Referat Sindroma Hepatorenal
Referat Sindroma Hepatorenal
197)
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.....................................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN...........................................................................................ii
KATAPENGANTAR...................................................................................................iii
DAFTARISI..................................................................................................................iv
BAB I
PENDAHULUAN.........................................................................................................1
BAB II
SINDROM HEPATORENAL
2.1 Definisi ....................................................................................................................2
2.2Epidemiologi.............................................................................................................2
2.3
Patofisiologi..............................................................................................................2
BAB III
DIAGNOSIS SINDROM HEPATORENAL
3.1 Gambaran Klinis......................................................................................................6
3.2 Diagnosis..................................................................................................................7
BAB IV
PENATALAKSANAAN SINDROM HEPATORENAL
4.1 Penatalaksanaan Umum ..........................................................................................8
4.2 Penatalaksanaan Medikamentosa.............................................................................8
4.3TindakanInvasif...10
PENCEGAHAN...11
PROGNOSIS12
BAB V
KESIMPULAN............................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................14
BAB I
PENDAHULUAN
Sindroma Hepatorenal merupakan sindroma klinis yang terjadi pada pasien penyakit
hati kronik dan kegagalan hati lanjut serta hipertensi portal yang ditandai oleh penurunan
fungsi ginjal dan abnormalitas yang nyata dari sirkulasi arteri dan aktivitas faktor vasoaktif
endogen.1,2
Pada SHR kelainan yang dijumpai pada ginjal hanya berupa kegagalan fungsi tanpa
ditandai dengan kelainan anatomi. Hal ini dapat dibuktikan bila ginjal tersebut
ditansplantasikan pada penderita lain yang tidak didapati kelainan hati, maka fungsi ginjal
tersebut akan kembali normal atau penderita yang mengalami SHR dilakukan transpalantasi
hati maka fungsi ginjalnya akan kembali normal.
SHR dilaporkan pertama sekali oleh Austin Flint dan Frerichs (1863), yang masing-
masing melaporkan timbulnya oligura pada pasien-pasien sirosis dengan asites, mereka tidak
menemukan adanya perubahan histologi ginjal yang nyata pada pemeriksaan post mortem.
Pierre Vesin salah satu peneliti tentang aspek klinis fungsi ginjal pada sirosis, mengusulkan
definisi SHR dengan nama terminal fungtional renal failure. Beliau menekankan gagal
ginjal pada SHR tidak berhubungan dengan kerusakan struktur ginjal dan berkembangnya
sindroma ini merupakan keadaan terminal dan irreversible pada sirosis dengan asites. Pada
tahun 1956, Hecker dan Sherlock melaporkan sembilan pasien penyakit hati bersamaan
dengan gagal ginjal yang ditandai dengan proteinuria dan ekskresi NA+ yang rendah.6
BAB II
SINDROMA HEPATORENAL
2.1 DEFINISI
2.2 EPIDEMIOLOGI
Sekitar 20% pasien sirosis hepatis dengan asites disertai fungsi ginjal yang normal
akan mengalami sindrom hepatorenal (SHR) setelah 1 tahun dan 39% setelah 5 tahun
perjalanan penyakit.3 Gines dkk melaporkan kemungkinan insiden SHR pada pasien sirosis
hepatis mencapai 18% pada tahun pertama dan akan meningkat hingga 39% pada tahun ke
lima.1,5Pasien dengan peritonitis bakterial spontan memiliki kesempatan sepertiga untuk men-
galami perkembangan menjadi SHR. 2
2.3 PATOFISIOLOGI
Ada dua jenis teori yang dianut untuk menerangkan hipoperfusi ginjal yang timbul
pada penderita SHR. Teori pertama, menjelaskan hipoperfusi ginjal berhubungan dengan
penyakit hati itu sendiri tanpa ada patogenetik yang berhubungan dengan gangguan sistem
hemodinamik. Teori ini berdasarkan hubungan langsung hati ginjal, yang didukung oleh
dua mekanisme yang berbeda yang mana penyakit hati dapat menyebabkan vasokonstriksi
ginjal dengan penurunan pembentukan atau pelepasan vasodilator yang dihasilkan hati yang
dapat menyebabkan pengurangan perfusi ginjal dan pada percobaan binatang diperlihatkan
bahwa hati mengatur fungsi ginjal melalui refleks hepatorenal. Teori kedua menerangkan
bahwa hipoperfusi ginjal berhubungan dengan perubahan patogenetik dalam sistem
hemodinamik dan SHR adalah bentuk terakhir dari pengurangan pengisian arteri pada sirosis.
Vasokonstriktor
Angiotension II
Norepineprine
Neuropeptide Y
Endothelin
Adenosine
Cysteinyl leukotrines
F2-isoprostanes
Vasodilators :
Prostaglandins
Nitric oxide
Natriuretic peptides
Pada sirosis hati, awalnya terjadi bendungan di sistem vena porta akibat penyempitan
pembuluh darah di dalam hati. Tekanan hidrostatik di kapiler meningkat dan jumlah cairan
yang berlebihan akan difiltrasi ke dalam rongga abdomen yang disebut dengan asites. Karena
sinusoid hati memiliki permeabilitas yang tinggi terhadap protein, protein plasma juga
berpindah ke dalam ruang ekstrasel. Selain itu, protein plasma yang dihasilkan di parenkim
hati juga lebih sedikit. Akibatnya, terjadi hipoproteinemia yang menyebabkan filtrasi cairan
plasma meningkat dan mendorong terjadinya edema perifer. Pembentukan asites dan edema
perifer terjadi dengan menggunakan volume plasma yang bersirkulasi, akibatnya terjadi
hipovolemia.7
Dalam perjalanan penyakit yang lebih lanjut terjadi vasodilatasi perifer. Mediator
vasodilatasi (misal, substansi P) dihasilkan di usus dan endotoksin yang dilepaskan oleh
bakteri umumnya didetoksifikasi di hati. Pada sirosis hati, kerusakan parenkim hati dan
peningkatan jumlah darah sirkulasi portal secara langsung akan menuju ke sirkulasi sistemik,
sehingga mediator tersebut dapat masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Mediator memiliki efek
vasodilatasi secara langsung, sedangkan endotoksin memiliki efek vasodilatasi dengan
merangsang sintase nitrat oksida (iNOS). Hal ini dapat menurunkan tekanan darah sehingga
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
Rumah Sakit Angkatan Udara Dr. Esnawan Antariksa
Periode 3 September 10 November 2012
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti 7
Referat Sindroma Hepatorenal Nurul Hidayah (030.07.197)
Inaktivasi mediator hepatik yang tidak total, yang memiliki efek vasokonstriktor
langsung terhadap ginjal (misal,leukotriene) juga berperan pada vasokonstriksi ginjal.
Oleh karena aktivitas sintesis di hati terganggu, kininogen yang dihasilkan menjadi
lebih sedikit sehingga jumlah kinin yang bersifat vasodilatasi menjadi lebih sedikit dan
produksi kinin yang bersifat vasodilatasi menjadi berkurang, mendorong terjadinya
vasokonstriksi di ginjal.
BAB III
Mekanisme klinis penderita SHR ditandai dengan kombinasi antara gagal ginjal,
gangguan sirkulasi dan gagal hati. Gagal ginjal dapat timbul secara perlahan atau progresif
dan biasanya diikuti dengan retensi natrium dan air yang menimbulkan ascites, edema dan
hyponatremia, yang ditandai oleh ekskresi natrium urin yang rendah dan pengurangan
kemampuan buang air (oliguri anuria ). Gangguan sirkulasi sistemik yang berat ditandai
dengan tekanan arteri yang rendah, peningkatan cardiac output, dan penurunan total tahanan
pembuluh darah sistemik.1,2,3
filtrasi glomerulus (BUN dibawah 50 mg/dl dan kreatinin serum < 2 mg / dl). Tidak
seperti tipe I SHR, tipe II SHR biasanya terjadi pada penderita dengan fungsi hati
relatif baik. Biasanya terjadi pada penderita dengan ascites resisten diuretic.
3.2 DIAGNOSIS
1. Penyakit hati akut atau kronik dengan gagal hati lanjut dan hipertensi portal.
2. GFR rendah, keratin serum >1,5 mg/dl atau kreatinin klirens 24 jam < 40
ml/mnt.
3. Tidak ada syok,infeksi bakteri yang sedang berlangsung, kehilangan cairan dan
mendapat obat nefrotoksik.
4. Tidak ada perbaikan fungsi ginjal dengan pemberian plasma ekspander 1,5 ltr
dan diuretik (penurunan kreatinin serum menjadi < 1,5 mg/dl atau
peningkatan kreatinin klirens menjadi > 40 ml/mnt)
5. Proteinuria < 0,5 g/hari dan tidak dijumpai obstruktif uropati atau penyakit
parenkim ginjal secara ultrasonografi.
Kriteria tambahan :
1. Volume urin < 500 ml / hari
2. Natrium urin < 10 meg/liter
3. Osmolalitas urin > osmolalitas plasma
4. Eritrosit urin < 50 /lpb
5. Natrium serum <130 meg / liter
Semua kriteria mayor harus dijumpai dalam menegakkan diagnosis Sindroma Hepatorenal,
sedangkan kriteria tambahan merupakan pendukung untuk diagnosis tersebut.
BAB IV
PENATALAKSANAAN SINDROMA HEPATORENAL
Sampai saat ini belum ada pengobatan efektif untuk SHR oleh karena itu
pencegahannya terjadinya SHR harus mendapatkan perhatian yang utama.
SHR sebagian besar dipacu oleh ketidakseimbangan cairan dan elektrolit pada pasien sirosis
hati. Oleh karena pasien sirosis hati sangat sensitif dengan perubahan keseimbangan cairan
dan elektrolit maka hindari pemakaian diuretic agresif, parasentesis asites, dan retraksi cairan
yang berlebihan. Terapi suportif berupa :
- Peritonitis bakterial spontan pada sirosis hati harus segera diobati sedini dan
seadekuat mungkin
- Hemodialisis belum pernah secara formal diteliti pada pasien SHR, namun tampaknya
tidak cukup efektif dan efek samping tindakan cukup berat misalnya hipotensi, sepsis,
dan pendarahan saluran cerna.
a.Vasodilator
Obat-obatan dengan aktifitas vasodilator terutama PGs telah dipakai pada penderita dengan
SHR dalam usaha untuk menurunkan resistensi vaskuler ginjal. Pemberian PGs intra vena
atau pengobatan dengan misoprostol (analog PGs oral aktif) pada penderita sirosis hati
dengan SHR tidak diikuti dengan perbaikan fungsi renal. Dopamin pada dosis nonpressor
juga digunakan dalam usaha menimbulkan vasodilatasi renal pada penderita SHR. Infus
dopamin selama 24 jam hanya menyebabkan peningkatan yang ringan pada aliran darah
ginjal tanpa perubahan yang berarti dalam laju filtrasi glomerulus. Pemberian antagonis
endotelin spesifik dapat segera berhubungan dengan perbaikan fungsi ginjal pada pasien
dengan SHR.
b.Vasokonstriktor
Hipoperfusi ginjal pada SHR pada penderita sirosis berhubungan dengan pengurangan
pengisian sirkulasi arteri. Rasionalisasi penggunaan Vasokonstriktor adalah untuk mengatasi
vasodilatasi splanik (yang merupakan salah satu hipotesis terjadinya sindroma hepatorenal).
Vasokonstriktor telah digunakan dalam usaha memperbaiki perfusi ginjal dengan menaikkan
resistensi vaskuler sistemik dan menekan aktifitas vasokonstriktor sistemik.
Pada beberapa penelitian pemberian Midodrine dan Octreotide pada 13 penderita SHR tipe I,
setelah 20 hari pengobatan didapatkan penurunan aktifitas plasma renin, vasopressin dan
glukagon. 1 penderita bertahan hidup sampai 472 hari, 1 penderita dilakukan transplantasi
hati, dan yang lain meninggal setelah 75 hari karena gagal hati.
a. Peritoneovenous shunt
Peritoneovenous shunt telah digunakan pada masa lalu untuk penatalaksanaan pasien-pasien
SHR dengan sirosis. Pemasangan shunt menyebabkan cairan ascites mengalir terus menerus
dari rongga peritoneum ke sirkulasi sistemik yang berperan dalam meningkatkan curah
jantung (cardiac output) dan penambahan volume intravaskuler. Efek hemodinamik dari
peritoneovenous shunt dihubungkan dengan penekanan yang nyata dari aktifitas sistem
vasokonstriktor, peningkatan ekskresi natrium, dan pada beberapa kasus dapat memperbaiki
aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus, hal inilah yang menyebabkan rasionalisasi
tindakan pada penderita SHR.
b. Portosystemic shunt
Akhir-akhir ini telah diperkenalkan suatu metode non bedah untuk kompresi portal yaitu
Transjugular intrahepatic portosystemic shunt (TIPS). Keuntungan metode ini dibanding
dengan operasi portocaval shunt adalah penurunan mortalitas akibat operasi. Komplikasi
yang paling sering pada pasien yang mendapat pengobatan dengan TIPS adalah hepatic
encephalophaty dan obstruksi dari stent. TIPS bermanfaat pada 75% kasus, dengan angka
ketahanan hidup SHR tipe 2 lebih baik dibandingkan SHR tipe 1. Beberapa laporan yang
melibatkan sejumlah pasien cenderung memperlihatkan bahwa prosedur ini meningkatkan
fungsi ginjal pada pasien sirosis hati dengan SHR yang tidak dapat lagi untuk dilakukan
transplantasi hati. Penelitian diatas menunjukkan bahwa TIPS memberikan banyak
keuntungan pada penatalaksanaan SHR. Walaupun demikian, penggunaan TIPS masih
memerlukan penelitian kontrol untuk dapat direkomendasikan. Guevara dkk melakukan TIPS
pada 7 penderita SHR tipe 1 dan menyimpulkan TIPS dapat memperbaiki fungsi ginjal,
menurunkan aktifitas renin angiotension dan sistem saraf simpatis.
c.Dialisis
Hemodialisis atau peritoneal dialisis telah dipergunakan pada penatalaksanaan penderita
dengan SHR, dan pada beberapa kasus dilaporkan dapat meningkatkan fungsi ginjal.
Walupun tidak terdapat penelitian kontrol yang mengevaluasi efektifitas dari dialisis pada
kasus ini, tetapi pada laporan penelitian tanpa kontrol menunjukkan efektifitas yang buruk,
karena banyaknya pasien yang meninggal selama pengobatan dan terdapat insiden efek
samping yang cukup tinggi. Pada beberapa pusat penelitian, hemodialisis masih tetap
digunakan untuk pengobatan pasien dengan SHR yang sedang menunggu transplantasi hati.
d. Transplantasi Hati
Transplantasi hati ini secara teori adalah terapi yang tepat untuk penderita SHR, yang dapat
menyembuhkan baik penyakit hati maupun disfungsi ginjalnya. Tindakan transplantasi ini
merupakan masalah utama mengingat prognosis buruk dari SHR dan daftar tunggu yang lama
untuk tindakan tersebut di pusat transplantasi. Segera setelah transplantasi hati, kegagalan
fungsi ginjal dapat diamati selama 48 jam sampai 72 jam pertama. Setelah itu laju filtrasi
glomerulus mulai mengalami perbaikan.
Angka harapan hidup pada SHR tipe 1 umumnya pendek, sehingaa transplantasi hati pada
SHR tipe 1 sulit dilaksanaakan. Pada SHR tipe 2 transplantasi hati terbukti bermanfaat pada
90% kasus dengan angka ketahanan hidup yang lebih kurang sama dengan transplantasi pada
pasin tanpa SHR.
PENCEGAHAN
Resiko SHR dapat dikurangi dengan pemakaian terapi diuretik secara berhati-hati dan
pemantauan ketat, penemuan dini setiap komplikasi seperti ketidakseimbangan elektrolit,
perdarahan atau infeksi. Obat nefrotoksik dihindari. Resiko perburukan ginjal setelah
parasintesis volume besar dikurangi dengan pemberian albumin rendah garam.
terjadi sekitar 33%. Penyebab penting lain kegagalan ginjal adalah pemakaian NSAIDs. Obat
ini menghambat pembentukan prostaglandin intra renal yang mengakibatkan penurunan nyata
fungsi ginjal dan eksresi Na+/H2O2 pada pasien sirosis dengan asites.
PROGNOSIS
SHR merupakan komplikasi terminal penyakit hati yang sudah lanjut atau berat,
sehingga prognosis penyakit ini buruk dengan angka kematian lebih dari 90%.
BAB V
KESIMPULAN
SHR adalah komplikasi dari penyakit hati yang lanjut yang ditandai tidak hanya gagal
ginjal, tapi juga gangguan sistem hemodinamik dan aktifitas sistem vasoaktif endogen.
Patogenesis SHR belum diketahui pasti, tetapi diduga gangguan keseimbangan antara faktor
vasokonstriktor dan vasodilator, serta sistem persarafan simpatis. Diagnosa SHR berdasarkan
International Ascites Clubs Diagnostic Criteria of Hepatorenal Syndrome. Pilihan
pengobatan yang baik adalah transplantasi hati. Pengobatan pendukung hanya diberikan jika
fungsi hati dapat kembali normal atau sebagai jembatan untuk menunggu tindakan
transplantasi hati.
DAFTAR PUSTAKA