Anda di halaman 1dari 7

MENGUAK HAKEKAT DAN ARTI SERTA HISTORIOGRAFI SEJARAH

http://gusanam13.blogspot.com/2010/06/menguak-hakekat-dan-arti-serta.html

Waktu (time) merupakan salah satu konsep dasar sejarah selain ruang (space),
kegiatan manusia (human activity). Perubahan (change) dan kesinambungan (continuity).
Ia merupakan unsur penting dari sejarah yaitu kejadian masa lalu. Dengan kata lain waktu
merupakan konstruksi gagasan yang digunakan untuk memberi makna dalam kehidupan di
dunia. Manusia tak dapat dilepaskan dari waktu karena perjalanan hidup manusia sama
dengan perjalanan waktu itu sendiri.
Seperti angin yang mengalir tanpa henti diatas bukit, lembah, dan lautan, sejarah
terus-menerus bergerak dalam waktu. Kebudayaan-kebudayaan hidup dan mati, pemikiranpemikiran muncul, kota-kota tumbuh, penduduk bertambah, kerajaan-kerajaan timbul dan
tenggelam, perang-perang terjadi, perdagangan meluas, dan seterusnya.
Tiap masyarakat memilki pandangan yang relatif berbeda tentang waktu yang mereka
jalani. Contoh : Masyarakat Barat melihat waktu sebagai sebuah garis lurus (linier). Konsep
garis lurus tentang waktu diikuti dengan terbentuknya konsep tentang urutan kejadian.
Dengan kata lain sejarah manusia dilihat sebagai sebuah proses perjalanan dalam sebuah
garis waktu sejak zaman dulu, zaman sekarang dan zaman yang akan datang. Berbeda dengan
masyarakat Barat, masyarakat Hindu melihat waktu sebagai sebuah siklus yang berulang
tanpa akhir.
Sejarah merupakan sebuah proses perjalanan waktu yang sangat luas dan panjang
areanya, dalam rentang waktu itulah sejarah melewati ratusan bahkan ribuan tahun dengan
melibatkan perubahan dalam kehidupan manusia yang sangat banyak . mengkaji semua
peristiwa sejarah yang luas dan panjang secara rinci sangatlah susah, untuk itulah maka
digunakan pemisahan yang biasanya didasarkan pada momentum tertentu.
Sejarawan ingin membuat waktu yang terus-menerus bergerak tanpa henti itu menjadi
dapat dipahami (intelligible) dengan membagi-baginya dalam unit-unit waktu, dalam sekatsekat babak, dalam periode-periode. Suatu momentum yang dapat memberikan petunjuk
adanya karakteristik dari suatu kurun waktu yang satu berbeda dengan kurun waktu lainnya .
hal itulah yang dinamakan dengan periodisasi sejarah.
Jadi pada hakekatnya sejarah adalah suatu rangkaian peristiwa dalam suatu rentang masa
yang kontinu yang melibatkan perubahan dalam kehidupan manusia, sementara periodisasi
sejarah adalah produk penulisan sejarah dalam rangka memahami rangkaian peristiwa
tersebut yang di dasarkan pada momentum perubahan sebagai tanda pemisahan waktu.
Kata kunci dari periodisasi adalah momentum perubahan sebagai tanda pemisah
waktu (karena sebenarnya waktu itu kontinu/berkesinambungan).
Jelas sudah bahwa periodisasi adalah konsep sejarawan semata-mata, suatu produk mental
dan hanya ada dalam pikiran sejarawan, suatu ideal type.

Demikianlah, periodisasi umumnya akan membagi sejarah menjadi tiga periode, yaitu
Ancient, Middle, dan Modern.. Sebagai contoh, Periodisasi/pembabakan waktu sejarah
Indonesia menurut Dr. Kuntowijoyo dalam bukunya yang berjudul Pengantar Ilmu Sejarah,
dibagi menjadi 4 periode, yaitu:
1. zaman prasejarah,
2. zaman kuno (Ancient),
3. zaman Islam (Middle), dan
4. zaman modern (Modern).
Babak atau periodisasi sejarah Indonesia juga bisa ada yang lebih terperinci. Ada pula
yang mengelompokan periodisasi sejarah Indonesia menjadi beberapa jaman yaitu :
- prasejarah (jaman batau dan jaman logam )
- masuk dan berkembangnya pengaruh budaya India
- masuk berkembangnya islam
- jaman kolonial
- jaman pendudukan jepang
- revolusi kemerdekaan
- masa orde lama
- masa orde baru
- masa reformas
Periodisasi adalah masalah pentafsiran terhadap sejarah sebagai rangkaian
peristiwa perubahan dan perkembangan dari kehidupan manusia yang kompleks. Sudut
pandang terhadap peristiwa-peristiwa itu mempengaruhi penjudulan atau pengistilahan
zaman/masa/periode.
Kembali ke output dan tujuan periodesasi dari mempelajari sejarah yaitu agar
peristiwa masa lalu itu mudah dimengerti dan dipahami, maka dengan demikian sifat
periodiasi itu tidaklah mutlak karena yang mutlak atau yang tetap adalah peristiwa yang telah
terjadi atau sejarah-nya sementara periodisasi adalah produk sejarawan yang memilah waktu.
Sehingga Pembagian masa atau zaman bisa saja dikoreksi.
Sebagai contoh, Apa yang dimaksud dengan Masa Kolonial Belanda? Dari kapan
sampai kapan Masa Kolonial itu terjadi?, ketika ada koreksi terhadap rentang masa kolonial
maka otomatis ada koreksi terhadap periodiasi yang telah dibuat sebelumnya supaya tidak
ada waktu yang hilang atau waktu yang di hidden disembunyikan dari sejarah. Bila
periodisasi yang dibuat malah jadi tidak dimengerti dan dipahami dari nilai dan esensi suatu
peristiwa sejarah bolehkah kita buat periodisasi baru dalam penulisan baru tentang sejarah?
Arti Sejarah adalah ilmu mengenai peristiwa perkembangan manusia yang unik,
penting dan abadi yang terjadi pada waktu ( dahulu : dulu, kemarin dan tadi ) dan tempat
tertentu. Peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam sejarah dapat dibedakan menjadi dua arti
antara sejarah dalam arti objektif dan sejarah dalam arti subjektif.

1. Sejarah dalam arti objektif, adalah kejadian atau peristiwa yang sebenarnya
(History of Actually).
2. Sejarah dalam arti subjektif (History of Record) adalah pengkisahannya, dalam
pengkisahannya harus menggunakan secara benar sumber-sumber bukti
peninggalan peristiwa itu terjadi yang bersifat akurat dan kredibel, baik berupa
benda-benda (artifact) maupun dokumen-dokumen tertulis. Bahan-bahan ini
menjadi sumber sejarah. Hanya dengan mencari sumber-sumber informasi inilah,
kegiatan mencari sumber sejarah dalam ilmu sejarah disebut heuristik, sejarawan
dapat membuat rekontruksi peristiwa masa lampau dan menulis uraian sejarah
sering disebut juga History as written atau Historiografi
Menulis sejarah dalam bentuk historigrafi bukan perkara mudah, karena impian agar
sejarawan atau seseorang bisa menghadirkan masa lalu wie es eigentlich gewesen ist
(sebagaimana sesungguhnya terjadi) dewasa ini semakin jelas tidak mungkin terwujud.
Seandainya ada mesin waktu yang bisa melontarkan kita ke masa lalu pun, sejarah tetap
akan dilihat dari perspektif tertentu, dan tidak dapat dihadirkan kembali sepenuhnya.
Sejarah, seperti kita tahu adalah representasi dari masa lalu dan bukan masa lalu itu sendiri.
Sejarah selalu diceritakan, disusun kembali, berdasarkan informasi yang bisa diperoleh
mengenai masa lalu, dan karena itu akan selalu kurang, tidak lengkap dan memerlukan
perbaikan. Karena itu sejarawan umumnya mengatakan bahwa sejarah itu terbuka bagi
interpretasi yang berbeda, dan selalu bisa ditulis ulang
Tapi ini tidak berarti bahwa kita bebas menafsirkan dan menulis sejarah. Ada prinsip
dasar yang membatasi kebebasan tafsir : yaitu pada pijakan pada fakta atau kenyataan yang
diketahui berdasarkan sumber sejarah atau informasi yang tersedia dan dapat diuji. Kita tidak
dapat menyandarkan penulisan sejarah pada desas-desus dan dugaan semata-mata. Kita juga
harus menyadari juga bahwa setiap upaya mengungkap misteri suatu peristiwa sejarah hampir
selalu mengundang kontroversi. Sebab, misteri sejarah itu sendiri meninggalkan sikap
ambivalen. Di satu sisi ada hasrat yang menggebu untuk ingin tahu, tetapi di sisi lain ada
keraguan apakah hasrat ingin tahu itu bisa terpuaskan.
Keraguan itu sendiri bersumber dari kondisi bahwa suatu peristiwa, episode, peristiwa
atau tokoh sejarah banyak diselimuti misteri karena jejak-jejak historis yang ditinggalkannya
apapun bentuknya sangat tidak mencukupi sebagai bahan rekonstruksi masa lalu. Itulah
sebabnya orang cenderung menerima narasi sejarah atau cerita sejarah yang telah menjadi
semacam kesepakatan umum, namun tetap tak mampu membunuh keinginan manusia dari
hasrat ingin tahu itu. Tidaklah mengherankan, dimasa depan akan terus munculnya setiap
upaya mengungkap misteri sejarah dengan menyodorkan fakta-fakta baru hampir selalu
mengundang antusiasme publik. Tetapi, hal ini tidak dengan sendirinya membuat fakta-fakta
baru itu diterima sebagai kebenaran baru. Di sinilah letak kontroversi itu.
Sebenarnya, kontroversi itu bisa diminimalisir, jika tidak bisa dihindari sama sekali,
apabila sejarawan atau siapapun yang menyodorkan fakta-fakta baru itu tidak berpretensi
mengungkap misteri sejarah itu secara keseluruhan. Dibutuhkan suatu kerendahan hati bahwa
fakta-fakta baru itu hanya mengungkap sebagian misteri. Itupun harus dibarengi dengan
kesediaan bahwa fakta-fakta baru itu siap diuji oleh siapapun. Agar fakta-fakta baru itu
tahan uji, si sejarawan atau seseorang itu sendiri harus bersedia terlebih dahulu mengujinya
sendiri setuntas mungkin. Di sini si sejarawan atau seseorang bukan hanya dituntut bekerja

keras untuk mengumpulkan data di tengah kelangkaan sumber, tapi juga berpikir keras
menguji data itu kalau perlu secara berulang-ulang sampai pada suatu titik jenuh.
Melihat prosedur normatif yang berliku semacam itu, maka sejarawan atau seseorang
yang berpretensi mengungkap misteri sejarah, entah sebagian apalagi secara keseluruhan,
sebenarnya termasuk manusia ulet dan pemberani. Ia ulet mengais data di tengah
kelangkaan sumber. Ia berani menguji data yang terbatas itu sebelum mengangkatnya dan
mengumumkannya sebagai fakta-fakta baru.
Sehingga bagi Sejarawan atau seseorang yang ingin menulis kembali Sejarah
( Historiografi ), yang paling pokok adalah bahwa ia berani bertarung melawan
keraguan publik. Jika berhasil, karyanya akan dikenang sebagai pembawa
pencerahan. Jika gagal, publik mungkin akan mencibirnya sebagai pencari sensasi
Historiografi
Historiografi merupakan pandangan sejarawan terhadap peristiwa sejarah, yang dituangkan
di dalam penulisannya itu akan dipengaruhi oleh situasi zaman dan lingkungan kebudayaan di
mana sejarawan atau seseorang itu hidup serta kemampuan menginterpretasikan dengan
menghubungkan ilmu-ilmu bantu lain. Dengan kata lain, pandangan sejarawan itu selalu
mewakili zaman dan kebudayaannya. Historiografi dapat diartikan sebagai pencarian
terhadap pemikiran sejarawan atau seseorang pada zamannya. Historiografi mencari tentang
ide, subyektifitas, dan interprestasinya. Sebagai sebuah alat untuk melihat sejarah intelektual
atau mentalis seorang sejarawan, maka haruslah dilakukan sebuah studi mengenai karyakaryanya.
Dalam sebuah penulisan sejarah sejarawan atau seseorang tidak diperbolehkan untuk
mengkhayal hal-hal yang menurut akal tidak mungkin telah terjadi. Dalam sebuah penulisan
sering harus mengkhayal hal-hal yang kiranya telah terjadi. Namun, sering terjadi
mengkhayal hal-hal yang kiranya pasti telah terjadi. Sehingga dalam sebuah penulisan sejarah
tidak mungkin untuk merumuskan mengenai aturan-aturan penggunaan imajinasi.
Sepanjang menyangkut ihwal tentang kajian kesejarahan, yang umumnya diketahui
bahwa yang menjadi permasalahannya adalah mengenai metode tafsir seperti apa yang paling
accountable dalam usaha untuk memahami konstruksi realiti di masa lampau. Para peminat
sejarah, mulai dari kalangan awam sampai ilmuwan dan filosof sekalipun, tampaknya hingga
saat ini belum mencapai kata sepakat berkaitan dengan hal tersebut. Bahkan, tak jarang di
antaranya memiliki pandangan khas masing-masing yang didukung alasan yang saling
bertolak belakang.
Kesulitan metodik semacam itu jelas mustahil di atasi, mengingat upaya penafsiran,
sebagaimana diakui para ilmuwan sejarah seperti Arnold J. Toynbee, tak mungkin sterile dari
nilai-nilai subjektiviti masing-masing penafsir. Sehingga secara normatif boleh dikatakan
bahawa nilai subjektiviti tersebut merupakan saudara kembar metode tafsir dalam bentuk
apapun.
Namun, terlepas dari keriuhan dan kerumitan perdebatan metodik tersebut, tak boleh
dinafikan bahwa apa yang diistilahkan dengan sejarah (yang diakui bahawa erti literalnya
sampai sekarang sepenuhnya berasal dari bahasa Inggris history, yang berakar dari bahasa
Yunani kuno, istoria, atau belajar dengan cara bertanya-tanya) bukanlah dimaksudkan sebagai

upaya merekonstruksi secara material dan faktual segenap kenyataan yang pernah terjadi di
masa lalu.
Ini harus disadari lantaran apa yang disebut dengan sejarah bukanlah sebuah upaya
membangun atau menghidupkan kembali (reconstruct) sesuatu peristiwa atau teks masa
lampau. Tapi, rekonstruksi peristiwa masa lalu itu memberi pencerahan masa sekarang dan
pegangan dimasa yang akan datang ( tiga dimensi ), sehingga rekontruksi sejarah itu lebih
sebagai proses penalaran tentangnya, yang secara aksiologi dimaksudkan agar seseorang
memahami posisi dan arti dirinya dalam kerangka waktu tertentu ( History is make man wise )
Tapi, sebagai proses penalaran yang berorientasi menyingkap makna yang terselip di
antara reruntuhan monumen bisu, jejak-jejak peristiwa, serta antologi tekstual. Di mana
secara aksiologi, semua itu dianggap amat signifikan bagi seseorang yang ingin memahami
posisi dirnya dalam kerangka waktu tertentu.
Berdasarkan paradigma semacam itu, bahwa tugas seorang sejarawan atau seseorang
yang ingin tahu sejarah bukanlah menghidupkan kembali konstruksi kenyataan masa lalu
yang di akui mustahil untuk dilakukan tapi lebih kepada memperoleh pemahaman
berdasarkan nalar tentangnya, menjadi sulit menolak fakta bahwa tafsir kesejarahan
senantiasa mengandung bobot subjektivitas pengamat.
Motif serta berjalannya sebuah proses penalaran pada dasarnya sudah mencerminkan
adanya kepentingan serta subjektiviti itu sendiri. Jadi, tak satu pun karya dalam bidang
sejarah yang sterile dari pandangan bahkan prasangka pribadi maupun primordial.
Fungsi Akademis dan Propaganda
Ibnu Khaldun, seorang sejarawan Arab menyatakan bahwa para penguasa selalu
berusaha untuk menguasai tafsir sejarah. Sejarah selalu digunakan oleh para penguasa untuk
melegitimasi kekuasaannya. Bahkan kalau perlu ia melakukan manipulasi data seperti yang
dilakukan Ken Arok ketika ia mendirikan Singasari dan membuat silsilah yang menerangkan
bahwa ia adalah keturunan dari Raja-raja Mataram ( bisa dilihat dalam Pararaton ). Dengan
demikian selama berabad-abad usia ilmu pengetahuan, ilmu sejarah hanya memotret sebuah
peristiwa dan tokoh-tokoh besar dan mengabaikan peranan rakyat jelata sebagai pelaku
sejarah. Hal ini pun direpresentasikan dalam istilah sejarah dalam bahasa Inggris yang
diterjemahkan dengan history (cerita-nya), bukan our story (cerita kita) atau their story (cerita
mereka) dan bahkan her story (cerita-nya/perempuan).
Dalam konteks tersebut, sejarah memainkan peranannya sebagai sarana propaganda
dan melupakan mission sacre-nya sebagai sebuah ilmu objektif yang mengungkapkan sebuah
kebenaran, tetapi waktu itu lebih sebagai tulisan suci yang dilakukan raja-raja sebagai titisan
dewa yang harus dijadikan sebagai suatu bentuk keajaiban Dewa ( Tuhan ) atau laku yang
disakralkan walaupun terdapat suatu perbuatan gender, ketidakjujuran dan yang menyimpang
dari norma-norma kemanusian.
Fungsi akademis dari sejarah yang berlandaskan pada objektivisme selama ini
terabaikan ketika sejarah dibawa ke dalam ruang publik. Dalam ruang publik yang plural,
setiap kelompok, terutama kelas penguasa selalu berusaha merebut tafsir sejarah yang sedang
berlaku. Terbukanya ruang penafsiran yang begitu lebar dalam disiplin ilmu sejarah
memberikan kesempatan yang luas bagi penguasa untuk menafsirkan, meromantisasi dan

bahkan memanipulasi sejarah sesuai dengan kehendaknya. Akibatnya muncul dikemudian


hari tafsiran-tafsiran sejarah dari suatu rezim tertentu.
Selama berabad-abad sampai dewasa ini, sejak ilmu sejarah menjadi sebuah disiplin
ilmu tersendiri, karena telah mempunyai metode ilmiah tertentu berupa heuristik
(pengumpulan data) - kritik atas data-interpretasi-historiografi, berbagai monopoli tafsir dan
manipulasi sejarah telah berulangkali dilakukan oleh para penguasa dulu , setelah
kemerdekaan, masa Orde Baru, hingga dewasa inipun masih terjadi, baik untuk melegitimasi
kejayaan atau bahkan memaklumkan kekalahan dan kekeliruannya.
Kesimpulan.
Ilmu sejarah kiranya bukan bukan hanya milik ilmuwan dan intelektual serta bersemayam di
istana raja-raja. Sebenarnya sebagai guru sebenarnya mana pantas untuk mentafisrkan
sejarah. Namun perlu kiranya dimengerti bahwa ada hal yang menggembirakan dalam sudut
pandang akademik dimana ;
- menjadi sulit menolak fakta bahawa tafsir kesejarahan senantiasa mengandung bobot
subjektivitas pengamat.
- Para peminat sejarah, mulai dari kalangan awam sampai ilmuwan dan filosof sekalipun,
tampaknya hingga saat ini belum mencapai kata sepakat berkaitan dengan hal tersebut.
Bahkan, tak jarang di antaranya memiliki pandangan khas masing-masing yang didukung
alasan yang saling bertolak belakang. Sederhananya adalah Tidak ada rumus baku dalam
mentafsirkan sejarah
Tafsir menurut bahasa adalah menjelaskan dan menerangkan. Tafsir diambil dari
kata Al-fasr yang dalam kamus dikatakan maknanya adalah menjelaskan dan membuka
sesuatu yang tertutup. Oleh karenanya dalam bahasa Arab bahwa kata tafsir berarti, membuka
secara maknawi dengan memperjelas arti-arti yang tertangkap dari redaksional yang tersurat
atau tersirat ( eksplisit). Menurut Dzahabi, tafsir adalah seni atau ilmu untuk menangkap dan
menjelaskan maksud-maksud tersebut baik yang jelas ataupun yang samar.
Pengertian tafsir dalam padanan dengan sejarah memang sedikit kita jumpai. Istilah
sejarah biasanya disebut sebagai historical explanation atau penjelasan sejarah. historical
explanation didefinisikan sebagai usaha membuat satu unit sejarah intelligible (dimengerti
secara cerdas).
Kata analisis memang juga dipakai bergantian dengan penjelasan, diantaranya
oleh Marc Bloch, terutama ketika orang menganalisis hubungan kausal antar gejala sejarah.
Akan tetapi, karena kata penjelasan lebih sesuai untuk sejarah pada umumnya, sedangkan
kata analisis tidak sepenuhnya sesuai dengan hakikat ilmu sejarah, maka lebih tepat dipakai
kata pejelasan sejarah.
Sedangkan pengertian sejarah diantaranya menurut Nouruzzaman Shiddiqie
mendifinisikan sejarah sebagai peristiwa masa lampau yang tidak hanya sekadar memberi
informasi tentang terjadinya peristiwa itu, tetapi juga memberikan interpretasi atas peristiwa
yang terjadi dengan melihat hukum sebab-akibat.

Kata Bijak " HISTORY MAKE MEN WISE " J A S M E R A H


Gus Anam

Anda mungkin juga menyukai