Laporan Pendahuluan Trauma Kapitis
Laporan Pendahuluan Trauma Kapitis
A. Defenisi
B. Etiologi
Cidera kepala dapat disebabkan oleh dua hal antara lain :Benda tajam,
Trauma benda tajam dapat menyebabkan cidera setempat ;Benda tumpul,
dapat menyebabkan cidera seluruh kerusakan terjadi ketika energi/kekuatan
diteruskan kepada otak
Penyebab lain
1. kecelakaan lalulintas
2. Jatuh
3. Pukulan
4. Kejatuhan benda
5. Kecelakaan kerja / industry
6. Cidera lahir
7. luka tembak
C. Patofisiologi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu
cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada
kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh
benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses
akselerasi-deselerasi gerakan kepala.
Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan
pada permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa
kerusakan pada duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di
bawah area benturan disebut lesi kontusio coup, di seberang area benturan
tidak terdapat gaya kompresi, sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi,
maka lesi tersebut dinamakan lesi kontusio countercoup. Kepala tidak
selalu mengalami akselerasi linear, bahkan akselerasi yang sering dialami oleh
kepala akibat trauma kapitis adalah akselerasi rotatorik. Bagaimana caranya
terjadi lesi pada akselerasi rotatorik adalah sukar untuk dijelaskan secara
terinci. Tetapi faktanya ialah, bahwa akibat akselerasi linear dan rotatorik
terdapat lesi kontusio coup, countercoup dan intermediate. Yang disebut lesi
kontusio intermediate adalah lesi yang berada di antara lesi kontusio coup dan
countercoup.
Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke menit
pada suplai nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan
sangat rentan terhadap cedera metabolik bila suplai terhenti. Cedera
mengakibatkan hilangnya kemampuan sirkulasi otak untuk mengatur volume
darah sirkulasi yang tersedia, menyebabkan iskemia pada beberapa daerah
tertentu dalam otak.
D. Tanda dan Gejala
a. Commotio Cerebri
1. Tidak sadar selama kurang atau sama dengan 10 menit.
2. Mual dan muntah
3. Nyeri kepala (pusing)
4. Nadi, suhu, TD menurun atau normal
b. Contosio Cerebri
1. Tidak sadar lebih dari 10 menit
2. Amnesia anterograde
3. Mual dan muntah
4. Penurunan tingkat kesadaran
5. Gejala neurologi, seperti parese
6. LP berdarah
c. Laserasio Serebri
1. Jaringan robek akibat fragmen taham
2. Pingsan maupun tidak sadar selama berhari-hari/berbulan-bulan
3. Kelumpuhan anggota gerak
4. Kelumpuhan saraf otak
E. Pemeriksaan Penunjang/Diagnostik
a. X-ray Tengkorak
Peralatan diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi fraktur dari dasar
tengkorak atau rongga tengkorak. CT scan lebih dipilih bila dicurigai
terjadi fraktur karena CT scan bisa mengidentifikasi fraktur dan adanya
kontusio atau perdarahan. X-Ray tengkorak dapat digunakan bila CT scan
tidak ada.
b. CT-Scan
Penemuan awal computed tomography scanner ( CT Scan ) penting dalam
memperkirakan prognosa cedera kepala berat. Suatu CT scan yang normal
pada waktu masuk dirawat pada penderita-penderita cedera kepala berat
berhubungan dengan mortalitas yang lebih rendah dan penyembuhan
fungsional yang lebih baik bila dibandingkan dengan penderita-penderita
yang mempunyai CT scan abnormal. Hal di atas tidaklah berarti bahwa
semua penderita dengan CT scan yang relatif normal akan menjadi lebih
baik, selanjutnya mungkin terjadi peningkata TIK dan dapat berkembang
lesi baru pada 40% dari penderita. Di samping itu pemeriksaan CT scan
tidak sensitif untuk lesi di batang otak karena kecilnya struktur area yang
cedera dan dekatnya struktur tersebut dengan tulang di sekitarnya. Lesi
seperti ini sering berhubungan dengan outcome yang buruk.
c. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga sangat berguna di dalam menilai
prognosa. MRI mampu menunjukkan lesi di substantia albadan batang
otak yang sering luput pada pemeriksaan CT Scan. Ditemukan bahwa
penderita dengan lesi yang luas pada hemisfer, atau terdapat lesi batang
otak pada pemeriksaan MRI, mempunyai prognosa yang buruk untuk
pemulihan kesadaran, walaupun hasil pemeriksaan CT Scan awal normal
dan tekanan intrakranial terkontrol baik. Pemeriksaan Proton Magnetic
Resonance Spectroscopy (MRS) menambah dimensi baru pada MRI dan
telah terbukti merupakan metode yang sensitif untuk mendeteksi Cedera
Akson Difus (CAD). Mayoritas penderita dengan cedera kepala ringan
sebagaimana halnya dengan penderita cedera kepala yang lebih berat, pada
pemeriksaan MRS ditemukan adanya CAD di korpus kalosum dan
substantia alba. Kepentingan yang nyata dari MRS di dalam menjajaki
prognosa cedera kepala berat masih harus ditentukan, tetapi hasilnya
sampai saat ini dapat menolong menjelaskan berlangsungnya defisit
neurologik dan gangguan kognitif pada penderita cedera kepala ringan.
F. Komplikasi
1. Jangka pendek
a. Hematoma epidural
Letak epidural yaitu antara tulang tengkorak dan duramater. Terjadi
akibat pecahnya arteri meningea media atau cabang-cabangnya.
Gejalanya yaitu setelah terjadi kecelakaan, penderita pingsan atau
hanya nyeri kepala sebentar kemudian membaik dengan sendirinya
tetapi beberapa jam kemudian timbul gejala-gejala yang bersifat
progresif seperti nyeri kepala, pusing, kesadaran menurun, nadi
melambat, tekanan darah meninggi, pupil pada sisi perdarahan mula-
mula miosis, lalu menjadi lebar, dan akhirnya tidak bereaksi terhadap
refleks cahaya. Ini adalah tanda-tanda bahwa sudah terjadi herniasi
tentorial. Kejadiannya biasanya akut (minimal 24jam sampai dengan
3x24 jam) dengan adanya lucid interval, peningkatan TIK dan gejala
lateralisasi berupa hemiparese Pada pemeriksaan kepala mungkin pada
salah satu sisi kepala didapati hematoma subkutan. Pemeriksaan
neurologis menunjukkan pada sisi hematom pupil melebar. Pada sisi
kontralateral dari hematom, dapat dijumpai tanda-tanda kerusakan
traktus piramidalis, misal: hemiparesis, reflex tendon meninggi dan
refleks patologik positif. Pemeriksaan CT-Scan menunjukkan ada
bagian hiperdens yang bikonveks dan LCS biasanya jernih.
Penatalaksanaannya yaitu tindakan evakuasi darah (dekompresi) dan
pengikatan pembuluh darah.
b. Hematom subdural
Letak subdural yaitu di bawah duramater. Terjadi akibat pecahnya
bridging vein, gabungan robekan bridging veins dan laserasi piamater
serta arachnoid dari kortex cerebri. Gejala subakut mirip epidural
hematom, timbul dalam 3 hari pertama dan gejala kronis timbul 3
minggu atau berbulan-bulan setelah trauma. Pada pemeriksaan CT-
Scan setelah hari ke 3 yang kemudian diulang 2 minggu kemudian
terdapat bagian hipodens yang berbentuk cresent di antara tabula
interna dan parenkim otak (bagian dalam mengikuti kontur otak dan
bagian luar sesuai lengkung tulang tengkorak). Juga terlihat bagian
isodens dari midline yang bergeser. Operasi sebaiknya segera
dilakukan untuk mengurangi tekanan dalam otak (dekompresi) dengan
melakukan evakuasi hematom. Penanganan subdural hematom akut
terdiri dari trepanasidekompresi.
c. Perdarahan Intraserebral
Perdarahan dalam cortex cerebri yang berasal dari arteri kortikal,
terbanyak pada lobus temporalis. Perdarahan intraserebral akibat
trauma kapitis yang berupa hematom hanya berupa perdarahan kecil-
kecil saja. Jika penderita dengan perdarahan intraserebral luput dari
kematian, perdarahannya akan direorganisasi dengan pembentukan
gliosis dan kavitasi. Keadaan ini bisa menimbulkan manifestasi
neurologik sesuai dengan fungsi bagian otak yang terkena.
d. Perdarahan Subarachnoid
Perdarahan di dalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh
darah dan permukaan otak, hampir selalu ada pada cedera kepala yang
hebat. Tanda dan gejala : Nyeri kepala; Penurunan kesadaran ;
Hemiparese; Dilatasi pupil ipsilateral; Kaku kuduk
e. Oedema serebri
Pada keadaan ini otak membengkak. Penderita lebih lama pingsannya,
mungkin hingga berjam-jam. Gejala-gejalanya berupa commotio
cerebri, hanya lebih berat. Tekanan darah dapat naik, nadi mungkin
melambat. Gejala-gejala kerusakan jaringan otak juga tidak ada.
Cairan otak pun normal, hanya tekanannya dapat meninggi dan
kesadaran menurun.
2. Jangka panjang
a. Kerusakan saraf cranial
a) Anosmia :Kerusakan nervus olfactorius menyebabkan
gangguan sensasi pembauan yang jika total disebut dengan
anosmia dan bila parsial disebut hiposmia. Tidak ada
pengobatan khusus bagi penderita anosmia.
b) Gangguan penglihatan :Gangguan pada nervus opticus timbul
segera setelah mengalami cedera (trauma). Biasanya disertai
hematoma di sekitar mata, proptosis akibat adanya perdarahan,
dan edema di dalam orbita. Gejala klinik berupa penurunan
visus, skotoma, dilatasi pupil dengan reaksi cahaya negative,
atau hemianopia bitemporal. Dalam waktu 3-6 minggu setelah
cedera yang mengakibatkan kebutaan, tarjadi atrofi papil yang
difus, menunjukkan bahwa kebutaan pada mata tersebut
bersifat irreversible.
c) Oftalmoplegi :Oftalmoplegi adalah kelumpuhan otot-otot
penggerak bola mata, umumnya disertai proptosis dan pupil
yang midriatik. Tidak ada pengobatan khusus untuk
oftalmoplegi, tetapi bisa diusahakan dengan latihan ortoptik
dini.
d) Paresis fasialis :Umumnya gejala klinik muncul saat cedera
berupa gangguan pengecapan pada lidah, hilangnya kerutan
dahi, kesulitan menutup mata, mulut moncong, semuanya pada
sisi yang mengalami kerusakan.
e) Gangguan pendengaran
Gangguan pendengaran sensori-neural yang berat biasanya
disertai vertigo dan nistagmus karena ada hubungan yang erat
antara koklea, vestibula dan saraf. Dengan demikian adanya
cedera yang berat pada salah satu organ tersebut umumnya juga
menimbulkan kerusakan pada organ lain.
b. Disfasia
Secara ringkas , disfasia dapat diartikan sebagai kesulitan untuk
memahami atau memproduksi bahasa disebabkan oleh penyakit
system saraf pusat. Penderita disfasia membutuhkan perawatan
yang lebih lama, rehabilitasinya juga lebih sulit karena masalah
komunikasi. Tidak ada pengobatan yang spesifik untuk disfasia
kecuali speech therapy.
c. Hemiparesis
Hemiparesis atau kelumpuhan anggota gerak satu sisi (kiri atau
kanan) merupakan manifestasi klinik dari kerusakan jaras
pyramidal di korteks, subkorteks, atau di batang otak.
Penyebabnya berkaitan dengan cedera kepala adalah perdarahan
otak, empiema subdural, dan herniasi transtentorial.
d. Sindrom pasca cedera kepala
Sindrom pasca trauma kepala (postconcussional syndrome)
merupakan kumpulan gejala yang kompleks yang sering dijumpai
pada penderita cedera kepala. Gejala klinisnya meliputi nyeri
kepala, vertigo gugup, mudah tersinggung, gangguan konsentrasi,
penurunan daya ingat, mudah terasa lelah, sulit tidur, dan gangguan
fungsi seksual.
e. Fistula karotiko-kavernosus
Fistula karotiko-kavernosus adalah hubungan tidak normal antara
arteri k arotis interna dengan sinus k avernosus, umumnya
disebabkan oleh cedera pada dasar tengkorak. Gejala klinik berupa
bising pembuluh darah (bruit) yang dapat didengar penderita atau
pemeriksa dengan menggunakan stetoskop, proptosis disertai
hyperemia dan pembengkakan konjungtiva, diplopia dan
penurunan visus, nyeri kepala dan nyeri pada orbita, dan
kelumpuhan otot-otot penggerak bola mata.
f. Epilepsi
Epilepsi pascatrauma kepala adalah epilepsi yang muncul dalam
minggu pertama pascatrauma (early posttrauma epilepsy) dan
epilepsy yang muncul lebih dari satu minggu pascatrauma (late
posttraumatic epilepsy) yang pada umumnya muncul dalam tahun
pertama meskipun ada beberapa kasus yang mengalami epilepsi
setelah 4 tahun kemudian.
G. Penatalaksanaan
Fungsi utama dari GCS bukan sekedar merupakan interpretasi pada satu
kali pengukuran, tetapi skala ini menyediakan penilaian objektif terhadap tingkat
kesadaran dan dengan melakukan pengulangan dalam penilaian dapat dinilai
apakah terjadi perkembangan ke arah yang lebih baik atau lebih buruk.
Pemeriksaan disimpulkan dalam suatu tabel Skala Koma Glasgow (Glasgow
Coma Scale).
Eye Opening
Mata terbuka dengan spontan 4
Mata membuka setelah diperintah 3
Mata membuka setelang diberi rangsang nyeri 2
Tidak membuka mata dengan rangsang apapun 1
Jumlah 15
b) . Pemeriksaan Pupil
Pupil harus diperiksa untuk mengetahui ukuran dan reaksi terhadap
cahaya. Perbedaan diameter antara dua pupil yang lebih besar dari 1 mm adalah
abnormal. Pupil yang terfiksir untuk dilatasi menunjukkan adanya penekanan
terhadap saraf okulomotor ipsilateral. Respon yang terganggu terhadap cahaya
bisa merupakan akibat dari cedera kepala.
c) Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan neurologis dilaksanakan terhadap saraf kranial dan saraf
perifer. Tonus, kekuatan, koordinasi, sensasi dan refleks harus diperiksa dan
semua hasilnya harus dicatat.
b. Pemeriksaan fisik
Setalh ABC, dilakukan pemeriksaan fisik singkat meliputi kesadaran, pupil, defisit
fokal serebral dan cedera ekstra kranial. Hasil pemeriksaan fisik pertama ini
dicatat sebagai data dasar dan ditindaklanjuti, setiap perburukan dari salah satu
komponen diatas bis adiartikan sebagai adanya kerusakan sekunder dan harus
segera dicari dan menanggulangi penyebabnya.
c. Pemeriksaan radiologi
Dibuat foto kepala dan leher, sedangkan foto anggota gerak, dada dan abdomen
dibuat atas indikasi. CT scan kepala dilakukan bila ada fraktur tulang tengkorak
atau bila secara klinis diduga ada hematom intrakranial
1. Hiperventilasi
Setelah resusitas ABC, dilakukan hiperventilasi dengan ventilasi yang
terkontrol, dengan sasaran tekanan CO2 (pCO2) 27-30 mmHg dimana terjadi
vasokontriksi yang diikuti berkurangnya aliran darah serebral. Hiperventilasi
dengan pCO2 sekitar 30 mmHg dipertahankan selama 48-72 jam, lalu dicoba
dilepas dengan mengurangi hiperventilasi, bila TIK naik lagi hiperventilasi
diteruskan lagi selama 24-48 jam. Bila TIK tidak menurun dengan hiperventilasi
periksa gas darah dan lakukan CT-scan ulang untuk menyingkirkan hematom.
2. Drainase
Tindakan ini dilakukan bila hiperventilasi tidak berhasil. Untuk jangka
pendek dilakukan drainase ventrikular, sedangkan untuk jangka panjang dipasang
ventrikulo peritoneal shunt, misalnya bila terjadi hidrosefalus.
3. Terapi diuretik
Diuretik osmotik (manitol 20%):
Cairan ini menurunkan TIK dengan menarik air dari jaringan otak normal
melalui sawar otak yang masih utuh kedalam ruang intravaskuler. Bila
tidak terjadi diuresis pemberiannya harus dihentikan. Cara pemberiannya:
Bolus 0,5-1 gram/kgBB dalam 20 menit dilanjutkan 0,25-0,5 gram/kgBB,
setiap 6 jam selama 24-48 jam. Monitor osmolalitas tidak melebihi 310
mOSm
Loop diuretik (Furosemid):
Furosemid dapat menurunkan TIK melalui efek menghambat
pembentukan cairan cerebrospinal dan menarik cairan interstitial pada
edema sebri. Pemberiannya bersamaan manitol mempunyai efek sinergik
dan memperpanjang efek osmotik serum oleh manitol. Dosis 40
mg/hari/iv.
Terapi barbiturat (Fenobarbital)
Terapi ini diberikan pada kasus-ksus yang tidak responsif terhadap semua
jenis terapi yang tersebut diatas. Cara pemberiannya: Bolus 10
mg/kgBB/iv selama 0,5 jam dilanjutkan 2-3 mg/kgBB/jam selama 3 jam,
lalu pertahankan pada kadar serum 3-4 mg%, dengan dosis sekitar 1
mg/KgBB/jam. Setelah TIK terkontrol, 20 mmHg selama 24-48 jam, dosis
diturunkan bertahap selama 3 hari.
Streroid
Berguna untuk mengurangi edema serebri pada tumor otak. Akan tetapi
menfaatnya pada cedera kepala tidak terbukti, oleh karena itu sekarang
tidak digunakan lagi pada kasus cedera kepala
Posisi Tidur
Penderita cedera kepala berat dimana TIK tinggi posisi tidurnya
ditinggikan bagian kepala sekitar 20-30, dengan kepala dan dada pada satu
bidang, jangan posisi fleksi atau leterofleksi, supaya pembuluh vena
daerah leher tidak terjepit sehingga drainase vena otak menjadi lancar.
Keseimbangan cairan elektrolit
Pada saat awal pemasukan cairan dikurangi untuk mencegah
bertambahnya edema serebri dengan jumlah cairan 1500-2000 ml/hari
diberikan perenteral, sebaiknya dengan cairan koloid seperti hydroxyethyl
starch, pada awalnya dapat dipakai cairan kristaloid seperti NaCl 0,9%
atau ringer laktat, jangan diberikan cairan yang mengandung glukosa oleh
karena terjadi keadaan hiperglikemia menambah edema serebri.
Keseimbangan cairan tercapai bila tekanan darah stabil normal, yang akan
takikardia kembali normal dan volume urin normal >30 ml/jam. Setelah 3-
4 hari dapat dimulai makanan peroral melalui pipa nasogastrik. Pada
keadaan tertentu dimana terjadi gangguan keseimbangan cairan eletrolit,
pemasukan cairan harus disesuaikan, misalnya pada pemberian obat
diuretik, diabetes insipidus, syndrome of inappropriate anti diuretic
hormon (SIADH). Dalam keadaan ini perlu dipantau kadar eletrolit, gula
darah, ureum, kreatinin dan osmolalitas darah.
Nutrisi
Pada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak 2-2,5 kali
normal dan akan mengakibatkan katabolisme protein. Proses ini terjadi
antara lain oleh karena meningkatnya kadar epinefrin dan norepinefrin
dalam darah danakan bertambah bila ada demam. Setekah 3-4 hari dengan
cairan perenterai pemberian cairan nutrisi peroral melalui pipa
nasograstrik bisa dimulai, sebanyak 2000-3000 kalori/hari.
Epilepsi/kejang
Epilepsi yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early
epilepsy dan yang terjadi setelah minggu pertama disebut late epilepsy.
Early epilelpsi lebih sering timbul pada anak-anak dari pada orang dewasa,
kecuali jika ada fraktur impresi, hematom atau pasien dengan amnesia post
traumatik yang panjang.
Pengobatan:
Kejang pertama: Fenitoin 200 mg, dilanjutkan 3-4 x 100 mg/hari
Status epilepsi: diazepam 10 mg/iv dapat diulang dalam 15 menit.
Bila cenderung berulang 50-100 mg/ 500 ml NaCl 0,9% dengan
tetesan <40mg/jam. Setiap 6 jam dibuat larutan baru oleh karena
tidak stabil. Bila setelah 400 mg tidak berhasil, ganti obat lain
misalnya Fenitoin. Cara pemberian Fenitoin: bolus 18 mg/KgB/iv
pelan-pelan paling cepat 50 mg/menit. Dilanjutkan dengan 200-500
mg/hari/iv atau oral. Profilaksis: diberikan pada pasien cedera kepala
berat dengan resiko kejang tinggi, seperti pada fraktur impresi,
hematom intrakranial dan penderita dengan amnesia post traumatik
panjang
Neuroproteksi
Adanya waktu tenggang antara terjadinya trauma dengan timbulnya
kerusakan jaringan saraf, memberi waktu bagi kita untuk memberikan
neuroprotektan. Manfaat obat-obat tersebut masih diteliti pada penderita
cedera kepala berat antara lain, antagonis kalsium, antagonis glutamat dan
sitikolin.
H. Prognosis
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Data dasar tergantung pada tipe, lokasi dan keparahan cedera dan mungkin
dipersulit oleh cedera tambahan pada organ-organ vital
a. Aktivitas/Istirahat
b. Sirkulasi
c. Integritas Ego
d. Eliminasi
f. Makanan/Cairan
g. Neurosensori
h. Nyeri/Kenyamanan
i. Pernapasan
j. Keamanan
Tanda :Fraktur/dislokasi.
k. Gangguan penglihatan
Kulit laserasi, abrasi, perubahan warna, seperti raccoon eye tanda Batle
di sekitar telinga (merupakan tanda adanya trauma), adanya aliran cairan
(drainase) dari telinga/hidung (CSS).
l. Gangguan kognitif.
Gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum
mengalami paralysis.
Interaksi Sosial
m. Pemeriksaan Diagnostik
B. Diagnosa Keperawatan
yang kurang
2. Perubahan perfusi jaringan otak b.d peningkatan tekanan intrakranial.
3. Perubahan persepsi sensorik b.d penurunan tingkat kesadaran,
menelan
8. Gangguan citra tubuh dan perubahan peran b.d kurang berfungsinya
fisik.
C. Intervensi Keperawatan
1. Gangguan pertukaran gas b.d penumpukan sekresi, reflek batuk yang kurang.
Tujuan : Setelah diberikan tindakan keperawatan selama x maka masalah
perukaran gas teratasi dengan
Kriteria Hasil: Tidak ada gangguan jalan napas Lendir dapat batukkan/sekret
dapat keluar. Pernapasan teratur.
Intervensi:
Intervensi
Kriteria Hasil: Kesadaran pasien kembali normal Tidak terjadi peningkatan TIK
Intervensi :
Intervensi:
1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif meliputi lokasi,
karakteristik, awitan dan durasi, frekuensi, kualitas, intensitas atau
keparahan nyeri dan faktor presipitasinya
R/ :mengakji nyeri secara komprehensif bertujuan untuk mengetahui
tingkat keparahan nyeri yang dirasakan oleh klien
2. Observasi isyarat nonverbal ketidaknyamanan, khususnya kepada mereka
yang tidak mampu berkomunikasi efektif
R/: dengan melakukan obsevasi isyarat nonverbal dapat menunjukkan
ringan ataupun berat suatu nyeri yang dirasakan klien
3. anjurkan klien mengunkapkan perasaan mengenai nyeri yang dirasakan
R/: menurunkan perasaan terisolasi, marah, dan cemas yang dapat
meningkatkan nyeri tersebut.
4. berikan kompres hangat/dingin, mandi air hangat, berikan masase atau
sentuhan sesuai toleransi pasien secara individual.
R/:membantu pasien mendapatkan kontrol perasaaan tidak nyaman secara
konstan
5. lakukan perubahan posisi secara teratur, berikan sokongan dengan bantal,
busa tau dengan selimut
R/:membantu menghilangkan ketegangan dan kelelahan otot
6. berikan latihan rentang gerakan secara pasif
R/: menurunkan kekakuan sendi
7. instuksikan/anjurkan untuk menggunakan teknik relaksasi seperti
visualisasi (menonton), latihan relaksasi yang berkembang, imanjinasi
terbimbing, biofeedback
R/: Memfokuskan kembali secara langsung dari perhatian/persepsi dan
meningkatkan koping yang dapat membantu menghilangkan rasa nyeri
8. Kolaborasi pemberian analgetik sesuai kebutuhan, hindari penggunaan
narkotika
R/: berguna untuk menghilangkan nyeri ketika metode lain yang telah
dicoba tidak memberikan hasil yang memuaskan. Narkotika (kecuali
kodein yang memiliki efek lebih kecil) harus di hindari jika masih
mungkin karena obat-obat tersebut menekan pernapasan dan mempunyai
efek samping terhadap saluran pencernaan. kadang-kadang beramanfaat
untuk menghilangkan teganan otot
Intervensi:
7. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d kurang mampu menelan.
Intervensi :
1. Kaji kemampuan makan dan menelan.
R/: Membantu dalam menentukan jenis makanan dan mencegah
terjadinya aspirasi
2. Dengarkan suara peristaltik usus
R/: Membantu menentukan respon dari pemberian makanan dan
adanya hiperperistaltik kemungkinan adanya komplikasi ileus.
3. Berikan rasa nyaman saat makan, seperti posisi semi fowler/fowler.
R/: Mencegah adanya regurgitasi dan aspirasi
4. Berikan makanan dalam porsi kecil tapi sering dan dalam keadaan
hangat.
R/: Meningkatkan nafsu makan.
5. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian vitamin.
R/: Vitamin membantu meningkatkan nafsu makan dan mencegah
malnutrisi
8. Gangguan citra tubuh dan perubahan peran b.d kurang berfugsinya proses
berpikir
Intervensi :
Intervensi :
Intervensi :
Intervensi :
Kriteri Hasil : Trauma fisik tidak terjadi , Terjaganya batas kesadaran fungsi
motorik
Intervensi :