Anda di halaman 1dari 18

PENDAHULUAN

Kardiomiopati peripartum adalah keadaan kardiomiopati idiopatik,


berhubungan dengan kehamilan, bermanifestasi sebagai gagal jantung karena
disfungsi sistolik ventrikel kiri, biasanya terjadi selama 1 bulan terakhir
kehamilan sampai 5 bulan postpartum. Merupakan diagnosis eksklusi pada wanita
tanpa penyakit kardiovaskular lain, tidak harus disertai dilatasi ventrikel kiri,
namun fraksi ejeksi biasanya selalu <45%. Presentasi klinis kardiomiopati
peripartum kurang lebih sama dengan gagal jantung sistolik sekunder terhadap
kardiomiopati dan diklasifi kasikan berdasarkan NYHA. Kardiomiopati
peripartum adalah diagnosis eksklusi, semua pasien harus telah diperiksa dan
penyebab lain selain kehamilan disingkirkan. Standar emas penentuan
kardiomiopati peripartum adalah ekokardiografi. Prognosis kardiomiopati
peripartum tergantung pada kembalinya fraksi ejeksi ke angka normal
(Setiantiningrum, 2014).
Rehabilitasi jantung menurut Cardiac Rehabilitation Working Group of
the European Society of Cardiology didefinisikan sebagai sejumlah kegiatan yang
dibutuhkan untuk memastikan terciptanya suatu kondisi yang baik dari segi fisik,
psikologis dan sosial sehingga pasien dengan penyakit jantung kronis atau pasca
akut dapat memperoleh tempat yang layak di masyarakat dengan usaha mereka
sendiri. Pelayanan rehabilitasi jantung bersifat komprehensif, berupa program
jangka panjang yang mencakup evaluasi medis, peresepan latihan, modifikasi
faktor risiko jantung, edukasi dan konseling (Goble dan Worcester, 1999).
Manfaat tindakan rehabilitasi jantung dalam rangka prevensi primer dan
sekunder terhadap penyakit kardiovaskular antara lain meningkatkan kapasitas
fungsional, memperbaiki fungsi jantung dan kualitas hidup, serta menurunkan
mortalitas dan morbiditas pada pasien PJK yang telah dilakukan revaskularisasi
(Lee et al., 2013). Exercise training dan konseling perawatan diri pada pasien
dengan gagal jantung direkomendasikan oleh American Heart Association (AHA)
dan American College of Cardiology (ACC) sebagai kegiatan yang bermanfaat
dan efektif (Ades et al., 2013).
Rujukan untuk program rehabilitasi jantung diindikasikan kelas I pada
sebagian besar pedoman tatalaksana klinis penyakit jantung seperti pada pasien

1
pasca sindroma koroner akut, angina pectoris kronis stabil, pasca operasi bedah
pintas koroner (CABG), pasca intervensi koroner perkutan (PCI), gagal jantung,
penyakit jantung katup, penyakit arteri perifer dan prevensi pada wanita (Radi et
al., 2009).
Pada laporan kasus ini akan dilaporkan program rehabilitasi jantung serta
prevensi sekunder pada seorang wanita 37 tahun pasca perawatan karena
kardiomipati peripartum di Rumah Sakit dengan fasilitas yang terbatas.

KASUS
Dilaporkan seorang wanita berusia 37 tahun, dengan Berat Badan (BB) 72
kg, Tinggi Badan (TB) 158 cm, serta Indeks Massa Tubuh (IMT) 26 kg/m2,
dengan diagnosis kardiomiopati peripartum serta hipertensi dalam terapi. Keluhan
sesak nafas dirasakan pasien satu minggu setelah melahirkan anak keempat. Saat
itu pasien dibawa ke Unit Gawat Darurat Rumah Sakit dr. Soemarno
Sosroatmodjo Kabupaten Bulungan dalam keadaan sesak dan kaki bengkak.
Tidak didapatkan riwayat infark dan keluhan sesak nafas sebelumnya. Faktor
risiko kardiovaskular pada pasien ini adalah hipertensi, dislipidemia.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, kesadaran
compos mentis. Pemeriksaan tanda vital menunjukkan tekanan darah 150/80
mmHg, nadi 82 kali permenit, respirasi 20 kali permenit dan suhu 36,8 oC.
Ditemukan peningkatan tekanan vena jugularis. Pada pemeriksaan jantung
didapatkan kardiomegali, suara jantung normal, tidak didapatkan bising.
Pemeriksaan abdomen menunjukkan kesan timpani, suara peristaltik normal, serta
tidak didapatkan hepatomegali maupun splenomegali. Pemeriksaan ekstremitas
menunjukkan akral yang hangat, didapatkan edema pada kedua tungkai.
Pemeriksaan darah rutin, fungsi ginjal, fungsi hati, serta elektrolit dalam
batas normal. Pemeriksaan profil lipid menunjukkan hasil kolesterol total 220
mg/dL, trigliserida 275 mg/dL, high density lipoprotein (HDL) 37 mg/dL, serta
low density lipoprotein (LDL) 171 mg/dL. Pemeriksaan gula darah sewaktu 128
mg/dL.
Pada pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) didapatkan gambaran irama
sinus, laju jantung 90 kali permenit, normoaksis, hipertrofi ventrikel kiri dengan

2
strain (Gambar 1). Ronsen dada menunjukkan kardiomegali dengan tanda-tanda
edema paru (Gambar 2).

Gambar 1. Gambaran EKG menunjukkan irama sinus, laju jantung 90 kali permenit,
normoaksis, hipertrofi ventrikel kiri dengan strain

Pemeriksaan ekokardiografi menunjukkan dilatasi ventrikel kiri dengan


LVIDD 56 mm, fungsi sistolik menurun dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri 35%,
hipokinetik global, fungsi sistolik ventrikel kanan menurun, serta regurgitasi
mitral ringan.
Pasien mendapat terapi rutin valsartan 1 x 80 mg, furosemide 1 x 40 mg,
bisoprolol 1 x 2,5 mg, spironolactone 1 x 25 mg, simvastatin 1x10 mg.
Rehabilitasi jantung fase I dilakukan pada pasien tersebut mulai perawatan
hari ke-3 di ICU dengan menggerakkan kaki dan tangan tanpa pembebanan ketika
keluhan sesak telah membaik. Setelah itu pasien dilatih duduk pada hari ke-4
perawatan, dan berdiri serta latihan berjalan pada hari ke-5 perawatan. Tidak
terdapat komplikasi pada hemodinamik selama dirawat. Tidak terdapat gejala
gangguan psikologis pada pasien pasca operasi.

3
Gambar 2. Ronsen dada pasien ketika dirawat di ICU, tampak kardiomegali dengan
edema paru

Saat perawatan hari ke-6 dilakukan uji latih Six-Minutes Walk Test
(6MWT) sebagai penentuan dosis latihan awal saat dilakukan rehabilitasi jantung
fase II. Dari uji latih 6MWT tersebut pasien dapat menempuh jarak 300 meter
selama 6 menit, tidak terdapat keluhan nyeri dada maupun sesak napas selama
latihan, Skala Borg 10 saat akhir latihan, tekanan darah sebelum latihan 123/80
mmHg dengan tekanan darah setelah latihan 134/89 mmHg dan laju jantung
istirahat 82 kali permenit dengan laju jantung setelah latihan 96 kali permenit.
Dari jarak tempuh selama uji latih 6MWT tersebut didapatkan VO2Max
(konsumsi oksigen maksimum) pada uji latih awal adalah 2,4 Mets. Dari data
klinis dan 6MWT (kapasitas fungsional <5 Mets) disimpulkan bahwa pasien
dengan stratifikasi risiko tinggi untuk menjalani latihan fisik pada program
rehabilitasi jantung fase II.
Pasien setuju untuk menjalani program rehabilitasi jantung fase II.
Namun karena rumah pasien jauh dari Rumah sakit, dan karena di Rumah sakit
juga belum tersedia alat rehabilitasi jantung maka diputuskan untuk melakukan
program rehabilitasi jantung di rumah dengan kunjungan setiap minggunya ke
rumah pasien untuk menentukan dosis latihan dan melihat kondisi klinis pasien.
Untuk program rehabilitasi jantung fase II tersebut, peresepan untuk pasien adalah

4
frekuensi latihan 3 kali seminggu selama 12 kali, intensitas disesuaikan dengan
stratifikasi risiko yang telah diukur pada uji awal yaitu diberikan intensitas latihan
sebesar 50% jarak tempuh pada uji latih awal, sehingga pasien pada awal latihan
dengan beban jarak tempuh 750 meter selama 30 menit dibagi menjadi dua dosis,
masing-masing selama 15 menit. Durasi latihan yang dipilih pada dua minggu
awal pertemuan adalah 2x15 menit dengan diselingi masa istirahat dengan tipe
latihan adalah jalan kaki dan progresivitas dinaikkan beban jarak tempuh pada
setiap sesi dengan target 5-20% peningkatan setiap minggu. Pada pertemuan awal
pasien menyelesaikan beban latihan dengan jarak tempuh 750 meter dalam 30
menit tanpa ada keluhan dan Skala Borg 10, sehingga beban latihan berikutnya
dinaikkan secara bertahap. Pada sesi pertemuan ke-6 durasi latihan dinaikkan
menjadi 30 menit tanpa istirahat. Pada sesi pertemuan ke-12 pasien telah mampu
menempuh jarak 1700 meter dalam 30 menit tanpa fase istirahat, tanpa ada
keluhan, dengan hemodinamik stabil, serta Skala Borg 9. Kemudian saat akhir
program latihan rehabilitasi jantung fase II dilakukan evaluasi dengan 6 MWT
didapatkan hasil kapasitas aerobik mencapai 3,5 Mets, tanpa ada keluhan sesak
maupun aritmia. Dari anamnesis pada setiap kali sesi pertemuan juga tidak
didapatkan gejala gangguan psikologis.

Tabel 1. Program latihan rehabilitasi jantung fase II yang dijalani pasien dalam 1 bulan
TD TD Laju Laju Jarak
Durasi
Sesi Tipe istirahat latihan jantung jantung tempuh
(menit)
(mmHg) (mmHg istirahat latihan (meter)
1. Jalan 2x15 117/79 128/91 82 86 350
123/85 132/82 85 87 350
2. Jalan 2x15 121/88 136/90 80 88 400
126/79 137/82 86 93 400
3. Jalan 2x15 119/88 125/89 89 93 450
129/89 139/87 90 98 450
4. Jalan 2x15 123/86 133/97 88 89 500
115/83 127/89 85 90 500
5. Jalan 2x15 123/96 127/88 84 89 550
113/89 137/96 81 84 550
6. Jalan 30 111/80 123/84 95 96 1000
7. Jalan 30 119/79 125/79 84 88 1200
8. Jalan 30 125/79 127/92 79 86 1350
9. Jalan 30 124/99 136/102 68 76 1400
10. Jalan 30 129/100 167/108 65 73 1500
11. Jalan 30 142/103 153/103 62 71 1650
12. Jalan 30 120/94 147/100 67 80 1700

5
Selain latihan fisik, pasien juga diberikan edukasi mengenai pengendalian
faktor-faktor risiko yang dimiliki oleh pasien, yaitu kontrol hipertensi (target
tekanan darah <140/90 mmhg), dislipidemia (target LDL < 70 mg/dL), serta
kontrol gula darah. Selain itu, pasien juga diberikan edukasi mengenai diet serta
diharapkan pasien masih melanjutkan latihan rutin selama di rumah (rehabilitasi
jantung fase III).

PEMBAHASAN
Menurut The World Health Organization (WHO) rehabilitasi pada
penderita penyakit jantung didefinisikan sebagai sejumlah aktivitas yang
dibutuhkan untuk membantu memperbaiki penyebab dasar dari penyakit jantung
tersebut, dan juga termasuk didalamnya memperbaiki kondisi fisik, mental, dan
sosial, sehingga pasien dengan kemampuan sendiri, dapat mempertahankan atau
mengembalikan dirinya ke kondisi awal seperti kondisi normalnya di lingkungan
sekitar. Rehabilitasi tidak dapat dinilai sebagai terapi tunggal, namun harus di-
integrasikan dengan manajemen terapi lainnya. Tujuan dari rehabilitasi jantung
antara lain meningkatkan kapasitas fungsional pasien, adaptasi psikologis
terhadap proses penyakit yang kronis, sebagai landasan untuk perubahan pola
hidup dan tingkah laku jangka panjang yang akan mempengaruhi prognosis
jangka panjang serta untuk mempertahankan kemandirian jangka panjang
(Mathes, 2007).
Rehabilitasi jantung merupakan serangkaian kegiatan yang memiliki
komponen berupa latihan fisik, edukasi, psikososial serta tindakan prevensi
sekunder. Latihan fisik, yang merupakan komponen utama rehabilitasi jantung,
merupakan program aktifitas fisik yang terencana, terstruktur, dengan
pembebanan, dilakukan secara berulang, bertahap serta progresif untuk
meningkatkan kapasitas maksimal sistem penghantaran oksigen dan sistem
muskuloskeletal. Dari berbagai studi telah terbukti banyaknya manfaat dari
rehabilitasi jantung pada pasien dengan penyakit kardiovaskular, antara lain
menurunkan angka kematian 20%-36%, menurunkan morbiditas jangka panjang
serta kejadian re-admisi, meningkatkan kualitas hidup dan kapasitas fungsional,

6
serta membantu mengembalikan ke dunia pekerjaannya kembali (Goble dan
Wanchester, 1999).
Dalam pelaksanaannya program rehabilitasi jantung dikelompokan ke
dalam beberapa fase: Fase I adalah upaya yang segera dilakukan disaat pasien
masih dalam masa perawatan, tujuan utama fase ini adalah mengurangi atau
menghilangkan efek buruk dari dekondisi akibat tirah baring lama, melakukan
edukasi dini dan agar pasien mampu melakukan aktifitas hariannya secara mandiri
dan aman. Fase II, yang dilakukan segera setelah pasien keluar dari RS,
merupakan program intervensi untuk mengembalikan fungsi pasien seoptimal
mungkin, segera mengontrol faktor risiko, edukasi dan konseling tambahan
mengenai gaya hidup sehat. Fase III dan IV merupakan fase pemeliharaan,
dimana diharapkan pasien tersebut telah mampu melakukan program rehabilitasi
secara mandiri, aman, dan mempertahankan pola hidup sehat untuk selamanya,
dibantu atau bersama-sama keluarga dan masyarakat sekitarnya. Sejak 1994,
American Heart Association (AHA) mendeklarasikan bahwa rehabilitasi jantung
tidak terbatas hanya pada program latihan fisik saja, tetapi harus mencakup upaya-
upaya multidisiplin yang bertujuan untuk mengurangi atau mengontrol faktor
risiko yang dapat dimodifikasi (Radi et al., 2009; Wenger et al.,1999).
Pada pasien gagal jantung yang pertama kali terdiagnosis, rehabilitasi
jantung fase I dapat diawali sedini mungkin, dapat dimulai pada hari kedua
perawatan atau setelah pasien sadar dan lepas dari alat bantu pernapasan.
Rehabilitasi jantung tidak hanya melibatkan komponen latihan fisik saja, tetapi
juga edukasi serta aspek psikososial. Kondisi yang sering ditemukan adalah rasa
takut maupun kecemasan yang berlebihan pasien maupun keluarganya. Apabila
hal ini terjadi, hendaknya melibatkan disiplin ilmu terkait (Thompson et al.,
2009).
Untuk komponen latihan fisik, sebelum dilakukan program latihan fisik
rehabilitasi jantung fase I harus dilakukan kajian klinis terhadap pasien yang
meliputi riwayat penyakit, kondisi medis, faktor risiko, tindakan intervensi yang
sudah dan akan dilakukan, faktor penyulit selama perawatan di rumah sakit,
pemeriksaan fisik kardiopulmonal dan muskuloskeletal, pemeriksaan penunjang
(ronsen toraks, EKG, ekokardiografi, maupun angiografi), serta obat obatan yang

7
diberikan. Tujuan dari kajian klinis sebelum menentukan program latihan fisik
tersebut adalah untuk mengetahui ada atau tidaknya kontraindikasi untuk
dimulainya program latihan rehabilitasi jantung fase I (tabel 2), sebagai
stratifikasi risiko dan penentuan jenis uji latih yang akan dilakukan (Thompson et
al., 2009).
Tabel 2. Kontraindikasi program latihan fisik

Angina pektoris tidak stabil Aritmia atrial dan atau ventrikular yang
tidak terkontrol
Tekanan darah sistolik >200 mmHg, Gambaran iskemia pada EKG (ST depresi
diastolik >110 mmHg > 2 mm)
Hipotensi orthostatik Penyakit sistemik akut yang berat
Laju jantung istirahat >120 kali permenit Blok A-V total tanpa pacemaker
Perikarditis, miokarditis aktif Luka operasi yang rawan infeksi
(Thompson et al., 2009)

Program latihan rehabilitasi jantung fase I dimulai dengan menggerakkan


lengan dan kaki dengan prinsip melawan gravitasi selama 2 hari pertama dan
dilanjutkan dengan latihan duduk pada hari berikutnya serta latihan berdiri pada
hari keenam perawatan. Frekuensi latihan 2-4 kali sehari pada 3 hari perawatan
pertama dan 2 kali sehari pada perawatan selanjutnya dengan penambahan durasi
latihan, dengan intensitas dibatasi oleh Skala Borg tidak lebih dari 13 dan laju
jantung tidak melebihi 30 kali permenit di atas laju jantung istirahat, durasi latihan
sekitar 3-5 menit, dengan peningkatan durasi tiap sesi sampai 10 menit per sesi
(Thompson et al., 2009).
Pada kasus ini, setelah dilakukan kajian klinis dan pasien memenuhi syarat
untuk dimulainya rehabilitasi jantung fase I serta tidak ditemukannya
kontraindikasi, pasien mulai menjalani rehabilitasi jantung fase I pada hari ke 3
perawatan di ICU dengan menggerakkan tangan dan kaki. Program latihan
dilanjutkan mobilisasi duduk mulai hari perawatan ke-4, serta mobilisasi berjalan
mulai hari ke-5 perawatan. Semua tahap latihan tersebut dibatasi dengan penilaian
Skala Borg tidak melebihi 13 dan laju jantung tidak melebihi 30 kali permenit di
atas laju jantung istirahat. Selain itu, tidak didapatkan gejala rasa takut dan
kecemasan yang berlebihan pada pasien.
Penentuan dosis latihan untuk program rehabilitasi jantung fase II
dilakukan saat sebelum pasien pulang. Karena keterbatasan sarana yang ada maka

8
uji latih awal yang dilakukan untuk menentukan dosis latihan adalah dengan six
minute walk test. Beban latihan awal pada program latihan rehabilitasi jantung
fase II didasarkan pada besar beban latihan yang diperoleh dari uji latih sebelum
pasien pulang, disesuaikan dengan stratifikasi risiko seperti yang ditampilkan
pada tabel 4 (Thompson et al., 2009).
Pasien gagal jantung kadang mengalami eksaserbasi gejala selama latihan
sehingga dilakukan pengukuran toleransi latihan untuk menilai kapasitas
fungsional yang berhubungan dengan derajat gagal jantung. Penggunaan stress
test untuk mengukur secara objektif kapasitas fungsional adalah modalitas yang
sangat penting untuk stratifikasi prognosis pasien dengan gagal jantung. Uji latih
treadmill telah diketahui sebagai standard referensi. Six minute walk test (6MWT)
karena ketersediaan, keamanan dan kemudahan dalam implementasi semakin
banyak digunakan sebagai alternatif dari ULT untuk mengevaluasi kapasitas
fungsional pasien dengan gagal jantung. 6MWT adalah latihan submaksimal yang
ditoleransi dengan baik secara umum oleh pasien. Jarak yang mampu ditempuh
selama 6MWT adalah prediktor independen dari mortalitas dan hospitalisasi pada
pasien dengan gagal jantung. Peningkatan jarak yang ditempuh selama tes adalah
indeks yang sensitif untuk menilai respon terhadap intervensi terapetik pada gagal
jantung. 6MWT adalah metode klinis yang aman dan mudah, dapat digunakan
untuk memprediksi hospitalisasi dan mortalitas pada pasien gagal jantung.
Mortalitas 3,5 kali lebih tinggi pada pasien yang berjalan kurang dari 350 meter
dibandingkan dengan pasien yang dapat berjalan lebih dari 450 meter pada
Studies of Left Ventricular Dysfunction (SOLVD) (Bittner et al., 1993).
Variabel yang penting untuk evaluasi prognostik 6 MWT pada pasien
dengan gagal jantung adalah jarak tempuh maksimal atau six minute walk distant.
Beberapa studi menunjukkan bahwa nilai yang kurang dari 300 meter dalam 6
menit mengindikasikan prognosis buruk dibandingkan dengan pasien yang
berjalan lebih dari 300 meter. Jarak tempuh 6MWT pada pasien dengan gagal
jantung dengan fraksi ejeksi 20% rata-rata adalah 310 meter, sedangkan pada
pasien dengan gejala yang lebih ringan dan fraksi ejeksi lebih dari 53% adalah
lebih dari 427 meter (Rostagno et al., 2003).

9
Tabel 3. Indikasi six minute walk test
Perbandingan sebelum dan sesudah pengobatan
Transplantasi paru
Reseksi paru
Pembedahan reduksi volume paru
Rehabilitasi paru
PPOK
Hipertensi pulmonal
Gagal jantung
Status fungsional
PPOK
Fibrosis kistik
Gagal jantung
Penyakit vascular perifer
Fibromyalgia
Pasien geriatri
Prediktor morbiditas dan mortalitas
Gagal jantung
PPOK
Hipertensi paru primer
(Crapo et al., 2012)

Jika penentuan dosis awal dengan tes uji latih submaksimal seperti 6MWT
maka dengan stratifikasi risiko rendah dapat diberikan beban sedang sebesar 60-
75% dari beban intensitas latihan maksimalnya, sedangkan untuk stratifikasi
risiko sedang dan berat diberikan beban ringan 40-59% beban intensitas
maksimalnya. Intensitas latihan maksimal dari hasil uji latih awal dapat dibatasi
dengan beban berdasarkan jarak tempuh, VO2 (Volume Oxygen), Mets maupun
laju jantung (Thompson et al., 2009).
Untuk menentukan beban latihan dapat ditentukan dengan berbagai
metode. Pada pasien yang tanpa dilakukan uji latih sebelumnya maka beban
latihan pada rehabilitasi jantung fase II dapat dinyatakan dengan Skala Borg 11-
16 atau laju jantung tidak melebihi 30 kali permenit dari laju jantung istirahat.
Metode lainnya jika menggunakan 6MWT beban latihan dinyatakan dengan jarak
tempuh atau laju jantung maksimal atau heart rate reserve, serta jika dilakukan uji
latih treadmil dapat dinyatakan dengan laju jantung maksimal, heart rate reserve,
VO2 max, dan VO2 reserve. Laju jantung maksimal adalah laju jantung saat
puncak uji latih, sedangkan heart rate reserve adalah perbedaan antara laju
jantung maksimal dengan laju jantung istirahat. VO2 max adalah kebutuhan

10
oksigen saat puncak latihan, sedangkan VO2 reserve merupakan perbandingan
kebutuhan oksigen maksimal dengan saat istirahat (Lan et al., 2013; Wenger et
al., 2009).
Tabel 4. Stratifikasi risiko pada pasien dengan penyakit jantung

RISIKO RENDAH
Tidak ditemukan aritmia ventrikel yang kompleks pada saat ULJ dan pemulihan
Tidak ditemukan angina dan keluhan lain (sesak napas yang tidak biasa, sakit
kepala atau kepala pusing) saat ULJ dan pemulihan
Hemodinamik yang stabil pada saat ULJ dan pemulihan (peningkatan tekanan
darah dan denyut jantung yang sesuai dengan peningkatan intensitas olahraga)
Kapasitas fungsional 7 METs
Temuan pada uji non-latihan:
Fraksi ejeksi jantung saat istirahat 50%
Infark miokard atau pasien pasca intervensi perkutan tanpa komplikasi
Tidak ditemukan ventrikel aritmia kompleks pada saat istrahat
Tidak ada gagal jantung
Tidak ada gejala dan tanda iskemia
Tidak ada gejala depresi

RISIKO SEDANG
Adanya angina atau gejala lain (sesak napas yang tidak biasa, sakit kepala atau
pusing pada saat latihan dengan intensitas tinggi (> 7 METs)
Iskemia ringan ataupun sedang pada saat ULJ atau pemulihan (depresi segmen
ST <2 mm dibandingkan dengan baseline)
Kapasitas Fungsional <5 METs
Temuan pada uji non-latihan:
Fraksi ejeksi jantung pada saat istrahat 40-49 %

RISIKO TINGGI
Ditemukan aritmia ventrikel yang kompleks saat ULJ atau pada saat pemulihan
Adanya angina atau keluhan lainnya (sesak napas yang tidak biasa, sakit
kepala/pusing pada olahraga intensitas ringan (<5 METs atau pada saat
pemulihan)
Iskemia berat ( depresi segment ST >2 mm bila dibandingkan dengan baseline
pada ULJ ataupun pada saat pemulihan.
Hemodinamik yang tidak normal pada saat ULJ (chronotropic incompetence atau
flat atau turunnya tekanan darah sistolik tekanan darah dengan peningkatan
intensitas latihan) atau pemulihan (hipotensi berat setelah olahraga)
Temuan pada uji non-latihan:
Fraksi ejeksi jantung saat istrahat < 40%
Riwayat henti jantung atau kematian mendadak
Aritmia yang kompleks pada saat istirahat
Adanya infark miokard atau tindakan intervensi dengan komplikasi
Adanya gagal jantung
Adanya gejala depresi
(Thompson et al., 2009)

11
Target beban latihan berdasarkan stratifikasi risiko jika dinyatakan dengan
laju jantung maksimal, pada risiko ringan dan sedang 60-75% laju jantung
maksimal dan resiko tinggi 40-59% laju jantung maksimal. Jika menggunakan
heart rate reserve maka pada risiko ringan sampai sedang intensitas latihannya
40-60% dan risiko tinggi sebesar 20-30 % heart rate reserve. Jika menggunakan
VO2 maksimal, intensitas latihan pada risiko ringan sampai sedang sebesar 60-
75% dan risiko tinggi 40-59% dari VO2 maksimal. Apabila menggunakan VO2
reserve maka intensitas latihan pada risiko ringan sampai sedang sebesar 40-59%
dan pada risiko tinggi sebesar 39% dari VO2 reserve. Program latihan terdiri dari
pemanasan, latihan inti dan pendinginan. Durasi pemanasan 5-10 menit dengan
gerakan ringan, durasi latihan inti 20-60 menit sesuai intensitas yang diinginkan
terbagi 2-4 sesi dengan istirahat setengah durasi latihannya, dan pendinginan
selama 5-10 menit. Tipe latihan yang bisa dilakukan adalah jalan kaki, jalan di
atas treadmill, maupun dengan ergocycle. Progresifitas latihan 20-50% tiap
minggu (Lan et al., 2013; Wenger et al.,1999).
Berjalan memiliki beberapa keuntungan dibandingkan bentuk latihan yang
lain selama fase inisial program rehabilitasi jantung. Program latihan brisk
walking dapat menghasilkan perbaikan kebugaran dan faktor-faktor risiko
penyakit kardiovaskular. Berjalan memungkinkan intensitas latihan yang mudah
ditoleransi dan menyebabkan masalah ortopedi yang lebih sedikit dibandingkan
jogging atau berlari. Berjalan juga merupakan aktivitas yang tidak membutuhkan
peralatan khusus selain sepasang sepatu atletik. Kueuntungan yang paling
konsisten didapatkan ketika latihan dilakukan tiga kali seminggu selama 12
minggu atau lebih. Latihan yang lebih sering dapat menghasilkan perbaikan yang
lebih namun bila program dihentikan, efeknya akan menghilang dalam beberapa
minggu. Durasi latihan aerobik yang baik adalah minimal 30 menit baik kontinu
atau akumulasi dalam intensitas kira-kira 70-85% laju jantung maksimal yang
terukur (Franklin et al., 2014).
Pada pasien ini, saat uji latih 6MWT sebelum pulang dari rumah sakit
dapat menempuh jarak 300 meter. Pasien ini memiliki stratifikasi risiko tinggi
ditandai dengan ejeksi fraksi < 50% serta kapasitas fungsional < 5 Mets, tanpa
riwayat aritmia, tanpa gangguan hemodinamik selama perawatan, sehingga dosis

12
intensitas latihan pada pasien tersebut adalah sebesar 50% dari jarak tempuh saat
uji latih awal, sehingga intensitas latihan saat program rehabilitasi jantung fase II
adalah 750 meter dalam 30 menit, dengan frekuensi latihan 3 kali seminggu, tipe
latihan jalan kaki, dengan progresivitas 20-50% per minggu. Pada saat akhir
program latihan dilakukan evaluasi intensitas latihan dengan 6MWT didapatkan
peningkatan kapasitas fungsional dari sebelum mengikuti program rehabilitasi
jantung fase II yaitu dari 2,4 Mets menjadi 3,5 Mets, seperti disajikan pada Tabel
6. Evaluasi ekokardiografi juga menunjukkan perbaikan, dengan fraksi ejeksi
yang meningkat menjadi 48% dan kinetik yang membaik (Tabel 7). Setelah
mengikuti program rehabilitasi jantung fase II, pasien dianjurkan untuk tetap
melanjutkan program latihan mandiri di rumah (program rehabilitasi jantung fase
III).
Tabel 6. Hasil 6MWT sebelum dan sesudah rehabilitasi
Sebelum Sesudah
Tekanan darah maksimal (mmHg) 134/89 132/86
Tekanan darah istirahat (mmHg) 123/80 122/79
Laju jantung maksimal (kpm) 96 94
Skala Borg 10 9
6MWD 300 540
METs 2,4 3,5

Tabel 7. Hasil ekokardiografi serial


Sebelum Sesudah
Fraksi ejeksi (%) 35 48
LVIDD (mm) 56 54
LVISD (mm) 48 34
Kinetik Hipokinetik global Normokinetik

Program rehabilitasi dilakukan di rumah pasien dengan berbagai


pertimbangan. Antara lain adalah rumah pasien yang cukup jauh dari Rumah sakit
dan pasien memiliki bayi kecil yang tidak mungkin sering ditinggalkan.
Rehabilitasi jantung dengan supervisi medis di rumah sakit direkomendasikan
untuk pasien dengan gangguan jantung berat atau pasien-pasien yang telah
diketahui memiliki risiko tinggi untuk terjadi kejadian kardiovaskular. Metode ini
juga menguntungkan dari segi kepatuhan pasien, keamanan dan kepentingan
surveilans. Rehabilitasi dengan latihan di rumah bisa dijadikan alternatif karena

13
biaya lebih rendah, meningkatkan aksesibilitas, nyaman dan berpotensi untuk
meningkatkan modifikasi faktor risiko, independensi dan tanggung jawab pribadi.
Untuk pasien stabil, rehabilitasi dengan latihan di rumah dan tersupervisi di
Rumah sakit menunjukkan keamanan dan efikasi yang sama (Franklin et al.,
2014).
Program rehabilitasi tidak hanya sebatas pada latihan (exercise training),
namun juga melibatkan intervensi psikologis. Intervensi psikologis memberikan
manfaat tambahan terhadap penanganan pasien PJK yang mengalami stres
psikologis. Beberapa manfaat lain dari program rehabilitasi yaitu dapat
meningkatkan fungsi psikologis pasien (mengurangi ansietas dan depresi).
Dengan latihan (exercise training) diharapkan rasa cemas yang dialami pasien
akan menjadi berkurang. Selain itu juga dapat meningkatkan fungsi dan adaptasi
sosial seperti halnya dalam hubungannya dengan pekerjaan sehari-hari ataupun
kehidupan seksual pasien dengan pasangannya. Manfaat diatas dapat diperoleh
terutama jika program rehabilitasi dilaksanakan secara multifaktorial (Goble dan
Worcester, 1999).
Program rehabilitasi juga harus mencakup upaya prevensi sekunder untuk
mencegah agar pasien tidak mengalami kejadian kardiovaskular berulang. Secara
garis besar, faktor risiko PPCM diidentifikasi berupa penyakit yang menyebabkan
gangguan kardiovaskuler, seperti hipertensi (tekanan darah >140/90 mmHg
setelah kehamilan minggu ke-20), diabetes melitus, dan merokok. Sedangkan
faktor risiko yang berhubungan dengan kehamilan antara lain, umur saat hamil
>32 tahun, multipara (>3 kali hamil), kehamilan multifetal, preeclampsia,
penggunaan obat-obatan untuk membantu proses melahirkan, dan malnutrisi
terutama obesitas (BMI >30) (Sliwa et al., 2012).
Prevensi sekunder dapat diterapkan pada pasien yang telah teridentifikasi
faktor risiko kardiovaskulernya. Prevensi yang dilakukan berupa intervensi pola
hidup meliputi beberapa hal seperti edukasi mengenai penghentian kebiasaan
merokok, pengendalian tekanan darah, kadar gula darah dan kadar lemak,
pengaturan diet dan berat badan, serta motivasi pasien untuk melakukan aktivitas
fisik harian secara rutin. Inti dari prevensi sekunder adalah pengendalian faktor-
faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian kardiovaskular (Perk et al.,

14
2012). Pada kasus ini, faktor risiko kardiovaskular yang ditemukan pada pasien
adalah hipertensi, diabetes melitus, overweight dan dislipidemia. Sedangkan
faktor risiko yang berhubungan dengan kehamilan adalah usia ibu di atas 32 tahun
dan multipara.
Hipertensi merupakan faktor risiko yang telah diketahui dapat
meningkatkan mortalitas kardiovaskular dan termasuk faktor risiko utama untuk
PJK. Target tekanan darah pada pasien yang mempunyai hipertensi adalah sistolik
<140 mmHg dan diastolik <90 mmHg. Rekomendasi panduan sebelumnya yang
menyarankan penurunan tekanan darah sistolik <130 mmHg pada pasien dengan
diabetes dan mempunyai risiko kardiovaskular yang tinggi (riwayat kejadian
kardiovaskular) tidak didukung secara konsisten oleh bukti-bukti studi. Intervensi
tunggal berupa perubahan pola hidup cukup bermanfaat untuk pasien yang
mempunyai hipertensi yang tergolong ringan. Perubahan pola hidup yang
dimaksud disini seperti penurunan berat badan pada pasien yang mengalami
kelebihan berat badan, mengurangi konsumsi garam (NaCl) <5 gram/hari,
mengurangi konsumsi alkohol dan melakukan olahraga secara rutin (James et al.,
2013; Perk et al., 2012).
Pemilihan obat anti-hipertensi pada pasien dengan gagal jantung, meliputi
diuretic, golongan penyekat beta, ACE-i (Angiotensin Converting Enzyme-
inhibitor) atau Angiotensin II Receptor Blocker dan antagonis reseptor
mineralokortikoid. Hal ini seperti yang tercantum pada panduan anti-hipertensi
pada panduan manajemen hipertensi dari ESH/ESC tahun 2013 (Mancia et al.,
2013).
Pasien mendapatkan terapi obat hipertensi berupa Valsartan 1 x 80 mg,
bisoprolol 1 x 5 mg, Furosemide 1 x 40 mg dan Spironolactone 1 x 25 mg dengan
tekanan darah rata-rata harian sudah sesuai target yaitu < 140/90 mmHg.
Selain mempunyai faktor risiko hipertensi, pasien pada kasus ini juga
mempunyai faktor risiko dislipidemia yang terbukti dari hasil pemeriksaan darah
yaitu kadar kolesterol total 220 mg/dL, trigliserida 275 mg/dL, HDL 37 mg/dL,
serta LDL 171 mg/dL. Stone et al. (2013) membuat pedoman mengenai tata
laksana dislipidemia dengan menggunakan statin untuk mencegah risiko
kardiovaskular. Dalam panduan tersebut, bagi pasien risiko rendah, yaitu pasien

15
yang tidak mempunyai riwayat IMA, usia kurang dari 40 tahun namun memiliki
kadar LDL >100 mg/dl maka pasien tersebut harus mendapat terapi statin sebagai
upaya prevensi sekunder.
Usia pasien pada kasus ini adalah 37 tahun dan baru saja dirawat karena
edema paru akut satu minggu setelah melahirkan, sehingga pasien pada kasus ini
tidak termasuk golongan ASCVD menurut panduan AHA namun menurut
American Diabetes Association termasuk risiko rendah sehingga harus mendapat
terapi statin sebagai upaya prevensi sekunder. Sesuai panduan AHA, jenis statin
yang direkomendasikan adalah simvastatin 10 mg, pravastatin 10-20 mg,
lovastatin 20 mg, fluvastatin 20-40 mg dan pitavastatin 1 mg seperti yang
tercantum pada tabel 5. Pada kasus ini pasien mendapat terapi simvastatin 1 x 10
mg dengan evaluasi direncanakan dalam waktu 4-12 minggu (Stone et al., 2013).

Tabel 8. Rekomendasi terapi statin menurut panduan AHA


Terapi Statin Intensitas Terapi Statin Intensitas Terapi Statin Intensitas
Tinggi Sedang Rendah
Dosis harian menurunkan Dosis harian menurunkan Dosis harian menurunkan
LDL-C >50% LDL-C 30-<50% LDL-C <30%
Atorvastatin 40-80 mg Atorvastatin 10 (20) mg Lovastatin 20 mg
Rosuvastatin 20 (40) mg Rosuvastatin (5) 10 mg Fluvastatin 20-40 mg
Simvastatin 20-40 mg Pitavastatin 1 mg
Pravastatin 40 (80) mg
Lovastatin 40 mg
Fluvastatin XL 80 mg
Fluvastatin 40 mg bid
Pitavastatin 2-4 mg
(Stone et al., 2013)

Pengaturan pola diet dan mempertahankan bereat badan yang sehat (IMT
<25 kg/m2) menjadi fokus utama juga pada pasien. IMT pasien 26 kg/m2 sehingga
masuk kategori overweight. Intervensi pola diet diharapkan mengikuti pola diet
hidup sehat seperti yang dianjurkan dalam panduan pengendalian penyakit
kardiovaskular yang dikeluarkan oleh ESC (Tabel 9). Nutrisi yang terutama
menjadi perhatian dalam pengendalian kasus kardiovaskular adalah asam lemak
(mempengaruhi kadar lipoprotein), mineral (mempengaruhi tekanan darah),
vitamin dan serat (Perk et al., 2012).

16
Tabel 9. Rekomendasi pola diet
Konsumsi asam lemak jenuh < 10% dari asupan energi total harian
Konsumsi asam lemak tak jenuh trans seminimal mungkin, terutama hindari dari
makanan kaleng, serta <1% dari asupan energi total harian
Konsumsi garam <5 gram per hari
Konsumsi serat 30-45 gram per hari (dari gandum utuh, buah-buahan, serta
sayuran)
Konsumsi buah 200 gram per hari
Konsumsi sayuran 200 gram per hari
konsumsi ikan minimal 2 kali seminggu
Konsumsi minuman beralkohol harus dibatasi maksimal 2 gelas perhari (20 gram
alkohol perhari) untuk pria dan 1 gelas perhari (10 gram alkohol perhari) untuk
wanita
(Perk et al., 2012)

Aktifitas fisik dan latihan aerobik secara teratur yaitu minimal 3 kali
perminggu dan minimal 30 menit tiap sesi dianjurkan bagi pasien dengan penyakit
kardiovaskular karena merupakan salah satu upaya non-farmakologis dalam upaya
prevensi kardiovaskular secara primer maupun sekunder (Class Recommendation
I, Level of Evidence A) (Perk et al., 2012). Pasien pada kasus ini telah menjalani
exercise training selama rehabilitasi fase II dan diharapkan dapat melanjutkannya
di rumah sebagai bagian dari rehabilitasi jantung fase III (latihan mandiri).

Simpulan
Telah dilaporkan seorang wanita usia 37 tahun dengan suspek
kardiomiopati peripartum. Pasien mempunyai faktor risiko hipertensi,
dislipidemia, serta overweight. Program rehabilitasi jantung pasca perawatan
dilakukan secara komprehensif meliputi program latihan fisik di rumah, edukasi,
manajemen psikososial, serta upaya prevensi sekunder. Rehabilitasi jantung dapat
dilakukan dengan sarana terbatas. Peresepan latihan dapat dilakukan dengan
metode submaksimal, yaitu 6MWT dan program rehabilitasi jantung dapat
dilakukan di rumah sesuai dengan dosis latihan. Tidak didapatkan problem pada
psikologis pasien, terdapat peningkatan kapasitas fungsional pasien setelah
menjalani program rehabilitasi, serta terdapat pemahaman dan kesadaran pasien
terhadap penyakit yang diderita.

17
DAFTAR PUSTAKA
Bhattacharyya, A, Singh Basra, Sukhdeep, Sen, P, Kar, B. 2013. Peripartum
cardiomyopathy. Tex Heart Inst J 2012;39(1):8-16
Chobanian, A.V., Bakris, G.L., Black, H.R., Cushman, W.C., Green, L.A. 2003. JNC 7
Express. National Heart, Lung, and Blood Institute.
Crapo, RO, Casaburi, R, Coates, AL, Enright, PL, MacIntyre, NR, McKay, RT, Johnson,
D, Wanger, JS, Zeballos, RJ, 2002. ATS Statement: guideline for six minute walk
test. Am J Respir Crit Care Med Vol 166. pp 111117
Franklin, BA, Balady, GJ, Berra, K, Gordon, NF, Pollock, ML. 2014. Exercise for
Persons with Cardiovascular Disease. ACSM Current Comment.
Goble A.J., Worcester, M.U.C. 1999. Best Practice Guidelines for Cardiac Rehabilitation
and Secondary Prevention. Victoria, Australia: Heart Research Centre
Hannan, E.L., Racz, M.J., Gary, W.G. 2005. Long-term outcomes of coronary artery
bypass grafting versus stent implantation. N Engl J Med; 352:2174-83.
Kim, C, Choi, HE, Lee, BJ, 2014. Cardiac Rehabilitation of a patient with an advanced
dilated cardiomyopathy: a case report. Ann Rehabil Med 2014; 38(4): 554-8
Mancia, G, Fagard, R, Narkiewicz, K, Redon, J, Zanchetti, A, 2013. ESH/ESC
Guidelines for the management of arterial hypertension. J Hypertens 31:1281
1357
Mathes, P. 2007. Indication for Cardiac Rehabilitation in Perk, J., Mathes, P., Gohlke, H.,
Monpere, C., Hellemans, I., et al. Cardiovascular Prevention and Rehabilitation.
London: Springer-Verlag.
Papathanasiou, JV, Ilieva, E, Marinov, B. 2013. Six-Minute Walk Test: An Effective and
Necessary Tool in Modern Cardiac Rehabilitation. Hellenic J Cardiol 2013;
54:126-30
Perk, J., De Backer, G., Gohlke, H., Graham, I., Reiner, Z. 2012. European Guidelines on
Cardiovascular Disease Prevention in Clinical Practice. European Heart Journal;
33: 1635-1701.
Pollock, M.L., Gomes, P.S. 1999. Exercise Prescription in Wenger, N.K., Smith, L.K.,
Foelicher, E.S., Comoss, P.M. Cardiac Rehabilitation. A Guide to Practice in the
21st Century. New York: Marcel Dekker, Inc.
Radi, B., Joesoef, A.H., Kusmana, D. 2009. Rehabilitasi Kardiovaskular di Indonesia.
Jurnal Kardiologi Indonesia. 30:43-45
Setiantiningrum, M, Rehatta, V. 2014. Definisi, Etiopatogenesis dan Diagnosis
Kardiomiopati Peripartum. CDK-218/vol 41 No 7
Stone, N.J., Robinson, J., Lichtenstein, A.H., Eckel, R.H., Goldberg, A.C. 2013.
ACC/AHA Guideline on the Treatment of Blood Cholesterol to Reduce
Atherosclerotic Cardiovascular Risk in Adults: A Report of the American
College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice
Guidelines. Circulation
Thompson, W.R., Gordon, N.F., Pescatello, L.S. 2009. ACSMs Guidelines for Exercise
Testing and Prescription. Eight Edition. Lippincot Williams & Wilkins.
Wenger N.K. 1999. Overview: Charting the Course for Cardiac Rehabilitation Into the
21st Century in Wenger N.K., Smith L.K., Foelicher, E.S., Comoss P.M. Cardiac
Rehabilitation. A Guide to Practice in the 21st Century. New York: Marcel
Dekker, Inc.

18

Anda mungkin juga menyukai