Anda di halaman 1dari 2

A.

DEFINISI BCS (BIOPHARMACEUTICAL CLASSIFICATION SYSTEM)


BCS (Biopharmaceutical Classification System) atau sistem klasifikasi biofarmasetika
adalah suatu model eksperimental yang mengukur permeabilitas dan kelarutan suatu zat dalam
kondisi tertentu. Sistem ini dibuat untuk pemberian obat secara oral.
Bioavaibilitas obat merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan untuk menilai
efektifitas suatu sediaan farmasi. Kecepatan disolusi dan waktu tinggal obat dalam saluran cerna
merupakan faktor yang dapat mempengaruhi bioavaibilitas. Sistem dispersi padat dan sistem
penghantaran obat mukoadhesif merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk
mengatasi permasalahan kecepatan disolusi dan waktu tinggal obat dalam saluran cerna.

B. KLASIFIKASI BIOPHARMACEUTICAL CLASSIFICATION


SYSTEM.
BCS (Biopharmaceutical Classification System) atau sistem klasifikasi biofarmasetika
diklasifikasikan menjadi empat kelas, diantaranya adalah :
1. Kelas I (Permeabilitas tinggi, Kelarutan tinggi)
Misalnya Metoprolol, Diltiazem, Verapamil, Propranolol. Obat kelas I menunjukkan
penyerapan yang tinggi dan disolusi yang tinggi. Senyawa ini umumnya sangat baik diserap.
Senyawa Kelas I diformulasikan sebagai produk dengan pelepasan segera, laju disolusi
umumnya melebihi pengosongan lambung.
Oleh karena itu, hampir 100% penyerapan dapat diharapkan jika setidaknya 85% dari produk
larut dalam 30 menit dalam pengujian disolusi in vitro dalam berbagai nilai pH, oleh karena itu
data bioekivalensi in vivo tidak diperlukan untuk menjamin perbandingan produk.
2. Kelas II (Permeabilitas tinggi, Kelarutan rendah)
Misalnya Fenitoin, Danazol, Ketokonazol, asam mefenamat, Nifedipine. Obat kelas II
memiliki daya serap yang tinggi tetapi laju disolusi rendah. Dalam disolusi obat secara in vivo
maka tingkat penyerapan terbatas kecuali dalam jumlah dosis yang sangat tinggi. Penyerapan
obat untuk kelas II biasanya lebih lambat daripada kelas I dan terjadi selama jangka waktu yang
lama. Korelasi in vitro-in vivo (IVIVC) biasanya diterima untuk obat kelas I dan kelas II.
3. Kelas III (Permeabilitas rendah, Kelarutan tinggi)
Misalnya Simetidin, Acyclovir, Neomycin B, Captopril. Permeabilitas obat berpengaruh
pada tingkat penyerapan obat, namun obat ini mempunyai laju disolusi sangat cepat. Obat ini
menunjukkan variasi yang tinggi dalam tingkat penyerapan obat. Karena pelarutan yang cepat,
variasi ini disebabkan perubahan permeabilitas membran fisiologi dan bukan faktor bentuk
sediaan tersebut. Jika formulasi tidak mengubah permeabilitas atau waktu durasi pencernaan,
maka kriteria kelas I dapat diterapkan.

4. Kelas IV (Permeabilitas rendah, Kelarutan rendah)


Misalnya taxol, hydroclorthiaziade, furosemid. Senyawa ini memiliki bioavailabilitas
yang buruk. Biasanya mereka tidak diserap dengan baik dalam mukosa usus. Senyawa ini tidak
hanya sulit untuk terdisolusi tetapi sekali didisolusi, sering menunjukkan permeabilitas yang
terbatas di mukosa GI. Obat ini cenderung sangat sulit untuk diformulasikan.
C. Batas kelas
1. Sangat larut, yaitu sebuah zat obat dianggap sangat larut ketika kekuatan dosis tertinggi
yang larut dalam kurang dari 250 ml air pada rentang pH 1-7,5
2. Sangat dapat diserap, yaitu sebuah zat obat dianggap sangat permeable ketika tingkat
penyerapan besar dari 90 % dari dosis yang diberikan. Berdasarkan pada keseimbangan
massa atau yang bioekivalensi dapat dinilai berdasarkan uji disolusi in vitro.
3. Kelarutan cepat, yaitu suatu obat dianggap kelarutannya tinggi ketika larut kurang dari
85% dari jumlah pemberian bahan obat dalam waktu 30 menit menggunakan USP
peralatan I atau II dalam volume besar dari 900 ml larutan penyangga.

D. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BIOPHARMACEUTICAL


CLASSIFICATION SYSTEM(BCS)

Faktor-faktor yang mempengaruhi BCS diantaranya adalah :


1. Laju disolusi
Dalam pedoman ini, suatu produk obat dikatakan cepat melarut jika tidak kurang dari
85% dari jumlah berlabel bahan obat larut dalam waktu 30 menit, menurut US Pharmacopeia
(USP) alat disolusi I pada 100 rpm (atau alat disolusi II pada 50 rpm) dalam volume 900 ml atau
kurang di setiap media seperti HCl 0,1 N atau cairan lambung buatan tanpa enzim, larutan buffer
pH 4,5, larutan buffer pH 6,8 atau cairan usus buatan tanpa enzim.
2. Kelarutan
Tujuan dari pendekatan BCS adalah untuk menentukan kesetimbangan kelarutan suatu
obat dalam kondisi pH fisiologis. Profil kelarutan terhadap pH suatu obat uji harus ditentukan
pada 37 1oC dalam media air dengan rentang pH 1-7,5. Kondisi pH untuk penentuan kelarutan
dapat didasarkan pada karakteristik ionisasi obat uji. Misalnya, ketika pKa obat berada di
kisaran 3-5, kelarutan harus ditentukan pada pH = pKa, pH = pKa +1, pH = pKa-1, dan pada pH
= 1 dan 7,5. Minimal dilakukan tiga kali percobaan. Larutan buffer standar yang dijelaskan
dalam USP dapat digunakan dalam studi kelarutan. Jika buffer ini tidak cocok untuk alasan fisik
atau kimia, larutan penyangga lainnya dapat digunakan. PH larutan harus diverifikasi setelah
penambahan obat untuk buffer.
3. Permeabilitas
Permeabilitas didasarkan langsung pada tingkat penyerapan usus suatu obat pada manusia
atau tidak langsung pada pengukuran laju perpindahan massa melintasi membran usus manusia.
Suatu obat dikatakan sangat permeabel ketika tingkat penyerapan pada manusia adalah 90% atau
lebih dari dosis yang diberikan, berdasarkan pada keseimbangan massa atau dibandingkan
dengan dosis pembanding intravena.

Anda mungkin juga menyukai