Anda di halaman 1dari 33

ANASTETIKA UMUM

1. Pendahuluan
Anastesi umum adalah suatu keadaan hilangnya persepsi sensorik terutama
rasa sakit disertai dengan hilangnya kesadaran yang bersifat reversible. Obat-obat
yang menimbulkan anastesi umum disebut anastetika umum (general anaestethics).

Menurut Guedeel ada 4 stadium anastesi :

Stadium I (Stadium analgesia)


Penderita masih sadar dan responsif, perasaan sakit hilang, euphoria, respirasi teratur,
pendengaran lebih tajam.

Stadium II (Stadium eksitasi/delirium)


Penderita tampak tidak tenang sampai rebut/gelisah, tonos otot naik, respirasi
irregular, pupil tampak membesar, takkikardia, gerak bola mata bertambah, kesadaran
menurun, refleks masih ada. Stadium I dan II ini baersama-sama disebut stadium
induksi. Kemungkinan dapat mati mendadak karena inhibisi gagal atau sensitasi
jantung terhadap adrenalin (endogen atau eksogen).

Stadium III (Stadium pembedahan)


Dibagi 4 plane :
Plane 1
Kesadaran hilang, tonus otot berkuranag, respirasi teratur cepat dan dalam, gerak bola
mata berkurang, pupil kembali ke ukuran normal, refleks kornea masih ada, refleks
peritonial masih ada, refleks muntah dan menelan hilang pada plane ini biasanya
dilakukan pembedahan kecil.
Plane 2
Gerak bola mata berkurang sekali sampai tidak ada, relaksasi otot sempurna, respirasi
teratur, refleks kornea hilang pada plane ini biasanya dilakukan pembedahan besar.
Plane 3
Refleks hilang pupil berdilatasi, palsus lemah tetapi tekanan darah temporer, tonus
otot masih ada tetapi relaksasi sempurna, respirasi dalam dan tidak sempurna.

1
Plane 4
Respirasi jadi abnormal kecil dan dangkal, semua refleks hilang pupil dilatasi
maksimal, takikardia, tekanan darah merosot turun.

Stadium IV (Stadium paralisa meduler)


Tekanan darah menurun terus akhirnya nol, respirasi hilang, kollaps vasomotor, hal
ini terjadi karena over dosis.

2. Tujuan Percobaan
Memahami efek anastesi umum dan mengamati tahap-tahap stadium anastesi.

3. Prosedur Percobaan
a. Tiap kelompok mahasiswa bekerja dengan satu kelinci.
b. Kelinci dibuat tenang.
c. Eter kap ditetesi dengan eter / kloroform lalu ditutupkan ke mulut / hidung
kelinci percobaan (penetesan eter / kloroform sesuai kebutuhan).
d. Catat pengamatan sesuai dengan kolom isian.

2
4. Hasil
Kloroform

Stadium Tanda-tanda fisik yang terjadi Pengamatan Waktu/menit


I Respirasi abdominal dan torak
Denyut jantung permenit
Gerak bola mata
Ukuran pupil mata
Reflek kornea
Tonus Otot
II Respirasi abdominal dan torak
Denyut jantung permenit
Gerak bola mata
Ukuran pupil mata
Reflek kornea
Tonus Otot
III Respirasi abdominal dan torak 55 45 menit
Denyut jantung permenit 60
Gerak bola mata Hilang
Ukuran pupil mata 0,7
Reflek kornea Hilang
Tonus Otot Berkurang
IV Diharapkan tidak terjadi -

Eter

3
Stadium Tanda-tanda fisik yang terjadi Pengamatan Waktu/menit
I Respirasi abdominal dan torak
Denyut jantung permenit
Gerak bola mata
Ukuran pupil mata
Reflek kornea
Tonus Otot
II Respirasi abdominal dan torak 95 25 menit
Denyut jantung permenit 100
Gerak bola mata Ada
Ukuran pupil mata 0,6
Reflek kornea Ada
Tonus Otot Ada
III Respirasi abdominal dan torak -
Denyut jantung permenit
Gerak bola mata
Ukuran pupil mata
Reflek kornea
Tonus Otot
IV Diharapkan tidak terjadi -

5. Kesimpulan

4
1. Anastesi umum menimbulkan efek hilangnya persepsi sensorik terutama rasa
sakit disertai dengan hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel.
2. Dalam percobaan, dapat diamati pada penggunaan eter bahwa kelinci mengalami
efek anastesi umum hingga stadium II.
3. Hal-hal yang menyebabkan efek anastesi umum hanya hingga stadium II antara
lain karena :
Kurangnya dosis yang diberikan pada hewan coba, disebabkan tidak
adanya standar yang tetap mengenai berapa banyak eter / kloroform yang
diberikan.
Eter dan kloroform cepat terurai oleh udara, pada percobaan yang
dilakukan yang digunakan sebagai kap adalah corong gelas sehingga
diperkirakan banyak bahan yang terurai oleh udara.
4. Antara eter dan kloroform yang seharusnya memberikan efek anastesi lebih kuat
adalah Kloroform, namun pada percobaan yang dilakukan kedua senyawa ini
memberikan efek yang sama yakni hanya bereaksi sampai stadium II saja hal ini
terjadi karena kurangnya dosis yang diberikan.

5
TOKSIKOLOGI DAN ANTIDOTUM

1. Pendahuluan
Toksikologi adalah ilmu tentang efek buruk zat kimia (racun) terhadap
manusia. Sedangkan racun adalah zat yang dalam jumlah relatif kecil dapat
membahayakan kesehatan atau kehidupan.
Keracunan adalah suatu keadaan adanya racun di dalam tubuh sedemikian
rupa, sehingga dapat menimbulkan gangguan kesehatan. Gejala keracunan dapat
muncul atau pun tidak tampak, tergantung pada kerusakan yang ditimbulkan.
Antidotum adalah penawar racun sedangkan antitoksik adalah penawar terhadap zat
yang beracun (toksik terhadap tubuh).

2. Tujuan Percobaan
Memahami gejala-gejala dan melakukan tindakan untuk menanggulangi keracunan
akut.

3. Prosedur Percobaan
a. Tiap 2 kelompok mahasiswa bekerja dengan 1 ekor marmut.
b. Timbanglah serta amatilah dan catatlah setiap sikap (hiperaktif, aktif, hipoaktif),
sianosis (pada telinga, mukosa mulut dan hidung), respirasi (frekuensi, kualitas
atau tipe), denyut jantung, salvias, reflek terhadap stimulasi dari luar, tremor dan
kejang.
c. Suntiklah marmut secara intraperitoneal (perut sebelah kiri bagian bawah)
dengan KCN 10 mg/kg BB dan amatilah seperti pada kontrol di atas menit.
d. Sesudah keracunan tampak jelas, suntikkan Natrium Tiosulfat 250 mg/kg BB
secara intraperitoneal, amati hal-hal yang terjadi sesuai kontrol di atas.
e. Bila gejala-gejala belum berkurang, ulangi sekali lagi pemberian Natrium
Tiosulfat, amati terus sampai gejala keracunan menghilang atau mati.

6
Data Perhitungan Dosis
Bobot marmut 1 : 281,5 gr = 0,2815 kg
1. KCN 0,5% dimana 0,5 gr/100 ml, berarti 5 mg/ml
V KCN 0,2815 kg x 10 mg/kg = 2,815 mg
2,815 mg : 5 mg/ml = 0,56 ml
2. Natrium Tiosulfat 10% dimana 10gr/100ml, berarti 100 mg/ml
Natrium Tiosulfat = 0,2815 kg x 250 mg/kg = 70,37 mg
70,37 mg : 100 mg/ml = 0,70 ml

Bobot Marmut 2 : 275,0 gr = 0,275 kg


1. KCN 0,5 % dimana 0,5 gr/100ml, berarti 5mg/ml
V KCN 0,275 kg x 10 mg/kg = 2,75 mg
2,75 mg : 5 mg/ml = 0,55 ml
2. Natrium Tiosulfat 10% dimana 10gr/100ml, berarti 100 mg/ml
Natrium Tiosulfat = 0,275 kg x 250 mg/kg = 68,75 mg
68,75 mg : 100 mg/ml = 0,68 ml

7
4. Hasil
Marmut 1
Denyut
Respirasi
Jantung Keadaan
Waktu Sikap Sianosis Per 15 Refleks Ket
Per 15 marmut
Detik
Detik
Sebelum
0 Aktif - 17 16 Peka disuntik normal
KCN
Setelah
2 Aktif - 18 16 Peka disuntik normal
KCN
Mulai
Disuntik
Kurang munnjukkan
4 Hipoaktif Kejang 16 20 Na.
Peka gejala
Tiosulfat
keracunan
Setelah Mulai
Kurang disuntik munnjukkan
6 Hipoaktif Kejang 15 20
Peka Na. gejala
Tiosulfat keracunan
Mulut dan
Kurang
8 Hipoaktif daun 16 18 -
Peka
telinga biru pingsan
Mulut dan
10 - daun - - Tidak Ada -
mati
telinga biru

Marmut 2

8
Respirasi Denyut
Waktu Sikap Sianosis Per 15 Jantung Per Refleks Ket keadaan
Detik 15 Detik
Sebelum
0 Aktif - 17 16 Peka disuntik normal
KCN
Setelah
2 Aktif - 18 16 Peka disuntik normal
KCN
Mulai
Disuntik
Kurang memperliahat
3 Hipoaktif Kejang 16 20 Na.
Peka kan gejala
Tiosulfat
kercunan
Setelah Mulai
Kurang disuntik memperliahat
6 Hipoaktif Kejang 15 20
Peka Na. kan gejala
Tiosulfat kercunan
Setelah Mulai
Kurang disuntik memperliahat
7 Hipoaktif - 16 20
Peka Na. kan gejala
Tiosulfat kercunan
Kembali
10 Aktif - 17 16 Peka -
Normal

5. Kesimpulan
1. Keracunan KCN dapat diatasi dengan Natrium Tiosulfat sebagai antidotum untuk
menghindari kematian.
2. Marmut pertama menunjukkan gejala sianosis pada menit ke 4. Setelah gejala
sianosis terlihat yakni berupa kejang-kejang segera disuntik Na Tiosulfat yang
disuntik secara intraperitonial, namun terjadi kematian pada hewan coba. Hal ini
disebabkan oleh kesalahan pada penyuntikkan sianida. Diperkirakan sianida ynag
disuntikkan mengenai jantung hewan coba sehingga antidotum tidak dapat
bekerja untuk menghindari kematian.

3. Marmut kedua menunjukkan gejala sianosis pada menit ke 3. Pada hewan coba
ini kerja Na Tiosulfat sebagai antidotum dapat terlihat dan kematian hewan coba

9
dapat dihindari. Hal ini terlihat pada data percobaan, setelah disuntikkan Na
Tiosulfat pada menit ke 3 marmut sudah dapat kembali normal pada menit ke 10.
Kerja Na Tiosulfat sebagai antidotum adalah dengan mempercepat eliminasi.
4. Kerja Na Tiosulfat sebagai antidotum adalah dengan mempercepat eliminasi
Jika Sianida masuk ke dalam tubuh masih dalam jumlah kecil maka sianida akan
diubah menjadi tiosianat yang lebih aman dan diekskresikan melalui urine.Tetapi
bila jumlah sianida yang masuk ke dalam tubuh dalam dosis yang besar, tubuh
tidak akan mampu untuk mengubah sianida menjadi tiosianat. Jalur terpenting
dari pengeluaran sianida ini adalah dari pembentukan tiosianat (SCN) yang
diekresikan melalui urin. Tiosianat ini dibentuk secara langsung sebagai hasil
katalisis dari enzim rhodanese dan secara indirek sebagai reaksi spontan antara
sianida dan sulfur persulfida. Reaksi ini membutuhkan sumber utama yaitu sulfur
sulfan namun jumlahnya dalam tubuh terbatas maka natrium tiosulfat dapat
digunakan sebagai antidot dalam keracunan sianida karena natrium tiosulfat
dapat berfungsi sebagai pemasok sulfur.
Hal ini dapat dilihat pada hewan coba, akan mengeluarkan urine sesaat setelah
disuntikkan Na Tiosulfat dan tak lama setelah itu gejala sianosis akan berkuarng
dan marmut kembali normal.

ANASTETIKA LOKAL

10
1. Pendahuluan
Anastesi lkal adalah obat ynag menghambat hantaran syaraf bila dikenakan
secara lokal pada jaringan saraf pada kadar cukup. Obat ini bekerja pada tiap bagian
susunan saraf. Sebagai contoh, bila anastesi local dikenakan pada korteks motoris,
impuls yang dialirkan dari daerah tersebut terhenti, bila disuntikkan di bawah kulit
maka transmisi sensorik dihambat. Pemberian anastesi lokal pada batang saraf
menyebabkan paralisis sensorik dan motorik di daerah yang dipersarafnya. Paralisis
saraf oleh anastesi lokal bersifat reversibel tanpa merusak serabut atau sel saraf.
Anastesi lokal pertama ditemukan adalah kokain, suatu alkaloid yang
terdapat dalam daun Erythroxylon Coca.

2. Tujuan Percobaan
Memahami / mengukur / membandingkan efek anastesi lokal yang terjadi
pada kulit yang ditetesi Lidikain HCl dan yang diolesi Benzokian salep (probandus)
Masing-masing kelompok menunjuk 2 orang, probandus pertama
menggunakan salep Benzokain dan yang kedua menggunakan Lidokain HCl.

3. Prosedur Percobaan
a. Tiap kelompok mahasiswa memilih 2 (dua) orang probandus seorang untuk
percobaan Lidokain dan seorang lagi untuk percobaan Benzokain salep.
b. Tempat yang kan diuji (telapak tangan dan permukaan kulit di tangan)
masing-masing disterilisasi dahulu dengan kapas yang telah dibasahi alkohol.
c. Tetesi 2 tetes lidokain injeksi / olesi dengan salep benzokain, kemudian
masing-masing ditandai dengan balllpoint daerah yang terkena obat anastesi
lokal.
d. Setelah ditetesi / diolesi, segera lakukan test kekebalan (anastesi) dengan
jalan menusuk-nusuk daeraha yang ditandai dengan ballpoint tadi, hitung waktu
mulai terjadinya anastesi.
e. Teruskan test kekebalan sampai di luar batas tanda, ukur berapa milimeter
kekbalan diluar batas tanda.

11
f. Test kekebalan diteruskan dengan interval waktu test setiap 5 menit, sampai
kekebalan hilang (kembali normal).
g. Catat waktu didapatkan untuk setiap kejadian dalam sebuah tabel, kemudian
gambarkan lingkaran tempat anastesi lokal dibuat sebagai berikut :

Batas anastesi yang masih terasa kebal

Daerah yang terkena obat anastesi lokal

h. Buat kesimpulan dari hasi percobaan didalam jurnal praktikum.

4. Hasil
5. Kesimpulan

OBAT-OBAT OTONOM SIMOPATOMIMETIKA

12
1. Pendahuluan
Sistem saraf otonom merupakan saarf yang tidak dapat dikendalikan oleh
kesadaran. Sistem saraf ini berfungsi mengendalikan organ-organ tubuh bagian dalam
misalnya jantung, saluran nafas, saluran cerna, kelenjar-kelenjar dan pembuluh darah.
Secara umum dapat dikatakan bahwa system simpatis dan parasimpatis
memperlihatkan fungsi antagonis. Bila yang satu menghambat suatu fungsi maka
yang lain memacu fungsi tersebut. Contoh midriasis terjadi di bawah pengaruh saraf
simpatis dan miosis di bawah pengaruh parasimpatis.

Respon sel efektron perangsangan saraf otonom.


Organ Efektron Implus Adrenergic/simpatis Implus Kolinergik/P.simpatis
Mata Midriasis Miosis
Jantung Denyut bertambah Denyut menurun
Vena Konstriksi, dilatasi -
Sekresi Kel. Lmbng Berkurang Bertambah
Alat kelamin Ejakulasi Ereksi
Kel. keringat Sekresi local Sekresi umum

2. Tujuan Percobaan
Memahami efek beberapa obat pada system saraf simpatis terutama pada mata.

Hewan Percobaan : Kelinci Albino


Alat alat yang digunakan:
a. Penggaris dengan skala millimeter
b. Pipet tetes
c. Lampu senter
Obat :
a. Efedrine 0,036%
b. Epinephrine 0,086%
c. Prostigmin 0,02%
3. Prosedur Percobaan
1. Tiap kelompok mahasisiwa bekerja dengan satu kelinci.

13
2. Tetesi mata kanan dengan 2 tetes efedrin, lima menit kemudian
bandingkan mata kanan dengan mata kiri. Kemudian mata kiri ditetesi dengan 2
tetes adrenalin dan 15-20 menit kemudian bandingkan antara mata dan mata kiri.
Test terhadap refleks cahaya (dengan lampu senter) refleks kornea, keadaan vasa
darah yang konjungtiva.
3. Dua puluh menit kemudian tetesi mata kanan dengan prostagmin 2
tetes, catat apa yang terjadi.
4. Sepeluh menit kemudian tetesi mata kiri dengan efedrin 2 tetes, catat
apa yang terjadi.
5. Buat data tabulasi diameter pupil mata yang ditetesi dengan masing-
masing obat, kesimpulan.

4. Data Hasil Percobaan


Data 1
Mata Kanan Mata Kiri
Waktu Obat Refleks
V H V H
0 - 0,8 1,2 0,8 1,2 Normal
5 2 tetes efedrine 1,0 1,2 - - Masih Ada
7 2 tetes epinefrine - - 1,1 1,3 Masih Ada
30 2 tetes pilocarpin 0,8 1,0 - - Masih Ada
40 2 tetes efedrine - - 1,3 1,4 Maih Ada

Data 2
Mata Kanan Mata Kiri
Waktu Obat Refleks
V H V H
0 - 0,7 1,0 0,75 1,1 Normal
5 2 tetes efedrine 0,9, 1,2 - - Masih Ada
7 2 tetes epinefrine - - 1,0 1,3 Masih Ada
30 2 tetes pilocarpin 0,65 0,9 - - Masih Ada
40 2 tetes efedrine 0,7 1,0 1,3 1,5 Maih Ada
5. Kesimpulan
MATA KANAN:

Efedrin memberikan efek midriatik setelah 5 menit obat diteteskan dan


berlangsung sampai menit ke 25.
Setelah diteteskan Pilocarpin, pupil mata menunjukkan keadaan
miosis/mengecil yang berlangsung selama 1O menit

14
Selanjutnya setelah diberikan Epinefrin, pupil mata kembali normal.
Pada mata kanan ketiga tetes mata tsb menunjukkan efek yang sesuai dengan
khasiat masing-masing

MATA KIRI:

Epinefrine memberikan efek midriasis terhadap mata kiri, setelah


diteteskan obat pada menit ke 7, setelh dibandingkan dengan mata kanan yang
ditetes ephedrine.
Efedrin memberikan efek midriasis pada pupil mata setelah 5 menit
diteteskan dan berlangsung selama 30 menit

Diantara ephedrine dan efenefrine yang memberikan efek midriatik paling besar
adalah efenefrine.

OBAT OBAT OTONOM PARASIMPATOMIMETIKA

1. Pendahuluan
Obat parasimpatomimetika misalnya Pilokarpin bisa bekerja langsung memacu
reseptor muskarinik, atau tidak langsung misalnya Fisostigmin (Prostigmin) yaitu

15
dengan cara menghambat enzim kolin estrase. Penghambat saraf simpatis dan
parasimpatis bertitik tangkap pada reseptor muskarink misalnya Atropin.

2. Tujuan Percobaan
Memahami efek beberapa macam obat pada system saraf parasimpatis.
Hewan Percobaan : Kelinci Albino
Alat alat yang digunakan :
a. Penggaris dengan skala milimetr
b. Pipet tetes
c. Lampu senter
Obat :
a. Prostigmin (Neostigmin) 0,023%
b. Pilokarpine HCl 0,001%
c. Atropin Sulfat 0,025%

3. Prosedur Percobaan
a. Tiap kelompok mahasiswa bekerja dengan 1 ekor kelinci, perlakuan kelinci
dengan baik dan tenang.
b. Ukur pupil horizontal maupun vertical baik waktu disinari maupun tidak,
catat hasilnya.
c. Teteskan 2 tetes Pilokarpin HCl pada sakus konjungtivalis kanan dan 2 tetes
pada mata kiri. Catat perubahan-perubahan yang terjadi.
d. Jika miosis sudah terjadi maksimal pada kedua mata, mata kakan dan kiri
masing-masing ditetesi dengan 2 tetes Atropin Sulfat, catat apa yang terjadi
e. Dua puluh menit kemudian mata kanan ditetesi dengan 2 tetets Prostigmin,
catat apa yang terjadi.
4. Data Hasil Percobaan
Data 1

UKURAN TETESI TETESI


WAKTU ORGAN
NORMAL PILOKARPIN ATROPIN
0 Mata Kanan H = 0,32 - -

16
V = 0,32
H = 0,31
Mata Kiri - -
V = 0,31
H = 0,29
Mata Kanan - -
V = 0,28
5
H = 0,27
Mata Kiri - -
V = 0,28
H = 0,22
Mata Kanan - -
V = 0,21
7
H = 0,23
Mata Kiri - -
V = 0,22
H = 0,30
Mata Kanan - -
V = 0,31
10
H = 0,32
Mata Kiri - -
V = 0,31
H = 0,27
Mata Kanan - -
V = 0,26
30
H = 0,28
Mata Kiri - -
V = 0,27

Data 2

UKURAN TETESI TETESI


WAKTU ORGAN
NORMAL PILOKARPIN ATROPIN
H = 0,35
Mata Kanan - -
V = 0,36
0
H = 0,34
Mata Kiri - -
V = 0,35
5 H = 0,30
Mata Kanan - -
V = 0,31
Mata Kiri - H = 0,29 -

17
V = 0,28
H = 0,24
Mata Kanan - -
V = 0,25
7
H = 0,23
Mata Kiri - -
V = 0,22
H = 0,31
Mata Kanan - -
V = 0,32
10
H = 0,32
Mata Kiri - -
V = 0,31
H = 0,28
Mata Kanan - -
V = 0,27
30
H = 0,29
Mata Kiri - -
V = 0,28

5. Kesimpulan :
Mata Kanan dan mata kiri :

Tetes mata pilokarpin memberikan efek miosis setelah 10 menit mata diteteskan
obat.
Tetes mata Atropin memberikan efek midriatik sehingga pupil membesar setelah
5 menit diteteskan pada mata kelinci, namun aksi midriatiknya hanya berselang 5
menit hingga menit ke 20, 5 menit selanjutnya pupil mata kembali normal (pada
menit ke 25). Dan kembali mengecil setelah ditetesi pilocarpin.
SEDATIVA DAN HIPNOTIKA

1. Pendahuluan
Sedativ adala obat yang dapat menimbulkan keadaan sedasi (tenang, ngantuk).
Sedangkan hipnotik adalah obat yang dapat menyebabakan tidur. Dalam dosis tinggi
obat sdativ dapat menyebabkan hipnotik (tidu), barbiturate selain sebagai sedative
dan hipnotik juga mempunyai efek kejang, memperkuat efek, mengurangi rasa sakit
(analgetik) bila dikombinasi dengan obat penghilang rasa sakit. Diazepam dari
golongan benzodiazepine selain memberi efek sedasi dan hipnotik juga memberi
efek anti kejang dan anti ansietas.

2. Tujuan Percobaan
18
Memahami efek sedasi dan hipnotis
Hewan percobaan: 2 ekor kelinci untuk seluruh kelompok
Alat dan Bahan :
a. Spuit injeksi steril 1 ml
b. Stetoskop
c. Penggaris
d. Stopwatch
e. Kapas
f. Alkohol 70%
Obat :
a. Diazepam injeksi
b. Fenobarbital injeksi

3. Prosedur Percobaan
a. Kelompok mahasiswa dibagi 2 dan masing-masing dengan 1 kelinci.
b. Kelinci 1 mendapat suntikan Diazepam injeksi melalui vena marginalis telinga
bagian dorsal dosis 0,2 ml.
c. Kelinci 2 mendapat suntikan fenobarbital 0,4 ml melalui intra muscular (paha).
d. Amati keadaan yang terjadi, sedasi dengan hipnotik, posisi punggung pada saat
tidur (hypnosis).
e. Catat waktu/keadaan sebelum dan sesudah pemberian obat, pupil mata,
frekuensi denyut jantung, pernafasan, tingkah laku dan aktifitas sampai kembali
sadar seperti semula.
f. Buat tabulasi data dan kesimpulan akhir jurnal praktikum.

4. Data Hasil Percobaan


SEBELUM PERCOBAAN ONSET

OBAT FREKUENSI FREKUENSI


PUPIL AKTIVITAS MENIT PUPIL AKTIVITAS
DJ R DJ R

DIAZEPAM 0.59 152 172 AKTIF 01.45 0,405 124 56 SEDATIF


0,2 ML I.V
0,445 128 52 SEDATIF

19
0,59 136 160 SEDATIF
08.48
0,59 152 172 AKTIF

LUMINAL 0,7 161 175 AKTIF 03.29 0,5 59 42 Mati (plus)

0,4 ML I.M

5. Kesimpulan
Pemberian obat secara intra vena lebih cepat aksi kerjanya daripada pemberian
secara intra muscular.
Diazepam mempunyai aksi kerja sedativa hipnotika yang lebih kuat
dibandingkan luminal.
yang diinjeksi dengan luminal di suntik 2x sehingga dosisnya 2x lebih besar dan
menyebabkan kematian karena over dosis.
Hal ini karena pada penyuntikan pertama setelah 30 menit tidak menimbulkan efek.
EFEK OBAT-OBAT OTONOM TERHADAP JANTUNG KODOK

1. Pendahuluan
Jantung dapat di ibaratkan suatu pompa berganda yang terdiri dari bagian
kanan dan kiri. Bagian kanan memompa darah dari paru-paru ketubuh. Setiap
bagian terdiri dari dua kompartimen diatas serambi (atrium) dan dibawah
bilik( ventrikulus). Antara serambi dan bilik terdapat katup, begitu pula antara bilik
dan aorta (arteri besar). Fungsi keempat katup ini adalah untuk menjamin darah
mengalir ke hanya satu jurusan. Kerja jantung dipengaruhi oleh susunan saraf
otonom yakni saraf yang bekerja menurut aturannya sendiri. Saraf otonom dibagi
menjadi dua cabang yaitu saraf ortosimpatis dan saraf parasimpatis. Sisten saraf
parimpatis (adrenergik) menimbulkan reaksi yang perlu guna meningkatkan
penggunaan zat oleh tubuh, sebaliknya bila saraf parasimpatis (kolinergi) yang
dirangsang, maka akan timbul efek dengan tujuan menghemat penggunaan zat dan
mengumpulkan energi.
Zat-zat yang bekerja terhadap saraf ortosimpatis
20
Adrenergik (simpatikomimetika) : efinefrin, efedrin, dopamin,
dobutamin, isoprenalin, dan amfetamin.
Adrenolitik (Simpatikolitika) : propanol,dll.
Zat-zat yang bekerja terhadap saraf parasimpatis
Parasimpatikomimetika (kolinergik): pilokarpin, fisostigmin, dll.
Parasimpatikolitika (antikolinergik): atropin, propantelin, dll.

2. Maksud dan Tujuan


Mahasiswa dapat mengetahui mana zat-zat yang bekerja terhadap saraf
ortosimpatis dan saraf parasimpatis.
Mahasiswa dapat mengetahui bagaimana efek-efek obat saraf otonom tersebut
langsung terhadap jantung hewan coba(kodok).

3. Alat dan Bahan


Alat :
Pipet tetes
Pisau bedah
Gunting bedah
Pinset
Kapas
Papan
Bahan :
Kodok 4 ekor
Injeksi efedrin, efinefrin, dopamin, dobutamin,infusa NaCl, pilokarpin,
atropine sulfat

4. Prosedur
1. Siapkan kodok, kemudian kodok dianastesi menggunakan kapas yang telah
dibasahi eter.

21
2. Bedah perut kodok dengan gunting bedah.
3. Bersihkan jantung kodok dengan infusa NaCl isotonis.
4. Tetesi efedrin diorgan jantung kodok, amati reaksi yang terjadi. Hitung denyut
jantung kodok.
5. Bilas kembali dengan infusa NaCl isotonis.
6. Lakukan kembali langkah ke 5 untuk masing-masing obat.

5. Data hasil percobaan


Data 1
No Nama Obat Denyut Jantung
1 Sebelum diberi obat @ 15 detik: 17 x 4 = 68
2 Efedrin 18 x 4 = 72
3 Epinefrin 19 x 4 = 76
4 Dopamin/ Dobutamin 20 x 4 = 80
5 Pilocarpin 15 x 4 = 60
6 Atropin sulfat 16 x 4 = 64

Data 2
No Nama Obat Denyut Jantung
1 Sebelum diberi obat @ 15 detik: 17 x 4 = 68
2 Efedrin 13 x 4 = 52
3 Epinefrin 15 x 4 = 60
4 Dopamin/ Dobutamin 16 x 4 = 64
5 Pilocarpin 15 x 4 = 60
6 Atropin sulfat 16 x 4 = 64

22
6. Kesimpulan
1. Pada pemberian zat-zat adrenergik, denyut jantung kodok bertambah.
2. Dopamin/dobutamin memperkuat atau menambah denyut jantung paling tinggi.
3. Efek efinefrin lebih kuat dibandingkan efedrin.
Efinefrin dan efedrin sama bekerja terhadap reseptor dan ,tetapi efinefrin
lebih bekerja terhadap reseptor , yang mana reseptor ini brperan dalam
stimulasi jantung dan bronchodilatasi.
4. Efedrin merupakan adrenergik terlemah dibandingkan efinefrin dan dopamin
atau dobutamin.
5. Pilokarpin dan atropin sulfat memperlemah kerja dan denyut jantung.
6. Kerja atropin sebagai kolinergik lebih tinggi dengan pilokarpin.
7. Pada data 2 efedrin, epinefrin dan dopamine tidak memberikan efek yang
semestinya yakni memperkuat denyut jantung kodok. Ini dikarenakan perbedaan
fisiologis masing-masing kodok.

23
RUTE PEMBERIAN OBAT

1. Pendahuluan
Disamping faktor formulasi, cara pemberian obat turut menentukan
kecepatan kelengkapan resorbsi obat. Tergantung dari efek yang diinginkan, yaitu
efek sistemik (diseluruh tubuh) atau efek lokal (setempat).Keadaan pasien dan sifat
fisiko kimia obat, dapat dipilih dari banyak cara untuk memberikan obat.

Macam Macam Rute Pemberian Obat


A. Efek Sistemik
1. Oral
Adalah pemberian obat melalui mulut (peroral). Cara ini paling lazim
digunakan karena praktis dan mudah. Namun tidak semua obat memberikan
efek yang optimal bila diberikan peroral
2. Sublingual
3. Injeksi
Subkutan

Intrakutan
Intramuskular

Pemberian obat yang dilakukan didalam otot.

24
Intravena

Injeksi kedalam pembuluh darah, dan menghasilkan efek tercepat.


Intraarteri
Intraperitoneal

Injeksi kedalam ruang selaput perut


Intralumbal

Intrapleura
Intracardial

4. Implantasi Subkutan
5. Rektal
6. Inhalasi
B. Efek Lokal
1. Intranasal
2. Inraokuler dan Intaaurikuler
3. Intravaginal
4. Topikal (kulit)

2. Maksud dan Tujuan


Mahasiswa mampu melakukan cara pemberian obat dengan tepat dan benar.

Mahasiswa mengetahui jenis rute farmakologi yang memberikan efek tercepat dan
terlama.

3. Alat dan Bahan


Alat
Spuit 1 ml, Spuit oral 5 ml
Spidol
Timbangan elektrik
Stopwatch
Bahan
Mencit 4 ekor
Aquadest

25
Phenobarbital serbuk
Phenobarbital injeksi 5%

4. Prosedur
1. Timbang mencit di timbangan elektrik.
2. Tandai mencit.
3. Siapkan cairan injeksi Phenobarbital.
4. Masing masing mencit diberi injeksi phenobarbital melalui rute IM, IV, IP,
Oral.
5. Amati respon yang terjadi pada mencit, lihat pada rute mana respon tercepat
terjadi.
5. Data Hasil Percobaan
Mencit Rute Pemberian Waktu (menit) Respon

5 Sedatif
10 Tidur (Hipnotik)
15 Tidur (Hipnotik)
Mencit 1 Intramuskular
20 Tidur (Hipnotik)
25 Tidur (Hipnotik)
30 Bangun (Masih sedatif)
0 Normal
15 Normal
30 Sedatif
Mencit 2 Intravena
40 Hipnotik
50 Normal
55 Sedatif
0 Normal
5 Sedatif
10 Sedatif
Mencit 3 Intraperitoneal 15 Normal
20 Tidur
25 Tidur
30 tidur
0 Normal
15 Normal
Mencit 4 Oral
30 Sedatif
40 normal

6. Kesimpulan
26
1. Dari keempat rute, IM memberikan efek tercepat.
Banyak hal yang mempengaruhi t 1/2 setiap senyaawa obat termasuk salah satu
diantaranya adalah cara pemberian. Cara pemberian senyawa obat melalui
parenteral memberikan t yang lebih singkat dibandingkan oral. Phenobarbital
mempunyai t 2 sampai 3 hari. Pada pemberian i.m. t nya jelas lebih singkat
oleh karena itu efeknya sudah terlihat dalam beberapa menit setelah disuntikkan.
2. Dari keempat rute, oral memberikan efek terlambat.
Pada pemberian oral efek sangat lama baru dirasakan karena t dari
Phenobarbital itu sendiri memang sangat lama. Selain tiu pada pemberian oral
senyawa obat banyak melewati organ-organ di dalam tubuh. Pertama obat akan
masuk ke dalam lambung terlebih dahulu kemudian obat masuk ke usus. Dari
usus obat akan masuk ke sirkulasi darah kemudian masuk ke hati dan pada
akhirnya baru akan bekerja di organ reseptor. Pada pemberian ini obat juga
mengalami risiko FPE dimana obat mengalami penguraian di hati sebelum
sampai ke tempat kerja yang mana ini berakibat obat tidak terasa efeknya atau
hanya singkat sekali efeknya berlangsung.
3. IV tidak memperlihatkan respon semestinya (dikarenakan mungkin salah di
dalam melakukan tindakan injeksi).
4. Pada pemberian oral, efek sangat singkat terjadi.
5. Selain rute, berat badan juga mempengaruhi respon yang terjadi pada hewan
coba. Mencit 1 (13,3 gr (IM) memberikan efek yang cepat). Mencit IV (34 gr,
oral memberikan efek terlama).

27
DOSIS, RESPON DAN PENENTUAN INDEKS TERAPI

1. Pendahuluan
Dosis obat dapat diberikan pada pasien untuk menghasilkan efek yang
diharapkan tergantung dari banyak faktor, antara lain : usia, bobot badan, kelamin,
besarnya permukaan badan, beratnya penyakit dan keadaan daya tangkis penderita.
Efek suatu senyawa obat tergantung pada jumlah penberian dosisnya. Jika dosis yang
diberikan dibawah dosis ambang (subliminsal dosis), maka tidak akan didapatkan
efek. Respon tergantung pada efek alami yang dapat diukur. Kenaikan dosis mungkin
akan meningkatkan efek pada intensitas tersebut. Seperti itu, efek obat antipiretik atau
hipotensi dapat ditentukan tingkat penggunaannya, dalam arti bahwa luas (range)
temperatur badan dan tekanan darah dapat diukur. Dosis yang menimbulkan efek
terapo pada 50% individu disebut dosis terapi median atau dosis efektif median
(ED50). Dosis letal median (LD50) ialah dosis yang menimbulkan kematian pada 50%
individu, sedangkan TD50 ialah dosis toksis 50%.
Dalam studi farmakodinamik di laboratorium indeks terapi suatu obat dinyatakan
dalam rasio berikut :
Indeks terapi = TD50/ED50 atau LD50/ED50
Akan tetapi, nilai-nilai ekstrim tersebut tidak dapat ditentukan dengan teliti karena
letaknya di bagian kurva yang melengkung dan bahkan hampir mendatar (Setiawati
dkk,2007).

28
2. Maksud dan Tujuan Percobaan
Untuk mengetahui nilai LD50 yang diperoleh dari percobaan.
Untuk mengetahui nilai ED50 yang diperoleh dari percobaan.

Untuk mengetahui nilai indeks terapi dari percobaan.

3. Alat dan Bahan


Alat
syringe 1 ml
spidol permanen
timbangan elektrik
stopwatch
Bahan
mencit 4 ekor
Aquadest
luminal 5%

4. Prosedur
1. Timbang hewan kemudian ditandai.
2. Hitung dosis yang akan diberikan.
3. Pada mencit I, luminal Na 5%, dosis 40 mg/kgBB secara intrapreionial.
4. Pada mencit II, Luminal Na 5%, dosis 80mg/kgBB secara intraperitonial.
5. Pada mencit III, Luminal Na 5%, dosis 160mg/kgBB secara intraperitonial.
6. Pada mencit IV, Luminal Na 5%, dosis 320mg/kgBB secara intraperitonial.
7. Amati dan catat menit ke berapa memberikan respon.
8. Hitung LD50 dan indeks terapi.

5. Data Hasil Percobaan

29
Data 1
MENCIT WAKTU RESPON
0 Normal
5 Sedative, mobilitas berkurang
10 Hipnotik, napas dangkal (ritme nafas satu-satu)
Mencit I 15 Hipnotik, napas dangkal (ritme nafas satu-satu)
20 Hipnotik, napas dangkal (ritme nafas satu-satu)
25 Hipnotik, nafas dangkal, (ritme nafas satu-satu)
30 Mati
0 Normal
5 Normal
10 Sedative
Mencit II 15 Hipnotik
20 Normal tetapi masih memperlihatkan efek sedatif
25 Normal
30 Normal
0 Normal
5 Normal
10 Sedative
Mencit III 15 Sedative
20 Hipnotik
25 Normal, tetapi masih memperlihatkan efek sedative
30 Normal
0 Normal
5 Sedative
10 Sedative
Mencit IV 15 Hipnotik
20 Normal, tetapi masih memperlihatkan efek sedative
25 Hipnotik
30 Hipnotik
KETERANGAN :
Berat mencit I = 11,9 gram
Berat mencit II = 24,5 gram
Berat mencit III = 33,3 gram
Berat mencit IV = 37,2 gram

Perhitungan dosis yang digunakan :

30
Dosis
1) Mencit I = (11,9/1000)x(320/50)
= 0,076 ml
2) Mencit II = (24,5/1000)x (160/50)
= 0,078 ml
3) Mencit III = (33,3/1000)x (80/50)
= 0,053 ml
4) Mencit IV = (37,2/1000) x (40/50)
= 0,029 ml

PERHITUNGAN ED50, LD50,IT


LOG ED 50 = a-b(pi-0.5)
Keterangan:
- a: log dosis terendah yang masih dapat memberikan respon 100% tiap
kelompok
- b: logaritma dosis yang berurutan
a= log 40= 1.602

b= log 80-log 40 = 0.301


pi= 1

Log ED50 = 1.602 - 0.301(1-0.5)= 1.4515


Maka ED50 = 28.28 mg/kgBB

Menghitung LD 50 = log D + d(f+1)


Keterangan:
D= dosis terkecil yang digunakan

31
d= logaritma kelipatan dosis

f= faktor dalam tabel weil


Indeks terapi = LD50/ED50

Data 2
Waktu Mencit 1 Mencit 2 Mencit 3 Mencit 4
0 Aktif Aktif Aktif Aktif
10 Aktif Aktif Aktif Aktif
20 Aktif Sedative Sedative Aktif
30 Aktif Hipnotik Sedative Sedative
40 Sedatif Hipnotik Hipnotik Sedatif
50 Hipnotik Hipnotik Hipnotik Hipnotik
60 Hipnotik Hipnotik Hipnotik Hipnotik
70 Sedative Hipnotik Sedative Sedative
80 Sadar Sedatif Sadar Sadar
Keterangan :
Berat Mencit 1 = 28,86
Berat Mencit 2 = 31,84
Berat Mencit 3 = 30,88
Berat Mencit 4 = 29,80
Dosis
Dosis Mencit 1 = ( 28,86/1000 ) x (40/25 )
= 0,046 mL
Dosis Mencit 2 = (31,84/1000 ) x (320/25)
= 0,40 mL
Dosis Mencit 3 = (30,88/1000 ) x (160/25)
= 0,197 mL
Dosis Mencit 4 = (29,80/1000 ) x (80/25)
= 0,09 mL

6. Kesimpulan
Pada dosis 320mg, hewan percobaan mati.

32
Dosis 40, 80, 160 mg masih memberikan efek terapi.
Nilai indeks terapi tidak bisa diperkirakan karena hewan percobaan yang mati
tidak memenuhi kuota nilai F.
Berat badan mempengaruhi respon obat terhadap tubuh mencit.

33

Anda mungkin juga menyukai