Anda di halaman 1dari 4

KEBERHASILAN PEMBANGUNAN PADA MASA

ORDE BARU

1. Swasembada Beras

Baru Sektor pertanian harus dibangun lebih dahulu, sektor ini harus ditingkatkan
produktivitasnya. Bertumpu pada sektor pertanian yang makin tangguh itulah, kemudian
dibangun sektor-sektor lainnya. Pemerintah membangun berbagai prasarana pertanian,
seperti irigasi dan perhubungan, cara-cara bertani dan teknologi pertanian yang baru
diajarkan dan disebarluaskan kepada para petani melalui kegiatan-kegiatan
penyuluhan, penyediaan pupuk dengan membangun pabrik-pabrik pupuk. Kebutuhan
pembiayaan para petani disediakan melalui kredit perbankan. Pemasaran hasil-hasil
produksi mereka diberikan kepastian melalui kebijakan harga dasar dan kebijakan stok
beras oleh pemerintah (Badan Urusan Logistik atau Bulog). Strategi yang
mendahulukan pembangunan pertanian tadi telah berhasil mengantarkan bangsa
Indonesia berswasembada beras, menyebarkan pembangunan secara luas kepada
rakyat, dan mengurangi kemiskinan di Indonesia.

Sejak tahun 1968 sampai dengan tahun 1992, produksi padi sangat meningkat.
Dalam tahun 1968 produksi padi mencapai 17.156 ribu ton dan pada tahun 1992 naik
menjadi 47.293 ribu ton yang berarti meningkat hampir tiga kalinya. Perkembangan ini
berarti bahwa dalam periode yang sama, produksi beras per jiwa meningkat dari 95,9
kg menjadi 154,0 kg per jiwa. Prestasi yang besar, khususnya di sektor pertanian, telah
mengubah posisi Indonesia dari negara pengimpor beras terbesar di dunia dalam tahun
1970-an menjadi negara yang mencapai swasembada pangan sejak tahun 1984.
Kenyataan bahwa swasembada pangan yang tercapai pada tahun itu, juga selama lima
tahun terakhir sampai dengan tahun terakhir Repelita V tetap dapat dipertahankan
Kesejahteraan Penduduk

Strategi mendahulukan pembangunan bidang pertanian disertai dengan


pemerataan pemenuhan kebutuhan dasar rakyat yang meliputi penyediaan kebutuhan
pangan, peningkatan gizi, pemerataan pelayanan kesehatan, keluarga berencana,
pendidikan dasar, air bersih, dan perumahan sederhana. Strategi ini dilaksanakan
secara konsekuen dalam setiap Repelita. Dengan strategi ini pemerintah telah berhasil
mengurangi kemiskinan di tanah air. Hasilnya adalah jumlah penduduk miskin di
Indonesia makin berkurang. Pada tahun 1970-an ada 60 orang di antaranya yang hidup
miskin dari setiap 100 orang penduduk. Jumlah penduduk miskin ini sangat besar, yaitu
sekitar 55 juta orang. Penduduk Indonesia yang miskin ini terus berkurang jumlahnya
dari tahun ke tahun. Pada tahun 1990 tinggal 15 orang yang masih hidup miskin dari
setiap 100 orang.

Hanya sedikit negara yang berhasil menurunkan jumlah kemiskinan


penduduknya secepat pemerintah Indonesia. Prestasi ini membuat rasa percaya diri
bangsa Indonesia bertambah tebal. Pada waktu Indonesia mulai membangun tahun
1969, penghasilan rata-rata per jiwa rakyat Indonesia hanya sekitar 70 dolar Amerika
per tahun. Tahun 1993, penghasilannya sudah di atas 600 dolar Amerika. Selain
menurunnya jumlah penduduk miskin dan meningkatnya penghasilan rata-rata
penduduk sebagaimana tersebut di atas, juga harapan hidup masyarakat telah
meningkat.

Jika pada awal tahun 1970-an penduduk Indonesia mempunyai harapan hidup rata-rata
50 tahun, maka dalam tahun 1990-an harapan hidup itu telah meningkat menjadi lebih
dari 61 tahun. Dalam kurun waktu yang sama, angka kematian bayi menurun dari 142
untuk setiap 1.000 kelahiran hidup menjadi 63 untuk setiap 1.000 kelahiran hidup.
Sementara itu, pertumbuhan penduduk juga dapat dikendalikan melalui program
Keluarga Berencana (KB). Selama dasawarsa 1970-an laju pertumbuhan penduduk
mencapai sekitar 2,3% per tahun. Pada awal tahun 1990-an, angka tadi sudah dapat
diturunkan menjadi sekitar 2,0% per tahun.

2. Perubahan Struktur Ekonomi

Berdasarkan amanat GBHN 1983 dengan kebijakan pemerintah dalam


pembangunan telah terjadi perubahan struktur ekonomi. Dari titik berat pada sektor
pertanian menjadi lebih berimbang dengan sektor di luar pertanian. Pada saat
Indonesia mulai membangun (tahun 1969), peranan sektor pertanian dalam Produk
Domestik Bruto (PDB) secara persentase adalah 49,3%. Sektor-sektor di luar sektor
pertanian, seperti sektor industri pengolahan 4,7%, bangunan 2,8%, perdagangan dan
jasa-jasa 30,7%. Melalui Repelita terlihat bahwa tahun demi tahun peranan sektor
pertanian telah menurun. Sebaliknya, peranan sektor-sektor di luar sektor pertanian
(nonpertanian, seperti industri pengolahan, bangunan, perdagangan, dan jasa-jasa
lainnya) menunjukkan peningkatan peranan terhadap PDB.

Pada tahun 1990, sektor industri pengolahan meningkat mencapai 19,3%.


Perdagangan, hotel, dan restoran mencapai 16,1%, sedangkan jasa-jasa mencapai
3,4%. Apabila dijumlahkan sektor-sektor di luar sektor pertanian tersebut, peranannya
terhadap PDB tahun 1990 mencapai 38,8%, berarti jauh lebih tinggi dari peranan sektor
pertanian yang hanya 19,6%.

3. Perubahan Struktur Lapangan Kerja

Lebih banyak tenaga kerja yang beralih dari lapangan usaha sektor pertanian ke
sektor usaha lainnya karena bertambahnya lapangan kerja baru yang diciptakan.
Selama periode tahun 1971 sampai dengan 1988 pertumbuhan tenaga kerja di luar
sektor pertanian lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan di sektor pertanian.
Perubahan struktur tenaga kerja tersebut telah pula membawa dampak terhadap cara
hidup dan kebutuhan hidup keluarga. Hal ini dengan sendirinya akan berpengaruh
terhadap pola konsumsinya (adanya permintaan masyarakat yang meningkat).

4. Perkembangan Investasi

Kebijakan deregulasi dan debirokratisasi yang senantiasa dilakukan pemerintah


di berbagai sektor ekonomi serta ditunjang adanya sarana infrastruktur yang makin
bertambah baik di daerah-daerah, akan membawa iklim segar bagi investor baik dari
dalam maupun luar negeri. Para investor ini akan menanamkan modalnya di daerah
dengan berbagai produk baik dalam rangka penanaman modal dalam negeri (PMDN)
maupun penanaman modal asing (PMA)

5. Perkembangan Ekspor

Perkembangan investasi (PMDN dan PMA) membawa dampak terhadap produk


yang dihasilkan. Produk yang dihasilkan tersebut tidak hanya ditujukan untuk pasaran
dalam negeri, tetapi lebih banyak ditujukan untuk ekspor (pasaran luar negeri). Jenis
barang yang dihasilkan industri dalam negeri setiap tahun menunjukkan peningkatan
baik jenis maupun nilai ekspor sebagaimana dapat dilihat perkembangannya. Sejak
Repelita I, penerimaan dalam negeri yang bersumber dari penerimaan nonmigas jauh
lebih tinggi dari penerimaan migas. Namun, setelah investor asing menanamkan modal
di sektor perminyakan sekitar tahun 1969/1970 (Repelita II) mulai terlihat hasil ekspor
migas telah meningkat lebih tinggi daripada penerimaan ekspor nonmigas (perpajakan
dan bukan pajak). Hingga tahun 1985/1986 (tahun kedua Repelita IV), penerimaan
dalam negeri sangat bertumpu pada hasil ekspor migas. Namun, saat terjadi krisis
ekonomi yang melanda dunia di tahun 1980-an, maka hal tersebut telah berdampak
negatif terhadap tingkat harga minyak bumi di pasaran dunia. Pasaran harga minyak
bumi sejak terjadinya krisis ekonomi dunia tidak lagi dapat diharapkan. Sejak itu harga
minyak bumi telah anjlokdari 25,13 dolar Amerika per barel dalam bulan Januari 1986
turun menjadi 9,83 dolar Amerika per barel dalam bulan Agustus 1986. Anjloknyaharga
minyak bumi di pasaran dunia telah memengaruhi penerimaan dalam negeri.

Dalam upaya memperbaiki keadaan ekonomi dan keuangan negara, menteri


keuangan RI pada tanggal 12 September 1986, telah mengambil tindakan devaluasi
rupiah terhadap nilai mata uang asing dan segera mengubah struktur penerimaan
dalam negeri dari ketergantungan pada penerimaan migas beralih kepada penerimaan
nonmigas. Dengan devaluasi ini diharapkan komoditas nonmigas Indonesia akan
meningkat karena dengan perhitungan sederhana, devaluasi sebesar 45% barang
(komoditas) Indonesia akan lebih murah 45% bila dibeli dengan dolar Amerika Serikat.
Dengan demikian, barang-barang ekspor nonmigas Indonesia akan mempunyai daya
saing lebih kuat di pasaran internasional. Untuk meningkatkan penerimaan dalam
negeri dari sektor nonmigas, pemerintah telah mengambil langkah-langkah khusus
untuk menaikkan penerimaan dari ekspor nonmigas, seperti kebijaksanaan deregulasi
dan debirokratisasi. Sebaliknya, dengan devaluasi 45% ini berarti barang-barang impor
akan meningkat harganya 45% jika dibeli dengan rupiah. Berdasarkan gambaran
perhitungan sederhana ini, maka dampak devaluasi yang bisa diharapkan adalah di
satu pihak ekspor nonmigas akan meningkat, di lain pihak impor akan berkurang.
Dengan demikian, neraca pembayaran Indonesia akan dapat dipertahankan pada
tingkat yang sehat.

6. Laju Pertumbuhan Ekonomi

Laju pertumbuhan ekonomi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) telah


mendorong laju pertumbuhan ekonomi secara nasional yang diukur dengan Produksi
Domestik Bruto (PDB). Tingkat pertumbuhan PDB selama periode 19691989 yang
diukur atas dasar harga yang berlaku maupun menurut harga konstan menunjukkan
adanya peningkatan. Sejak tahun 1969 sampai dengan tahun 1983 yang merupakan
tahun terakhir Pelita III, tingkat rata-rata pertum-buhannya sebesar 7,2% per tahun.
Selanjutnya, tingkat rata-rata pertumbuhan ekonomi selama Pelita IV yang diukur
dengan PDB tahun 1983 sebesar 5,2% per tahun. Berarti lebih tinggi daripada rata-rata
laju pertumbuhan ekonomi per tahun yang direncanakan dalam Repelita IV sebesar
5,0%. Sementara itu, tingkat pertumbuhan PDB tahun 1989 yang merupakan tahun
pertama pelaksanaan Pelita V (1989/19901993/1994) adalah 7,4%, dan tahun 1990
sebesar 7,4% (tahun kedua). Dalam tahun-tahun berikutnya menunjukkan laju
pertumbuhannya adalah tahun 1991 sebesar 6,8%, tahun 1992 sebesar 6,3%, dan
tahun 1993 yang merupakan tahun terakhir pelaksanaan Pelita V sebesar 6,0%. Jadi,
pertumbuhan ekonomi Pelita V rata-rata adalah 6,9% per tahun. Berarti lebih tinggi
daripada rata-rata pertumbuhan ekonomi per tahun yang direncanakan dalam Repelita
V sebesar 5,0%
.
Repelita VI (1994/19951998/1999) yang merupakan tahapan pem-bangunan
lima tahun pertama dalam periode 25 tahun kedua Pembangunan Jangka Panjang
(PJP II), pertumbuhan ekonomi yang direncanakan dalam Repelita VI adalah rata-rata
6,2% per tahun.

Anda mungkin juga menyukai