Artikel Jurnal Anemia Gravis Rev PDF
Artikel Jurnal Anemia Gravis Rev PDF
2. Prevalensi anemia
Menurut Organisasi Kesehatan dunia (WHO), tahun 2005 didapati
1.62 milyar penderita anemia di seluruh dunia. Angka prevalensi anemia di
Indonesia menurut Husaini dkk (2008) terdapat dalam tabel berikut.
Tabel 1. Pravalensi anemia di Indonesia
Kelompok Populasi
Angka Pravalensi
30-40%
23-35%
Wanita dewasa
30-40%
Wanita hamil
50-70%
Laki-laki dewasa
20-30%
30-40%
Sumber. Buku Ajar Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Hematologi
sudah tidak terdapat lagi anak inti. Inti sel lebih kecil dibandingkan dengan
prorubrisit, namun sitoplasma lebih banyak mengandung warna biru (kandugan
asam ribonukleat) dan merah (kandungan hemoglobin), warna merah lebih
dominan, sehingga lebih banyak mengandung hemoglobin. Metarubrisit disebut
juga normoblas ortokromatik atau eritroblas ortokromatik. Inti sel ini kecil
mengandung lebih banyak hemoglobin sehingga warna nya merah, meskipun
masih kebiruan. Dalam keadaan normal jumlahnya sekitar 5-10% (Marshall,
2006).
Pada proses pematangan eritrosit, setelah pembentukan hemoglobin dan
pelepasan inti sel masih diperlukan beberapa hari lagi untuk melepaskan sisa-sisa
RNA. Sebagian proses ini berlangsung di dalam sumsum tulang dan sebagian
lagi di dalam darah tepi. Pada saat proses pematangan akhir, eritrosit selain
mengandung sisa-sisa DNA juga mengandung berbagai fragmen mitokondria dan
organel lainnya. Pada stadium ini eritrosit disebut retikulosit atau eritrosit
polikrom, dimana konsentrasi hemoglobin sekitar 34%, sedangkan nukleus
memadat dan ukurannya mengecil (Hoffbrand et al, 2005).
Proeritroblas
Basofil eritroblas
Eritrosit
Diagram 1. Tahap pembentukan sel darah merah (Guyton, 1997 dalam Nuraeni,
2006)
Sel darah merah (SDM) atau eritrosit berbentuk cakram konkaf tidak
berinti yang kira-kira berdiameter 8 m, total bagian tepi 2 m dan ketebalannya
berkurang dibagian tengah menjadi hanya 1 mm atau kurang. Komponen utama
SDM adalah hemoglobin dan protein (Hb), yang mengangkut sebagian besar
oksigen (O2) dan sebagian kecil fraksi karbon dioksida (CO2) dan
mempertahankan pH normal melalui serangkaian dapar intraselular (Price, 2006).
C. Patofisiologi Anemia Gravis
a) Sickle cell anemia
Sickle cell anemia adalah gangguan hemolitik darah yang bersifat resesif
autosomal dan kronik dengan tekanan oksigen darah rendah sehingga
mengakibatkan eritrosit berbentuk bulan sabit (Miller, 1984 dalam Amri,
2006). Sickle cell anemia ditandai dengan adanya hemoglobin abnormal
yaitu hemoglobin S. Dalam tereduksi hemoglobin S mempunyai kelarutan
dan bentuk molekul yang khas yang menyebabkan perubahan bentuk
eritrosit seperti bulan sabit. Sel yang berubah bentuk ini juga dengan cepat
dihancurkan oleh sel-sel fagosit sehingga dalam jangka panjang terjadilah
anemia. (Rask, 2004).
b) Thalassemia Mayor
Thalassemia merupakan penyakit herediter yang disebabkan menurunnya
kecepatan sintesis rantai alfa atau beta pada hemoglobin. Hb penderita
dipertahankan antara 8 g/dl sampai 9,5 g/dl tidak melebihi 15 g/dl. Dengan
kedaan ini akan memberikan supresi sumsum tulang yang adekuat,
menurunkan
tingkat
akumulasi
besi,
dan
dapat
mempertahankan
zat
besi,
berkurangnya
sediaan
zat
dalam
makanan,
meningkatnya kebutuhan akan zat besi atau kehilangan darah yang kronis
(Wijayanti, 2005).
Defisiensi zat besi terjadi jika kecepatan kehilangan atau penggunaan
elemen tersebut melampaui kecepatan asimilasinya. Walaupun pada
kebanyakan negara berkembang anemia akibat kurangnya zat besi dalam diet
dapat terjadi, tetapi ditemukan penyebab paling sering kejadian anemia pada
negara berkembang adalah akibat kehilangan besi dari tubuh seringnya
diakibatkan kehilangan darah melalui saluran cerna atau saluran kemih
(McPhee, 2006).
e) Leukemia
Leukemia adalah penyakit akibat terjadinya proliferasi sel leukosit yang
abnormal dan ganas serta sering disertai adanya leukosit jumlah berlebihan
yang dapat menyebabkan terjadinya anemia dan trombositopenia (Hidayat,
2006). Leukemia adalah keganasan hematologik akibat proses neoplastik
a) Gejala
Jika pasien memang bergejala, biasanya gejalanya adalah nafas pendek,
khususnya pada saat olahraga, kelemahan, letargi, palpitasi dan sakit kepala.
Pada pasien berusia tua, mungkin ditemukan gejala gagal jantung, angina
pektoris, kaludikasio intermiten, atau kebingunagan (konfusi). Gangguan
penglihatan akibat pendarahan retina dapat mempersulit anemia yang sangat
berat, khususnya yang awitannya cepat. (McPhee, 2006)
b) Tanda
Tanda-tanda dapat dibedakan menjadi tanda umum dan khusus. Tanda
umum meliputi kepucatan membran mukosa yang timbul bila kadar
hemoglobin kurang dari 9-10 g/dL. Sebaliknya, warna kulit bukan tanda yang
dapat diandalkan. Sirkulasi yang hiperdinamik dapat menunjukkan takikardia,
nadi kuat, kardiomegali, dan bising jantung aliran sistolik khususnya pada
apeks. Gambaran gagal jantung kongesti mungkin ditemukan, khususnya pada
orang tua. Perdarahan retina jarang ditemukan. Tanda spesifik dikaitkan
dengan jenis anemia tertentu, misalnya koilonikia dengan defisiensi besi,
ikterus dengan anemia hemolitik atau megaloblastik, ulkus tungkai dengan
anemia sel sabit dan anemia hemolitik lainnya, deformitas tulang dengan
talasemia mayor dan anemia hemolitik kongenital lain yang berat (Lissaeur,
2007).
Malaria
Gambar skematik
P.
Falciparum
bentuk
cincin
(ring
Ring forms
10
1.C
1.D
Multiple infection
Thalassemia Mayor
11
Leukemia
Sferositosis Herediter
12
CRYOPRECIPITATE
d) Garam Besi
Fereous Sulfate
Carbonyl Iron
Ferric Carboxymaltose
2. Transfusi
Transfusi harus dilakukan pada pasien yang secara aktif mengalami
pendarahan dan untuk pasien dengan anemia gravis. Transfusi adalah paliatif
dan tidak boleh digunakan sebagai pengganti untuk terapi tertentu. Pada
penyakit kronis yang berhubungan dengan anemia gravis, erythropoietin dapat
membantu dalam mencegah atau mengurangi transfusi (Anand et al, 2004).
3. Transplantasi Sumsum Tulang dan Stem Sel
Kedua metode ini telah dipakai oleh pasien dengan leukimia, lymphoma,
Hodgkin disease, multiple myeloma, myelofibrosis dan penyakit aplastik.
Harapan hidup pada pasien ini meningkat, dan kelainan hematologi membaik.
Alogenik transplantasi sumsum tulang berhasil memperbaiki ekspresi
fenotipik dari penyakit sel sabit dan talasemia dan meningkatkan harapan
hidup pada pasien yang berhasil transplantasi (Maakaron, 2013).
4. Terapi Nutrisi dan Pertimbangan Pola Makanan
a. Protein
Protein merupakan suatu zat makanan yang amat penting bagi tubuh
karena zat ini di samping berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh juga
berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur. Asupan protein yang
adekuat sangat penting untuk mengatur integritas, fungsi, dan kesehatan
manusia dengan menyediakan asam amino sebagai precursor molekul
esensial yang merupakan komponen dari semua sel dalam tubuh. Protein
berperan penting dalam transportasi zat besi di dalam tubuh. Oleh karena
itu, kurangnya asupan protein akan mengakibatkan transportasi zat besi
13
14
Zat besi (Fe) terdapat dalam bahan makanan hewani, kacangkacangan, dan sayuran berwarna hijau tua. Zat besi terdapat dalam
makanan dalam bentuk ferri hidroksida, ferri-protein dan kompleks hemeprotein. Secara umumnya, daging terutamanya hati adalah sumber zat besi
yang lebih baik dibanding sayur-sayuran, telur dan lainnya (Mozzafari et al,
2009).
e. Asam Folat
Asam folat merupakan senyawa berwarna kuning, stabil dan larut
dalam air yang terdiri dari bagian-bagian pteridin, asam paraaminobenzoat dan asam glutamat (Wardhini & Rosmiati, 2003). Sumber
15
16
cepat,
terutama
jaringan
sum-sum
tulang
yang
17
neurotransmitter pada hewan coba yang kekurangan zat besi. Dari beberapa
penelitian yang dilakukan di Chile, Indonesia, India dan USA didapatkan
bahwa anemia defisiensi besi secara konklusifnya mengganggu perkembangan
psikomotor dan fungsi kognitif pada anak usia sekolah. Anak-anak yang
diberikan suplementasi besi merasa kurang lelah dan kemampuan mereka
untuk berkonsentrasi semasa pembelajaran juga meningkat.Nilai IQ
(Intelligent Quotient) pada anak yang mengalami kurang zat besi ditemukan
dengan jelas lebih rendah berbanding anak yang tidak mengalami anemia
defisiensi besi (WHO, 2001).
Terdapat 3 proses yang menjadi dasar penyebab gangguan kognitif
pada anemia defisiensi besi. Penyebab pertama ialah gangguan pembentukan
myelin. Mielinisasi memerlukan besi yang cukup dan tidak dapat berlangsung
baik bila oligodendrosit yaitu sel yang memproduksi myelin mengalami
kekurangan besi. Mielin ini penting untuk kecepatan penghantaran rangsang.
Penyebab yang kedua ialah gangguan metabolisme neurotransmitter. Hal ini
terjadi karena gangguan sintesa serotonin, norepinefrin, dan dopamin.
Dopamin mempunyai efek pada perhatian, penglihatan, daya ingatan, motivasi
dan kontrol motorik. Penyebab seterusnya ialah gangguan metabolisme energi
protein. Gangguan ini terjadi karena besi merupakan ko-faktor pada
ribonukleotida reduktase yang penting untuk fungsi dan metabolisme lemak
dan energi otak. Semakin dini usia dan lama saat terjadi anemia dan semakin
luas otak yang terkena, akan menyebabkan gangguan fungsi kognitif semakin
permanen dan sulit diperbaiki (Lubis, 2008).
2. Penyakit Kardiovaskular
Pada
keadaan
anemia
dengan
kadar
hemoglobin
<
7g/dL
18
19
konsumsi oksigen dan percepatan kerusakan miosit. Pada tahap terjadi dilatasi
yang progresif dinding ventrikel kiri menebal yang disebut dengan eccentric
hipertrofi yang bermanfaat sebagai mekanisme adaptasi untuk melindungi
jantung dari peningkatan tahanan dinding jantung. (Zilberman, 2007)
3. Hipoksia Anemik
Tujuan dasar sistem kardiorespirasi adalah untuk mengirim oksigen
(dan substrat) ke sel-sel dan membuang karbon dioksida (dan hasil metabolik
lain) dari sel-sel. Pertahanan yang sesuai dari fungsi ini tergantung pada
sistem respirasi dan kardiovaskuler yang intak dan suplai udara yang
diinspirasi yang mengandung oksigen adekuat. Perubahan teganagan oksigen
dan karbon diaoksida serta perubahan konsentrasi intraeritrosit dari komponen
fosfat organik, terutama asam 2,3-bifosfogliserat, menyebabkan pergeseran
kurva disosiasi oksigen. Bila hasil hipoksi sebagai akibat gagal pernafasan,
PaCO2 biasanya meningkat dan kurva disosiasi bergeser kekanan. Dalam
kondisi ini, persentase saturasi hemoglobin dalam darah arteri pada kadar
penurunan tegangan oksigen alveolar (PaCO2) yang diberikan. (Baliwati, 2004)
Setiap penurunan kadar hemoglobin akan disertai dengan penurunan
kemampuan darah dalam mengangkut oksigen. PaCO2 tetap normal, tetapi
jumlah absolut oksigen yang diangkut perunit volume darah akan berkurang.
Ketika darah yang anemik melintas lewat kapiler dan oksigen dalam jumlah
yang normal dikeluarkan dari dalam darah tersebut, maka PaCO2 di dalam
darah vena akan menurun dengan derajat penurunan yang lebih besar daripada
yang seharusnya terjadi dalam keadaan normal. (Almatsier, 2004)
E. PROGNOSIS
Biasanya, prognosis tergantung pada faktor penyebab anemia. Bagaimanapun,
keparahan anemia, etiologi, dan kecepatannya menjadi parah memainkan
peranan penting dalam menentukan prognosis. Demikian pula, umur pasien dan
faktor penyerta lainnya.
20
Thalasemia
Pasien dengan homozigot thalasemia beta (Cooley anemia atau talasemia
mayor) memiliki prognosis yang lebih buruk dari pasien dengan thalasemia
lainnya (thalasemia intermediet dan thalasemia minor). Beberapa tahun
terakhir telah ditemukan kemajuan dalam pengobatan thalassemia, terutama
dengan terapi khelasi zat besi, yang memungkinkan pasien thalassemia
untuk hidup sehat sampai dewasa. (Stefano et al, 2004)
Hiperplasia
Diantara pasien dengan hiperplasia sumsum tulang dan penurunan produksi
RBCs, satu kelompok memiliki prognosis yang baik dan yang lainnya tidak
merespon, refraktori terhadap terapi, dan relatif memiliki prognosis buruk.
Termasuk pasien dengan kerusakan relatif sumsum tulang akibat defisiensi
nutrisi, pada pasien dengan terapi dengan vitamin B12, asam folat atau zat
21
Anemia aplastik
Kesempatan bertahan buruk pada pasien dengan idiosyncratic aplasia karena
chloramphenicol dan virus hepatitis, dan akan membaik ketika kemungkinan
etiologi adalah hemoglobinuria nokturnal paroksismal atau anti-insektisida.
Prognosis untuk apalasia idiopati berada di 2 ekstrim, tanpa pengobatan
tingkat kematian sekitar 60-70% setelah 2 tahun diagnosis. Tingkat kematian
untuk anemia aplastik berat selama 2 tahun adalah 70% tanpa tranplantasi
sumsum tulang atau respon terhadap terapi imunosupresif (Young, 2006).
Sferosidosis Herediter
Setelah splenektomi, kelangsungan hidup sel darah merah meningkat drastic,
memungkinkan pasien dengan sferosidosis herediter untuk mempertahankan
tingkat hemoglobin normal (Perrotta & Gallagher, 2008).
22
tubuh untuk mengikat besi dengan transferrin, pengikat besi glokoprotein plasma
darah (Acta, 2007).
Pada percobaan acak terkontrol, sebuah riset menerapkan akupunktur
pada 60 kelinci putih pada titik akupunktur ST 36 Zusanli dengan metode
manipulasi lifting-thrusting. Kelinci kelinci tersebut dibatasi jumlah
makanannya sehingga pada gambaran simulasi, darah mengalami defisiensi
dimana terjadi kondisi penurunan ferritin serum dan peningkatan TIBC.
Akupunktur diberikan setiap beberapa hari sekali, dengan total 10 kali. Kadar
Ferritin serum dan TIBC diukur menggunakan
Keduanya pada hari ke 17 penelitian dan selama 32 hari pengujian hasil setelah
penyelesaian studi, akhirnya disimpulkan bahwa kelinci yang di akupunktur
menunjukkan peningkatan signifikan kadar ferritin serum dan penurunan TIBC
dibandingkan kelompok kontrol. (Jiu, 2012).
G. KESIMPULAN
Suatu anemia berat yang kronis (anemia gravis) dikatakan bila
konsentrasi Hb 7 g/dL selama 3 bulan berturut-turut atau lebih. Diagnosis
anemia ditegakkan berdasarkan temuan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
laboratorium yang dapat mendukung sehubungan dengan gejala klinis. Faktor
resiko anemia gravis seperti jenis kelamin, penghasilan (status ekonomi),
pendidikan, usia, gaya hidup, keturunan. Anemia gravis juga dapat disebabkan
oleh komplikasi yang sering terjadi pada penderita keganasan (kanker), Infeksi
cacing pada manusia baik oleh cacing gelang, cacing cambuk maupun cacing
tambang dapat menyebabkan perdarahan yang menahun yang berakibat
menurunnya cadangan besi tubuh dan akhirnya menyebabkan timbulnya anemia
defisiensi besi. Pada penyakit malaria, anemia atau penurunan kadar hemoglobin
darah sampai dibawah normal disebabkan penghancuran sel darah merah yang
berlebihan oleh parasit malaria. Thalassemia merupakan penyakit herediter yang
disebabkan menurunnya kecepatan sintesis rantai alfa atau beta pada
hemoglobin, dan kekurangan zat besi. Beberapa pengobatan medis anemia
23
pola
makan,
dan
pembatasan
aktivitas.
Sebuah
studi
24
DAFTAR PUSTAKA
Achadi, Endang L., 2008. Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: PT. Rajagrafindo
Persada.
Adebisi OY, Strayhorn G. Anemia in pregnancy and race in the United States: blacks
at risk. Fam Med. Oct 2005;37(9):655-62.
Agus ZAN. Pengaruh Vitamin C Terhadap Absorpsi Zat Besi pada Ibu Hamil
Penderita Anemia. In : MEDIKA Jurnal Kedokteran dan Farmasi. Vol. XXX;
2004.p. 496 499.
Almatsier S., 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.p.75, 185-188, 249-254.
Anand I, McMurray JJV, Whitmore J, et al., 2004. Anemia and its relationship to
clinical outcome in heart failure. Circulation, 110, pp.149154.
Baliwati, Y.F., dkk. 2004. Pengantar Pangan dan Gizi. Penebar Swadaya: Jakarta.
Baradero M. 2008. Klien Gangguan Kardiovaskular: Seri Asuhan Keperawatan.
Jakarta: EGC
Borgna-Pignatti C, Rugolotto S, De Stefano P, et al. Survival and complications in
patients with thalassemia major treated with transfusion and deferoxamine.
Haematologica. Oct 2004;89(10):1187-93.
Bridges KR, Pearson HA., 2008. Anemias and other red cell disorders. New York:
Mc Graw-Hill
Carmel R. 2006. Cobalamin (Vitamin B12). Di dalam: Shils ME, Shike M, Ross AC,
Caballero B, Cousins RJ, editor. Modern Nutrition in Health and Disease. Ed ke10. Baltimore. Lippincott Williams and Wilkins.
Gallagher ML. 2008. The Nutrients and Their Metabolism. In : Mahan LK, EscottStump S. Krauses Food, Nutrition, and Diet Therapy. 12th edition.
Philadelphia: Saunders.
Ganong W. F. 2003. Buku ajar Fisiologi kedokteran. Bab 27 Sirkulasi Cairan Tubuh
hal. 513-515 Edisi 20. EGC : Jakarta
Gibson. 2005. Principles of Nutritional Assessment. New York. Oxford University Press.
26
Mozaffari-Khosravi H, Noori-Shadkam M, Fatehi F, Naghiaee Y. Once weekly lowdose iron supplementation effectively improved iron status in adolescent girls.
Biol Trace Elem Res. Aug 4 2009;epub ahead of print.
Nelwanti, Nurlina., 2004. Hubungan Faktor Internal Ibu Hamil dalam Kepatuhan
Mengkonsumsi Tablet Fe dengan Status Anemia. Ners jurnal keperawatan
Universitas Andalas 1.(1).14-18
Passweg JR, Prez WS, Eapen M, Camitta BM, Gluckman E, Hinterberger W, et al.
Bone marrow transplants from mismatched related and unrelated donors for
severe aplastic anemia. Bone Marrow Transplant. Apr 2006;37(7):641-9.
Perrotta S, Gallagher PG, Mohandas N. Hereditary spherocytosis. Lancet. Oct 18
2008;372(9647):1411-26.
Perrotta S, Della Ragione F, Rossi F, et al. {beta}-spectrinBari: a truncated {beta}chain responsible for dominant hereditary spherocytosis. Haematologica. Jul
16 2009;epub ahead of print
Potts, N. L. & Mandleco, B. L. 2007. Study guide to accompany pediatric nursing
(Second Edition). Canada: Thomson.
Price, S. A. 2005. Patofiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Ed.6 Vol.1&2.
Jakarta: EGC.
Radich JP. How I monitor residual disease in chronic myeloid leukemia. Blood. Oct
15 2009;114(16):3376-81.
Raspati H, Reniarti L, Susanah S., 2005. Anemia defisiensi besi. Dalam: Permono B,
Sutaryo, Ugrasena IDG, Windiastuti E, Abdulsalam M, penyunting. Buku
Ajar Hematologi Onkologi Anak. Jakarta: Badan penerbit IDAI
Robert C, Brown DL. 2003. Vitamin B12 Deficiency. Am Fam Physician 67: 979-986,
993-994.
Servilla KS, Singh AK, Hunt WC, et al. Anemia management and association of race
with mortality and hospitalization in a large not-for-profit dialysis
organization. Am J Kidney Dis. Sep 2009;54(3):498-510.
Setiawan B dan Rahayuningsih S. 2004. Angka Kecukupan Vitamin Larut Air.
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Ketahanan pangan dan Gizi di Era
Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta. LIPI.
Tarwoto, Warnidar., 2007. Buku Saku Anemia Pada Ibu Hamil, Konsep dan
Penatalaksanaan. Jakarta : Trans Info Media
Wahidiyat I., 2007. Masalah anemia pada anak di Indonesia. Dalam: Abdulsalam M,
Trijono PP, Kaswandani N dan Endyarni B. Pendekatan praktis pucat:
masalah kesehatan yang terabaikan pada bayi dan anak. Jakarta: FKUI/RSCM
Wang L, Lawrence MS, Wan Y, et al. SF3B1 and other novel cancer genes in chronic
lymphocytic leukemia. N Engl J Med. Dec 29 2011;365(26):2497-506.
Wolter M, Hermann S, Hahn A. 2003. B vitamin status and concentrations of
homocysteine and methylmalonic acid in elderly German women. Am J Clin Nutr
78(4): 765-772.
28