Anda di halaman 1dari 19

Mata Kuliah : Kapita Selekta Hematologi

Dosen Pembimbing : Yaumil Fachni Tandjungbulu,S.ST.,M.Kes

MAKALAH
“ANEMIA MIKROSITIK (PENYAKIT KRONIS)”

OLEH KELOMPOK 2

ADE SUCI PRATIWI (PO.71.4.203.17.1.002)

FITRIANA (PO.71.4.203.17.1.013)

RADIATUL ADAWIYAH (PO.71.4.203.17.1.034)

YUDISTIRA ANGGRAENI KOA (PO.71.4.203.17.1.042)

ZAKIA RAHMATIKA (PO.71.4.203.17.1.044)

MULIATI (PO.71.4.203.202.017)

NURHAIDIR H (PO.71.4.203.202.018)

SAHARIAH (PO.71.4.203.202.022)

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN MAKASSAR

PRODI DIV TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIK

2020-2021

i
KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
hikmat yang diberikan kepada saya sehingga dapat menyelesaikan makalah
tentang Anemia Mikrositik (penyakit kronis).
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada dosen pengajar yang
memberikan tugas ini, kiranya tugas ini dapat memberikan pengetahuan kepada
saya.
Saya pun menyadari bahwa makalah ini sangat jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan masukan yang membangun kami nantikan untuk
penyempurnaan makalah ini.

Makassar,5 Oktober 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Sampul...........................................................................................................i

Kata Pengantar...............................................................................................ii

Daftar Isi........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN..............................................................................1

A.Latar Belakang.....................................................................................1

B.Rumusan Masalah................................................................................2

C.Tujuan...................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN...............................................................................3

A. Gambaran Umum Anemia Penyakit kronis.......................................3

B. Patofisiologi Anemia Penyakit Kronis................................................4

C. Perbandingan data LAB APK dan ADB.............................................5

D. Tata Laksana Anemia Penyakit Kronis...............................................6

E. Cara Pengobatan Anemia Penyakit Kronis.........................................7

F. Prognosis APK....................................................................................8

BAB III PENUTUP.................................................................................9

A.Kesimpulan..........................................................................................9

B. Saran....................................................................................................9

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................10

BAB I
PENDAHULUAN

Anemia penyakit kronis (APK) merupa- kan anemia dengan prevalensi


tersering kedua setelah anemia defisiensi besi. Anemia jenis ini dapat terjadi pada
semua usia, terutama mereka yang memiliki penyakit kronis. APK dapat ter- jadi
dalam beberapa derajat yaitu ringan, sedang, dan berat. Penyebab utama APK
belum diketahui dengan pasti namun beberapa penyebab APK yang mungkin
antara lain peradangan kronis, in- feksi kronis, trauma, dan penyakit keganasan.

Anemia sering dijumpai pada pasien dengan penyakit kronis dan


meningkatkan morbiditas dan mortalitas dari pasien. Prevalensi anemia penyakit
kronis trdapat pada urutan kedua tersering setelah anemia defisiensi besi. Anemia
penyakit kronis sering terjadi bersamaan dengan anemia defisiensi besi dan
keduanya meberikan gambaran penurunan besi dalam serum. Namun,kedua jenis
anemia ini perlu dibedakan karena terdapat perbedaan pathogenesis dan tata
laksana keduanya. Beberapa parameter besi lain perlu diperiksa untuk
membedakannya. Terapi utama pada anemia penyakit kronis adalah dengan
mengatasi penyakit yang mendasari.

Anemia akibat penyakit kronis berbeda dengan anemia defisiensi besi.


Anemia akibat penyakit kronis pada tahap awal ditandai dengan gambaran darah
tepi normokrom normositer yang kemudian menjadi hipokrom mikrositer. Anemia
akibat penyakit kronis biasanya tidak terlihat karena tertutup oleh penyakit
dasarnya. Anemia jenis ini merupakan penyebab anemia tersering kedua setelah
anemia defisiensi besi. Sebagian besar penyebab anemia pada penyakit kronis
diakibatkan oleh adanya sitokin yang mengham- bat produksi eritropoietin,
menghambat sintesis sel darah merah, dan peningkatan produksi hep- sidin.
Sitokin ini berasal dari inflamasi yang bia- sa terjadi pada penyakit yang
mendasari anemia ini. Diagnosis anemia penyakit kronis memer- lukan
pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan yang paling sering dilakukan adalah
hitung darah lengkap, kadar feritin, penanda inflamasi, serum besi dan lainnya.
Prognosis yang baik dapat di- peroleh dengan mengobati penyakit kronis yang
mendasari dari anemia ini. Apabila tidak ditan- gani dengan baik, anemia jenis ini
dapat menye- babkan peningkatan angka mortalitas, tergantung dari jenis penyakit
yang mendasarinya

B. Rumusan Masalah
a. Bagaimana Gambaran Umum Anemia Penyakit Kronis?

b. Bagaimana Patofisiologi Anemia Penyakit Kronis?

c. Bagaimana Perbandingan data Laboratorium Anemia Penyakit


Kronis dan Anemia defisiensi besi?

d. Bagaimana Tata laksana Anemia Penyakit Kronis?

e. Bagaimana cara Pengobatan anemia Penyakit Kronis?

f. Bagaimana Prognosis anemia penyakit kronis?

C. Tujuan

a. Untuk mengetahui Gambaran Umum Anemia Penyakit Kronik?

b. Untuk mengetahui Patofisiologi Anemia Penyakit Kronis?

c. Untuk mengetahui Gambaran Perbandingan data Laboratorium


Anemia Penyakit Kronis dan Anemia defisiensi besi?

d. Untuk mengetahui Tata laksana Anemia Penyakit Kronis?

e. Untuk mengetahui cara Pengobatan anemia Penyakit Kronis?

f. Untuk mengetahui Prognosis anemia penyakit kronis?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Anemia Penyakit Kronik

Anemia akibat penyakit kronik adalah penurunan kadar Hb


sekunder akibat penyakit kronik (inflamasi kronik, infeksi atau
keganasan) dan merupakan komorbiditas yang paling sering terjadi
pada penyakit kronik. Pada anak dengan artritis reumatoid juvenil
ditemukan sebanyak 40.8% mengalami anemia, sedangkan pada
penyakit lupus eritematosus sistemik sebesar 37.1% dan pada anak
dengan gagal ginjal kronik sebesar 26%.
Patogenesis anemia pada penyakit kronik melibatkan sistem
imun yaitu sitokin dan sistem retikuloendotelial, yang memicu
perubahan dalam homeostasis besi, penghambatan proliferasi sel
progenitor eritroid dan produksi eritropoietin. Pada anemia penyakit
kronik, pengambilan dan retensi besi dalam sel retikuloendotelial
meningkat keadaan ini menyebabkan besi yang tersedia terbatas
untuk digunakan oleh sel progenitor dan proses eritropoiesis.
Makrofag akan melakukan eritrofagositosis serta mengambil besi
serum melalui divalent metal transporter 1 (DTM1). Sitokin yaitu
IL-1 dan IL-6 mengaktifkan sintesis feritin sehingga terbentuk
banyak feritin yang memiliki kapasitas penyimpanan besi. Hal ini
mengakibatkan besi dengan mudah akan tersimpan dalam sel dan
tidak beredar bebas dalam sirkulasi. Hepsidin suatu protein fase akut
yang dihasilkan oleh hepar turut berperan yaitu dengan menghambat
absorpsi besi di duodenum serta menahan pelepasan besi oleh
makrofag dengan cara menghambat ferroportin.
Patogenesis anemia pada penyakit kronik melibatkan sistem
imun yaitu sitokin dan sistem retikuloendotelial, yang memicu
perubahan dalam homeostasis besi, penghambatan proliferasi sel
progenitor eritroid dan produksi eritropoietin. Pada anemia penyakit
kronik, pengambilan dan retensi besi dalam sel retikuloendotelial
meningkat keadaan ini menyebabkan besi yang tersedia terbatas
untuk digunakan oleh sel progenitor dan proses eritropoiesis.
Makrofag akan melakukan eritrofagositosis serta mengambil besi
serum melalui divalent metal transporter 1 (DTM1). Sitokin yaitu
IL-1 dan IL-6 mengaktifkan sintesis feritin sehingga terbentuk
banyak feritin yang memiliki kapasitas penyimpanan besi. Hal ini
mengakibatkan besi dengan mudah akan tersimpan dalam sel dan
tidak beredar bebas dalam sirkulasi. Hepsidin suatu protein fase akut
yang dihasilkan oleh hepar turut berperan yaitu dengan menghambat
absorpsi besi di duodenum serta menahan pelepasan besi oleh
makrofag dengan cara menghambat ferroportin.
Profil darah tepi pada anemia penyakit kronik adalah anemia
ringan sampai sedang (kadar Hb 8-11 g/dl). Gambaran eritrosit
umumnya normositik normokrom namun pada keadaan yang berat
menjadi mikrositik hipokrom. Pada anemia penyakit kronik,
retikulosit rendah yang menunjukkan kegagalan produksi retikulosit
untuk mengkompensasi jumlah eritrosit yang menurun. Jumlah
leukosit dan trombosit mengikuti perjalanan penyakit yang
mendasarinya.
Anemia pada penyakit kronik sulit dibedakan dengan anemia
defisiensi besi. Pemeriksaan laboratorium dengan memeriksa profil
besi dalam tubuh dapat membantu membedakan keduanya

Profil Besi pada anemia penyakit kronik dan anemia defisiensi besi
Variabel APK ADB
Besi Menurun Menurun
TIBC Menurun Normal/meningkat
Transferin Menurun/normal Meningkat
Saturasi transferin menurun Menurun/normal
Feritin Normal/meningkat menurun
Soluble transferin normal meningkat
reseptor (Str)
Rasio sTR: log Rendah <1 Tinggi >2
feritin
Sitokin meningkat Normal

Profil besi pada APK menunjukkan kadar besi serum dan


saturasi transferin menurun serta kadar feritin meningkat. Cadangan besi
yang cukup tetap tersimpan dalam makrofag sehingga tidak dapat
digunakan untuk sintesis sel darah merah. Hal yang paling
membedakan APK dari ADB adalah ferritin yang meningkat. Bila
terdapat kadar ferritin yang rendah pada APK, maka ADB telah terjadi.
Kadar besi serum mungkin rendah pada kedua jenis anemia tsb, namun
TIBC akan meningkat pada ADB dan menurun pada APK. Saat kedua
jenis anemia terjadi bersamaan, saturasi
transferin mungkin akan turun. Reseptor transferin adalah
parameter terbaru untuk membedakan APK dari ADB. Pemeriksaan
reseptor transferin yang dilakukan adalah pemeriksaan kadar soluble
transferin receptor (sTR) yang diproduksi dari pengelupasan membran
reseptor transferin saat maturasi eritrosit, kadar sTR normal atau menurun
pada APK dan meningkat pada ADB.

Tata laksana anemia penyakit kronik yang paling baik adalah


mengobati penyakit yang mendasarinya, hal ini sesuai dengan
patogenesis APK. Penggunaan eritropoietin rekombinan telah dicoba
untuk menstimulasi produksi eritrosit terutama pada pasien dalam
pengobatan kemoterapi, pasien dengan gagal ginjal kronik dan pasien
imunokompremais. Terapi ini telah berhasil mengurangi kebutuhan
transfusi namun efek sampingnya perlu diperhatikan yaitu dapat
mencetuskan terbentuknya sitokin yang akan memperparah penyakit.
Pemberian transfusi darah harus dipertimbangkan dengan cermat
mengingat transfusi memiliki efek samping yang tidak menguntungkan.
Transfusi diindikasikan untuk anemia yang berat dan telah
membahayakan pasien juga bila terjadi komplikasi pada pasien seperti
perdarahan. Pemberian suplemen besi secara oral tidak akan
memberikan perbaikan pada APK.

B. Patofisiologi Anemia Penyakit Kronis

APK disebabkan oleh terganggunya fungsi sel darah merah akibat


ketidakmampuan penggunaan besi dengan efisien. Selain itu, tu- buh juga
tidak mampu merespon eritropoietin (EPO) secara normal. EPO adalah
hormon yang disekresikan oleh ginjal untuk menstimulasi pem- bentukkan
sel darah merah oleh sumsum tulang. Seiring berjalannya waktu, kejadian
ini menye- babkan jumlah sel darah merah lebih rendah dari nilai
normalnya.

Respon sistem imun dalam tubuh ter- hadap infeksi/inflamasi


adalah mengeluarkan sitokin. Sitokin membantu memulihkan tubuh dan
memberikan pertahanan melawan infeksi. Sitokin yang dihasilkan dari
proses infeksi/infla- masi tersebut memicu terjadinya perubahan pola

distribusi besi.3 Namun, sitokin juga dapat meng- ganggu kemampuan


penyerapan dan penggunaan besi oleh sel darah merah. Inflmamatory
Bowel Disease (IBD), termasuk penyakit Chron, juga dapat menyebabkan
hipoferemia karena ganggu- an penyerapan besi dan perdarahan pada
saluran cerna.

Pada penyakit keganasan (kanker) juga terjadi seperti pada


keadaan infeksi dimana adan- ya pengeluaran sitokin pro-inflamasi (IL-
1, IL-6, Tumor Necrosis Factor alpha (TNF-α)). Anemia juga dapat
diperburuk dengan adanya invasi sel- sel kanker ke sumsum tulang atau
akibat terapi kanker (baik kemoterapi atau radioterapi). Inflamasi yang
disebabkan oleh infek- si, penyakit autoimun, dan kanker menstimula-
si pembentukan sitokin seperti interferon, IL-1, IL-6, serta sitokin
lainnya yang terbukti dapat memicu terjadinya peningkatan produksi
hepsi- din. Hepsidin ini dapat mengurangi fungsi dari ferroportin pada
enterosit dan makrofag duode- num sehingga mengganggu penyerapan
besi dari duodenum dan menyebabkan besi sulit dilepas dari sistem
retikuloendotelial sehingga terjadi defisiensi besi relatif.
Anemia Penyakit Anemia Defisiensi Kombinasi
Kronis Besi
Hemoglobin ± 9 g/dl Bervariasi Bervariasi
MCV dan MCH Normal/ rendah Selalu rendah Selalu rendah
Serum besi Rendah Rendah Rendah
KIBT/TIBC Normal/ rendah Selalu tinggi Bervariasi
Ferritin >25 atau sering >59 <12 Sering <12
Besi sumsum Normal/ tinggi Kosong Kosong
tulang
Sideroblas Kurang Sangat kurang Sangat
kurang
Respon besi Tak ada Baik Sebagian
Reseptor transferin Meningkat Meningkat Meningkat

C. Perbandingan data Laboratorium Anemia Penyakit Kronis dan Anemia


defisiensi besi

1. Serum besi dan saturasi transferrin


Konsentrasi serum besi dan saturasi trans- ferrin yang menurun
menunjukkan defisiensi besi absolut pada anemia defisiensi besi
sedangkan hipoferemia karena retensi pada sistem retikulo- endotelial
ditemukan pada anemia defisiensi besi relatif. Pada anemia penyakit
kronis, penurunan saturasi transferrin disebabkan karena penurunan
serum besi sedangkan pada anemia defisiensi besi disebabkan karena
konsentrasi transporter transferrin meningkat.
2. Pengukuran kadar besi sumsum tulang
Pemeriksaan cadangan besi sumsum tulang merupakan standar
baku untuk membeda- kan anemia defisiensi besi dengan anemia pen-
yakit kronis. Pada anemia defisiensi besi, cadan- gan besi akan sangat
berkurang berbeda dengan anemia penyakit kronis yang meningkat.
Teknik pemeriksaan ini jarang dilakukan dalam praktek sehari-hari
karena bersifat invasif.

3. Ferritin
Ferritin merupakan cadangan besi dalam jaringan. Pemeriksaaan
kadar serum ferritin rutin dilakukan untuk menentukan diagnosis
defisiensi besi karena pemeriksaan ini merupakan indika- tor paling
dini pada keadaan bila cadangan besi menurun. Akan tetapi, pada
keadaan inflamasi atau infeksi, kadarnya dapat meningkat sehingga
dapat menggangu interpretasi keadaan sesung- guhnya.

4. Reseptor transferrin
Reseptor ini diekspresikan pada permu-kaan sel yang
memerlukan besi dan bertindak sebagai molekul pembawa besi.
Reseptor ini merupakan parameter untuk mengukur kegiatan
eritropoiesis.
5. Indeks sTfR-F(LogFeritin/Reseptor- Transferin)
Ferritin menggambarkan cadangan besi dalam jaringan
sedangkan reseptor transferring menggambarkan bagian fungsional
besi. Per- hitungan rasio kadar feritin dan reseptor trans- ferin yang
dihitung dengan menggunakan indeks Soluble transferrin receptor-
ferritin (sTfR-F) dapat dipertimbangkan sebagai salah satu metode
untuk membedakan anemia defisiensi besi dan anemia penyakit
kronis. Penelitian menunjuk- kan perbedaan bermakna dan
peningkatan sensi- tivitas dan spesivitas dalam diagnosis defisiensi
zat besi. Nilai rujukan rata-rata untuk indeks sT- fR-F adalah 0,5–1,2
mg/dL untuk laki-laki dan 0,5–1,8 mg/dLuntuk perempuan.
6. Eritropoietin
Pengukuran level eritropoietin hanya ber- guna untuk pasien
anemia dengan level hemoglo- bin <10g/dL. Pengukuran level
eritropoietin ini digunakan untuk mengetahui respon dari tata lak- sana
anemia menggunakan agen eritropoietin.
D. Tata Laksana Anemia Penyakit Kronis

Anemia penyakit kronis biasanya mer- upakan komplikasi dari


suatu penyakit kronis. Tujuan dari tata laksana APK adalah memper-
baiki penyakit kronis yang mendasarinya. Pen- anganan awal dari
anemia penyakit kronis hanya bertujuan untuk meningkatkan kadar
hemoglobin melalui transfusi darah atau pemberian zat besi.

Namun, saat ini tata laksana berubah sesuai den- gan penyakit
sistemik yang mendasarinya. Beri- kut adalah tata laksana yang dapat
dipertimbang- kan pada anemia penyakit kronis.

a. Tata Laksana Rasional


Tata laksana rasional pada anemia penyakit kro-nis berdasarkan
dua hal, yaitu (1) Anemia dapat memburuk sehingga membutuhkan
kompensa- si dari peningkatan curah jantung untuk mem- pertahankan
hantaran oksigen ke seluruh tubuh dan (2) Anemia menunjukkan
prognosis buruk, terlebih pada pasien usia lanjut dengan faktor risiko
(penyakit arteri koroner, penyakit paru, ga- gal ginjal kronis). 5,23
Kadar Hb ≤ 8 g/dL pada pasien penyakit ginjal kronis dan menjalani
he- modialisis menunjukkan adanya peningkatan 2 kali risiko kematian
jika dibandingkan dengan pasien dengan kadar Hb 10–11 g/dL.20
Pasien dengan kadar Hb >10 g/dL menunjukkan adanya perbaikan
angka kehidupan dan juga hasil terapi yang baik.

b. Tata Laksana Pilihan

- Transfusi
Terapi transfusi diberikan untuk interven- si yang cepat dan
efektif, terutama pada anemia yang mengancam jiwa (Hb <6,5
g/dL). Tidak ada batasan kadar hemoglobin yang pasti sebagai in-
dikasi pemberian transfusi tetapi sebaiknya kadar hemoglobin
pasien dipertahankan pada 10-11 g/ dL. Walaupun transfusi dapat
meningkatkan an- gka kelangsungan hidup, transfusi juga dapat
meningkatkan risiko kegagalan multi-organ dan

angka mortalitas pada pasien kritis. Transfusi da- rah jangka


panjang tidak direkomendasikan pada anemia penyakit kronis dengan
kanker/gagal gin- jal kronis karena risiko serta efek samping berupa
overload besi dan sensitisasi antigen HLA yang terjadi pada pasien
sebelum transplantasi ginjal.

- Terapi Zat Besi


Pemberian terapi zat besi pada anemia penyakit kronis hanya
diberikan apabila terdapat defisiensi zat besi. Defisiensi besi pada
anemia penyakit kronis diberikan suplementasi besi baik secara
tunggal atau kombinasi dengan agen stim- ulasi eritropoietin.
Walaupun pemberian tablet besi secara oral mudah diaplikasikan
dan biaya yang dibutuhkan sedikit, tetapi efektifitasnya menurun
karena hepsidin membatasi penyerapan besi pada saluran cerna.
Oleh karena itu, pembe- rian besi secara intravena jauh lebih
efektif.
- Eritropoietin
Selain untuk menghindarkan pasien dari transfusi serta efek
sampingnya, pemberian er- itropoietin juga mempunyai
keuntungan berupa efek anti-inflamasi dengan cara menekan pro-
duksi dari TNF-α dan interferon-γ. Pemberian eritropoietin
dikhususkan pada anemia penyakit kronis dengan penyakit gagal
ginjal kronis yaitu pemberian eritropoietin alfa.

c. Terapi Monitoring
Sebelum memulai terapi dengan agen eritropoi- etik (eritropoietin
alfa), defisiensi besi harus dis- ingkirkan terlebih dahulu.
Pemantauan respon terhadap agen eritropoetik dengan memeriksa
ka- dar hemoglobin setelah empat minggu terapi. Jika kadar
hemoglobin meningkat <1 g/dL, evaluasi status besi kembali dan
pertimbangkan suplemen besi. Apabila konsentrasi hemoglobin
mencapai 12 g/dL, dosis perlu disesuaikan kembali. Jika setelah
delapan minggu pada dosis optimal tidak ada perbaikan bermakna,
dapat dikatakan bahwa pasien memiliki respon terhadap agen
eritropo- etik.

E. Pengobatan

Terapi utama pada anemia penyakit kronis adalah mengobati penyakit


dasarnya. Terdapat beberapa cara dalam mengobati anemia jeis
ini,antar lain:
- Tranfusi

Merupakan pilihan kasus-kasus yang disertai gangguan


hemodinamika. Tidak ada batasan yang pasti pada kadar Hb berapa
kita harus memberi tranfusi. Beberapa literature menyebutkan
bahwa pasien anemia penyakit kronik yang terkena infak miokard
tranfusi dapat menurunkan angka kematian secara bermakna.
Demikian pula dengan pasien anemia penyebab kangker,sebaiknya
kadar Hb dipertahankan 10-11 gr/dl.

- Preparat Besi

Pemberian preparat besi pada anemia penyakit kronik masih dalam


perdebatan. Sebagian pakar masih memberikan preparat besi
dengan alas an besi dapat mencegah pembentukan TNF-a. Alasan
Lain pada penyakit inflamasi usus dan gagal ginjal preparat
terbukti dapat meningkatkan kadar Hb. Dan pemberian preparat
besi belum direkomendasikan untuk diberikan pada pasien anemia
penyakit kronik.

- Eritropoetin

Data penelitian menunukkan bahwa pemberian eritropoetin


bermanfaat dan sudah disepakati untuk diberikan pada pasien
anemia penyebab kanker,gagal ginjal,myeloma multiple,arthritis
rheumathoid dan HIV. Selain dapat menghindari tranfusi beserta
efeknya,pemberian erithropoetin juga memberikan keuntungan
yaitu,mempunyai efek anti inflamasi dengan cara menekan
produksiTNF-a dan interferon gamma serta akan menambah
proliferasi sel-sel kanker ginjal serta meningkatkan rekurensi pada
kanker kepala dan leher.

F. Prognosis
Anemia Penyakit kronis yang merupakan salah satu fitur utama
dari penyakit ginjal kronis (CKD) dimana CKD sendiri sering
bersamaan pada pasien dengan infark miokard akut (AMI). Bukti
klinis dari Negara Amerika dan penelitian di Eropa menunjukkan
bahwa anemia dan CKD berhubungan dengan meningkatnya
morbiditas dan mortalitas pada pasien AMI selama jangka pendek
serta jangka panjang . Disis lain,sindrrom anemia
cardiorenal,dimana terdapat secara simultan CKD,anemia dan
gagal jantung menciptakan hubungan timbal balik secara patologis
sehingga menghasilkan dampak yang merugikan sinergis dengan
morbiditas dan mortilitas.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Anemia akibat penyakit kronis berbeda dengan anemia


defisiensi besi. Anemia akibat penyakit kronis pada tahap awal
ditandai dengan gambaran darah tepi normokrom normositer yang
kemudian menjadi hipokrom mikrositer. Anemia akibat penyakit
kronis biasanya tidak terlihat karena tertutup oleh penyakit
dasarnya. Anemia jenis ini merupakan penyebab anemia tersering
kedua setelah anemia defisiensi besi.

.B. Saran

Makalah tersebut masih penuh dengan kekurangan,


diharapkan kepada pembaca untuk memberikan kritik dan saran
yang membangun guna untuk pembuatan makalah selanjutnya agar
lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA

H.Hardjoeno Dkk.Guru besar Emeritus pada Fakultas Kedokteran


Hasanuddin,Interpretasi Hasil Tes laboratorium Diagnostik,
Makassar, 2007

J.indon Med Assoc,Jurnal Anemia Penyakit Kronis. Volum:68.nomor:10


oktober 2018

LeeGR.The anemia of chronic disorders. Semin Hae- matol. 1983:20;61-


80.

Anda mungkin juga menyukai