Anda di halaman 1dari 25

58

2.4 LAPARATOMY-CHOLISISTEKTOMY
2.4.1 LAPARATOMY
2.4.1.1 Definisi
Laparatomi adalah operasi yang dilakukan untuk membuka abdomen
(bagian perut). Kata "laparotomi" pertama kali digunakan untuk merujuk operasi
semacam ini pada tahun 1878 oleh seorang ahli bedah Inggris, Thomas Bryant.
Kata tersebut terbentuk dari dua kata Yunani, lapara dan tome. Kata lapara
berarti bagian lunak dari tubuh yg terletak di antara tulang rusuk dan pinggul.
Sedangkan tome berarti pemotongan (Kamus Kedokteran, 2011). Bedah
laparatomi merupakan tindakan operasi pada daerah abdomen. Laparatomi yaitu
insisi pembedahan melalui pinggang (kurang begitu tepat), tapi lebih umum
pembedahan perut (Harjono, 1996). Ramali Ahmad (2000) mengatakan bahwa
laparatomi yaitu pembedahan perut, membuka selaput perut dengan operasi.
Sedangkan menurut Arif Mansjoer (2000), laparotomi adalah pembedahan yang
dilakukan pada usus akibat terjadinya perlekatan usus dan biasanya terjadi pada
usus halus. Bedah Laparatomi adalah tindakan operasi pada daerah abdomen
merupakan teknik sayatan yang dilakukan pada daerah abdomen yang dilakukan
pada bedah digesif dan kandungan. Adapun tindakan digesif yang sering
dilakukan dengan teknik sayatan arah laparatomi(Smeltzer, 2001).
2.4.1.2 Teknik Laparatomy
Teknik Sayatan Laparatomi Menurut Sjamsuhidayat dan Jong (2006),
bedah laparatomi merupakan teknik sayatan yang dilakukan pada daerah
abdomen. Teknik sayatan dapat dilakukan pada bedah digestif dan kandungan
(Bedah Unhas, 2013), dimana arah sayatan meliputi :
a) Midline Epigastric Insision (irisan median atas) Insisi dilakukan persis pada
garis tengah dimulai dari ujung Proc. Xiphoideus hingga satu sentimeter
diatas umbilikus. Membuka peritoneum dari bawah.
b) Midline Sub-umbilical Insision (irisan median bawah) Irisan dari umbilikus
sampai simfisis, membuka peritoneum dari sisi atas. Irisan median atas dan
bawah dapat disambung dengan melingkari umbilikus.

59

c) Paramedian Insision trapp door (konvensional) Insisi ini dapat dibuat baik
di sebelah kanan atau kiri dari garis tengah. Kira-kira 2,5cm sampai 5cm
dari garis tengah. Insisi dilakukan vertikal, diatas sampai bawah umbilikus,
M. Rectus Abdominis didorong ke lateral dan peritoneum dibuka juga
2,5cm lateral dari garis tengah. 11
d) Lateral Paramedian Insision Modifikasi dari parame89dian insision yang
dikenalkan oleh Guillou. Dimana fascia diiris lebih lateral dari yang
konvensional. Secara teoritis, teknik ini akan memperkecil kemungkinan
terjadinya wound dehiscence dan insisional hernia dan lebih baik dari yang
konvensional.
e) Vertical Muscle Splitting Insision (paramedian transrect) Insisi ini sama
dengan paramedian insision konvensional, hanya otot rectus pada insisi ini
dipisahkan secara tumpul (splitting longitudinally) pada tengahnya, atau jika
mungkin pada tengahnya. Insisi ini berguna untuk membuka scar yang
berasal dari insisi paramedian sebelumnya. Kemungkinan hernia sikatrikalis
lebih besar.
f) Kocher Subcostal Insision Insisi Subcostal kanan yang biasanya digunakan
untuk pembedahan empedu dan saluran empedu.
g) McBurney Gridiron (Irisan oblique) Dilakukan untuk kasus apendisitis akut
dan diperkenalkan oleh Charles McBurney pada tahun 1894, otot-otot
dipisahkan secara tumpul.
h) Rocky Davis Insisi dilakukan pada titik McBurney secara transverse skin
crease, irisan ini lebih kosmetik.
i) Pfannenstiel Insision Insisi yang popular dalam bidang ginekologi dan juga
dapat memberikan akses pada ruang retropubic pada laki-laki untuk
melakukan extraperitoneal retropubic prostatectomy.
j) Thoracoabdominal Insisi Thorakoabdominal, baik kanan maupun kiri, akan
membuat cavum pleura dan cavum abdomen menjadi satu. Insisi
thorakoabdominal kanan biasanya dilakukan untuk melakukan emergensi
ataupun elektif reseksi hepar. Insisi thorakoabdominal kiri efektif jika
dilakukan untuk melakukan reseksi dari bagian bawah esophagus dan
bagian proximal dari lambung

60

2.4.1.3 Jenis Tindakan Laparatomy


Tindakan bedah yang sering dilakukan dengan teknik sayatan arah
laparatomi adalah berbagai jenis operasi. Contohnya operasi uterus, operasi
ovarium, operasi ileus selain tindakan bedah dengan teknik sayatan laparatomi
dengan bedah digesif dan kandungan. (Smeltzert, 2001). Post operatif Laparatomi
merupakan tahapan setelah proses pembedahan pada area abdomen (laparatomi)
dilakukan.
Jenis Tindakan Operasi Laparatomi Menurut Indikasi Tindakan bedah
digestif yang sering dilakukan dengan teknik sayatan arah laparatomi yaitu:
a) Herniotomi Tindakan bedah hernia disebut herniotomi. Herniotomi adalah
operasi pembebasan kantong hernia sampai ke lehernya, kantong hernia
dibuka dan isi hernia dibebaskkan kalau ada perlengketan, kemudian
direposisi, kantong hernia dijahit ikat setingggi mungkin lalu dipotong
(Sjamsuhidayat dan Jong, 2006).
b) Gastrektomi Suatu tindakan reseksi pada lambung baik keseluruhan
lambung maupun sebagian. Prosedur ini biasanya digunakan untuk
mengobati kanker, tetapi juga digunakan untuk mengobati ulkus lambung
yang tidak berespon terhadap terapi obat. Gastrektomi Billroth I adalah
gastrektomi parsial, yaitu bagian lambung yang masih ada dilakukan
anastomosis dengan duodenum. Gastrektomi parsial Polya (di Amerika
Serikat

lebih

dikenal

dengan

gastrektomi

Billroth

II)

meliputi

pengangkatan sebagian lambung dan duodenum serta anastomosis bagian


lambung yang masih ada dengan jejunum. Gastrektomi total adalah operasi
radikal yang dilakukan untuk kanker di bagian atas lambung.
c) Kolesistoduodenostomi

Pembedahan pada tumor obstruksi duktus

koleduktus, kaput pankreas, papilla vater, duktus pankreas, duodenum,


vena mesentrikasuperior, duktus hepatikus, arteri mesenterika superior dan
kandung empedu.
d) Hepatektomi Hepatektomi adalah operasi bedah untuk mengangkat
sebagian atau seluruh bagian organ hati. Tindakan hepatektomi sering
digunakan untuk mengobati kanker hati. Hepatektomi parsial adalah

61

pembedahan yang hanya mengangkat tumornya saja (sebagian dari hati).


Hepatektomi total adalah operasi yang kompleks di mana seluruh hati atau
liver akan diangkat. 14 Prosedur ini diikuti dengan transplantasi hati
karena tubuh tidak dapat hidup tanpa hati.
e)

Splenorafi atau splenotomi Splenotomi adalah adalah sebuah metode


operasi pengangkatan limpa, yang mana organ ini merupakan bagian dari
sistem getah bening. Splenotomi biasanya dilakukan pada trauma limpa,
penyakit keganasan tertentu pada limpa (hodkins disease dan nonhodkins limfoma, limfositis kronik, dan CML), hemolitik jaundice,
idiopatik trombositopenia purpura, atau untuk tumor, kista, dan
splenomegali.

f) Apendektomi Tindakan pembedahan yang dilakukan pada apendiks akibat


peradangan baik bersifat akut maupun kronik. Teknik apendektomi dengan
irisan Mc. Burney secara terbuk
g) Kolostomi merupakan kolokytaneostomi yang disebut juga anus
preternaturalis yang dibuat sementara atau menetap.
h)

Hemoroidektomi Terapi bedah dipilih untuk penderita yang mengalami


keluhan menahun dan pada penderita hemoroid derajat III dan IV.

i) Fistulotomi atau fistulektomi Pada fistel dilakukan fistulotomi atau


fistulektomi artinya fistel dibuka dari lubang asalnya sampai lubang kulit.
Luka dibiarkan terbuka sehingga proses penyembuhan dimulai dari dasar
persekundan intertionem.
2.4.1.4 Komplikasi Post Laparatomi
a) Stitch Abscess Biasanya muncul pada hari ke-10 pasca operasi atau bisa
juga sebelumnya, sebelum jahitan insisi tersebut diangkat. Abses ini dapat
superfisial atau lebih dalam. Jika dalam ia dapat berupa massa yang teraba
dibawah luka, dan terasa nyeri jika diraba.
b) Infeksi Luka Operasi Biasanya jahitan akan terkubur didalam kulit sebagai
hasil dari edema dan proses inflamasi sekitarnya. Infeksi luka sering muncul
pada 36 jam sampai 46 jam pasca operasi. Penyebabnya dapat berupa
Staphylococcus Aureus, E. Colli, Streptococcus Faecalis, Bacteroides.

62

Pasien biasanya akan mengalami demam, sakit kepala, anorexia dan


malaise.
c)

Gas Gangrene Biasanya berupa rasa nyeri yang sangat pada luka operasi,
biasanya 12 jam sampai 72 jam pasca operasi, peningkatan temperature
(39C sampai 41C), takikardia, dan syok yang berat.

d) Hematoma Kejadian ini kira-kira 2% dari komplikasi operasi. Keadaan ini


biasanya hilang dengan sendirinya.
e) Keloid Scar Penyebab dari keadaan ini hingga kini tidak diketahui, hanya
memang sebagian orang mempunyai kecenderungan untuk mengalami hal
ini lebih dari orang lain.
f) Abdominal Wound Disruption and Evisceration Disrupsi ini dapat partial
ataupun total. Insidensinya sendiri bervariasi antara 0% sampai 3% dan
biasanya lebih umum terjadi pada pasien lebih dari 60 tahun. Jika dilihat
dari jenis kelamin, perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 4: 1.
Proses Penyembuhan Luka Penyembuhan merupakan suatu sifat dari
jaringan-jaringan yang hidup. Hal ini juga diartikan sebagai pembentukan kembali
atau pembaharuan dari jaringan-jaringan tersebut. Dalam Potter dan Perry (2006)
disebutkan bahwa penyembuhan dapat dibagi dalam tiga fase:
a) Fase Peradangan (Inflamasi)
Fase peradangan atau inflamasi merupakan reaksi tubuh terhadap
luka yang dimulai setelah beberapa menit dan berlangsung selama sekitar
tiga hari setelah cedera. Ada dua proses utama yang terjadi selama fase
peradangan ini, yaitu hemostatis (mengontrol perdarahan) dan epitelialisasi
(membentuk selsel epitel pada tempat cedera). Respon terhadap peradangan
ini sangat penting terhadap proses penyembuhan. Terlalu sedikit inflamasi
yang terjadi akan menyebabkan fase inflamasi berlangsung lama dan proses
perbaikan

menjadi

lama.

Terlalu

banyak

inflamasi

juga

dapat

memperpanjang masa penyembuhan karena sel yang tiba pada luka akan
bersaing untuk mendapatkan nutrisi yang memadai.
b) Fase Regenerasi (Proliferasi)
Fase proliferatif (tahapan pertumbuhan sel), fase kedua dalam proses
penyembuhan, memerlukan waktu tiga sampai 24 hari. Fase regenerasi

63

merupakan fase pengisian luka dengan jaringan granulasi yang baru dan
menutup bagian atas luka dengan epitelisasi.
c) Fase Remodeling (Maturasi)
Maturasi merupakan tahap terakhir proses penyembuhan luka, dapat
memerlukan waktu lebih dari satu tahun, bergantung pada kedalaman dan
luas luka. Jaringan parut kolagen terus melakukan reorganisasi dan akan
menguat setelah beberapa bulan. Namun, luka yang telah sembuh biasanya
tidak memiliki daya elastisitas yang sama dengan jaringan yang
digantikannya.
2.4.1.5 Kondisi Luka Pasca Operasi
Luka operasi pada prinsipnya adalah luka berada dalam kondisi bersih.
Luka bedah akan mengalami penyembuhan primer. Tepi-tepi kulit merapat
sehingga mempunyai risiko infeksi yang rendah. Untuk mencegah terjadinya
komplikasi, maka dilakukan manajemen luka pada ruang perawatan meliputi
perawatan luka sampai dengan pengangkatan jahitan (Majid, Judha, dan Istianah,
2011).
Kondisi luka yang melewati fase inflamasi dan memasuki tahap proliferasi
merupakan indikator proses penyembuhan luka yang akan mempercepat lama
perawatan di rumah sakit (Potter dan Perry, 2006).
Usia Gustia (2010) dalam detikhealth.com, menjelaskan penelitian terbaru
yang menyebutkan bahwa seseorang berhenti menjadi muda di usia 35 tahun dan
mulai masuk kategori tua saat usia 58 tahun. Pengkategorian usia ini sangat
penting untuk mengklasifikasikan gaya hidup yang sesuai untuk usia seseorang.
26 Semakin tua atau semakin meningkatnya usia, dihubungkan dengan lambatnya
pemulihan dan menurunnya kemampuan penyembuhan jaringan. Menurut Butler
(2006), usia tua akan berhubungan dengan perubahan pada penyembuhan luka
yang berkaitan dengan penurunan respon inflamasi, angiogenesis yang tertunda,
penurunan sintesis dan degradasi kolagen serta penurunan kecepatan epitelisasi.
Hal ini juga didukung penelitian mengenai hubungan antara usia dengan masa
penyembuhan luka yang dipaparkan oleh Valencia (2001) pada usia tua dan muda
(dewasa, remaja, dan anak). Penelitian tersebut menyatakan bahwa semakin tua

64

usia pasien maka angka komorbiditasnya akan meningkat. Respon terhadap fase
inflamasi, fase proliferasi dan maturasi mengalami perubahan dengan pengaruh
usia.
Mobilisasi Dini Mobilisasi adalah suatu kebutuhan dasar manusia yang
diperlukan oleh individu untuk melakukan aktivitas sehari-hari yang berupa
pergerakan sendi, sikap, gaya berjalan, latihan maupun kemampuan aktivitas
(Potter dan Perry, 2006). Mobilisasi dini menurut Carpenito (2000) adalah suatu
upaya mempertahankan kemandirian sedini mungkin dengan cara membimbing
penderita untuk mempertahankan fungsi fisiologis.
Mobilisasi dini yang dapat dilakukan yaitu ROM, napas dalam dimana
tujuannya adalah untuk mengaktifkan kembali fungsi neuromuskular. Masih
banyak pasien yang mempunyai kekhawatiran jika tubuh digerakkan pada posisi
tertentu pasca operasi akan mempengaruhi luka operasi yang belum 27 sembuh.
Padahal tidak sepenuhnya masalah ini dikhawatirkan, bahkan justru hampir semua
jenis operasi membutuhkan mobilisasi atau pergerakan badan sedini mungkin.
Asalkan rasa nyeri dapat ditoleransi dan keseimbangan tubuh tidak lagi menjadi
gangguan, dengan bergerak, masa pemulihan untuk mencapai level kondisi seperti
pra pembedahan dapat dipersingkat. Hal ini tentunya akan mengurangi waktu
rawat di rumah sakit, menekan pembiayaan serta juga dapat mengurangi stress
psikis (Majid, Judha, dan Istianah, 2011). Dengan bergerak, hal ini akan
mencegah kekakuan otot dan sendi sehingga mengurangi nyeri, menjamin
kelancaran peredaran darah, memperbaiki metabolisme, mengembalikan kerja
fisiologis organ-organ vital yang pada akhirnya akan mempercepat proses
penyembuhan luka (Majid, Judha, dan Istianah, 2011). Menggerakkan badan atau
melatih otot-otot dan sendi pasca operasi di sisi lain akan menyehatkan pikiran
dan mengurangi dampak negatif dari beban psikologis yang tentu saja
berpengaruh baik terhadap pemulihan fisik. Hasil penelitian mengatakan bahwa
keberhasilan mobilisasi dini tidak hanya mempercepat proses pemulihan luka
pasca pembedahan namun juga mempercepat pemulihan peristaltik usus pada
pasien pasca pembedahan (Akhrita, 2011). Mobilisasi sudah dapat dilakukan sejak
8 jam setelah pembedahan, tentu setelah pasien sadar atau anggota gerak tubuh
dapat digerakkan kembali setelah dilakukan pembiusan regional. Pada saat awal

65

pergerakan fisik bisa 28 dilakukan di atas tempat tidur dengan menggerakkan


tangan dan kaki yang bisa ditekuk atau diluruskan, mengkontraksikan otot-otot
dalam keadaan statis maupun dinamis termasuk juga menggerakkan badan
lainnya, miring ke kiri atau miring ke kanan. Pada 12 jam sampai 24 jam
berikutnya atau bahkan lebih awal lagi badan sudah bisa diposisikan duduk, baik
bersandar maupun tidak dan fase selanjutnya duduk diatas tempat tidur dengan
kaki yang dijatuhkan atau ditempatkan di lantai sambil digerak-gerakkan. Di hari
kedua pasca operasi, rata-rata untuk pasien yang dirawat di kamar atau bangsal
dan tidak ada hambatan fisik untuk berjalan, seharusnya sudah biasa berdiri dan
berjalan di sekitar kamar atau keluar kamar, misalnya berjalan sendiri ke toilet
atau kamar mandi dengan posisi infus yang tetap terjaga. Bergerak pasca operasi
selain dihambat oleh rasa nyeri terutama di sekitar lokasi operasi, bisa juga oleh
karena beberapa selang yang berhubungan dengan tubuh, seperti infuse, kateter,
pipa nasogastrik (nasogastric tube), selang drainase, kabel monitor, dan lain-lain.
Perangkat ini pastilah berhubungan dengan jenis operasi yang dijalani. Namun
paling tidak dokter bedah akan menginstruksi perawat untuk membuka atau
melepas perangkat itu tahap demi tahap seiring dengan perhitungan masa
mobilisasi ini. 29 Operasi yang dilakukan di daerah abdomen, tidak ada alasan
untuk berlama-lama berbaring di tempat tidur. Perlu diperhatikan kapan diet
makanan mulai diberikan, terutama untuk jenis operasi yang menyentuh saluran
pencernaan, yang luka operasinya melibatkan saluran kemih dengan pemasangan
kateter dan atau pipa drainase sudah akan memberikan keleluasaan untuk bergerak
sejak dua kali 24 jam pasca operasi (Majid, Judha, dan Istianah, 2011).

66

2.4.2 CHOLESISTEKTOMY
2.4.2.1 Definisi
Kolesistektomi adalah pembedahan untuk mengangkat kandung empedu
(kantung berbentuk buah pir dekat lobus kanan hati). Kandung empedu mungkin
perlu dihapus jika organ ini memiliki batu empedu yang mengganggu, terinfeksi,
atau menjadi kanker.
Cholecystectomy (pengangkatan kantong empedu secara operasi) adalah
perawatan

standar

untuk batu-batu empedu

didalam

kantong empedu.

Cholecystectomy dibagi menjadi 2 cara : Open Cholecystectomy & Laparoscopy


Cholecystectomy.

Kolesistektomi

laparoskopik

adalah operasi

pengangkatan

kandung

empedu menggunakan laparoskopi. Kolesistektomi atau pengangkatan kandung


empedu merupakan salah satu prosedur abdominal yang paling umum.
Kolesistektomi adalah penatalaksanaan 10 yang definitif untuk batu empedu
simtomatik (Chari & Shah, 2007). Kolesistektomi

terbuka merupakan

penatalaksanaan yang aman dan efektif untuk kolesistitis akut dan kronik. Namun,
dua dekade terakhir kolesistektomi laparoskopi telah mengambil alih peran
kolesistektomi terbuka, dengan prosedur minimal invasive (Brunicardi, 2010).
Suatu tindakan operasi pengangkatan kantong empedu dengan cara invasive
minimal melalui endoskopik (laparoskopik).
2.4.2.2 Indikasi Dan Kontraindikasi
Penderita dengan simtomatik batu empedu yang telah dibuktikan secara
imaging diagnostic terutama melalui USG abdomen. Penderita kolesterolosis

67

simtomatik yang telah dibuktikan melalui USG abdomen. Adenomyomatosis


kantung empedu simtomatik.
Indikasi Kolesistektomi (Chari & Shah, 2007) Indikasi Kolesistektomi
Urgensi (dalam 24-72 jam), diantaranya :
o Kolesistitis akut
o Kolesistitis emfisema
o Empiema kandung empedu
o Perforasi kandung empedu
o Riwayat koledokolitiasis Elektif
o Diskinesia biliaris
o Kolesistitis kronik
o Kolelitiasis simpomatik.
Dalam kontraindikasi kolesistektomi dibagi menjadi 2 bagian, diantaranya:
1. Kontra indikasi absolut
a. Peritonitis
b. Obstruksi usus
c. Koagulopati yang tidak terkontrol
d. Hernia diafragmatik yang besar
e. Penyakit Paru obstruktif berat dan penyakit jantung kongestif berat
2. Kontra indikasi relatif (tergantung keahlian operator)
a. Cirrhosis hepatis
b. Riwayat operasi abdomen dengan adhesi
c. Kolesistitis akut
d. Gangrene dan empyema gall bladder
e. Biliary enteric fistula
f. Kehamilan
g. Ventriculoperitoneal shunt

68

Algoritma Batu Empedu

69

2.4.3 Teknik Instrumentasi Cholesistektomy


1.

2.

3.

4.

Pengertian
Teknik instrument cholelsistectomy adalah teknik pengelolaan instrument
pada operasi pengangkatan kandung empedu
Persiapan Pasien
a) Persiapan mental
b) Kebersihan pasien
c) Kelengkapan status, meliputi: hasil laboratorium, USG, Thorax, ECG, dll
d) Inform Konsent
e) Puasa
Persiapan Lingkungan
a) Kebersihan kamar operasi
b) Lampu baca photo
c) Meja operasi lengkap
d) Standart infus
e) Meja instrument dan meja mayo
f) Suction pump
g) Mesin couter
h) Troly Waskom
i) Tempat sampah medis
Persiapan Bahan Habis Pakai
Gambar Alat

Nama Alat

Fungsi Alat

Handscoon

Melindungi tangan dari


paparan area operasi

70

Underpad
steril

Folley cateter

Alat yang dipasang


dalam vesika urinaria
untuk
mengeluarkan
urin.

Urobag

Sebagai
wadah
menampung urin yang
dialirkan lewat kateter.

Mess no 10

Untuk menginsisi kulit

71

Selang
suction

Vicryl
no 2-0/0

Silk 2-0

Prolene 3-0
Monosyne / moocryl 30

72

NACL 0,9%
500cc

Spuit 10 cc

Iodine
providone

Untuk
mendensifeksi
area operasi sebeum
dilakukan insisi.

73

Hepafix

Menutup luka bekas


operasi
yang
sebelumnya
ditutup
dengan kassa terlebih
dahulu

Handuk
kecil

Jarum
round/cutting

5.

Sebagai
tempat
memasang benang dan
untuk
menyatukan
jaringan setelah diinsisi

Persiapan Alat Steril

GAMBAR ALAT

NAMA ALAT

FUNGSI ALAT

Duk Besar

Sebagai penutup
area operasi

Duk sedang

Sebagai penutup
area operasi

Duk kecil

Sebagai penutup
area operasi

74

Duk lubang

Sebagai penutup
area operasi
serta
membebaskan
area insisi

Sarung meja mayo

Sebagai penutup
meja mayo

75

Skort
Sesuai kebuthan

Cucing kecil

Sebagai APD
tim bedah kamar
operasi

Sebagai wadah
cairan desinfeksi

Neirbekken/bengkok Sebagai tempat


alat yang sudah
2

dipakai saat
operasi

Deppers 10 buah
Depper kecil 1
Kassa20 lembar

Big gass 5 lembar

Untuk
rawat
perdarahan
Untuk
membersihkan
area operasi dan
rawat perdarahan

76

6.

Persiapan Alat/ Instrument


Gambar

Nama
Desinfeksi klem

Jumlah
1

(washing and
dressing forcep)

Doek klem (towel

klem)

Pinset cirugis

(dissecting forcep)

Pinset anatomis
pendek/panjang
(tissue forcep)

2/2

77

Pinset anatomis

manis (deliquet
tissue forceps)

Harvard mess no.3

(scalpel blade and


handle)

Gunting

menzemboum

Gunting benang
lurus (surgical
scissor straight)

78

Mosquito klem

pean

Khoker lurus

Retractor /

langenback

Nald Foeder
(Needle Holder)

79

Pean sedang

Pean manis

Miculics

(peritoneum klem)

7.

Ring klem
Pean 90 / right

1
1

angle
Stone tang lurus

Teknik Instrmentasi
1) Sign in
2) Pasien tidur terlentang dengan pembiusan
3) Pasien dipasang catheter dan NGT bila perlu
4) Posisikan pasien supinasi kominasi ekstensi, ditekuk dengan titik tumpu
processus xypoideus
5) Perawat sirkuler memasang arde couter, mencuci lapang operasi dengan
sabun disinfeksi, lalu dikeringkan dengan duk steril
6) Instrumentator melakukan surgical scrub, gowning, dan gloving

80

7) Instrumentator memakaikan schort dan sarung tangan steril kepada


operator
8) Antisepsis area operasi dengan memberikan washing and dressing forcep,
bethadin 10% di mangkuk + deppers kepada operator

Gambar Tempat Port Laparoskopik


9) Drapping area operasi dengan duk pada 4 tempat atas, bawah, kiri dan
kanan, fiksasi dengan duk klem. Drapping tanpa menutupi anatomy
untuk markin insisi, yaitu umbilicus dan procesus xipoideus
10) Dekatkan meja mayo dan instrument steril, pasang kabel couter dan slang
suction, fiksasi dengan duk klem, lampu operas didekatkan pada area
operasi
11) Time out
12) Marker daerah sayatan (insisi) dengan dissecting forcep
13) Incise kulit dengan scalpel blade and handle, berikan pinset chirugis,
mosquito klem dan kassa pada asisten. Incise diperdalam dengan couter
sampai tampak facia. Berikan langen back untuk memperlebar lapang
operasi

81

14) Berikan scalpel blade pada operator untuk membuka facia, lalu diikuti 2
kokher lurus untuk memgang facia. Facia dilebarkan dengan gunting
mayo dan dibuka dengan langenback
15) Membuka otot dengan cara split, berikan pean manis untuk membuka
otot, diikuti langenback untuk membuka otot sampai kelihatan
peritoneum
16) Membuka peritoneum, berikan pinset anatomis pada operator dan asisten
untuk memgang poriteneum, lalu berikan gunting metzemboum untuk
membuka peritoneum
17) Setelah peritoneum terbuka, jauhkan instrument kecil dan kassa kecil
diganti dengan biggas basah, biggas di tata untuk menutupi colon dengan
aster agar tidak mengganggu.
18) Berikan retractor timan pada asisten untuk membuka lapang operasi, dan
berikan pinset anatomis panjang pada operator untuk mengidentifikasi
kandung empedu
19) Setelah mengidentifikasi kandung empedu, berikan ring klem untuk
memegang kandung empedu
20) Berikan pinset anatomis manis untuk membuka lapisan lemak
(gefenstertes omentum minus) yang menutupi duktus cysticus, sampai
terlihat jelas duktus cysticus dan artery cysticus
21) Berikan klem 90 dengan silk 2-0 untuk ligase duktus cysticus, kemudian
dipotong dengan gunting metzemboum. Begitu juga dengan artery
cycticus di ligase dan dipotng dengan cara yang sama
22) Kandung empedu dibebaskan dari leverblad dengan menggunakan pinset
anatomis manis dan couter
23) Operator mengevaluasi perdarahan dan kebocoran byle
24) Big gass dikeluarkan , hitung alat dan kassan lengkap, rongga perut
25)
26)
27)
28)

dicuci dengan NS 0,9% sampai bersih


Sign out
Kembalikan posisi pasien supinasi normal
Lapisan pert dijahit lapis demi lapis:
Tutupluka dengan sufratulle kemudian kassadan hepavix :
o Berikan miculic 4 untuk memegang 4 sisi peritoneum, lelu berikan
vicryl 2-0 untuk menjahit peritoneum, asisten membantu dengan
retractor langenback
o Otot dijahit dengan vycril 2-0
o Menutup fasia, berikan 2 kokher lurus untuk memgang 2 sisi facia,
lalu berikan vicryl 2-0 untuk menjahit facia

82

o Menjahit fat dengan plain 2-0 / vicryl 2-0


o Kulit dengan palin 2-0 / vicryl 2-0
29) Operasi selesai
30) Pengelolaan instrument

Anda mungkin juga menyukai