Anda di halaman 1dari 10

Integrated Gasification Combined

Cycle

Disusun oleh :
Erni Rohmiasih (D1121151004)

Program Studi Teknik Kimia


Fakultas Teknik
Universitas Tanjungpura
2017
A. Sejarah Penelitian Proses Gasifikasi

Indonesia merupakan salah satu pengekspor batubara


besar didunia, Sumatera Selatan khususnya merupakan salah
satu penghasil batubara terbesar di Indonesia sekitar 39.64%,
hal ini bisa terlihat pada gambar 2.1 :
Batubara ada yang
thermal (steaming) coal dan
metalurgi coal. Batubara
termal biasanya di haluskan
dan dibakarkan dalam boiler
untuk menghasilkan listrik
dan batubara metalurgi
digunakan untuk
menghasilkan coke untuk
pelelehan besi dan baja.
Sayangnya utilitas batubara
pada teknologi yang
digunakan sekarang ini
mempunyai dampak yang Gambar.2.1. Provinsi Penghasil
tidak diinginkan terhadap Batubara di Indonesia
lingkungan. Polutan utama
meliputi oksida oksida
nitrogen dan sulfur, abu dan slag, emisi partikel dan gas rumah
kaca seperti karbondioksida. Oleh karena itu diperlukan
penyikapan secara insentif tinggi untuk menurunkan emisi dan
mengembangkan efisiensi fuel (bahan bakar) teknologi utilitas
batubara.
Gasifikasi batubara adalah proses untuk mengubah
batubara menjadi fuel gas yang kaya akan CO dan H 2. Hal ini
bukan lagi teknologi baru. Gas yang dihasilkan dari karbonisasi
coking coal telah digunakan sebagai penerangan sejak tahun
1792. Proses original yang sama dengan coking ini adalah proses
yang mengubah non-coking coal yang didemonstrasikan pada
tahun 1860. Tetapi pada akhirnya tidak dipakai lagi karena CO
merupakan gas beracun lebih beracun dari pada CO2 karena
kecepatan CO mengikat hemoglobin lebih cepat dibandingkan
dengan CO2. Pada akhir tahun 1880 produksi kimia dari proses
gasifikasi didemonstrasikan dalam pembuatan amoniak.
Teknologi ini berkembang sangat cepat ke daerah Eropa, Jepang
dan Amerika Serikat.

System gasifikasi batubara modern digunakan untuk


menghasilkan bahan-bahan kimia seperti hidrogen dan metanol
dan untuk menyediakan sistem yang lebih bersih dan efisien.
Ada beberapa tipe gasifier modern yang sudah ada yaitu
entrained-flow, fluidized-bed dan fixed-bed dan kondisi ketiga
sistem itu sangat berdasarkan pada tipe batubara yang
digunakan.
Sampai akhir tahun 1920-an gas hasil gasifikasi diperoleh
dengan oksidasi sebagian (partial oxidation) coke dengan udara
terhumidifikasi. Setelah Carl von Linde mengkomersialkan
pemisahan kriogenik dari udara selama tahun 1920-an, proses
gasifikasi menghasilkan gas sintesa dan hidrogen menggunakan
oksigen blast, hal ini merupakan tonggak perkembangan proses
gasifikasi seperti proses Winkle fluid-bed (1926), Lurgi
pressurized gasification (1931), dan Koppers-Totzek entrained-
flow (1940-an).
Perkembangan gasifikasi selanjutnya dimulai selama
perang dunia kedua ketika insinyur Jerman menggunakan proses
gasifikasi untuk memproduksi bahan bakar sintetik. Teknologi ini
diekspor ke Afrika Selatan pada tahun 1950-an yang kemudian
memicu berdirinya perusahaan gasifikasi batubara terbesar
sampai saat ini yaitu South African Coal Oil and
Gas Corporation (Sasol) dan menjadi pusat gasifikasi terbesar di
dunia pada akhir tahun 1970-an. Perusahaan ini menggunakan
gasifikasi batubara dan sintesis Fischer-Tropsch sebagai dasar
dari pembuatan gas sintesis kompleks dan industri petrokimia.
Pada tahun 1950-an, baik Texaco dan Shell oil juga
mengembangkan proses gasifikasi. Dengan keberadaan gas bumi
dan minyak yang banyak pada tahun 1950-an, peran gasifikasi
batubara mulai menurun. Menurunnya peran ini bukan hanya
disebabkan oleh ketersediaan gas bumi dan minyak yang banyak
tetapi juga karena nilai kalor gas bumi dan minyak yang lebih
tinggi serta sedikitnya kandungan pengotor bila dibandingkan
dengan batubara.
Untuk pemanfaatan tar dimulai pada pertengahan abad
ke-19, ketika perkembangan teknik kimia telah memungkinkan
untuk melakukan distilasi dan pemurnian tar menjadi produk
pewarna sintetik dan bahan kimia. Jadi, sebelum industri kimia
yang berbahan baku migas atau disebut dengan petrokimia
berkembang, industri kimia berbasis batubara atau disebut
dengan coal-chemical telah lebih dulu eksis.
Kemudian awal tahun 1970-an krisis minyak pun mulai
terjadi sedangkan di pihak lain cadangan batubara masih dalam
jumlah yang sangat besar sehingga pengembangan teknologi
proses batubara kembali dilirik. Hal ini memicu berbagai
teknologi proses alternatif pengembangan penggunaan batubara
seperti gasifikasi dan likuifaksi. Terdapat juga proses hidrogenasi
batubara dikonversi secara langsung menjadi metana sebagai
pengganti gas bumi atau Synthetic Natural Gas (SNG). Karena
beroperasi pada tekanan yang tinggi menjadikan proses
hidrogasifikasi agak sulit untuk dikomersialisasikan.
Setelah embargo minyak Timur Tengah terjadi tahun 1973.
Pemerintah Amerika menyediakan dukungan dana untuk konsep
penelitian gasifikasi, termasuk penelitian pertama Integrated
Gasification Combine Cycle (IGCC). Pada proses IGCC, batubara
digasifikasi dimana produk dari gasifikasi kemudian di purifikasi
untuk menghilangkan asam dan partikulat pengotor sebelum
diinjeksi ke gas turbin. Panas yang diambil dari exhaust
gas turbin dimanfaatkan untuk menghasilkan steam penggerak
turbin uap. Karena pembakaran flue gas berasal dari turbin
gas hampir bebas dari asam dan partikulat pengotor, IGCC
dianggap sebagai teknologi pemusnah hujan asam. Tetapi yang
lebih penting, efisiensi dari IGCC lebih tinggi dari pada sistem
konvensional serta secara signifikan pula CO2 yang dihasilkan
jauh lebih sedikit. Hal ini membuat IGCC merupakan solusi bagi
negara-negara yang harus menurunkan emisi gas rumah kaca
tetapi tidak bisa berganti ke sumber energi lain. Pada awal 1990-
an lembaga-lembaga pemerintahan Amerika dan Eropa
menyediakan dana penelitian untuk menguji kelayakan proses
IGCC. Kemudian tahun 2000an IGCC mulai dikomersialkan.
Proses komersialisasi gasifikasi batubara dimulai oleh 3
proses gasifikasi yaitu proses Lurgi, Winkler, dan Koppers-
Totzek. Proses Lurgi beroperasi pada tekanan tinggi 2030 atm
dengan temperatur 1000oC. Winkler yang menggunakan gasifier
tipe fluidized beroperasi pada temperatur 800-900 oC dengan
tekanan atmosfer, begitu juga dengan proses Koppers-Totzek
yang beroperasi pada tekanan atmosfer tetapi menggunakan
temperatur yang lebih tinggi lagi sekitar 1500-1800 oC tetapi
proses Koppers-Totzek hampir tidak menghasilkan produk
samping dan yield gas sintesis paling tinggi yaitu 95%. Adapun
proses Otto-Rummel yang menggunakan gasifier molten
bath yang beroperasi pada temperatur 1400-1700 oC dan tekanan
atmosferik.
Pada masa sekarang ini pengembangan proses gasifikasi
hampir menyeluruh di seluruh benua. Di benua Afrika terdapat
konsentrasi terbesar di dunia terletak di Afrika Selatan (Sasol)
dimana lebih dari 40% produksi bahan bakar sintetik dan kimia
dari gasifikasi batubara. Ada 3 pabrik Sasol (Sasol I, II, III) yang
berlokasi di Seconda dan Sasolburg. Di benua Asia, pabrik
terbesar berada di India, China, dan Jepang. Sedangkan di benua
Eropa ada 5 proyek besar IGCC beroperasi di Eropa Barat dengan
konsentrasi terbesar di Itali yang memiliki 3 proyek terbesar
yaitu Priolo (Sicily), Sarroch (Sardinia), dan Sannazzaro (Italia
Utara). Sedangkan 2 proyek lainnya di Puertollano (Spanyol), dan
Buggenum (Belanda). Di benua Amerika Utara kebanyakan di
Kingsport, Tennessee dan North Dakota.
Di Indonesia sendiri, sudah dibangun pilot plant gasifikasi
batubara untuk Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD)
sistem bifuel yaitu campuran gas batubara dan solar. Pilot
plant ini dibangun atas kerjasama antara Puslitbang Teknologi
Mineral dan Batubara dengan PT PLN (Persero) dan PT Coal Gas
Indonesia. Bila pilot plant ini berhasil maka dapat mengurangi
penggunaan BBM (solar) oleh PLTD milik PT PLN sehingga dapat
menekan biaya produksi listrik sekaligus mengurangi beban
subsidi pemerintah. Disamping itu juga akan meningkatkan nilai
tambah batubara, menambah devisa negara dan membuka
lapangan kerja.
Prosesproses gasifikasi diatas, rata-rata menggunakan
temperatur dan atau tekanan tinggi sehingga memerlukan
kebutuhan energi panas yang sangat besar pula. Sehingga
perkembangan penelitian dalam bidang gasifikasi masih terus
dilakukan untuk menurunkan temperatur reaksi dan hasil
gasifikasi yang lebih baik lagi.
Penelitian terdahulu walaupun bisa mencapai yield yang
tinggi tetapi masih membutuhkan temperatur yang tinggi.
Sehingga hal ini merupakan tantangan bagi penelitian
selanjutnya. Untuk lebih jelasnya penelitian yang telah dilakukan
dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel.2.1. Sejarah penelitian proses gasifikasi batubara

N Peneliti/ Cara Kondisi Yield Kelebihan Kelemah


o Pengembang Kontak Operasi (%) an
1 Lurgi Fixed T= <95 - Yield Temperat
bed 1000oC tinggi ur dan
P = 20- tekanan
30 atm tinggi
Winkler Fluidize T = 800- < - Tekanan Temperat
d bed 900oC 95% sangat ur masih
P = rendah relatif
atmosferi - Yield tinggi
k tinggi
3 Kopper- Entraine T = 95 - Yield Temperat
Totzek d Phase 1500- tinggi ur masih
1800oC - Tekana sangat
P = n tinggi
atmosferi rendah
k
4 Otto-Rummel Molten T = < 95 - Yield Temperat
bath 1400- tinggi ur masih
1700oC - Tekana sangat
P = n tinggi
atmosferi rendah
k
B. Integrated Coal Gasification Combined Cycle
Teknologi IGCC merupakan merupakan salah satu teknologi
batubara bersih yang sekarang dalam tahap pengembangan.
Istilah IGCC ini merupakan istilah yang paling banyak digunakan
untuk menyatakan daur kombinasi gasifikasi batubara
terintegrasi. Meskipun demikian masih ada beberapa istilah yang
digunakan yaitu ICGCC (Integrated Coal Gasification Combined
Cycle) dan CGCC (Coal Gasification Combined Cycle) yang
samaartinya.
Komponen utama dalam riset IGCC adalah pengembangan
teknik gasifikasi batubara. Gasifikasi batubara pada prinsipnya
adalah suatu proses perubahan batubara menjadi gas yang
mudah terbakar. Proses ini melalui beberapa proses kimia dalam
reaktor gasifikasi (gasifier).
Mula-mula batubara yang sudah diproses secara fisis
diumpankan ke dalam reaktor dan akan mengalami proses
pemanasan sampai temperatur reaksi serta mengalami proses
pirolisa (menjadi bara api). Kecuali bahan pengotor, batubara
bersama-sama dengan oksigen dikonversikan menjadi hidrogen,
karbon monoksida dan methana. Proses gasifikasi batubara
berdasarkan sistem reaksinya dapat dibagi menjadi empat
macam yaitu : fixed bed, fluidized bed, entrained flow dan
molten iron bath.

Dalam fixed bed, serbuk batubara yang berukuran antara 3 30


mm diumpankan dari atas reaktor dan akan menumpuk karena
gaya beratnya. Uap dan udara (O2) dihembuskan dari bawah
berlawanan dengan masukan serbuk batubara akan bereaksi
membentuk gas. Reaktor tipe ini dalam prakteknya mempunyai
beberapa modifikasi diantaranya adalah proses Lurgi, British Gas
dan KILnGas. Sedangkan proses yang menggunakan prinsip
fluidized bed adalah High-Temperature Winkler, Kellog Rust
Westinghouse, dan U-gas. Dalam fluidized bed gaya dorong dari
uap dan O2 akan setimbang dengan gaya gravitasi sehingga
serbuk batubara dalam keadaan mengambang pada saat terjadi
proses gasifikasi. Serbuk batubara yang digunakan lebih halus
dan berukuran antara 1 5 mm. Dalam entrained flow serbuk
batubara yang berukuran 0.1 mm dicampur dengan uap dan O2
sebelum diumpankan ke dalam reaktor. Proses ini telah
digunakan untuk memproduksi gas sintetis dengan nama proses
Koppers-Totzek. Proses yang sejenis kemudian muncul seperti
proses PRENFLO, Shell, Texaco , dan DOW. Proses molten iron
bath merupakan pengembangan dalam proses industri baja.
Serbuk batubara diumpankan ke dalam reaktor bersama-sama
dengan kapur dan O2. Kecuali proses molten iron bath semua
proses telah digunakan untuk keperluan pembangkit listrik.
Saat ini teknologi IGCC sedang dikembangkan di seluruh
dunia, seperti : Jepang, Belanda, Amerika Serikat dan Spanyol. Di
samping proses gasifikasi yang terus mengalami perbaikan, gas
turbin jenis baru juga terus dikembangkan. Temperatur masukan
gas turbin yang tinggi akan dapat menaikkan efisiensi dan ini
dapat dicapai dengan penggunaan material baru dan perbaikan
sistem pendinginnya.
Prinsip kerja
dari IGCC ditunjukkan
pada gambar di
samping. IGCC
merupakan
perpaduan teknologi
gasifikasi batubara
dan proses
pembangkitan uap.
Gas hasil gasifikasi
batubara mengalami
proses pembersihan
sulfur dan nitrogen.
Sulfur yang masih
dalam bentuk H2S
dan nitrogen dalam
bentuk NH3 lebih
mudah dibersihkan
sebelum dibakar dari
pada sudah dalam
bentuk oksida dalam
gas buang.
Sedangkan abu dibersihkan dalam reaktor gasifikasi. Gas yang
sudah bersih ini dibakar di ruang bakar dan kemudian gas hasil
pembakaran disalurkan ke dalam turbin gas untuk
menggerakkan generator. Gas buang dari turbin gas
dimanfaatkan dengan menggunakan HRSG (Heat Recovery
Steam Generator) untuk membangkitkan uap. Uap dari HRSG
(setelah turbin gas) digabungkan dengan uap dari HRSG (setelah
reaktor gasifikasi) digunakan untuk menggerakkan turbin uap
yang akan menggerakkan generator.

Kelebihan IGCC.
Penggunaan teknologi PLTU batubara konvensional saat ini
mempunyai kekurangan yaitu efisiensinya rendah yang berkisar
antara 33 36 %. Efisiensi ini dapat ditingkatkan dengan
membangun unit pembangkit yang lebih besar atau dengan
menaikkan suhu dan tekanan dalam siklus panasnya. Cara ini
mempunyai keterbatasan dan menambah tingkat kerumitan
dalam pemilihan materialnya. Disamping itu tuntutan dalam
memelihara lingkungan hidup (seperti telah disebutkan di atas)
akan menambah biaya pembangkitan karena adanya
penambahan peralatan seperti : de-SOX (desulfurisasi), de-NOX
(denitrifikasi) dan penyaring debu (electrostatic precipitator).
Pemasangan peralatan ini juga akan mengurangi efisiensi total
pembangkit listrik.
Teknologi IGCC ini mempunyai kelebihan yaitu dalam hal
bahan bakar : tidak ada pembatas untuk tipe, ukuran dan
kandungan abu dari batubara yang digunakan. Dalam hal
lingkungan : emisi SO2, NOX, CO2 serta debu dapat dikurangi
tanpa penambahan peralatan tambahan seperti de-SOX dan de-
NOX dan juga limbah cair serta luas tanah yang dibutuhkan juga
berkurang. Disamping itu pembangkit listrik IGCC mempunyai
produk sampingan yang merupakan komoditi yang mempunyai
nilai jual seperti : sulfur, asam sulfat dan gypsum.
Efisiensi pembangkit listrik ICGG berkisar antara 38 45 %
yang lebih tinggi 5 10 % dibandingkan PLTU batubara
konvensional. Hal ini dimungkinkan dengan adanya proses
gasifikasi sehingga energi yang terkandung dalam batubara
dapat digunakan secara efektif dan digunakannya HRSG untuk
membentuk suatu daur kombinasi antara turbin gas dan turbin
uap.

Dalam sistem IGCC, sekitar 95 99 % dari kandungan


sulfur dalam batubara dapat dihilangkan sebelum pembakaran.
NOX dapat dikurangi sebesar 70 93 % dan CO2 dapat dikurangi
sebesar 20 35 % (emisinya berkisar antara 0.75 0.85 kg
CO2/kWh) dibandingkan dengan PLTU batubara konvensional.
Dengan tingkat emisi yang rendah maka dapat untuk mencegah
terjadi hujan asam karena emisi polutan SO2 dan NOX serta
mencegah terjadinya pemanasan global karena emisi CO2.
Salah satu hal yang menarik dalam sistem IGCC adalah
pembangunannya dapat dilakukan secara bertahap yaitu:
tahap pertama : pembangunan turbin gas dan
perlengkapan pembangkit listrik
tahap kedua : pembangunan sistem daur kombinasi,
tahap ketiga : pembangunan unit gasifikasi.
Pembangunan dua tahap yang pertama memerlukan biaya
investasi yang relatif kecil dan sudah dapat menghasilkan tenaga
listrik. Investasi yang besar hanya dibutuhkan pada saat
pembangunan tahap ketiga dan dilaksanakan bila sudah dinilai
ekonomis untuk mengganti bahan bakar dari gas alam dengan
batubara. Disamping itu sistem IGCC didesain secara modular
sehingga mudah untuk dikembangkan menjadi unit yang lebih
besar kapasitasnya pada saat kebutuhan tenaga listrik sudah
meningkat.

Anda mungkin juga menyukai