Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Organ-organ pada saluran pencernaan, saluran limfatik, saluran urogenital dan
saluran reproduksi merupakan organ tubuh yang berada di ruang abdomen. Semua
organ tersebut dapat ditemukan dengan menggunakan teknik operasi laparotomi.

Laparotomi berasal dari dua kata terpisah, yaitu laparo dan tomi. Laparo sendiri
berati perut atau abdomen sedangkan tomi berarti penyayatan. Sehingga laparotomi
dapat didefenisikan sebagai penyayatan pada dinding abdomen atau peritoneal. Istilah
lain untuk laparotomi adalah celiotomi.( Fossum, 2002).

Keuntungan penggunaan teknik laparotomi medianus adalah tempat penyayatan


mudah ditemukan karena adanya garis putih (linea alba) sebagai penanda, sedikit
terjadi perdarahan dan di daerah tersebut sedikit mengandung syaraf. Adapun
kerugian yang dapat terjadi dalam penggunaan metode ini adalah mudah terjadi
hernia jika proses penjahitan atau penangan post operasi kurang baik dan
persembuhan yang relatif lama.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Operasi Laparatomi
1. Pengertian
Laparatomi merupakan prosedur pembedahan yang melibatkan suatu
insisi pada dinding abdomen hingga ke cavitas abdomen
(Sjamsurihidayat dan Jong, 2010). Laparatomi merupakan teknik
sayatan yang dilakukan pada daerah abdomen yang dapat dilakukan
pada bedah digestif dan obgyn. Adapun tindakan bedah digestif yang
sering dilakukan dengan tenik insisi laparatomi ini adalah herniotomi,
gasterektomi, kolesistoduodenostomi, hepatorektomi, splenoktomi,
apendektomi, kolostomi, hemoroidektomi dfan fistuloktomi.
Sedangkan tindakan bedah obgyn yang sering dilakukan dengan
tindakan laoparatomi adalah berbagai jenis operasi pada uterus, operasi
pada tuba fallopi, dan operasi ovarium, yang meliputi hissterektomi,
baik histerektomi total, radikal, eksenterasi pelvic, salpingooferektomi
bilateral (Smeltzer, 2014).
2. Tujuan
Prosedur ini dapat direkomendasikan pada pasien yang mengalami
nyeri abdomen yang tidak diketahui penyebabnya atau pasien yang
mengalami trauma abdomen. Laparatomy eksplorasi digunakan untuk
mengetahui sumber nyeri atau akibat trauma dan perbaikan bila
diindikasikan (Smeltzer, 2014).
3. Indikasi
a. Trauma abdomen (tumpul atau tajam) Trauma abdomen
didefinisikan sebagai kerusakan terhadap struktur yang terletak
diantara diafragma dan pelvis yang diakibatkan oleh luka tumpul
atau yang menusuk (Ignativicus & Workman, 2006). Dibedakan atas 2
jenis yaitu :
1) Trauma tembus (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga
peritonium) yang disebabkan oleh : luka tusuk, luka tembak.
2) Trauma tumpul (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga
peritoneum) yang dapat disebabkan oleh pukulan, benturan,
ledakan, deselerasi, kompresi atau sabuk pengaman (sit-belt).
b. Peritonitis Peritonitis adalah inflamasi peritoneum lapisan membrane
serosa rongga abdomen, yang diklasifikasikan atas primer, sekunder dan
tersier. Peritonitis primer dapat disebabkan oleh spontaneous bacterial
peritonitis (SBP) akibat penyakit hepar kronis. Peritonitis sekunder
disebabkan oleh perforasi appendicitis, perforasi gaster dan penyakit
ulkus duodenale, perforasi kolon (paling sering kolon sigmoid),
sementara proses pembedahan merupakan penyebab peritonitis tersier
(Ignativicus & Workman, 2006).
c. Sumbatan pada usus halus dan besar (Obstruksi)
Obstruksi usus dapat didefinisikan sebagai gangguan (apapun
penyebabnya) aliran normal isi usus sepanjang saluran usus. Obstruksi
usus biasanya mengenai kolon sebagai akibat karsinoma dan
perkembangannya lambat. Sebagian dasar dari obstruksi justru
mengenai usus halus. Obstruksi total usus halus merupakan keadaan
gawat yang memerlukan diagnosis dini dan tindakan pembedahan
darurat bila penderita ingin tetap hidup. Penyebabnya dapat berupa
perlengketan (lengkung usus menjadi melekat pada area yang sembuh
secara lambat atau pada jaringan parut setelah pembedahan abdomen),
Intusepsi (salah satu bagian dari usus menyusup kedalam bagian lain
yang ada dibawahnya akibat penyempitan lumen usus), Volvulus (usus
besar yang mempunyai mesocolon dapat terpuntir sendiri dengan
demikian menimbulkan penyumbatan dengan menutupnya gelungan
usus yang terjadi amat distensi), hernia (protrusi usus melalui area yang
lemah dalam usus atau dinding dan otot abdomen), dan tumor (tumor
yang ada dalam dinding usus meluas kelumen usus atau tumor diluar
usus menyebabkan tekanan pada dinding usus) (Ignativicus & Workman,
2006).
d. Apendisitis mengacu pada radang apendiks
Suatu tambahan seperti kantong yang tak berfungsi terletak
pada bagian inferior dari sekum. Penyebab yang paling umum dari
apendisitis adalah obstruksi lumen oleh fases yang akhirnya merusak
suplai aliran darah dan mengikis mukosa menyebabkan inflamasi.
1) Tumor abdomen
2) Pancreatitis (inflammation of the pancreas)
3) Abscesses (a localized area of infection)
4) Adhesions (bands of scar tissue that form after trauma or surgery)
5) Diverticulitis (inflammation of sac-like structures in the walls of the
intestines)
6) Intestinal perforation
7) Ectopic pregnancy (pregnancy occurring outside of the uterus)
8) Foreign bodies (e.g., a bullet in a gunshot victim)
9) Internal bleeding
(Sjamsurihidayat dan Jong, 2010).

4. Penatalaksanaan/Jenis-Jenis Tindakan
Ada 4 cara insisi pembedahan yang dilakukan, antara lain: (Yenichrist, 2008):
a. Midline incision Metode insisi yang paling sering digunakan, karena
sedikit perdarahan, eksplorasi dapat lebih luas, cepat di buka dan di
tutup, serta tidak memotong ligamen dan saraf. Namun demikian,
kerugian jenis insis ini adalah terjadinya hernia cikatrialis. Indikasinya
pada eksplorasi gaster, pankreas, hepar, dan lien serta di bawah
umbilicus.
b. untuk eksplorasi ginekologis, rektosigmoid, dan organ dalam pelvis
(Yenichrist, 2008). b. Paramedian Yaitu ; sedikit ke tepi dari garis tengah
(± 2,5 cm), panjang (12,5 cm). Terbagi atas 2 yaitu, paramedian kanan
dan kiri, dengan indikasi pada jenis operasi lambung, eksplorasi
pankreas, organ pelvis, usus bagian bagian bawah, serta plenoktomi.
Paramedian insicion memiliki keuntungan antara lain : merupakan
bentuk insisi anatomis dan fisiologis, tidak memotong ligamen dan saraf,
dan insisi mudah diperluas ke arah atas dan bawah (Yenichrist, 2008).
c. Transverse upper abdomen incision Yaitu ; insisi di bagian atas, misalnya
pembedahan colesistotomy dan splenektomy (Yenichrist, 2008).
d. Transverse lower abdomen incision Yaitu; insisi melintang di bagian
bawah ± 4 cm di atas anterior spinal iliaka, misalnya; pada operasi
appendectomy (Yenichrist, 2008).

5. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang menurut (wong, 2009) sebagai berikut:
a. Pemeriksaan rektum : adanya darah menunjukkan kelainan pada usus
besar ; kuldosentesi, kemungkinan adanya darah dalam lambung ; dan
kateterisasi, adanya darah menunjukkan adanya lesi pada saluran
kencing.
b. Laboratorium : hemoglobin, hematokrit, leukosit dan analisis urine.
c. Radiologik : bila diindikasikan untuk melakukan laparatomi.
d. IVP/sistogram : hanya dilakukan bila ada kecurigaan terhadap trauma
saluran kencing.
e. Parasentesis perut : tindakan ini dilakukan pada trauma tumpul perut
yang diragukan adanya kelainan dalam rongga perut atau trauma
tumpul perut yang disertai dengan trauma kepala yang berat, dilakukan
dengan menggunakan jarum pungsi no 18 atau 20 yang ditusukkan
melalui dinding perut didaerah kuadran bawah atau digaris tengah
dibawah pusat dengan menggosokkan buli-buli terlebih dahulu.
f. Lavase peritoneal : pungsi dan aspirasi/bilasan rongga perut dengan
memasukkan cairan garam fisiologis melalui kanula yang dimasukkan
kedalam rongga peritonium.
B. Post Operasi Laparatomi
1. Perngertian
Laparatomi adalah pembedahan perut, membuka selaput perut dengan
operasi. Bedah laparatomi merupakan tindakan operasi pada daerah
abdomen, bedah laparatomi merupakan teknik sayatan yang dilakukan pada
daerah abdomen yang dapat dilakukan pada bedah digestif dan kandungan.
Pembedahan perut sampai membukaselaput perut. Ada 4 cara pembedahan
laparatomi yaitu:
a. Midline incision
b. Paramedian, yaitu sedikit ke tepi dari garis tengah ( 2,5 cm), panjang
(12,5 cm).
c. Transverse upper abdomen incision, yaitu insisi di bagian atas,misalnya
pembedahan colesistotomy dan splenektomy.
d. Transverse lower abdomen incision, yaitu insisi melintang di bagian
bawah 4 cm di atas anterior spinal iliaka, misalnya pada operasi
appendictomy.
Latihan-latihan fisik seperti latihan napas dalam, latihan
batuk,menggerakan otot-otot kaki, menggerakkan otot-otot bokong,
Latihan alih baring dan turun dari tempat tidur. Semuanya dilakukan
hari ke 2 post operasi (Sjamsurihidayat dan Jong, 2010).
2. Fase – fase penyembuhan luka
Menurut Kozier (2010)
a. Fase Inflamatori Fase ini terjadi segera setelah luka dan berakhir 3 – 4
hari. Dua proses utama terjadi pada fase ini yaitu hemostasis dan
pagositosis. Hemostasis (penghentian perdarahan) akibat fase konstriksi
pembuluh darah besar di daerah luka, retraksi pembuluh darah,
endapan fibrin (menghubungkan jaringan) dan pembentukan bekuan
darah di daerah luka. Bekuan darah dibentuk oleh platelet yang
menyiapkan matrik fibrin yang menjadi kerangka bagi pengambilan sel.
Scab (keropeng) juga dibentuk dipermukaan luka. Bekuan dan jaringan
mati, scab membantu hemostasis dan mencegah kontaminasi luka oleh
mikroorganisme. Dibawah scab epithelial sel berpindah dari luka ke tepi.
Sel epitel membantu sebagai barier antara tubuh dengan lingkungan
dan mencegah masuknya mikroorganisme (Kozier, 2010).
Fase inflamatori juga memerlukan pembuluh darah dan respon
seluler digunakan untuk mengangkat benda-benda asing dan jaringan
mati. Suplai darah yang meningkat ke jaringan membawa bahanbahan
dan nutrisi yang diperlukan pada proses penyembuhan. Pada akhirnya
daerah luka tampak merah dan sedikit bengkak (Kozier, 2010).
Selama sel lekosit (terutama neutropil) berpindah ke daerah
interstitial. Tempat ini ditempati oleh makrofag yang keluar dari monosit
selama lebih kurang 2 jam setelah cidera/luka. Makrofag ini menelan
mikroorganisme dan sel debris melalui proses yang disebut pagositosis.
Makrofag juga mengeluarkan angiogenesis growth factor (AGF) yang
merangsang pembentukan ujung epitel diakhir pembuluh darah.
Makrofag dan AGF bersama-sama mempercepat proses penyembuhan.
Respon inflamatori ini sangat penting bagi proses penyembuhan (Kozier,
2010).
b. Fase Proliferatif
Fase kedua ini berlangsung dari hari ke-3 atau 4 sampai hari ke-21
setelah pembedahan. Fibroblast (menghubungkan sel-sel jaringan) yang
berpindah ke daerah luka mulai 24 jam pertama setelah pembedahan.
Diawali dengan mensintesis kolagen dan substansi dasar yang disebut
proteoglikan kira-kira 5 hari setelah terjadi luka. Kolagen adalah
substansi protein yang menambah tegangan permukaan dari luka.
Jumlah kolagen yang meningkat menambah kekuatan permukaan luka
sehingga kecil kemungkinan luka terbuka. Selama waktu itu sebuah
lapisan penyembuhan nampak dibawah garis irisan luka Kapilarisasi
tumbuh melintasi luka, meningkatkan aliran darah yang memberikan
oksigen dan nutrisi yang diperlukan bagi penyembuhan. Fibroblast
berpindah dar pembuluh darah ke luka membawa fibrin. Seiring
perkembangan kapilarisasi jaringan perlahan berwarna merah. Jaringan
ini disebut granulasi jaringan yang lunak dan mudah pecah (Kozier,
2010).
c. Fase Maturasi
Fase maturasi dimulai hari ke-21 dan berakhir 1-2 tahun setelah
pembedahan. Fibroblast terus mensintesis kolagen. Kolagen menjalin
dirinya , menyatukan dalam struktur yang lebih kuat. Bekas luka menjadi
kecil, kehilangan elastisitas dan meninggalkan garis putih (Kozier, 2010).

3. Etiologi

Etiologi sehingga dilakukan laparatomi adalah karena disebabkan oleh


beberapa hal (Smeltzer, 2012) yaitu:

a. Trauma abdomen (tumpul atau tajam).

b. Peritonitis.

c. Perdarahan saluran cerna.

d. Sumbatan pada usus halus dan usus besar.

4. Prinsip – Prinsip Perawatan Luka Post Operasi


Ada beberapa prinsip dalam penyembuhan luka menurut Taylor (2011)
yaitu:
a. Kemampuan tubuh untuk menangani trauma jaringan dipengaruhi oleh
luasnya kerusakan dan keadaan umum kesehatan tiap orang.
b. Respon tubuh pada luka lebih efektif jika nutrisi yang tepat tetap dijaga.
c. Respon tubuh secara sistemik pada trauma.
d. Aliran darah ke dan dari jaringan yang luka.
e. Keutuhan kulit dan mukosa membran disiapkan sebagai garis pertama
untuk mempertahankan diri dari Mikroorganisme.
f. Penyembuhan normal ditingkatkan ketika luka bebas dari benda asing
tubuh termasuk bakteri.

5. Manifestasi Klinik

a. Nyeri tekan.

b. Perubahan tekanan darah, nadi, dan pernafasan.

c. Kelemahan.

d. Gangguan integumen dan jaringan subkutan.

e. Konstipasi.

f. Mual dan muntah, anoreksia.

6. Komplikasi – Komplikasi
Dari Penyembuhan Luka Komplikasi penyembuhan luka meliputi infeksi,
perdarahan, dehiscence dan eviscerasi.
a. Infeksi
Invasi bakteri pada luka dapat terjadi pada saat trauma, selama
pembedahan atau setelah pembedahan. Gejala dari infeksi sering
muncul dalam 2 – 7 hari setelah pembedahan. Gejalanya berupa infeksi
termasuk adanya purulent, peningkatan drainase, nyeri, kemerahan dan
bengkak di sekeliling luka, peningkatan suhu, dan peningkatan jumlah
sel darah putih (Sjamsurihidayat dan Jong, 2010).
b. Perdarahan
Perdarahan dapat menunjukkan suatu pelepasan jahitan, sulit membeku
pada garis jahitan, infeksi, atau erosi dari pembuluh darah oleh benda
asing (seperti drain). Hipovolemia mungkin tidak cepat ada tanda.
Sehingga balutan (dan luka di bawah balutan) jika mungkin harus sering
dilihat selama 48 jam pertama setelah pembedahan dan tiap 8 jam
setelah itu.Jika perdarahan berlebihan terjadi, penambahan tekanan
balutan luka steril mungkin diperlukan. Pemberian cairan dan intervensi
pembedahan mungkin diperlukan (Sjamsurihidayat dan Jong, 2010).
c. Dehiscence dan Eviscerasi
Dehiscence dan eviscerasi adalah komplikasi operasi yang paling serius.
Dehiscence adalah terbukanya lapisan luka partial atau total. Eviscerasi
adalah keluarnya pembuluh melalui daerah irisan. Sejumlah faktor
meliputi, kegemukan, kurang nutrisi, multiple trauma, gagal untuk
menyatu, batuk yang berlebihan, muntah, dan dehidrasi, mempertinggi
resiko klien mengalami dehiscence luka. Dehiscence luka dapat terjadi 4
–5 hari setelah operasi sebelum kollagen meluas di daerah luka. Ketika
dehiscence dan eviscerasi terjadi luka harus segera ditutup dengan
balutan steril yang lebar, kompres dengan normal saline. Klien disiapkan
untuk segera dilakukan perbaikan pada daerah luka (Sjamsurihidayat
dan Jong, 2010).

7. Patofisiologi

Trauma adalah cedera/rudapaksa atau kerugian psikologis atau

emosional (Dorland, 2011). Trauma adalah luka atau cedera fisik

lainnya atau cedera fisiologis akibat gangguan emosional yang hebat

(Brooker, 2010).

Trauma adalah penyebab kematian utama pada anak dan orang

dewasa kurang dari 44 tahun. Penyalahgunaan alkohol dan obat telah

menjadi faktor implikasi pada trauma tumpul dan tembus serta trauma

yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2011). Trauma

abdomen adalah cedera pada abdomen, dapat berupa trauma tumpul

dan tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer,

2011).

Trauma abdomen merupakan luka pada isi rongga perut dapat

terjadi dengan atau tanpa tembusnya dinding perut dimana pada

penanganan/penatalaksanaan lebih bersifat kedaruratan dapat pula

dilakukan tindakan laparatomi. Tusukan/tembakan , pukulan, benturan,

ledakan, deselerasi, kompresi atau sabuk pengaman (set-belt) dapat


mengakibatkan terjadinya trauma abdomen sehingga harus di lakukan

laparatomy.(Arif Muttaqin, 2013).

Trauma tumpul abdomen dapat mengakibatkan individu dapat

kehilangan darah, memar/jejas pada dinding perut, kerusakan organ-

organ, nyeri, iritasi cairan usus. Sedangkan trauma tembus abdomen

dapat mengakibatkan hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ,

respon stres simpatis, perdarahan dan pembekuan darah, kontaminasi

bakteri, kematian sel. Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ

dan respon stress dari saraf simpatis akan menyebabkan terjadinya

kerusakan integritas kulit, syok dan perdarahan, kerusakan pertukaran

gas, resiko tinggi terhadap infeksi, nyeri akut.(Arif Muttaqin, 2013).

8. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan rektum : adanya darah menunjukkan kelainan pada

usus besar ; kuldosentesi, kemungkinan adanya darah dalam lambung ;

dan kateterisasi, adanya darah menunjukkan adanya lesi pada saluran

kencing.

 Laboratorium : hemoglobin, hematokrit, leukosit dan analisis

urine.

 Radiologik : bila diindikasikan untuk melakukan laparatomi.

 IVP/sistogram : hanya dilakukan bila ada kecurigaan terhadap

trauma saluran kencing.

Parasentesis perut : tindakan ini dilakukan pada trauma tumpul

perut yang diragukan adanya kelainan dalam rongga perut atau

trauma tumpul perut yang disertai dengan trauma kepala yang


berat, dilakukan dengan menggunakan jarum pungsi no 18 atau

20 yang ditusukkan melalui dinding perut didaerah kuadran

bawah atau digaris tengah dibawah pusat dengan menggosokkan

buli-buli terlebih dahulu.

Lavase peritoneal : pungsi dan aspirasi/bilasan rongga perut

dengan memasukkan cairan garam fisiologis melalui kanula yang

dimasukkan kedalam rongga peritonium.

Perlengkapan yang dilakukan pada pasien post laparatomy,

adalah;

a. Respiratory: Bagaimana saluran pernapasan, jenis

pernapasan, bunyi pernapasan.

b. Sirkulasi: Tensi, nadi, respirasi, dan suhu, warna kulit, dan

refill kapiler.

c. Persarafan : Tingkat kesadaran.

d. Balutan: Apakah ada tube, drainage ? Apakah ada tanda-

tanda infeksi?  Bagaimana penyembuhan luka?

e. Peralatan: Monitor yang terpasang, cairan infus atau

transfusi.

f. Rasa nyaman: Rasa sakit, mual, muntah, posisi pasien, dan

fasilitas ventilasi.

g. Psikologis : Kecemasan, suasana hati setelah

operasi.Pengkajian

C. GAMBARAN ASUHAN KEPERAWATAN


Asuhan keperawatan adalah sesuatu bentuk pelayanan yang diberikan

oleh seseorang pasien dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari berupa

bimbingan, pengawasan, perlindungan. (Brunner & suddarth, 2009).

1. Pengkajian

Pengkajian merupakan proses pengumpulan data yang dilakukan

secara sistemik mengenai kesehatan. Pasien mengelompokkan data

menganalisis data tersebut sehingga dapat pengkajian adalah

memberikan gambaran secara terus menerus mengenai keadaan

pasien .Adapun tujuan utama dari pada pengkajian adalah memberikan

gambaran secara terus-menerus mengenai keadaan pasien yang

mungkin perawat dapat merencanakan asuhan keperawatan. (Arif

mutaaq 2013).

Pengkajian pada laparatomu meliputi identitas klien keluhan

utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat

penyakit keluarga, riwayat penyakit psikososial.

a. Identitas klien

Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis

kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa,

tanggal dan MRS, nomor register, dan diagnosis medis.

b. Keluhan Utama

Sering  menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan

adalah  nyeri pada abdomen.


c. Riwayat Kesehatan

1. Riwayat kesehatan sekarang

Kapan nyeri pertama kali dirasakan dan apa tindakan yang

telah diambil sebelum akhirnya klien dibawa ke rumah sakit

untuk mendapatkan penanganan secara medis.

2. Riwayat kesehatan dahulu

Adanya riwayat penyakit terdahulu sehingga klien dirawat di

rumah sakit.

3. Riwayat kesehatan keluarga

Bisanya ada riwayat keluarga yang menderita

hipertensi,diabetes melitus,atau adanya riwayat stroke dari

generasi terdahulu.

4. Riwayat psikososial dan spiritual

Peranan  pasien  dalam  keluarga  status emosional meningkat,

interaksi meningkat, interaksi sosial terganggu, adanya rasa

cemas yang berlebihan, hubungan dengan tetangga tidak

harmonis, status dalam pekerjaan. Dan apakah klien rajin

dalam melakukan ibadah sehari-hari.

d. Aktivitas sehari-hari (sebelum dan selama sakit)

a. Pola Nutrisi

b. Pola Eliminasi

c. Pola Personal Hygiene

d. Pola Istirahat dan Tidur

e. Pola Aktivitas dan Latihan


f. Seksualitas/reproduksi

g. Peran

h. Persepsi diri/konsep diri

i. Kognitif diri/konsep diri

j. Kognitif perceptual

e. Pemeriksaan Fisik

1. Kepala

pasien pernah mengalami trauma kepala, adanya hematoma

atau riwayat operasi.

2. Mata

penglihatan adanya kekaburan, akibat akibat adanya gangguan

nervus optikus (nervus II), gangguan dalam mengangkat bola

mata (nervus III), gangguan dalam memutar bola mata (nervus

IV) dan gangguan dalam menggerakkan boal mata kalateral

(nervus VI).

3. Hidung

Adanya gangguan pada penciuman karna terganggu pada

nervus olfatorius (nervus I).

4. Mulut

Adanya gangguan pengecapan (lidah ) akibat kerusakan nervus

vagus adanya kesulitan dalam menelan.

5. Dada

Inspeksi : kesimetrisan bentuk, dan kembang kempih dada.

Palpasi : ada tidaknya nyeri tekan dan massa.


Perkusi : mendengar bunyi hasil perkusi.

Auskultasi :mengetahui suara nafas, cepat dan dalam.

6. Abdomen

Inspeksi : bentuk, ada tidaknya pembesaran.

Auskultasi : mendengar bising usus.

Perkusi  : mendengar bunyi hasil perkusi.

Palpasi : ada tidaknya nyeri tekan pasca operasi.

7. Ekstremitas

Pengukuran otot menurut (Arif Mutaqqin, 2012)

a.       Nilai 0: bila tidak terlihat kontraksi sama sekali.

b.      Nilai 1: Bila terlihat kontraksi dan tetapi tidak ada

gerakan

pada sendi.

c.       Nilai 2: Bila ada gerakan pada sendi tetapi tidak bisa

melawan grafitasi.

a. Nilai 3: Bila dapat melawan grafitasi tetapi tidak dapat

melawan tekanan pemeriksaan.

f. Nilai 4: Bila dapat melawan tahanan pemeriksaan tetapi

kekuatanya berkurang.

g. Nilai 5: bila dapat melawan tahanan pemeriksaan dengan

kekuatan penuh.

2. Diagnosa Keperawatan (NANDA, 2015)

a. Nyeri akut berhubungan dengan dilakukannya tindakan insisi

bedah.
b. Resiko infeksi berhubungan dengan adanya sayatan / luka operasi

laparatomi.

c. Gangguan imobilisasi berhubungan dengan pergerakan terbatas

dari anggota tubuh.

3. Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Tujuan dan kriteria intervensi

. Keperawatan hasil
1. Nyeri akut NOC NIC

berhubungan Ansiety Anxiety Reduction

dengan Fear leavel (penurunan

dilakukannya Sleep deprivation kecemasan)

tindakan insisi Comfort, readines for Identifikasi tingkat

bedah. enchanced kecemsan

Kriteria Hasil: Bantu klien

Mampu mengontrol mengenal situasi

kecemasan yang menimbulkan

Mengontrol nyeri kecemasan

Kualitas tidur dan


3.  Kaji karakteristik

istirahat adekuat nyeri

Status kenyamanan
4.   Instruksikan pasien

meningkat menggunakan

tehnik rekasasi

Berikan posisi

nyaman sesuai
kebutuhan

6.  Kolaborasi

pemberian obat

analgetik
2. Resiko infeksi NOC NIC

berhubungan Immune status Infection Control

dengan adanya Knowledge : (kontrol infeksi)

sayatan / luka infection control 1.  Monitor tanda dan

operasi Risk control gejala infeksi

laparatomi. Kriteria hasil sistemik dan lokal

Klien bebas dari


2.  Bersihkan luka

tanda dan gejala


3.   Ajarkan cara

infeksi menghindari infeksi

Menunjukkan 4.    Instruksikan pasien

kemampuan untuk untuk minum obat

mencegah timbulnya antibiotik sesuai

infeksi resep

Jumlah leukosit
5.    Berikan terapi

dalam batas normal antibiotik IV bila

perlu
3. Gangguan NOC NIC

imobilisasi Joint movement : Exercise therapy :

berhubungan active ambulation

dengan Mobility level 1.  Monitor vital sign

pergerakan Self care : ADLs sebelum/sesudah


terbatas dari Transfer performance latihan dan lihat

anggota tubuh. Kriteria hasil respon pasien saat

Klien meningkjat latihan

dalam aktivits fisik 2.    Latih pasien dalam

Mengerti dari tujuan pemenuhan

dari peningkatan kebutuhan ADLs

mobilitas secara mandiri

Memeragakan sesuai kebutuhan

penggunaan alat 3.  Kaji kemampuan

Bantu untuk pasien dalam

mobilisasi (walker) mobilisasi

4.    Konsultasi dengan

terapi fisik tentang

rencana ambulasi

sesuai kebutuhan

5.   Ajarkan pasien

bagaimana

merubah posisi dan

berikan bantuan

jika diperlukan

4. Implementasi Keperawatan

Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang

dilakukan oleh perawat untuk membantu klien dari masalah status


kesehatan yang dihadapi kestatus kesehatan yang  baik yang

menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan (Potter & Perry,

2011). 

5. Evaluasi Keperawatan

Menurut Craven dan Hirnle (2011) evaluasi didefenisikan sebagai

keputusan dari efektifitas asuhan keperawatan antara dasar tujuan

keperawatan klien yang telah ditetapkan dengan respon prilaku klien

yang tampil.

Tujuan evaluasi antara lain :

a. Untuk menentukan perkembangan kesehatan klien.

b. Untuk menilai efektifitas, efisiensi, dan produktifitas dari

tindakan keperawatan yang telah diberikan.

c. Untuk menilai pelaksanaan asuhan keperawatan.

d. Mendapatkan umpan balik

e. Sebagai tanggung jawab dan tanggunggugat dalam pelaksanaan

pelayanan keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. 2002. Prosedur Suatu Penelitian: Pendekatan Praktek. Edisi Revisi

Kelima. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.

Brunner and suddart. (2011). Textbook of Medical Surgical Nursing. Sixth

Edition. J.B. Lippincott Campany, Philadelpia.

Brooker, Christine. 2001. Kamus Saku Keperawatan Ed.31. EGC : Jakarta.

Doenges, Marilynn E. (2011). Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC

Dorland, W. A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran. EGC : Jakarta.

Mansjoer, Arif. 2012. Capita ,Selekta Kedokteran. Bakarta :Media Aesculapius.

Muttaqin, Arif. 2014. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem

Pencernaan. Jakarta: Salemba Medika

NANDA. 2015. Diagnosis Keperawatan NANDA : Masalah Yang Lazim Muncul

Nazir, Moh. 2011. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Nursalam. 2010. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu

Keperawatan, Edisi II. Salemba Medika. Jakarta

Prasetyo, S. N. 2010. Konsep dan Proses Keperawatan Nyeri. Yogyakarta : Graha

Ilmu.

Soeparman, dkk. 2010. Ilmu Penyakit Dalam : Balai Penerbit FKUI, Jakarta

Smeltzer, Suzanne C. 2010. Keperawatan Medikal-Bedah Brunner and Suddarth

Ed.8 Vol.3. EGC : Jakarta

Anda mungkin juga menyukai