Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang


Kristalisasi dari larutan sangat penting dalam industri karena banyaknya ragam bahan
yang diperlukan dalam bentuk kristal. Kristalisasi adalah proses separasi dimana suatu
solute terkristalkan dari larutan multi komponennya sehingga bila dilakukan dengan benar
akan dapat diperoleh kristal yang relatif murni. Oleh karena itu kristalisasi merupakan
salah satu metode yang praktis untuk mendapatkan bahan kimia murni dalam kondisi
yang memenuhi syarat untuk pemasaran. Dalam kristalisasi dari larutan solute akan
terkristalkan sehingga terbentuk campuran dua fasa yang disebut magma berupa fasa
cairan yang disebut mother liquor-larutan induk dan fasa padat kristalin.

I.2. Tujuan Percobaan


1. Mampu menjelaskan jenis-jenis kristaliser.
2. Mampu menjelaskan variabel-variabel operasi dalam kristalisasi, yaitu derajat
supersaturasi larutan, flowrate feed, kecepatan pendinginan, pembentukan inti kristal,
kecepatan pertumbuhan kristal, seed Kristal, dan CSD produk.
3. Mampu merakit dan mengoperasikan alat percobaan MSMPR kristaliser dengan
pendinginan larutan.
4. Mampu mengambil data-data percobaan secara benar dan mengolahnya serta
menyajikannya dalam bentuk grafik hubungan antara flowrate dengan massa kristal,
diameter partikel dengan jumlah kristal yang dihasilkan (CSD).
5. Mampu membuat laporan dan analisis operasi kristalisasi secara tertulis.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Pengertian
Kristalisasi dapat terjadi dari 3 macam fasa yaitu pembentukan partikel-partikel
padat kristalin dari fasa uap, dari solute suatu larutan ataupun dari suatu lelehan-melt.
Kristalisasi dapat dilakukan dengan pendinginan, penguapan solven, atau penambahan
solven tertentu.
Kristalisasi dari larutan bertujuan memisahkan suatu solute dari larutan multi
komponen sehingga didapat produk dalam bentuk kristal yang lebih murni, sehingga
kristalisasi sering dipilih sebagai salah satu cara pemurnian karena lebih ekonomis.

II.2. Pembagian Tahapan Operasi Kristalisasi


Operasi kristalisasi terbagi menjadi:
1. Membuat larutan supersaturasi (lewat jenuh)
2. Pembentukan inti kristal (nuclei)
3. Pertumbuhan kristal

1. Membuat Larutan Lewat Jenuh (supersaturasi)


Bila larutan telah mencapai derajat saturasi tertentu, maka di dalam larutan akan
terbentuk zat padat kristaline. Oleh sebab itu derajat supersaturasi larutan merupakan
faktor terpenting dalam mengontrol operasi kristalisasi.
Ada beberapa cara untuk mendapatkan larutan supersaturasi:
a. Pendinginan Larutan
Kelarutan zat padat dalam air merupakan fungsi suhu sehingga dengan
mendinginkan larutan yang akan dikristalkan akan dicapai kondisi supersaturasi
dimana konsentrasi solute dalam larutan lebih besar dari konsentrasi larutan jenuh
pada suhu tersebut.
b. Penguapan Solven
Larutan diuapkan solven-nya sehingga konsentrasi solute akan meningkat dan
mencapai kondisi supersaturasi. Cara ini digunakan untuk zat yang mempunyai
kurva kelarutan relatif mendatar.

2
c. Evaporasi Adiabatis
Larutan dalam keadaan panas bila dimasukan ke dalam ruang vacuum, maka
terjadi penguapan dengan sendirinya, karena tekanan totalnya menjadi lebih
rendah dari tekanan uap solvent pada suhu itu. Penguapan disertai penurunan
suhu akan membuat larutan mencapai kondisi supersaturasi.
d. Reaksi Kimia
Bila reaksi kimia dijalankan dalam fasa cair, konsentrasi solute produk reaksi
semakin lama akan semakin meningkat sehingga mencapai kondisi supersaturasi.
e. Penambahan Zat lain.
Penambahan zat lain yang dapat menurunkan kelarutan zat yang akan
dikristalisasi, misalnya larutan NaOH ditambah gliserol, maka kelarutan
NaOH
menjadi turun dan mencapai kondisi supersaturasi.

2. Pembentukan Inti Kristal


Pembentukan Inti Kristal secara sistematis dapat dijelaskan sbb.

1. Primary Nukleus
Proses pembentukan inti kristal ini dapat terjadi pada saat larutan telah mencapai
derajat supersaturasi yang cukup tinggi. Nukleasi primer dapat terjadi lewat dua
cara:
Homogen Nukleus
Nukleus disini pembentukannya spontan pada larutan dengan supersaturasi
tinggi, artinya nukleus terbentuk karena penggabungan molekul-molekul solute
sendiri
Heterogen Nukleus
Pembentukan inti kristalnya masih dalam supersaturasi tinggi, namun dapat
dipercepat dengan adanya partikel-partikel asing seperti debu dan sebagainya.
2. Secondary Nukleus (Contact Nucleation)
Pembentukan inti kristal dengan akibat dari tumbukan (contact) antar kristal induk
3
ataupun tumbukan antara kristal induk dengan impeler pengaduk, tumbukan
dengan dinding kristaliser ataupun gesekan permukaan kristal induk dengan
larutan.

Jumlah inti kristal yang terbentuk dapat dinyatakan dengan persamaan :


b c
N = (a) (L) (C) (P)d
dimana :
N : jumlah nuklei (inti kristal) yang terbentuk (jumlah/jam)
L : ukuran kristal induk (mm)
o
C : derajat supersaturasi larutan (mole/lt) atau ( C)
P : power dari pengaduk (HP)
a,b,c,d : konstanta-konstanta
Jika :
1. L >>> maka jumlah kristal yang terbentuk juga semakin besar, krisatal makin
besar menyebabkan kemungkinan tumbukan semakin banyak. Pecahan bagian kecil
dari kristal menyebabkan terbentuknya inti kristal.
2. C >>> maka jumlah kristal yang terbentuk juga semakin banyak.
Derajat supersaturasi makin besar maka semakin besar pula kemungkinan terbentuk
inti kristal baru.
3. P >>> maka gaya gesekan partikel larutan atau tumbukan juga
semakin besar sehingga kemungkinan terjadinya pecahan partikel semakin besar,
maka inti kristal yang terbentuk juga semakin besar jumlahnya.

Teori Miers : dalam percobaannya, Miers membuat larutan supersaturasi


melalui pendinginan larutan belum jenuh (titik a), setelah melewati kurva saturasi
A-B larutan menjadi supersaturasi dan dalam grafik dinamai daerah metastabil.
Pada tingkat supersaturasi tertentu, kristalisasi mulai terjadi berupa terbentuknya
inti kristal primer (titik b). Oleh Miers titik-titik dimana mulai terbentuk inti kristal
primer ini dinamai supersolubility curve. Inti-inti kristal yang selanjutnya tumbuh
dengan menempelnya solute dipermukaannya sehingga konsentrasi solute dalam
larutan akan turun (dari b ke c). Oleh Miers, daerah supersaturasi tinggi dimana inti
kristal primer dapat terbentuk disebut daerah labil.
Dalam industri, pembentukan inti primer tidak diinginkan, karena cenderung
membuat produk kristal berukuran kecil-kecil. Lebih umum digunakan metoda inti
sekunder dengan cara menambahkan bibit kristal (seed) kedalam larutan dengan
4
tingkat supersaturasi yang rendah atau sedikit lewat jenuh. Seed ini berfungsi sebagai
induk kristal, sumber terbentuknya inti sekunder.

Gambar 1.Teori Miers

Untuk sistem kontinyu seeding hanya sekali disaat start up sedang untuk sistem
batch seeding dilakukan tiap batch.

3. Pertumbuhan Kristal
Umumnya kristal yang berukuran > 100 m i k r o n kecepatan tumbuhnya
tidak tergantung pada ukuran dan dapat dinyatakan dengan :
b
r = a (C)
di mana
:
r : kecepatan tumbuhnya Kristal ( mm/jam)
C : derajat saturasi (mol/L)
a,b : konstanta
Derajat saturasi (C) merupakan faktor terpenting dalam proses pertumbuhan
kristal. Larutan yang berderajat saturasi tinggi, perbedaan konsentrasi antara
permukaan kristal dengan permukaan akan tinggi sehingga kecepatan tumbuh
kristal juga semakin tinggi.

Teori Diffusi Solute dari Larutan ke Permukaan Kristal :


Proses kristalisasi merupakan kebalikan dari proses kelarutan, sebagai berikut :
Kristal didalam larutan membentuk daerah boundary layer dipermukaannya.
Konsentrasi solute didalam daerah boundary layer ini = konsentrasi jenuhnya
(saturasi), karena selalu dalam kondisi kesetimbangan cair-padat. Bila larutan
5
konsentrasinya supersaturasi (C+) maka molekul solute akan mendifusi dari
larutan kepermukaan kristal ( arah panah dari kiri ke kanan), kemudian menempel
menjadi molekul kristal, artinya kristal akan tumbuh karena mendapat tambahan
molekul dipermukaannya. Tetapi bila larutannya belum jenuh (C-) maka molekul
kristal dipermukaan akan larut menjadi solute (arah panah dari kanan ke kiri).

CL2 CL1
kristal
C+

Lewat jenuh (supersaturasi)


Cs

Belum jenuh
-
C
CL2* CL1 * Boundary layer

Gambar 2. Difusi Solute dari larutan ke permukaan kristal


Dengan :
Cs : konsentrasi saturasi (jenuh)
C+: Konsentrasi supersaturasi (lewat jenuh)
C- : konsentrasi unsaturasi (belum jenuh)
CL1; CL1* menunjukkan pengaruh adanya pengadukan dalam larutan, sehingga jarak
diffusi lebih pendek, sebaliknya CL2; CL2* menunjukkan tidak adanya pengadukan
sehingga jarak diffusi lebih jauh.

II.3 Grafik CSD & Jenis-Jenis Kristaliser


Keseragaman ukuran produk suatu kristaliser dinyatakan dengan CSD ( Crystal size
distribution) dan sangat bergantung pada tipe kristalisernya. Ada 2 tipe kristaliser yaitu
MSCPR (Mixed Suspension Classified Product Removal) dan MSMPR ( Mixed
Suspension Mixed Product Removal). MSCPR crystaliser dapat menghasilkan product
yang relatif lebih seragam ukurannya dibandingkan tipe MSMPR karena ada
mekanisme klasifikasinya.

6
1.Ukuran produk seragam : MSCPR crystallizer

Dengan:
N : jumlah Kristal
D : diameter

2. Ukuran produk tidak seragam : MSMPR crystallizer

Dengan:
N : jumlah Kristal
D : diameter

Gambar 3. Grafik CSD

7
Untuk jenis MSMPR, kristal yang diperoleh mempunyai ukuran yang tidak
seragam sehingga diameter bervariasi mulai dari ukuran yang tidak terlihat
sampai diameter besar.
Jenis-Jenis Kristaliser
1. Oslo Surface Cooled Crystalizer
Kristaliser ini menggunakan sistem pendinginan dengan pendinginan feed (G) di
dalam cooler (H) untuk membuat larutan supersaturasinya. Kemudian larutan
supersaturasi ini dengan dikontakkan dengan suspensi kristal dalam ruangan suspensi
pada (E). Pada puncak ruang suspensi sebagian aliran larutan induk (D) dikeluarkan
untuk mengurangi jumlah inti kristal sekunder yang terlalu banyak terbentuk. Produk
slurry dikeluarkan dari bawah.

Gambar 4. Oslo Surface Cooled Crystallizer

2. Oslo Evaporative Crystalizer


Kristaliser ini memakai metoda penguapan solven untuk mendapatkan larutan
supersaturasinya. Larutan yang meninggalkan ruang penguapan pada kondisi
supersaturated, mendekati daerah metastabil sehingga nukleus primer tidak akan
terentuk. Kontak larutan supersaturasi dengan unggun kristal di E akan mendorong
pertumbuhan kristal tetapi sekaligus membentuk inti kristal sekunder. Umpan larutan
dimasukkan lewat G dan mengalami pemanasan di HE sebelum masuk ke ruang
penguapan solven di A. Dengan membuat ruang penguapan bertekanan vacuum maka
sebagian solven akan menguap sekaligus diikuti penurunan suhu, larutan akan
mencapai kondisi supersaturasi yang dibutuhkan untuk menumbuhkan kristal. Dalam
kristaliser tipe ini fungsi sirkulasi larutan adalah untuk pemanasan kembali sekaligus
melarutkan kembali sebagian inti kristal sekunder. Hal ini untuk mencegah ukuran
produk yang semakin lama semakin mengecil.

Gambar 5. Oslo Evaporative Crystallizer


3. Draft Tube Buffle-DTB Crystalizer
Kristaliser ini bertipe MSCPR karena dilengkapi buffle dan propeler yang berfungsi
mengatur sirkulasi kristal magma sedangkan diluar body crystalizer ditambah pompa
untuk sistem sirkulasi & klasifikasi ukuran produk. Untuk mencapai kondisi
supersaturasi digunakan sistem penguapan solven dengan tekanan vacuum.
Bagian bawah kristaliser ini dilengkapi dengan elutriation leg yang berfungsi untuk
mengklasifikasikan kristal hingga didapat produk kristal dalam ukuran tertentu yang
relatif seragam. Klasifikasi ukuran kristal di sini didasarkan atas gaya gravitasi dengan
jalan sebagai berikut:
Jika dalam kristalizer telah terbentuk kristal-kristal dengan ukuran heterogen, maka
kristal ini diklasifikasikan ukurannya dengan mengalirkan sebagian larutan dari bawah
ke atas dalam ruang elutriation leg dengan menggunakan pompa sirkulasi. Dengan
adanya aliran larutan ini, kristal dengan ukuran yang besar akan dapat melawan daya
dorong aliran keatas sehingga tetap dapat turun kebawah karena gaya gravitasi dan
keluar sebagai produk, dengan demikian didapatkan produk dengan ukuran yang
homogen. Dengan demikian untuk mendapatkan kristal dengan ukuran tertentu dapat
diatur dengan mengatur aliran keatas di dalam elutriation leg. Jika larutan mempunyai
kecepatan tinggi, maka dakan didapat kristal dengan ukuran yang besar dan
sebaliknya. Kristal kecil yang tidak dapat melawan gaya dorong akan terbawa naik
kembali ke ruang kristalisasi untuk ditumbuhkan hingga mencapai ukuran tertentu
yang karena beratnya sendiri dapat melawan gaya dorong keatas di dalam elutriation
leg.
Kristaliser ini juga dilengkapi dengan sistem sirkulasi larutan + inti kristal keluar
kristaliser untuk mengurangi jumlah inti kristal didalam kristaliser. Inti kristal yang
berlebih ini akan larut kembali saat lewat HE karena pemanasan. Pengurangan inti
kristal ini simaksudkan agar inti kristal berkurang karena kalau dibiarkan makin
lama makin banyak, akibatnya produk kristal cenderung semakin lama semakin halus.
Hal ini karena inti kristal membutuhkan solute untuk pertumbuhan selanjutnya,
sedangkan jumlah solute dalam feed yang masuk tetap, maka inti kristal tidak cukup
banyak mendapat solute untuk tumbuh jadi kristal yang lebih besar.
Gambar 6. Draft Tube Baffle Crystallizer
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN

III.1. Bahan dan Alat yang Digunakan


A. Bahan yang Digunakan
1. Kristal Tawas
2. Air
B. Alat yang Digunakan
1. Saturator tank 7. Tangki pendingin
2. Heater dan controller 8. MSMPR crystallizer
3. Pengaduk 9. Penampung Kristal
4. Thermoregulator 10. Motor pengaduk
5. Submersible pump 11. Pompa vakum
6. Valve by pass 12. Buffer tank

III.2. Variabel Percobaan


1. Variabel tetap : suhu 55 C
2. Varabel berubah : flowrate ;2 ; 2,5 ;3 ; 3,5 ; 4,5
III.3. Gambar Alat Utama : kristaliser MSMPR (sistem kontinyu)

produk

III.4. Respon Percobaan


- Diameter partikel
- Massa produk kristal
III.5. Data yang dibutuhkan
- Suhu kristaliser
- Suhu saturator tank
- Flowrate feed
- Volume efektif kristaliser

III.6. Prosedur percobaan


1. Membuat larutan jenuh tawas pada suatu suhu tertentu di dalam tangki saturator
2. Pengaturan suhu dilakukan dengan memakai Thermo-regulator, setting suhu 55C,
cek ketelitian ( kalibrasi) thermoregulator dengan memakai thermometer biasa.
3. Hidupkan heater dan pengaduk listrik, tambahkan kristal tawas dengan air
sekukupnya ke saturator tank, biarkan pemanasan berjalan beberapa lama.
4. Cek kondisi apakah jenuh atau belum dengan mengukur densitas larutan memakai
picnometer. Berat picnometer + larutan sudah konstan, berarti sudah jenuh (tawas
tidak bisa melarut lagi)
5. Jalankan sistem pendingin tangki kristaliser dengan air yang dialirkan kontinyu,
atur jepitan salang air pendingin sedemikian rupa sehingga input=output yang
ditandai dengan konstannya ketinggian permukaan air pendingin di dalam tangki
pendingin kristaliser. Tangki kristaliser diberi tanda untuk volume tertentu misal 2
L.
6. Jalankan pompa, atur flowrate yang menuju tangki kristaliser sesuai dengan yang
diinginkan dengan mengatur jepitan aliran recycle. Cek (kalibrasi) flowrate tersebut
dengan memakai gelas ukur dan stopwatch.
7. Siapkan sistem vacuum pengeluaran produk slurry : pompa vacum, buffer tank
dikosongkan. Cek apakah tidak bocor ( lewat ujung selang penghisap apakah
terasa bila menghisap)
8. Jalankan pengaduk tangki kristaliser juga permukaan larutan tawas di dalam tangki
kristaliser tetap pada tanda 2 L pastkan kristal teraduk sempurna karena tipe MSMPR.
9. Jalankan sistem kristalisasi ini sampai dicapai kondisi tunak (steady state), dengan
perkiraan dari start awal selama 3x waktu tinggal cairan di dalam kristaliser.
10. Sebelum tercapai kondisi tunak, kristal + cairan yang dikeluarkan tidak bisa
dipakai sebagai produk tetapi dikembalikan ke saturator tank lagi. Setelah tercapai
kondisi tunak. Kristal dan cairan dikeluarkan untuk jangka waktu tertentu
misalnya 20 menit, tampung dan saring kristalnya, keringkan kristalnya dengan
diangin-anginkan. (note: penyaringan kristal diupayakan saat larutannya belum
mendingin agar produk kristal tidak bertambah).
11. Ulangi langkah kerja di atas dari awal untuk masing-masing flowrate sehingga
diperoleh minimal 3 titik agar bisa dibuat grafik yang baik
12. Timbang produk kristal, kemudian dilakukan analisa ayak untuk masing-masing
variasi flowrate.
13. Hitung berat 1 kristal untuk ukuran ayakan tertentu dengan mengasumsi kristalnya
berbentuk bola, kemudian hitunglah jumlah butir kristal yang ada dalam satu
ukuran ayakan.
14. Buat grafik kelarutan tawas dalam air sebagai fungsi suhu dengan data dari Perry
15. Hitung derajat supersaturasi yang terjadi untuk masing-masing flowrate dengan
melihat data kelarutan tawas dari suhu saturator dan suhu kristaliser.
16. Buat grafik hubungan berat produk kristal versus derajat supersaturasi dan
grafik CSD untuk masing-masing variasi flowrate.

DAFTAR PUSTAKA
Garside, J. and Daupus, R.J.. 1980. Chemical Engineering Common. 4:393.
nd
Mullin, J.W.. 1972. Crystallization. 2 . London: Butterworths.
Rusli, I.I., Larisan, M.A. and Garside, J. 1980. Chemical Engineering Process. P, Syn P.Ser,
193 vol 176.
Tokyokura, K and Aoyama, Y.. 1982. Jace Design Manual series crystallization vol I. Osaka:
Jace I Research Centre.
Tokyokura, K and Aoyama, Y.. 1984. Jace Design Manual series crystallization vol III. Osaka:
Jace I Research Centre.
Tokyokura, K.. 1985. Industrial Crystallization. Amsterdam: North-Holland.

Anda mungkin juga menyukai