Anda di halaman 1dari 28

RSUP Wahidin Sudirohusodo Makassar

Lontara 4 Atas Depan

LAPORAN KASUS (LK)


ACUTE LYMPHOBLASTIC LEUKIMIA PADA PASIEN An. F
LONTARA 4 ATAS DEPAN
RSUP. Dr. WAHIDIN SUDIROHUSODO MAKASSAR

Oleh:
LISKA
C12112111

CI. INSTITUSI CI. LAHAN

(Dr. Kadek Ayu Erika, S.Kep., Ns., M.Kes) (............................................)

PROGRAM PROFESI NERS


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2016
BAB I

KONSEP MEDIS
A. Definisi
Leukemia adalah kanker dari salah satu jenis sel darah putih di sumsum
tulang belakang, yang menyebabkan proliferasi salah satu jenis darah putih
dengan menyingkirkan jenis sel lain.
Leukemia tampak merupakan penyakit klonal, yang berarti satu sel kanker
abnormal berproliferasi tanpa terkendali, mwngghasilkan sekelompok sel
anak yang abnormal. Sel-sel ini menghambat sel darah lain di sumsum tulang
utnuk berkembang secara normal, sehingga mereka tertimbun di sumsum
tulang. Karena faktor-faktor ini, leukemia disebut gangguan akumulasi
sekaligus gangguan klonal. Pada akhirnya, sel-sel leukemia mengambil alih
sumsum tualng, sehingga menurunkan kadar sel-sel nonleukemik di dalam
darah yang merupakan penyebab berbagai gejala umum leukemia.
Leukemia limfoblastik akut merupakan penyakit keganasan sel darah yang
berasal dari sumsum tulang, ditandai dengan proliferasi maligna sel leukosit
immatur, dan pada darah tepi terlihat adanya pertumbuhan sel-sel yang
abnormal. Sel leukosit dalam darah penderita leukemia berproliferasi secara
tidak teratur dan menyebabkan perubahan fungsi menjadi tidak normal
sehingga mengganggu fungsi sel normal lain .

B. Etiologi
Ada beberapa faktor yang terbukti dapat menyebabkan leukemia, faktor
genentik, sinar radioaktof, dan virus.
1 Faktor genetik
Insidensi leukemia akut pada anak-anak penderita sindrom Down adalah
20 kali lebih banyak daripada normal. Pada anak kembar identik yang
akan berisiko tinggi bila kembaran yang lain mengalami leukemia.
2 Radioaktif
Sinar radioaktif merupakan faktor eksternal yang paling jelas dapat
menyebabkan leukemia pada manusia. Akhir-akhir ini dibuktikan bahwa
penderita yang diobati dengan dinar radioaktif akan menderita leukemia
pada 6 % klien,dan baru terjadi sesudah 5 tahun.
3 Virus
Sampai saat ini belum dapat dibuktikan bahwa penyebab leukemia pada
manusia adalah virus.namun, ada beberapa hasil penelitian yang
mendukung teori virus sebagai penyebab leukemia, yaitu enzyme reverse
transcriptase ditemukan dalam darah manusia.

C. Klasifikasi
Faktor pertama dalam mengklasifikasikan leukemia pada pasien adalah
apakah sebagian besar dari sel-sel abnormal terlihat seperti sel darah putih
normal (matang) atau terlihat lebih seperti sel-sel induk (belum matang).
Leukemia dibagi menjadi leukemia akut dan leukemia kronik.
Pembagian ini tidak menggambarkan lamanya harapan hidup tetapi
menggambarkan kecepatan timbulnya gejala dan komplikasi.
1. Leukemia akut
Pada leukemia akut, sel-sel sumsum tulang tidak bisa matang dengan baik.
Sel-sel leukemia belum matang namun terus mereproduksi dan
membangun. Tanpa pengobatan, kebanyakan pasien dengan leukemia akut
akan hidup hanya beberapa bulan. Beberapa jenis leukemia akut merespon
dengan baik terhadap pengobatan, dan banyak pasien dapat disembuhkan.
Jenis lain dari leukemia akut memiliki pandangan yang kurang
menguntungkan.
2. Leukemia Kronis
Pada leukemia kronis, sel-sel dapat matang sebagian tapi tidak
sepenuhnya. Sel-sel ini mungkin terlihat cukup normal, tetapi sebenarnya
tidak. Mereka umumnya tidak melawan infeksi seperti fungsi sel darah
putih normal. Dapat bertahan hidup lebih lama, membangun, dan
menggeser sel-sel normal. Leukemia kronis cenderung berkembang
selama jangka waktu yang lama, dan sebagian besar pasien dapat hidup
selama bertahun-tahun.

Selain berdasarkan sifatnya, Leukemia secara garis besarn dibagi


berdasarkan asal atau jenis sumsum tulang yang terpengaruh dari
leukemia, yaitu :
1. Leukemia myeloid
Leukemia yang dimulai dalam bentuk awal sel myeloid - sel darah putih
(selain limfosit), sel darah merah, atau sel membuat platelet-
(megakaryocytes) adalah leukemia myeloid (juga dikenal sebagai
myelocytic, myelogenous, atau leukemia non-limfositik). Jenis leukemia
ini diantaranya :
a. Leukemia granulositik/myeloid/mielositik/mielogenous kronik
b. Leukemia mieloblastik/granulositik/myeloid/mielositik akut
2. Leukemia limfoid
Jika kanker mulai di bentuk awal dari limfosit, maka disebut leukemia
limfositik (juga dikenal sebagai limfoid atau leukemia lymphoblastic).
Limfoma juga kanker yang dimulai di lymphocytes. Tapi sementara
leukemia limfositik berkembang dari sel-sel di sumsum tulang, limfoma
berkembang dari sel-sel dalam kelenjar getah bening atau organ lainnya.
Jenis leukemia ini diantaranya :
a. Leukemia limfositik kronik
b. Leukemia limfositik akut
Dengan mempertimbangkan apakah leukemia yang akut atau kronis dan
apakah mereka myeloid atau limfositik, dapat dibagi menjadi 4 jenis utama:
a. Myeloid akut (atau myelogenous) Leukemia (AML)
b. Myeloid kronis (atau myelogenous) leukemia (CML)
c. Limfositik akut (atau lymphoblastic) leukemia (ALL)
d. Leukemia limfositik kronis (CLL)
Leukemia Akut Leukemia Kronis
Tipe Klinis Tipe Klinis
LLA Leukemia Limfositik Akut LLK Leukemia Limfositik Kronis
Suatu proliferasi ganas limfoblas. Cnderung merupakan kelainan
Paling sering terjadi pada anak- ringan yang mengenai individu
anak dengan insiden pada laki- antara usia 50 70 tahun
laki lebih sering dibandingkan
anak perempuan dan puncak
insiden terjadi pada usia 4 tahun,
setelah usia 15 tahun LLA jarang
terjadi
LMA Leukemia Mielogeneus Akut LMK Leukemia Mielogeneus Kronik
Mengenai system sel Termasuk dalam keganasan sel stem
hematopoetik yang dapat myeloid. Namun lebih banyak
berdiferensiasi ke semua sel terdapat sel normal dibandingkan
myeloid : monosit, granulosit pada kondisi akut, sehingga
(basofil, neutrofil, eosinofil), penyakit ini lebih ringan.
eritrosit dan trombosit. Mengenai Abnormalitas genetic yang
semua kelompok usia dan dinamakan kromosom philadelpia
merupakan leukemia non ditemukan pada 90-95% klien
limfositik yang sering terjadi dengan LMK jarang menyerang
pada usia dibawah 20 tahun.

Leukemia limfoblastik akut, sel B atau sel T, dibagi lagi oleh WHO (2008)
berdasarkan defek genetik yang mendasarinya. Pada kelompok B-LLA (LLA sel
B) terdapat beberapa subtipe genetik spesifik misalnya subtipe dengan translokasi
t (9; 22) atau t (12; 21), tata ulang gen (gene rearrangement) atau perubahan
jumlah kromosom (diploidi). Subtipe merupakan petunjuk penting untuk protokol
pengobatan optimal dan prognosis. Pada T-LLA (LLA sel T) kariotipe abnormal
ditemukan pada 50% - 70% kasus.
Sedangkan secara morfologik, menurut FAB (French, British and
America), LLA dibagi menjadi tiga yaitu:
1. L1 : LLA dengan sel limfoblas kecil-kecil dan merupakan 84% dari LLA.
2. L2 : Sel lebih besar, inti ireguler, kromatin bergumpal, nukleoli
prominen dan sitoplasma agak banyak, merupakan 14% dari LLA.
3. L3 : LLA mirip dengan limfoma Burkitt, yaitu sitoplasma basofil
dengan banyak vakuola, hanya merupakan 1% dari LLA.

Gambar 1.1. Leukemia Limfoblastik Akut tipe L-1


Gambar 1.2. Leukemia Limfoblastik Akut Tipe L-2

Gambar 2.3. Leukemia Limfoblastik Akut Tipe L-3

Menurut imunofenotipenya, LLA diklasifikasikan menjadi:


1. Sel pra-B awal :60%-70% dari pasien LLA dengan precursor
sel B, biasanya terdapat antigen CD10, dan
tidak ditemukan sitoplasmik immunoglobulin
(cIg), sehingga disebut dengan LLA umum,
Juga terdapat human leukocyte antigen (HLA)-
DR.
2. Sel pra-B :20%-30% dari pasien LLA dengan precursor
sel B, terdapat cIg, merupakan pertengahan
dari tipe sel B, lebih matur dari sel pra-B awal,
namun kurang ,matur dari sel B. ditemukan antigen
CD
10 dan HLA-DR, memiliki aprognosis lebih buruk
dari penderita dengan sel

3. Sel pra-B transisional :Terdapat pada anak kurang dari 12 bulan,


CD10 negatif, dan terdapat beberapa
ketidaknormalan pada kromosom, prognosis
paling buruk.
4
.4. Sel T :10%-15% LLA, biasanya pada anak yang lebih
tua, hitung leukosit lebih tinggi dan
prognosisnya lebih jelekdibandingkan
prekursor sel B.
5
.5. Sel B mature :1%-2% LLA, immunoglobulin permukaan IgM
positif, terdapat antigen CD19, CD20, dan

D. Gambaran klinis
1. Leukemia Non Limfoid
a. Leukemia Mielogeneus Kronik (LMK)
LGK adalah suatu penyakit mieloproliferatif yang ditandai dengan
produksi berlebihan seri granulosit yang relatif matang. Gejala LGK
antara lain rasa lelah, penurunan BB, rasa penuh di perut dan mudah
berdarah. Pada pemeriksaan fisis hampir selalu ditemukan
splenomegali, yaitu pada 90% kasus. Juga sering didapatkan nyeri
tekan pada tulang dada dan hepatomegali. Kadang-kadang ada
purpura, perdarahan retina, panas, pembesaran kelenjar getah bening
dan kadang-kadang priapismus.
b. Leukemia Mielogeneus Akut (LMA)
Gejala penderita LMA antara lain rasa lelah, pucat, nafsu makan
hilang, anemia, petekie, perdarahan, nyeri tulang, infeksi, pembesaran
kelenjar getah bening, limpa, hati dan kelenjar mediastinum.Kadang-
kadang juga ditemukan hipertrofi gusi, khususnya pada leukemia akut
monoblastik dan mielomonositik.
2. Leukemia Limfoid
a. Leukemia Limfositik Kronik (LLK)
Gejala LLK antara lain limfadenopati, splenomegali, hepatomegali,
infiltrasi alat tubuh lain (paru, pleura, tulang, kulit), anemia hemolitik,
trombositopenia, hipogamaglobulinemia dan gamopati monoklonal
sehingga penderita mudah terserang infeksi.
b. Leukemia Limfositik Akut (LLA)
Gejala penderita LLA adalah sebagai berikut: rasa lelah, panas tanpa
infeksi, purpura, nyeri tulang dan sendi, macam-macam infeksi,
penurunan berat badan dan sering ditemukan suatu masa yang
abnormal. Pada pemeriksaan fisis ditemukan splenomegali (86%),
hepatomegali, limfadenopati, nyeri tekan tulang dada, ekimoses dan
perdarahan retina.

Gambaran klinis secara umun terjadi karena hal-hal berikut:


a. Kegagalan Sumsum Tulang
1. Anemia (pucat, letargi, dan dispnea);
2. Neutropenia (demam, malaise, gambaran infeksi mulut,
tenggorokan, kulit, saluran napas, perianus, atau bagian lain);
3. Trombositopenia (memar spontan, purpura, gusi berdarah, dan
menoragia)
b. Infiltrasi Organ
Gejala infiltrasi organ antara lain nyeri tulang, limfadenopati,
splenomegali moderat, hepatomegali, dan sindrom meningen (nyeri
kepala, mual dan muntah, pengelihatan kabur, dan diplopia).
Pemeriksaaan fundus mungkin menunjukkan papil edema dan
kadang perdarahan. Banyak pasien mengalami demam yang
biasanya mereda setelah pemberian kemoterapi. Manifestasi yang
lebih jarang adalah pembengkakan testis atau tanda-tanda penekanan
mediastinum pada LLA sel T
Jika yang menonjol adalah kelenjar limfe dan massa
ekstranodus dengan blast <20% di sumsum tulang, penyakitnya
disebut limfoma limfoblastik, tetapi diterapi juga seperti LLA .

E. Patofisiologi
Menurut Hidayat (2006) dan Handayani (2008), leukimia terjadi
akibat dari beberapa faktor antara lain faktor genetik, sinar radioaktif, dan
virus. Menurut Corwin (2009) dan Hidayat (2006), leukimia tampak
merupakan penyakit klonal, yang berarti satu sel kanker abnormal
berpoliferasi tanpa terkendali, menghasilkan sekelompok sel anak yang
abnormal sehingga dapat menyebabkan terjadinya anemia trombositopenia.
Kemudian leukimia atau limfositik akut merupakan kanker jaringan yang
menghasilkan leukosit yang imatur dan berlebih sehingga jumlahnya yang
menyusup ke berbagai organ seperti sum-sum tulang dan mengganti unsur sel
yang normal sehingga mengakibatkan jumlah eritrosit kurang untuk
mencukupi kebutuhan sel (Hidayat, 2006). Karena faktor-faktor ini leukimia
disebut gangguan akumulasi sekaligus gangguan klonal. Pada akhirnya, sel-
sel leukemik mengambil alih sum-sum tulang. Sehingga menurunkan kadar
sel-sel nonleukemik di dalam darah yang merupakan penyebab berbagai
gejala umum leukimia. Trombosit pun berkurang sehingga timbul
pendarahan. Proses masuknya leukosit yang berlebihan dapat menimbulkan
hepatomegali apabila terjadi pada hati, splenomegali, dll.

F. Pemeriksaan Penunjuang
1 Hitung darah lengkap (FBC) biasanya menunjukkan gambaran anemia
dan trombositopenia. Jumlah sel darah putih yang normal biasanya
berkurang dan jumlah sel darah putih total dapat rendah, normal, atau
meningkat. Apabila normal atau meningkat, sebagian besar selnya adalah
sel darah putih primitif (blas).
a Leukemia limfoblastik akut
Pada kira-kira 50% pasien ditemukan jumlah leukosit melebihi
10.000/mm3 pada saat didiagnosis, dan pada 20% pasien melebihi
50.000/mm3. Neutropenia (jumlah neutrofil absolut kurang dari
500/mm3 [normalnya 1500/mm3] sering dijumpai. Limfoblas dapat
ditemukan di darah perifer, tetapi pemeriksa yang tidak berpengalaman
dapat melaporkan limfoblas tersebut sebagai limfosit atipik.
b Leukemia nonlimfositik akut
Evaluasi laboratorium secara tipikal menunjukkan adanya
neutropenia, anemia, da trombositopenia. Jumlah leukosit bervariasi,
walaupun pada saat didiagnosis kira-kira 25% anak memiliki jumlah
leukosit melebihi 100.000/mm3. Pada darah perifer dapat ditemukan
sel blas. Diagnosis pasti ditegakkan dengan dilakukan pemeriksaan
aspirat sumsum tulang, yang menunjukkan adanya sel blas lebih dari
25%. Seperti pada leukemia limfoblastik akut, cairan spinal juga harus
diperiksa untuk menemukan bukti adanya leukemia. Mencapai 15%
pasien memiliki bukti sel blas pada cairan spinal pada saat
didiagnosis.
c Leukemia mielositik kronis
Evaluasi laboratorium secara tipikal memperlihatkan leukositosis
nyata, trombositosis, dan anemia ringan. Sumsum tulang hiperselular
tetapi disertai maturasi mieloid yang normal. Sel blas tidak banyak
dijumpai. Pada kira-kira 90% kasus, tanda sitogenik yang khas pada
leukemia mielositik kronis yang terlihat adalah: kromosom
Philadelphia.
2 Pemeriksaan biokimia dapat menunjukkan adanya disfungsi ginjal,
hipokalemia, dan peningkatan kadar bilirubin. (Patrick, 2005)
3 Profil koagulasi dapat menunjukkan waktu protombin dan waktu
tromboplastin parsial teraktivasi (APPT) yang memanjang karena sering
terjadi DIC (disseminated intravaskular coagulation). (Patrick, 2005)
4 Kultur darah karena adanya risiko terjadi infeksi. (Patrick, 2005)
5 Foto toraks: pasien dengan ALL (acute tymphoblastic leukaemia) jalur sel
T sering memiliki massa mediastinum yang dapat dilihat pada foto toraks.
6 Golongan darah karena cepat atau lambat akan dibutuhkan transfusi darah
dan trombosit.
Beberapa pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk konfirmasi
diagnostik LLA, klasifikasi prognostik dan perencanaan terapi yang tepat,
yaitu:
1. Hitung Darah Lengkap (Complete Blood Count) dan Apus Darah Tepi
Jumlah leukosit dapat normal, meningkat, atau rendah pada saat
diagnosis. Hiperleukositosis (>100.000/mm) terjadi pada kira-kira 15%
pasien dan dapat melebihi 200.000/mm. Pada umumnya terjadi anemia
dan trombositopenia. Proporsi sel blast pada hitung leukosit bervariasi dari
0 sampai 100%. Kira-kira sepertiga pasien mempunyai hitung trombosit
kurang dari 25.000mm .

2. Aspirasi dan Biopsi Sumsum Tulang


Pemeriksaan ini sangat penting untuk konfirmasi diagnosis dan
klasifikasi, sehingga semua pasien LLA harus menjalani prosedur ini.
Apus sumsum tulang tampak hiperselular dengan limfoblas yang sangat
banyak, lebih dari 90% sel berinti pada LLA dewasa. Jika sumsum tulang
seluruhnya digantikan oleh sel-sel leukemia, maka aspirasi sumsum tulang
dapat tidak berhasil, sehingga touch imprint dari jaringan biopsi penting
untuk evaluasi gambaran sitology.
3. Sitokimia
Gambaran morfologi sel blast pada apus darah tepi atau sumsum
tulang kadang-kadang tidak dapat membedakan LLA dari leukemia
mieloblastik akut (LMA). Pada LLA, pewarnaan Sudan black dan
mieloperoksidase akan memberikan hasil yang negatif. Mieloperoksidase
adalah enzim sitoplasmik yang ditemukan pada granula primer dari
prekursor granulositik, yang dapat dideteksi pada sel blast LMA.
Sitokimia juga berguna untuk membedakan precursor B dan B-LLA dari
T-LLA. Pewarnaan fosfatase asam akan positif pada limfosit T yang ganas,
sedangkan sel B dapat memberikan hasil yang positif pada pewarnaan
periodic acid Schiff (PAS). TdT yang diekspresikan oleh limfoblas dapat
dideteksi dengan pewarnaan imunoperoksidase atau flow cytomerty.
4. Imunofenotip (dengan sitometri arus/Flow cytometry)
Pemeriksaan ini berguna dalam diagnosis dan klasifikasi LLA. Reagen
yang dipakai untuk diagnosis dan identifikasi subtipe imunologi adalah
antibodi terhadap :
a. Untuk sel prekursor B : CD10 (common ALL antigen), CD19,
CD79A, CD22, cytoplasmic m-heavy chain, dan TdT.
b. Untuk sel T : CD1a, CD2, CD3, CD4, CD5, CD7, CD8 dan TdT.
c. Untuk sel B : kappa atau lambda, CD19, CD20, dan CD22.
Pada sekitar 15%-54% LLA dewasa didapatkan ekspresi antigen
mieloid. Antigen mieloid yang biasa dideteksi adalah CD13, CD15, dan
CD33. Ekspresi yang bersamaan dari antigen limfoid dan mieloid dapat
ditemukan pada leukemia bifenotip akut. Kasus ini jarang, dan perjalanan
penyakitnya buruk.
5. Pemeriksaan lainnya
Pungsi lumbal untuk pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS) tidak
secara umum dilakukan karena dapat mendorong penyebaran sel tumor ke
SSP. Tes biokimia mungkin memperlihatkan peningkatan asam urat serum,
laktat dehidrogenase serum, atau, yang lebih jarang, hiperkalsemia. Tes
fungsi hati dan ginjal dilakukan untuk mengetahui data dasar sebelum
pengobatan dimulai. Radiografi mungkin memperlihatkan lesi-lesi litik di
tulang dan massa di mediastinum yang khas untuk T-LLA.
G. Penatalaksanaan
1. Kemoterapi
Terapi definitive leukemia akut adalah dengan kemoterapi
sitotoksik menggunakan kombinasi obat multiple. Obat sitotoksik bekerja
dengan berbagai mekanisme namun semuanya dapat menghancurkan sel
leukemia. Tetapi dengan metode ini beberapa sel normal juga ikut rusak
dan ini menyebabkan efek samping seperti kerontokan rambut, mual,
muntah, nyeri pada mulut (akibat kerusakan pada mukosa mulut), dan
kegagalan sumsum tulang akibat matinya sel sumsum tulan. Salah satu
konsekuensi mayor dari neutropenia akibat kemoterapi adalah infeksi
berat. Pasien harus diterapi selama berbulan-bulan (AML) atau selama 2-3
tahun (ALL).
Fase penatalakasanaan kemoterapi meliputi tiga fase yaitu fase
induksi, fase proflaksis, fase konsolidasi.
a Fase Induksi
Dimulai 4-6 minggu setelah diagnose ditegakkan. Pada fase ini
diberikan terapi kortikosteroid (prednison), vincristin, dan L
asparaginase. Fase induksi dinyatakan berhasil jika tanda-tanda
penyakit berkurang atau tidak ada dan dalam sumsum tulang
ditemukan jumlah sel muda kurang dari 5%.
b Fase Profilaksis
Sistem saraf pusat, pada terapi ini diberikan metotreksat, cytarabine
dan hydrocortisone melalui intrathecal untuk mencegah invasi sel
leukemia ke otak. Terapi irradiasi cranial dilakukan hanya pada pasien
leukemia yang mengalami gangguan system saraf pusat.
c Konsolidasi
Pada fase ini kombinasi pengobatan dilakukan untuk mempertahankan
remisi dan mengurangi jumlah sel-sel leukemia yang beredar dalam
tubuh. Secara berkala, mingguan atau bulanan dilakukan pemeriksaan
darah lengkap untuk menilai respon sumsum tulang terhadap
pengobatan. Jika terjadi surpresi sumsum tulang, maka pengobatan
dihentikan sementra atau dosis obat dikurangi.

Penatalaksanaan medis dalam pemberian kemoterapi dan radioterapi:


1 Prednison untuk efek antiinflamasi
2 Vinkristin (oncovin) untuk antineoplastik yang menghambat
pembelahan sel selama metaphase
3 Asparaginase untuk menurunkan kadar asparagin (asam amino untuk
pertumbuhan tumor)
4 Metotreksat sebagai antimetabolik untuk menghalangi metabolism
asam folat sebagai zat untuk sintesis nucleoprotein yang diperlukan
yang diperlukan sel-sel yang cepat membelah
5 Sitarabin untuk menginduksi remisi pada pasien dengan leukemia
granulositik yang menekan sumsum tulang yang kuat.
6 Alopurinol sebagai penghambat produksi asam urat dengan
menghambat reaksi biokimia.
7 Siklofosfamid sebagai antitumor kuat.
8 Daurnorubisin sebagai penghambat pembelahan sel selama pengobatan
leukemia akut
2. Transplantasi sumsum tulang
Ini merupakan pilihan terapi lain setelah kemoterapi dosis tinggi
dan radioterapi pada beberapa pasien leukemia akut. Transplantasi dapat
bersifat autolog, yaitu el sumsum tulang diambil sebelum pasien
meneraima terapi dosis tinggi, disimpan, dan kemudian diinfusikan
kembali. Selain itu, dapat jug bersifat alogenik, yaitu sumsum tulang
berasal dari donor yang cocok HLA-nya. Kemoterapi dengan dosis sangat
tinggi akan membunuh sumsum tulang penderita dan hal tersebut tidak
dapat pulih kembali. Sumsum tulang pasien yang diinfusikan kembali akan
mengembalikan fungsi sumsum tulang pasien tersebut. Pasien yang
menerima transplantasi alogenik memiliki risiko rekurensi yag lebih
rendah dibandingkan dengan pasien yang menerima transplantasi autolog,
karena sel tumor yang terinfusi kembali dapat menimbulkan relaps. Pada
transplantasi alogenik memiliki risiko rekurensi yang lebih rendah
dibandingkan dengan pasien yang menerima transplantsi autolog, karena
sel tumor yang terinfusi kembali dapat menimbulkan relaps. Pada
transplantasi alogenik, terdapat bukti kuat yang menunjukan bahwa
sumsum yang ditransplantasikan akan berefek antitumor yang kuat karena
limfosit T yang tertransplantasi. Penelitian-penelitian baru menunjukan
bahwa transplantasi alogenik menggunakan terapi dosis rendah dapat
dilakukan dan memiliki kemungkinan sembuh akibat mechanism
imunologis.
3. Resusitasi
Pasien yang baru didiagnosis leukemia akut biasanya berada dalam
keadaan sakit berat dan renta terhadap infeksi berat dan atau perdarahan.
Prioritas utamanya adalah resusitasi mengguakan antibiotic dosis tinggi
intravena untuk melawan infeksi, transfusi trombosit atau plasma beku
segar (fresh frozen plasma) utuk mengatasi anmia. Penggunaan antibiotic
dalam situasi ini adalah tindakan yang tepat walaupun demam yang terjadi
ternyata merupakan akibat dari penyakit itu sendiri dan bukan akibat
infeksi. Lebih mudah menghentikan pemberian antibiotic daripada
menyelamatkan pasien dengan syok dan septicemia yang telah diberikan
tanpa terapi antibiotik.

Selain itu, terapi suportif pada penderita leukemia tidak kalah pentingnya
dengan terapi spesifik karena akan menentukan angka keberhasilan terapi.
Kemoterapi intensif harus ditunjang oleh terapi suportif yang intensif pula, jika
tidak maka penderita dapat meninggal karena efek samping obat. Terapi
suportif berfungsi untuk mengatasi akibat-akibat yang ditimbulkan oleh
penyakit leukemia itu sendiri dan juga untuk mengatasi efek samping obat.
Terapi suportif yang diberikan adalah :
a. Terapi untuk mengatasi anemia: transfusi PRC (Packed Red Cells) untuk
mempertahankan hemoglobin sekitar 9-10g/dl. Untuk calon transplantasi
sumsum tulang, transfusi darah sebaiknya dihindari.
b. Terapi untuk mengatasi infeksi, terdiri atas :
1)Antibiotika adekuat
2)Transfusi konsentrat granulosit
3)Perawatan khusus (isolasi)
4)Hemopoietic growth factor
c. Terapi untuk mengatasi perdarahan terdiri atas :
Transfusi konsentrat trombosit untuk mempertahankan trombosit.
d. Terapi untuk mengatasi hal-hal lain, yaitu :
1)Pengelolaan leukostasis: dilakukan dengan hidrasi intravenous dan
leukapharesis. Segera lakukan induksi remisi untuk menurunkan
jumlah leukosit
2) Pengelolaan sindrom lisis tumor: dengan hidrasi yang cukup, pemberian
alopurinol dan alkalinisasi urine.

BAB II
KONSEP KEPERAWATAN

1. Pengkajian
a. Riwayat penyakit : pengobatan kanker sebelumnya
b. Riwayat keluarga : adanya gangguan hematologis, adanya faktor
herediter misal kembar (monozigot)
c. Kaji adanya tanda tanda anemia : kelemahan, kelelahan, pucat, sakit
kepala, anoreksia, muntah, sesak, nafas cepat
d. Kaji adanya tanda tanda leukopenia : demam, stomatitis, gejala
infeksi pernafasan atas, infeksi perkemihan; infeksi kulit dapat timbul
kemerahan atau hiotam tanpa pus
e. Kaji adanya tanda tanda trombositopenia : ptechiae, purpura,
perdarahan membran mukosa, pembentukan hematoma, kaji adanya
tanda tanda invasi ekstra medulla; limfadenopati, hepatomegali,
splenomegali.
f. Kaji adanya pembesaran testis, hematuria, hipertensi, gagal ginjal,
inflamasi di sekitar rektal dan nyeri.

2. Analisa Data Keperawatan


a. Data Subjektif
Data Subjektif yang mungkin timbul pada penderita leukemia adalah
sebagai berikut :
Lelah
Letargi
Pusing
Sesak
Nyeri dada
Napas sesak
Priapismus
Hilangnya nafsu makan
Demam
Nyeri Tulang dan Persendian.
b. Data Objektif
Data Subjektif yang mungkin timbul pada penderita leukemia adalah
sebagai berikut :
Pembengkakan Kelenjar Lympa
Anemia
Perdarahan
Gusi berdarah
Adanya benjolan tiap lipatan
Ditemukan sel sel muda

3. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko cedera berhubungan dengan proses malignan / keganasan ,
terapi
b. Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan system pertahanan
tubuh sekunder (leukosit)
c. Defisit volume cairan tubuh berhubungan dengan muntah dan
perdarahan
d. Nyeri akut berhubungan dengan penekanan priosteum dan
peningkatan produksi asam laktat
e. Kelemahan fisik berhubungan dengan kelelahan, penurunan produksi
energy, peningkatan laju metabolism akibat suplai oksigen yang
kurang
f. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan anoreksia
g. Resti kerusakan membrane oral , hipertermi berhubungan dengan
efek kemoterapi
h. Cemas (orang tua) berhubungan dengan penurunan status kesehatan
anak, krisis situasi dan ancaman kematian
A. Rencana Tindakan/ Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasionalisasi


1. Resiko cedera berhubungan dengan Dalam waktu 4 x 24 jam pasien 1. Observasi nilai laboratorium (Hb, Nilai Hb, WBC,Plt,HCT dan
proses malignan / keganasan , terapi mengalami remisi parsial atau total WBC, Plt, HCT, eritrosit) secara eritrosit yang jauh dibawah nilai
dari penyakitnya dan pasien tidak periodic normal menunjukkan keparahan
mengalami komplikasi akibat kondisi pasien
kemoterapi.
Kriteria Hasil : Penurunan Hb dan perdarahan
1. Nilai Hb > 10 gr% 2. Observasi tanda-tanda penurunan dapat diamati dari keadekuatan
2. Nilai Trombosit > 200.000 perfusi perifer (pucat, sianosis, CRT, perfusi perifer
3. Nilai Leukosit 4000 10.000 diaphoresis)
4. Suhu tubuh post kemoterapi Perdarahan yang terjadi dapat
360C- 370C 3. Observasi tanda-tanda perdarahan memperburuk kondisi pasien
5. perifer
Mengetahui reaksi tubuh setelah
4. Observasi TTV ( TD, nadi, respirasi menerima agens atau terapi kemo.
dan nadi) sebelum dan sesudah
kemoterapi

5. Beri support O2 2-3 lpm


Tanda infiltrasi pada luka IV line
6. Amati tanda-tanda infiltrasi pada menunjukkan ketidakadekuatan
lokasi IV line jalur obat dan menjadi hambatan
7. Pertahankan patensi IV line adekuat dalam proses terapi

8. Kolaborasi : Meningkatkan kadar Hb sesuai


a. Pemberian tranfusi darah (PRC kondisi pasien dan mengurangi
dan trombosit) sesuai instruksi resiko perdarahan perifer

Menghilangkan sel-sel leukemik


b. Pemberian agens kemoterapi yang berbahaya bagi pasien
sesuai program

No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasionalisasi


2. Resiko infeksi berhubungan dengan Dalam waktu 4 x 24 jam pasien 1. Observasi suhu tubuh per shift Mendeteksi kemungkinan
penurunan system pertahanan tubuh tidak mengalami infeksi sekunder terjadinya infeksi
sekunder (leukosit) Kriteria Hasil :
1. Nilai Leukosit 4000 10.000 Mengurangi paparan kuman
2. Suhu tubuh 360C 370C 2. Anjurkan keluarga untuk membatasi pathogen yang didapat dari luar
pengunjung lingkungan RS

Cuci tangan menghinghindari


3. Sarankan kepada semua pengunjung transfer kuman anatar manusia
dan petugas RS untuk mencuci
tangan dengan benar sebelum
menyentuh pasien
Menghindari invasi kuman
4. Gunakan tehnik aseptic setiap kali pathogen masuk kedalam tubuh.
melakukan tindakan invasif

5. Kolaborasi :
Nutrisi lengkap gizi
a. Dengan nutrient untuk pasokan meningkatkan pertahanan alami
nutrisi lengkap bagi pasien tubuh

Menghilangkan kuman-kuman
b. Pemberian antibiotik atau bakteri yang dapat
menyebablan infeksi

Menghilangkan sel-sel leukemik


yang berbahaya bagi pasien
No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasionalisasi
3. Defisit volume cairan tubuh Dalam waktu 4 x 24 jam terjadi 1. Observasi volume muntahan atau Volume output yang terlalu
berhubungan dengan muntah dan peningkatan nilai Hb dan pasien perdarahan banyak dapat menimbulkan
perdarahan tidak mengalami kondisi dehidrasi kondisi syok
Kriteria Hasil :
1. Nilai Hb > 10 gr% 2. Observasi nilai elektrolit dan Mengantisipasi dan mengevaluasi
2. Suhu tubuh 360C 370C trombosit secara periodik kemajuan terapi
3. Turgor kulit elastic
4. Mukosa bibir lembab 3. Pertahankan asupan cairan oral Menjaga dan mempertahankan
5. Nilai elektrolit : minimal 1000 cc/ hari keseimbangan cairan tubuh
Natrium 136-145
Kalium 3,5-5,4 4. Pertahankan patensi IV line untuk Akses cepat untuk modifikasi
Klorida 97 - 111 jalur transfusi nilai Hb

5. Observasi tanda-tanda dehidrasi Menghindari kondisi syok


hipovolemik
6. Observasi tanda-tanda anemia

7. Kolaborasi :
a. Pemberian antiemetic Mengurangi output yang
berlebihan
b. Pemberian cairan IV sesuai Mempertahankan hidrasi
program

No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasionalisasi


4. Nyeri akut berhubungan dengan Dalam waktu 4 x 24 jam nyeri dapat 1. Kaji karakteristik nyeri (lokasi, Menentukan kualitas nyeri yang
penekanan priosteum dan berkurang durasi, skala, penyebab) diarasakan anak
peningkatan produksi asam laktat Kriteria Hasil :
1. Anak mengungkapkan nyeri 2. Lakukan massage pada daerah nyeri Sentuhan terapetik untuk
kenyamanan anak
yang dirasakan berkurang
2. Anak tidak gelisah Keadekuatan sirkulasi darah
3. Beri kompres hangat pada derah perifer
nyeri
Menghindari terjadinya syok
4. Sarankan pada keluarga untuk
segera melaporkan jika episode
nyeri hebat dirasakan anak
Menghindari terjadinta
5. Bantu kemandirian anak untuk konfrontasi pada anak
menemukan posisi nyaman
Menurunkan sensasi nyeri yang
6. Kolaborasi Pemberian analgetik dirasakan anak

No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasionalisasi


5. Kelemahan fisik berhubungan Dalam waktu 4 x 24 jam anak dapat 1. Kaji kemampuan anak dalam Menentukan penurunan
dengan kelemahan, penurunan melakukan aktivitas tanpa beraktivitas sebelum dan sesudah kemampuan anak
produksi energy, peningkatan laju komplikasi sakit
metabolism akibat suplai oksigen Kriteria Hasil :
Membangkitkan semangat dan
yang kurang 1. Anak mengungkapkan nyeri 2. Lakukan terapi bermain tanpa
motivasi anak untuk beraktivitas
yang dirasakan berkurang memaksakan aktivitas berlebih
2. Anak tidak gelisah
Menjaga kelelahan yang
3. Pertahankan waktu istirahat anak berlebihan

Orangtua lebih memahami


4. Libatkan keluarga dalam kondisi anak dibandingkan orang
pemenuhan aktivitas anak lain

Cara mengadaptasikan anak


5. Buat program bermain untuk anak
terhadap peningkatan aktivitas
bersama orang tuanya
secara terprogram

No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasionalisasi


6. Ketidakseimbangan nutrisi kurang Dalam waktu 4 x 24 jam 1. Kaji pola makan anak sebelum dan Menentukan perubahan pola
dari kebutuhan tubuh berhubungan pemenuhan nutrisi anak adekuat sesudah sakit makan anak
dengan anoreksia Kriteria Hasil :
1. Porsi makan bertambah atau 2. Tanyakan makanan kesukaan anak Membangkitkan mafsu makan
dihabiskan oleh anak tanpa ada kontraindikasi anak tanpa memperberat
2. Tidak terjadi penerunan berat kondisinya
badan > 2 kg dalam 1 minggu

3. Rangsang peningkatan asupan Memberi stimulus eksternal untuk


makan anak dengan terapi bermain peningkatan motivasi makan

4. Libatkan keluarga dalam Orangtua lebih memahami


pemenuhan nutrisi anak kondisi anak dibandingkan orang
lain

5. Beri anak makan dalam porsi kecil Menghindari terjadinya muntah


tapi sering
6. Beri penjelasan pada orangtua Edukasi terprogram menambah
tentang pentingnya nutrisi untuk pemahaman orangtua tentang
proses penyembuhan factor pendukung proses
penyembuhan anakanya

7. Kolaborasi dengan nutrient untuk Pemenuhan asupan gizi anak


pemenuhan diet lengkap gizi.

No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasionalisasi


7. Resti kerusakan membrane oral , Menghindari komplikasi pada anak 1. Inspeksi mulut setiap hari untuk Menghindari terjadinya perlukaan
hipertermi berhubungan dengan efek setelah pemberian kemoterapi mendeteksi ulkus oral sejak dini
kemoterapi Kriteria Hasil :
1. Suhu tubuh anak 360C-370C 2. Ukur suhu tubuh anak setelah Peningkatan suhu adalah efek
2. Tidak terjadi stomatitis kemoterapi dan secara periodik lazim dari kemoterapi

3. Beri anak pelembab bibir untuk Menjauhkan pecahnya mukosa


menghindari luka bibir dan luka

4. Anjurkan orangtua untuk Menjaga dan menghilangkan


membersihakan mulut anak 2 kali resiko kuman di mulut
sehari
Menjaga keseimbangan cairan
5. Anjurkan orang tua untuk memberi
tubuh dan menghindarkan
anak minum 1000 cc per hari
dehidrasi

6. Pertahankan tetesan infuse adekuat Akses cepat jika terjadi


komplikasi kemoterapi

7. Kolaborasi pemberian antipiretik Menghindari kejang akibat


bila anak demam. demam

No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasionalisasi


8. Kecemasan (orangtua) berhubungan Dalam waktu 1x 24 jam kecemasan 1. Kaji penyebab kecemasan orangtua Mengetahui stressor yang
dengan penurunan status kesehatan orangtua dapat hilang atau dirasakan
anak, krisis situasi dan ancaman berkurang
kematian Kriteria Hasil : 2. Ukur pengetahuan orangtua Menghindari terjadinya
1. Secara subjektif orangtua terhadap kondisi sakit anak kesalahpahaman informasi
mengatakan telah memahami
3. Beri penjelasan sederhana terkait Edukasi sederhana untuk
kondisi anaknya
penyebab kecemasan orangtua peningkatan pengetahuan
2. Secara subjektif orangtua
orangtua
mengatakan menerima kondisi
anaknya 4. Beri motivasi dan keyakinan pada menjaga sikap optimism orangtua
3. Secara subjektif orangtua
orangtua untuk kesembuhan
mengungkapkan keyakinan
anaknya
akan kesembuhan anaknya
5. Fasilitasi pertemuan orangtua guna mendapatkan informasi
dengan dokter penanggungjawab lengkap terkait perkembangan
kesehatan anak

6. Anjurkan orangtua untuk selalu orangtua tetap berkeyakinan akan


berfikir positif terhadap kondisi kesembuhan anaknya
anaknya

7. Beritahu perkembangan pengobatan memberikan informasi terbaru


anak setiap hari terkait perkembangan anakanya

8. Jelaskan tindakan, terapi yang akan menghindari terjadinya


dilakukan pada anak kepada misskomunikasi dan misspersepsi
orangtua antara petugas dan orang tua
DAFTAR PUSTAKA

Alimul Hidayat, Aziz. 2008. Pengantar Ilmu Anak untuk Pendidikan Kebidanan.
Jakarta: Salemba Medika

Corwin, Elizabeth J. 2009. Patofisiologi: Buku Saku Edisi 3. Jakarta: EGC

Davey, Patrick. 2005. At a glance Medicine. Jakarta: EGC.

Doenges, E. Maryllin (2010). Nursing Care Plans, Guidelines for Individualizing


Client Care Accros the Life Span. FA Davis Company, Philadelphia.

Handayani, Wiwik & Hariwibowo, Andi Sulistyo. 2008. Buku Ajar Asuhan
Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Hematologi. Jakarta:
Salemba Medika .

Hidayat, Aziz Alimut. 2006. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak 2. Jakarta:


Salemba Medika

Mutaqqin, Arif (2008), Buku Ajar Gangguan Kardiovaskuler dan Hematologi,


Salemba Medika, Jakarta.

Silbernagi, S. & Florian, Lang (2006). Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi. Alih
Bahasa : Iwan S & Iqbal M, Editor Bahasa Indonesia : Titiek Resmisari,
EGC, Jakarta.

Schwartz, M. William. 2004. Pedoman Klinis Pediatri. Jakarta: EGC

Wilkinson, Judith M. & Ahern Nancy R. (2011). Buku Saku Diagnosis


Keperawatan : diagnose NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC.
Edisi 9. Alih Bahasa : Esty Wahyuningsih, Editor Bahasa Indonesia : Dwi
Widiarti. EGC, Jakarta.

Wong, Donna L. (2008) Buku Ajar Keperawatan Pediatrik, volume 2, edisi 6.


EGC, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai