Anda di halaman 1dari 4

DEMBAS SIMENGUDA:

PESAN KESUBURAN PANEN TAPANULI, SUMATERA UTARA

Oleh
Mega Purwanti Chalida
2525090081

Mata Kuliah
Kritik Tari

Jurusan Seni Tari

Fakultas Bahasa dan Seni

Universitas Negeri Jakarta

2012
Secercah warna merah berpendar di tengah panggung yang gelap. Alunan nyanyian
dari seorang pria yang ditemani oleh gesekan biola, mengawali pertunjukkan tari Dembas
Simenguda yang berasal dari Tapanuli, Sumatera Utara.

Di bagian awal, dua penari wanita berjalan seraya memanggul keranjang di pundak
merekamengelilingi lima wanita yang terduduk membentuk lingkaran di tengah panggung.
Asap pedupaan mengepul dari bokor yang dibawa oleh seorang penari yang berada di tengah
lingkaran. Perlahan ia berjalan keluar dari lingkarannya menuju tepi panggung, meletakkan
bokornya, dan kemudian melakukan gerak menjampi-jampi.

Di bagian pertengahan, musik berubah dari alunan yang lembut menjadi lebih
dinamis. Di panggung telah terisi sepuluh penari wanita dengan busana berwarna hitam yang
serupa, tak lupa dengan keranjang di punggung mereka. Memecah menjadi lima penari di
depan dan di belakang, penari melakukan gerak rampak dengan teknik broken. Keranjang
yang semula hanya terpanggul di punggung, telah menjadi bagian dalam tarian tersebut. Tak
hanya gerak rampak dengan level medium dan tinggi, kesepuluh penari menari dan bermain
dengan keranjang mereka dengan desain level rendah untuk beberapa saat yang cukup lama.

Di bagian akhir, kesepuluh penari mengakhiri gerak rampak mereka dengan jatuh
tersungkur membentuk posisi lingkaran. Seorang penari berdiri dan berjalan untuk
mengambil bokor kemudian mengelilingi penari lainnya. Dengan penari yang membawa
bokor berdiri sebagai pusat dan penari lainnya melakukan gerakan menyembah, maka
berakhir pula pertunjukkan tari yang di tata oleh Puput Astagina dan Amelius Rasyid
tersebut.

Tema yang sederhana menaungi karya tari ini, yaitu mengenai ritual panen. Kegiatan
panen merupakan kegiatan masyarakat yang sangat lekat, terutama untuk masyarakat di
negeri tropis seperti Indonesia. Maka tak heran banyak karya seni di negeri ini berpijak pada
kegiatan tersebut, seperti yang dilakukan oleh kedua koreografer.

Gerak-gerak yang dipilih koreografer dapat dikatakan sederhana, selaras dengan


temamembantu untuk menggambarkan suasana. Meski terkesan biasa, namun di bagian
tertentu seperti ketika penari menari secara rampak dengan level bawah, gerak tersebut
terkesan sulit karena memerlukan penguasaan teknik pernapasan yang baik untuk menjaga
kestabilan gerak.
Desain lantai yang digunakan banyak menggunakan desain sig-sag terutama pada
gerakan rampak, sehingga menampilkan kemegahan komposisi lantai dan menutupi gerak-
gerak yang terkesan biasa. Dengan gerak yang mengalun namun berintensitas cukup kuat dan
pola lantai sig-sag memperlihatkan kerapihan selama gerak rampak dan mengindikasikan
penari memiliki kualitas yang sama. Namun dalam pengekspresian, wajah penari terkesan
datar sehingga kurang menggambarkan dramatik suasana.

Alunan gesekan biola dan nyanyian pembuka sangat memperkuat kesan dramatik di
awal. Namun ketika penyanyi wanita berhenti sejenak dan kemudian penyanyi pria menyanyi
dengan tempo yang lebih cepat, terdengar terlalu kontras seperti menggabungkan dua musik
yang berbeda. Variasi musik berikutnya yang sangat dinamisyang memadukan nyanyian
penyanyi wanita, pria, dan iringan musiksangat mendukung dramatik suasana.

Secara umum, komposisi tari yang digunakan; pola lantai dan desain lantainya,
selaras dengan situasi pentas sehingga panggung tidak tampak lenggang.

Pemilihan properti cukup menarik perhatian penonton. Kesepuluh penari memanggul


keranjang dan kemudian menarikannya dengan gerak yang dinamis. Hal ini memberikan
kesan kehidupan masyarakat petani yang selalu giat dan bersemangat dalam bekerja
sekalipun pekerjaan mereka tidak mudah. Dan gerak rampak yang seringkali dilakukan baik
dengan mengikutsertakan keranjang atau tidak, mengindikasikan bahwa dalam pekerjaannya,
masyarakat petani selalu bekerja bersama.

Nilai religi pun terlihat melalui karya ini, ketika bokor menjadi simbol dalam tarian.
Dari gerak yang dilakukan bersama dengan properti bokor memberikan kesan bahwa dalam
kegiatannya, masyarakat petani tidak pernah terlepas dengan kepercayaan kepada Tuhan
YME. Penggunaan properti bokor yang hanya di awal dan di akhir tarian juga
menggambarkan bahwa dalam kegiatannya, masyarakat petani selalu mengawali dengan
berdoa kepada Tuhan memohon keberkahan dan seusai panen pun mereka juga berdoa
sebagai rasa syukur.

Dari keseluruhan penampilan tari Dembas Simenguda ini, kita bisa melihat kedua
koreografer berusaha mengolah sesuatu yang sederhana, yang dekat dengan kehidupan
masyarakat Indonesia, yaitu masyarakat petani dan kegiatan panennya. Berangkat dari tema
dan gerak-gerak yang sederhana, koreografer menata dengan apik seluruh komponen tari
sehingga sesuatu yang sederhana ini menjadi sajian yang menarik untuk dinikmati.
Dengan bentuk tari representasional simbolik, kedua koreografer menuangkan
kejadian nyata yang diungkapkan kembali dalam bentuk gerak realis dan juga simbolis.
Melalui karya ini, koreografer berhasil menceritakan kemeriahan acara panen dan betapa
selalu bersyukurnya masyarakat petani dalam setiap aktifitasnya.

Nilai tambah dari Dembas Simenguda ini di dapat dari penggunaan musik yang
beragam dalam mendukung dramatik jalan cerita. Beberapa bait nyanyian terdengar begitu
mengena di telinga penonton sehingga mudah teringat. Sekalipun demikian, masih terdapat
musik yang terlalu kontras perpindahannya sehingga seperti menggabungkan 2 musik yang
berbeda

***

Anda mungkin juga menyukai