Anda di halaman 1dari 21

Ketoasidosis Diabetik Pada Anak

1. Pendahuluan

Ketoasidosis diabetik adalah kondisi medis darurat yang dapat mengancam jiwa bila
tidak ditangani secara tepat. Ketoasidosis diabetik disebabkan oleh penurunan kadar
insulin efektif di sirkulasi yang terkait dengan peningkatan sejumlah hormon seperti
glukagon, katekolamin, kortisol, dan growth hormone. Ketoasidosis diabetik (KAD)
merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada anak dengan diabetes
mellitus tipe 1 (IDDM). Mortalitas terutama berhubungan dengan edema serebri yang
terjadi sekitar 57% - 87% dari seluruh kematian akibat KAD.1

Peningkatan lipolisis, dengan produksi badan keton (?-hidroksibutirat dan asetoasetat)


akan menyebabkan ketonemia dan asidosis metabolik. Hiperglikemia dan asidosis akan
menghasilkan diuresis osmotik, dehidrasi, dan kehilangan elektrolit. Secara klinis,
ketoasidosis terbagi ke dalam tiga kriteria, yaitu ringan, sedang, dan berat, yang
dibedakan menurut pH serum.2

Risiko KAD pada IDDM adalah 1 10% per pasien per tahun. Risiko meningkat pada
anak dengan kontrol metabolik yang jelek atau sebelumnya pernah mengalami episode
KAD, anak perempuan peripubertal dan remaja, anak dengan gangguan psikiatri
(termasuk gangguan makan), dan kondisi keluarga yang sulit (termasuk status sosial
ekonomi rendah dan masalah asuransi kesehatan). Pengobatan dengan insulin yang tidak
teratur juga dapat memicu terjadinya KAD.3

Anak dengan tanda-tanda KAD berat (durasi gejala yang lama, gangguan sirkulasi, atau
penurunan derajat kesadaran) atau adanya peningkatan risiko edema serebri (termasuk
usia < 5 tahun dan onset baru) harus dipertimbangkan dirawat di unit perawatan intensif
anak. Terdapat lima penanganan prehospital yang penting bagi pasien KAD, yaitu:
penyediaan oksigen dan pemantauan jalan napas, monitoring, pemberian cairan isotonik
intravena dan balance elektrolit, tes glukosa, dan pemeriksaan status mental (termasuk
derajat kesadaran).2,3

Mengingat masih sedikitnya pemahaman mengenai ketoasidosis diabetik dan prosedur


atau konsensus yang terus berkembang dalam penatalaksanaan ketoasidosis diabetik.
Maka, perlu adanya pembahasan mengenai bagaimana metode tatalaksana terkini dalam
menanganai ketoasidosis diabetik pada anak.

2.1 Pengertian

Ketoasidosis Diabetik Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah kondisi medis darurat yang
dapat mengancam jiwa bila tidak ditangani secara tepat. Ketoasidosis diabetik disebabkan
oleh penurunan kadar insulin efektif di sirkulasi yang terkait dengan peningkatan
sejumlah hormon seperti glukagon, katekolamin, kortisol, dan growth hormone. Hal ini
akan memicu peningkatan produksi glukosa oleh hepar dan ginjal disertai penurunan
penggunaan glukosa perifer, sehingga mengakibatkan keadaan hiperglikemia dan
hiperosmolar. Peningkatan lipolisis, dengan produksi badan keton (?-hidroksibutirat dan
asetoasetat) akan menyebabkan ketonemia dan asidosis metabolik. Hiperglikemia dan
asidosis akan menghasilkan diuresis osmotik, dehidrasi, dan kehilangan elektrolit.
Kriteria biokimia untuk diagnosis KAD mencakup hiperglikemia (gula darah > 11
mMol/L / 200 mg/dL) dengan pH vena < 7,3 dan atau bikarbonat < 15 mMol/L). Keadaan
ini juga berkaitan dengan glikosuria, ketonuria, dan ketonemia.1,2

Ketoasidosis diabetik pada umumnya dikategorisasi berdasarkan derajat keparahan


asidosis, dari ringan (pH < 7,30; bikarbonat , 15 mmol/L), moderat (pH < 7,20;
bikarbonat < 10) dan berat (pH < 7,10; bikarbonat < 5,4).4

2.2 Epidemiologi dan Faktor Risiko

Kejadian ketoasidosis diabetik pada anak meliputi wilayah geografik yang luas dan
bervariasi bergantung onset diabetes dan sebanding dengan insidensi IDDM di suatu
wilayah. Frekuensi di Eropa dan Amerika Utara adalah 15% - 16%. Di Kanada dan
Eropa, angka kejadian KAD yang telah dihospitalisasi dan jumlah pasien baru dengan
IDDM telah diteliti, yaitu sebanyak 10 dari 100.000 anak.5

Onset KAD pada IDDM lebih sering terjadi pada anak yang lebih muda (berusia < 4
tahun), memiliki orang tua dengan IDDM, atau mereka yang berasal dari keluarga dengan
status sosial ekonomi rendah. Pemberian dosis tinggi obat-obatan seperti glukokortikoid,
antipsikotik atipik, diazoksida, dan sejumlah immunosuppresan dilaporkan mampu
menimbulkan KAD pada individu yang sebelumnya tidak mengalami IDDM.6

Risiko KAD pada IDDM adalah 1 10% per pasien per tahun. Risiko meningkat pada
anak dengan kontrol metabolik yang jelek atau sebelumnya pernah mengalami episode
KAD, anak perempuan peripubertal dan remaja, anak dengan gangguan psikiatri
(termasuk gangguan makan), dan kondisi keluarga yang sulit (termasuk status sosial
ekonomi rendah dan masalah asuransi kesehatan). Pengobatan dengan insulin yang tidak
teratur juga dapat memicu terjadinya KAD.3

Anak yang mendapat terapi insulin secara teratur dan terkontrol jarang mengalami
episode KAD. Sekitar 75% episode KAD berkaitan dengan kelalaian pemberian insulin
atau pemberian yang salah. Angka mortalitas KAD di sejumlah negara relatif konstan,
yaitu 0,15% di Amerika Serikat, 0,18% di Kanada, 0,31% di Inggris. Di tempat dengan
fasilitas medik yang kurang memadai, risiko kematian KAD relatif tinggi, dan sebagian
penderita mungkin meninggal sebelum mendapatkan terapi.2

Edema serebri terjadi pada 57% - 87% dari seluruh kematian akibat KAD. Insidensi
edema serebri relatif konstan pada sejumlah negara yang diteliti: Amerika Serikat 0,87%,
Kanada 0,46%, Inggris 0,68%. Dari penderita yang bertahan, sekitar 10-26% mengalami
morbiditas yang signifikan. Meski demikian, sejumlah individu ternyata tidak mengalami
peningkatan morbiditas dan mortalitas bermakna setelah kejadian KAD dan edema
serebri.1

Selain edema serebri, penyebab peningkatan angka morbiditas dan mortalitas pada KAD
mencakup hipoglikemia, hipokalemia, hiperkalemia, komplikasi susunan saraf pusat,
hematom, trombosis, sepsis, infeksi, pneumonia aspirasi, edem pulmonar, RDS, dan
emfisema. Beberapa sekuele lanjut yang berkaitan dengan edema serebri dan komplikasi
SSP mencakup insufisiensi hipotalamopituitary, defisiensi growth hormone, dan
defisiensi thyroid-stimulating hormone.2

2.3 Patofisiologi

Interaksi berbagai faktor penyebab defisiensi insulin merupakan kejadian awal sebagai
lanjutan dari kegagalan sel-? secara progresif. Keadaan tersebut dapat berupa penurunan
kadar atau penurunan efektivitas kerja insulin akibat stres fisiologik seperti sepsis dan
peningkatan kadar hormon yang kerjanya berlawanan dengan insulin. Secara bersamaan,
perubahan keseimbangan hormonal tersebut akan meningkatkan produksi glukosa, baik
dari glikogenolisis maupun glukoneogenesis, sementara penggunaan glukosa menurun.
Secara langsung, keadaan ini akan menyebabkan hiperglikemia (kadar glukosa > 11
mmol/L atau > 200 mg/dL), diuresis osmotik, kehilangan elektrolit, dehidrasi, penurunan
laju filtrasi glomerulus, dan hiperosmolaritas.7

Secara bersamaan, lipolisis akan meningkatkan kadar asam lemak bebas, oksidasi akan
turut memfasilitasi glukoneogenesis dan membentuk asam asetoasetat dan hidroksibutirat
(keton) secara berlebihan, sehingga menyebabkan terjadinya asidosis metabolik (pH <
7,3). Keadaan ini juga diperparah oleh semakin meningkatnya asidosis laktat akibat
perfusi jaringan yang buruk. Dehidrasi yang berlangsung progresif, hiperosmolar,
asidosis, dan gangguan elektrolit akan semakin memperberat ketidak-seimbangan
hormonal dan menyebabkan keadaan ini berlanjut membentuk semacam siklus.
Akibatnya, dekompensasi metabolik akan berjalan progresif. Manifestasi klinis berupa
poliuria, polidipsia, dehidrasi, respirasi yang panjang dan dalam, akan menurunkan nilai
pCO2 dan buffer asidosis, menyebabkan keadaan berlanjut menjadi koma. Derajat
keparahan KAD lebih terkait dengan derajat asidosis yang terjadi: ringan (pH 7,2 7,3),
moderat (pH 7,1 7,2), dan berat (pH < 7,1).7

Meskipun dapat terjadi penurunan kadar kalium, adanya hiperkalemia biasanya


didapatkan pada pasien dengan KAD yang mendapat resusitasi cairan. Hiperkalemia
serum terjadi akibat pergeseran distribusi ion kalium dari intrasel ke ekstrasel karena
adanya asidosis akibat defisiensi insulin dan penurunan sekresi tubular renal. Terjadinya
penurunan kadar fosfat dan magnesium serum juga akibat pergeseran ion. Hiponatremia
terjadi akibat efek dilusi akibat osmolaritas serum yang tinggi. Kadar natrium dapat
diukur dengan menambahkan kadar natrium sebanyak 1,6 mEq/L untuk setiap kenaikan
kadar glukosa 100 mg/dL. Peningkatan osmolaritas serum akibat hiperglikemia juga akan
menyebabkan peningkatan osmolaritas intraselular di otak. Koreksi hiperglikemia serum
yang dilakukan secara cepat dapat memperlebar gradien osmolaritas serum dan
intraserebral. Cairan bebas kemudian akan memasuki jaringan otak dan menyebabkan
edema serebri beserta peningkatan risiko herniasi. Oleh sebab itu, resusitasi cairan dan
koreksi hiperkalemia harus dilakukan secara bertahap dengan monitoring ketat.3

Edema serebri pada Ketoasidosis Diabetik


Edema serebri paling sering terjadi pada 4 12 jam setelah terapi diberikan, namun dapat
pula terjadi sebelum terapi dilakukan, dan pada beberapa kasus dapat terjadi kapan pun
selama terapi diberikan (tidak terikat waktu). Gejala dan tanda edema serebri cukup
bervariasi dan meliputi keluhan nyeri kepala, penurunan bertahap atau memburuknya
derajat kesadaran, nadi yang melambat, dan tekanan darah yang meningkat.2,4

Pada penelitian in vitro pada hewan coba dan manusia, terjadinya edema serebri dipicu
oleh penyebab lain (misalnya trauma dan stroke) menunjukkan bahwa mekanisme
etiopatologik edema serebri pada KAD cukup kompleks. Sejumlah mekanisme telah
dianalisis, termasuk peranan iskemia/hipoksia serebral dan peningkatan berbagai
mediator inflamasi, yang akan meningkatkan aliran darah ke otak serta mengganggu
transpor ion dan air melalui membran sel. Adanya osmolit organik intraselular
(mioinositol dan taurin) dan ketidakseimbangan osmotik selular juga merupakan faktor
yang penting. Pada pemeriksaan imaging anak dengan KAD menggunakan
ultrasonografi, CT Scan, dan MRI, menunjukkan berbagai derajat edema serebri yang
terjadi meskipun tidak terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial yang
signifikan.2

2.4 Diagnosis

Kriteria biokimia untuk diagnosis KAD mencakup hiperglikemia (gula darah > 11
mmol/L / 200 mg/dL) dengan pH vena < 7,3 dan atau bikarbonat < 15 mmol/L). Keadaan
ini juga berkaitan dengan glikosuria, ketonuria, dan ketonemia.2 Beberapa pemeriksaan
laboratoris dapat diindikasikan pada pasien KAD, yaitu:1,5

Gula darah
- Analisis gula darah diperlukan untuk monitoring perubahan kadar gula darah selama
terapi dilakukan, sekurang-kurangnya satu kali setiap pemberian terapi.
- Pemeriksaan dilakukan setidaknya setiap jam apabila kadar glukosa turun secara
progresif atau bila diberikan infus insulin.

Gas darah
- Pada umumnya, sampel diambil dari darah arteri, namun pengambilan darah dari vena
dan kapiler pada anak dapat dilakukan untuk monitoring asidosis karena lebih mudah
dalam pengambilan dan lebih sedikit menimbulkan trauma pada anak.
- Derajat keparahan ketoasidosis diabetik didefinisikan sebagai berikut: Ringan (pH <
7,30; bikarbonat, 15 mmol/L), moderat (pH < 7,20; bikarbonat < 10 mmol/L) dan berat
(pH < 7,10; bikarbonat < 5,4 mmol/L).

Kalium
- Pada pemeriksaan awal, kadar kalium dapat normal atau meningkat, meskipun kadar
kalium total mengalami penurunan. Hal ini terjadi akibat adanya kebocoran kalium
intraselular. Insulin akan memfasilitasi kalium kembali ke intraselular, dan kadar kalium
mungkin menurun secara cepat selama terapi diberikan.
- Pemeriksaan secara berkala setiap 1-2 jam dilakukan bersamaan dengan monitoring
EKG, terutama pada jam-jam pertama terapi.

Natrium
- Kadar natrium pada umumnya menurun akibat efek dilusi hiperglikemia
- Kadar natrium yang sebenarnya dapat dikalkulasi dengan menambahkan 1,6 mEq/L
natrium untuk setiap kenaikan 100 mg/dL glukosa (1 mmol/L natrium untuk setiap 3
mmol/L glukosa).
- Kadar natrium umumnya meningkat selama terapi
- Apabila kadar natrium tidak meningkat selama terapi, kemungkinan berhubungan
dengan peningkatan risiko edema serebri.

Ureum dan Kreatinin: Peningkatan kadar kreatinin seringkali dipengaruhi oleh senyawa
keton, sehingga memberikan kenaikan palsu. Kadar ureum mungkin dapat memberikan
ukuran dehidrasi yang terjadi pada KAD.

Kadar keton: Pengukuran kadar keton kapiler digunakan sebagai tolok ukur
ketoasidosis, dimana nilainya akan selalu meningkat pada KAD (> 2 mmol/L). Terdapat
dua pengukuran yang dilakukan untuk menilai perbaikan KAD, yaitu nilai pH >7,3 dan
kadar keton kapiler < 1 mmol/L.

Hemoglobin terglikosilasi (HbA1c): Peningkatan HbA1c menentukan diagnosis


diabetes, terutama pada pasien yang tidak mendapat penanganan sesuai standar.
Pemeriksaan darah rutin: Peningkatan kadar leukosit sering ditemukan, meskipun tidak
terdapat infeksi.

Urinalisis: Pemeriksaan urin dilakukan untuk menilai kadar glukosa dan badan keton
per 24 jam, terutama bila pemeriksaan kadar keton kapiler tidak dilakukan.

Insulin: Pemeriksaan ini khusus dilakukan pada anak dengan KAD rekuren, dimana
rendahnya kadar insulin dapat terkonfirmasi. Perlu diperhatikan adanya senyawa analog
insulin yang dapat memberikan nilai palsu dalam hasil pemeriksaan.

Osmolaritas serum: Osmolaritas serum umumnya meningkat.

Pada pemeriksaan imaging (radiologis) dapat dilakukan terhadap pasien KAD, yaitu:5
CT scan kepala dilakukan bila terjadi koma atau keadaan yang menuju ke arah koma,
selain sebagai ukuran dalam menangani edema serebri.
Pemeriksaan radiografi thoraks dilakukan apabila terdapat indikasi klinis.

Pemeriksaan lainnya yang juga perlu dilakukan terhadap pasien KAD, yaitu:5
EKG cukup berguna untuk menentukan status kalium. Perubahan karakter EKG akan
terjadi apabila status kalium terlalu ekstrem.
Perubahan karakter hipokalemia yang terepresentasi pada EKG, yaitu:
- Interval QT memanjang
- Depresi segmen ST
- Gelombang T mendatar atau difasik
- Gelombang U
- Interval PR memanjang
- Blok SA

Hiperkalemia dapat terjadi akibat overkoreksi kehilangan kalium, dengan perubahan


EKG sebagai berikut:
- Kompleks QRS melebar
- Gelombang T tinggi
- Interval PR memanjang
- Gelombang P hilang
- Kompleks QRS difasik
- Asistole

Penilaian rutin derajat kesadaran:


- Menentukan derajat kesadaran per jam sampai dengan 12 jam, terutama pada anak yang
masih muda dan mengalami diabetes untuk pertama kali. Penilaian menggunakan GCS
direkomendasikan untuk penentuan derajat kesadaran.
- Skor maksimum normal GCS adalah 15. Skor 12 atau kurang menunjukkan gangguan
kesadaran yang bermakna. Skor yang terus menurun menunjukkan edema serebri yang
semakin berat.

Beberapa prosedur yang dilakukan terhadap pasien KAD, yaitu:3


Dilakukan pemasangan kateterisasi intravena yang besar untuk keperluan cairan, infus
insulin, drip, dan lain-lain.
Kateterisasi arteri dilakukan pada kondisi: status mental yang buruk, adanya tanda syok
berat, dan adanya tanda asidosis berat.

2.5 Tatalaksana

Anak dengan ketosis dan hiperglikemia tanpa disertai gejala muntah dan dehidrasi berat
dapat diterapi di rumah atau pusat layanan kesehatan terdekat. Namun, untuk
mendapatkan perawatan yang baik, perlu dilakukan reevaluasi berkala dan pemeriksaan
sebaiknya dilakukan oleh dokter ahli. Dokter anak yang telah mendapat pelatihan
penanganan KAD harus terlibat langsung. Anak juga dapat dimonitoring dan diterapi
sesuai standar baku, serta dilakukan berbagai pemeriksaan laboratoris secara berkala
untuk mengevaluasi sejumlah parameter biokimia.8 Anak dengan tanda-tanda KAD berat
(durasi gejala yang lama, gangguan sirkulasi, atau penurunan derajat kesadaran) atau
adanya peningkatan risiko edema serebri (termasuk usia < 5 tahun dan onset baru) harus
dipertimbangkan dirawat di unit perawatan intensif anak. Terdapat lima penanganan
prehospital yang penting bagi pasien KAD, yaitu: penyediaan oksigen dan pemantauan
jalan napas, monitoring, pemberian cairan isotonik intravena, tes glukosa, dan
pemeriksaan status mental.8 Penanganan pasien anak dengan KAD, antara lain:3
Prinsip utama penanganan KAD sesuai dengan resusitasi emergensi dasar, yaitu airway,
breathing, dan circulation.
Sebagai tambahan, pasien dengan KAD harus diberikan diet nothing by mouth,
suplementasi oksigen, dan apabila terjadi kemungkinan infeksi, diberikan antibiotik.
Tujuan utama terapi pada satu jam pertama resusitasi cairan dan pemeriksaan
laboratorium adalah:
- Cairan: pemberian NaCl isotonis bolus, 20 mL/Kg sampai dengan 1 jam atau kurang.
- Glukosa : Tidak diberikan, kecuali bila penurunan glukosa serum mencapai 250 300
mg/dL selama rehidrasi.
Tujuan berikutnya dilakukan pada jam-jam selanjutnya setelah hiperglikemia, asidosis
dan ketosis teratasi, yaitu monitoring, pemeriksaan laboratorium ulang, stabilisasi
glukosa darah pada level 150 - 250 mg/dL.

Monitoring
Perlu dilakukan observasi dan pencatatan per jam mengenai keadaan pasien, mencakup
medikasi oral dan intravena, cairan, hasil laboratorium, selama periode penanganan.
Monitoring yang dilakukan harus mencakup:2
Pengukuran nadi, respirasi, dan tekanan darah per jam.
Pengukuran input dan output cairan setiap jam (atau lebih sering). Apabila terdapat
gangguan derajat kesadaran, maka pemasangan kateterisasi urine perlu dilakukan.
Pada KAD berat, monitoring EKG akan membantu menggambarkan profil hiperkalemia
atau hipokalemia melalui ekspresi gelombang T.
Glukosa darah kapiler harus dimonitor per jam (dapat dibandingkan dengan glukosa
darah vena, mengingat metode kapiler dapat menjadi inakurat pada kasus asidosis atau
perfusi perifer yang buruk)
Tes laboratorium: elektrolit, ureum, hematokrit, glukosa darah, dan gas darah harus
diulangi setiap 2 4 jam. Pada kasus berat, pemeriksaan elektrolit dilakukan per jam.
Peningkatan leukosit menunjukkan adanya stress fisiologik dan bukan merupakan tanda
infeksi.
Observasi status neurologik dilakukan per jam atau lebih sering, untuk menentukan
adanya tanda dan gejala edema serebri: Nyeri kepala, detak jantung melambat, muntah
berulang, peningkatan tekanan darah, penurunan saturasi oksigen, perubahan status
neurologik (gelisah, iritable, mengantuk, atau lemah). Pemeriksaan spesifik neurologik
dapat ditemukan kelumpuhan saraf kranialis atau penurunan respons pupil.

Cairan dan Natrium


Osmolalitas cairan yang tinggi di dalam kompartemen ekstraselular akan menyebabkan
pergeseran gradien cairan dari intrasel ke ekstrasel. Beberapa penelitian terhadap pasien
dengan IDDM yang mendapat terapi insulin menunjukkan defisit cairan sebanyak kurang
lebih 5L bersamaan dengan kehilangan 20% garam natrium dan kalium. Pada saat yang
sama, cairan ekstraselular mengalami penyusutan. Keadaan syok dengan kegagalan
hemodinamik jarang terjadi pada KAD. Pengukuran kadar natrium serum bukan
merupakan ukuran derajat penyusutan cairan ekstrasel terkait efek dilusi cairan.
Osmolalitas efektif (2[Na+ K+] + glukosa) pada saat yang sama berkisar antara 300
350 mOsm/L. Peningkatan ureum nitrogen serum dan hematokrit mungkin dapat
memprediksi derajat penyusutan cairan ekstraselular.2,3

Onset dehidrasi berhubungan dengan penurunan laju filtrasi glomerulus, yang


menyebabkan penurunan regulasi kadar glukosa dan keton yang tinggi di dalam darah.
Penelitian pada manusia menunjukkan bahwa pemberian cairan intravena saja akan
menyebabkan penurunan kadar glukosa darah dalam jumlah yang relatif besar akibat
peningkatan laju filtrasi glomerulus. Tujuan pemberian cairan dan natrium pada KAD,
antara lain:6
Mengembalikan volume sirkulasi efektif.
Mengganti kehilangan natrium dan cairan intrasel maupun ekstrasel.
Mengembalikan laju filtrasi glomerulus dengan meningkatkan clearance glukosa dan
keton dari dalam darah.
Menghindari edema serebri.

Pada penelitian terhadap hewan dan manusia, terlihat bahwa ada kemungkinan terjadi
peningkatan tekanan intrakranial selama pemberian cairan intravena. Pada hewan coba
yang dibuat ke dalam kondisi KAD, tampak bahwa pemberian cairan hipotonik, bila
dibandingkan cairan hipertonik, berkaitan dengan peningkatan tekanan intrakranial. Pada
pemberian cairan isotonik atau yang mendekati isotonik dapat segera mengatasi asidosis,
bila diberikan sesuai standar. Namun, penggunaan cairan isotonis 0,9% dalam jumlah
besar juga memiliki risiko lain, yaitu asidosis metabolik hiperkloremik.2

Belum terdapat data yang mendukung penggunaan koloid dibandingkan kristaloid dalam
tatalaksana KAD. Juga belum terdapat data mengenai pemberian cairan yang lebih encer
dari larutan NaCl 0,45%. Penggunaan cairan ini, yang mengandung sejumlah besar cairan
dan elektrolit, dapat menyebabkan perubahan osmolaritas dengan cepat dan memicu
perpindahan cairan ke dalam kompartemen intraselular.2

Insulin Meskipun rehidrasi saja sudah cukup bermanfaat dalam menurunkan konsentrasi
glukosa darah, pemberian insulin juga tidak kalah penting dalam normalisasi kadar
glukosa darah dan mencegah proses lipolisis dan ketogenesis. Meskipun diberikan
dengan dosis dan cara yang berbeda (subkutan, intramuskular, intravena), telah banyak
bukti yang menunjukkan pemberian insulin intravena dosis rendah merupakan standar
terapi efektif. Penelitian fisiologis menunjukkan bahwa insulin pada dosis 0,1
unit/Kg/jam, yang akan mencapai kadar insulin plasma 100 200 unit/mL dalam 60
menit, cukup efektif. Kadar ini cukup potensial karena mampu mengimbangi
kemungkinan resistensi insulin dan yang paling penting menghambat proses lipolisis
dan ketogenesis, menekan produksi glukosa, dan menstimulasi peningkatan ambilan
glukosa di perifer. Pemulihan asidemia bervariasi bergantung normalisasi kadar glukosa
darah.2,3 Adapun pedoman pemberian insulin pada anak dengan KAD, antara lain:5
Insulin tidak diberikan sampai hipokalemia terkoreksi.
Insulin diberikan 0,1 U/Kg secra bolus intravena, dilanjutkan dengan pemberian 0,1
U/Kg/jam intravena secara konstan melalui jalur infus.
Untuk memberikan drip insulin, penambahan setiap unit regular insulin setara dengan
Kg berat badan pasien untuk setiap 100 mL salin. Pengaturan kecepatan infus adalah 10
mL/jam, sehingga didapatkan dosis 0,1 U/Kg/jam.
Untuk menghindari keadaan hipoglikemia, dapat ditambahkan glukosa secara intravena
apabila glukosa plasma menurun hingga 250 300 mg/dL.

Kalium
Pada orang dewasa dengan KAD, terjadi penurunan kalium hingga 3 6 mmol/Kg.
Namun, pada anak, data yang ada masih sedikit. Sebagian besar kehilangan kalium dari
intrasel adalah hipertonisitas, defisiensi insulin, dan buffering ion hidrogen di dalam sel.
Kadar kalium serum pada awal kejadian dapat normal, meningkat, atau menurun.
Hipokalemia yang terjadi berkaitan dengan perjalanan penyakit yang lama, sedangkan
hiperkalemia terjadi akibat penurunan fungsi renal. Pemberian insulin dan koreksi
asidosis akan memfasilitasi kalium masuk ke intrasel sehingga kadar dalam serum
menurun.3,8

Adapun pedoman pemberian cairan dan kalium pada anak dengan KAD, antara lain:3,7
Berikan larutan NaCl isotonik atau 0,45% dengan suplementasi kalium.
Penambahan kalium berupa kalium klorida, kalium fosfat, atau kalium asetat.
Apabila kadar kalium serum berada pada nilai rendah yang membahayakan,
dipertimbangkan pemberian kalium oral (atau melalui NGT) dalam formulasi cair.
Apabila koreksi hipokalemia lebih cepat daripada pemberian intravena, kecepatan
pemberian harus dikurangi.
Apabila kadar kalium serum < 3,5, tambahkan 40 mEq/L kedalam cairan intravena.
Apabila kadar kalium serum 3,5 5,0, tambahkan 30 mEq/L
Apabila kadar kalium serum 5,0 5,5, tambahkan 20 mEq/L
Apabila kadar kalium serum lebih besar dari 5,5, maka tidak perlu dilakukan
penambahan preparat kalium ke dalam cairan intravena.
Apabila kadar kalium serum tidak diketahui, evaluasi gambaran EKG untuk menilai
profil hiperkalemia pada EKG.

Fosfat
Penurunan kadar fosfat intrasel terjadi akibat diuresis osmotik. Pada dewasa, penurunan
berkisar antara 0,5 2,5 mmol/Kg, sedangkan pada anak belum ada data yang lengkap.
Penurunan kadar fosfat plasma setelah terapi dimulai akan semakin memburuk dengan
pemberian insulin, karena sejumlah besar fosfat akan masuk ke kompartemen intraselular.
Kadar fosfat plasma yang rendah berhubungan dengan gangguan metabolik dalam skala
yang luas, yaitu penurunan kadar eritrosit 2,3-difosfogliserat dan pengaruhnya terhadap
oksigenasi jaringan. Penurunan kadar fosfat plasma akan terjadi sampai beberapa hari
setelah KAD mengalami resolusi. Namun, beberapa penelitian prospektif menunjukkan
tidak adanya keuntungan klinis yang bermakna pada terapi penggantian fosfat. Meski
demikian, dalam upaya menghindari keadaan hipokalemia berat, kalium fosfat dapat
diberikan secara aman yang dikombinasikan dengan kalium klorida atau asetat untuk
menghindari hiperkloremia.2

Asidosis
Asidosis yang berat dapat diatasi dengan pemberian cairan dan insulin. Pemberian insulin
akan menghentikan sintesis asam keton dan memungkinkan asam keton dimetabolisme.
Metabolisme keto-anion akan menghasilkan bikarbonat (HCO3-) dan akan mengoreksi
asidemia secara spontan. Selain itu, penanganan hipovolemia akan memperbaiki perfusi
jaringan dan fungsi renal yang menurun, sehingga akan meningkatkan ekskresi asam
organik dan mencegah asidosis laktat.2

Pada KAD, terjadi peningkatan anion gap. Anion utama dalam hal ini adalah ?-
hidroksibutirat dan asetoasetat.
Anion gap = [Na+] [Cl-] + [HCO3-]
Nilai Normal: 12 2 mmol/L

Indikasi pemberian bikarbonat pada KAD masih belum jelas. Beberapa penelitian
menelaah pemberian natrium bikarbonat kepada sejumlah anak dan dewasa, namun tidak
menunjukkan adanya manfaat yang bermakna.2

Sebaliknya, terdapat beberapa alasan untuk tidak menggunakan bikarbonat. Hal ini
diperkuat oleh kenyataan bahwa terapi bikarbonat dapat menyebabkan asidosis SSP
paradoksikal dan koreksi asidosis yang terlalu cepat dengan bikarbonat akan
menghasilkan keadaan hipokalemia dan meningkatkan penimbunan natrium sehingga
terjadi hipertonisitas serum. Selain itu, terapi alkali dapat meningkatkan produksi badan
keton oleh hepar, sehingga memperlambat pemulihan keadaan ketosis.2,6

Namun, pada pasien tertentu dan pada keadaan tertentu, pemberian terapi alkali justru
memberikan keuntungan, misalnya pada keadaan asidemia sangat berat (pH < 6,9) yang
disertai dengan penurunan kontraktilitas jantung dan vasodilatasi perifer, maka
pemberian terapi alkali ditujukan untuk menangani gangguan perfusi dan hiperkalemia
yang mengancam jiwa.6

Edema Serebri
Terapi edema serebri harus dilakukan sesegera mungkin setelah gejala dan tanda muncul.
Kecepatan pemberian cairan harus dibatasi dan diturunkan. Meskipun manitol
menunjukkan efek yang menguntungkan pada banyak kasus, namun sering kali justru
menimbulkan efek merusak bila pemberian tidak tepat. Pemberian manitol harus
dilakukan sesuai keadaan dan setiap keterlambatan pemberian akan mengurangi
efektivitas. Manitol intravena diberikan 0,25 1,0 g/Kg selama 20 menit pada pasien
dengan tanda edema serebri sebelum terjadi kegagalan respirasi. Pemberian ulang
dilakukan setelah 2 jam apabila tidak terdapat respons positif setelah pemberian awal.
Saline hipertonik (3%), sebanyak 5 10 mL/Kg selama 30 menit dapat digunakan
sebagai pengganti manitol. Intubasi dan ventilasi mungkin perlu dilakukan sesuai kondisi.
Seringkali, hiperventilasi yang ekstrem terkait dengan edema serebri yang terkait dengan
KAD.2,3,7

2.6 Pencegahan

Sebelum Diagnosis
Diagnosis awal mencakup skrining genetik dan imunologi terhadap anak dengan risiko
tinggi KAD terkait onset diabetes mellitus. Kesadaran tinggi terhadap individu dengan
riwayat keluarga dengan IDDM juga akan membantu menurunkan risiko KAD. Berbagai
strategi, seperti publikasi kesehatan oleh dokter dan sekolah pada anak-anak akan
menurunkan komplikasi KAD dari 78% hingga hampir 0%. Peningkatan kesadaran dan
pemahaman masyarakat mengenai tanda dan gejala diabetes harus dilakukan agar
diagnosis dini menjadi lebih mudah dan misdiagnosis dapat dicegah.2,3
Sesudah Diagnosis
Pada pasien dengan terapi insulin kontinu, episode KAD dapat diturunkan dengan
edukasi algoritmik mengenai diabetes mellitus. Setiap gejala yang merujuk pada episode
KAD harus segera ditangani. Pada kasus rekurensi KAD yang multiple, selain dengan
pemberian insulin berkala, juga diberikan edukasi yang baik, evaluasi psikososial, dan
status kesehatan fisik ke pusat pelayanan kesehatan.2

DAFTAR PUSTAKA
1. Syahputra, Muhammad. Diabetik Ketoacidosis. Bagian Biokimia Fakultas kedokteran
Universitas Sumatera Utara, Medan: 2003.hal 1-14
2. Dunger DB, Sperling MA, Acerini CL, et al. European Society for Paediatric
Endocrinology / Lawson Wilkins Pediatric Endocrine Society Consensus Statement on
Diabetic Ketoacidosis in Children and Adolescents. Pediatrics 2004;113:133-40.
3. Young GM. Pediatrics Diabetic Ketoacidosis. eMedicine Specialties, 2008. (Diakses
dari website www.eMedicine.com, pada tanggal 28 Juni 2009).
4. Felner EI, White PC. Improving management of diabetic ketoacidosis in children.
Pediatrics 2001;108:735-40.
5. Lamb WH. Diabetic Ketoacidosis. eMedicine Specialties, 2008. (Diakses dari website
www.eMedicine.com, pada tanggal 28 Juni 2009).
6. Sperling MA. Diabetes Mellitus in Children dalam Nelson Textbook of Pediatrics,
edisi ke-16. editor: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. WB Saunders Company,
2000.hal 1770-1777
7. Wolfsdore J, Glaser N, Sperling MA. Diabetic ketoacidosis in infant, children, and
adolescent: A consensus statement from American Diabetes Association. Diabetes Care
2006;29(5):1050-9.
8. Harris GD, Fiordalisi I. Physiologic management of diabetic ketoacidemia: A 5-year
prospective pediatric experience in 231 episodes. Arch Pediatr Adolesc Med
1994;148:1046-52
Ketoasidosis Diabetes pada Anak
Ketoasidosis diabetes (KAD) adalah suatu keadaan dekompensasi metabolik yang
parah akibat diabetes mellitus. Keadaan ini di tandai dengan produksi badan keton
dan asam keton yang berlebihan menyebabkan terjadinya asidosis metabolik,
biasanya disertai oleh hipoglikemia. KAD adalah gangguan metabolik paling serius
pada DMDI dan merupakan penyebab kematian tersering pada anak diabetes.

Pada KAD terjadi gangguan metabolisme protein, lemak, dan karbohidrat.


Ketoasidosis diabetes mencerminkan suatu keadaan defisiensi insulin mutlak atau
relatif disertai peningkatan berlebihan hormon stress atau pengimbang
(counterregulary). Meningkatnya hormon pengimbang (glukagon, katekolamin dan
growth hormone) dengan kompensatorik insulin yang tidak meningkat
menyebabkan meningkatnya lipolisis dan ketogenesis, hal ini meningkatkan kadar
asam lemak bebas dalam darah, ketosis dan asidosis metabolik. Asam lemak bebas
diserap oleh hepar, tempat asam tersebut diesterifikasi menjadi trigliserida dan
dioksidasi menjadi bahan keton. Kadar glukagon yang biasanya meningkat selama
evolusi KAD, meningkatkan ketogenesis hati dengan mengaktifkan kelompok enzim
karnitin asil-transferase di membran mitokondria. Kerja glukagon tampaknya
berperan penting (mungkin bersifat esensial) dalam pembentukan KAD. Kejadian
pencetus KAD antara lain adalah diagnosis DMDI baru, tidak terdapat insulin secara
sengaja atau tidak sengaja, infeksi, pankreatitis, trauma, stress psikologis, dan
emosi (terutama remaja).

Tanda utama ketoasidosis diabetes adalah ketosis, ketonuria, asidosis metabolik


(bikarbonat serum rendah) dan dehidrasi. Ketosis dan asidosis metabolik berperan
dalam menyebabkan terjadinya gangguan elektrolit dan muntah. Pada keadaan
defisiensi insulin, meningkatnya hormon pengimbang juga merangsang produksi
glukosa melalui glikogenolisis dan glukoneogenesis, kadar glukosa darah biasanya
meningkat (> 250 mg/dL). Seiring dengan meningkatnya kadar glukosa darah,
jumlah glukosa yang muncul dalam ultrafiltrat glomerulus melebihi kemampuan
tubulus proximal ginjal untuk meresorpsi glukosa sehingga terjadi glikosuria.
Dengan terus meningkatnya kadar glukosa darah, terjadi peningkatan glukosuria
hingga laju pengeluaran glukosa melalui urine setara dengan laju pembentukan
glukosa. Saat ini kadar glukosa darah mungkin stabil dalam kisaran 400-600 mg/mL.
Derajat hiperglikemia ini menyebabkan terjadinya diuresis osmotik. Bersamaan
dengan berkurangnya asupan cairan dan muntah (akibat asidosis dan ketosis)
menyebabkan terjadinya dehidrasi.

Menurut rekomendasi British Society of Pediatric Endokrinology Diagnosis KAD


ditegakkan pada anak penderita diabetes yang baru muncul atau yang sudah
terjadi bila ditemukan salah satu dari tujuh gejala berikut:
1. dehidrasi yang signifikan
2. muntah merupakan akibat dari ketonemia

3. nyeri abdomen merupakan akibat dari asidosis

4. respirasi asidosis

5. ketonuria berat

6. sirkulasi perifer yang buruk

7. gangguan tingkat kesadaran (keadaan hipoglikemik sudah disingkirkan)

Penatalaksanaan pada keadaan ketoasidosis diabetes mempunyai tujuan umum


memulihkan dan mempertahankan fungsi ventilasi dan kardiovaskuler yang
memadai, memperbaiki defisit cairan dan ketidakseimbangan elektrolit,
memperbaiki asidosis metabolik, memberikan insulin yang memadai untuk
menghentikan ketogenesis yang sedang berlangsung dan menurunkan glukosa
plasma, menentukan dan mengobati etiologi yang mendasari serta faktor pemicu
KAD serta memantau dan mencegah penyulit terapi.

Pada penatalaksanaan awal dilakukan pembebasan jalan nafas, timbang berat


badan anak, jangan berikan per oral, pasang selang nasogastrik, catat
keseimbangan cairan antara keluaran urine dan muntah, dilakukan pemeriksaan
awal glukosa, elektrolit darah, keseimbangan asam basa, osmolalitas dan skreening
infeksi.

Cairan pemeliharaan yang dibutuhkan dapat diperkirakan sebesar 1500-2000


mL/m2/hari. Penggantian cairan biasanya dapat dilakukan dengan menggunakan
salin 0, 45% yang ditambah garam kalium. Penggantian cairan selama terapi KAD
pada anak dianjurkan untuk diberikan selama 24-36 jam. Hal ini sering dicapai
dengan laju infus 3 hingga 3,5 L/m2/hari.

Pemberian kalium mempertimbangkan hasil kalium serum dan pastikan keluaran


urine yang adekuat sebelum memberikan terapi. Bila kadar kalium pertama adalah
< 5,0 mmol/L berikan cairan i.v 20 mmol/500 ml. periksa kadar elektrolit setiap 2-4
jam. Monitor jantung berguna untuk melihat perubahan gelombang T. Pemberian
terapi insulin menggunakan human insulin yang dapat larut misalnya Actrapid
(Novo). Tidak dibutuhkan pemberian bolus awal. Berikan insulin 0,1 unit/kg/jam,
sesuaikan lagi pemberian infus insulin sampai dapat menurunkan glukosa darah 4-5
mmol/jam. Cara yang cocok adalah memberikan larutan saline normal 49,5 ml dan
50 unit insulin menggunakan syringe pump dan konektor Y. Jangan tambahkan
insulin ke dalam kantong cairan. Bila kadar glukosa darah turun sampai 15 mol/L,
beri insulin subkutan, pertama tiap 4 jam, kemudian tiap 6 jam selanjutnya tiga kali
perhari sebelum makan bila diet ringan dapat ditoleransi.
Penyulit yang berkaitan dengan terapi KAD antara lain hipoglikemia, aspirasi isi
lambung, kelebihan pemberian cairan disertai gagal jantung kongestif dan edema
serebrum. Hipoglikemia dapat dihindari dengan pemantauan kadar glukosa serta
menggunakan cairan yang mengandung dekstrose bila glukosa telah turun di
bawah 250 mg/dL. Aspirasi dihindari dengan pemasangan NGT pada penderita yang
mengalami gangguan status mental dan neurologis. Kelebihan pemberian cairan
dihindari dengan memperhatikan petunjuk terapi cairan secara cermat dan
pemantauan ketat. Edema serebrum mempunyai insidensi sekitar 1-2% pada kasus
ketoasidosis diabetes. Terjadinya edema serebrum karena terjadi pergeseran cepat
osmolalitas intrasel dan ekstrasel, asidosis SSP, hipoksia serebrum, dan pemberian
cairan berlebihan. Pemeriksaan CT scan dan pemantauan tekanan intrakranial
untuk menilai edema membantu penatalaksanaan penyakit ini. Terapi pemberian
manitol dengan dosis relatif kecil yaitu 0,2 g/kg dalam 30 menit disertai
pengulangan dosis setiap jam sesuai dengan perkembangan klinis.

Klasifikasi, Prevalensi dan Insidensi Diabetes Mellitus


pada Anak
Diabetes Mellitus adalah salah satu penyakit kronik yang paling sering mengenai
anak di Amerika Serikat, dan merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas pada orang dewasa. Walaupun sebagian besar morbiditas dan mortalitas
yang telah diketahui berkaitan dengan diabetes mellitus terjadi akibat penyulit
jangka panjang selama masa dewasa, tetapi upaya untuk menangani diabetes
selama masa kanak-kanak merupakan faktor penting untuk menurunkan
peningkatan morbiditas dan mortalitas jangka panjang ini, serta memperbaiki
kualitas hidup anak yang terjangkit diabetes mellitus.

Diabetes mellitus tipe 1 (DMDI) merupakan penyakit kronis akibat proses autoimun
yang merusak sel beta pankreas sehingga produksi insulin berkurang bahkan
berhenti sehingga terjadi hiperglikemia kronis. Insidensinya 1,7 kasus per 1000 dan
kira-kira 123.000 anak yang menderita penyakit ini. Manifestasi penyakit berupa
gangguan metabolik dan dapat terjadi komplikasi jangka pendek seperti hipoglikemi
dan ketoasidosis atau komplikasi jangka panjang akibat perubahan makrovaskuler
dan mikrovaskuler. DMDI tidak dapat disembuhkan tetapi kualitas pertumbuhan
dan perkembangan penderita dapat dipertahankan seoptimal mungkin dengan
kontrol metabolik yang baik. Beberapa integrasi untuk mempertahankan kontrol
metabolik yang baik adalah pemberian insulin, olah raga, pengaturan diet serta
pemeliharaan.

Klasifikasi

Menurut American Diabetes Associations Expert Committee pada tahun 1997 dan
di modifikasi tahun 1999 mengenai diagnosis dan klasifikasi Diabetes mellitus
berdasarkan etiologi diklasifikasikan menjadi 4 kategori utama, yaitu :

1. Type 1 Insulin dependent


DMDI merupakan jenis terbanyak yang memiliki awitan pada masa anak-
anak. Istilah diabetes awitan juvenilis (juvenile-onset diabetes) sebaiknya
tidak lagi digunakan. DMDI saat ini didefinisikan berdasarkan kebutuhan akan
terapi insulin untuk menghindari terjadinya ketosis.

2. Type 2 Non insulin dependent


DMNI dapat memperlihatkan manifestasi awal pada anak-anak (mungkin
sejumlah 5-10%). Hal ini dapat terjadi dalam dua pola tersendiri, serta pada
keadaan jarang dijumpai yaitu subjek mewarisi mutasi pada gen insulin atau
reseptor insulin.

3. Type 3 other specific types


Defek genetic pada fungsi sel (maturity onset diabetes of the young, MODY
type 1-3), penyakit infeksi pada rubella kongenital, obat-obat seperti
kortikosteroid, insufisiensi eksokrin pancreas pada kistik fibrosis, penyakit
endokrin seperti chusing syndrome, syndrome chromosomal pada Downs
dan Turner syndrome.

4. Type 4 Gestasional Diabetes


Diabetes yang awitannya terjadi pada masa hamil dan tidak menetap pada
waktu tidak hamil.

Prevalensi dan Insidensi Diabetes Mellitus pada Anak


Diabetes mellitus dependen insulin (DMDI) adalah salah satu penyakit kronik
tersering yang mulai terjadi pada masa kanak-kanak. Di Amerika Serikat, dijumpai
18 kasus baru per 100.000 penduduk umur di bawah 20 tahun, dengan puncak
umur 10-12 tahun perempuan dan 12-14 tahun laki-laki. Insidensi Diabetes
bervariasi di berbagai negara dan secara umum cenderung lebih rendah di daerah
yang beriklim tropis dibandingkan dengan daerah beriklim sedang atau dingin.
Insidensi tahunan diabetes awitan baru pada anak di Jepang adalah kurang dari 1
kasus per 100.000 anak berisiko, sedangkan di Skandinavia angka tersebut jauh
lebih tinggi, yaitu 25 kasus per 100.000 anak berisiko.

Prevalensi DMDI di antara anggota keluarga tingkat pertama (saudara kandung,


orang tua dan anak) penderita diabetes tipe 1 adalah sekitar 3-5%. Prevalensi
sedikit lebih tinggi (5-10%) apabila kedua orang tua menderita diabetes. Prevalensi
meningkat 25% pada saudara kandung yang HLA-nya identik, tetapi hanya sampai
35-40% pada kembar identik. Prevalensi DMDI pada anak dari ayah diabetik sedikit
lebih tinggi daripada anak dari ibu diabetik. Prevalensi penyakit ini sama di antara
kedua jenis kelamin.

Diabetes mellitus dependen insulin (DMDI) adalah salah satu penyakit kronik
tersering yang mulai terjadi pada masa kanak-kanak. Di Amerika Serikat, dijumpai
18 kasus baru per 100.000 penduduk umur di bawah 20 tahun, dengan puncak
umur 10-12 tahun perempuan dan 12-14 tahun laki-laki. Insidensi Diabetes
bervariasi di berbagai negara dan secara umum cenderung lebih rendah di daerah
yang beriklim tropis dibandingkan dengan daerah beriklim sedang atau dingin.
Insidensi tahunan diabetes awitan baru pada anak di Jepang adalah kurang dari 1
kasus per 100.000 anak berisiko, sedangkan di Skandinavia angka tersebut jauh
lebih tinggi, yaitu 25 kasus per 100.000 anak berisiko.1,2,3

Prevalensi DMDI di antara anggota keluarga tingkat pertama (saudara kandung,


orang tua dan anak) penderita diabetes tipe 1 adalah sekitar 3-5%. Prevalensi
sedikit lebih tinggi (5-10%) apabila kedua orang tua menderita diabetes. Prevalensi
meningkat 25% pada saudara kandung yang HLA-nya identik, tetapi hanya sampai
35-40% pada kembar identik. Prevalensi DMDI pada anak dari ayah diabetik sedikit
lebih tinggi daripada anak dari ibu diabetik. Prevalensi penyakit ini sama di antara
kedua jenis kelamin.

Penatalaksanaan Diabetes Mellitus pada Anak


Penatalaksanaan mencakup komponen utama yaitu insulin, rencana makan dan
nutrisi, olah raga, dan pemantauan. Tujuan keseluruhan dalam penatalaksanaan
jangka panjang DMDI anak adalah menghindari dekompensasi metabolik yang
parah (KAD, hipoglikemi berat), memelihara perasaan sejahtera klinis dan
psikososial, memelihara pertumbuhan dan perkembangan normal, memperkecil
gejala yang berkaitan dengan hipoglikemia atau hiperglikemi, mencegah penyulit
diabetes dan menormalkan glukosa darah.

InsulinSebagian besar anak yang menderita diabetes mellitus mengidap diabetes


mellitus dependen insulin dan memerlukan penggantian insulin sebagai bagian dari
regimen terapetik. Regimen-regimen terapi insulin terangkum dalam tabel

Regimen Terapi Insulin

Suntikan harian tunggal insulin kerja sedang (NPH atau lente)

Suntikan satu atau dua kali sehari campuran insulin kerja


singkat dan sedang dengan dosis tetap, insulin split mixed

Regimen konvensional yang diintensifkan, mencakup regimen


insulin split mixed selain sebagian atau semua dari yang
berikut:

Penyesuaian dosis yang sering dilakukan berdasarkan kadar


glukosa darah

Suplemen harian sebagai antisipasi terhadap perubahan gaya


hidup

Penambahan insulin kerja sedang menjelang tidur untuk


mencegah hiperglikemi pagi hari

Pemakaian insulin kerja lama (ultralente) untuk menstabilkan


glikemia malam hari

Terapi insulin intensif dengan suntikan harian multiple atau


infuse insulin subkutan yang continue

Suntikan harian tunggal insulin kerja sedang jarang berhasil memperbaiki keadaan
klinis dan menghilangkan gejala pada anak dan remaja yang menderita DMDI.
Pemakaian regimen insulin dosis tetap split mixed sering menyebabkan pasien
terbebas dari gejala, tumbuh dan berkembang secara normal, tetapi jarang
menyebabkan normalnya kadar glukosa darah atau sekedar mendekati normal yang
sebenarnya diperlukan untuk mencegah timbul atau berkembangnya penyulit
diabetes. Walaupun banyak yang memilih untuk memulai terapi insulin dalam
bentuk insulin kerja singkat (regular) dosis multiple untuk menentukan kebutuhan
insulin harian sebelum berubah ke regimen dua sampai tiga kali suntikan perhari,
tidak terlihat adanya keuntungan dari pendekatan ini dan mulai pemberian regimen
tipe split mixed dengan dosis awal 0,6-0,75 unit/kg/hari. Untuk anak pra pubertas
kebutuhan insulin eksogen menjadi 0,6-0,9 unit/kg/hari. Pada masa pubertas
meningkat mencapai 1,0 sampai 1,5 unit/kg/hari. Setelah masa pubertas akan
menurun dibawah 0,1 unit/kg/hari.

Farmakokinetik Insulin
Type of insulin Onset of action Main effect Ends

Short acting

Regular h 2-4 h 6-9 h

Humalog or 10-15 min 30-80 min 4h

Novolog

Intermediate

NPH 2-4 h 6-8 h 12-15 h

Long acting

Lantus 1-2 h 2-23 h 24-26 h

Premixed

NPH/Reguler h Variable 12-18 h

NPH/75/25b h 1-8 h 12-15 h

b. Penatalaksanaan gizi dan perencanaan makan


Tujuan utama penatalaksanaan gizi pada DMDI adalah memberikan nutrisi yang
memadai untuk tumbuh kembang dan menyediakan konsistensi komposisi dan
distribusi nutrien sehingga dapat dihitung dosis insulin yang diperlukan untuk
menghasilkan konsentrasi gula darah sebelum makan yang stabil.

Pendekatan penatalaksanaan gizi pada DMDI menggunakan diet bebas dengan


berpantang makanan manis, diet pertukaran, sistem angka, penghitungan
karbohidrat dan glukosa total yang tersedia (TAG).

Asupan kalori harian total harus disesuaikan per orang. Digunakan titik awal 1000
kkal plus 100 kkal per tahun usia setiap hari. Komposisi gizi keseluruhan pada
rencana makanan seyogyanya terdiri dari 45-60% karbohidrat, 15-20% protein dan
25-35% lemak. Karbohidrat yang digunakan sebaiknya karbohidrat kompleks dan
bukan gula sederhana, asupan lemak sebaiknya mengikuti petunjuk untuk
membatasi kolesterol (<300 mg/hari) dan lemak jenuh. Nutrisi paling baik apabila
didistribusikan dalam tiga kali makan dan dua atau tiga kali makanan selingan.
Makanan selingan sebelum tidur dianggap sebagai bagian yang penting diperlukan
untuk mencegah terjadinya hipoglikemi malam hari. Dianjurkan berupa protein
karena memberikan perlindungan tambahan terhadap hipoglikemi malam hari
dengan menghasilkan sumber karbohidrat eksogen yang bertahan lama dan
dengan merangsang peningkatan ringan kadar glukagon dalam darah.

c. Olah raga
Pada pasien DMDI olah raga meningkatkan sensitivitas insulin dan menurunkan
kebutuhan insulin. Otot yang berolahraga menghilangkan glukosa dari sirkulasi
sehingga meningkatkan kadar glukosa darah setelah makan berkurang. Olahraga
meningkatkan penyerapan insulin dari jaringan subkutis, terutama setelah insulin
disuntikan ke bagian atas atau di dekat otot yang berolahraga. Hal ini bermanfaat
untuk mempercepat penyerapan insulin sehingga waktu puncak kerja insulin
memendek dan peningkatan glukosa setelah makan menjadi sedikit. Perlu
diwaspadai terjadinya hipoglikemia setelah oleh raga. Olah raga sebaiknya ditunda
pada pasien yang memiliki kadar glukosa darah lebih dari 300-350 mg/dL.
Disarankan olahraga berupa aerobik sedikitnya 30 menit dalam sehari.1,8

d. Pemantauan
Pemantauan cermat merupakan hal penting pada pengendalian DMDI. Pemantauan
sendiri kadar glukosa darah setiap hari lazimnya empat kali sehari yaitu sebelum
sarapan, sebelum makan siang, sebelum makan malam dan menjelang tidur. Yang
menjadi kendala adalah mahalnya strip reagen glukosa yang cukup mahal meskipun
alat ukurnya murah menjadi faktor penghambat perawatan yang optimal.

Cara informatif untuk memantau pengendalian jangka panjang hiperglikemia pada


diabetes adalah menggunakan uji hemoglobin terglikosilasi. Hemoglobin yang
terglikosilasi mencerminkan molekul hemoglobin yang diikat secara kovalen oleh
glukosa di gugus aminonya. Teknik yang paling sering digunakan untuk menentukan
hemoglobin terglikosilasi adalah dengan mengukur kadar hemoglobin A1 (HbA1)
atau hemoglobin A1c (HbA1c).
Etiologi dan Patogenesis Diabetes Mellitus pada Anak
DMDI adalah penyakit autoimun. Bukti-bukti yang mendukung terjadinya proses
autoimun adalah proses peradangan (insulinitis) di Pulau Langerhans pankreas,
keterkaitan yang jelas dengan penyakit autoimun lain, terutama sebagai bagian dari
sindrom autoimun poliglandular, keterkaitan dengan tipe-tipe HLA (HLA-DR3 atau
DR4) yang sering berkaitan dengan penyakit autoimun, adanya antibodi anti pulau
Langerhans atau auto antibodi insulin dalam darah pasien DMDI saat terdiagnosis,
bukti sitotoksisitas sel T in vitro pada sample darah yang diambil dari penderita
diabetes, kemiripan DMDI dengan model diabetes autoimun pada hewan seperti
pada tikus BB dan mencit NOD, induksi fase remisi yang lama dengan terapi
imunosupresif.

Selama beberapa tahun terakhir, terjadi peningkatan pemahaman mengenai sistem


imun dan mekanisme yang mendasari autoimunitas menyebabkan diabetes.
Beberapa penelitian mengenai proses autoimun yang terjadi pada penyakit lain
mencakup identifikasi (pada tingkat molekular) alel spesifik di lokus DQ kompleks
HLA yang berkaitan dengan (DQ non ASP 57) atau protektif terhadap (DQ non
ASP 57) timbulnya DMDI, adanya antibodi sirkulasi terhadap protein 64-kD yang
kemudian terbukti adalah asam glutamate dekarboksilase (GAD), proteksi relatif
terhadap diabetes oleh pemberian ASI, reaktivitas silang antibodi dalam darah
pasien DMDI dengan suatu sekuensi asam amino yang terdapat di protein susu sapi,
dan kemungkinan proteksi terhadap timbulnya diabetes oleh terapi insulin pada
mencit NOD.
Tanda, Gejala dan Diagnosis Diabetes Mellitus pada Anak
Tanda dan Gejala
Pada diabetes yang belum atau tidak diatasi, jumlah glukosa dalam darah sangat
tinggi (hyperglikemi). Selain itu, selain sel tidak mampu menggunakan glukosa
untuk energi, tubuh harus menggunakan lemak dan protein sebagai sumber energi
alternatif. Proses biokimia internal yang rusak menyebabkan trias klasik yaitu
poliuria, polidipsi dan polifagi. Terdapat bersamaan dengan penurunan berat badan,
rasa lemah, penglihatan kabur serta infeksi lain seperti kandidiasis. Gejala-gejala ini
biasanya sudah ada selama beberapa minggu, atau mungkin beberapa bulan
sebelum pasien ke dokter dan diagnosis ditegakkan.

Diagnosis

Apabila tanda dan gejala sudah ada, diagnosis biasanya mudah ditegakkan dengan
mengukur kadar glukosa darah. Dengan adanya gejala klasik, pengukuran glukosa
darah di atas 200 mg/dL (11,1 mM) dianggap bersifat diagnostik untuk diabetes
mellitus pada anak. Pada pemeriksaan analisis urin didapatkan ketonuria dan
glycosuria. Bila meragukan dapat dilakukan tes glukosa darah puasa didapatkan
hasil lebih dari 126 mg/dL (7 mmol/L). Pemeriksaan HbA1c berguna untuk
mendukung diagnosis dan pengawasan.

Anda mungkin juga menyukai