Anda di halaman 1dari 4

TIMBULNYA kesadaran masyarakat untuk memperhatikan daya

dukung lingkungan dalam memenuhi kebutuhannya melahirkan


konsep pembangunan berkelanjutan, yaitu pembangunan
berwawasan lingkungan atau pelestarian pembangunan dari generasi
ke generasi yang dapat menyejahterakan manusia saat ini dan di
masa mendatang. Implementasi dari konsep tersebut antara lain
adalah pengembangan greenpavement. Green pavement adalah
konstruksi perkerasan jalan yang dalam tahap perencanaan,
pembangunan, pengoperasian dan pemeliharaannya memperhatikan
aspek-aspek kelestarian sumber daya alam, mengurangi dampak
negatif terhadap lingkungan serta meningkatkan keamanan dan
kenyamanan pengguna jalan.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk lebih menjaga


kelestarian alam adalah daur ulang perkerasan aspal (asphalt
pavement recycling). Daur ulang ini didefinisikan sebagai
pemanfaatan kembali material perkerasan jalan untuk digunakan pada
rehabilitasi, rekonstruksi dan perawatan perkerasan jalan setelah
melalui proses tertentu. Teknik daur ulang dilaksanakan dengan
menggunakan mesin yang menggaruk ketebalan tertentu dari lapis
permukaan jalan, menggemburkannya, mencampurnya dengan
penambahan aspal, agregat dan bahan peremaja, kemudian
campuran daur ulang ini digelar dan dipadatkan. Karena agregat dan
aspal lama digunakan kembali, maka kebutuhan agregat dan aspal
baru menjadi berkurang sehingga kelestarian lingkungan dapat lebih
terjaga. Penghematan juga dapat diperoleh dari berkurangnya
pengangkutan agregat dari sumber agregat (quarry) ke mesin
pemecah batu dan asphalt mixing plant (AMP), juga pengangkutan
aspal dari pabrik ke AMP.

Agar dapat digunakan kembali, aspal yang telah mengalami


pengerasan selama masa pelayanan jalan perlu diremajakan dengan
bahan peremaja. Sejumlah pustaka menyebutkan bahwa penggunaan
minyak nabati pada campuran perkerasan aspal dapat menghasilkan
superior asphalt cement dengan kinerja yang memuaskan. Nigen-
Chaidron and Porot (2008) melalui klaim paten yang didaftarkan pada
World Intellectual Property Organization menyebutkan bahwa bahan
peremaja dari minyak sawit cocok digunakan pada proses
pengaspalan dengan teknik daur ulang di tempat (in place recycling)
dan central plant recycling jenis hotmix .Selanjutnya, Yuniarti (2012)
menyimpulkan bahwa pemberian minyak biji
nyamplung(CalophylluminophyllumL.)sebesar 3% terhadap kadar
aspal dapat meremajakan kondisi aspal bekas yang telah mengalami
proses oksidasi sehingga dapat dipakai kembali pada konstruksi
perkerasan jalan raya.

Selain itu, permasalahan lain yang muncul adalah kebutuhan aspal


yang semakin besar sementara cadangan semakin menipis, akan
timbul permasalahan kelangkaan aspal minyak pada masa-masa
yang akan datang. Ketergantungan terhadap aspal minyak tersebut
dapat dikurangi dengan memanfaatkan aspal alam yang berasal dari
Pulau Buton (asbuton). Menurut Direktorat Jenderal Bina Marga
(2006), cadangan tambang asbuton mencapai 677,247 juta ton.
Namun sampai sejauh ini, kualitas asbuton butiran belum mampu
bersaing dengan aspal minyak. Mortal aspal pada asbuton butiran
masih terperangkap pada mineralnya. Karena itu, dibutuhkan bahan
pelunak (modifier) yang mampu melunakkan asbuton, mengeluarkan
aspal pada asbuton dari mineralnya sehingga dapat berfungsi dengan
baik sebagai bahan pengikat agregat.

Yuniarti (2012) menggunakan minyak biji nyamplung dan beberapa


getah tumbuhan sebagai bahan pembentuk bio-flux oil untuk
melunakka nasbuton butiran sehingga aspal pada asbuton dapat
keluar dari mineralnya. Penggunaan bio-flux oil tersebut menghasilkan
campuran perkerasan yang memenuhi persyaratan spesifikasi Laston
Asphalt Concrete-Wearing Course. Selanjutnya, Yuniarti (2014)
menyimpulkan bahwa minyak biji nyamplung sebagai bagian dari bio-
flux oil berpengaruh sangat signifikan terhadap stabilitas Marshall,
kelelehan dan Marshall Quotient. Hal itu berarti, asbuton butiran
dengan bahan pelunak bio-flux oil mampu memikul beban lalu-lintas
berat, deformasi yang terjadi akibat pembebanan serta nilai kekakuan
empiris sudah memenuhi persyaratan.

Upaya lain yang dapat dilakukan untuk mengurangi ketergantungan


terhadap aspal minyak adalah mengembangkan bio-aspal. Huang et
al. (2012) menyebutkan bahwa observasi yang telah dilakukan
menyimpulkan bahwa sebagian besar bahan pengikat dari tumbuhan
mengandung komposisi yang mirip dengan bahan pengikat aspal
konvensional. Peralta et al. (2012) menyatakan bahwa sampai sejauh
ini, belum ada penelitian yang menyebutkan penggunaan bio-oil
sebagai bahan substitusi (menggantikan aspal 100 persen) pada
industri bahan perkerasan jalan.

Yuniarti (2015) menyebutkan bahwa bio-aspal dapat dibuat dari


campuran aspal minyak, abu terbang hasil pembakaran batubara (fly
ash), getah pinus dan minyak nabati lainnya. Secara ekonomis, bio-
aspal ini berpotensi untuk bersaing dengan aspal minyak karena fly
ash merupakan bahan buangan (limbah). Getah pinus juga sangat
berpotensi untuk meningkatkan daya tahan aspal terhadap rendaman
air karena sejak ratusan tahun yang lalu, bangsa Skandinavia
menggunakan getah pinus sebagai bahan untuk menambal perahu
(Auson, 2007). Hasil penelitian pada bio-aspal yang mengandung 20
persen fly ash, 5 persen getah pinus dan 2 persen minyak nabati
lainnya menyimpulkan bahwa bio-aspal tersebut menghasilkan
campuran perkerasan yang sesuai dengan persyaratan.

Pengujian lapangan sangat dibutuhkan sebagai kelanjutan dari hasil-


hasil penelitian skala laboratorium. Untuk itu, diperlukan kerja sama
antarpeneliti di Perguruan Tinggi, Pemerintah selakucalon pengguna
maupun dunia usaha sebagai calon produsen dari produk-produk
yang dihasilkan.

Anda mungkin juga menyukai