Anda di halaman 1dari 8

TRADISI KARIYA (PINGITAN) SUKU MUNA

Salah satu dari adat istiadat Suku Muna ialah Kariya (pingitan). Kariya

adalah upacara adat bagi masyarakat muna yang pertama diadakan pada masa

pemerintahan Raja La Ode Husein yang bergelar "omputo sangia" terhadap

putrinya yang bernama Wa Ode Kamomo Kamba. Menurut kaidah bahasa muna

kariya berasal dari kata "kari" yang artinya sikat atau pembersih, dan penuh atau

sesak misalnya mengisi sebuah keranjang dengan suatu benda atau barang sampai

penuh sehingga dalam bahasa muna disebut nokari (sesak).

Pemaknaan dari simbolis nokari atau penuh bahwa perempuan yang di kariya

telah penuh pemahamannya terhadap materi yang disampaikan oleh pemangku

adat atau tokoh agama, khususnya yang berkaitan dengan seluk beluk kehidupan

berumah tangga. Sedangkan makna secara konkrit bahwa kata kariya (Muna)

berarti rebut atau keributan adalah ramai atau keramaian. Dalam acara kariya

dimana sang gadis (kalambe) selama empat hari empat malam ditempatkan dalam

sebuah tempat tertutup (sangi atau sua). Untuk menghilangkan rasa stres para

gadis (kalambe) dalam tempat tersebut maka diselingi dengan acara-acara lain

yaitu rambi wuna, rambi padangga (rambi bajo), mangaro yaitu acara sandiwara

perkelahian. Selama para gadis (kalambe) dalam songi acara rambi wuna, rambi

padangga, dan mangaro senantiasa di demonstrasikan oleh orang-orang atau

golongan yang telah dipilij dan ditetapkan secara adat.

Harfiah dari kariya (keributan atau keramaian) benar adanya, karena pandangan

mata dan pendengaran selama proses pelaksanaan kariya 4 hari 4 malam

senantiasa dirayakan dengan acara pukul gong (rambi) dan mangaro. Ini
disimbolkan bahwa jenis rambi (pukul gong) seperti bersifat ajakan bagi setiap

orang yang mendengarnya untuk hadir di tempat (lokasi) pelaksanaan upacara

agar suasana senantiasa ramai dan semua orang ikut berkumpul yang kemudian

ditetapkan secara adat untuk melakukan demonstrasi rambi (pukul gong).

Padangga adalah merupakan ciri khas yang dapat memberi isyarat kepada semua

orang yang menyaksikan upacara tersebut sebagai suasana kekerabatan sehingga

walaupun orang jauh datang beramai-ramai di tempat itu. Proses ini dilakukan

dengan harapan bahwa seorang wanita ketika telah diisyarati dengan ritual kariya

maka dianggap lengkaplah proses pembersihan diri secara hakiki. Kepercayaan

masyarakat muna bahwa upacara ritual kariya menjadi kewajiban bagi setiap

orang tua yang memiliki anak perempuan, karena itu proses pembersihan diri

melalui ritual kariya menjadi tanggung jawab orang tua. Dalam kaitannya dengan

konsepsi keagamaan bahwa kariya merupakan proses yang berkepanjangan yang

diawali dengan kangkilo (sunat), katoba (pengislaman), hingga sampai pada

pelaksanaan upacara kariya.


TRADISI POSUO (BUTON)

Tradisi Posuo merupakan salah satu tradisi dari Sulawesi Tenggara

tepatnya di daerah Buton. Yang dimaksud Buton secara umum adalah wilayah

Sulawesi Tenggara meliputi Kota Baubau, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten

Buton, dan Kabupaten Buton Utara. Tradisi Posuo yang berkembang di Sulawesi

Tenggara (Buton) sudah berlangsung sejak zaman Kesultanan Buton. Upacara

Posuo diadakan sebagai sarana untuk peralihan status seorang gadis dari remaja

(labuabua) menjadi dewasa (kalambe), serta untuk mempersiapkan

mentalnya. Upacara tersebut dilaksanakan selama delapan hari delapan malam

dalam ruangan khusus yang oleh mayarakat setempat disebut dengan suo. Selama

dikurung di suo, para peserta dijauhkan dari pengaruh dunia luar, baik dari

keluarga maupun lingkungan sekitarnya. Para peserta hanya boleh berhubungan

dengan bhisa (pemimpin Upacara Posuo) yang telah ditunjuk oleh pemangku adat

setempat. Para bhisa akan membimbing dan memberi petuah berupa pesan moral,

spiritual, dan pengetahun membina keluarga yang baik kepada para peserta.Dalam

perkembangan masyarakat Buton, ada 3 jenis Posuo yang mereka kenal dan

sampai saat ini upacara tersebut masih berkembang. Pertama, Posuo Wolio,

merupakan tradisi Posuo awal yang berkembang dalam masyarakat Buton. Kedua,

Posuo Johoro yang berasal dari Johor-Melayu (Malaysia) dan ketiga, Posuo Arabu

yang berkembang setelah Islam masuk ke Buton. Posuo Arabu merupakan hasil

modifikasi nilai-nilai Posuo Wolio dengan nilai-nilai ajaran agama Islam. Posuo

ini diadaptasi oleh Syekh Haji Abdul Ghaniyyu, seorang ulama besar Buton yang

hidup pada pertengahan abad XIX yang menjabat sebagai Kenipulu di Kesultanan
Buton di bawah kepemimpinan Sultan Buton XXIX Muhammad Aydrus

Qaimuddin. Tradisi Posuo Arabu inilah yang masih sering dilaksanakan oleh

masyarakat Buton.

Keistimewaan Upacara Posuo terletak pada prosesinya. Ada tiga tahap yang

mesti dilalui oleh para peserta agar mendapat status sebagai gadis dewasa.

Pertama, sesi pauncura atau pengukuhan peserta sebagai calon peserta Posuo.

Pada tahap ini prosesi dilakukan oleh bhisa senior (parika). Acara tersebut dimulai

dengan tunuana dupa (membakar kemenyan) kemudian dilanjutkan dengan

pembacaan doa. Setelah pembacaan doa selesai, parika melakukan panimpa

(pemberkatan) kepada para peserta dengan memberikan sapuan asap kemenyan ke

tubuh calon. Setelah itu, parika menyampaikan dua pesan, yaitu menjelaskan

tujuan dari diadakannya upacara Posuo diiringi dengan pembacaan nama-nama

para peserta upacara dan memberitahu kepada seluruh peserta dan juga keluarga

bahwa selama upacara dilangsungkan, para peserta diisolasi dari dunia luar dan

hanya boleh berhubungan dengan bhisa yang bertugas menemani para peserta

yang sudah ditunjuk oleh pemangku adat. Kedua, sesi bhaliana yimpo. Kegiatan

ini dilaksanakan setelah upacara berjalan selama lima hari. Pada tahap ini para

peserta diubah posisinya. Jika sebelummnya arah kepala menghadap ke selatan

dan kaki ke arah utara, pada tahap ini kepala peserta dihadapkan ke arah barat dan

kaki ke arah timur. Sesi ini berlangsung sampai hari ke tujuh.

Ketiga, sesi mata kariya. Tahap ini biasanya dilakukan tepat pada malam ke

delapan dengan memandikan seluruh peserta yang ikut dalam Upacara Posuo

menggunakan wadah bhosu (berupa buyung yang terbuat dari tanah liat). Khusus
para peserta yang siap menikah, airnya dicampur dengan bunga cempaka dan

bunga kamboja. Setelah selesai mandi, seluruh peserta didandani dengan busana

ajo kalembe (khusus pakaian gadis dewasa). Biasanya peresmian tersebut

dipimpin oleh istri moji (pejabat Masjid Keraton Buton). Semua Upacara Posuo

dimaksudkan untuk menguji kesucian (keperawanan) seorang gadis. Biasanya hal

ini dapat dilihat dari ada atau tidaknya gendang yang pecah saat ditabuh oleh para

bhisa. Jika ada gendang yang pecah, menunjukkan ada di antara peserta Posuo

yang sudah tidak perawan dan jika tidak ada gendang yang pecah berarti para

peserta diyakini masih perawan.


UPACARA ADAT TOLAKI

Penduduk Sulawesi Tenggara umumnya beragama Islam. Namun demikian

dalam kehidupan sehari-hari masih terlihat sisa-sisa dari kepercayaan mereka

yang terdahulu yang taat hubungannya dengan animisme dan dinamisme. Karena

itu di kalangan masyarakat terdapat berbagai upacara keagamaan yang

dilaksanakan. Misalnya upacara Monahu khau yakni upacara setelah potong padi.

Di kalangan suku Tolaki yang beragama Kristen upacara ini mewujudkan dalam

bentuk kebaktian pengucapan Syukur tahunan yang dilaksanakan di gereja.

Sedangkan di daerah-daerah tertentu upacara manahu udhan, dilakukan sangat

meriah terutama di desa Benua kecamatan Lambuya. Upacara ini dilaksanakan di

lapangan terbuka, selama tiga malam berturut dan dipimpin seorang dukun yang

disebut mbusehe. Saat dilaksanakan biasanya pada bulan September, semalam

sebelum sampai dengan sesudah bulan purnama. Sebagai alat penerangannya

adalah sinar bulan tersebut dan tidak boleh menggunakan lampu.

Kemudian para peserta yang biasanya terdiri dari rakyat petani pada

umumnya, menari bergandengan tangan mengelilingi nilavaka yakni bangunan

darurat tempat menaruh gendang dan alat musik lainnya. Malam ketiga atau

penutupan, pagi-pagi hari diadakan upacara korban atau musehe yang dilakukan

oleh dukun.

Selain upacara yang berhubungan dengan pertanian, maka dalam

kehidupan individu atau siklus kehidupan juga dilakukan berbagai upacara mulai

dari saat seorang wanita hamil, melahirkan, kemudian dewasa, melaksanakan

perkawinan kemudian kematian. Upacara yang berhubungan dengan lingkaran


kehidupan ini antara lain Meosambaki yaitu selamatan bagi anak pertama yang

berusia 7 hari, Mekui atau Mosere Curu yakni pemotongan rambut pada waktu

bayi berumur 7 tahun, biasanya satu sampai empat malam anak ini dikurung, dan

pada upacara ini anak tersebut disunat atau Manggilo. Kemudian upacara Mee Eni

bila anak berusia 15 tahun hingga masa peralihan dari kanak-kanak hingga

dewasa.Dalam upacara ini diadakan perataan gigi dengan benda keras, biasanya

batu atau kikir.

Dalam upacara perkawinan yang lazim, selalu didahului dengan

peminangan. Namun ada juga yang melakukan kawin lari, tanpa peminangan

kepada pihak sang gadis. Karenanya cara perkawinan di daerah Sulawesi

Tenggara dibedakan kedalam 4 macam, yaitu Mesasapu, bentuk perkawinan

dengan peminangan, perkawinan lari bersama disebut Ropolasu atau humbuni,

bila kawin lari dengan paksa oleh pihak laki-laki disebut pinola suako atau

popalaisaka. Dalam perkawinan bawa lari atau lari bersama ini pihak laki-laki

dikenakan sangsi berupa pembayaran yang tinggi kepada orang tua si gadis.

Bentuk perkawinan keempat adalah moruntandole atau uncura yakni bila lamaran

ditolak atau si gadis sudah dipertunangkan dengan pamuda lain, maka pihak orang

tua laki-laki mendesak untuk melaksanakan perkawinan antara anaknya dengan

sigadis saat itu juga.Dalam mengurus mayat suku-suku bangsa di Sulawesi

Tenggara bila seorang raja cara-cara bangsawan meninggal, sebagai pertanda

dipukul gong secara berkepanjangan disebut batubangewea. Di saat nafas terakhir

disembelihkan seekor kerbau yang disebut katu mbenao.


Kemudian kepada semua kerabat diberi tahu dengan mendatanginya, oleh

orang yang diberi tugas dengan membawa perangkat adat berupa lingkaran rotan

dililit tiga dan diikat secarik kain putih. Dengan cara ini, yang didatangi sudah

mengerti bahwa itu merupakan berita kematian.

Setelah mayat disimpan semalam lalu dimasukkan ke dalam tempat

semacam peti mati yang disebut soronga, dibuat dari sebatang pohon. Setelah itu

mayat dalam soronga di bawa ke gua batu atau disimpan dalam rumah-rumah

yang khusus dibuatkan untuk itu, biasanya di tengah hutan.

Anda mungkin juga menyukai