Anda di halaman 1dari 15

Referat

Demam Tifoid

Oleh:

Melia Shandy Oktapiana , S.Ked

Pembimbing:

dr. Toni Prasetyo, Sp.PD

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
RS PERTAMINA BINTANG AMIN
BANDAR LAMPUNG
2017

1
2

LEMBAR PENGESAHAN

Referat dengan judul:

Demam Tifoid

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RS Pertamina Bintang Amin Bandar


Lampung

Disusun Oleh:

Melia Shandy Oktapiana, S.Ked

Telah diterima dan disetujui oleh dr. Toni Prasetyo, Sp.PD selaku dokter
pembimbing departemen Ilmu Penyakit Dalam RS Pertamina Bintang Amin
Bandar Lampung

Bandar Lampung, Maret 2017

Mengetahui,

Dr. Toni Prasetyo, Sp.PD


3

BAB I

PENDAHULUAN

Demam tifoid masih merupakan penyakit yang sering terjadi di negara

berkembang, namun pemeriksaan diagnostik yang adekuat belum selalu tersedia.

Beberapa negara sudah menjalankan imunisasi tifoid sesuai rekomendasi World

Health Organization (WHO) sehingga sulit menentukan prevalens penyakit

tersebut di dunia. Beberapa sistem surveilans untuk kasus demam tifoid di negara

berkembang sangat terbatas, terutama di tingkat komunitas, sehingga prevalens

penyakit yang sesungguhnya sangat sulit diperoleh. Data surveilans yang tersedia

menunjukkan bahwa pada tahun 2000, estimasi penyakit adalah sebanyak

21.650.974 kasus, kematian terjadi pada 216.510 kasus tifoid dan 5.412.744 pada

penyakit paratifoid. Data tersebut diekstrapolasi dari beberapa penelitian sehingga

dapat kurang tepat, apalagi karena pemeriksaan penunjang diagnosis yang tidak

akurat.1

Demam tifoid adalah infeksi akut pada saluran pencernaan yang

disebabkan oleh salmonella typhi. Demam paratifoid adalah penyakit sejenis yang

disebabkan oleh salmonella paratyphi A,B dan C. Gejala dan tanda penyakit

tersebut hampir sama, tetapi manifestasi klinis paratyphoid lebih ringan.2

Demam tifoid merupakan penyakit demam yang sering ditemukan di

negara berkembang. Pemberian antibiotik menyebabkan perubahan gejala klinis

demam tifoid sehingga gejala demam klasik yang meningkat secara perlahan
4

seperti stepladder dan toksisitas jarang ditemukan. Namun resistensi antimikroba

sering menyebabkan gejala penyakit menjadi berat dan terjadi komplikasi.2

Sampai saat ini, baku emas diagnosis demam tifoid adalah pemeriksaan

biakan empedu walaupun hanya 40%-60% kasus biakan positif, terutama pada

awal perjalanan penyakit. Biakan spesimen tinja dan urin menjadi positif setelah

akhir minggu pertama infeksi, namun sensitivitasnya lebih rendah. Di negara

berkembang, ketersediaan dan penggunaan antibiotik secara luas, menyebabkan

sensitivitas biakan darah menjadi rendah. Biakan sumsum tulang lebih sensitif,

namun sulit dilakukan dalam praktek, invasif, dan kurang digunakan untuk

kesehatan masyarakat.1
5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik


Saat anamnesis akan di dapatkan demam tifoid mengakibatkan 3

kelainan pokok, yaitu:


Demam berkepanjangan,
Gangguan sistem pencernaan,
Gangguan kesadaran.

Demam lebih dari tujuh hari merupakan gejala yang paling

menonjol. Demam ini bisa diikuti dengan gejala tidak khas lainnya, seperti

anoreksia atau batuk. Gangguan saluran pencernaa yang sering terjadi

adalah konstipasi dan obstipasi, meskipun diare juga bisa terjadi. Gejala

lain pada saluran pencernaan adalah mual, muntah, atau perasaan yang

tidak enak diperut. Pada kondisi yang parah, demam tifoid bisa disertai

dengan gangguan kesadaran yang berupa penurunan kesadaran ringan,

apatis, somnolen hingga koma.2

Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-

gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai berat, dari

asimtomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi

hingga kematian.3

Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan

dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu
6

demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah,

obstipasi atau diare, perasaan tidak enak diperut, batuk dan epistaksis.3

Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat.

Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore

hingga malam hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas

berupa demam, bradikardi relatif (bradikardi relatif adalah peningkatan

suhu 1 derajat selsius tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali

permenit), lidah yang berselaput (kotor ditengah, tepi dan ujung merah.3

Diagnosis pasti dibuat berdasarkan adanya salmonella dari darah

mealui kultur. Kondisi isolasi salmonella relatif sulit dan lama, maka

pemeriksaan serologi widal untuk mendeteksi antigen O dan H sering

dipakai sebagai alternatif, meskipun sekitar 30% penderita menunjukan

titer yang tidak meningkat.2

B. Pemeriksaan Penunjang Demam Tifoid

Sampai saat ini, baku emas diagnosis demam tifoid adalah

pemeriksaan biakan empedu walaupun hanya 40%-60% kasus biakan

positif, terutama pada awal perjalanan penyakit. Biakan spesimen tinja dan

urin menjadi positif setelah akhir minggu pertama infeksi, namun

sensitivitasnya lebih rendah. Di negara berkembang, ketersediaan dan

penggunaan antibiotik secara luas, menyebabkan sensitivitas biakan darah

menjadi rendah. Biakan sumsum tulang lebih sensitif, namun sulit


7

dilakukan dalam praktek, invasif, dan kurang digunakan untuk kesehatan

masyarakat.

a. Pemeriksaan hematologi

Pemeriksaan hematologi untuk demam tifoid tidak spesifik. Hitung

leukosit yang rendah sering berhubungan dengan demam dan toksisitas

penyakit, namun kisaran jumlah leukosit bisa lebar. Pada anak yang lebih

muda leukositosis bisa mencapai 20.000-25.000/mm3. Trombositopenia

dapat merupakan marker penyakit berat dan disertai dengan koagulasi

intravaskular diseminata. Pemeriksaan fungsi hati dapat berubah, namun

gangguan hati yang bermakna jarang ditemukan.1

Selain itu juga dapat ditemukan anemia ringan, pada pemeriksaan

hitung jenis leukosit dapat ditemuka aneosinofilia maupun limfonemia.

Laju endap darah pada tifoid dapat meningkat. SGOT SGPT dapat

meningkat namun akan menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT

dan SGPT tidak memerlukan penangan khusus.3

b. Pemeriksaan Widal

Pemeriksaan Widal mengukur kadar antibodi terhadap antigen O

dan H S.typhi dan sudah digunakan lebih dari 100 tahun. Pemeriksaan

Widal memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah dan

penggunaannya sebagai satu satunya pemeriksaan penunjang di daerah

endemis dapat mengakibatkan overdiagnosis. Kadar aglutinin tersebut

diukur dengan menggunakan pengenceran serum berulang. Pada umumnya


8

antibodi O meningkat di hari ke-6-8 dan antibodi H hari ke 10-12 sejak

awal penyakit.1

Maksud uji widal adalah untuk mengetahui aglutinin dalam serum

penderita tersangka demam tifoid yaitu:

Aglutinin O (dari tubuh kuman)


Aglutinin H (flagel kuman)
Aglutinin Vi (simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin H dan O yang

digunakan dalam diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin

tinggi kemungkinan terinfeksi demam tifoid.3


Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada minggu pertama demam,

kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu

keempat, dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-

mula timbul aglutinin O, kemudian diikuti dengan aglutinin H. Pada orang

yang sudah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan,

sedangkan H lebih lama yaitu 9-12 bulan. Oleh karena itu uji widal bukan

untuk menentukan kesembuhan penyakit.3


Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji widal yaitu:
Pengobatan dini dengan antibiotik
Gangguan pembentukan antibodi
Pemberian kortikosteroid
Waktu pengambilan darah
Daerah endemik atau non endemik
Riwayat vaksinasi
Reaksi anamnestik yaitu peningkatan aglutinin akibat infeksi

demam tifoid masa lalu atau vaksinasi


Faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium akibat aglutinasi

silang, dan strain salmonella yang digunakan untuk suspensi

antigen.3
9

Interpretasi pemeriksaan Widal harus dilakukan secara hati-hati

karena beberapa faktor mempengaruhi hasilnya, antara lain stadium

penyakit, pemberian antibiotik, teknik laboratorium, endemisitas penyakit

tifoid, gambaran imunologi masyarakat setempat, dan riwayat imunisasi

demam tifoid. Sensitivitas dan spesifisitas rendah tergantung kualitas

antigen yang digunakan bahkan dapat memberikan hasil negatif pada 30%

sampel biakan positif demam tifoid.1

Pemeriksaan Widal memiliki sensitivitas 40%, spesifisitas 91,4%,

dan nilai prediksi positif 80%. Hasil pemeriksaan Widal positif palsu dapat

terjadi oleh karena reaksi silang dengan non-typhoidal Salmonella,

enterobacteriaceae, pemeriksaan dilakukan di daerah endemis infeksi

dengue dan malaria, riwayat imunisasi tifoid, dan preparat antigen

komersial yang bervariasi serta standardisasi yang kurang baik.

Pemeriksaan Widal seharusnya dilakukan 1-2 minggu kemudian sehingga

kenaikan 4 kali, terutama agglutinin O memiliki nilai diagnostik yang

penting untuk demam tifoid. Titer aglutinin O yang positif dapat berbeda

dari >1/160 sampai >1/320 antar laboratorium tergantung endemisitas

demam tifoid di masyarakat setempat dengan catatan 8 bulan terakhir tidak

mendapat vaksinasi atau baru sembuh dari demam tifoid.1

Pemeriksaan Widal pada serum akut satu kali saja tidak

mempunyai arti penting dan sebaiknya dihindari oleh karena beberapa

alasan, yaitu variablitas alat pemeriksaan, kesulitan memperoleh titer dasar

dengan kondisi stabil, paparan berulang S.typhi di daerah endemis, reaksi


10

silang terhadap non- Salmonella lain, dan kurangnya kemampuan

reprodusibilitas hasil pemeriksaan tersebut. Pemeriksaan serologi untuk

aglutinin Salmonella seperti pemeriksaan Widal bahkan tidak dianjurkan.1

c. Pemeriksaan serologi terhadap spesimen darah

Pemeriksaan diagnostik baru saat ini tersedia, seperti Typhidot atau

Tubex yang mendeteksi antibodi IgM antigen spesifik O9 lipopolisakarida

S. typhi. Dalam dua dekade ini, pemeriksaan antibodi IgM dan IgG

spesifik terhadap antigen S. typhi berdasarkan enzyme-linked

immunosorbent assay (ELISA) berkembang.1

Antigen dipisahkan dari berbagai struktur subselular organisme

antara lain: liposakarida (LPS), outer membrane protein (OMP), flagella

(d-H), dan kapsul (virulence [Vi] antigen). Telah banyak penelitian yang

membuktikan bahwa pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan spesifisitas

hampir 100% pada pasien demam tifoid dengan biakan darah positif S.

typhi. Pemeriksaan antibodi IgM terhadap antigen O9 lipopolisakarida

S.typhi (Tubex)R dan IgM terhadap S.typhi (Typhidot)Rmemiliki

sensitivitas dan spesifitas berkisar 70% dan 80%.9,2, 10Tabel 2

memperlihatkan perbandingan beberapa pemeriksaan penunjang untuk

demam tifoid. Pemeriksaan serologi tersebut dapat dibaca secara visual

dalam waktu 10 menit dengan membandingkan warna akhir reaksi

terhadap skala warna dan nilai > 6 dianggap sebagai positif kuat. Namun

interpretasi hasil serologi yang positif harus dilakukan secara hati-hati


11

pada kasus tersangka demam tifoid di daerah endemis karena IgM dapat

bertahan sampai 3 bulan, sedangkan IgG sampai 6 bulan.1

Uji Typhidot
Uji Typhidot dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang terdapat pada

protein membran luar Salmonella typhi. Hasil positif pada uji Typhidot

didapatkan 2-3 hari setelah infeksi dan dapat mengidentifikasi secara

spesifik antibodi IgG san IgM terhadap antigen S typhi sebesar 50 kD,

yang terdapat pada strip nitroselulosa.3 pada beberapa penelitian uji ini

menunjukan lebih sensitif (mencapai 100%) dan lebih cepat dibandingkan

kultur.
Uji IgM Dipstik

Uji ini secara khusus mendeteksi anti IgM secara spesifik terhadap

S.Typhi pada spesimen serum atau whole blood. Uji ini menggunakan strip

yang mengandung antigen lipopolisakarida (LPS) S.Typhoid dan antigen

IgM (sebagai kontrol), reagen deteksi yang mengandung antibodi anti IgM

yang dilekati dengan lateks pewarna, cairan membasahi stip sebelum di

inkubasi dengan reagen dan serum pasien, tabung uji. Komponem

perlengkapan ini stabil untuk disimpan selama 2 tahun pada suhu 4-25

derajat selsius ditempat kering tanpa paparan sinar matahari.3

House dkk meneliti mengenai penggunaan uji ini dibandingkan

dengan pemeriksaan kultur darah di indonesia dan melaporkan sensitivitas

sebesar 65-77% dam spesifisitas sebesar 95-100%. Pemeriksaan ini mudah

dan cepat (dalam satu hari) dilakukan tanpa peralatan khusus apapun,
12

namun akurasi hasil didapatkan bila pemeriksaan dilakukan sampai satu

minggu setelah timbulnya gejala.3

Uji Tubex
Uji tubex merupakan uji semikuantitatif kolometrik yang cepat

(beberapa menit) dan mudah untuk dikerjakan. Uji ini mendeteksi anti

S.typhi O9 pada serum pasien, dengan cara menghambat ikatan antar IgM

anti O9 yang terkonjugasi pada partikel latex yang berwarna dengan

lipopolisakarida S.typhi yang terkojugasi pada partikel magnetik latex.

Hasil positif uji ini menunjukan terhadap infeksi salmonella serogroup D

walau tida secara spesifik menunjukan pada S.Typhi. infeksi oleh

S.Paratyphi akan memberikan hasil negatif.3


Secara imunologi, antigen O9 bersifat immunodominan sehingga

dapat merangsang respon imun secara independen terhadap timus dan

merangsang mitosis sel B tanpa bantuan sel T. Karena sifat-sifat tersebut,

respon terhadap antigen O9 berlangsung cepat sehingga deteksi terhadap

anti O9 dapat dilakukan lebih dini. Yaitu pada hari ke 4-5 untuk infeksi

primer dan hari ke 2-3 untuk infeksi sekunder. Perlu diketahui bahwa uji

tubex hanya dapat mendeteksi IgM dan tidak dapat mendeteksi IgG

sehingga tidak dapat dipergunakan untuk mendeteksi infeksi masa

lampau.3
Hasil interpretasi uji tubex:
Tabel 2.1 Interpretasi hasil uji tubex

Skor Interpretasi
<2 Negatif Tidak menunjukan infeksi tifoid aktif
3 Berderline Pengukuran tidak dapat disimpulkan.
Ulangi pengujian, apabila masih
13

meragukan lakukan pengulangan


beberapa hari kemudian.
4-5 Positif Menunjukan infeksi tifoid aktif
>6 Positif Indikasi kuat infeksi typhoid

Berbagai penelitian menunjukan uji memiliki sensitivitas dan

spesivitas yang baik (berturut-turut 75-80% dan 75-90%). Pada tahun 2006

di Jakarta, Surya H dkk melakukan penelitian pada 52 sample darah pasien

dengan diagnosis klinis demam tifoid untuk membandingkan spesifisitas,

sensitivitas, positive predictive value (PPV) dan negative predictive value

uji tubex dengan uji widal. Pada penelitian tersebut, didapatkan

sensitivitas uji tubex sebesar 100% (widal 53,1%), spesivisitas 90% (widal

65%), PPV 94,11% (widal 70,8%), NPV 100% (widal 46,4%).3


d. Kultur darah
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan

tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin

disebabkan beberapa hal sebagai berikut:3


Telah mendapt terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan

kultur darah telah mendapat antibiotik, pertumbuhan kuman dalam

media biakan terhambat dan hasil mungkin negatif


Volume darah yang kurang (diperlukan kurang lebih 5cc darah).

Bila darah yang dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif.

Darah yang diambil sebaiknya secara bedside langsung dimasukan

kedalam media cair empedu (oxgall) untuk pertumbuhan kuman.


Riwayat vaksinasi. Vaksinasi masa lampau menimbulkan antibodi

dalam darah pasien. Antibodi atau aglutinin ini dapat menekan

bakterimia hingga biakan darah dapat negatif


14

Saat pengambilan darah saat minggu pertama, pada saat aglutinin

semakin meningkat.3

BAB III
KESIMPULAN

Meskipun berbagai pemeriksaan penunjang baru berkembang, diagnosis

tifoid di negara berkembang masih sering didasarkan atas kriteria klinis. Hal ini

menjadi masalah, karena demam tifoid mirip dengan banyak penyakit demam

tanpa tanda lokal yang jelas. Pada anak, stadium awal perjalanan penyakit demam

enterik dapat menyerupai kondisi gastroenteritis akut lainnya. Untuk itu,

penegakan diagnosis demam tifoid memerlukan pemeriksaan penunjang yang

tepat berupa rapid diagnostic test RDT) yang hasilnya cepat disertai konfirmasi

pemeriksaan biakan empedu yang tetap merupakan baku emas dengan tujuan

memantau apakah penggunaan terapi antibiotik masih sensitif atau resisten.

Pemeriksaan Widal satu kali pada serum akut tidak dianjurkan karena sering

memberikan hasil positif palsu.


15

DAFTAR PUSTAKA

1. Rezeki Sri,dkk. Update management of infectious disease and

gastrointestinal disorders. FKUI. 2016; Jakarta


2. Djojoningrat D. Demam Tifoid. In: Widodo Djoko,editors. Buku ajar

ilmu penyakit dalam. 5 ed. Jakarta: Interna publishing; 2009.


3. Widoyono. Penyakit Tropis ; epidemiologi, pemberantasan,

pencegahan dan penularan. EMS. Semarang: 2011.

Anda mungkin juga menyukai