendah atau kelanjutan dari lamivudine, yang mencapai tidak
terdeteksi oleh bDNA serum HBV-DNA hanya sekitar 15% kasus (P <0,001 untuk
perbandingan antara 1,0 mg atau dosis 0,5 mg dari entecavir dengan lamivudine). Serum
median HBV-DNA penurunan di 24-minggu dibandingkan dengan tingkat awal adalah 4,4
log, 3,9 log dan 2,0 log untuk 1,0 mg, 0,5 mg dan 0,1 mg dosis entecavir masing-masing dan
0,9 log untuk kelanjutan dari lamivudine, namun HBVDNA clearance oleh PCR diamati pada
hanya 17% dalam 1,0 mg dan 9% pada kelompok dosis 0,5 mg entecavir dan dalam 2% pada
kelompok lamivudine (31). Kemanjuran antivirus dari entecavir tampaknya dikaitkan dengan
jenis mutasi awal YMDD (31). Secara khusus, penurunan tingkat DNA HBV lebih besar pada
pasien dengan strain mutan HBV dengan isoleusin pada posisi 552 (M552I), atau dengan
valin pada posisi 552 (M552V) dan seiring metionin pada posisi 528 (L528M) dibandingkan
dengan mereka yang hanya mutasi M552V, sementara tanggapan virologi yang sangat
bervariasi yang diamati pada kasus dengan baik M552I dan mutasi L528M. Remisi Biokimia
di 24-minggu adalah diamati pada sekitar 60% dari pasien yang diobati dengan dosis 0,5 mg
entecavir, 40% dari mereka yang dirawat dengan 1,0 mg dan 0,1 mg entecavir dosis dan
hanya 20% dari mereka yang dirawat dengan lamivudine (31). Entecavir pada semua dosis
harian 0,1-1,0 mg ditemukan dapat ditoleransi dengan baik dan dengan profil keamanan yang
baik mirip dengan lamivudine (31). Hasil efikasi entecavir pada 48 minggu dalam penelitian
ini sekarang ditunggu. Atas dasar hasil yang menjanjikan dalam hal kemanjuran entecavir dan
keamanan, obat ini sedang evaluasi dalam uji fase III yang terdiri dari kedua HBeAg-positif
dan HBeAg-negatif hepatitis B kronis baik pengobatan naif atau resisten lamivudine pasien.
Dalam kasus HBeAg-negatif hepatitis B kronis, telah diklaim bahwa target entecavir terapi
adalah untuk menginduksi remisi berkelanjutan setelah menghentikan Tentu saja durasi
didefinisikan.
Emtricitabine
Emtricitabine (FTC) adalah turunan 5-fluorinated dari lamivudine (32). Hal ini
membutuhkan aktivasi oleh intraseluler fosforilasi dan hasil dalam penghambatan replikasi
16
HBV ampuh (32). Kelemahan kemungkinan ini agen adalah bahwa hal itu mungkin akan
tidak aktif terhadap lamivudine YMDD resisten mutan HBV strain dan penggunaannya dapat
berhubungan dengan perkembangan serupa strain resisten HBV (33). Data kursus 48 minggu
terapi emtricitabine dalam 21 pasien dengan HBeAg-negatif hepatitis B kronis baru-baru ini
dilaporkan (34). Emtricitabine diberikan pada dosis harian 25 mg (n = 10), 100 mg (n = 4)
atau 200 mg (n = 7) dan mencapai penurunan HBV-DNA rata-rata 2,5-2,7 log terlepas dari
dosis obat. Dalam hal ini penelitian kecil pendahuluan, 95% (20/21) pasien memiliki ALT
normal dan 76% (16/21) undectable serum HBVDNA oleh Digene II assay (sensitivitas: 4700
cp / mL) (34). Emtricitabine saat ini dievaluasi dalam fase III uji klinis untuk pengobatan
pasien dengan HBeAg-negatif hepatitis B kronis
Clevudine
Clevudine adalah analog pirimidin yang bertindak melalui trifosfat yang menghambat
polimerase bentuk HBV-DNA (35). Hasil awal dari fase I / II dosis eskalasi 4-minggu studi
terapi clevudine pada pasien dengan HBeAg-positif hepatitis atau-negatif B kronis yang
dilaporkan baru-baru ini (36). Clevudine diberikan pada setiap hari dosis 10 mg (n = 5), 50
mg (n = 10) dan 100 mg (n = 10). Pada akhir masa studi 4-minggu, 2 log pengurangan
dalam serum HBV-DNA tingkat diamati di lebih dari 70% pasien terlepas dari obat dosis,
sementara 3 log HBV-DNA penurunan diamati relatif lebih sering dalam dosis 100 mg
clevudine kelompok. Selain itu, ada beberapa derajat efek antivirus berkelanjutan, karena
rata-rata serum HBV DNA masih di bawah tingkat dasar selama periode 6 bulan setelah akhir
kursus clevudine 4-minggu (36).
L-nukleosida
L-nukleosida, yang merupakan nukleosida alam di BL konfigurasi-mereka, mewakili
kelas baru agen dievaluasi dalam pengobatan hepatitis B kronis Mereka termasuk Ldeoxythymidine (L-dT), L deoxycytidine (LDC), dan L-deoxyadenosine (L-dA). Semua Lnukleosida telah terbukti memiliki ampuh, selektif dan spesifik penghambatan aktivitas
terhadap hepadnaviruses (37). Sebuah terbaru dalam penelitian in vitro, bagaimanapun,
menyarankan bahwa L-dT dan LDC mungkin akan tidak aktif terhadap lamivudine YMDD
resisten mutan HBV strain (38). Hasil awal dari studi 4-minggu eskalasi dosis L-dT dalam 30
HBeAg-positif hepatitis B kronis pasien dilaporkan baru-baru ini (39). L-dT diberikan pada
dosis harian 25 mg, 50 mg, 100 mg, 200 mg, dan 400 mg dan menemukan untuk mencapai
2,4-3,6 log rata-rata penurunan dalam serum HBV-DNA tingkat tanpa signifikan atau dosis
17
toksisitas terkait (39). Ada kecenderungan untuk hubungan antara dosis L-dT dan
keseluruhan pengurangan dalam serum HBV-DNA tingkat (yang 800 mg L-dT dosis
ditampilkan kemudian untuk mencapai 4 log HBV-DNA drop) dan efek dosis antivirus yang
kuat terkait pada tahap kedua clearance HBV (antara minggu 1 dan 4) yang disarankan untuk
mencerminkan penurunan absolut dari hepatosit yang terinfeksi (40). Klinis Fase III uji L-dT
terapi untuk HBeAg-positif dan-negatif hepatitis B kronis sedang berlangsung.
Mekanisme utama dari tindakan semua (t) nucleos analog ide adalah persaingan dengan
nukleosida alami trifosfat untuk dimasukkan ke dalam DNA virus oleh polimerase HBV dan
dengan demikian berakhirnya pemanjangan rantai DNA HBV dan penghentian replikasi HBV
(41). Semua agen memiliki sedikit, jika ada, efek pada DNA sirkular kovalen tertutup
(cccDNA) (42) dan karena pembersihan dapat cccDNA dicapai hanya secara tidak langsung
oleh kematian hepatosit yang terinfeksi (43). Kombinasi dari HBV yang tinggi replikasi
tingkat dan tingkat kematian yang lambat hepatosit yang terinfeksi (44) menunjukkan bahwa
terapi antivirus berkepanjangan diperlukan dalam rangka untuk memberantas HBV (45),
terutama di pasien HBeAg-negatif hepatitis B kronis dengan penyakit lama dan persentase
besar hepatosit yang terinfeksi oleh virus (46). Seperti yang ditunjukkan dengan lamivudine
terapi, efektivitas jangka panjang pengobatan dengan analog nukleosida mungkin akan
semakin menurun karena munculnya HBV yang resistan terhadap strain mutan dengan
perubahan dalam struktur HBV polimerase sehingga afinitas dikurangi dengan obat (45).
Semua retrovirus termasuk pameran HBV peningkatan laju munculnya mutasi karena kedua
omset load yang tinggi dan tingkat kesalahan tinggi virus dan karena itu polimerase HBV
yang resistan terhadap strain mutan diharapkan muncul dan dipilih pada pasien dengan
infeksi HBV kronis diobati dengan analog nukleosida, mirip dengan apa yang telah diamati
sebelumnya pada pasien dengan infeksi HIV (47). Jika temuan menjanjikan adanya resistensi
virus setelah terapi ADV dikonfirmasi (16), ini akan menjadi keuntungan besar dari agen ini,
yang mungkin menjadi pilihan perawatan jangka panjang pemeliharaan setidaknya di-terapi
remisi pada pasien dengan HBeAg-negatif hepatitis kronis B. Perkembangan terakhir dari
semua yang baru dan kuat anti-HBV agen segera menawarkan kepada hepatologists banyak
pilihan terapi terhadap HBV. Penggunaan luas dari lamivudine dalam hepatitis B kronis
selama 3-4 terakhir tahun, bagaimanapun, telah mengakibatkan peningkatan konstan pasien
dengan HBV YMDD strain mutan, yang pengobatan mungkin tugas yang paling mendesak
untuk praktek anti-HBV saat klinis (45). Baik Adefovir dan entecavir tampaknya efektif
terhadap strain YMDD seperti mutan HBV dan program akses terbuka dengan Adefovir telah
18
mulai di pusat hati di seluruh dunia. Data dari uji klinis fase III menunjukkan bahwa
Adefovir, yang mungkin yang pertama dari agen ini akan tersedia di pasar dunia, juga efektif
terhadap HBV YMDD strain liar, sementara entecavir dan agen baru lainnya sedang
dievaluasi dan akan mungkin ditemukan efektif terhadap strain HBV tersebut. Namun,
apakah pengobatan jangka panjang dengan salah satu baru ini nucleos (t) ide analog dapat
menginduksi berkelanjutan di-atau off-respon terapi setidaknya dalam proporsi HBeAgnegatif pasien hepatitis B kronis atau apakah kombinasi dari agen-agen atau obat-obatan
dengan mekanisme yang saling melengkapi aktivitas antivirus yang diperlukan untuk
pencegahan resistensi HBV dan / atau induksi respon yang berkelanjutan saat ini tidak
diketahui.
19
20
didalam darah
Mencapai kadar ALT yang normal.
Pasien HVB kronik dengan HBeAg-positif adalah calon penerima terapi antivirus jika
kadar HBV DNA 105 kopi / mL (10, 15). Pasien dengan HBV DNA < 10 5 kopi / mL harus
dilakukan pemantauaan setiap 3 bulan pada tahun pertama dan setiap 6 12 bulan pada tahun
berikutnya. Jika > 105 kopi / mL perlu dipertimbangkan pemberian pengobatan antivirus
berdasarkan kadar ALT dan hasil biopsi hati. Pasien dengan kadar SGPT lebih dari 2 kali nilai
normal adalah calon untuk menerima karena mereka memiliki kemungkinan lebih tinggi
serokonversi. 28, 29 Pasien yang kadar ALT di bawah 2 kali nilai normal harus lebih
dipantau lagi atau dilakukan konfirmasi dengan biopsi hati. Jika didapatkan hasil biopsi
berupa gambaran nekroinflamasi yang moderat, maka pengobatan dapat dimulai.
Pemantauan pada pasien dengan kadar ALT yang tinggi selama 3-6 bulan adalah wajar
untuk memungkinkan serokonversi HBeAg secara spontan,
bilirubin serum yang tinggi atau terdapat bukti terjadinya dekompensasi hati maka harus
sesegera mungkin memulai pemberian terapi anti virus. Demikian pula, pada pasien dengan
sirosis dekompensasi, pengobatan harus dimulai sesegera mungkin untuk mencegah risiko
dekompensasi lebih lanjut.
Saat ini ada 3 obat yang disetujui untuk pengobatan lini pertama pada HVB kronik
sedang sampai: interferon (IFN), lamivudine, dan Adefovir dipivoxil. IFN dapat diberikab
secara subkutan selama 4-6 bulan, dapat diberikan dalam bentuk dosis harian sebesar 5 juta
unit / hari atau 3 kali per minggu dengan dosis 10 juta unit.
Pada studi meta-analisis pada 15 uji klinis, IFN menyebabkan penekanan HBV DNA
pada 37% dari subjek, hilangnya HBeAg pada 33% dari subyek, dan 18% lebih mengalami
serokonversi HBeAg menjadi anti HBe jika dibandingkan dengan plasebo. 30 respon dari
21
pengobatan juga dapat dilihat berupa penurunan kadar ALT dan HBV DNA. 31 Observasi yang
dilakukan di Asia sering ditemukan respon berupa kadar ALT normal tetapi kadar HBV DNA
tetap tinggi hal ini menandakan respon yang kurang baik dari terapi IFN.29,30,31
Satu aspek yang menguntungkan pengobatan IFN adalah daya tahan nya setelah respon
terapi tercapai, berupa tidak terjadinya kekambuhan terhadap HbeAg pada 80-90% dari kasus
selama tahun 4-8 mulai penghentian terapi.
32
Eropa, telah diamati pada 5-10% pada tahun pertama pengobatan dan sampai 25% dari pasien
setelah 5 tahun pengotan.
33, 34
merugikan sepereti flu, kelelahan, anoreksia, depresi, dan leukopenia.35 European Association
for the Study of the Liver (EASL) menyatakan pemberian terapi IFN merupakan terapi lini
pertama pada HVB kronik keculai bila sudah terjadi serosis.9
Dibandingkan dengan IFN, lamivudine dapat memberikan hasil pengobatan yang serupa
dengan IFN dengan keuntungan efek sampin dan biaya yang lebih sedikit dari IFN.
Lamivudine diberikan secara oral pada dosis 100 mg per hari. Pengobatan dengan lamivudin
dapat memperbaiki kelainan histopatologi, dengan serokonversi HBeAg menjadi anti HBe
pada 16-18% pasien setelah 1 tahun terapi dan 50% pasien setelah 5 tahun, dengan
normalisasi kadar ALT pada 41-72% pasien, dan penekanan HBV DNA pada 44% pasien
yang diobati, dan daya tahan rsepon terapi adalah 77 % setelah 3 tahun pengobatan
.36-38
Kadar ALT
Normal
Strategi Pengobatan
Tidak ada pengobatan
Memantau setiap 6-12 bulan *
Pertimbangkan pemberian terapi
pada pasien dengan kelainan
histologis yang siknifikan bahkan
dengan tingkat replikasi yang
rendah.
Positif
10 5
Normal
Adefovir
Pertimbangkan pengambilan biopsi
hati; jika akan mengobati
penggunaan lamivudine atau
adefovir lebih disukai (lebih kuat
menekan infeksi HVB dan lebih
sedikit efek samping yang
ditimbulkan)
Positif
10 5
Tinggi
(*) Setelah diagnosis awal, setiap 3 bulan selama 1 tahun untuk memastikan stabilitas.
Keterbatasan utama untuk lamivudine adalah perkembangan resistensi, yang
meningkatkan selama pemberian terapi, khusus mutasi yang terkait dengan terapi lamivudine
terjadi pada tirosin-metionin-aspartat-aspartat (YMDD) yang merupakan bagian dari gen P
HVB yang berhubungan dengan aktifitas dari DNA polimerase. Mutasi ini terjadi sebagai
akibat tekanan selektif dari antivirus L-nukleosida analog seperti lamivudine. Setelah 1 tahun
terapi, kejadian resistensi ini ditemukan sebesar 14-32 %, yang akan meningkat menjadi 69
% setelah 5 tahun pengobatan.
37, 39
23
jangka panjang ditandai dengan peningkatan kadar ALT yang mengarah ke kadar sebelum
pemberian terapi, peningkatan kadar HBV DNA dan tampilan klinis dari penyakit HVB
kronik yang makin memburuk, dapat terjadi hepatitis flare dan dekompensasi.
Sebuah studi histologi hati pada 63 pasien, pemberian lamivudin dapat memperbaiki
kelainan histologi dengan menunjukkan gambaran perbaikan pada 77% kasus setelah 3 tahun
dan 5% mengalami perburukan. Pada pasien yang mengalami resistensi lamivudine, hanya
45% menunjukkan perbaikan setelah 3 tahun sedangkan 14% menunjukkan perburukan
gambaran histologi. 40
Ada 4 pilihan manajemen jika terjadi resistensi lamivudine. Pilihan pertama
melanjutkan lamivudine, yang mungkin dapat dipertimbangkan jika ALT dan kadar HBV
DNA tetap rendah. Pilihan kedua menghentikan pengobatan dan monitor kemungkinan
terjadinya hepatitis flare atau dekompensasi. Pilihan ketiga, yang paling umum digunakan,
adalah untuk menghentikan lamivudine dan memulai terapi Adefovir. Pilihan keempat
menambahkan Adefovir bersama lamivudine dalam pengobatan. Tidak ada peningkatan
hubungan dengan kejadian hepatitis flare atau dekompensasi jika menghentikan atau
meneruskan lamivudine.41 Pilihan ketiga merupakan pilihan yang paling standar pada pasien
imunokompeten, sedangkan pilihan keempat merupakan pilihan yang dapat dipakai pada
pasien yang mengalami imunosupresi atau pasien serosis.15 Kombinasi terapi merupakan
pilihan pada HVB kronik yang mengalami mutasi tetapi strategi ini bukan merupakan suatu
strategi standar.
Adefovir dipivoxil adalah prodrug dari Adefovir, yang merupakan nukleotida analog,
bekerja menghambat menghambat perkembangan infeksi HVB melalui penghambatan
aktifitas transcriptase dan DNA polimerase. Adefovir baik untuk menormalkan kadar ALT,
mengurangi serum HBV DNA, memperbaiki kelainan histologi dan menyebabkan
seroconverting HBeAg lebih dari 1 tahun terapi.
Dalam suatu studi didapatkan 21 % dari pasien yang diobati dengan adefovir
menunjukkan hilangnya HBV DNA dan hilangnya HBeAg pada 24% sampel setelah 1 tahun
pengobatan, 44% sampel kehilangan HBeAg setelah 72 minggu, 12% dari HBeAg
mengalami serokonversi setelah 1 tahun, dan 23% dari HbeAg mengalami serokonversi
setelah pada 72 minggu, 48 % sampel mengalami kadar ALT yang normal setelah 1 tahun,
dan 75% mengalami kadar ALT normal setelah 72 minggu, 53 % menunjukkan perbaikan
histologis setelah 1 tahun. 42
Adefovir dapat ditoleransi dan memiliki propil keamanan yang sama dengan plasebo.
Kejadian nefrotoksisitas diamati pada pemberian dosis 10 mg setelah 1 tahun pengobatan
24
pada penerima transplantasi hati dan serosis dekompensata, tetapi tidak pada pasien lain.
42-44
pengobatan dengan adefovir tidak menyebabkan terjadinya resistensi obat setelah pemberian
terapi selama 1 tahun, namun resistensi dipastikan dapat terjadi pada 2 % pasien yang sudah
mendapatka pengobatan selama 2 tahun, dan sekitar 4 % pasien mengalami resisten setelah
mendapatkan pengobatan lebih dari 3 tahun.
Terdapat 2 jenis mutasi yang terjadi akibat pemakaian adefovir yaitu mutasi pada
N236T dan A181V dimana kedua mutasi ini tidak ditemukan pada pemakaian lamivudin
bahkan virus yang mengalami mutasi pada N236T dan A181V sensitif terhadap lamivudin.
45
Adefovir dapat mengobati baik tipe liar HVB dan HVB kronik yang resisten terhadap
lamivudine. Adefovir dapat menggantikan lamivudin atau dikombinasikan dengan
lamivudine terutama pada saat terjadinya resisten terhadap lamivudin, tetapi pada umumnya
pasien sering beralih dari pemakaian lamivudin ke adefovir.
Pemakaian adefovir monoterapi jika dibandingkan dengan kombinasi bersama
lamivudin pada pasien serosis kompensata menunjukan penekana yang sama terhadap
replikasi virus.46 karena pemakaian adefovir jarang menimbulkan resisten maka lama
pemberian obat yang optimal sampai saat ini belum jelas, berdasarkan pengalaman
pemakaian lamivudine, mungkin masuk akal pemberian adefovir dapat diteruskan selama 36 bulan setelah terjadi serokonversi dari HbeAg menjadi anti HBe. Penelitian 3 tahun terakhir
menunjukan terjadinya serokonversi HbeAg manjadi anti HBe pada 91% pasien yang
mendapatkan terapi kombinasi lamivudin dengan adefovir.47
Setelah pengobatan dengan lamivudine atau Adefovir, tes yang harus dilakukan setiap
6 bulan adalah mengefaluasi kadar ALT, HBV DNA, HBeAg, dan anti-HBe. Setelah HBeAg
mengalami serokonversi jadi anti HBe pengobatan dapat dilanjutkan selama 3-6 bulan. Pada
pasien serosis untuk menghentikan terapi, bukan serokonversi HbeAg yang dinilai tetapi
menilai tidak terdeteksinya HBV DNA dengan pemeriksaan PCR. 10
Pasien yang gagal mengalami serokonversi harus tetap mendapatkan terapi lamivudin
atau adefovir tanpa batasan waktu. Ketika muncul resistensi lamivudine, maka lamivudin
dapat diganti dengan adefovir atau diberikan terapi kombinasi lamivudin dengan adevovir.
Setelah penghentian pengobatan harus dilakukan pemantauan kadar, ALT, HBV DNA,
HBeAg dan anti-HBe setiap 3 bulan selama 1 tahun untuk menilai daya tahan dan HbsAg
harus diperiksa sekali setahun.
25
26
3.2. Pengobatan Hepatitis Virus B Kronik Dengan HBeAg negatif (diagnosis dan manajemen
HBV / pengobatan HBV HbeAg negatif 1 )
Tujuan terapi pada pasien dengan HBeAg-negatif hepatitis B kronis adalah untuk
menekan replikasi HBV DNA serendah mungkin, menormalkan kadar ALT. Dibandingkan
dengan Pasien HBeAg-positif, pasien dengan HBeAg-negatif sering memerlukan pengobatan
yang lebih lama baik dengan menggunakan terapi IFN maupun penggunaan preparat oral
lainnya. Meskipun HBeAg-positif dianggap memiliki kemampuan replikasi virus yang tinggi
namun kejadian serosis lebih sering ditemukan pada pasien dengan HbeAg negatif
dibandingkan pasien HbeAg positif, dengan tingkat kejadian tahunan berkisar antara 8-10%
banding 2-5%. 9 Sementara kadar ambang ALT untuk memulai pengobatan pada pasien HVB
kronik
mungkin
sama
seperti
pada
pasien
dengan
HBeAg-positive,
dengan
mempertimbangkan bahwa kadar ALT lebih sering berfluktuasi dan nilai standar HBV DNA
lebih atau sama dengan 10 4 kopi / mL. Seperti yang terlihat pada tabel, Hal ini didasarkan
pada temuan bahwa sekitar 50% dari pasien HVB kronik dengan HbeAg negatif memiliki
kadar HBV DNA kurang dari 10 5 kopi / mL tetapi masih memiliki penyakit hati aktif. 11
Interferon, lamivudin dan Adefovir semuanya merupakan obat antivirus lini pertama
untuk HVB kronik dengan HBeAg-negatif, tetapi Adefovir lebih disukai dari pada
27
lamivudine sebagai agen oral pilihan karena kebutuhan untuk terapi jangka panjang dan lebih
rendah tingkat resistensi. Pada HVB kronik dengan HBeAg-negatif, kejadian relaps sering
ditemukan ketika salah terapi oral dihentikan, akibatnya lama pemberian terapi yang optimal
tidak jelas. Pada pasien HVB kronik dengan HbeAg negatif 40 90 % respon dengan terapi
IFN pada akhir bulan ke 6, namun setelah terapi dihentikan, tingkat kejadian relaps berkisar
antara 30 90 %. Pasien yang menjalani perawatan selama lebih dari 12 bulan menunjukkan
ketahanan yang lebih baik dan memiliki kesempatan 32% kehilangan HBsAg.
48
pasien
51-53
terapi dihentikan atau mengalami resistansi jika terapi dilanjutkan. Hanya 40% akan
mempertahankan tingkat ALT yang normal dan penurunan kadar HBV DNA setelah 30
bulan.
Tabel III .- Rekomendasi untuk pengobatan: pasien HBeAg-negatif. Dari Keeffe et al. 10
Status
HBV DNA
Kadar ALT
HBeAg
Negatif
<10 4
Normal
Strategi Pengobatan
Negatif
Negatif
10 4
10 4
Normal
Tinggi
diketahui
penyakit
signifikancant
bahkan
jika
IFN, Adefovir
Pertimbangkan
jika penyakit
Adefovir, lamivudine atau IFN adalah
pilihan pertama
Pengobatan
jangka
biopsi;
mengobati
panjang
tingkat resistensi)
(*) Setelah diagnosis awal, setiap 3 bulan selama 1 tahun untuk memastikan stabilitas. terapi.
Resistensi lamivudine meningkat dari 19-27% pada tepai lebih dari 1 tahun, 60% pada
terapi selama 4 tahun. 53, 54 Resistensi lamivudine dapat meningkatkan morbiditas dengan
meningkatkan risiko hepatitis flare dan episode dekompensasi. Adefovir memiliki risiko
rendah terjadinya resistensi obat. Pemberian terapi Adefovir selama 1 tahun meningkatkan
perbaikan histologis pada 64% pasien dibanding plasebo sebesar 33%. Adefovir juga
menunjukkan penekanan HBV DNA kurang dari 400 kopi / mL pada 51% paisen yang
diobati. Kadar ALT normal ditemukan pada 72% dari pasien yang mendapatkan terapi
dibandingkan dengan 29% pasien yang mendapat plasebo. 55
Pasien dengan HBV DNA yang tidak terdeteksi dan kadar ALT normal meningkat dari
46% setelah 48 minggu menjadi 51% setelah 96 minggu pada pasien yang tetap mendapatkan
terapi. Terdapat hasil yang signifikan terhadap penurunan HBV DNA dan kadar ALT serum
3% setelah 96 minggu terapi pada pasien yang berhenti dari terapi adefovir.56 Adefovir oral
lebih disukai sebagai terapi lini pertama untuk HVB kronil dengan HBeAg- karena tingkat
resistensinya rendah.
Seperti pengobatan pada pasien HBeAg-positif, lama waktu optial pemberian obat
dan lama daya tahan respon setelah pemberian terapi belum dapat disepakati, oleh karena itu
perlu dilakukan pemantauan respon pengobatan setiap 6 bulan dengan menilai kadar HBV
DNA dan kadar ALT.
57
DNA 1 log atau lebih, yang diikuti oleh peningkatan kadar ALT, menunjukkan telah
terjadinya resistensi terhadap lamivudin.
Pemberian adefovir harus dimulai sesegera mungkin untuk menghindari terjadinya
progresifitas kerusakan hati dan mencegah terjadinya kejadian eksaserbasi. Untuk memulai
terapi adefovir harus diperhatikan status kekebalan tubuh pasien dan derajat kerusakan hati.
monoterapi Adefovir memiliki
Sebuah terapi potensial di masa depan pada pasien HVB kronik dengan
29
alfa-2a,
peginterferon
alfa-2a
ditambah
lamivudine,
dan
59
HBV DNA di bawah 400 kopi / mL adalah masing masing 19%, 20% dan 7%,
pada 3 kelompok pengobatan. Peginterferon ditoleransi dengan frekuensi rendah
penekanan (3% dan 4%).
penggunaan dosis tinggi interferon tidak berkaitan dengan peningkatan respon virologi. 106
pengobatan IFN- jangka panjang dan
merangsang respon biokimia yang berkelanjutan pada sekitar 18% pasien dan juga ada
kesempatan baik untuk hilanggya HbsAg dan terjadinya serokonversi HbsAg menjadi antiHBs.107
Pengobatan HVB kronik HBeAg-negatif dengan lamivudine mencapai respon virologi
dan biokimia lengkap pada akhir bulan ke 6 pengobatan dengan periode pengobatan selama
12 bulan pada 2/3 pasien.15, 18,81 terjadinya peningkatan nekroinflammasi di hati diamati dalam
proporsi yang sama pada yang mendapatkan interferon dan lamivudin tetapi kecepatan relaps
setelah terapi dihentikan sangat tinggi ditemukan pada pasien yang mendapatkan terapi
lamivudin, bahkan lebih tinggi dibandingkan denganpasien yang mendapatkan terapi IFN- .
18,
81
mutan YMDD pada pasien HVB kronik HBeAg-negatif semakin meningkat dengan waktu
seperti halnya HVB kronik HBeAg-positif.15
31
32
pasien, lima (31,3%) mencapai HBV SVR, yang berkorelasi negatif terhadap
genotipe HCV non-1b dan HCV SVR. Hanya satu (6,3%) memiliki simultan
seroclearance HCV dan HBV. Penulis menyarankan bahwa terapi kombinasi IFNalpha/ribavirin adalah efektif untuk HCV / HBV-pasien koinfeksi dalam
memberantas Infeksi HCV dan mungkin mempromosikan seroclearance HBV.
koinfeksi HBV dan HCV dapat meningkatkan risiko untuk pengembangan
HCC. Sebuah kasus-kontrol studi [51] dilakukan di Qidong daerah (yang lebih tinggi
kejadian HCC daerah di Cina) menunjukkan bahwa ATAU nilai untuk HCC adalah
serupa pada pasien dengan HBV (3.90) dan HCV (3,89) infeksi, dan tertinggi di
koinfeksi dengan HBV dan HCV (6,48). Dalam sebuah penelitian prospektif di
Italia [52], 290 pasien berturut-turut dengan sirosis ditindaklanjuti. Selama follow
up 8-96 bulan, HCC diamati pada 12,2% anti-HCV-positif pasien, dalam 19,6%
dari pasien HBsAg positif, dan pada 40,0% pasien ganda dengan HBsAg dan antiHCV positif. Untuk memperjelas peran HBV dan HCV pada risiko untuk HCC,
kasus-kontrol Penelitian dilakukan oleh Kirk di Gambia [53] kecil negara di Afrika
Barat dimana kanker hati adalah yang paling sering penyebab kematian kanker
di kalangan laki-laki. Dalam multivariabel model regresi logistik, risiko HCC
adalah serupa (OR16.7), dengan hanya HBsAg atau dengan hanya anti-HCV. HCC
risiko dengan HBsAg dan anti-ganda HCV (OR, 35,3) hampir sama dengan yang
diharapkan dengan aditif statistik interaksi, tapi tidak pendekatan yang
diharapkan dengan perkalian interaksi. Beberapa studi telah menunjukkan
bahwa pasien dengan HCC yang memiliki antibodi terhadap HCV sering memiliki
HBV terkait penanda serologis [54,55,56]. Marusawa [57] telah melihat untuk kehadiran
penanda HBV di seralogical besar kohort pasien Jepang 2014 HBsAg negatif
dengan Infeksi HCV. Sejumlah besar pasien (49,9%) dengan HCV terkait penyakit
hati kronis termasuk kanker hati yang positif untuk anti-HBc. Pasien dengan HCC
yang secara signifikan lebih mungkin untuk memiliki bukti sebelumnya Infeksi
HBV dibandingkan pasien dengan sirosis salah satu atau kronis hepatitis. Data ini
menunjukkan bahwa infeksi HBV, mungkin termasuk infeksi laten, mungkin
memainkan peranan penting dalam karsinogenesis pada pasien dengan HCV
infeksi.
Arah Penelitian Baru antivirus agen seperti peginterferon, Adefovir dan
entecavir telah dilisensi untuk perawatan pasien dengan HCV atau HBV. Namun,
sampai saat ini belum ada standar perawatan yang tersedia untuk pengobatan
pasien dengan koinfeksi. Jalur klinis lebih lanjut diperlukan untuk memperjelas
yang optimal perawatan untuk pasien tersebut. Selain itu, HCV genotipe dan HBV
genotipe yang ditemukan terkait dengan hasil klinis pada infeksi tunggal di
banyak studi epidemiologi. Apa peran genotipe HBV dan HCV dalam pengaturan
koinfeksi? Sedangkan untuk interaksi antara dua virus, mekanisme
penghambatan saling masih belum jelas, terutama untuk penekanan HCV oleh
HBV. Penelitian masa depan harus fokus pada isu-isu ini. Konflik kepentingan Para
penulis telah menyatakan bahwa tidak ada konflik kepentingan ada.
(KO INFEKSI HVB DAN HCV/ TRANSLATE 4)Pengobatan
34
tentang apa yang rejimen yang paling tepat, mengingat bahwa penelitian lebih
lanjut, melibatkan sampel pasien yang lebih besar, masih dibutuhkan.
Adefovir dan entecavir tidak ada penelitian yang melibatkan koinfeksi. Ini
mungkin menjadi pilihan yang baik dalam pasien dengan HBV dominan.
Transplantasi hati sedikit pengalaman dengan koinfeksi individu. Ada laporan
dari kelangsungan hidup lebih tinggi dibandingkan dengan mono-individu yang
terinfeksi dengan HBV, dengan saran dari manfaat dari penekanan HCV lebih
dari HBV di imunosupresi setelah transplantasi. Dalam rangka untuk menentukan
risiko dan manfaat, maka perlu menunggu hasil lebih lanjut, penelitian yang
lebih besar. Pada pasien yang mengalami infeksi 3 jenis virus seperti HBV, HCV,
dan hepatitis D Virus (HDV) pasien hanya yang sudah terinfeksi HBV bisa
mendapatkan HDV. Para infeksi tiga dapat terjadi di daerah geografis tertentu di
mana prevalensi infeksi HBV tinggi. Evolusi untuk penyakit yang parah
dijelaskan, yang diinginkan pengobatan yang yang yang terdiri dari dosis tinggi
IFN untuk periode yang panjang dan, masih, dengan tanggapan yang buruk. Ada
beberapa studi relevan dalam literatur, dan semua Penelitian ini melibatkan
sampel yang kecil, yang menghalangi standarisasi prosedur dalam kasus ini. Ada
laporan pengobatan dari tujuh pasien dengan pencapaian berkelanjutan biokimia
respon dalam dua pasien, dan memburuk dengan efek samping pada dua pasien
lainnya.
Dalam kasus ini, kompleksitas interaksi HBV / HCV ditambahkan ke efek
HIV pada sistem host imunologi. Hal ini diketahui bahwa, dalam HCV / HIV dan
HBV / HIV co-infeksi, evolusi penyakit hati lebih cepat dan berpotensi lebih parah.
Selain itu, setelah pengenalan highdose yang ART dikenal sebagai antiretroviral
yang sangat aktif terapi, angka kematian untuk penyakit hati kronis telah
meningkat. Ada beberapa studi pada pengobatan individu koinfeksi dengan HBV,
HCV, dan HIV. Tingkat di mana SVR adalah dicapai telah dilaporkan 17% dengan
penggunaan IFN, dibandingkan dengan 25% untuk IFN + RBV. Harus diingat
bahwa, karena sering menggunakan LMV dalam terapi antiretroviral untuk HIV,
HBV resistensi terhadap LMV tinggi dalam koinfeksi. Dalam satu penelitian kecil,
efek terhadap virus yang dominan, HBV atau HCV, tidak menyebabkan reaktivasi
dari yang lain, kecuali dalam satu kasus yang melibatkan pasien dengan CD4
yang sangat rendah limfosit hitungan. Studi obat antivirus baru yang lebih efektif
terhadap HBV (tenofovir, entecavir, Adefovir, dll) dalam HBV / HIV atau HBV /
HCV / HIV co-individu yang terinfeksi mungkin menginformasikan keputusan
tentang terapi pengobatan kompleks co-infeksi HBV yang melibatkan.
3.4. Pengobatan Hepatitis Virus B Kronik Dengan HIV(koinfeksi HIV dengan hepatitis)
Interferon-alfa
Terapi interferon-alfa (aIFN) dapat menghasilkan serokonversi HBeAg dan dapat
menyebabkan pemulihan pada 20-40 % orang yang hanya terinfeksi dengan HVB kronis
dengan sistem kekebalan yang baik.16 Namun pengobatan pada penderita HVB koinfeksi
36
dengan terinfeksi HIV secara bermakna kurang efektif.17,19 Terutama pada orang yang
mengalami penekanan terhadap sistim kekebalan yang hebat, umumnya mengalami respon
terapi lebih buruk.20
Penelitian terhadap interferon pegilasi yang diberikan pada orang yang hanya
terinfeksi HVB memberi kesan hasil yang lebih baik obat ini juga dapat memberikan manfaat
bila diberikan pada penderita HVB kronik yang mengalami koinfeksi dengan HIV21. Obat
lamivudin dapat dijadikan sebagai cadangan, dengan menghindari resistansi pada HIV atau
pun HBV. Adefovir dan entecavir mempunyai efek anti-HBV yang baik, dan dapat digunakan
sebagai terapi pada penderita koinfeksi HVB dengan HIV seperti yang terlihat pada gambar.
Gambar. . Algoritma penatalaksanaan koinfeksi HVB dengan HIV
Lamivudin
Lamivudin (lamivudin) adalah analog nukleosida yang bekerja menekan replikasi
HIV dan HBV dengan menghambat kerja enzim reverse transcriptase virus. 22,23 Pada orang
yang hanya terinfeksi HBV, terjadinya penurunan viral load HBV dalam darah akibat terapi
lamivudin berhubungan dengan terjadinya serokonversi HbeAg menjadi anti HBe, perbaikan
fungsi hati yang kembali normal dan gambaran histologis membaik pada kurang lebih 20 %
orang yang diobati. Sayangnya, efektifitas pemberian lamivudin jangka panjang berkurang
akibat terjadinya mutasi yang menyebabkan terjadinya resistan terhadap HBV dan kegagalan
serokonversi HBeAg. 24
Terjadinya resistansi pada pemberian lamivudin berkembang akibat mutasi pada motif
tyrosine-methionine aspartate-aspartate (YMDD) dari domain katalitik di gen polymerase
HBV. Penggunaan terapi lamivudin terhadap HBV yang terjadi pada HIV dapat mengalami
resistensi kurang lebih 20 % per tahun, dengan proyeksi 90 persen stelah empat tahun terapi
lamivudin.25,27,28 Frekuensi resistansi terhadap lamivudin pada orang koinfeksi HIV-HBV
37
sedikit lebih tinggi dibandingkan orang hanya terinfeksi HBV. Terapi lamivudin yang jangka
panjang dan kadar viral load HBV yang tinggi diketahui sebagai faktor risiko besar untuk
perkembangan HBV yang resistan terhadap lamivudin. 28 Bila lamivudin dipakai sebagai
bagian dari ART seumur hidup pada orang yang mengalami koinfeksi HIV-HBV, pasti
monoterapi lamivudin pada populasi ini akan mengalami resistansi.
Adefovir
Adefovir dipivoxil (ADV) adalah analog nukleotida, yang terbukti menurunkan HVB
DNA dalam plasma sebesar 4 log jika diberikan dengan dosis 10 mg sehari. Adefovir juga
menghambat replikasi HBV yang resistan terhadap lamivudin. Sebuah penelitian open-label
yang melibatkan 35 orang dengan HIV dan HVB yang resistan terhadap lamivudin
melaporkan penurunan 4 log pada HVB DNA dalam serum setelah 48 minggu, sebanding
dengan kegiatan antiviral pada orang tanpa HIV.29 Setelah dipantau selama empat tahun, 26
pasien ini yang memakai adefovir secara terus-menerus terdapat lagi penurunan viral load
HBV tanpa munculnya mutasi terakit HBV atau HIV.30 Pemberian adefovir yang lebih tinggi
(30 mg atau lebih sehari) dapat memicu terjadinya nefrotoksisitas, yang jarang ditemukan
pada pasien dengan dosis 10 mg sehari. Karena tidak berpengaruh terhadap HIV, adefovir
dapat menjadi pilihan yang masuk akal untukn terapi pada orang yang belum membutuhkan
ART walau tetap ada keprihatinan secara teoretis mengenai terjadinya resistansi silang.
Tenofovir
Tenofovir disoproxil (TDF) juga termasuk golongan analog nukleotida seperti
lamivudin, tenefovir mampu menghambat polymerase DNA HIV dan HVB. Obat ini juga
memiliki efektifitas terhadap tipe virus yang mengandung mutasi gen polymerase terkait
lamivudin. Manfaat klinis ditunjukkan dalam dua subpenelitian bagian dari dua penelitian
besar diberbagai negara secara acak dengan menilai penggunaan TDF untuk mengobati HIV.
Walau subpenelitian ini mempunyai jumlah sampel yang sangat kecil, mereka memberi
dukungan prospektif, berdasarkan bukti yang berharga pada bukti retrospektif mengenai
kemanjuran TDF. Dari 12 sampel, dimana 10 memakai TDF 2 plasebo didapatkan penurunan
4,9 log DNA HVB setelah 24 minggu terapi pada pasien diobati dengan TDF.
Pada penelitian lain yang menggunakan 11 sampel dimana 6 sampel hanya
mendapatkan lamivudin sedangkan 5 sampel mendapatkan lamivudin + TDF. Pada penelitian
ini didapatkan hasil penurunan DNA HVB setelah 48 minggu adalah lebih besar pada pasien
yang diobati dengan TDF + lamivudin (4,7 log) dibandingkan pasien yang memakai
38
lamivudin saja (3,0 log), dan juga didapatkan pada kelompok monoterapi lamivudin terjadi
resistansi terhadp lamivudin pada 4 dari 5 sampel yang mendapatkan lamivudin saja, hal ini
memberikan bukti bahwa terapi kombinasi pada HVB dapat mencegah resistansi antiviral
dalam cara yang serupa dengan HIV. Pada kedua subpenelitian tidak muncul resistansi
genotipe terhadap TDF yang juga serupa dengan tingkat resistansi terhadap HBV yang sangat
rendah dilihat dengan terapi adefovir.31 Penemuan yang menjanjikan ini ditindaklanjuti
dengan penelitian prospektif secara acak diberbagai pusat selama 48 minggu terhadap pasien
koinfeksi HIV-HBV, yang membandingkan lamivudin dengan TDF dan lamivudin + TDF
sebagai obat ART untuk menilai efek anti-HBV dimana penelitian ini sedang berjalan.
Entecavir
Entecavir adalah analog nukleosida yang berasal dari purin dan sudah menyelesaikan
uji coba klinis fase III terhadap infeksi HBV. Obat ini menunjukkan penurunan hampir 7 log
DNA HVB tanpa terjadinya resistansi yang diamati selama 48 minggu pada pasien yang
belum pernah diobati sebelumnya.32 Obat ini juga manjur terhadap HBV yang resistan
terhadap lamivudin, tetapi resistansi silang ditujukkan pada percobaan dengan HBV yang
resistan terhadap lamivudin.33,34 Obat ini tidak memberikan efek terhadap HIV dan mungkin
juga menjadi pilihan yang masuk akal untuk orang yang belum membutuhkan ART atau
mereka yang mungkin bermasalah dengan pemulihan kekebalan, karena kadar DNA HVB
dapat dikurangi sebelum mulai ART penuh.
Terapi kombinasi
Peran lamivudin, adefovir, tenofovir dan entecavir sebagai terapi kombinasi dengan
atau tanpa pemberian obat imunomodulator seperti IFN- adalah menarik. Uji coba klinis
terhadap kombinasi ini untuk menilai keamanan dan kemanjuran sedang dilakukan. Pada
orang koinfeksi HIV-HBV, pemulihan kekebalan setelah mulai ART dikaitkan dengan
peningkatan kejadian akut pada tingkat ALT dalam serum yang disebut sebagai flare hati.35-37
Flare ini umumnya terjadi segera setelah mulai ART pada orang dengan viral load HBV yang
tinggi sebelum diobati.35,38,39 Lagi pula, flare pemulihan telah dilaporkan terjadi walau
dimasukkan unsur yang aktif terhadp HBV misalnya lamivudin sebagai bagian dari rejimen
ART awal akibat pemulihan kekebalan yang terjadi sebelum ada penurunan yang efektif pada
DNA HBV.40
Peradangan hati terkait ART juga pernah dilaporkan dalam berbagai keadaan lain,
termasuk reaktivasi infeksi HBV,35,41 perkembangan reistansi terhadap lamivudin dan setelah
berhenti penggunaan lamivudin pada orang yang mengalami pemulihan kekebalan. 43 Penting
39
menilai status HBV sebelum mulai ART agar mengetahui orang berisiko flare hati. Orang
dengan tingkat DNA HBV yang bermakna secara klinis (>104-105 copy/ml), terutama
mereka dengan sirosis atau dengan jumlah CD4 nadir yang rendah, mungkin terutama
berisiko dekompensasi hati dengan flare ini. Strategi yang membutuhkan penyelidikan lebih
lanjut untuk mengurangi risiko ini termasuk penggunaan terapi HBV dengan dua obat yang
aktif, dengan tenofovir sebelum penambahan unsur ART ketiga setelah tingkat DNA HBV
menurun menjadi tingkat yang tidak bermakna (mis. <105 copy/ml).
Pendekatan lain yang mungkin akan segera tersedia adalah untuk memakai obat anti
HBV yang manjur yang tidak mempunyai kegiatan terhadap HIV pada awal sebelum mulai
ART. Entacavir mempunyai potensi untuk ini, dan akan mengurangi kekhawatiran mengenai
perkembangan resistansi oleh HIV sementara mengurangi tingkat DNA HBV. Setelah hal ini
tercapai, ART penuh dengan obat aktif terhadap HBV dapat dimulai dengan aman.
Penggunaan kortikosteroid dalam keadaan ini sangat kontroversial. Perhatian teoretis
termasuk dampak obat tersebut yang diketahui meningkatkan replikasi HBV dan berpotensi
meningkatkan tekanan kekebalan yang sudah ada. Dari sisi lain, diketahui bahwa peradangan
hati dimediasi oleh kekebalan dan ada laporan anekdot mengenai hasil yang baik dengan
penggunaannya.44 Lagi pula, ada bukti baru dari penelitian retrospektif bahwa bila dipakai
pada pasien dengan dekompensasi dalam sepuluh hari setelah mulai, mereka mengurangi
angka mortalitas.45
Pada orang yang belum pernah memakai ART, pemulihan kekebalan yang
mengakibatkan peradangan hati setelah mulai ART dapat menyebabkan dekompensasi hati.
Dekompensasi hati paling mungkin terjadi bila ada sirosis dan kerusakan lanjutan pada
kekebalan. Entacavir menghasilkan penurunan yang sangat bermakna pada DNA HBV
dengan pola reistansi yang sangat baik
32
sebelum ART penuh dimulai. Peran terapi kombinasi anti-HBV pertama dengan lamivudin
dan tenofovir saat ini ditelitikan, walau kebanyakan pakar akan memakai kombinasi
lamivudin dan tenofovir untuk semua orang koinfeksi.
Orang yang tidak membutuhkan terapi HIV secara umum sebaiknya tidak menerima
terapi untuk infeksi HBV yang juga memiliki kegiatan terhadap HIV, resistansi dini oleh HIV
adalah mungkin, dengan mengakibatkan pembatasan pada pilihan terapeutik HIV. Dalam
keadaan ini, terapi HBV sebaiknya terdiri dari interferon, adefovir atau entecavir.
HBV yang resistan terhadap lamivudin di antara orang koinfeksi HIV-HBV sering
terjadi, HBV aktif sering tidak diketahui pada saat terapi HIV dimulai, dan lamivudin adalah
unsur yang umum dalam terapi HIV. Resistansi dicurigai pada seorang yang menerima terapi
40
lamivudin bila tingkat ALT tetap tinggi terkait dengan replikasi HBV tinggi. Resistansi harus
dibedakan dari ketidakpatuhan dengan konformasi keberadaan mutasi klasik terkait dengan
resistansi lamivudin. Setelah mutasi klasik dikonformasi, pilihan terapeutik termasuk
penambahan tenofovir, adefovir atau entecavir, semuanya terbukti mempunyai kegiatan
terhadap HBV yang resistan terhadap HBV dalam rangkaian ini.29,46
Hepatotoksisistas berat terjadi pada sampai 10 persen
20,34
Koinfeksi HBV adalah faktor risiko independen untuk perkembangan hepatotoksisitas terkait
ART,47-48 dan angka pada orang dengan HIV dan koinfeksi HBV adalah kurang lebih tiga kali
lipat lebih tinggi dibandingkan orang yang HBV-negatif. Walau semua unsur antiretroviral
dikaitkan dengan fungsi hati yang abnormal, ritonavir takaran penuh dan nevirapine terutama
dikaitkan dengan hepatotoksisistas berat46 dan oleh karena itu, obat ini sebaiknya dipakai
dengan hati-hati pada orang koinfeksi HIV-HBV.
41
42
43