Anda di halaman 1dari 2

Ingin Membaca?

Resensi Novel Sepatu Dahlan


Posted by Irpan Ilmi on Desember - 27 - undefined
0 komentar

Resensi Novel
Judul Buku : Sepatu Dahlan
Pengarang : Khrisna Pabichara
Penerbit : Noura Books (Mizan Publika), Jakarta Selatan
Tahun : 2012
Tebal Novel : 390 Halaman
Kategori : True Story (non fiksi)

Siksaan akibat rasa lapar ini memang tak asing lagi, tetapi masih saja terus berhasil
mengusikku. Sungguh, aku membutuhkan tidur. Sejenak pun tak apalah. Supaya lapar ini
semakin ter-lupakan. Aku tak akan bersedih lagi. Kemiskinanku bukanlah untuk kutangi-si.
Hidup bagi orang miskin sepertiku, harus dijalani apa adanya.

Oleh: Fans El Mahboeb

Dalam novelnya ini, Khrisna Pabichara menekankan sebuah


perjuangan tokoh dalam menggapai cita-citanya. Sebuah kisah nyata Dahlan Iskan, yang
hidup di tengah masa yang sedang mencekamtahun 1948-1964. Sebuah potret Laskar
Merah dan Front Demokrasi Rakyat, yang memberi coretan hitam di masanya. Peristiwa
penting tentang sejarah: penculikan, pe-nyiksaan, ataupun tentang pembantaian masal
terhadap sim-patisan PKI (seperti di Madiun, Kebon Dalem) sangatlah mistis diceritakan
dalam novel ni. Sumur-Sumur tua di Soco, Cigrok, menjadi tempat pembuangan bangkai.

Ditengah kesibukannya men-jabat seorang menteri BUMN, Dahlan Iskan mampu mencip-
takan sebuah karya yang sangat menakjubkan. Kebon dalem adalah tanah kelahiran Dahlan,
sebuah kampung kecil dengan enam buah rumah, yang letaknya sangat berjau-han. Tanah
yang gembur dan subur, padi dan palawija yang tumbuh dengan baik, pisang, ketela, a t a u
umbi-umbian yang selalu berbuah dengan baik pula, sayangnya t a k membuat warga Kebon
Dalem kaya akan h a r t a. Ladang-ladangnya sudah menjadi mi-lik tuan tanah. Tuan-tuan
ber-duit yang memunyai tanah berhektare-hektare, dan seba-gian lainnya milik Negara.

Nguli nyeset, dan ngangon, membatik, merupakan lahan bagi orang-orang Kebon Da-lem
dalam memenuhi kebutu-hannya, termasuk tokoh ber-nama Dahlan, yang memunyai mimpi
besarnya; yakni ingin mempunyai sepatu dan sepe-da. Ia bekerja sekuat tenaga, selepas
subuh, tugasnya ada-lah nyabit rumput. Nguli nye-set, nguli nandursudah ia ker-jakan, demi
sebuah impian: Sepatu dan Sepeda.

Namun, upah yang ia kumpul-kan dengan keringat dan kerja keras, bercucuran dan harus ia
relakan demi sesuap tiwul. Ya, untuk sesuap tiwul. Hing-ga punahlah harapan untuk
memunyai sepatu. Bahkan, ia tak berharap banyak kepada Ibu dan bapaknya membeli-kan
sepatu untuknya. Kemis-kinan telah mengajarinyabahwa banyak yang lebih pen-ting dan
harus dibeli diban-ding dengan sepatu. Tatkala lapar mulai mengantar, ada jurus jitu yang dia
lakukan, y a itu melilitkan sarungnya ke perut dengan sekuat-kuatnya. Kemiskinan tak
membuatnya harus berputus asa, dan tak juga membuat k e r i a n g a n muncul di masa
kanak-kanak-nya. P e r sahabatan dan rasa kekeluargaan sesama teman-temannya
membuatnya men-jadi bangkit dan terus mene-garkan hati, supaya menjadi patriot sejati.

Perjalanan sejauh enam kilometer tiap pagi, tak membuat dia menghentikan langkah-
langkahnya. Walaupun matahari tepat di ubun-ubun, panas membara, perut keroncongan, dan
kaki yang terbakar, serta lecet-lecet karena berjalan kaki sepanjang enam kilometer tanpa alas
kaki, tak membuat Dahlan mengeluh dan malas-malasan. Kehilangan mengajarkan ia banyak
hal tentang arti kasih sayang, indahnya kebersamaan, bertanggung jawab karena perbuatan
yang seharusnya tak ia lakukan. Serta mem-beri jawaban dengan bijak pada kekasih yang
menjadi tambatan hatinya, Aisha. Dahlan terus mengejar dua cita-cita besarnya: Sepatu dan
Sepeda

Anda mungkin juga menyukai