Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Ensefalopati adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan kelainan fungsi
otak menyeluruh yang dapat akut atau kronik, progresif atau statis. Ensefalopati
yang terjadi sejak dini dapat menyebabkan gangguan perkembangan neurologis.
Pasien dengan ensefalopati dapat mengalami kemunduran dalam fungsi kognitif
umum, prestasi akademis, fungsi neuropsikologik dan kebiasan. Skor intelegensi
pasien yang mengalami ensefalopati juga rendah jika dibandingkan anak seusianya
Dari segi prestasi akademis, pasien akan mengalami kesulitan untuk membaca,
mengeja dan aritmatik. Sedangkan fungsi neuropsikologikal dapat menjadi
hiperaktif maupun autis.(1)
Angka kejadian ensefalopati secara umum belum banyak diteliti, penelitian
dilakukan pada masing masing jenis ensefalopati. Penelitian yang dilakukan di
London, menunjukkan bahwa angka kejadian ensefalopati hipoksik iskemik
mencapai 150 per 57 ribu kelahiran hidup atau berkisar 2,64%.(2) Sedangkan
penelitian yang dilakukan di Australia Timur menunjukkan angka yang lebih
tinggi 164 per 43 ribu kelahiran hidup atau berkisar 3,8%.(3) Diperkirakan berkisar
30% kasus ensefalopati hipoksis pada negara maju dan naik menjadi 60% pada
negara berkembang berkairtan dengan kejadian hipoksik iskemik intrapartum.(4)
Tidak ada data akurat terkait dengan angka kejadian ensefalopati hepatik.
Hepatik ensefalopati yang dapat diklasifikasikan menjadi ensefalopati hepatik
murni dan ensefalopati hepatik minimal. Ensefalopati hepatik murni terjadi pada
30-45% pasien dengan sirosis hepatis dan 10-50% pada pasien shunting
transjugular intrahepatik portosystemic. Ensefalopati hepatik minimal biasanya
terdiagnosis pada pasien sirosis hepatis dan pada pasien hipertensi portal
nonsirosis. Kejadian ensefalopati hepatik minimal dilaporkan berkisar 20-84%
pada pasien sirosis.(5)
B. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan referat yang berjudul Ensefalopati ini adalah untuk
memberikan informasi ilmiah mengenai penyakit ensefalopati, baik definisi,
etiologi, epidemiologi, patofisiologi, gejala klinis, penanganan dan prognosisnya.
2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Ensefalopati adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan kelainan
fungsi otak menyeluruh yang dapat akut atau kronik, progresif atau statis. (6)
Ensefalopati adalah disfungsi kortikal umum yang memiliki karakteristik
perjalanan akut hingga sub akut (jam hingga beberapa hari), secara nyata terdapat
fluktuasi dari tingkat kesadaran, atensi minimal, halusinasi dan delusi yang sering
dan perubahan tingkat aktifitas psikomotor (secara umum meingkat, akan tetapi
dapat menurun).(7) Penggunaan istilah ensefalopati menggambarkan perubahan
umum pada fungsi otak, yang bermanifestasi pada gangguan atensi baik berupa
agitasi hiperalert hingga koma.(8)

B. ETIOLOGI
Secara klinis, diagnosis ensefalopati digunakan untuk menggambarkan
disfungsi otak difuse yang disebabkan oleh gangguan faktor sistemik, metabolik,
atau toksik.(8) Etiologi ensefalopati pada anak meliputi penyebab infeksi, toksis
(misalnya karbon monoksida, obat, timah hitam), metabolik dan iskemik.(6)

C. EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian ensefalopati secara umum belum banyak diteliti, penelitian
dilakukan pada masing masing jenis ensefalopati. Penelitian yang dilakukan di
London, menunjukkan bahwa angka kejadian ensefalopati hipoksik iskemik
mencapai 150 per 57 ribu kelahiran hidup atau berkisar 2,64%.(2) Sedangkan
penelitian yang dilakukan di Australia Timur menunjukkan angka yang lebih u
tinggi 164 per 43 ribu kelahiran hidup atau berkisar 3,8%.(3) Diperkirakan berkisar
30% kasus ensefalopati hipoksis pada negara maju dan naik menjadi 60% pada
negara berkembang berkairtan dengan kejadian hipoksik iskemik intrapartum.(4)
Ensefalopati terkait sepsis terjadi berkisar 9% hingga 71% pada pasien yang
menderita sepsis. Angka kejadian ensefalopati akibat timbal juga sulit ditemukan,
angka yang tersedia adalah kadar timbal dalam serum yang lebih dari 10mcg/dL
berkisar 88% pada 3 tahun terakhir. Dimana kadar yang lebih dari 10mcg/dL pada

3
darah dapat menyebabkan ensefalopati pada anak.(9) Prevalensi asam valproat
menginduksi keadaan hiperamonia adalah berkisar 35-45%.(10)
Tidak ada data akurat terkait dengan angka kejadian ensefalopati hepatik.
Hepatik ensefalopati yang dapat diklasifikasikan menjadi ensefalopati hepatik
murni dan ensefalopati hepatik minimal. Ensefalopati hepatik murni terjadi pada
30-45% pasien dengan sirosis hepatis dan 10-50% pada pasien shunting
transjugular intrahepatik portosystemic. Ensefalopati hepatik minimal biasanya
terdiagnosis pada pasien sirosis hepatis dan pada pasien hipertensi portal
nonsirosis. Kejadian ensefalopati hepatik minimal dilaporkan berkisar 20-84%
pada pasien sirosis.(5)

D. KLASIFIKASI
1. Ensefalopati akibat infeksi
a. Definisi. Infeksi sistem saraf pusat termasuk didalamnya meningitis,
meningoensefalitis, ensefalitis, empiema subdural atau epidural dan abses
otak. Virus dan bakteri menyebabkan meningitis, infeksi jamur dapat terjadi
pada pasien yang menjalani transplantasi dan pada pasien yang mengalami
imunosupresi.(6) Ensefalitis dan ensefalopati harus dapat dibedakan, dimana
pada ensefalopati terjadi kerusakan fungsi otak tanpa adanya proses
inflamasi langsung di dalam parenkim otak.(11) Neonatus tidak selalu
memberikan gejala ubun ubun besar yang menonjol. Pasien dapat
menunjukkan gejala ensefalopati global seperti koma atau status epileptikus.
Diagnosis dan pengobatan awal dengan antibiotik atau antiviral yang sesuai
menjadi penting.(6)
Ensefalopati yang disebabkan oleh infeksi sistemik adalah keadaan
yang paling sulit dibedakan dengan ensefalitis. Perbedaan yang dapat
diidentifikasi antara ensefalopati dan ensefalitis pada umumnya dapat dilihat
pada tabel berikut.(12)

Tabel1. Perbedaan antara ensefalopati dan ensefalitis(12)

Ensefalopati Ensefalitis
Manifestasi klinis
Demam Tidak umum Umum

4
Nyeri kepala Tidak umum Umum
Depresi status mental Deteriorasi Mungkin fluktuasi
Tanda neurologis fokal Tidak umum Umum
Tipe kejang Umum Umum atau fokal
Temuan Laboratoris
Darah Leukositosis tidak umum Leukositosis umum
LCS Pleositosis tidak umum Pleositosis umum
EEG Pembengkakan umum Pembengkakan umum
dan abnormalitas fokal
MRI Terkadang normal Abnormalitas fokal
Disfungsi serebral difuse ataupun multifokal yang diinduksi oleh
respons sistemik terhadap infeksi tanpa bukti klinis maupun laboratoris
adanya infeksi otak secara langsung disebut dengan ensefalopati sepsis.(13, 14)
b. Patogenesis. Patogenesis ensefalopati sepsis masih belum jelas. Beberapa
kemungkinan diajukan sebagai penyebab adanya kerusakan otak selama
sepsis berat yaitu efek endotoksin dan mediator inflamasi, disfungsi sawar
darah otak dan kerusakan cairan serebro spinal, perubahan asam amino dan
neurotransmiter, apoptosis, stres oksidatif dan eksitotoksisitas, akan tetapi
hipotesis yang paling dipercaya adalah moltifaktorial.(13)
Endotoksin. Toksin bakteri dan partikelnya, lipopolisakarida,
merupakan salah satu penyebab disfungsi otak selama sepsis.
Lipopolisakarida pada keadaan sepsis akan meningkat dan akan bereaksi
langsung dengan otak dalam organ sirkumventrikular yang tidak dilindungi
oleh sawar darah otak. Lipopolisakarida dapat berikatan dengan reseptor
seperti reseptor menyerupai toll, menginduksi sintesis sitokin inflamasi,
prostaglandin dan nitrit okside dari mikroglia dan astrosit. Pada konsentrasi
yang rendah, endotoksin dapat menginduksi sekresi sitokin inflamasi, IL6
dari monosit/makrofag, yang akan bereaksi langsung dengan menginduksi
ekspresi mediator inflamasi.(13)
Mediator inflamasi. Ketika infeksi terjadi, maka makrofag/monosit
perifer akan mensekresi sitokin inflamasi termasuk didalamnya, IL1, TNF ,
dan IL 6 yang memegang peranan penting dalam memediasi respon serebral
dalam infeksi. Ketiga mediator tersebut dapat menginduksi cyclooxygenase
2 (COX2) dari sel glia dan mensintesis prostaglandin E2 yang bertanggung

5
jawab dalam aktivasi aksis hipotalamus-pituitari-adrenal, demam dan
perubahan kebiasaan. Aktifasi dari kaskade komplemen, diantaranya
anafilaktoksin C5a, juga dikaitkan dengan disfungsi otak selama sepsis,
kemungkinan dengan menginisiasi kerusakan sawar darah otak.(13)
Disfungsi sawar darah otak. Baik lipopolisakarida maupun sitokin
dapat menginduksi aktifasi endotelial yang disebut panendotelitis. Mereka
akan menginduksi ekspresi dari molekul adesi pada sel endotelial mikrovasel
otak, mereka juga menginduksi sekresi sitokin proinflamasi dan nitrit oxide
syntase (NOS). Aktifasi endotelial menghasilkan permeabilitas yang
meningkat dan kerusakan sawar darah otak dengan konsekuensi selanjutnya
akan terbentuk edema otak vasogenik. Kaki astrosit disekitar pembuluh
darah korteks akan mengalami pembengkakan dan akan terjadi ruptur
membran dan melepaskan dinding pembuluh darah. Pembengkakan kaki
astrosit merupakan konsekuensi langsung dari kerusakan sawar darah otak.
Edema otak yang terjadi pada ensefalopati sepsis lebih berkaitan dengan
hilangnya autoregulasi dibandingkan dengan kerusakan sawar darah otak
meskipun jika edema vasogenik awal dapat menjadi edma sitotoksik.(13)
Aliran darah otak dan autoregulasi serebrospinal. Aliran darah otak
menurun dan iskemia otak mungkin disebabkan oleh kerusakan otak selama
sepsis berat. Kerusakan aliran darah otak juga merupakan akibat dari
kerusakan mikrovaskular, yang terjadi pada organ lain, bukan karena efek
hipotensi sistemik.(13)
Disfungsi mitokondria. Disfungsi mitokondria berhubungan dengan
apoptosis sel neuron dan persediaan energi yang tidak adekuat. Penurunan
ATP yang dihasilkan oleh mitokondria disebabkan oleh sitokin, reactive
oxygen species (ROS) dan NO. Mitokondria juga dapat menginduksi
terjadinya apoptosis dengan mengeluarkan cytokrom C. (13)
c. Gejala Klinis. Ensefalopati sepsis pada umumnya terjadi awal sepsis berat
dan menyebabkan gagal multiorgan. Keadaan klinis yang paling sering
ditimbulkan adalah penurunan tingkat kesadaran dari mulai penurunan
kewaspadaan ringan hingga tak berespon dan koma. Status konfusional

6
fluktuatif, inatensi dan kebiasaan yang tidak sesuai juga terkadang timbul
pada pasien ensefalopati ringan. Pada kasus yang lebih berat dapat
menimbulkan delirium, agitasi dan deteriorasi kesadaran dan koma. Gejala
motorik jarang terjadi pada ensefalopati sespsis, dan banyak terjadi pada
ensefalopati metabolik, misalnya asteriksis, mioklonus dan tremor. Pada
ensefalopati sepsis yang mungkin timbul adalah berupa rigiditas paratonik,
merupakan resisten yang tergantung pada kecepatan menjadi gerakan pasif.
Kejang juga dapat timbul pada ensefalopati septik, tetapi tidak umum,
disfungsi saraf kranial dan lateralisasi jarang terjadi dan harus dapat
menyingkirkan penyebab lain yang mungkin. (13)
d. Diagnosis. Diagnosis ensefalopati sepsis secara klinis tergantung pada
penyingkiran penyebab lain yang mungkin dari deteriorisasi otak (metabolik
atau struktural). EEG merupakan merupakan salah satu pemeriksaan
penunjang yang sensitif dan dapat menunjukkan abnormalitas walaupun
pemeriksaan neurologis normal. Pola EEG yang dapat ditemukan pada
ensefalopati sepsis adalah normal EEG, eksesif theta, predominan delta,
gelombang triphasik, supresi. Pemeriksaan EEG pada ensefalopati septik ini
tidak spesifik, karena juga dapat ditemukan pada pengaruh sedasi dan
kerusakan metabolik. CT Scan kepala tidak ditemukan kelainan, akan tetapi
dilakukan pemeriksaan untuk menyingkirkan adanya kerusakan otak yang
disebabkan oleh hipoksik/iskemik. Perkembangannya adalah penggunaan
biomarker untuk mendeteksi adanya ensefalopati septik, yaitu S100B dan
NSE. S100B adalah protein yang terikat oleh kalsium yang dihasilkan oleh
sistem saraf pusat, terutama oleh sel astroglial. S100B akan meningkat pada
serum dan cairan serebro spinal setelah terjadi cedera otak. NSE adalah
enzim glikolitik intrasitoplasmik enolase, yang dapat ditemukan pada sel
saraf dan jaringan neuroendokrin dan meningkat pada sirkulasi darah setelah
meningkatnya kematian sel saraf.(13)
e. Penatalaksanaan. Pengobatan ensefalopati septik secara khusus masih
belum ada, penanganannya dilakukan dengan penanganan sepsis pada
umumnya.(13)

7
Dibutuhkan terapi suportif seperti menjaga suhu lingkungan yang hangat,
memberi pengobatan simptomatik seperti muntah, anemia dan demam.
Kemudian dilakukan pemberian antibiotik untuk penanganan definitif
selama kurang lebih 14 hari.(13)
2. Ensefalopati akibat toksis
Ensefalopati yang diinduksi obat.
a. Definisi. Ensefalopati nonsirosis hiperamonia merupakan salah satu
komplikasi dari pemberian asam valproat, tanpa disertai adanya penyakit
liver primer sebelumnya.(10)
b. Gejala Klinis. Biasanya kasus asimptomatik dan disertai adanya
peningkatan ringan enzim liver serum. Secara klinis pasien dapat
menunjukkan keadaan dimana tejadi disfungsi kognitif dalam beberapa
derajat. Gejala dapat dimulai pada 2 minggu awal setelah terapi dimulai
hingga berkisar 3-5 tahun berikutnya.(10)
c.Patogenesis. Asam valproat dapat juga menginduksi hepatotoksisitas dengan
mekanisme yang menyerupai hiperamonia hepatik dengan adanya gejala
neurologis. Pada beberapa kasus hal ini berkaitan dengan defisensi enzim
siklus urea, ornithine transcarbamilase, dengan outcome yang jelek. Intake
asam valproat, yang merupakan asam lemak, dapat menginduksi
hiperamonia dengan cara metabolisme nya dalam hati, yang menghasilkan
metabolit toksik yang dapat menghambat carbamoyl phosphate synthetase,
yang merupakan reaksi enzimatik pertama pada siklus urea, yang dapat
mencegah ekskresi ammonia. Asam valproat juga menurunkan level
kreatinin dengan meningkatkan ekskresi dalam bentuk kompleks asam
valproat-kartinin. Defisiensi kartinin mengurangi fungsi mitokondria,
dengan menghambat siklus urea dalam hati.(10)
d. Etiologi. Anti konvulsan lainnya yang dapat berefek seperti asam
valproat adalah fenobarbital dan phenytoin. Fenobarbital dan phenitoin
meningkatkan kadar ammonia pada pasien yang mengkonsumsi asam
valproat secara bersamaan. Pada salah satu penelitian, penambahan
toporimate, inhibitor siklus urea lainnya, pada penggunaan asam valproat,
mempercepat terjadinya ensefalopati pada pasien asimtomatis. Beberapa

8
obat lainnya yang dapat menyebabkan keadaan hiperamonia, yang mungkin
dapat merusak siklus urea atau meningkatkan produksi ammonia renal ke
dalam sirkulasi. Obat tersebut antara lain glysin yang digunakan selama
reseksi prostat transuretra, yang menstimulasi produksi ammonia, selain itu
carbamazepin, ribavirine, sulfadiazine dengan pirimetamin dan salisilat sosis
tinggi.(10)
e.Penatalaksanaan. Pengobatan utama pada ensefalopati yang diinduksi oleh
penggunaan asam valproat adalah dengan menghindari konsumsi asam
valproat, yang dapat memberikan perbaikan utuh dalam waktu beberapa hari.
Suplementasi 1carnitine juga menunjukkan penurunan gejala toksisitas yang
diinduksi asam valproat.(10)
Ensefalopati akibat timbal.
a. Definisi. Penggunaan timbal banyak digunakan dalam kehidupan
sehari hari. Timbal digunakan untuk alat masak, pipa, dan barang pecah
belah lainnya. Bentuk intoksikasi timbal dapat menyebabkan kebutaan,
kolik, nyeri persendian, dan bentuk terparah berupa ensefalopati.(9)

Gambar1. Efek timbal pada kesehatan manusia(15)


b. Patofisiologi. Anak-anak lebih sensitif terhadap intoksikasi timbal
dibandingkan pada dewasa karena berbagai sebab. Eksposure pada anak
anak sangat dipengaruhi oleh kebiasaan pica. Pada saluran pencernaan anak
juga mengabsorbsi timbal lebih cepat dibandingkan pada dewasa dan sistem
saraf pusat pada anah lebih mudah diserang agen toksik dibandingkan
dengan sistem saraf pusat matur.(15)

9
Timbal dapat melewati sawar darah otak, ditransmisikan melalui plasenta
dan air susu.(16) Timbal menimbulkan mekanisme toksisitasnya melalui
ikatan kuat dengan kelompok sulfhidril pada protein dan enzim. Ikatan ini
akan menimbulkan toksik pada beberapa sistem enzim.(15)
c. Diagnosis. Di Amerika kadar normal timbal dalam darah adalah kurang dari
5mcg/dL, dan mencapai kadar toksik pada kadar lebih dari 10mcg/dL,
khususnya pada anak anak. Kadar protophyrin digunakan sebagai alat
diagnostik pada toksisitias timbal karena enzim yang berdasarkan heme yang
disebabkan oleh timbal. Peningkatan protopirin seiring dengan peningkatan
kadar timbal pada serum. Peningkatan protrofirin terjadi pada 6-8 minggu
setelah paparan dan nilai normal dari protophirin adalah kurang dari 35
mcq/dL.(16)
d. Gejala klinis. Pada keadaan akut ensefalopati pasien dapat mengeluhkan
nyeri kepala, muntah, ataksia, kejang, paralisisi, stumor dan koma. Pada
ensefalopati kronik, pasien dapat kehilangan memori, ketidaknormalan
kebiasaan, depresi, ataksia, kejang, kebingungan dan kehilangan persepsi
sensorik. Selain itu toksisitas timbal dapat menyebabkan gangguan dalam
belajar, pengurangan IQ dan perburukan kebiasaan. (16)
e. Penatalaksanaan. Terapi farmakologik dengan chelating agent tidak
memperbaiki kerusakan neurokognitif pada anak karena toksisitas timbal.
Terapi farmakologis yang dapat digunakan antara lain dimercaprol
25mg/kgBB/hari, Calsium disodium ethylenediammine tetraacetic acid
(CaNa2 EDTA) dengan dosis 50mg/kgBB/hari drip dengan NaCl atau D5%,
Succimer dengan dosis 10mg/kgBB/8jam selama 5 hari atau D-penicillamin
10-15mg/kgBB selama 4-12 minggu.(16)
3. Ensefalopati akibat metabolik
a. Definisi dan Klasifikasi. Ensefalopati dengan masalah metabolik
sebagai dasarnya merupakan masalah baik bagi neonates maupun anak,
dengan outcome fungsional bergantung pada waktu dan intervensi yang hati
hati. Ensefalopati metabolik adalah pengertian umum keadaan klinis yang
ditandai dengan :
1) Penurunan kesadaran sedang sampai berat

10
2) Gangguan neuropsikoatrik: kejang, lateralisasi
3) Kelainan fungsi neurotransmitter otak
4) Tanpa di sertai tanda tanda infeksi bakteri yang jelas.
Gannguan metabolik yang biasa terjadi adalah disfungsi hepar, disfungsi
renal, dan gangguan metabolik. Gannguan yang paling sering terjadi adalah
disfungsi hepar, sehingga yang dibahas dalam referat kali ini adalah
ensefalopati hepatic.
Terdapat tiga varian ensefalopati metabolik pada anak, dua varian pertama
sangat berhubungan. Kerusakan genetik dari metabolisme dapat
menimbulkan bayi dengan ensefalopati yang berat dari hanya
hiperammonemia saja. Ketika kerusakan metabolik terjadi setelah beberapa
bulan hingga tahun kemudian, derajat insufisiensi hepar dapat mempersulit
kerusakan metabolik tersebut. Pada hepatitis akut maupun fulminan karena
beberapa etiologi (misalnya infeksi, obat, toksik) peningkatan ammonia
serum mungkin hanya sedang tapi faktor lain yang berkontribusi terjadinya
ensefalopati yang dapat terjadi dalam beberapa hari. Varian ke tiga,
ensefalopati berat dihasilkan oleh ketoasidosis diabetik. Edema serebral yang
sangat berkaitan dengan ketoasidosis diabetik. (17)
Pada tahun 1998, The Working Party pada World Congress of
Gastroenterology ke 11, membuat standarisasi nomenklatur dari ensefalopati
hepatik, yang membaginya dalam tiga tipe yaitu A, B dan C.
Tabel2. Jenis ensefalopati hepatik (17)

Type Nomenklature Subkatagori


A Ensefalopati yang berhubungan dengan
gagal hepar akut
B Ensefalopati yang berhubungan dengan
bypass portal sistemik dan tanpa penyakit
hepatoseluler intrinsic
C Ensefalopati yang berhubungan dengan Episodik, persisten
sirosis dan hipertensi portal atau shunting dan minimal.
sistemik portal
b. Patofisiologi. Perlu ditekankan bahwa patofisiologi ensefalopati hepatik
pada anak sangat berbeda dengan yang terjadi pada dewasa dimana selalu
terdapat penyakit hati kronik dan sirosis. Pada anak kerusakan hepar terjadi

11
secara akut. Penyebab ensefalopati hepatik pada anak bervariasi dari virus
hepatitis, hingga kerusakan metabolisme sejak lahir, sebaliknya pada
dewasa, penyakit hepar yang disebabkan oleh alkohol lebih banyak terjadi.
Selain itu pada anak edema serebral merupakan komplikasi yang penting
yang dapat ditemukan pada stadium awal.(18)
Terdapat empat teori terjadinya kerusakan saraf pada hepatitis
fulminan, akumulasi dari ammonia, kesalahan neurotransmiter yang berada
pada otak, ligan yang tidak normal pada reseptor amino butyric acid
benzodiazepine (GABA-BDZ), deposit mangan pada ganglia basalis.(18)
Teori Amonia. Amonia sejak lama dikenal sebagai neurotoksin yang
bertanggung jawab dalam patogenesis ensefalopati hepatik. Amonia
dihasilkan dari beberapa jaringan termasuk ginjal dan otot meskipun
konsentrasi tertingginya berada pada vena porta yang berasal dari bakteri
pada kolon dan metabolisme glutamine pada usus kecil. Pada orang normal,
berkisar 80-90% ammonia diekskresikan melalui metabolisme pertama.
Ekskresi berkurang baik pada keadaan hepatitis kronik maupun akut.
Mekanisme hiperammonaemia menyebabkan ensefalopati masih belum
terlalu jelas, penelitian menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kadar
ammonia pada sel hepatosit yang mengakibatkan perubahan pada
neurotransmiter terutama agonis GABA, sehingga menyebabkan kegagalan
penyediaan energi untuk otak. Detoksifikasi ammonia pada astrosit
menyebabkan akumulasi glutamine, yang merupakan penyebab utama
terjadinya pembengkakan astrosit. Pada hepatitis akut, pembengkakan glial
juga ditemukan ketika adanya pembengkakan otak. Pasien dengan
ensefalopati hepatik memiliki kadar serum ammonia lebih dari 90%, dan
menurunnya kadar serum ammonia berhubungan dengan perbaikan tingkat
ensefalopati hepatik. Penelitian eksperimental menyatakan bahwa terdapat
hubungan yang kuat antara kadar glutamine pada cairan serebro spinal
dengan derajat ensefalopati hepatik, tetapi kerusakan fungsi kognitif seperti
memori episodik, perhatian berkesinambungan yang terjadi pada

12
ensefalopati hepatik menunjukkan hubungan dengan kadar ammonia serum
ketika diperiksa dengan tes psikometrik komputer.(18)
Teori kesalahan neurotransmiter. Neurotransmiter serebral
diregulasi oleh konsentrasi asam amino dan prekusornya pada sistem saraf
pusat. Pada pasien dengan disfungsi hepar berat, konsentrasi sirkulasi plasma
dari asam amino aromatic (AAA) yaitu triptopan, tyrosin dan phenilalanin
meningkat sedangkan konsentrasi asam amino rantai ganda (leucine,
isoleucine dan valine) menurun, akibatnya terjadi produksi neurotransmiter
yang salah (octopamide dan phenilethanolamide) yang kemudian
berkembang menjadi ensefalopati hepatik.(19)
Teori GABA. GABA adalah merupakan neurotransmiter inhibitori
pada manusia yang bekerja dengan berikatan dengan kompleks reseptor
GABA. Peningkatan jumlah benzodiazepine endogen sebagai neurosteroid
mengakibatkan inhibisi terhadap neurotransmisi. Perubahan pada kompleks
reseptor GABA dan perubahan konsentrasi GABA serebral terjadi pada
ensefalopati hepatik. (19)
Teori Mangan. Akumulasi mangan di ganglia, banyak pada pasien
sirosis dan sebaliknya pada transplantasi hepar. Konsentrasi mangan pada
serum berhubungan dengan derajat ensefalopati hepatik. Manifestasi klinis
pada intoksikasi mangan dan manifestasi ekstrapiramidal dari ensefalopati
hepatik menyatakan bahwa terjadi peningkatan kadar mangan yang berperan
dalam terjadinya ensefalopati hepatik. (19)
c. Gejala Klinis
Derajat gangguan status mental pada ensefalopati diklasifikasikan
berdasarkan kriteria West Haven, berkisar dari gangguan pola tidur hingga
perubahan fungsi kognitif dan koma dalam. (19)
Tabel 3. Gejala Klinis ensefalopati hepatik(19)

Grade Tingkat Personalitas Tanda neurologis Kelainan EEG


kesadaran dan
intelektualitas
0 Normal Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Subklinis Normal Pelupa, Ketidaknormalan Tidak ada
bingung hanya pada

13
ringan, agitasi,
analisis
iritabel psikometrik
1 Gangguan Tremor, Tremor, Gelombang
pola tidur apraksia, apraksia, trifasik
Gelisah inkordinasi inkordinasi dan (5siklus/detik)
dan gangguan gangguan
menulis menulis
2 Lethargy, Asteriksis, Gelombang
Respon disartria, ataksia, trifasik
lambat refleks hipoaktif (5siklus/detik)
3 Somnolen, Disorientasi, Astereksis, Gelombang
bingung amnesia, refleks trifasik
disinhibisi dan hiperaktif, tanda (5siklus/detik)
kebiasaan babinsky dan
inappropriate rigiditas otot
4 Koma Tidak ada Aktifitas delta
Penilaian tingkat kesadaran lain yang bisa digunakan secara lebih
objektif adalah Glasgow Coma Scale (GCS), akan tetapi tidak khusus
mengukur ensefalopati hepatik.(19)
d. Penatalaksaan. Pengobatan yang banyak dilakukan pada pasien dengan
ensefalopati hepatik adalah perawatan suportif, identifikasi dan pengobatan
terhadap faktor yang mempercepat, mereduksi produk nitrogen oleh usus
dan identifikasi pasien yang membutuhkan terapi jangka panjang.
Identifikasi dan menghilangkan faktor presipitasi yaitu infeksi.
Kultur cairan tubuh dapat menjadi penanda infeksi. Pasien dengan asites
saebaiknya dilakukan parasentesis diagnostik.

14
Gambar2. Algoritme penanganan ensefalopati hepatik (19)
Seorang anak dengan ensefalopati hepatik sebaiknya ditangani dalam
perawatan intensif dengan program transplantasi hepar, akan tetapi sumber
daya yang terbatas. Management pertama yang dilakukan adalah
mencangkup airway, breating, dan sirkulasi, sebagaimana penanganan kasus
kegawatan lainnya.(18)
Managemen cairan. Setelah dilakukan resusitasi, maka yang perlu
dilakukan selanjutnya adalah keseimbangan cairan. Tujuan penting yang
ingin dicapai adalah normovolumik, karena adanya hidrasi yang kurang
maupun lebih akan mengganggu. Pemberian cairan yang sering dilakukan
pertama kali adalah pemberian cairan kira kira 70% dari maintenance. Status
hidrasi sebaiknya dimonitor dengan menggunakan tekanan vena sentral,
dengan target 6-8cm H2O. Monitoring urin juga diperlukan untuk
memonitoring hidrasi, dan indikator fungsi renal. Pemberian cairan secara
intra vena sebagai media pemberian elektrolit dan glukosa dimana pada
keadaan ensefalopati terganggu.(18)
Kalium. Hipokalemi dapat disebabkan karena pemberian diuretik,
muntah, dan diare. Hipokalemi dan gejala penyertanya berupa alkalosis
merusak detoksifikasi ammonia, meningkatkan produksi ammonia ginjal,

15
meningkatkan difusi ammonia melewati sawar darah otak. Kebutuhan
kalium diperkirakan berkisar 3-6mEq/kgbb/hari.(18)
Natrium. Intake natrium total sebanyak 1mEq/kgBB/hari, biasanya
cukup adekuat untuk mencegah terjadinya asites. Pada umumnya, sekresi
yang tidak sesuai dari hormon anti diuretik, menyebabkan hiponatremi
dilusi, yang dapat ditangani dengan pembatasan cairan. Bila pembuangan air
bebas diperlukan maka biasanya diberikan diuretik yang dikombinasikan
dengan albumin rendah garam. Penggunaan NaCl hipertonik dapat
dipertimbangkan pada kasus dengan kadar natrium kurang dari 120 mEq/l
dan atau turun secara cepat.(18)
Glukosa. Penanganan hipoglikemia penting bagi pada bayi dengan
ensefalopati hepatik. Pemberian cairan intravena minimal mengandung
glukosa 100mg/ml (10%) dan infuse dilakukan titrasi untuk
mempertahankan glukosa darah diantara 120-240mg/dl. (18)
Restriksi ammonia
Pembersihan selauran cerna. Pemasangan pipa nasogastrik diperlukan
untuk mendeteksi dan membuang adanya darah dalam saluran cerna atas,
dan memberikan drainase secara berkesinambungan. Hal ini dapat mencegah
mempercepatnya perdarahan karena kerusakan mukosa lambung yang
mungkin terjadi karena suction. Pencucian lambung dilakukan biasanya
dengan larutan 50% magnesium sulfat, selain itu dapat digunakan enemas
retensi (20% laktosa) tetapi masih jarang digunakan karena ketersediaan dan
masih minimnya penelitian.(18)
Antibiotik. Banyak antibiotik yang dapat digunakan pada pasien
ensefalopati hepatik untuk membersihkan saluran cerna, antara lain
ampisilin, metronidazol, vankomicin, rifamixin. Dari antiboiotik tersebut,
rifaximin menunjukkan spectrum luas baik bakteri gram positif maupun
negatif dan aerobik maupun anaerobik, selain itu rifaximin diabsorbsi
minimal secara sistemik. Helicobacter pylori (bakteri amoniagenik) dapat
mempercepat terjadinya ensefalopati hepatik pada pasien sirosis, terutama
dengan adanya hipoklorida gaster. Oleh karena itu pemberian antibiotik juga
diberikan untuk membunuh H. pylori.(18)

16
Protein. Pembatasan protein atau bahkan eliminasi total dianjurkan
hingga terjadi perbaikan. Pada penelitian terakhir, pemberian protein dimulai
dari 0,5gram/kgBB/hari dengan peningkatan bertingkat hingga
1,5gr/kgbb/hari, hingga beberapa minggu dan terjadi perbaikan hepar.
Pemberian protein nabati lebih dianjurkan dibandingkan dengan protein
hewani, karena lebih dapat ditoleransi dan lebih sedikit mengandung
aminium, methionin dan asam amino aromatik.(18)
Laktoasa. Laktosa merupakan disakarida yang dapat ditemukan di
sekum dalam keadaan belum diubah, dan kemudian diubah oleh flora
intestinum menjadi komponen glukosa, galaktosa dan fruktosa. Galaktosa
dan laktosa dimetabolisme menjadi asam organik termasuk diantaranya asam
laktat dan asam asetat, yang menyebabkan pH lumen intestinal turun
mencapai 5,5. Hal ini menyebabkan pencegahan pembentukan ion
ammonium yang mudah terserap.(18)
Probiotik. Secara teoritis, bakteri intestinal yang tidak menghasilkan
urease akan menurunkan jumlah ammonia enteral. Penelitian yang pernah
dilakukan adalah dengan pemberian Lactobacillus acidophilus per oral
memberikan efek yang bermanfaat pada pasien sirosis yang menderita
ensefalopati hepatik. Suplementasi Lactobacillus acidophilus selama 1-4
minggu menunjukkan perkembaangan klinis sebanyak 71% pada pasien
dengan ensefalopati hepatik dibandingakan dengan pasien yang hanya
mendapatkan neomycin saja.(18)
Peningkatan metabolisme ammonia
Omithine-Aspartat. Infus 1omithine dan 1-aspartat merupakan usaha
unuk menurunkan ammonia serum dengan meningkatkan metabolisme
jaringan terhadap urea dan glutamine. Pada hepatosit periportal, 1omithine
bekerja sebagai substrat ureagenesis dan mengaktifasi siklus enzim urea
omithine transcarbamylase dan carbamoyl phospotase syntase. Aktifitas
siklus urea diharapkan mengkonsumsi ammonia dan menurunkan kadar
ammonia dalam serum. Pada sel perivena hepatik, dimana enzim siklus urea
minimal, aspartan (dan dekarboxylate lainnya) menstimulasi sintesis

17
glutamine dan memulai proses detoksifikasi ammonia. Akan tetapi belum
ada dosis dasar untuk anak, rekomendasi yang masih digunakan adalah
hingga 20 gram/hari diencerkan pada cairan maintenance.(18)
Benzoate dan Phenil asetat. Hiperamonia berhubungan dengan
kerusakan metabolisme pada bayi baru lahir, penggunaan benzoate dan
phenyl asetat merupakan standart pengobatan.(18)
e. Pencegahan
Untuk mencegah terjadinya ensefalopati metabolic adalah terutama dengan
member pengobatan sesegera mungkin jika ditemui adanya gangguan di hati.
Selain itu bila memiliki penyakit hati sebelumnya, sebaiknya memeriksakan
rutin untuk mencegah terjadinya enefalopati.(18)
f. Prognosis
Ensefalopati hepatic merupakan penyakit hati stadium terminal dnegan tanda
prognostic yang jelek dan mengindikasikan tingkat survival yang pendek.
Pada penelitian yang telah dilakukan menunjukkan 42% dapat bertahan
hidup dalam waktu satu tahun, sedangkan 23% yang dapat bertahan hingga
tiga tahun.
4. Ensefalopati akibat iskemik
a. Definisi. Ensefalopati hipoksik iskemik merupakan penyebab cedera
permanen yang penting pada sel sistem saraf pusat yang mengakibatkan
kematian neonatus atau nantinya, jejas dapat bermanifestasi sebagai palsi
serebral atau defisiensi mental.(6)
b. Patofisiologi. Hipoksia merujuk pada kadar oksigen arteria yang
kurang dari normal, dan iskemia merujuk pada aliran darah ke sel atau organ
tidak mencukupi untuk mempertahankan fungsi normalnya. Penyebab
terjadinya keadaan hipoksia dapat dibagi menjadi dua yaitu saat di dalam
kandungan dan setelah dilahirkan. Penyebab saat di dalam kandungan terdiri
dari(6):
1) Oksigenasi darah ibu yang tidak mencukupi akibat hipoventilasi
selama anestesi, penyakit jantung sianosis, gagal pernapasan, atau
keracunan karbon monoksida

18
2) Tekanan darah ibu yang rendah akibat hipotensi yang dapat merupakan
komplikasi anestesi spinal atau akibat kompresi vena kaca dan aorta pada
uterus gravid
3) Relaksasi uterus tidak cukup memberikan pengisian plasenta akibat
adanya tetani uterus yang disebabkan oleh pemberian oksitosin berlebihan
4) Pemisahan plasenta premature
5) Sirkulasi darah melalui tali pusat terhalang akibat adanya kompresi
atau pembentukan simpul pada tali pusat
6) vasokonstriksi pembuluh darah uterus oleh kokain
7) insufisiensi plasenta karena berbagai sebab, termasuk toksemia dan
pasca maturitas.
Hipoksia yang tejadi sesudah lahir, dapat merupakan akibat dari (6):
1) Anemia cukup berat, yang sampai menurunkan kandungan oksigen
darah ke tingkat kritis, akibat perdarahan berat atau penyakit hemolitik
2) Syok cukup berat, yang sampai mengganggu pengangkutan oksigen ke
sel sel vital, akibat perdarahan adrenal, perdarahan intraventrikular,
infeksi yang berlebihan atau kehilangan darah yang masif.
3) Kurangnya saturasi oksigen arteria disebabkan gagal terjadinya
pernapasan yang adekuat pada pasca lahir, akibat cacat, nekrosis atau
jejas pada otak
4) Kegagalan oksigenasi sejumlah darah yang adekuat akibat adanya
bentuk penyakit jantung kongenital sianosis atau defisiensi fungsi paru
yang berat.
Janin yang mengalami hipoksik iskemik kronis dapat mengalami
retardasi pertumbuhan intrauteri tanpa tanda tanda tradisional gawat janin
(misalnya bradikardi). Velosimetri bentuk gelombang umbilikalis melalui
Doppler (memperlihatkan kenaikan tahanan vascular janin) dan
kordosintesis (memperlihatkan hipoksia janin) dapat mengidentifikasi bayi
hipoksik kronis. Selanjutnya kontraksi uterus mengurangi oksigen
umbilikalis, menekan kardiovaskular janin dan sistem saraf pusat,
menghasilkan skor APGAR rendah dan hipoksia pasca lahir dalam kamar
bersalin.(6)
Keadaan dimana terjadi penurunan aliran darah uteroplasenter atau
keadaan yang mengganggu proses respirasi spontan sehingga menyebabkan

19
hipoksia perinatal, asidosis laktat dan jika cukup berat maka akan
menurunkan cardiac output atau menyebabkan cardiac arrest, dan iskemia.
(20)

Respons awal sirkulasi janin adalah menambah shunt melalui duktus


venosus, duktus arteriosus, dan foramen ovale dengan rumatan perfusi
sementara ke otak, jantung dan adrenal lebih diutamakan daripada paru
(karena adanya vasokonstriksi pulmonal), hati, ginjal dan usus. Hipoksi
intrauteri yang lama dapat menyebabkan terjadinya LPV, dan hyperplasia
otot polos arteriol, membuat bayi cenderung mangalami hipertensi pulmonal.
Apabila kegawatan janin menyebabkan janin terengah engah maka akan
menyebabkan kandungan cairan amnion (mekonium, skuama rambut,
lanugo) teraspirasi ke dalam trakea atau paru paru.(6)
Kombinasi berkurangnya persediaan oksigen untuk otak yang
menyebabkan hipoksia dan kurangnya atau tidak adanya aliran darah yang
menyebabkan iskemia dapat menyebabkan berkurangnya glukosa untuk
metabolisme dan akumulasi laktat yang menghasilkan asidosis pada jaringan
lokal. Setelah terjadi reperfusi, hipoksia iskemik juga dapat menimbulkan
komplikasi nekrosis sel dan edema endotel vaskular, menurunkan aliran
darah pembuluh darah distal.(20)
c.Gejala Klinis Secara khas, ensefalopati hipoksia iskemik pada neonatus
memiliki karakteristik edema serebral, nekrosis kortikal, dan keterlibatan
ganglia basalis, sedangkan pada neonatus preterm, memiliki karakteristik
periventrikular leukomalasia. Kedua lesi dapat menyebabkan atropi kortikal,
retardasi mental dan kuadriplegi atau diplegi spastika.(20)
Sesudah lahir, kombinasi hipoksia janin kronis dan jejas hipoksik iskemik
mengakibatkan neuropatologi spesifik sesuai umur kehamilan. Bayi cukup
bulan memperlihatkan nekrosis neuron korteks (nantinya atrofi korteks) dan
jejas iskemia parasagital. Bayi preterm memperagakan LPV (nantinya
diplegia spastik), status marmoratus ganglia basalis, dan PIV. Bayi cukup
bulan, lebih sering dari pada bayi preter, memperlihatkan infark korteks
setempat atau multifocal yang menghasilkan kejang kejang setempat (fokal)

20
dan hemiplegia. Perangsangan asam amino dapat memainkan peranan
penting dalam pathogenesis asfiksia jejas otak.(6)
Gejala klinis dan karakteristik ensefalopati hipoksik iskemik sangat
bermacam macam bergantung pada beratnya cedera yang ditimbulkan.
Pucat, sianosis, apnea, frekuensi denyut jantung lambat dan tidak
memberikan respons terhadap rangsangan merupakan beberapa tanda umum
terjadinya ensefalopati hipoksik iskemik. Neonatus dengan ensefalopati
hipoksik iskemik derajat keparahan 3 biasanya hipotonus, walaupun awalnya
terlihat hipertonus dan kewaspadaan yang meningkat sesaat setelah
dilahirkan. Seiring berkembangnya edema serebral, fungsi otak menurun,
depresi kortikal menyebabkan koma, dan depresi batang otak menyebabkan
apneu. Seiring berkembangnya edema serebri, akan terjadi kejang yang
dimulai saat 12-24 jam setelah lahir. Neonatus juga tidak memiliki tanda
respirasi spontan, hipotonus, dan menurun atau tidak adanya reflek tendon.
(20)

Tabel 4. Gejala klinis ensefalopati hipoksik iskemik pada neonatus(20)


Tanda Derajat 1 Derajat 2 Derajat 3
Tingkat Hiperalert Letargik Stupor
kesadaran
Tonus otot Normal Hipotonus Flaksid
Refleks Hiperaktif Hiperaktif Tidak ada
tendon/ klonus
Reflek moro Kuat Lemah Tidak ada
Pupil Midriasis Miosis Anisokor, reflek
cahaya minimal
Kejang Tidak ada Ada Desereberasi
EEG Normal Perubahan voltase Banyak supresi
rendah hingga hingga
aktifitas kejang isoelektrik
Durasi <24jam jika ada 24jam -14 hari Hari-minggu
kemajuan lain
mungkin tetap
normal

21
d. Penatalaksanaan. Pencegahan dan pengobatan nantinya diarahkan
pada keadaan dasar yang menyebabkannya, kematian dan ketidakmampuan
kadang kadang dapat dicegah melalui pengobatan terhadap gejala yang
timbul dengan memberikan oksigen atau pernafasan buatan dan koreksi
disfungsi multiorgan terkait.(6)
Edema otak dapat timbul pada 24 jam berikutnya dan mengakibatkan depresi
batang otak yang berat. Selama waktu ini dapat terjadi aktivitas kejang yang
mungkin berat dan kejang ini refrakter terjadap dosis biasa antikonvulsi.
Lorazepam (0,05-0,1 mg/kgBB, iv) dapat digunakan selama kejang akut,
sedangkan untuk mensupresi kejang secara terus menerus mungkin
memerlukan dosis pembebanan i.v. 20-25mg/kgBB fenobarbital atau
20mg/kgBB fenitoin. Walaupun sebagian besar kejang sering merupakan
akibat dari ensefalopati hipoksik iskemik, kejang pada bayi baru lahir yang
mengalami asfiksia dapat juga disebabkan oleh hipokalsemi atau
hipoglikemia.(6) Pada keadaan hipoksik iskemik terjadi turunnya suhu
berkisar 20C. Terapi hipotermia lebih bermaksud pada resusitasi
dibandingkan dnegan neuroprotektor. Pada bayi dengan respon minimal pada
resusitasi konvensional, ditempatkan pada tempat berisi air dingin berkisar
23-300C, dan didiamkan hinggan ia menangis.
e.Prognosis. Pasien yang dapat hidup dengan ensefalopati hipoksik iskemik
stadium 3 memiliki insidensi kejang yang tinggi dan mengalami kecacatan
yang serius terutama pada perkembangan sarafnya, Prognosis dari asfiksia
berat juga tergantung pada cedera pada sistem organ lain.(20)
Tabel5. Efek hipoksia pada berbagai organ(20)

Indikator lain dari jeleknya prognosis adalah onset dari respirasi


spontan yang dapat diperkirakan dari skor APGAR. Neonatus dengan skor

22
APGAR 3 pada menit ke 10 memiliki mortalitas 20% dan 5% angka
kejadian cerebral palsy. Jika hingga menit ke 20, skor APGAR tetap tidak
naik bahkan turun, maka angka mortalitasnya meningkat menjadi 60% dan
insidensi serebral palsy meningkat menjadi 57%.(20)
5. Ensefalopati lainnya
Serebral Palsi
a. Definisi. Serebral palsi adalah ensefalopati statis yang mungkin
didefinisikan sebagai kelainan postur dan gerakan non progresif, sering
disertai dengan epilepsy dan ketidak normalan bicara, penglihatan, dan
kecerdasan akibat dari cacat atau lesi otak yang sedang berkembang. CP
merupakan suatu kelainan yang lazim dan diperkirakan prevalensi
berkisar 2/1.000 populasi.(6)
b. Epidemiologi dan Etiologi. Collaborative Perinatal Object,
melaporkan bahwa angka prevalensi CP berkisar 4/1.000 bayi lahir hidup.
Asfiksia lahir merupakan penyebab CP yang tidak lazim, lagi pula
kehamilan yang beresiko inggi membuahkan anak yang normal secara
neurologis. Meskipun CP tidak dapat dikenali penyebabnya pada sebagian
besar kasus, sejumlah besar anak yang mengalami CP juga menderta
anomali congenital di luar sistem saraf pusat, yang dapat menempatkan
mereka pada resiko tinggi terjadinya asfiksia pada periode perinatal.(6)
c.Gejala Klinis. CP dapat diklasifikasikan dengan gambaran cacat motorik
dalam kaitannya dengan kategori fisiologis, topografis dan etiologis dan
kapasitas fungsional. (6)
Tabel6. Klasifikasi CP(6)
Fisiologis Topografis Etiologis Fungsional
Spastik Monoplegia Prenatal (misal, Kelas Itidak ada
infeksi, metabolik, pembatasan aktifitas
anoksia, toksik,
genetik, infark)
Atetoid Paraplegia Kelas II
Kaku Hemiplegia pembatasan ringan
Ataksik Triplegia sampai sedang
Tremor Kuadriplegia Perinatal (misal, Kelas III
Atonik Diplegia anoksia) pembatasan sedang

23
sampai berat
Campuran Hemiplegia Pasca natal (misal, Kelas IVaktifitas
Tidak ganda toksin, trauma, fisik tidak berguna.
terklasifikasi infeksi)
Klasifikasi fisiologis mengenali kelainan motorik utama, sedang
toksonomi topografis menunjukkan keterlibatan tungkai. CP juga lazim
disertai dengan spectrum kecacatan perkembangan, termasuk retardasi
mental, epilepsi dan kelainan penglihatan, pendengaran, bicara, kognitif,
dan perilaku. Cacat motorik meungkin merupakan masalah anak yang
paling ringan.(6)
Bayi yang menderita hemiplegia spastik mengalami penurunan
gerakan spontan pada belahan tubuh yang terkena dan menunjukkkan
preferensi tangan pada usia dini. Lengan lebih sering terlibat dari pada
kaki, dan kesulitan pada manipulasi tangan nyata pada usia 1 tahun.
Berjalan biasanya terlambat sampai 18-24 bulan, dan gaya berjalan
melingkar tampak. Pemeriksaan tungkai dapat menunjukkan henti
pertumbuhan terutama pada tangan dan kuku ibu jari, terutama jika
lobusparietalis kontralateral abnormal, karena pertumbuhan tungkai
dipengaruhi oleh otak daerah ini. Spastisitas nyata pada tungkai kaki yang
terkena, terutama pergelangan kaki menyebabkan deformitas equinovarus
kaki. Anak sering berjalan dengan ujung jari kaki karena peningkatan
tonus dan tungkai atas yang terkena mendapat postur distonik ketika anak
berlari. Klonus pergelangan kaki dan tanda Babinski masih mungkin ada,
refleks tendo dalam meningkat dan kelemahan tangan dan dorsofleksi
kaki nyata. Sekitar sepertiga penderita dengan hemiplegia spastik
menderita gangguan kejang yang biasanya berkembang selama tahun
pertama atau kedua dan sekitar 25% menderita kelainan kognitif yang
termasuk retardasi mental. CT Scan atau MRI dapat menunjukkan adanya
atrofi hemisfer serebri dengan ventrikel lateral kontralateral dilatasi pada
sisi tungkai yang terkena. Tromboembolisme intrauterine dengan infark
serebri setempat dapat merpakan suatu etiologi, CT atau MRI saat lahir

24
pada bayi dengan kejang kejang setempat sering memperagakan daerah
infark. (6)
Diplegia spastik menunjuk pada spatisitas bilateral kaki. Penunjuk
pertama diplegia spastik sering ditemukan ketika bayi mulai merangkak.
Anak ini menggunakan lengan dalam cara resiprokal normal namun
cenderung menyeret kakinya di belakang lebih seperti kemudi (gerakan
merangkak komando) bukannya gerakan merangkak kaki empat normal.
Jika spastisitas berat, pemakaian popok sukar karena adduksi pinggul
berlebihan. Pemeriksaaan anak menunjukkan spastisitas pada kaki dengan
refleks klonus pergelangan kaki cepat dan tanda babinski bilateral. Bila
anak bergantung pada aksila, postur menggunting tungkai bawah
dipertahankan. Berjalan sangat lambat kaki tertahan pada posisi
equinovarus, dan anak berjalan pada ujung jari, Diplegia spastik berat
ditandai dengan atrofi karena tidak digunakan dan pertumbuhan tungkai
bawah terganggu dan dengan pertumbuhan yang tidak berimbang dengan
perkembangan normal pada tubuh bagian atas. Prognosis untuk
perkembangan intelektual normal adalah sangat baik pada penderita ini,
dan kemungkinan kejang minimal. Temuan neuropatologis yang paling
lazim adalah leukomalasia periventrikular, terutama pada daerah di mana
serabut yang menginervasi kaki berjalan melalui kapsula interna. Lesi ini
ditemukan pada bayi prematur.(6)
Kuadriplegia spastik merupakan bentuk CP yg oaling berat karena
gangguan motorik yang mencolok semua tungkai dan hubungan yang
tinggi dengan retardasi mental dan kejang. Kesulitan menelan lazim
terjadi karena palsi supranuklear bulbar dan sering mengarah pada
pneumonia aspirasi. Pada autopsi substansia alba sentral terganggu oleh
daerah degenerasi nekrotik yang dapat menyatu menjadi rongga kistik.
Pemeriksaan neurologis memperlihatkan kenaikan tonus dan spastisitas
pada semua tungkai, menurunkan gerakan spontan, reflek yang cepat, dan
respons ekstenson plantar. Kontraktur fleksi pada lutut dan siku sering
ada pada masa anak akhir. Kecacatan perkembangan yang menyertai,

25
termasuk kelainan bicara dan penglihatan terutama lazim pada kelompok
anak ini. Anak dengan kuadrisep spastik sering mempunyai bukti adanya
atetosis dan dapat diklasifikasikan sebagai CP campuran. (6)
CP athetoid relatif jarang, terutama sejak penemuan manajemen
agresif hiperbilirubinemia dan pencegahan kernikterus. Bayi ini secara
khas hipotonik dan memiliki kontrol kepala yanbg buruk dan kelambanan
kepala yang mencolok. Pemberian makanan mungkin sulit, lidah
menjulutdan air liur mungkin menonjol. Gerakan atetoid mungkin tidak
menjadi nyata hingga usia 1 tahun dan cenderung terjadi bersama dengan
hipermielinisasi ganglia basalis, suatu fenomena yang disebut status
marmoratus. Bicara secara khas terkena karena keterlibatan otot otot
orofaring. Kalimat kalimat tertelan dna modulasi suara terganggu.
Biasanya tanda neuron motorik atas tidak ada, kejang tidak lazim, dan
intelek dipertahankan pada kebanyakan penderita. (6)
d. Diagnosis. Riwayat dan pemeriksaan fisik menyeluruh harus
menyingkirkan gangguan sistem saraf pusat progresif, termasuk penyakit
degenerative, tumor medulla spinalis atau distrofia muskularis.
Tergantung pada tingkat keparahan dan sifat kelainan neurologis, EEG
dasar dan CT scan mungkin terindikasi untuk menentukan lokasi dan luas
lesi struktural atau malformasi kongenital terkait. Pemeriksaan tambahan
dapat mencakup uji pendengaran dan fungsi penglihatan. Karena CP
biasanya disertai dengan spektrum kelainan perkembangan yang luas,
pendekatan multidisipliner adalah paling membantu dalam penilaian dan
manajemen anak demikian. (6)
e.Penatalaksanaan. Tim dokter dari berbagai spesialisasi demikian juga
ahli terapi kerja dan fisik, patologi bicara, pekerja sosial, pendidik serta
ahli psikologis perkembangan memberikan sumbangan penting dalam
penatalaksanaan anak. Orang tua harus diberi tahu bagaimana menangani
anak pada aktifitas sehari hari seperti makan, menggendong, memakai
pakaian, mandi dan bermain main dengan cara yang membatasi tonus otot
abnormal. Mereka juga perlu diberitahu dalam pengawasan serangkaian

26
latihan fisik, yang dirancang unruk mencegah perkembangan kontraktur
terutama tendo Aschiles yang ketat. Tidak ada bukti bahwa terapi fisik
atau kerja akan mencegah perkembangan serebral palsi pada bayi
beresiko atau bahwa ia akan memperbaiki defisit neurologis, namun ada
banyak data menyatakan bahwa terapi fisik dapat mengoptimalkan
perkembangan anak yang abnormal. Anak dengan diplegia spastik
diterapi pada awalnya dengan menggunakan bantuan adaptif , seperti alat
bantu berjalan, tongkat, dan kerangka berdiri. Jika penderita mengalami
spastisitas tungkai bawah yang berat atau terbukti terjadi dislokasi sendi
pinggul maka diperlukan tindakan bedah jaringan lunak untuk
mengurangi spasme otot sekitar lingkaran panggul, termasuk tenotomi
adductor atau pemindahan atau pelepasan psoas. Tindakan rhizotomi di
mana akar saraf spinalis dibelah telah menghasilkan perbaikan yang besar
pada penderita yang terpilih dengan diplegia spastik berat. Tali tumit yang
ketat pada anak dengan hemiplegia spastik dapat ditangani secara bedah
dengan tenotomi tendo Achilles. Penderita dengan kuadriplegia
ditatalaksana dengan kursi roda bermotor, alat makan khusus, mesin tik
bicara, dan komputer yang disesuaikan secara khusus termasuk komputer
intelegensia buatan untuk memperbesar fungsi motorik dan bahasa.
Masalah perilaku yang berarti dapat sangat mengganggu perkembangan
anak dengan CP, identifikasi dan manajemen awal penting, dan bantuan
psikologis arau psikiatri mungkin diperlukan. Gangguan belajar dan
defisit perhatian dan retardasi mental dimulai dan ditatalaksana oleh ahli
psikologi dan pendidik. Strabismus, nistagmus dan atrofi optik adalah
lazim pada anak dengan CP. Disfungsi saluran kencing bawah harus
segera mendapatkan penanganan, termasuk diantaranya natrium
dantrolen, benzodiazepine, dan baklofen. Toksin botilinum masih dalam
penelitian untuk mengatasi spastisitas pada kelompok otot tertentu.
Kadang kadang penderita dengan atetosis yang menjadikan tidak mampu

27
akan berespon terhadap levodopa, dan anak dengan distonia mungkin
mendapatkan manfaat dari karbamazepine atau triheksifenidil. (6)
Ensefalomiopati mitokondrial
Sekurang kurangnya tiga kelainan terkait yang ditandai dengan penyakit
serebral dan miopati mitokondria dan ensefalopati. Penyakit Leigh dan
Sindrom Reye dibahas di sini karena mereka akibat dari kelainan fungsi
mitokondria. (6)
Ensefalomiopati mitokondria, asidosis laktat dan episode mirip stroke
(MELAS).
Penderita dengan MELAS dapat mungkin normal dalam beberapa tahun
pertama, namun secara bertahap mereka akan menunjukkan perkembangan
motorik dan kognitif. Anak ini mempunyai perawakan yang pendek dan
mengalami gangguan kejang kejang setempat atau menyeluruh. Akhirnya
penderita datang dengan hemipharesis akut yang dapat bergantian dari
sebelah ke sebelah lainnya. Pemeriksaan CT scan menampakkan kalsifikais
ganglia basalis pada beberapa penderita dan daerah terang pada hemisfer
serebri. Kadar laktat serum selama episode akut akan meningkat. Biopsi otot
biasa dilakukan tetapi tidak selalu, menampakkan serabut berwana merah
jelek. MELAS merupakan kelainan progresif yang juga dilaporkan terjadi
pada saudara kandung. Episode hemiparesis, hemianopia, kebutaan korteks
dan demensia progresif akibat terjadinya stroke berkali kali. Lokasi lesi
terang yang tampak pada CT scan sesuai dengan deficit akut, Prognosis
penderita dengan sindrom penuh adalah suram. Uji coba terapetik telah
memasukkan kortikosteroid dan CoQ10. Penurunan kadar laktat serum
dengan dikloroasetat pada pendita dengan asidosis laktat berat dapat
menghasilkan perbaikan klinis yang nyata. Sebagian besar penderita akan
mengalami mutasi titik yang sangat spesifik, meskipun tidak eksklusif pada
nt 3243 dalam gen tRNALeu (UUR) dan mtDNA, yang telah memberikan
alat diagnostic penting. Pemeriksaan biokimia otot menunjukkan defisiensi
kompleks I pada banyak penderita, namun berbagai defek rangkaian sa;uran

28
pernapasan, yang mempengaruhi kompleks I, III dan terutama kompleks IV
juga telah dapat didokumentasikan. (6)
Epilepsi mioklonus dan serabut merah jelek (Mioclonus Epilepsu and
Ragged Red FibersMERRF)
Penderita dengan MERRF mungkin juga normal pada tahun tahun
perkembangan awal. Namun, semua penderita pada akhirnya menderita
epilepsy mioklonik dan ataksia prgresif yang disertai dengan disartria dan
nistagmus beberapa menderita atrofi optik. Karena beberapa penderita
mengalami kelainan sensasi yang dalam dan pes cavus, maka mungkin
keadaan ini terncukan dengan keadaan ataksia Friedreich. Tanda yang
kurnag lazim meliputi demensia, kehilangan pendengaran, neuropati perifer,
dan spastisitas. Selain itu juga terjadi perburukan intelektual yang terjadi
secara progresif lambat. Temuan patologis meliputi meningkatnya kadar
laktat serum, serabut merah jelek pada biopsy otot, degenerasi dan hilangnya
neuron yang mencolok pada nucleus dentate, dan kompleks olivarus inferior
dengan kehilangan sel Purkinje dan neuron pada nucleus merah. Korteks
serebri dan substansia alba biasanya normal. Sebagian besar penderita
biasanya mengalami mutasi titik spesifik, meskipun tidak eksklusif pada
nt8344 pada gen tRNA Lys mtDNA. Ada hasil yang tidak konsisten pada
pemeriksaaan biokimia otot, termasuk defek kompleks III; kompleks II dan
IV; kompleks I dan IV; kompleks I, III dan IV, atau kompleks IV saja. (6)
Sindrom Kearns-Sayre (SKS)
Kriteria untuk SKS adalah terdiri dari tiga, yaitu: mulainya sebelum usia 20
tahun, oftalmoplegia eksterna progresif, dan retinopati pigmentosa. Selain itu
setidaknya harus terdapat satu dari: blockade jantung, sindrom serebeler,
atau protein cerebrospinal di atas 100mg/dL. Ciri non spesifik lain namun
lazim adalah demensia, kehilangan pendengaran, sensorineural, dan kelainan
endokrin, termasuk perawakan pendek, diabetes mellitus dan
hipoparatiroidisme. Prognosisnya adalah buruk walaupun telah diberikan
pacu jantung. Serabut merah jelek ditemukan pada biopsy otot dengan
berbagai jumlah serabut COX negative. Hampir semua penderita mengalami

29
penghapusan mtDNA. Ini mungkin merupakan mutasi baru yang merupakan
sifat sporadic SKS. (6)
Penyakit Leigh (Ensefalomiopati nekrotikans Subakut)
Sekurangnya ada tiga penyebab penyakit Leigh yang diketahui ditentukan
secara genetik: defisiensi kompleks piruvat dihidrogenase, defisiensi
kompleks I, dan defisiensi kompleks IV pernafasan. Defek ini dapat muncul
secara sporadik atau diwariskan melalui transmisi resesif autosom, seperti
pada kasus defisiensi COX, atau pada kasus transmisi terjait X, seperti pada
defisiensi alfa PDH E. Sebagian besar penderita datang, selama masih bayi
dengan masalah menelan, makan, muntah muntah dan gagal tumbuh . Tanda
keterlibatan motorik dan kemampuan bicara dapat nyata, dan kejang
menyeluruh, lemah, hipotonia, ataksia, tremor, tanda piramidalis, dan
nistagmus merupakan temuan yang menonjol. Pernapasan sebentar dengan
disertai dengan suara napas desakan atau menangis tersedu sedu adalah khas
menunjukkan adanya disfungsi batang otak. Beberapa penderita menderita
oftalmoplegi eksterna, ptosis, atrofi optik, dan penurunan ketajaman
penglihatan. Hasil abnormal pada pemeriksaaan CT scan yang terdiri dari
daerah penipisan rendah simetris bilateral pada ganglia basalis pernah
ditemukan pada beberapa penderita. Perubahan patologis terdiri daeri daerah
nekrosis simetris setempat pada daerah thalamus, ganglia basalis, substansia
abu abu tegmental, daerah periventrikuler dan periaquaduktus batang otak
dan kolumna posterior medulla spinalis. Secara mikroskopik, lesi
spongiform memperlihatkan rongga kistik dengan kehilangan neuron,
demielinisasi, dan proliferasi vascular. Kadar laktat serum yang meningkat
merupakan tanda utama dari penyakit Leigh. Ramalan keseluruhan penyakit
Leigh adalah buruk, namun beberapa penderita mengalami periode remisi
yang lama(6)
Sindrom Reye
Ensefalopati ini disertai dengan degenerasi lemak visceral dan kelainan
dungsi mitokondria. (6)
Sindrom Zellweger (Sindroma Serebrohepatorenal)

30
Kelainan jarang yang mematikan ini diwariskan sebagai ciri resesif autosom.
Kelainan ini mewakili prototype kelompok kelainan paroksismal yang
memiliki gejala, tanda dan kelainan biokimia yang tumpang tindih. Bayi
dengan sindrom Zellweger memiliki wajah disforik yang terdiri dari
penonjolan frontal dan fontanela anterior besar. Oksiput tampak tidak rata
dan telinga eksterna tidak normal. Palatum sangat lengkung, lipatan kulit
leher berlebihan, hipotonia berat dan arefleksia biasanya nyata. Pemeriksaan
mata menyingkap adanya gerakan nistagmoid, katarak bilateral dan atrofi
optik. Kejang kejang menyeluruh menjadi nyata pada awal kehidupan,
disertai dengan tanda keterlambatan perkembangan menyeluruh berat dan
kehilangan pendengaran bilateral yang berarti. Hepatomegali merupakan
temuan yang menonjol segera setelah lahir, sering disertai dengan riwayat
ikterus neonatorum yang lama. Penderita dengan sindroma Zellweger jarang
bertahan hidup hingga lebih dari 1 tahun. (6)
Ensefalopati Sindrom Imunodefisiensi Didapat (AIDS)
Ensefalopati merupakan manifestasi lazim dan tidak menguntungkan pada
bayi dan anak dengan infeksi virus imunodefisiensi manusia (HIV). Tanda
neurologis muncul pada penderita yang terinfeksi secara kongenital mungkin
muncul selama awal masa bayi dan mungkin tertunda hingga usia lima
tahun. Ensefalopati ini dapat mulai akut dengan perburukan yang berat,
namun pada beberapa kasus proses ini statis atau ditandai dengan
pemburukan terselubung yang membahayakan. Tanda utama ensefalopati
AIDS adalah henti pertumbuhan otak, bukti adanya keterlambatan
perkembangan dan evolusi tanda neurologis. (6)
Ensefalopati luka bakar
Ensefalopati ini berkembang pada berkisar 5%anak dengan luka bakar yang
berarti dan lama beberapa minggu pertama rawat inap. Tidak ada penyebab
tunggal ensefalopati luka bakar namun agaknya kombinasi beberapa faktor
yang meliputi anoksia (mengisap asap, ,keracunan karbon monoksida,
laringospasme), kelainan elektrolit, bakteremia dan sepsis, thrombosis vena
korteks, luka kepala yang terjadi secara bersamaan, edema otak, reaksi obat,

31
dan distress emosi. Kejang merupakan manifestasi klinis ensefalopati luka
bakar yang paling lazim, namun tingkat kesadaran yang berubah, halusinasi,
dan koma dapat terjadi. Manajemen ensefalopati luka bakar diarahkan pada
pencarian sebab yang mendasari dan terapi hipoksemia, kejang, kelainan
elektrolit spesifik, atau edema otak. Prognosis untuk kesembuhan neurologis
total pada umumnya sangat baik, terutama jika kejang merupakan kelainan
primer(6)
Ensefalopati Hipertensif
Ensefalopati hipertensif adalah paling lazim disertai dengan penyakit ginjal
pada anak termasuk glomerulonefritis akut, pielonefritis kronik, dan
penyakit ginjal stadium akhir. Pada beberapa kasus, ensefalopati hipertensif
merupakan manifestasi awal penyakit ginjal yang mendasari. Hipertensi
sistemik yang mencolok menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah otak,
yang mengakibatkan permeabilitas vaskuler dan menimbulkan edema otak
perdarahan otak setempat. Mulainya dapat akut, dengan kejang dan koma
atau lebih lambat dengan sakit kepala, mengantuk dan lesu, mual dan
muntah, penglihatan kabur, kebutaan korteks sementara, dan hemipharesis.
Pemeriksaan dasar mata mungkin normal pada anak, tetapi papil edema dan
perdarahan retina dapat terjadi. Pengobatan diarahkan pada pemulihan
keadaan normotensif dan mengendalikan kejang dengan antikonvulsan yang
sesuai. (6)

E. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis ensefalopati adalah masing masing jenis ensefalopati (iskemik,
metabolik, toksik dan septik) selain itu ensefalopati juga harus dibedakan dengan:
1. Ensefalitis
2. Perdarahan intracranial
3. Edema serebri

F. KOMLIKASI

32
Ensefalopati merupakan komplikasi dari beberapa keadaan yang mendasarinya
seperti iskemia, metabolic, toksik maupun septik. Keadaan yang bisa timbul bila
ensefalopati terjadi adalah ganguan perkembangan, bahkan hingga kematian.

33
BAB III

KESIMPULAN

a. Ensefalopati adalah kelainan fungsi otak menyeluruh yang dapat akut atau kronik,
progresif atau statis.
b. Ensefalopati dapat disebabkan oleh toksik, metabolik, hipoksik-iskemik dan
infeksi.
c. Penatalaksanaan pada ensefalopati yang terutama adalah mengetahui penyebab
utama terjadinya ensefalopati, untuk kemudian memberikan substrat yang
mengalami defisiensi (misal oksigen, glokosa) dan menghilangkan substrat yang
berlebihan (misal ammonia, obat)

34
DAFTAR PUSTAKA

1. Handel MV, Swaab H, De Vries LS, Jongmans MJ. Long term cognitive and
behavioral consequences of neonatal encephalopathy following perinatal
asphyxia: a review. European Journal Pediatric. 2007;166: 645-654.
2. Evans K, Rigby AS, Hamilton P, Titchner N, Hall DM. The relationship between
neonatal encephalopathy and cerebral palsy: a cohort study. J Obstet Gynaecol.
2001;21: 11420.
3. Badawi N, Kurinczuk JJ, Keogh JM, Alessandri LM, O'Sullivan F, Burton PR, et
al. Intrapartum risk factors for newborn encephalopathy: the Western Australia
casecontrol study. Br Med J .1998;317: 15548.
4. Kurinczuk JJ, White-Koning M, Badawi N. Epidemiology of neonatal
encephalopathy and hypoksic ischemic encephalopathy. Early Human
Development. 2010;86: 329-338.
5. Benedeto-Stojanov D, Stojanov D. Minimal Hepatik Encephalopaty. In: Editor
Team Faculty of Medicine University of Nis Serbia. Miscellanea on
EncephalopatiesA Second Look. Europe: InTech. 2010.
6. DiCarlo JV, Frankel LR. Neurologic Stabilization. In: Behrman RE, Kliegman
RM, Jenson HB. (eds.) Nelson TextBook of Pediatrics. 17th ed. Philadelphia:
Saunders An Imprint of Elsevier Science. 2004.
7. Atri A, Milligan TA, Reddy KC, Kayser AS. Encephalopathy: Approch to
Diagnosis and Care. Neurology. 2008;12: 1-2.
8. Lewis SL. Encephalopaty dalam Emergency Neurology. USA: Spingerlink;
2012. p283-294.
9. Chandran L, Catalado R. Lead Poisoning: Basic and New Developments.
Pediatrics in Review. 2010;31(10):399-407.
10. Laish I, Ari ZB. Noncirrhotic hyperammonaemic encephalopathy. Journal of The
International Association for Study of The Liver. 2011; 1259-1270.
11. Tunkel AR, Glaser CA, Bloch KC, Sejvar JJ, Marra CM, Roose KL. et al. The
Management of Encephalitis: Clinical Practice Guidelines by the Infectious
Diseases Society of America. CID.2008;47(1): 303-327.
12. Kennedy PGE. Viral Encephalitis: Cause, Differential Diagnosis and
Management. Journal of Neurology Neurosurgery Psychiatry. 2004;75: i10-i15

35
13. Cotena S, Piazza O. Sepsis Associated Encephalopathy. Traditional Medicine.
2012;2(3): 20-27.
14. Papadopoulus MC, Cavies DC, Moss RF, Tighe D, Bennett ED. Encephalopathy.
Critical Care Medicine. 2000; 28(8): 3019-3024.
15. Olympio KPK, Goncalves C. Neurotoxicity and aggressiveness triggered by low
level lead in children: a review. Panam American Journal Public Health. 2009;
26(3): 266- 275.
16. Karii SK, Saper RB, Kales SN. Lead Encephalopathy Due to Traditional
Medicines. Curr Drug Saf. 2008;3(1): 54-59.
17. McCandless, D.W. Metabolic Encephalopathy. USA: Spinger Science. 2007.
18. Arya R, Gulati S, Deopujari S, Management of hepatik encephalopathy in
children. Postgraduation Medical Journal. 2010;86: 34-41.
19. Cash WJ, Mcconville P, Mcdermott E, Mccormick PA, Callender ME, McDougal
NI. Current concept in the assessment and treatment of Hepatik Encephalopathy.
Q J Med. 2010;103: 9-16.
20. Gowen CW. Assessment of the Mother, Fetus and Newborn. In: Kliegman RM,
Marcdante KJ, Jenson HB, Behrman RE. (eds.) Essential of Pediatrics. 5th ed.
Philadelphia: Saunders An Imprint of Elsevier Science. 2007.

36

Anda mungkin juga menyukai